Anda di halaman 1dari 4

MAPPALETTE BOLA

Jika kalian akan pindah rumah, kalian tentu disibukkan dengan mengemasi barang yang
akan dibawa dari rumah lama menuju rumah baru. Bukan begitu, Grameds? Namun hal
tersebut tidak berlaku untuk masyarakat Suku Bugis, Sulawesi Selatan.

Masyarakat Bugis tidak perlu khawatir jika ingin pindah rumah. Karena masyarakat sekitar
akan membantu tetangganya yang pindah rumah dengan cara menggotong rumah secara
bersama-sama. Jumlah orang yang mengangkut rumah bisa mencapai puluhan hingga
ratusan laki-laki. Mereka melakukan itu semua dengan suka cita karena hal demikian telah
menjadi kearifan lokal di sana.

Tradisi ini biasa dilakukan jika ada salah seorang dari anggota suku tersebut ingin pindah
rumah atau menjual rumahnya namun tidak dengan tanahnya. Bagaimana bisa rumah
dipindah dari tanah? Rumah yang dipindahkan bukan rumah pada umumnya, namun rumah
adat panggung dari yang menjadi rumah adat masyarakat Sulawesi.

Metode pemindahan rumah dilakukan dengan dua cara. Pertama, bagian bawah rumah
akan dipasangi roda lalu rumah tersebut didorong ke tempat tujuan. Cara pertama ini
digunakan apabila lokasi baru cukup dekat dengan lokasi lama. Kedua, rumah diangkat
secara bersama-sama apabila lokasi baru cukup jauh dari lokasi lama.
LOMPAT BATU NISAN

Grameds, pernah melihat uang kertas seribu rupiah yang diterbitkan pada tahun 1992?
Pada salah satu sisi uang tersebut, kalian akan menemukan gambar seorang pemuda laki-
laki melompati Batu Nias. Gambar tersebut diambil dari kearifan lokal yang berlaku di Pulau
Nias, Sumatera Utara.

Tradisi yang menjadi kearifan lokal ini disebut Fahombo. Budaya ini telah berlangsung lama
dan diperuntuk untuk laki-laki saja. Agar dianggap sebagai laki-laki yang matang dan
dewasa secara fisik, pemuda Nias harus melompati tumpukan batu setinggi dua meter dan
selebar 40 cm. Jika ditarik ke belakang, tradisi ini dulunya merupakan syarat yang harus
dipenuhi seorang laki-laki jika ingin ikut berperang melawan musuh.

Dulu, dikisahkan di pulau tersebut seringkali terjadi perang antar wilayah. Setiap wilayah
dipagari dengan bambu setinggi dua meter atau lebih sebagai pembatas wilayah. Pemuda
yang dapat melompati pagar bambu tersebut diperbolehkan untuk ikut berperang.
MEMBUNGKUKKAN BADAN

Kearifan lokal membungkukkan badan dapat kita temui di beberapa negara. Salah satunya di
negara kita, Indonesia. Kemudian ada Jepang dan Korea Selatan yang membudayakannya.
Namun demikian, cara dan arti sikap tersebut memiliki arti yang berbeda antara masing-masing
negara.

Di Indonesia, contohnya. Kearifan lokal ini cukup familiar dalam budaya Jawa seperti Jawa
Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Kearifan lokal di wilayah-wilayah tersebut disebut
dengan mlaku mbungkuk,  maksudnya berjalan dengan gestur tubuh sedikit membungkuk ketika
berjalan lewat di depan orang yang lebih tua.
Sikap dan perilaku tersebut sudah ada sejak zaman dulu. Maksud dari mlaku mbungkuk adalah
mengajarkan anak-anak tentang tata krama dan sopan santun kepada orang yang lebih tua
sehingga mereka memiliki rasa hormat.
Posisi badan saat melakukan mlaku mbungkuk adalah badan membungkuk ke bawah dengan
posisi satu tangan lurus ke bawah dan satu tangn lainnya ke belakang seakan memegang
pinggang (naun bukan berkacak pinggang). Pada umumnya, mlaku mbungkuk disertai dengan
kalimat “nuwun sewu, amit” yang berarti mohon ijin untuk lewat.
Sementara itu, salah satu kearifan lokal Jepang juga membungkukkan badan. Gestur ini disebut
dengan Ojigi. Budaya ini dilakukan orang Jepang dengan cara membungkukkan badan mereka
saat bertemu dengan orang lain. Badan yang dibungkukkan biasanya berada pada rentang 15-45
derajat kemiringan.
Cara ini berbeda dengan orang Indonesia yang memilih bersalaman atau berjabat tangan ketika
bertemu dengan orang lain. Bagi orang Jepang, kontak anggota tubuh dengan orang lain,
terutama dengan orang yang belum dikenal, akan dianggap tidak sopan.

Gerakan Ojigi dilakukan dengan banyak tujuan. Di antaranya adalah untuk mengucapkan salam


kenal, sambutan selamat datang, permintaan maaf, ungkapan rasa hormat, suasana formal,
ucapan terima kasih, atau ekspresi perasaan.

TE ARO NA WEAK LAKO


Kearifan lokal yang berasal dari tanah Papua ini merupakan tradisi yang diajarkan oleh
leluhur mereka untuk mencintai alam. Suku Amungme yang hidup di daerah Tembagapura,
menganggap tanah sebagai ibu yang memberi makan, mendidik, memelihara, serta
membesarkan bayi hingga lanjut usia sampai tiada. Bumi diciptakan dengan beragam
kelengkapan yang ada di dalamnya.

Para leluhur Papua mengajarkan generasi penerusnya untuk mengolah sumber daya alam
Papua dengan bijaksana. Mereka mengajarkan agar manusia mencintai alam sebagaimana
mereka mencintai diri sendiri. Mereka menganggap diri mereka adalah bagian dari alam.

SELAMATAN

Dalam tradisi Jawa, terdapat sebuah kearifan lokal yang dinamakan selametan. Acara ini
secara tradisional dilaksanakan dengan menggelar doa bersama yang dipanjatkan oleh
banyak orang dengan bentuk melingkar. Di tengahnya, terdapat makanan dalam bentuk
tumpeng atau bentuk lainnya dilengkapi dengan lauk pauk.

Doa tersebut ditujukan agar sang empunya hajat mendapatkan keselamatan. Setelah doa
bersama, makanan yang telah disediakan dimakan bersama. Kemudian sisanya dibagikan
kepada yang hadir dan tetangga sekitar.

Tujuan dilakukannya selametan ini agar orang yang menyelenggarakannya dilimpahi


keselamatan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Selametan dapat dipahami sebagai ritual untuk
menegaskan bahwa kita berada dalam kondisi yang selamat atau dicita-citakan. Selamet
dalam bahasa Jawa artinya keadaannya sudah pas. Dengan demikian, sang
empu selametan bersyukur atas keadaan saat ini.
Pada awalnya, budaya ini diyakini diturunkan sejak zaman kepercayaan animisme dan
dinamisme, kemudian disesuaikan dengan ajaran Hindu-Budha di zamannya, dan saat ini
doa-doa tersebut sering kali diisi dengan permohonan kepada Allah dan pujian kepada Nabi
Muhammad SAW.

Anda mungkin juga menyukai