Anda di halaman 1dari 41

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II
LANDASAN TEORI

A. TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi Tracheobronchial
Asal-usul trakea disebutkan berasal dari bagian inferior tulang rawan cricoid
setinggi vertebrae cervicalis enam atau tujuh. Trakea adalah saluran pernapasan
berbentuk pipa. Trakea memiliki cincin tulang rawan berbentuk huruf C. Trakea
terdiri dari tulang rawan dan otot serta dilapisi oleh pseudostratified columnar
cilliated epithelium. Sepertiga bagian trakea terletak di leher dan dua pertiga terletak
di mediastinum. Trakea terletak di tengah leher dan makin ke distal bergeser ke
sebelah kanan. Trakea masuk ke rongga mediastinum di belakang manubrium
sterni.17–21
Diameter eksternal trakea potongan koronal sekitar 2,3 sentimeter (cm) pada
laki-laki dan 2 cm pada perempuan. Diameter eksternal trakea potongan sagittal
sekitar 1,8 cm pada laki-laki dan 1,4 cm pada perempuan. Trakea memiliki panjang
rata-rata 11,8 cm dan ketebalan dinding sekitar 3 mm dengan dua cincin tulang rawan
per cm dari trakea sekitar 4 milimeter (mm). Trakea memanjang mulai dari batas
bawah laring setinggi vertebrae cervicalis enam sampai vertebrae thoracalis empat.
Trakea terbagi menjadi dua bronkus yaitu bronkus utama kanan dan kiri. Cincin
trakea paling bawah meluas ke inferior dan posterior di antara bronkus utama kanan
dan kiri. Cincin trakea paling bawah membentuk sekat yang lancip di sebelah dalam
yang disebut karina. Karina merupakan percabangan pertama dari saluran napas.
Karina berorientasi anteroposterior. Karina tampak sebagai septum tipis yang
membagi bronkus utama kanan dan kiri. Karina terletak setinggi manubriosternal
junction atau setinggi vertebrae cervicalis lima atau enam.17–21
Trakea sangat elastis. Panjang dan letak trakea berubah-ubah tergantung pada
posisi kepala dan leher. Lapisan tulang rawan trakea dibentuk oleh 16-20 tulang
rawan hialin berbentuk cincin tidak penuh atau terbuka di bagian posterior. Kedua
ujung posterior trakea dihubungkan oleh otot polos dan serat jaringan ikat elastis
yang mengandung kolagen. Jaringan ikat elastis di kedua ujung posterior trakea

5
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
6

disebut ligamen annularis. Ligamen annularis menghubungkan masing-masing


cincin tulang rawan sehingga memungkinkan terjadinya pemanjangan serta
pemendekan trakea saat menelan atau pergerakan leher lainnya. Tulang rawan,
ligamen annularis, dan otot trakea membentuk rangka trakea yang disebut sebagai
tunica fibromusculocartilaginea.17–21
Bronkus utama dan cabangnya membentuk gambaran seperti pohon yang
disebut bronchial tree. Bronkus utama kanan dan kiri disebut juga sebagai bronkus
ekstrapulmoner. Bronkus utama kanan lebih luas, pendek, dan lebih vertikal
dibanding bronkus utama kiri. Panjang bronkus utama kanan pada orang dewasa
adalah 2,5 cm. Bronkus utama kanan mempunyai 6-8 cincin tulang rawan. Panjang
bronkus utama kiri adalah 5 cm. Bronkus utama kiri mempunyai cincin tulang rawan
sebanyak 9-12 buah. Bronkus utama kanan membentuk sudut 25 derajat (°) ke kanan
dari garis tengah tubuh sedangkan bronkus utama kiri membentuk sudut 45° ke kiri
dari garis tengah tubuh. Bronkus utama kanan hampir membentuk garis lurus dengan
trakea sehingga benda asing eksogen yang masuk ke dalam bronkus akan lebih
mudah masuk ke dalam lumen bronkus utama kanan dibandingkan dengan bronkus
utama kiri.17–20,22
Bronkus utama terbagi menjadi cabang lebih kecil yang disebut bronkus
intrapulmoner. Bronkus utama terbagi menjadi bronkus sekunder atau bronkus
lobaris. Satu bronkus lobaris memasuki satu lobus paru. Paru kanan memiliki tiga
bronkus lobaris yang berasal dari bronkus utama kanan. Paru kiri memiliki dua
bronkus lobaris yang berasal dari bronkus utama kiri. Bronkus lobaris terbagi
menjadi bronkus tersier atau bronkus segmental. Pola percabangan bronkus tersier
berbeda pada setiap bagian paru. Bronkus tersier menyediakan udara bagi setiap
segmen bronkopulmoner.17–20,22
Segmen bronkopulmoner merupakan bagian paru yang dipisahkan dari
bagian paru lain oleh jaringan ikat. Paru kanan memiliki 10 segmen bronkopulmoner.
Paru kiri memiliki 10 segmen selama masa pertumbuhan. Jumlah segmen paru kiri
berkurang menjadi delapan atau sembilan karena adanya proses penyatuan. Anatomi
percabangan tracheobronchial terdapat pada gambar satu.17–21
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
7

Gambar 1. Anatomi percabangan tracheobronchial.


Dikutip dari (21)
Bronkus tersier dan segmen bronkopulmoner merupakan nama yang
diberikan oleh Jackson dan Huber. Penomoran bronkus tersier dan segmen
bronkopulmoner diberikan oleh nomor oleh Boyden. Nomenklatur Jackson-Huber
dan sistem penomoran Boyden mengenai segmen bronkopulmoner terdapat pada
tabel satu.17–20,22
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
8

Tabel 1. Nomenklatur Jackson-Huber dan sistem penomoran Boyden mengenai


segmen bronkopulmoner.
Nomenklatur Jackson-Huber Sistem penomoran Boyden
Bronkus kanan
1. Lobus superior
- Apikal B1
- Posterior B2
- Anterior B3
2. Lobus medius
- Lateral B4
- Medial B5
3. Lobus inferior
- Superior (apikal) B6
- Medial basal B7
- Anterior basal B8
- Lateral basal B9
- Posterior basal B10
Bronkus kiri
1. Lobus superior
a. Upper division
- Apikal posterior B1-2
- Anterior B3
b. Lingula
- Superior B4
- Inferior B5
2. Lobus inferior
- Apikal (superior) B6
- Antero medial B7/8
- Lateral basal B9
- Posterior basal B10
Dikutip dari (22)
Segmen bronkus yang berasal dari posisi paling proksimal atau segmen apikal
diberi label 1. Segmen bronkus distal diberi label 2, 3, dan seterusnya. Segmen
bronkus generasi ketiga diberi nama berdasarkan penomoran arabik seperti B1, B2,
B3, dan seterusnya. Segmen pulmonal diberi penomeran romawi yaitu I, II, III, dan
seterusnya. Subsegmen bronkus atau generasi keempat diberi penambahan label a, b,
c, dan seterusnya. Bronkus generasi kelima diberi penambahan label i jika terletak
anterior dan ii jika terletak posterior. Bronkus generasi keenam diberi tambahan label
alfa (α) atau beta (β). Pelabelan paru kiri subsegmen bronkus generasi keempat diberi
tanda searah dengan jarum jam sedangkan paru kanan berlawanan arah jarum jam.
Bronkus utama, bronkus lobaris, dan bronkus segmental berdasarkan nomenklatur
Jackson-Huber terdapat pada gambar dua.17–20,22
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
9

Gambar 2. Bronkus utama, bronkus lobaris, dan bronkus segmental berdasarkan


nomenklatur Jackson-Huber.
Dikutip dari (22)
Bronkus segmental terbagi menjadi beberapa bronkioli primer. Bronkioli
primer terbagi menjadi bronkioli terminal. Bronkioli terminal terbagi menjadi
bronkioli respiratori. Bronkioli respiratori terbagi menjadi 2-11 duktus alveolar.
Bronkioli secara fungsional masuk dalam sistem pernapasan sedangkan alveolus
masuk dalam sistem kardiovaskular. Variasi diameter bronkioli mengatur jumlah
tahanan aliran udara dan distribusi udara ke dalam paru. Aliran darah bronkus
disuplai oleh arteri dan vena bronchial. Persarafan bronkus berasal dari cabang
pulmoner vagus nerve.18–20

2. Bronkoskopi
Prosedur bronkoskopi mulai dikenal sejak tahun 1887 ketika Gustav Killian
melakukan pemeriksaan trakea dan bronkus pasien dengan laringoskop. Gustav
Killian dikenal sebagai bapak bronkoskopi modern yang bekerja sebagai dokter
spesialis telinga hidung tenggorok (THT) di Freiberg, Jerman. Gustav Killian
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
10

menggunakan laringoskop untuk mengambil tulang babi dan benda asing dari
bronkus sehingga dikenal istilah directe bronkoscopie.6,23,24
Pilihan bronkoskopi dahulu terbatas hanya bronkoskopi yang bersifat
nonfleksibel atau bronkoskopi yang bersifat kaku. Bronkoskopi mengalami
perkembangan pesat dengan tambahan fasilitas seperti endobronchial ultrasound
(EBUS) bronchoscopy dan electronavigation bronchoscopy (ENB). Bronkoskopi
memiliki dua tipe yaitu bronkoskopi kaku dan bronkoskopi fleksibel.6,23,24

3. Jenis, Indikasi, dan Kontraindikasi Bronkoskopi


Bronkoskopi adalah pemeriksaan endoskopi saluran napas yang digunakan
dalam prosedur diagnostik dan intervensi. Bronkoskopi digunakan untuk
mengevaluasi penyakit bronkopulmoner seperti benda asing yang menyumbat jalan
napas, tumor, infeksi, stenosis jalan napas, dan perdarahan. Endoskopi jalan napas
merupakan sebuah modalitas yang penting dalam penyakit jalan napas. 6,23
a. Bronkoskopi kaku
Bronkosopi kaku atau bronkoskopi ventilasi pertama kali dikembangkan
oleh Chevalier Jackson yang saat ini dikenal sebagai bapak
bronchoesophagology pada tahun 1890 di Amerika. Bronkoskopi kaku adalah
alat berbentuk tabung metal dengan ujung miring. Bronkoskopi kaku memiliki
port pada bagian sisi yang dapat digunakan untuk melakukan ventilasi kepada
pasien. Cahaya pada bronkoskopi kaku berasal dari cahaya pemandu yang ada
pada alat bronkoskopi atau melalui teleskop Hopkin.18,23,25,26
Manfaat utama bronkoskopi kaku adalah ukuran yang besar sehingga
dapat mengontrol jalan napas, perdarahan, dan ventilasi selama tindakan
bronkoskopi. Penetrasi sepertiga bagian distal bronkoskop pada jalan napas
memungkinkan ventilasi paru kolateral saat bronkoskop dimasukkan ke cabang
utama bronkus. Bronkoskopi kaku dapat digunakan pada kasus obstruksi jalan
napas akibat tumor melalui teknik applecoring. Kontrol perdarahan mudah
dilakukan dengan kompresi langsung pada daerah yang mengalami perdarahan.
Penggunaan bronkoskopi kaku sulit dilakukan pada pasien obesitas, pasien
dengan mulut berukuran kecil, dan pasien dengan kesulitan ekstensi leher.
Tindakan bronkoskopi kaku memerlukan ruang bronkoskopi khusus.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
11

Bronkoskopi kaku menggunakan anestesi umum dan pelumpuh otot selama


tindakan. Bronkoskop kaku diperlihatkan pada gambar tiga.23,25,26

Gambar 3. Bronkoskop kaku dengan alat tambahan.


Dikutip dari (26)
Indikasi bronkoskopi kaku meliputi indikasi diagnostik seperti
pengambilan biopsi jaringan lesi paru berukuran besar baik jinak maupun ganas
atau indikasi terapeutik. Indikasi terapeutik berupa pengambilan corpus alienum
bronkus, stenosis trakea atau stenosis bronkus, stabilisasi sebelum tindakan
bedah, tatalaksana hemoptisis masif, infiltrasi granulomatous, kompresi
ekstrinsik, perbaikan intralumen tracheobronchial, tatalaksana paliatif obstruksi
jalan napas sentral yang disebabkan oleh keganasan atau nonkeganasan, terapi
laser, biopsi, dan krioterapi.25,26
Bronkoskopi kaku secara umum dapat ditoleransi dengan baik.
Kontraindikasi relatif bronkoskopi kaku adalah pasien dengan koagulopati,
kebutuhan ventilasi dan oksigen yang besar, obstruksi trakea serta
trombositopenia. Kontraindikasi absolut bronkoskopi kaku meliputi pasien
dengan penyakit komorbiditas yang dapat meningkatkan risiko kematian seperti
status kardiopulmoner yang tidak stabil, aritmia jantung, dan hipoksia berat
irreversible. Kontraindikasi lain bronkoskopi kaku berkaitan dengan anatomi
leher, rahang, dan tulang belakang seperti metastasis kanker pada vertebrae
cervical, trauma oral, trauma maxillofacial, ankylosis cervical, glotitis anterior,
cedera tulang cervical, micrognathia, atau kyphoscoliosis berat.25,26
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
12

b. Bronkoskopi fleksibel
Bronkoskopi fleksibel atau fiberoptic bronchoscopy (FOB)
dikembangkan oleh Shigeto Ikeda pada tahun 1962. Bronkoskopi fleksibel
memiliki sifat yang lentur sehingga pasien merasa lebih nyaman jika
dibandingkan dengan penggunaan bronkoskopi kaku. Bronkoskopi fleksibel
memberikan kemudahan dalam tindakan. Bronkoskopi fleksibel dapat dilakukan
secara aman dengan kondisi pasien sadar dalam sedasi ringan hingga sedang.
Fleksibilitas bronkoskop memungkinkan ahli bronkoskopi untuk melihat
bronkus subsegmental. Ahli bronkoskopi dapat langsung menilai detail mukosa
seperti warna dan vaskularisasi. Kelemahan bronkoskopi fleksibel adalah
patensi jalan napas selama tindakan. Bronkoskopi fleksibel tidak dapat
digunakan pada kasus obstruksi jalan napas total. Bronkoskop fleksibel terdapat
pada gambar empat.25,26

Gambar 4. Bronkoskop fleksibel.


Keterangan: (a) Cross-section bronkoskop fleksibel. Wc= work
channel; o= optic; L= light. (b) Ultrathin videobronchoscope. (c)
Perbandingan diameter: ultrathin videobronchoscope (1.6 mm),
diagnostic videobronchoscope (5.5 mm) and therapeutic
videobronchoscope (6.2 mm). (d) Forsep biopsi.
Dikutip dari (26)
Bronkoskopi fleksibel digunakan sebagai alat diagnostik yang mampu
menyediakan jaringan untuk keperluan biopsi dan penentuan tipe histologis
tumor. Bronkoskopi fleksibel berperan dalam penentuan stadium penyakit dan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
13

dapat digunakan sebagai modalitas terapeutik. Bronkoskopi fleksibel nyaman


untuk dilakukan, aman, dan dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien. 6,25,26
Indikasi bronkoskopi fleksibel meliputi aspirasi sisa sekresi, terapi
paliatif kanker paru, pengobatan kanker paru awal, penyakit paru interstisial,
infeksi, batuk kronis, hemoptisis, bilasan bronkus, pemasangan stent, terapi
laser, bronchoalveolar lavage (BAL), sikatan bronkus, endobronchial biopsy
(EBB), transbronchial biopsy (TBB), mediastinal transbronchial needle
aspiration (TBNA), TBNA perifer, dan EBUS. Bronkoskopi fleksibel juga dapat
digunakan untuk prosedur terapi seperti dilatasi balon, krioterapi, ablasi laser
endobronchial, electrocauter, terapi fotodinamik, brachytherapy, dan
pemasangan stent. Indikasi bronkoskopi fleksibel dapat dilihat pada tabel
dua.6,25–27
Tabel 2. Indikasi bronkoskopi fleksibel.
Indikasi Diagnostik Indikasi Terapeutik
Evaluasi gejala Impaksi mukus
Batuk persisten Pengambilan benda asing
Sesak napas kronis Pengambilan bekuan darah
Batuk darah Pemasangan pipa endotracheal
Serak pada pasien dengan difficult
Stridor airway
Evaluasi temuan klinis Ablasi tumor seperti
Curiga keganasan electrocautery, krioterapi, laser,
Curiga obstruksi bronchial APC, PDT
Pneumonia yang tidak diketahui penyebabnya Dilatasi balon
atau tidak respons dengan terapi Airway stenting
Curiga tuberkulosis Pemasangan katup jalan napas
Interstitial lung disease pada kebocoran udara persisten
Hilar dan atau mediastinal lymphadenopathy Bronchoscopic lung volume
Bronchiectasis reduction
Cedera inhalasi Bronchial thermoplasty
Trauma dengan kecurigaan cedera jalan napas Terapi bronchopleural fistula
Cedera jalan napas karena radiasi
Curiga fistula bronchopleural
Obstruksi jalan napas dinamik seperti TBM,
EDAC, RP
Curiga penolakan atau infeksi transplantasi
paru
Manajemen jalan napas seperti evaluasi
difficult airway, obstruksi artificial airway
Deteksi dini kanker paru
Keterangan: TBM= tracheobronchomalacia; EDAC= excessive dynamic airway
collapse; RP= relapsing polychondritis; APC= argon plasma
coagulation; PDT= photodynamic therapy.
Dikutip dari (27)
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
14

Bronkoskopi fleksibel merupakan prosedur yang aman untuk dilakukan.


Bronkoskopi fleksibel memiliki kontraindikasi yang sebagian besar merupakan
kontraindikasi relatif. Kontraindikasi absolut bronkoskopi fleksibel adalah tidak
adanya informed consent, tidak adanya ahli bronkoskopi yang berpengalaman
untuk melakukan atau mengawasi prosedur dengan cermat, kurangnya fasilitas
dan petugas yang memadai untuk merawat kondisi darurat yang dapat terjadi
seperti henti jantung paru, pneumothorax, atau perdarahan, serta
ketidakmampuan untuk memberikan oksigen yang adekuat kepada pasien
selama prosedur. Kondisi yang dapat meningkatkan komplikasi bronkoskopi
fleksibel yaitu koagulopati yang tidak terkoreksi atau diatesis perdarahan, severe
refractory hypoxemia, dan status hemodinamika yang tidak stabil.
Kontraindikasi relatif bronkoskopi fleksibel yaitu pasien kurang kooperatif,
recent myocardial infarct, unstable angina, hipoksemia sedang-berat,
hiperkapnia, uremia, hipertensi pulmoner, abses paru, sindrom vena cava
superior, debility, malnutrisi, dan peningkatan tekanan intrakranial.
Kontraindikasi bronkoskopi fleksibel terdapat pada tabel tiga. 22,26,28
Tabel 3. Kontraindikasi bronkoskopi fleksibel.
Kontraindikasi absolut Kontraindikasi relatif
Tidak adanya informed consent Pasien kurang kooperatif
Profound refractrory hypoxemia Recent myocardial infarct atau unstable
Diatesis perdarahan berat yang tidak angina
terkoreksi sebelum prosedur Insufficiency atau gagal napas
Malignant cardiac arrhytmia Hipertensi yang tidak terkontrol
Unstable cardiac arrhytmia
Uremia
Dikutip dari (28)

4. Komplikasi Bronkoskopi
Data mengenai komplikasi bronkoskopi sebagian besar didapatkan dari studi
retrospektif. Komplikasi bronkoskopi disebabkan oleh anestesi yang tidak memadai,
pasien kurang kooperatif, operator yang kurang terampil, dan insersi bronkoskop
terlalu keras hingga merangsang saluran vokal atau bronkus. Ahli bronkoskopi harus
memasukkan bronkoskop dengan lembut untuk menghindari komplikasi
bronkoskopi terutama pada pasien dengan asma, peradangan akut, atau
tracheomalacia. Bronkoskopi dapat menyebabkan hiperreaktivitas jalan napas
sehingga dapat menyebabkan kejang. Ahli bronkoskopi perlu menjelaskan prosedur
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
15

dengan baik kepada pasien untuk menghilangkan kecemasan pasien. Komplikasi


bronkoskopi antara lain kematian, perdarahan, pneumothorax, bronchospasm,
hipoksemia, ketidakstabilan hemodinamika seperti bradikardia, takikardia, aritmia,
kondisi akibat refleks vagal, laryngospasm, peningkatan resistensi jalan napas,
eksaserbasi penyakit jalan napas, epistaksis, dan hemoptisis. Komplikasi prosedur
bronkoskopi dapat dilihat pada tabel empat.29–32
Tabel 4. Komplikasi prosedur bronkoskopi.
Jenis komplikasi Keterangan
Mekanik Trauma Oropharyngeal
Nasopharyngeal
Pita suara
Bronchospasm
Laryngospasm
Atelectasis
Peningkatan tekanan jalan napas
Perdarahan
Infeksi
Sistemik Komplikasi terkait prosedur Vasovagal syncope
Mual muntah
Aspirasi
Hipoksemia
Hypercarbia
Komplikasi terkait penggunaan Sedasi
obat Nonsedasi
Adanya komorbid Disfungsi miokardia/aritmia
Pulmonary insufficiency
Peningkatan tekanan
intrakranial
Kematian
Dikutip dari (29)
Bronkoskopi merupakan prosedur yang dapat ditoleransi dengan baik.
Bronkoskopi dapat dilakukan dengan aman pada pasien rawat jalan. Komplikasi
serius sangat jarang terjadi. Faktor yang memengaruhi risiko komplikasi yaitu
karakteristik pasien, praktik sedasi, dan prosedur pengambilan sampel. Facciolongo
et al., (2009)dikutip dari 28 menyatakan bahwa komplikasi serius terjadi pada 1,08 persen
(%) dari semua prosedur, dengan mortalitas 0,02%. Hehn et al., (2006)dikutip dari 28
melaporkan komplikasi bronkoskopi fleksibel sebanyak 4,3% dari 1358 prosedur.
Komplikasi nonpernapasan sebanyak 2,8% dengan mortalitas 0,1%. Komplikasi
bronkoskopi berupa takikardia, bradikardia, perdarahan mayor, perdarahan minor,
bronchospasm, laryngospasm, batuk, sesak napas, sakit tenggorokan, penurunan
saturasi, pneumothorax, dan edema paru. Komplikasi perdarahan sebanyak 0,19%
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
16

dari prosedur bronkoskopi fleksibel. Visual penilaian volume perdarahan bersama


dengan intervensi yang diperlukan untuk kontrol hemostasis perlu dipertimbangkan
untuk penilaian tingkat keparahan perdarahan yang akurat setelah bronkoskopi.28,30
Pengambilan sampel diagnostik dapat menyebabkan komplikasi langsung
seperti perdarahan intrabronchial, bronchospasm, dan pneumothorax. Pasien
merasakan ketidaknyamanan setelah prosedur seperti demam, nyeri tenggorokan,
batuk, atau reaksi terhadap obat yang digunakan. Peristiwa yang terjadi setelah
periode observasi dapat tidak terdeteksi oleh ahli bronkoskopi. Gambaran komplikasi
dan ketidaknyamanan sangat penting diketahui oleh ahli bronkoskopi dan pasien.28–
30

a. Kematian
Bronkoskopi merupakan prosedur yang sangat aman. The United
Kingdom Survey tahun 2002dikutip dari 26
melaporkan angka kematian sebesar
0,0045% dari 60.100 prosedur bronkoskopi. Penelitian oleh Grendelmeier et al.,
(2014) melaporkan angka kematian 0% pada prosedur bronkoskopi. Kematian
akibat bronkoskopi dapat terjadi akibat obat premedikasi berlebih, henti napas
karena perdarahan, spasme laring atau bronkus, dan henti jantung karena
myocardial infarction akut.26,30
b. Perdarahan
Tingkat perdarahan pada bronkoskopi bervariasi antara 2,5-89,9% pada
berbagai penelitian prospektif. Derajat perdarahan berdasarkan volume dan
intervensi yang dibutuhkan dinilai pada beberapa penelitian. Penelitian oleh Carr
et al., (2012)dikutip dari 26 mengelompokkan derajat perdarahan menjadi minimal
bila perdarahan kurang dari (<) 5 mililiter (ml), ringan bila perdarahan 5-20 ml,
sedang bila perdarahan 20-100 mililiter, dan berat bila perdarahan lebih dari (>)
100 ml. Pasien mengalami 89,7% perdarahan minimal, 8,1% perdarahan ringan,
dan 2,1% perdarahan sedang. Tidak ada pasien yang mengalami pendarahan
berat. Pasien dengan sindrom vena cava superior, tindakan biopsi, dan aspirasi
jarum meningkatkan risiko perdarahan. Derajat perdarahan selama prosedur
bronkoskopi berdasarkan Indian Chest Society terdapat pada tabel lima.28,30
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
17

Tabel 5. Klasifikasi derajat perdarahan selama bronkoskopi.


Perdarahan Deskripsi
Tanpa perdarahan Hanya jejak darah, tanpa memerlukan tindakan suction.
Perdarahan berhenti spontan.
Perdarahan ringan Memerlukan tindakan suction berulang.
Perdarahan sedang Memerlukan penjepit bronkoskop ke segmen perdarahan
untuk menghentikan perdarahan.
Membutuhkan adrenalin intrabronchial atau larutan saline
dingin untuk hemostasis.
Perdarahan berat Membutuhkan pemasangan kateter, bronchial blocker atau
fibrin untuk hemostasis.
Memerlukan resusitasi cairan, transfusi darah, perawatan
intensif, ventilasi mekanis, atau meninggal.
Dikutip dari (28)
c. Pneumothorax
Pneumothorax sebagai komplikasi bronkoskopi berkisar antara 0-4%.
Prosedur TBB meningkatkan risiko terjadinya pneumothorax. Penelitian oleh
Jain et al., (2016)dikutip dari 30 melaporkan kejadian pneumothorax akibat tindakan
bronkoskopi sekitar 4%. Pemasangan chest tube untuk mengatasi pneumothorax
diperlukan pada 0,97% prosedur bronkoskopi yang dilakukan tindakan
transbronchial lung biopsy (TBLB). Pneumothorax adalah komplikasi yang
terjadi selama atau segera setelah bronkoskopi terutama jika dilakukan TBB.29,30
Ketersediaan alat chest tube disarankan di ruang bronkoskopi untuk
mengantisipasi kejadian pneumothorax. Penurunan yang signifikan dalam
tingkat pneumothorax telah ditemukan saat TBB dilakukan dengan fluoroskopi.
Penelitian Jacomelli et al., (2013) melaporkan angka kejadian pneumothorax
sebesar 2% setelah prosedur bronkoskopi. Smyth et al., (2002) menemukan
penurunan signifikan sebesar 2,68% dalam frekuensi pneumothorax yang
membutuhkan pemasangan chest tube bila fluoroskopi digunakan untuk
tindakan TBLB.26,30,32
d. Bronchospasm
Bronchospasm pada bronkoskopi terjadi antara 0-12,3% prosedur. Pasien
dengan asma berisiko lebih tinggi untuk terjadi spasme laring dan bronkus.
Jacomelli et al., (2013) melaporkan kejadian bronchospasm sebanyak 0,8%.
Individu dengan risiko tinggi mengalami bronchospasm selama atau segera
setelah bronkoskopi. Beta 2 agonist dan corticosteroid IV dapat diberikan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
18

sebelum prosedur. Larutan saline 0,9% pada suhu 37° Celsius digunakan untuk
mencegah bronchospasm.26,30,32
e. Hipoksemia
Hipoksemia didenifisikan sebagai penurunan tekanan oksigen
parsial/partial pressure of oxygen (PO2) sampai < 60 millimeter hydrargyrum
(mmHg). Penurunan saturasi yaitu saturasi oksigen kurang dari sama dengan (≤)
90%. Kejadian penurunan saturasi pada bronkoskopi antara 0,7-76,3%. Pasien
dipantau dengan oksimetripulsa selama tindakan dan diberikan suplementasi
oksigen. Hipoksemia berhubungan dengan fungsi paru, sedasi, dan tindakan
pengambilan sampel. Saturasi oksigen dapat berkurang 40% selama
bronkoskopi ketika dilakukan suction.26,30,32
Penurunan saturasi bersifat sementara namun efeknya dapat bertahan
selama jangka waktu berjam-jam setelah prosedur berakhir terutama bila
prosedur BAL dilakukan. Penurunan PO2 harus dicegah dengan pemberian
oksigen melalui nasal cannula. Sedasi, penurunan cadangan pernapasan,
penurunan kaliber jalan napas, suction yang berlebihan, bronchial washing dan
BAL merupakan penyebab hipoksemia pada bronkoskopi.26,30,32
f. Variasi hemodinamika
Hipotensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik < 90 mmHg yang
membutuhkan intervensi. Kejadian hipotensi pada bronkoskopi berkisar antara
2,9-28,9% pada pasien yang diberi obat propofol dan dexmedetomidine. Pasien
yang membutuhkan resusitasi cairan karena hipotensi sekitar 1-16%. Kejadian
hipertensi dilaporkan sering terjadi pada pasien saat akan dilakukan prosedur
bronkoskopi. Kejadian bradikardia yaitu denyut jantung < 60 kali per menit
(x/menit), takikardia dengan denyut jantung > 100x/menit, takikardia dengan
denyut jantung > 130x/menit, dan aritmia dilaporkan memiliki tingkat kejadian
masing-masing sebesar 0%, 25,7%, 8,0%, dan 10%.26,30,32
g. Demam dan infeksi
Krause et al., (2016)dikutip dari 30
melaporkan kejadian demam setelah
tindakan bronkoskopi. Demam didefinisikan sebagai kenaikan suhu tubuh
sampai > 38° Celsius. Suhu tubuh aksila diukur pagi hari sebelum bronkoskopi.
Suhu tubuh aksila juga diukur pada 3, 6, 12, dan 24 jam setelah bronkoskopi.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
19

Rentang kejadian demam adalah 2-33%. Bakteremia setelah bronkoskopi dapat


terjadi pada pasien yang sebelumnya tidak ada infeksi paru. Gejala flu-like
symptoms dengan demam dapat membaik dengan obat antiinflamasi nonsteroid
(OAINS) dalam 24 jam.26,30,32
h. Batuk
Batuk merupakan efek samping, rasa ketidaknyamanan, atau komplikasi
bronkoskopi. Batuk setelah prosedur bronkoskopi terjadi sekitar 10,8-55,7%.
Batuk adalah refleks fisiologis sebagai mekanisme pertahanan tubuh untuk
mengeluarkan benda asing dari saluran pernapasan. Aktivasi batuk di batang
otak menyebabkan mekanisme batuk, bronkokonstriksi otot polos bronchial, dan
sekresi mukus berlebihan dari kelenjar submukosa jalan napas. Kontrol batuk
sangat penting untuk kualitas bronkoskopi karena memudahkan visualisasi
bronkus dan mendapatkan sampel yang baik. Goudra et al., (2014)dikutip dari 29
melaporkan bahwa penggunaan opioid dapat menurunkan risiko batuk pada
bronkoskopi.26,29,30,32
i. Gejala dan tanda pernapasan lain
Gejala pernapasan selain batuk dan bronchospasm pada prosedur
bronkoskopi adalah sesak napas. Kejadian sesak napas pada bronkoskopi
berkisar antara 3,5-5,7%. Sesak napas terjadi saat alat bronkoskopi masuk
melalui hidung dan mulut.26,30,32
j. Ketidaknyamanan dan nyeri
Bronkoskopi dapat menyebabkan keluhan disfagia, nyeri pada hidung,
dan nyeri tenggorokan pada pasien. Delapan penelitian prospektif dan 12
penelitian obat melaporkan kepuasan pasien yang berhubungan dengan
bronkoskopi. Numeric rating scales (NRS), verbal analogue scale, dan visual
analogue scale (VAS) adalah alat penilaian yang paling umum untuk menilai
ketidaknyamanan atau nyeri pada bronkoskopi. Pasien juga dinilai tingkat
kepuasan prosedur bronkoskopi. Tingkat kepuasan dinilai berdasarkan
kesediaan untuk mengulang prosedur kembali. Enam penelitian melaporkan
tingkat kepuasan berkisar antara 55,4-96,3%.26,30,32
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
20

5. Premedikasi Bronkoskopi
Bronkoskopi fleksibel dan evolusi bronkoskopi intervensi saat ini
mempunyai prosedur yang lebih kompleks dengan durasi yang lebih panjang. Sedasi
sebagai tambahan anestesi topikal semakin banyak digunakan. Penggunaan obat
premedikasi dan obat sedasi pada bronkoskopi semakin bervariasi. Pedoman yang
lebih spesifik telah diterbitkan oleh Society of Respiratory Specialists sebagai
konsensus yang dimuat dalam American College of Chest Physicians. Perdebatan
terkait jenis sedasi dan obat premedikasi yang diberikan ahli bronkoskopi versus
dokter anestesi saat ini masih ada di mana semakin banyak bukti yang menunjukkan
bahwa pemberian sedasi oleh dokter nonanestesi tergolong aman dan lebih hemat
biaya.26,28,33
a. Obat antikolinergik
Reseptor asetilkolin atau cholinoreceptor yang berperan pada pernapasan
yaitu reseptor muscarinic dan reseptor nicotinic. Reseptor muscarinic dan
nicotinic dibedakan berdasarkan afinitasnya terhadap zat yang menyerupai kerja
asetilkolin. Kerja asetilkolin dapat dihambat oleh suatu agen. Agen penghambat
kerja asetilkolin disebut sebagai antagonis cholinoreceptor atau secara umum
disebut sebagai antikolinergik.34,35
Sistem saraf parasimpatetik adalah regulator utama tonus bronchial pada
saluran napas normal yang juga mengatur sekresi mukus jalan napas. Asetilkolin
diproduksi oleh serat preganglionic pada sistem saraf simpatetik dan serat pre
dan postganglionic pada saraf parasimpatetik sistem saraf otonom. Asetilkolin
juga dilepaskan pada sel nonsaraf dan berkontribusi sebagai agen proinflamasi.
Asetilkolin bekerja merangsang reseptor M pada jaringan paru dan bekerja
langsung pada reseptor M dinding bronkus yang menyebabkan kontraksi otot
jalan napas serta sekresi mukus. Aktivasi reseptor M menghasilkan kenaikan
cyclic guanosine monophosphate (cGMP) dan puncak amplitudo sinyal sehingga
menyebabkan peningkatan tonus bronchomotor.35–38
Reseptor M yang ada di paru terbagi tiga jenis yaitu M1, M2, dan M3.
Bronkokonstriksi terjadi saat reseptor M1 dan M3 terstimulasi. Pencegahan
bronkokonstriksi dikendalikan oleh stimulasi reseptor M2. Reseptor M2 yang
terstimulasi menyebabkan penghambatan pelepasan asetilkolin pada
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
21

postganglionic saraf parasimpatetik. Reseptor M1 berada di dinding alveolar dan


ganglia parasimpatetik. Blokade M1 mengurangi respons bronkokonstriksi.
Reseptor M2 terletak pada ujung saraf cholinergic postganglionic dan
autoreseptor. Laju pelepasan dan transportasi asetilkolin yang meningkat
mendukung terjadinya bronkokonstriksi. Reseptor M2 mengalami disfungsional
menyebabkan hilangnya mekanisme servo control vagal sehingga terjadi
konstriksi saluran napas. Reseptor M3 terletak di otot polos saluran napas dan
kelenjar submukosa. Reseptor M3 memediasi sekresi mukus yang distimulasi
oleh asetilkolin. Serabut cholinergic di paru banyak terdapat di daerah hilus
sampai perifer paru. Reseptor cholinergic muscarinic juga menurunkan
densitasnya di saluran distal terutama reseptor M3. Subtipe reseptor muscarinic
ditunjukkan pada gambar lima.35,36

Gambar 5. Subtipe reseptor muscarinic.


Keterangan: ACh= acetylcholine; M1= muscarinic 1; M2=
muscarinic 2; M3= muscarinic 3.
Dikutip dari (36)
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
22

Antikolinergik bekerja dengan cara menghambat aktivitas muscarinic


asetilkolin sehingga menghambat kontraksi otot polos bronchial serta sekresi
kelenjar saliva dan kelenjar bronkus. Obat antikolinergik merangsang
bronkodilatasi. Obat antikolinergik juga menghambat produksi sekresi
nasofaring dan oropharyngeal. Obat antikolinergik seperti atropin,
glycopyrrolate, dan ipratropium bromide banyak digunakan karena efek
simpatiknya yang dapat mencegah reaksi vasovagal seperti bradikardia,
mengurangi batuk, dan sekresi saluran napas yang dapat meningkatkan toleransi
prosedur dan visualisasi jalan napas. Obat antikolinergik di masa lalu digunakan
sebagai praktik standar oleh banyak ahli bronkoskopi.33,36,39
Penggunaan rasional agen antikolinergik atau secara spesifik disebut
agen antimuscarinic pada asma berdasarkan peran penting reseptor M dalam
mengatasi tanda utama asma yaitu bronkokonstriksi, sekresi mukus, dan
peradangan jalan napas. Obat antimuscarinic yang ideal akan menghambat
reseptor M1 M3 dan sebagian reseptor M2. Kerja primer obat antikolinergik
menghambat tonus otot polos jalan napas yang dimediasi vagal sehingga terjadi
bronkodilatasi. Efek bronkodilatasi tidak langsung menyelesaikan peradangan
kronis karena interaksi peradangan kronis dan reseptor M di paru begitu
kompleks.33,36,39,40
Cowl et al., (2000)dikutip dari 33
dan Malik et al., (2009)dikutip dari 33

membandingkan atropin intramuskuler (IM) dan glycopyrrolate dengan plasebo.


Cowl et al., (2000)dikutip dari 33 tidak menemukan manfaat yang signifikan terkait
penggunaan obat antikolinergik dalam mengurangi sekresi, batuk, dan
peningkatan kenyamanan pasien dibandingkan dengan plasebo. Malik et al.,
(2009)dikutip dari 33
melaporkan adanya pengurangan pada sekresi jalan napas
namun tidak menemukan adanya manfaat tambahan terkait kenyamanan pasien,
penurunan saturasi oksigen, dan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan
prosedur bronkoskopi. Malik et al., (2009)dikutip dari 33
menemukan fluktuasi
hemodinamika yang lebih besar serta peningkatan tekanan darah dan denyut nadi
dengan penggunaan atropin. Agen antikolinergik, dosis sediaan, dan preparat
obat yang tersedia saat ini dapat dilihat pada tabel enam.33,39,40
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
23

Tabel 6. Agen antikolinergik, dosis sediaan, dan preparat obat.


Obat Dosis (dosis setara) Preparat Keterangan
SAMA
Ipratropium 0,5 mg/3 ml Inhalasi/nebulizer Berbagai
bromide generik
Ipratropium 0,021 mg/inhalasi MDI Atrovent HFA,
bromide Midatro
LAMA
Tiotropium 0,018 mg/inhalasi Bubuk kering Spiriva
bromide Handihaler
Aclidium bromide Tudorza
Pressair
Kombinasi bronkodilator (SABA + SAMA)
Albuterol sulfat + 2,5 mg + 0,5 mg/3 Inhalasi/nebulizer Duoneb
Ipratropium ml
bromide
Albuterol sulfat + 2,5 mg + 0,5 mg/3 Inhalasi/nebulizer Berbagai
Ipratropium ml generik
bromide
Albuterol sulfat + 0,1 mg + 0,03 SDM Combivent
Ipratropium mg/inhalasi Respimat
bromide
Keterangan: SAMA= short-acting muscarinic antagonist; LAMA= long-acting
muscarinic antagonist; SABA= short-acting beta-agonist; 35 mg=
miligram; ml= mililiter; MDI= metered-dose inhaler; SDM=
spring driven mist, HFA= hydrofluoroalkane.
Dikutip dari (40)

b. Clonidine
Clonidine merupakan obat alpha (α)-2-adrenergik agonist yang bekerja
sentral. Clonidine mempunyai efek sympatholytic pada sistem kardiovaskular
dapat mengurangi kejadian aritmia dan myocardial infarction selama prosedur
bronkoskopi. Bronkoskopi dikaitkan dengan takikardia dan hipertensi. Matot
dan Kramer (1997)dikutip dari 33
menemukan bahwa clonidine oral menurunkan
respons hemodinamika terhadap bronkoskopi fleksibel. Dosis clonidine yang
lebih tinggi sebesar 4-4,5 mikrogram per kilogram berat badan (μg/kgBB)
menyebabkan terjadinya hipotensi. Penelitian De Padua et al., (2004)dikutip dari 33
melaporkan efek menguntungkan clonidine intravena pada tekanan darah,
denyut jantung, dan penurunan frekuensi aritmia tetapi tidak menunjukkan
adanya peningkatan kenyamanan pasien. Clonidine kurang disukai karena efek
sedatif yang berkepanjangan setelah pemberian oral, adanya rebound hipertensi
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
24

yang terkadang muncul setelah penghentian obat, dan kurangnya penelitian


terkontrol secara acak berskala besar.33,39
c. Labetalol
Labetalol adalah α1 dan β1/β2-adrenergic antagonist yang mempunyai
kemampuan dalam mengurangi resistensi pembuluh darah perifer dan tekanan
darah arteri tanpa menyebabkan refleks takikardia. Fox et al., (2008)dikutip dari 33
melakukan penelitian terkontrol acak menggunakan labetalol intravena yang
dibandingkan dengan plasebo. Penelitian Fox et al., (2008)dikutip dari 33

menggunakan midazolam-alfentanil sebagai sedasi. Efikasi pemberian labetalol


tidak ditemukan karena pasien yang diberikan sedasi dengan midazolam-
alfentanil mengalami pelemahan respons stres simpatik secara adekuat.33,39
d. Dextromethorphan
Dextromethorphan adalah N-methyl-d-aspartate (NMDA) receptor
antagonist nonkompetitif dengan sifat antitusif. Schwarz et al., (2007)dikutip dari 33
menggunakan dextromethorphan pada bronkoskopi dengan sedasi midazolam.
Dextromethorphan dosis 90 miligram (mg) menurunkan batuk pada dosis
lignocaine dan midazolam yang lebih rendah dengan hasil analgesia yang lebih
baik serta kenyamanan pasien yang lebih tinggi.33,39
e. Fenoterol
Fenoterol adalah obat inhalasi β2 agonist kerja pendek. Vesco et al.,
(1988)dikutip dari 33 menggunakan fenoterol sebagai premedikasi tambahan atropin
IM dan hydroxyzine dalam sebuah penelitian terkontrol acak berukuran kecil.
Fenoterol memiliki efek antitusif yang signifikan dan menurunkan dosis
lignocaine dibandingkan atropin.33,39
f. Kodein fosfat
Kodein fosfat adalah opiate dengan sifat analgesik dan antitusif.
Tsunezuka et al., (1999)dikutip dari 33
meneliti kodein fosfat sebagai tambahan
untuk sedasi dengan midazolam pada prosedur bronkoskopi. Tsunezuka et al.,
(1999)dikutip dari 33
melaporkan bahwa penambahan kodein fosfat 0,4 mg/kgBB
secara oral 60 menit sebelum prosedur menurunkan dosis anestesi topikal dan
kejadian penurunan saturasi oksigen dibandingkan dengan plasebo. Kodein
dikonversi oleh cytochrome P450 2D6 (CYP2D6) menjadi morfin. Polimorfisme
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
25

genetik CYP2D6 mengubah konversi obat. Polimorfisme genetik CYP2D6


menyebabkan penurunan efek pada pasien dengan kecepatan metabolisme obat
yang lambat dan peningkatan efek serta komplikasi pada pasien dengan
metabolisme obat ultra cepat. Penggunaan kodein fosfat dalam bronkoskopi
telah digantikan oleh opiate dengan durasi kerja yang lebih pendek.33,39
g. Benzodiazepine
Benzodiazepine bekerja melalui potensiasi neurotransmiter inhibitor
sentral. Kelas obat benzodiazepine disukai dalam prosedur bronkoskopi karena
memiliki sifat ansiolitik, hipnotis, pelemas otot, amnesia anterograde, dan agen
reversal. Obat yang termasuk golongan benzodiazepine yaitu midazolam,
diazepam, dan lorazepam. Midazolam merupakan obat golongan benzodiazepine
yang paling disukai karena onset dan durasi kerjanya yang cepat serta waktu
paruh yang singkat. Midazolam memiliki sifat yang lebih baik dan digunakan
sebagai sedasi intraprosedural. Lorazepam dan temazepam meningkatkan
kenyamanan dan toleransi pasien untuk menjalani prosedur bronkoskopi
ulang.33,39
h. Propofol
Propofol meningkatkan persepsi pasien terkait sedasi, ansiolisis,
toleransi prosedur, penurunan batuk, dan sensasi asphyxiation secara
keseluruhan. Propofol menjadi semakin umum digunakan dalam bronkoskopi
karena memiliki sifat amnestic. Propofol memiliki onset dan waktu pemulihan
yang lebih cepat dibandingkan agen lain seperti midazolam. Propofol diberikan
sebagai bolus atau infus berkelanjutan dengan profil efek samping yang sama.
Satu penelitian acak menunjukkan dosis yang lebih tinggi dan waktu prosedur
yang lebih lama pada pemberian dengan infus. Penggunaan propofol sebagai
monoterapi untuk sedasi tidak memberikan efek analgesia sehingga propofol
umumnya dikombinasikan dengan agen opioid.33,39
Propofol telah dibandingkan dengan regimen lain seperti midazolam
saja, midazolam dan hydrocodone, serta ordiazepam dan fentanyl. Satu
penelitian menemukan peningkatan toleransi pasien kelompok propofol tetapi
tidak ditemukan adanya perbedaan signifikan dalam hal sedasi, frekuensi batuk,
toleransi keseluruhan, dan komplikasi.33,39
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
26

Penggunaan propofol mengharuskan pemantauan pasien secara terus


menerus. Propofol memiliki jendela terapi yang relatif sempit antara anestesi
moderat dan umum. Propofol tidak memiliki agen reversal. Penggunaan
propofol hanya boleh digunakan oleh mereka yang memiliki keterampilan
pengelolaan jalan napas lanjut.33,39
i. Fospropofol
Fospropofol adalah prodrug propofol. Fospropofol memiliki waktu
paruh lebih pendek tetapi memiliki onset dan durasi aksi yang lebih panjang
dibandingkan propofol. Fospropofol mencapai kadar puncak yang lebih rendah
dan lebih dapat diprediksi ketika diberikan secara intravena sehingga
memudahkan titrasi dan dapat diandalkan pada penggunaan untuk sedasi sedang.
Fospropofol dikaitkan dengan parestesia dan pruritus. Fospropofol
dimetabolisme secara langsung menjadi propofol dalam darah. Fospropofol
hanya boleh digunakan dalam pemantauan dokter anestesi atau dokter paru
terlatih.33,39
j. Ketamin
Ketamin merupakan NMDA receptor agonist nonkompetitif dan partial
mu (µ) agonist. Penggunaan ketamin sebagai obat sedasi memberikan efek
anestesi disosiatif. Ketamin tidak secara signifikan memengaruhi ventilasi bila
digunakan sebagai agen tunggal. Ketamin memiliki sifat analgesik dan
bronkodilator tetapi meningkatkan sekresi jalan napas, saraf simpatetik, dan
delirium.33,39
Hwang et al., (2005)dikutip dari 33
membandingkan kombinasi anestesi
propofol-alfentanil dengan propofol-ketamin. Hwang et al., (2005)dikutip dari 33

menemukan keunggulan dalam kelompok ketamin sehubungan dengan kepuasan


pasien, stabilitas hemodinamika, dan peningkatan amnesia pasca prosedur. Efek
samping yang paling sering dijumpai pada kelompok ketamin adalah delirium
dan halusinasi. Penggunaan ketamin harus dihindari pada pasien dengan
peningkatan tekanan intrakranial, massa sistem saraf pusat, penyakit jantung
yang tidak stabil, atau glaukoma akut karena adanya efek peningkatan detak
jantung dan tekanan darah.33,39
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
27

k. Dexmedetomidine
Obat yang relatif baru digunakan untuk sedasi selama prosedur
bronkoskopi adalah dexmedetomidine. Dexmedetomidine adalah α2 agonist
selektif dengan sifat ansiolitik, analgesik, vagolytic, dan hipnotik.
Dexmedetomidine tidak menyebabkan depresi napas tetapi diketahui memiliki
waktu pemulihan yang lebih lama. Dexmedetomidine lebih sering digunakan
pada pasien rawat inap. Sebuah percobaan prospektif acak yang mengevaluasi
toleransi pasien dan efikasi sedasi dexmedetomidine dibandingkan dengan
midazolam menemukan adanya penurunan hipoksia, denyut jantung, dan
tekanan darah secara signifikan pada pemberian dexmedetomidine tanpa disertai
perbedaan yang signifikan terkait skor ketidaknyamanan pasien. Ryu et al.,
(2012)dikutip dari 39
menemukan efek penurunan saturasi yang jauh lebih rendah
dengan waktu pemulihan lebih panjang dan kepuasan bronkoskopi yang lebih
buruk pada penggunaan kombinasi propofol-dexmedetomidine dibandingkan
dengan propofol-remifentanil. Penelitian yang lebih baru menunjukkan adanya
peningkatan toleransi pasien saat menggunakan dexmedetomidine intravena
dengan anestesi topikal dibandingkan dengan midazolam intravena.33,39
l. Agen premedikasi lain
Sebuah penelitian prospektif monosentris menyimpulkan bahwa
penggunaan infus remifentanil dengan target konsentrasi sebesar 2,5 nanogram
per mililiter (ng/ml) dan dosis total sebesar 1,4 mg/kgBB memiliki keamanan
dan keefektifan sebagai obat sedasi pada pasien sakit kritis yang bernapas secara
spontan. Bala et al., (2015)dikutip dari 39
dan Ayatollahi et al., (2014)dikutip dari 39

meneliti dampak atenuasi gabapentin pada lonjakan catecholamine yang


berhubungan dengan prosedur endotracheal, laringoskopi, atau bronkoskopi.
Penelitian Bala et al., (2015)dikutip dari 39
dan Ayatollahi et al., (2014)dikutip dari 39

menemukan efikasi terkait penurunan rata-rata tekanan arteri tanpa


memengaruhi denyut jantung ketika gabapentin diberikan setidaknya 90 menit
sebelum prosedur dimulai.33,39
6. Ipratropium Bromide
Ipratropium bromide merupakan antikolinergik short acting yang paling
banyak digunakan sebagai bronkodilator inhalasi. Ipratropium bromide menghambat
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
28

vagus nerve yang bekerja pada bronkokonstriksi. Ipratropium bromide digunakan


untuk pengobatan gangguan saluran napas yang berhubungan dengan bronkitis
kronik. Ipratropium bromide mempunyai efek bronkodilatasi yang lebih besar
dengan lebih sedikit toksisitas absorpsi sistemik.35,41
Ipratropium bromide merupakan bentuk garam bromida dari ipratropium.
Bentuk sintetis ipratropium bromide berasal dari turunan alkaloid atropin dengan
tambahan antikolinergik. Ipratropium bromide berwujud kristal putih hingga tidak
berwarna yang dapat larut di dalam air dan metanol. Ipratropium bromide tidak larut
pada pelarut lipofilik seperti eter, kloroform, dan fluorokarbon. Ipratropium bromide
memiliki efek antagonis terhadap asetilkolin pada saraf parasimpatetik,
postganglionic, hingga effector-cell junction.35,41
a. Farmakokinetika ipratropium bromide
Ipratropium bromide sulit diabsorbsi melalui traktus gastrointestinal.
Ipratropium bromide diabsorbsi secara minimal ke dalam sirkulasi sistemik
setelah inhalasi oral. Ipratropium bromide inhalasi nasal diabsorbsi secara cepat
dan minimal.35,41
Bioavailability ipratropium bromide dipengaruhi oleh ekskresi ginjal
kumulatif 0-24 jam. Bioavalability ipratropium bromide dosis inhalasi 2 mg
sebesar 6,9%, pemberian intranasal < 20%, dan pemberian oral sebesar 2%. Nol
sampai sembilan persen ipratropium bromide dalam darah akan berikatan dalam
albumin dan asam α1-glikoprotein dengan volume distribusi sebesar 4,6 liter per
kilogram (l/kg). Ipratropium bromide tidak dapat masuk ke cairan serebrospinal.
Jumlah obat yang sangat rendah atau minimal ditemukan dalam plasenta.35,41
Onset kerja ipratropium bromide berupa bronkodilatasi terjadi dalam
waktu 15 menit setelah pemberian inhalasi aerosol oral dan dalam waktu 15-30
menit setelah inhalasi nasal menggunakan nebulisasi. Ipratropium bromide
memiliki durasi kerja sebesar 3-4 jam setelah inhalasi aerosol oral dan 4-5 jam
setelah nebulisasi. Ipratropium bromide sebagian besar dimetabolisme setelah
pemberian. Ipratropium bromide diekskresikan dalam urin dan feses sebagai
obat utuh dan metabolit. Satu dari delapan metabolit ditemukan sebagai N-
isopropyl-methyl-nortropiumbromide. Tidak ada satu pun metabolit ipratropium
bromide yang memiliki aktivitas antikolinergik bermakna.35,41
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
29

b. Farmakodinamika dan mekanisme aksi ipratroprium bromide


Reseptor M3 diekspresikan pada otot polos bronkus dan trakea. Reseptor
M3 saat dirangsang oleh neurotransmiter asetilkolin mempunyai efek
menghambat relaksasi otot polos yang diinduksi oleh B2 agonist. Stimulasi
reseptor M3 menyebabkan kelenjar submukosa memproduksi lendir dan
berperan dalam terjadinya edema jalan napas. Ipratropium bromide merupakan
antagonis reseptor muscarinic kerja singkat dengan durasi kerja sekitar 6
jam.35,41
Ipratropium bromide adalah turunan N-isopropyl dari atropin. Zat
bersifat antagonis terhadap efek bronkokonstriktif asetilkolin yang disebabkan
oleh stimulasi vagus nerve. Ipratropium bromide adalah agen bronkodilatasi
yang efektif pada pasien dengan asma, bronkitis kronik, dan penyakit saluran
napas obstruktif kronik. Ipratropium bromide dapat melindungi dari
bronkokonstriksi yang diinduksi asetilkolin, methacholine, adenosina dan air.
Ipratropium bromide menghasilkan efek bronkodilatasi dengan cara inhibitor
kompetitif pada reseptor cholinergic otot polos bronchial. Ipratropium bromide
mencegah ikatan asetilkolin pada reseptor yang terikat membran sehingga
menyebabkan terjadinya inhibisi bronkokonstriktor akibat impuls eferen vagus
nerve. Inhibisi tonus vagal menyebabkan pelebaran saluran napas besar dan
kecil. Ipratropium bromide menghambat sekresi dari kelenjar serous dan
seromucous bila diberikan secara langsung ke mukosa hidung. Ipratropium
bromide memiliki sedikit atau tidak ada efek pada viskositas dahak, motilitas
silia, dan kecepatan pembersihan mucosiliar. Penggunaan ipratropium bromide
jangka panjang menurunkan volume dahak. Pemberian ipratropium bromide
secara kombinasi dengan β-adrenergic agonist atau theophilin meningkatkan
efek bronkodilator.35,41
c. Sediaan dan dosis ipratroprium bromide
Ipratropium bromide diberikan via inhalasi oral atau intranasal. Formula
oral ipratropium bromide berupa sediaan aerosol inhalasi atau larutan nebulisasi.
Pasien yang mengalami kesulitan dalam menghirup uap dapat diberikan valved
holding chamber (VHC) atau spacer. Pasien dapat memilih menggunakan
mouthpiece atau face mask bersamaan dengan VHC atau spacer sesuai dengan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
30

tingkat kenyamanan pasien. Ipratropium bromide dapat dicampur dengan


albuterol dalam satu nebulizer yang segera digunakan dalam waktu 1 jam.
Ipratropium bromide tidak boleh dicampur dengan cromolyn karena akan
terbentuk presipitat yang berwarna keruh. Sediaan dan dosis ipratropium
bromide terdapat pada tabel tujuh.41,42
Tabel 7. Sediaan dan dosis ipratropium bromide.
Sediaan Dosis
Inhalasi oral
• Aerosol inhalasi (metered-dose 20-40 mcg, 3-4 kali per hari
aerosol)
• Larutan inhalasi 250-500 mcg, 3-4 kali per hari
Inhalasi intranasal
• Nasal spray solution (metered-dose Larutan 0,03%: 21 mcg per spray
nasal spray)
Keterangan: mcg= mikrogram.
Dikutip dari (42)
d. Efek samping ipratropium bromide
Ipratropium bromide bersifat antagonis terhadap stimulasi vagus nerve
pada organ perifer sehingga menimbulkan efek samping seperti mulut kering,
mual, konstipasi, sakit kepala, takikardi, dan atrial fibrilasi. Efek samping yang
muncul pada pemberian inhalasi ipratropium bromide adalah bronkitis, mual,
mulut kering, kulit kemerahan, sesak napas, gejala common cold, pusing,
sinusitis, dispepsia, nyeri punggung, infeksi saluran kemih, takikardia, dan
aritmia. Efek samping berat pemberian inhalasi ipratropium bromide adalah
reaksi hipersensitivitas, paradoxical bronchospasm, anafilaksis, dan glaukoma
sudut tertutup. Efek samping yang muncul pada pemberian intranasal
ipratropium bromide adalah infeksi saluran napas atas, epistaksis, faringitis,
nyeri kepala, xerostomia, perubahan indra pengecap, mual, iritasi nasal, dan
aritmia. Efek samping berat pemberian intranasal ipratropium bromide adalah
reaksi hipersensitivitas dan anafilaksis.41,42

7. Persiapan dan Prosedur Tindakan Bronksoskopi


Pasien memiliki hak atas informasi tentang kondisi dan pilihan pengobatan.
Pasien wajib mengisi informed consent sebelum memulai persiapan bronkoskopi.
Pasien berhak mendapatkan edukasi mengenai tujuan, risiko, dan batasan prosedur
secara menyeluruh sebelum menandatangani informed consent, termasuk
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
31

mendapatkan pengertian bahwa diagnosis belum tentu dapat ditegakkan dengan


bronkoskopi.43–45
Persiapan pasien yang akan dilakukan tindakan bronkoskopi meliputi
pencatatan riwayat medis, pemeriksaan penapisan bronkoskopi termasuk riwayat
penggunaan koagulan dan penapisan coronavirus disease-19 (Covid-19) di masa
pandemi, pemeriksaan fisik, dan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium meliputi
hitung darah lengkap, faal hemostasis, faal ginjal, elektrolit, analisis gas darah arteri.
Pasien dilakukan pemeriksaan faal paru, elektrokardiogram, foto rontgen toraks, dan
beberapa pasien memerlukan pemeriksaan computed tomography (CT) scan toraks.
Pasien berpuasa selama 4-6 jam sebelum tindakan. Ahli bronkoskop juga perlu
memantau hemodinamika sebelum tindakan bronkoskopi. Prosedur tindakan
bronkoskopi meliputi:
a. Pasien memasuki ruang tindakan.
b. Pasien diperiksa tanda vital, status paru, dan jantung.
c. Pasien dilakukan premedikasi dengan sulfat atropin 0,25 mg dan
diphenhydramine 10 mg IM atau IV.
d. Pasien diberikan anestesi lokal oral dengan kumur-kumur lidocaine 5 ml selama
5 menit dalam posisi duduk.
e. Pasien diberikan anestesi lanjutan dengan xylocaine spray 10% (5-7 semprot) di
daerah oropharyngeal dan laryngopharyngeal.
f. Pasien diposisikan dalam posisi telentang dengan kepala ekstensi maksimal
(posisi duduk bila tidak bisa telentang) dengan operator berdiri di belakang
kepala pasien. Pasien dapat diposisikan duduk apabila tidak bisa telentang
dengan operator berada di depan pasien.
g. Oksimetripulsa dipasang pada jari telunjuk kanan atau kiri pasien.
h. Pasien diberikan oksigenasi dengan nasal cannula 3-4 liter per menit.
i. Kedua mata pasien dipasang penutup mata untuk mencegah terkena larutan
lidocaine atau cairan pembilas.
j. Mouth piece diletakan di antara gigi atas dan bawah untuk mencegah tergigitnya
bronkoskop (jika bronkoskopi melalui mulut). Mouthpiece tidak dipasang
apabila bronkoskopi dilakukan melalui hidung.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
32

k. Pasien dapat diberikan instilasi lidocaine 1-2 ml (dosis maksimal lidocaine 400
mg) apabila bronkoskop telah sampai plica vocalis dan pasien terbatuk selama
tindakan.
l. Bronkoskop dimasukkan baik melalui mulut atau hidung ke dalam faring, laring,
dan plica vocalis, trakea, sampai ke daerah bronkus utama, orde 1-3.
m. Operator menilai keadaan plica vocalis, trakea, karina, bronkus utama, sampai
orde 1-3.
n. Bronkoskopi dilanjutkan dengan tindakan diagnostik dan terapeutik sesuai
indikasi.
o. Pasien segera didudukkan setelah tindakan bronkoskopi selesai.
p. Penutup mata dan mouthpiece dilepas.
q. Pasien dipuasakan hingga 2 jam pascatindakan.
r. Pasien dilakukan pemantauan pascatindakan berupa tanda vital dan gejala terkait
seperti sesak napas, nyeri dada, dan hemoptisis.43–45

8. Peran Premedikasi Ipratropium Bromide pada Bronkoskopi


Premedikasi antikolinergik telah banyak digunakan untuk bronkoskopi
fleksibel selama bertahun-tahun karena tidak hanya dapat mencegah fenomena
vasovagal, refleks bronkokonstriksi, dan bradikardia tetapi juga dapat membantu
mengurangi sekresi di faring dan saluran napas. Atropin dan glycopyrrolate
merupakan jenis antikolinergik yang umum digunakan sebagai premedikasi
bronkoskopi dalam rangka mengurangi sekresi oral dan bronchial serta mencegah
terjadinya bradikardia yang disebabkan oleh refleks vagal. Pemberian atropin dan
glycopyrrolate memiliki efek samping sistemik. Ipratropium bromide merupakan
salah satu agen antikolinergik dengan efek sistemik rendah. Ipratropium bromide
merupakan quartenary ammonium congener atropin sintetis dengan sifat
bronkodilator atropin tetapi memiliki absorpsi sistemik yang minimal. Penggunaan
ipratropium bromide tidak memengaruhi aliran urin atau tekanan intraokular. 1,6,7
Ipratropium bromide bekerja untuk memblokir reseptor M. Muscarinic
antagonist dapat membantu mengurangi sekresi mukus, meningkatkan kemampuan
paru untuk membersihkan sekresi saluran napas, dan mengurangi penyempitan
saluran napas karena aktivasi sistem saraf parasimpatetik. Efek terapi ipratropium
bromide berupa efek antikolinergik (parasympatholytic) yang menghambat refleks
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
33

vagal melalui mekanisme antagonis asetilkolin. Efek antikolinergik dihasilkan


dengan cara mencegah terjadinya peningkatan cGMP yang menyebabkan terjadinya
interaksi antara asetilkolin dengan reseptor M pada sel otot polos bronkus. Efek
antikolinergik menyebabkan dilatasi pada saluran bronkus.1,6,7
Ipratropium bromide adalah antagonis asetilkolin melalui blokade reseptor
cholinergic muscarinic. Ipratropium bromide memblokir reseptor kolinergik dan
menurunkan produksi cGMP. Penurunan produksi cGMP menyebabkan penurunan
kontraksi otot polos. Mekanisme kerja ipratropium bromide intranasal serupa dengan
atropin yaitu menghambat sekresi kelenjar saliva dan mukosa serta melebarkan otot
polos bronkus. Ipratropium bromide inhalasi oral mempunyai sifat antimuscarinic
dan bronkodilator otot polos yang lebih kuat daripada atropin. Ipratropium intranasal
menghasilkan respons parasimpatetik lokal yang menyebabkan penurunan sekresi
hidung sehingga mengurangi gejala rhinorrhea.1,6,7,42
Stres yang berlebihan dapat mengaktifkan saraf otonom. Saraf parasimpatetik
menginervasi jalan napas melalui serabut eferen dari vagus nerve dan sinaps di
ganglion jalan napas dengan serat postsinaptic pendek yang secara langsung
memasok otot polos dan kelenjar submukosa. Aktivasi serabut parasimpatetik
cholinergic yang menginervasi otot polos bronkus menyebabkan bronkokonstriksi.
Salah satu faktor yang menyebabkan bronchospasm adalah stres psikologis. Paparan
stres menyebabkan keadaan hiporesponsif pada sumbu hypothalamic-pituitary
adrenal (HPA) menyebabkan sekresi sitokin inflamasi meningkat yang memiliki
peran penting dalam bronchospasm. Stres psikologis menyebabkan disregulasi dari
sistem saraf simpatetik dan parasimpatetik serta HPA aksis, termasuk resistensi
glukokortikoid yang dapat meningkatkan respon sistem T helper-2 (Th-2), hiperaktif
sistem kekebalan tubuh, dan inflamasi. Respons adaptasi terhadap rasa takut adalah
percepatan laju pernapasan ketika mengalami reaksi fight/flight untuk meningkatkan
ketahanan hidup. Respons adaptasi yang berlebihan menyebabkan gejala sesak napas
yang tidak diinginkan, eksaserbasi asma, atau rasa seperti tercekik. 1,6,7,46
Aktivasi saraf parasimpatetik akan mengakibatkan terlepasnya asetilkolin
dari postganglion vagus nerve. Asetilkolin akan berikatan dengan reseptor M3 pada
otot polos bronkus dan mengakibatkan peningkatan frekuensi napas dan
bronchospasm. Ancaman atau bahaya yang menyebabkan stres atau kecemasan telah
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
34

berakhir, maka serabut saraf parasimpatetik mengembalikan tubuh pada kondisi


normal sampai tanda ancaman berikutnya dan mengaktifkan kembali respons
simpatetik. Ipratropium memblokir semua subtipe reseptor M. Ipratropium
merupakan antagonis terhadap penghambatan pelepasan asetilkolin oleh reseptor M2
presinaptic pada terminal saraf postganglionic parasimpatetik di paru. Pelepasan
asetilkolin mencegah bronkokonstriksi yang dimediasi reseptor M3.1,6,7,46
Batuk merupakan refleks yang dapat timbul akibat adanya rangsangan
mekanis, kimiawi, ataupun iritan. Komponen refleks batuk adalah reseptor, saraf
eferen, pusat batuk, dan efektor. Batuk dimulai dari suatu rangsangan pada reseptor
batuk. Reseptor batuk berupa serabut saraf nonmielin halus yang terletak baik di
dalam maupun di luar rongga toraks. Reseptor batuk tersebar pada laring, trakea,
bronkus, hidung, sinus paranasal, telinga, pleura, perikardium, diafragma, esofagus,
dan lambung. Jumlah reseptor akan semakin berkurang pada cabang-cabang bronkus
yang kecil. Serabut saraf aferen terpenting ada pada cabang vagus nerve yang
mengalirkan rangsang dari laring, trakea, bronkus, telinga, pleura, dan lambung.
Trigeminal nerve menyalurkan rangsang dari hidung dan sinus paranasalis.
Glossopharyngeal nerve menyalurkan rangsang dari faring. Phrenicus nerve
menyalurkan rangsang dari perikardium dan diafragma. Serabut saraf aferen akan
membawa rangsang ke pusat batuk yang terletak di medula. Pathway motorik dari
pusat batuk dibawa oleh sinyal saraf eferen vagus nerve, phrenicus nerve, intercostal
nerve, lumbar nerve, trigeminal nerve, facial nerve, dan hypoglossus nerve ke
berbagai efektor di antaranya otot ekspirasi, diafragma, laring, trakea, dan bronkus.
Batuk terjadi di daerah efektor. Batuk dimulai dari suatu rangsangan pada reseptor
batuk.46,47
Prosedur bronkoskopi dapat merangsang refleks batuk. Pemberian
ipratropium bromide sebagai muscarinic antagonist menghambat transmisi
cholinergic impuls batuk. Ipratropium bromide menurunkan reaksi inflamasi yang
terjadi pada saluran pernapasan. Ipratropium bromide menurunkan rangsangan
terhadap reseptor batuk sehingga impuls batuk yang diteruskan ke pusat batuk
berkurang. Komponen refleks batuk terdapat pada tabel delapan.46,47
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
35

Tabel 8. Komponen refleks batuk.


Reseptor Aferen Pusat batuk Eferen Efektor
Laring Cabang vagus Tersebar Otot laring, trakea,
Trakea nerve merata di dan bronkus
Bronkus medula
Telinga
Pleura
Lambung
Hidung Trigeminal nerve Tersebar Diafragma, otot
Sinus paranasal merata di intercostal,
medula abdominal, dan
lumbal
Faring Glossopharyngeus Tersebar Otot saluran
nerve merata di respiratorik dan
medula bantu napas
Perikardium Phrenicus nerve Tersebar
Diafragma merata di
medula
Dikutip dari (47)
Penelitian pertama terkait penggunaan ipratropium bromide pada prosedur
bronkoskopi dilakukan oleh Inoue et al., (1994). Inoue et al., (1994) melaporkan
bahwa pemberian ipratropium bromide mencegah terjadinya penurunan forced
expiratory volume (FEV) dan peak flow rates (PFR) yang diinduksi anestesi topikal
dan manipulasi jalan napas selama bronkoskopi. Perubahan parameter spirometri dan
parameter klinis selama bronkoskopi tidak dilaporkan dalam penelitian. Inoue et al.,
(1994) melaporkan tidak ada efek sistemik yang diamati pada kelompok
ipratropium.42,48
Penelitian terkontrol acak selanjutnya dilakukan oleh Rubins et al., (1998)
yang melaporkan bahwa penggunaan ipratropium bromide sebagai premedikasi
pasien lansia selama bronkoskopi tidak menghasilkan manfaat klinis dan penurunan
signifikan akseptabilitas bronkoskopi. Ipratropium bromide diketahui tidak dapat
memperbaiki parameter klinis seperti batuk, mengi, perubahan denyut nadi, tekanan
darah, dan saturasi oksigen. Ipratropium bromide tidak menurunkan jumlah
pemberian dosis sedatif dan anestesi topikal selama bronkoskopi.7,49
Penelitian terbaru yang dilakukan Wang et al., (2019) menunjukkan bahwa
pemberian inhalasi ipratropium bromide 4 ml pada pasien sebelum menjalani
bronkoskopi fleksibel dengan anestesi umum diketahui dapat menurunkan sekresi
jalan napas dan meningkatkan kenyamanan pasien meskipun tidak dapat
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
36

menurunkan perdarahan atau durasi prosedur. Pemberian inhalasi ipratropium


bromide menimbulkan lebih banyak komplikasi berupa hipertensi dan bradikardia
dibandingkan dengan plasebo. Inhalasi ipratropium bromide memiliki komplikasi
berupa hipotensi dan penurunan saturasi oksigen yang serupa dengan pemberian
plasebo meskipun hasilnya tidak signifikan secara statistik. 6,16,28

9. Penilaian Sesak Napas, Batuk, dan Sekresi Tracheobronchial


Sesak napas merupakan suatu perasaan subjektif yang berkaitan dengan rasa
tidak nyaman pada saat bernapas. Sesak napas digambarkan sebagai usaha bernapas,
rasa menyesakkan, air hunger, atau unsatisfied inspiration. Sesak napas merupakan
hasil interaksi antara berbagai faktor yaitu psikologis, sosial, dan lingkungan yang
dapat menginduksi respons fisiologis dan perilaku seseorang. Sesak napas
merupakan suatu persepsi terhadap suatu kondisi abnormal sehingga perlu dibedakan
dari kondisi klinis yang sering disebut sebagai distress pernapasan seperti takipnea,
penggunaan otot bantu pernapasan, dan retraksi intercostal.8,9
Skala Borg merupakan kuesioner yang mendeskripsikan sesak napas secara
spesifik. Borg pada tahun 1970 pertama kali menggambarkan skala mulai dari 6
hingga 20 untuk mengukur tenaga yang dirasakan selama latihan fisik. Skala Borg
dimodifikasi dari bentuk aslinya menjadi skala 10 poin dengan ekspresi verbal
tingkat keparahan yang dikaitkan dengan angka tertentu. Skala Borg yang
dimodifikasi dapat dilihat pada tabel sembilan.8,9
Tabel 9. Skala Borg yang dimodifikasi.
Peringkat Intensitas
0 Tidak sesak sama sekali
0,5 Sesak sangat ringan sekali
1 Sesak sangat ringan
2 Sesak ringan
3 Sesak sedang
4 Sesak kadang berat
5 Sesak berat
6
7 Sesak sangat berat
8
9
10 Sesak sangat berat sekali, hampir maksimal
Dikutip dari (8)
Keterangan tambahan di akhir skala mendeskripsikan tanggapan yang lebih
absolut terhadap rangsangan dan memungkinkan perbandingan antar individu
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
37

langsung. Skala Borg yang dimodifikasi memiliki reproduksibilitas yang baik pada
individu sehat dan dapat diterapkan pada penderita penyakit kardiopulmoner serta
untuk parameter statistik.8,9
Baseline dyspnea index (BDI) menentukan derajat sesak napas pada suatu
saat tertentu. Baseline dyspnea index merupakan kuesioner yang menggunakan tiga
komponen pencetus sesak napas pada aktivitas sehari-hari. Transition dyepnea index
(TDI) merupakan indeks sesak napas yang dibuat untuk mengukur derajat sesak
napas dari nilai yang sebelumnya ditetapkan dari BDI. 8,9
Visual analogue scale merupakan metode paling sederhana untuk
mengevaluasi sesak napas. Visual analogue scale terdiri dari garis sepanjang 10 cm
yang ditempatkan secara horizontal atau vertikal. Pemberian skor dilakukan dengan
mengukur jarak dari dasar skala (atau sisi kiri jika diorientasikan secara horizontal)
ke level yang ditunjukkan oleh subjek. Derajat 0 menggambarkan kondisi tidak sesak
sama sekali hingga derajat 10 untuk menggambarkan sesak berat. Visual analogue
scale merupakan skala yang ekonomis dan mudah, namun memerlukan kemampuan
untuk berpikir secara abstrak.8,9
Batuk adalah refleks protektif normal yang secara efektif dapat mengeluarkan
benda asing dan sekresi dari saluran napas. Batuk yang berlebihan berdampak buruk
pada fungsi fisiologis, psikologis, dan sosial pasien. Keparahan batuk dapat dinilai
dengan alat subjektif atau objektif. Evaluasi subjektif dari keparahan batuk dinilai
dengan kuesioner. Tingkat keparahan batuk dapat diukur dalam beberapa aspek
seperti keparahan gejala, frekuensi, intensitas, dan dampak pada kualitas hidup.
Metode penilaian batuk dapat dilihat pada tabel sepuluh. 10–13,47
Tabel 10. Metode penilaian batuk.
Penilaian Metode
Keparahan gejala Visual analogue scale (VAS)
Cough severity score (CSS)
Cough severity diary (CSD)
Health related quality of life (HRQOL) Leicester cough questionnaire (LCQ)
Cough-specific quality of life questionnaire
(CQLQ)
Objektif
Sensitivitas refleks batuk Capsaicin
Citric acid
Fog
Tartaric acid
Monitor batuk Leicester cough monitor (LCM)
VitaloJak
Dikutip dari (12)
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
38

Visual analogue scale menggunakan metode penilaian linier. Garis lurus


dengan kalibrasi 0, 1, 2 hingga 10 cm, garis skala yang ditandai dari nol hingga 100
mm juga dapat digunakan. Angka 0 menunjukkan asimtomatik dan 10 menunjukkan
kondisi paling serius. Pasien diminta untuk menandai tingkat keparahan batuk pada
garis berdasarkan persepsi pasien. Jarak antara titik awal dengan titik yang ditandai
oleh pasien digunakan sebagai skor.11–13
Visual analogue scale dapat mengevaluasi gejala secara independen dan
mencerminkan tingkat keparahan penyakit. Minimal important difference (MID)
untuk VAS telah dilaporkan sebesar 17 mm untuk batuk akut, tetapi MID untuk batuk
kronis masih kurang banyak data yang dipublikasikan. Visual analogue scale
digunakan dalam evaluasi subjektif dan penilaian longitudinal batuk akut atau kronis.
Pendekatan penilaian VAS mudah dan sederhana serta tidak terlalu terpengaruh oleh
bahasa dibandingkan metode lain. Visual analogue scale sangat responsif terhadap
perubahan gejala dan sering digunakan sebagai indikator dalam studi perbandingan
efek terapeutik. Visual analogue scale dapat dilihat pada gambar enam.11–13

Gambar 6. Visual analogue scale.


Keterangan: mm= milimeter.
Dikutip dari (11)
Cough symptoms score (CSS) menghitung persepsi intuitif dan ekspresi batuk
pada pasien. Cough symptoms score pertama kali dikemukakan oleh Hsu et al.,
(1994). Cough symptoms score adalah kuesioner yang terdiri dari dua bagian yang
mengacu pada gejala siang hari dan malam hari. Cough symptoms score dinilai
berdasarkan frekuensi, intensitas, serta pengaruh batuk terhadap aktivitas sehari-hari
dan terhadap tidur. Skor gejala batuk dinilai dari 0 hingga 5. Skor 0 menunjukkan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
39

tidak ada batuk dan 5 menunjukkan batuk paling parah. Penelitian tentang CSS
menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara jumlah kejadian batuk
di siang hari dan CSS pada pasien dengan batuk kronis. Korelasi yang lemah tercatat
antara CSS dan batuk di malam hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa CSS dapat
digunakan untuk mengevaluasi tingkat keparahan batuk di siang hari. Cough
symptoms score terdapat pada tabel sebelas.11,13
Tabel 11. Cough symptoms score.
Skor Siang hari Malam hari
0 Tidak ada batuk Tidak ada batuk
1 Batuk satu periode pendek Batuk saat bangun saja
2 Batuk lebih dari dua periode Terbangun satu kali atau lebih
pendek awal karena batuk
3 Batuk sering, namun tidak Sering terbangun karena batuk
menganggu aktivitas
4 Batuk sering dan menganggu Batuk sering sepanjang malam
aktivitas
5 Batuk yang sangat menganggu Batuk yang sangat menganggu
dan terjadi sepanjang hari hingga tidak bisa tidur
Dikutip dari (13)
Simplified cough score (SCS) direkomendasikan dalam Pedoman Diagnosis
dan Pengobatan Batuk yang dikembangkan oleh Respiratory Branch of Chinese
Medical Association sebagai alat untuk mengevaluasi tingkat keparahan batuk.
Penilaian dengan SCS merupakan evolusi dari CSS. Simplified cough score menilai
gejala batuk dari 0 hingga 3. Simplified cough score lebih mudah digunakan.
Repeatability dan respons SCS terhadap pengobatan baik dan memiliki korelasi
positif linier dengan CSS. Simplified cough score juga dapat digunakan sebagai alat
yang efektif untuk penilaian klinis dari keparahan batuk bersama dengan CSS.
Simplified cough score dan CSS umum digunakan dalam penelitian klinis, meskipun
MID-nya belum diteliti.11,13
Cough severity diary (CSD) diperkenalkan oleh Vernon et al., (2010). Cough
severity diary adalah alat sederhana untuk mencatat skor dari tujuh penilaian yang
secara efektif dapat mengukur tingkat keparahan batuk. Cough severity diary dapat
digunakan untuk menilai perkembangan batuk kronis dan subakut serta kemanjuran
pengobatan. Pasien diminta menilai tingkat keparahan batuk dalam tiga domain yaitu
frekuensi batuk, intensitas batuk, serta dampak batuk terhadap kehidupan sehari hari
dan terhadap tidur pasien. Pasien mengingat pengalaman batuk mereka dalam 24 jam
terakhir dan menilai batuk mereka dari 0 hingga 10. Jumlah skor CSD menunjukkan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
40

tingkat keparahan batuk. Skor semakin tinggi menunjukkan tingkat batuk yang
semakin berat. Penerapan CSD pada pasien batuk masih sedikit dan baru digunakan
hanya dalam beberapa penelitian saja. Penelitian dengan ukuran sampel yang besar
masih diperlukan untuk memastikan validitas dan repeatability metode CSD.
Simplified cough score dapat dilihat pada tabel 12.11,13,14
Tabel 12. Simplified cough score.
Skor Siang hari Malam hari
0 Tidak ada batuk Tidak ada batuk
1 Batuk sesekali pada siang hari Batuk sesekali sebelum tidur atau
kadang-kadang sepanjang malam
2 Batuk sering dan sedikit Batuk sedikit menganggu tidur
menganggu aktivitas malam
3 Batuk sering dan dangat Batuk sangat menganggu tidur
menganggu aktivitas malam
Dikutip dari (13)
Sekresi tracheobronchial selama bronkoskopi dinilai oleh operator. Sekresi
tracheobronchial berlebih akan mengganggu visualisasi tracheobronchial. Williams
et al., (1998) menggunakan penilaian derajat sekresi tracheobronchial sebagai grade
1 bila hampir tidak ada, grade 2 bila membutuhkan larutan saline normal untuk
membilas, dan grade 3 bila sekresi berlebihan sehingga sulit dilihat walaupun sudah
dilakukan pembilasan. Satu alikuot berisi 5 mililiter (ml) larutan saline normal.15,16
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
41

B. KERANGKA TEORI

Pemeriksaan tanda-tanda vital dilakukan pada pasien yang akan dilakukan


bronkoskopi. Tindakan bronkoskopi akan menyebabkan munculnya stres psikologis,
rangsangan mekanis, dan rangsangan kimia. Respons tubuh terhadap stres pada pasien
yang akan menjalani tindakan bronkoskopi serta adanya rangsangan mekanis dan kimia
dapat memengaruhi kelancaran prosedur. Prosedur bronkoskopi yang lancar dan
kenyamanan pasien akan menentukan tingkat kepuasan pasien.46,47
Tindakan bronkoskopi menimbulkan stres psikologis. Amigdala akan berespons
terhadap munculnya stres dan mengirimkan sinyal ke hipotalamus. Hipotalamus
mengaktifkan sistem saraf simpatetik dan parasimpatetik. Aktivasi saraf parasimpatetik
mengakibatkan terlepasnya asetilkolin dari postganglion vagus nerve. Asetilkolin berikatan
dengan reseptor M3 pada otot polos saluran napas. Ikatan asetilkolin dan reseptor M3
menyebabkan terjadinya kontraksi otot polos saluran napas sehingga terjadi bronkokonstriksi.
Bronkokonstriksi akan memicu terjadinya sesak napas. Ikatan asetilkolin dan reseptor M3 juga
mengakibatkan sekresi tracheobronchial. Sekresi tracheobronchial yang berlebihan
menyebabkan sesak napas dan batuk.1,6,7,46
Prosedur bronkoskopi menimbulkan rangsangan mekanis yang berasal dari iritasi
ujung alat bronkoskopi dan rangsangan kimia yang berasal dari obat-obatan yang
diberikan. Rangsangan mekanis dan kimia menimbulkan rangsangan pada reseptor batuk.
Serabut saraf pada cabang vagus nerve, trigeminal nerve, glossopharyngeal nerve,
phrenicus nerve membawa rangsangan dari reseptor batuk ke pusat batuk yang terletak
di medula. Pathway motorik dari pusat batuk dibawa oleh sinyal saraf eferen ke berbagai
efektor seperti otot ekspirasi, diafragma, laring, trakea, dan bronkus. Batuk terjadi di
daerah efektor. Kerangka teori penelitian dapat dilihat pada gambar tujuh. 46,47
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
42

Gambar 7. Kerangka teori.


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
43

C. KERANGKA KONSEP

Pasien yang akan dilakukan tindakan bronkoskopi harus dilakukan pemeriksaan


tanda-tanda vital sebelumnya. Pemeriksaan tanda-tanda vital meliputi tekanan darah,
denyut jantung, laju napas, suhu, dan saturasi oksigen. Tindakan bronkoskopi akan
menyebabkan munculnya stres psikologis, rangsangan mekanis, dan rangsangan kimia.
Respons tubuh terhadap stres pada pasien yang akan menjalani tindakan bronkoskopi
serta adanya rangsangan mekanis dan kimia dapat memengaruhi kelancaran prosedur
bronkoskopi. Kelancaran prosedur dan kenyamanan pasien akan memengaruhi tingkat
kepuasan pasien.3,46,47
Inhalasi ipratropium bromide digunakan sebagai premedikasi bronkoskopi pada
penelitian ini. Ipratropium bromide merupakan salah satu agen antikolinergik dengan
efek sistemik rendah. Ipratropium bromide menimbulkan efek antikolinergik
(parasympatholytic) yang menghambat refleks vagal melalui mekanisme antagonis
asetilkolin. Efek antikolinergik dihasilkan dengan cara mencegah terjadinya interaksi
antara asetilkolin dengan reseptor M3 pada sel otot polos saluran napas. Efek
antikolinergik menyebabkan penurunan kontraksi otot polos saluran napas dan penurunan
sekresi kelenjar. Penurunan kontraksi otot polos saluran napas dan penurunan sekresi
kelenjar akan menurunkan sesak napas dan batuk. Kerangka konsep penelitian dapat
dilihat pada gambar delapan.1,6,7
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
44

Gambar 8. Kerangka konsep.


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
45

D. HIPOTESIS

1. Terdapat perbedaan skala Borg sesak napas pada pasien yang dilakukan prosedur
bronkoskopi setelah pemberian inhalasi ipratropium bromide.
2. Terdapat perbedaan VAS batuk pada pasien yang dilakukan prosedur
bronkoskopi setelah pemberian inhalasi ipratropium bromide.
3. Terdapat perbedaan grading sekresi tracheobronchial pada pasien yang
dilakukan prosedur bronkoskopi setelah pemberian inhalasi ipratropium
bromide.

Anda mungkin juga menyukai