Anda di halaman 1dari 3

Etika Bisnis dan Hukum dalam Wirausaha

A. Etika Bisnis

Etika bisnis dan kewirausahaan telah menjadi perbincangan dalam dekade terkahir, karena adanya
tantangan pelaku usaha dalam menghadapi dilema etika yang dapat mempengaruhi langsung kinerja
bisnis. Tantangan etika sering dihadapi ketika pengusaha harus memutuskan antara mengejar
kepentingannya sendiri tanpa merugikan perusahaan atau mengkompromikan norma dari perilaku
(Ogbari et al., 2016).

Fisscher et al. (2005) menyatakan bahwa "hubungan" antara kewirausahaan dan etika dapat dicirikan
sebagai hubungan cinta-benci yang intens. Di satu sisi, wirausahawan yang dianggap sebagai inovator
kreatif sangat dipuji atas kontribusi mereka terhadap pengembangan masyarakat dengan menciptakan
produk baru, kesempatan kerja dan membuka kemungkinan baru bagi kita semua. Di sisi lain, pengusaha
sering dikritik karena mengejar kesuksesan bisnis secara sepihak ketika mengesampingkan nilai-nilai
moral.

Dabor et al. (2015) berpendapat bahwa etika bisnis atau lebih tepatnya etika perusahaan adalah
semacam etika terapan atau professional yang mempertimbangkan prinsip-prinsip etika dan tantangan
moral atau etika yang muncul dalam lingkungan bisnis. Hal ini berlaku untuk semua bidang perilaku
usaha kewirausahaan dan relevan dengan perilaku individu dan seluruh perusahaan.

Musa (2008) berpendapat bahwa istilah etika bisnis adalah perilaku yang harus dipatuhi korporasi
(perusahaan) dalam menjalankan usahanya sehari-hari dalam lingkungan di mana ia beroperasi dan
mungkin terkadang juga di luar komunitasnya. Ogbari et al. (2016) menambahkan bahwa etika
perusahaan tertentu bisa beragam. Beberapa perusahaan mengadopsi etika untuk tidak hanya tentang
bagaimana perusahaan berhubungan dengan dunia luar, tetapi juga untuk interaksi masing-masing
personil dalam perusaahaan dengan individu pelanggan.

Terdapat beberapa penelitian mengenai etika bisnis dan wirausaha. Carasco dan Sign (2003)
menyatakan tidak selalu ada korelasi antara tanggung jawab sosial perusahaan dan profitabilitas. Green
(2004) mendukung hal ini, secara metodologis tidak ada hubungan apa pun antara orientasi sosial dan
perbedaan kinerja perusahaan bisnis. Namun, penelitian lain menunjukkan bahwa menjadi tidak etis dan
melakukan tindakan tidak etis cenderung mengurangi margin keuntungan bisnis (McGuire, Sundgren, &
Schneeweis, 1988). Pemilik bisnis disarankan untuk melakukan hal yang etis, melakukan hal yang benar
bukan hanya hal yang benar untuk dilakukan tetapi juga hal yang paling mungkin menguntungkan untuk
dilakukan. Misalnya, memposisikan diri sebagai perusahaan yang dapat diandalkan secara sosial dapat
mendorong kepuasan dan loyalitas staf, menarik pelanggan dan membantu untuk mencegah risiko.
Ogbari et al. (2016) juga sependapat, dimana terdapat hubungan yang signifikan antara kepatuhan
terhadap standar etika dan volume penjualan sehingga pengusaha perlu menegakkan kepatuhan
terhadap standar etika dalam perusahaan untuk meningkatkan volume penjualan. Standar moral dan
pangsa pasar terkait secara signifikan. Dengan tingkat integritas, keadilan, dan kesepakatan yang adil
dengan pemangku kepentingan, perusahaan akan meningkatkan citranya. Hal ini dapat menyebabkan
peningkatan margin keuntungan melalui peningkatan perlindungan.

Unsur-unsur etika bisnis (Ogbari et al., 2016):


1. Integritas
Aspek sosial berupa memperhatikan dan bersikap adil kepada orang lain ketika berusaha untuk
mendapatkan keuntungan disebut integritas (Ogbari et al. (2016). Dewey (2007) berpendapat
bahwa integritas juga memerlukan menjaga kesepakatan dan janji. Resik et al. (2006) menjelaskan
bahwa jujur adalah kesan etika integritas dasar yang diterapkan di semua bidang bisnis mulai dari
melayani pelanggan hingga perekrutan dan pemecatan karyawan.
2. Semangat publik
Ini adalah manifestasi luar dari emosi mulia yang disebut patriotisme, cinta tanah air. Cinta negara
dimana manusia lahir dan dibesarkan. Ini merupakan salah satu perasaan hati manusia yang
disebut naluri, yaitu warisan masa lalu, yang lahir bersama individu hingga saat ini (Crane dan
Mattey, 2007; Collins, 2010). Rasa ini ditemukan di mana-mana di antara orang-orang beradab, dan
hanya dapat hancur oleh keadaan yang paling tidak menguntungkan.
3. Akuntabilitas
Perusahaan harus memiliki kewajiban kepengurusan khusus untuk memproses dengan benar dan
akurat semua penerimaan dan pengeluaran dana; untuk memperhitungkan semua sumber
keuangan yang diterima dan digunakan. Darcy (2010) berpendapat bahwa akuntabilitas adalah
kewajiban atau kesediaan untuk menerima tanggung jawab atau untuk memberikan analisis
pembenaran atau penjelasan untuk tindakan seseorang. Ogbari et al. (2016) menambahkan bahwa
ini adalah mengenai bagaimana sumber daya manusia, keuangan dan politik digunakan.
4. Transparansi
Transparansi adalah kecerdikan suatu perusahaan dalam memastikan bahwa penyebaran informasi
tentang operasinya jelas dan terbuka. Fulmer (2004) berpendapat transparansi ditingkatkan
dengan cara pemahaman dua arah.

B. Tata Aturan dan Hukum Bisnis

Hukum bisnis mengakui dan melindungi kepentingan berbagai kelompok, termasuk konsumen,
karyawan, mitra bisnis dan pemegang saham, investor, lingkungan, dan bahkan pesaing.

Undang-undang mengharuskan pengusaha untuk mempertimbangkan kepentingan konsumen.


Misalnya, undang-undang pertanggungjawaban produk memberikan konsumen hak untuk menuntut
produsen atas kerusakan properti yang timbul dari penggunaan produk pengusaha (Alberts, Thornburg,
& Buttrick, 2016). Kebijakan moral yang mendasari undang-undang kewajiban produk mengharuskan
bisnis untuk mengambil tindakan pencegahan untuk meminimalkan risiko yang terkait dengan
penggunaan produk, dan untuk mengambil tanggung jawab atas kegagalan produk dengan
mengkompensasi pihak yang dirugikan. Teori lain mengenai pelanggaran garansi, memberikan solusi
ketika suatu produk tidak sesuai dengan harapan konsumen. Pelanggaran teori garansi mencerminkan
pentingnya moral yang mendasari kesetiaan pada janji. Demikian pula, berbagai undang-undang
penipuan konsumen yang melindungi konsumen dari disesatkan oleh iklan palsu, hal tersebut
menggarisbawahi kewajiban moral untuk bertindak jujur (Buttrick & Droms, 2016).

Karyawan juga mendapat pengakuan dan perlindungan hukum. Undang-Undang Ketenagakerjaan


dirancang untuk memastikan pekerja dibayar dengan upah yang adil, pengaturan waktu kerja dan
waktu istirahat, jaminan kesehatan dan keamanan kerja serta pemutusan hubungan kerja.

Kewajiban moral juga tercermin dalam kewajiban fidusia yang harus dilakukan pengusaha kepada mitra
usahanya dan untuk bisnis itu sendiri. Kewajiban moral kejujuran dan transaksi yang adil berupa
kewajiban hukum pengusaha untuk jujur dengan investor saat ini dan calon investor. Pengusaha harus
mengungkapkan fakta material kepada investor dengan kata lain, mereka harus mengungkapkan jenis
informasi yang wajar yang ingin diketahui investor dalam membuat keputusan investasi (Reed, et al.,
2013).

Pengusaha bahkan berhutang kewajiban hukum kepada kelompok pemangku kepentingan yang
tampaknya tidak mungkin yaitu pesaing. Terdapat Undang-Undang pelarangan paraktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat. Selain itu juga terdapat hukum kekayaan intelektual, seperti: undang-
undang hak cipta, paten, dan merek dagang, melarang pengusaha melanggar karya kreatif, teknologi
dan branding yang dikembangkan oleh orang lain (Reed, et al., 2013). Hukum-hukum ini mencerminkan
kewajiban moral untuk menghormati milik orang lain.

Undang-Undang lingkungan hidup mengharuskan perusahaan untuk menilai resiko lingkungan,


mencegah kerusakan lingkungan dan menanggung biaya pembersihan bila terjadi kerusakan lingkungan.
Peraturan ini dirancang untuk memotivasi bisnis dan meminimalkan risiko bahaya dan memikul
tanggung jawab ketika bahaya terjadi (McGowan & Buttrick, 2017).

Anda mungkin juga menyukai