Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

Saat ini, manajemen penyakit toraks terus mengalami perkembangan dan


sejalan dengan kemajuan dalam pembedahan toraks dan anesthesia toraks. Seiring
dengan kemajuan tersebut, frekuensi bedah paru pun terus mengalami peningkatan,
dimana saat ini dilaporkan terdapat 120.000 – 130.000 kasus operasi paru per tahun,
dan diperkirakan akan terus mengalami peningkatan.
Anestesi pada torakotomi meliputi tindakan anestesi yang mencakup
berbagai tindakan anestesi yang dilakukan pada operasi yang melibatkan paru-paru,
saluran nafas, dan struktur intratoraks lainnya. Torakotomi meliputi beberapa
prosedur diagnostik dan terapeutik yang dilakukan dengan pendekatan sternotomi
dan insisi interkosta. Indikasi dilakukannya torakotomi adalah terkait dengan kasus
keganasan paru, esofagus, mediastinum, infeksi paru, dan untuk tujuan terapetik
lainnya.
Kebanyakan pasien yang akan menjalani torakotomi memiliki penyakit
dasar gangguan pernapasan, dimana permasalahan utama yang dihadapi selama
proses pembedahan torakotomi adalah terganggunya fungsi normal paru.
Permasalahan ini menimbulkan berbagai pertimbangan selama masa periode pra-
bedah, sehingga harus dilakukan beberapa tindakan perawatan sistem pernafasan
seperti penghentian kebiasaan merokok, dilatasi jalan nafas, pengeluaran sekret,
dan memberikan edukasi yang cukup kepada pasien. Serangkaian tindakan pra-
bedah ini bertujuan untuk mengurangi komplikasi paru yang dapat ditimbulkan
paska bedah.
Selama periode pembedahan toraks, seorang dokter anestesi akan
dihadapkan pada serangkaian masalah yang dapat timbulkan akibat posisi lateral
dekubitus, pembedahan paru terbuka, dan ventilasi satu paru (one lung ventilation).
Oleh karena itu, diperlukan pemilihan obat dan teknik anestesi yang tepat selama
periode pembedahan.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sistem Pernafasan
2.1.1 Anatomi Sistem Pernafasan
Anatomi Paru
Paru-paru terletak pada rongga dada, yang ujungnya berada di atas
tulang iga pertama dan dasarnya berada pada diafragma. Paru terbagi
menjadi dua yaitu, paru kanan dan paru kiri. Paru-paru kanan memiliki tiga
lobus, sedangkan paru-paru kiri hanya memiliki dua lobus. Paru-paru kanan
dan kiri dipisahkan oleh ruang yang disebut mediastinum.
Paru-paru dibungkus oleh pleura yang merupakan suatu selaput
tipis. Pleura terbagi menjadi pleura viseralis dan pleura parietalis. Pleura
viseralis merupakan selaput yang langsung membungkus paru, sedangkan
pleura paritelis merupakan selaput yang menempel pada rongga dada.
Diantara kedua pleura terdapat rongga yang disebut kavum pleura.

Gambar 2.1 Anatomi Pernafasan

Berdasarkan anatomisnya sistem pernapasan terbagi menjadi 2:


a. Sistem Pernapasan Bagian Atas

2
Sistem pernapasan bagian atas terdiri dari:
1. Rongga Hidung (Cavum Nasalis)
- Jalan napas dimulai dari hidung, dimana udara dari
luar akan masuk lewat rongga hidung (cavum
nasalis).
- Rongga hidung dipisahkan menjadi bagian kanan
dan kiri oleh septum nasalis. Didalamnya terdapat
kelenjar sebasea (kelenjar minyak) dan kelenjar
keringat (kelenjar sudorifera).
- Pada permukaan rongga hidung terdapat rambut-
rambut halus dan selaput lendir yang berfungsi untuk
menyaring udara yang masuk ke dalam rongga
hidung.
- Pada dinding lateral hidung terdapat tiga turbinat
atau konka (superior, medial, inferior) yang memiliki
banyak kapiler darah yang berfungsi menghangatkan
udara yang masuk.
2. Faring
- Udara dari rongga hidung masuk ke faring. Dimana
faring merupakan percabangan antara 2 saluran,
yaitu saluran pernapasan (nasofaring) pada bagian
depan dan saluran pencernaan (orofaring) pada
bagian belakang.
- Terbagi menjadi nasofaring, orofaring, dan
laringofaring
- Pada bagian posterior faring terdapat laring
3. Laring
- Laring merupakan pintu masuk dari trakea yang
berbentuk seperti saluran dan dikelilingi oleh tulang
rawan.

3
- Salah satu tulang rawan pada laring disebut
epiglottis. Epiglotis terletak pada ujung bagian
pangkal laring.
- Laring diselubungi oleh lipatan vokalis (vocal
folds), dua pita jaringan elatis yang terletak di laring
yang dapat diregangkan dan diposisikan dalam
berbagai bentuk oleh otot laring.
- Udara masuk ke laring melalui ruang antara lipatan
vokalis, dimana pembukaan laring ini dikenal
sebagai glottis.
- Selama menelan, pita suara menutup glotis, dimana
yang terjadi adalah otot laring membuat lipatan
vokalis menutup satu sama lain untuk menutup pintu
masuk ke trakea sehingga makanan tidak masuk ke
saluran pernapasan.

Gambar 2.2 Anatomi Sistem


Pernapasan

4
b. Sistem Pernapasan Bagian Bawah
Sistem pernapasan bagian bawah terdiri dari:
1. Trakea (Batang Tenggorokan)
- Trakea merupakan batang tenggorokan yang berupa
pipa dengan panjang ± 11-13cm, dimana dinding
tenggorokan dikelilingi oleh cincin tulang rawan, dan
pada bagian dalam trakea terdapat rongga bersilia
yang berfungsi untuk menangkap benda-benda asing
yang masuk ke saluran pernapasan.
- Trakea terletak setinggi level C6-T4-T5
- Di dalam rongga paru, trakea bercabang menjadi
bronkus kanan dan bronkus kiri.
- Carina merupakan daerah percabangan trakea
menjadi bronkus kanan dan bronkus kiri. Carina
terletak pada level T4-T5.

2. Bronkus
- Bronkus kanan berukuran lebih lebar dan terletak
lebih vertical dibandingkan bronkus kiri.
- Bronkus kanan (secondary bronchi) kemudian
bercabang lagi menjadi bronkus lobus kanan atas
(right upper lobe bronchus) dan bronkus intermedius
(bronchus intermedius). Dimana bronchus
intermedius kembali bercabang menjadi bronkus
kanan medius (right middle bronchus) dan bronkus
lobus kanan bawah (lower lobe bronchus).
- Bronkus kiri terletak lebih inferolateral dibandingkan
bronkus kanan. Dimana bronkus kiri (secondary
brochi) bercabang menjadi bronkus lobus atas kiri
(left upper lobe bronchus) dan bronkus lobus kiri
bawah (left lower lobe bronchus)

5
- Setiap bronkus lobaris (secondary bronchi)
kemudian bercabang lagi menjadi bronkus
segemental (tertiary bronchi) yang membentuk
segmen bronkopulmonal (bronchopulmonary
segment)
- Dalam tiap segmen bronkopulmonal, bronki
segmental bercabang lagi menjadi bronkiolus.

Gambar 2.3 Percabangan Bronkus

3. Bronkiolus
- Bronkiolus merupakan percabangan dari bronkus
yang tidak lagi memiliki kartilago.
- Bronkiolus terbagi lagi menjadi bronkiolus
terminalis dan bronkiolus respiratorius.
- Dari trakea ke bronkiolus terminalis (generasi 15-16)
merupakan pipa penghantar udara murni, karena
tidak terjadi pertukaran oksigen pada daerah ini.
Volume di dalam pipa-pipa ini disebut sebagai

6
volume udara mati (dead space volume) yang
memiliki volume rata-rata 150ml.
- Bronkiolus terminalis (generasi 16) kemudian
kembali bercabang menjadi bronkiolus
respiratorius/bronkiolus transisional (generasi 17-
19) karena terdapat alveoli yang melekat.
- Bronkiolus respiratorius selanjutnya bercabang
menjadi duktus alveolus (generasi 20-22) yang
sepenuhnya dilapisi oleh alveoli.
- Wilayah ini dikenal sebagai asinus (generasi 16-23).
Asinus terdiri dari saluran pernapasan yang
membentuk unit fungsional paru-paru (unit
pertukaran gas).
4. Duktus alveolus
- Duktus alveolus merupakan suatu struktur yang
menyerupai pipa kecil yang didukung oleh matriks
elastis dan serat kolagen.
- Ujung distal alveolus terbuka ke dalam kantung
alveolar (alveolar sacs) yang dibuat oleh alveoli.

..

Gambar 2.3 Gambar Zona Konduksi dan Repsiratorius

7
Berdasarkan jenisnya sistem respirasi terbagi menjadi 2:
a. Sistem Respirasi Seluler
- Sistem respirasi seluler mengacu kepada proses
metabolisme intraseluler yang terjadi di dalam mitokondria dimana
oksigen digunakan untuk menyalurkan energi dari molekul nutrisi
dan diproduksinya karbon dioksida sebagai hasil dari terjadinya
proses ini.

b. Sistem Respirari Eksternal


- Sistem respirasi eksternal mengacu kepada serangkaian
peristiwa yang terjadi dalam proses pertukaran oksigen dan karbon
dioksida antara lingkungan eksternal dan sel-sel jaringan.
- Sistem respirasi eksternal mencakup 4 tahap:
1. Udara dipindahkan secara bergantian ke dalam dan keluar
dari paru-paru, sehingga dapat terjadi pertukaran udara
antara atmosfer dan alveolus. Pertukaran ini dilakukan
dengan tindakan mekanis pernapasan yang disebut ventilasi.
Laju ventilasi diatur untuk mmenyesuaikan aliran udara
antara atmosfer dan alveoli sesuai dengan kebutuhan
metabolisme tubuh akan pengambilan oksigen dan
pengeluaran karbon dioksida.
2. Terjadi pertukaran antara oksigen dan karbon dioksida
antara udara dalam alveoli dan darah dalam pembuluh
kapiler paru dalam proses yang disebut sebagai proses difusi.
3. Darah membawa oksigen dan karbon dioksida antara
paru-paru dan jaringan.
4. Oksigen dan karbon dioksida dipertukarkan antara
jaringan dan darah oleh proses difusi sepanjang pembuluh
kapiler sistemik.

8
2.1.2 Fisiologi Paru
Mekanisme ventilasi
Ekspansi dan kontraksi dari paru dapat dilakukan dengan dua cara;
yaitu gerakan naik turunnya diafragma yang memanjang-pendekkan
rongga dada, dan elevasi dan depresi tulang rusuk yang meningkatkan
diameter anteroposterior dari rongga dada. Manusia biasanya
melakukan metode pernafasan yang pertama dimana pada saat inspirasi
diafragma akan berkontraksi dan menarik paru bagian bawah turun.
Lalu saat ekspirasi, relaksasi diafragma terjadi dan struktur paru yang
bersifat elastis, rongga dada, dan struktur abdomen yang mendorong
naik akan mengembalikan dada ke posisi semula.
Diameter anteroposterior dari rongga dada dapat ditingkatkan
dengan mengangkat tulang-tulang rusuk. Ekspansi paru dapat dicapai
karena pada posisi naturalnya, tulang rusuk condong ke arah bawah dan
sternum tertarik ke arah posterior. Saat tulang rusuk terelevasi, rusuk
akan terprojeksi ke arah anterior bersamaan dengan sternum dan
menjauhi vertebra sehingga ketebalan anteroposterior rongga dada
meningkat kira-kira 20% saat inspirasi maksimum. Otot-otot yang
mengangkat tulang rusuk dinamakan otot inspirasi dan yang
menurunkan tulang rusuk dinamakan otot ekspirasi.
Otot inspirasi yang paling dominan adalah m. intercosta interna,
dengan bantuan otot lain seperti m. sternocleidomastoid, m. serrati
anterior, dan m. scaleni. Sementara otot ekspirasi dominan adalah m.
abdominal recti, yang menarik rusuk bagian bawah turun sekaligus
mengkompresi isi abdomen naik dan dibantu oleh m. intercosta interna.

Efek tekanan terhadap pergerakan udara masuk dan keluar dari


paru

Sifat elastis paru menyebabkan pengempisan dan keluarnya udara


dari trakea saat tidak adanya penarikan dari luar yang membuatnya
mengembang. Selain itu, tidak ada struktur yang melekatkan paru

9
dengan dinding rongga dada dan paru hanya tergantung kepada hilum
dari mediastinum pada tengah-tengah rongga dada. Paru yang
dikelilingi oleh cairan pleura mengapung dalam rongga dada. Fungsi
cairan pleura selain menopang paru juga sebagai pelumas yang
melicinkan pergerakan kembang kempis dari paru.
Selain itu, penyerapan cairan pleura yang terus menerus ke dalam
pembuluh limfatik meningkatkan perlekatan antara permukaan viseral
pleura dengan permukaan parietal pada rongga dada. Meskipun terlekat,
paru tetap bisa bergerak tanpa adanya pergesekan karena lubrikasi dari
cairan pleura seiring ekspansi dan kontraksi dada.
Tekanan pleural, alveolar, dan keteregangan paru

Tekanan pleural didefinisikan sebagai tekanan cairan pleura


yang pada asalnya selalu lebih negatif dari tekanan alveolar.
Tekanan pleural pada awal inspirasi adalah sekitar -5 cm H2O dan
mencapai -7.5 cm H2O pada puncak inspirasi. Sedangkan pada
ekspirasi, hal yang sebaliknya terjadi.
Saat glottis terbuka dan tidak ada aliran udara yang masuk
maupun keluar dari paru maka tekanan udara dalam kantung
alveolus sama dengan tekanan atmosfer. Besarnya tekanan ini
disamakan dengan 0 cm H2O. Untuk mengalirkan udara masuk ke
dalam alveolus, maka diperlukan perbedaan tekanan dimana
tekanan pada alveolus harus lebih negatif atau rendah dari tekanan
atmosfer. Sebaliknya, pada saat ekspirasi udara, maka tekanan
alveolus menjadi lebih positif sehingga udara keluar dari alveolus.
Tekanan alveolar menurun sampai sekitar -1 cm H2O saat inspirasi.
Perbedaan tekanan tersebut dapat menarik 0.5 liter udara dalam 2
detik pada pernafasan normal. Saat ekspirasi, tekanan alveolar naik
menjadi +1 cm H2O dan mendorong keluar 0.5 liter udara dari paru
dalam 2 sampai 3 detik.
Keteregangan paru (lung compliance) juga mempunyai andil
dalam respirasi dimana setiap bertambahnya 1 cm H2O tekanan

10
transpulmoner (selisih tekanan antara tekanan alveolar dengan
tekanan pleura) maka udara yang masuk ke dalam paru rata-rata
manusia dewasa sebesar 200 mililiter.
Daya keteregangan paru ini didapatkan karena: (1) sifat
elastis dari jaringan paru yang terbuat dari serat elastin dan kolagen
yang terbelit saat paru kempis, lalu meregang saat terjadi ekspansi
volume paru, dan (2) efek tegangan permukaan karena cairan yang
melapisi bagian dalam alveolus dan struktur paru lainnya yang terisi
udara. Air mempunyai sifat kohesi, yaitu tertarik dengan molekul-
molekul sesamanya. Air pada permukaan alveolus akan berusaha
untuk menyatu bersama sehingga memaksa alveolus untuk
mengempis dan mengeluarkan isi udara yang terinspirasi. Dengan
ini terdapat zat bernama surfaktan yang mengurangi ketegangan
permukaan alveolus.
Surfaktan disekresi oleh sel epitel alveolar tipe 2 yang
meliputi 10% dari sel-sel yang terdapat pada dinding alveolus.
Surfaktan sendiri adalah campuran dari berbagai fosfolipid, protein,
dan ion. Penurunan tegangan pemukaan merupakan peran dari
adanya fosfolipid.
Keteregangan paru juga dipengaruhi oleh radius alveolus.
Semakin besar radius, maka efek dari tegangan permukaan yang
berusaha mengempiskan alveolus akan semakin kecil sehingga
usaha bernafas yang diperlukan semakin kecil. Mekanisme ini
esensial terutama pada bayi prematur, radius alveolus yang lebih
kecil dan belum adanya sekresi surfaktan yang cukup sebelum usia
gestasi 35 minggu.

Volume dan kapasitas paru


Total volume paru manusia rata-rata adalah 6000 ml. (1) Volume
tidal adalah volume udara yang terinspirasi dan ekspirasi pada
pernafasan normal. Pada laki-laki dewasa, volume tidal diperkirakan

11
sebesar 500 ml. (2) Volume cadangan inspirasi atau inspiratory reserve
volume (IRV) adalah volume udara yang dicapai saat inspirasi
maksimal, kurang lebih sebanyak 3000 ml. (3) Volume cadangan
ekspirasi atau expiratory reserve volume (ERV) adalah volume udara
yang dicapai saat ekspirasi maksimal, kurang lebih sebanyak 1100 ml.
(4) Volume residual adalah volume yang tersisa dalam paru setelah
ekspirasi maksimal, yaitu sekitar 1200 ml.
Sementara itu kapasitas paru dibagi menjadi: (1) kapasitas inspirasi,
yaitu volume tidal ditambah dengan volume cadangan inspirasi (IRV),
yang merupakan jumlah udara yang dapat diinspirasi. (2) kapasitas
residual fungsional, yaitu volume cadangan ekspirasi (ERV) ditambah
dengan volume residual, yang merupakan jumlah udara yang tinggal
dalam paru saat akhir ekspirasi normal. (3) kapasitas vital, yaitu jumlah
IRV, ERV, dan volume tidal yang merupakan volume udara yang dapat
dikeluarkan dari paru setelah inspirasi maksimal (sekitar 4600 ml). (4)
total kapasitas paru adalah volume maksimum ekspansi paru dengan
usaha maksimal, didapatkan dari jumlah kapasitas vital dan volume
residual.

Gambar 2.4 Volume dan Kapasitas Paru

12
Pertukaran gas

Gas mempunyai sifat berpindah menurut gradien tekanan


parsialnya. Sifat ini menjadikan pertukaran gas yang terdapat dalam
udara di lumen alveolus dan gas dalam kapiler paru terjadi secara pasif
dari tempat dengan tekanan parsial tinggi ke tekanan parsial rendah.
Saat udara masuk ke dalam alveolus, tekanan parsial gas oksigen
(pO2) dalam lumen alveolus lebih tinggi relatif terhadap pO2 dalam
darah di kapiler (pO2 rata-rata darah kapiler adalah 40 mmHg,
sedangkan pO2 udara yang terdapat dalam alveolus adalah 100 mmHg).
Difusi pasif oksigen terjadi dari udara dalam lumen ke dalam darah yang
menembus sel epitel, jaringan ikat, dan endotel dari pembuluh kapiler.
Selain oksigen, pertukaran gas karbon dioksida juga terjadi dengan
arah yang sebaliknya; tekanan parsial karbon dioksida (pCO2) dalam
darah kapiler lebih tinggi (46 mmHg) dibandingkan pCO2 dalam lumen
alveolus (40 mmHg). Difusi menuruni gradien tekanan parsial terjadi
dari darah kapiler keluar ke lumen alveolus.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertukaran gas

Faktor yang mempengaruhi pertukaran gas diantaranya adalah: (1)


gradien tekanan parsial dari oksigen dan karbon dioksida. Semakin
besar perbedaan tekanan maka semakin cepat pertukaran gas yang
terjadi. (2) luar permukaan dari membrane alveolus. Semakin luas
permukaan yang tersedia untuk pertukaran gas maka akan mengekspos
molekul gas terhadap permukaan dan mempermudah difusi yang terjadi.
Contoh perubahan luas permukaan alveolus terdapat pada penyakit
emfisema dan kolaps paru. (3) ketebalan yang memisahkan udara
dengan darah. Semakin tebal maka difusi akan terjadi lebih sulit karena
molekul harus menempuh perjalanan yang lebih jauh untuk mencapai
tujuan. Contoh terdapat pada keadaan edema paru, pulmonary fibrosis,

13
dan pneumonia. (4) konstanta difusi (solubilitas gas dan berat molekul).
Semakin besar konstanta maka pertukaran akan terjadi lebih cepat.

2.2 Torakotomi
Torakotomi
a. Definisi

- Torakotomi merupakan tindakan pembedahan/insisi rongga dada.


Prosedur ini dilakukan oleh ahli bedah untuk mendapatkan akses ke
organ dalam rongga toraks, seperti jantung, paru-paru, kerongkongan,
akese ke aorta toraks, atau tulang belakang bagian anterior.
- Pembedahan ini merupakan suatu operasi besar yang memerlukan
tindakan anestesi umum dengan pemasangan selang endotrakeal, dan
ventilasi mekanis, serta bronkoskopi jika diperlukan.
- Torakotomi dianggap sebagai salah satu tindakan pembedahan yang
paling sulit ditangani pasca operasi, karena tindakan tersebut sangat
menyakitkan dan rasa sakit dapat mencegah pasien bernafas secara
efektif, dimana ketidakefektifnya pernafasan dapat mengarah ke
terjadinya atelektasis dan pneumonia.
b. Posisi

- Lateral dekubitus merupakan pilihan posisi pasien yang digunakan


dalam sebagian besar tindakan pembedahan paru.
- Pemosisian yang tepat bertujuan untuk menghindari terjadinya cedera
selama operasi berlangsung, dan untuk memfasilitiasi pemaparan bedah.
- Pada posisi lateral dekubitus, lengan bawah bawah terterkuk dan lengan
atas menjulur di depan kepala, sehingga menarik skapula menjauh dari
tempat reseksi.
- Bantal ditempatkan di antara lengan dan kaki, dan gulungan aksila dapat
diposisikan tepat di bawah aksila untuk mengurangi tekanan pada bahu
bagian bawah. Tindakan ini bertujuan untuk mengurangi tekanan yang
diberikan kepada pleksus brakialis.

14
- Tindakan ini juga bertujuan untuk menghindari pemberian tekanan yang
besar pada daerah mata dan telinga dependen.

Gambar 2.5 Posisi Lateral Dekubitus

c. Anestesi pada torakotomi

Anestesi pada prosedur pembedahan paru memerlukan perhatian


khusus terkait dengan masalah fisiologis yang ditimbulkan akibat
penempatan posisi pasien dalam posisi lateral dekubitus, pembukaan dada
terbuka (open pneumothorax), dan kebutuhan akan ventilasi satu paru (one
lung ventilation).
1. Posisi Lateral Dekubitus
Posisi lateral dekubitus menyediakan akses yang optimal untuk
sebagian besar tindakan pembedahan pada paru-paru, pleura,
kerongkongan, pembuluh darah besar, struktur mediastinum, dan tulang
belakang. Namun posisi ini secara signifikan dapat menginterupsi
ventilasi dan perfusi pada paru. Ketidakseusaian ventilasi perfusi ini
semakin diperberat dengan induksi anestesi, inisiasi ventilasi mekanis,
penggunaan obat-obatan blockade saraf, dan pembukaan dada.
Meskipun perfusi terus mendukung paru-paru dependen
(bawah), ventilasi secara progresif mendukung paru-paru bagian atas
yang kurang perfusi. Ketidaksesuaian ventilasi perfusi yang dihasilkan
ini meningkatkan resiko hipoksemia.

15
Ketika seorang pasien yang berada dalam posisi terlentang mengambil
posisi lateral dekubitus, kecocokan ventilasi dan perfusi dapat
dipertahankan selama ventilasi spontan masih terjadi. Paru-paru yang
dependen (lebih rendah) menerima lebih banyak perfusi daripada paru-paru
bagian atas karena adanya pengaruh gravitasi pada distribusi aliran darah
dalam sirkulasi paru-paru. Paru-paru dependen juga menerima lebih banyak
ventilasi karena kontraksi hemidiafragma dependen lebih efisien
dibandingkan hemidiafragma non dependen (atas) dan paru-paru dependen.

Gambar 2.5 Efek Posisi Lateral Dekubitus

Penurunan kapasitas residual fungsional paru (FRC) dengan induksi


anestesi umum, mengakibatkan paru-paru bagian atas lebih terventilasi
dibandingkan dengan paru-paru bagian bawah yang dependen, dimana
ketidaksesuaian ventilasi/perfusi terjadi akibat paru-paru dependen terus
mendapatkan perfusi yang lebih besar.

Ventilasi tekanan positif yang terkontrol mendukung paru-paru


bagian atas pada posisi lateral karena lebih sesuai (compliant) dibandingkan
dengan paru-paru bagian bawah. Penggunaan blokade neuromuskuler
meningkatkan efek ini dengan memungkinkan konten abdomen meningkat

16
lebih lanjut terhadap hemidiafragma dependen dan menghambat ventilasi
paru-paru bagian bawah. Menggunakan “bean bag” yang kaku untuk
menjaga pasien tetap berada dalam posisi lateral dekubitus selanjutnya
membatasi pergerakan hemitoraks dependen. Pada akhirnya, hal tersebut
membuat pergerakan paru non-dependen semakin kurang dibatasi dalam
pergerakan. Semua efek ini memperburuk ketidakcocokan ventilasi/perfusi
dan memperburuk keadaan hipoksemia pada pasien.

2. Pembedahan Dada Terbuka (Open Pneumothorax)


Dalam keadaan normal, paru-paru bisa terus diperluas karena
adanya tekanan negatif pada pleura, sebagai hasilnya maka paru akan
cenderung kolaps dan rongga dadanya meluas akibat dari tekanan
tersebut. Ketika satu sisi rongga dada dibuka, tekanan pleura hilang, dan
elastisitas paru-paru di sisi tersebut cenderung runtuh. Ventilasi spontan
dengan penumotoraks terbuka pada posisi lateral menghasilkan respirasi
paradox dan pergerseran mediastinum, fenomena ini dapat
menyebabkan hipoksia progresif dan hiperkapnia, tetapi efeknya dapat
diatasi dengan ventilasi tekanan positif selama anestesi umum dan
torakotomi.

3. Ventilasi Satu Paru (One Lung Ventilation)


Selama pembedahan berlangsung dimana bagian paru yang akan di
bedah secara selektif dibuat kolaps, kestabilan hemodinamika dan
oksigenasi harus tetap di jaga selagi memventilasikan hanya satu paru.
Isolasi paru diperlukan saat diperlukan proteksi paru dependen dari
kontaminasi selama pasien berada dalam posisi lateral dekubitus. Membuat
paru yang akan dibedah menjadi kolaps, menyediakan paparan operasi yang
optimal namun dapat membuat tatalaksana anestesi yang rumit. Karena paru
yang kolaps terus mendapatkan perfusi tapi tidak lagi terventilasi, pasien
mengalami right-to-left intrapulmonary shunt. Selama ventilasi satu paru,
pencampuran darah yang tidak teroksigenasi dari paru atas yang kolaps

17
dengan darah yang teroksigenasi dari paru dependen yang masih terventilasi
melebarkan alveolar-to-artery (A-a) O2 gradien dan seringkali
menyebabkan timbulnya hipoksemia.
Namun, berkat mekanisme HPV (Hypoxic Pulmonary
Vasoconstriction) dan karna kompresi pada pembedahan paru atas, aliran
darah yang mengalir ke paru tidak terventilasi berkurang.
Faktor yang menghambat HPV adalah tekanan arteri pulmonal yang
terlalu tinggi atau terlalu rendah, hipokapnia, penggunaan vasodilator
seperti nitrogliserin, CCB, adanya infeksi paru dan obat anestesi inhalasi.
Faktor-faktor yang menurunkan tekanan darah pada paru yang
terventilasi dapat merugikan karena dapat menekan mekanisme HPV, yang
secara tidak langung meningkatkan aliran darah pada paru yang kolaps.
Dibawah ini adalah contoh dari faktor-faktor yang dimaksud:
1. Tingginya tekanan aliran udara akibat PEEP yang tinggi, hiperventilasi,
ataupun tingginya puncak inspiratory
2. FiO2 yang rendah dimana menyebabkan HPV pada paru yang terventilasi.
3. Agen vasokonstriktor yang memiliki efek lebih besar pada pembuluh darah
normoksia daripada pembuluh darah yang hipoksia
4. PEEP intrinsik yang berjalan oleh sebab ekspiratori yang tidak adekuat.

Pengeluaran CO2 biasanya tidak berubah pada one-lung ventilation


(OLV) karena telah diketahui ventilasi per menitnya juga tidak mengalami
perubahan dan retensi CO2 sebelumnya tidak ada saat ventilasi kedua paru,
tekanan CO2 di arteri tidak diubah.

Teknik ventilasi satu paru juga dapat digunakan untuk mengisolasi


paru. Teknik yang paling sering digunakan adalah dengan menggunakan
double-lumen bronchial tubes, namun dapat juga digunakan single lumen
tracheal tube dengan bronchial blocker, dan insersi endotracheal tube ke
cabang bronkus utama.

18
Pipa Bronkial Lumen Ganda (Double-lumen Bronchial Tubes)
Kelebihan utama dari double-lumen bronchial tubes terletak
pada kemudahan penempatannya, kemampuan untuk memberikan
ventilasi pada satu atau kedua paru, dan kemampuan untuk
melakukan suction pada kedua paru.
Karakteristik double lumen tube adalah sebagai berikut:
a. Memiliki dua lumen, yaitu bronchial lumen dan tracheal
lumen. Dimana bronchial lumen memiliki karakteristik
lebih panjang dan dimasukkan kedalam cabang bronkus
utama kiri/kanan. Sedangkan tracheal lumen, berakhir di
trakea bagian bawah.
b. Memiliki lekukan yang saat secara tepat digunakan
memudahkan jalan masuk pipa kedalam bronkus yang
ditujukan.
c. Memiliki bronchial-cuff, dan tracheal cuff.

Ventilasi dapat disalurkan hanya ke satu paru-paru dengan


menjepit baik lumen bronkial maupun trakea dengan kedua cuff
dikembungkan. Karena perbedaan anatomis bronkial antara kedua
sisi paru, tubes dirancang khusus untuk bronkus kanan maupun
bronkus kiri. Double-lumen tube yang umum digunakan tersedia
dalam beberapa ukuran: 35, 37, 39 dan 41F.

Rata-rata panjang trakea pada orang dewasa adalah 11-


13cm. Dimana trakea berada pada level C6 / kartilago krikoidea, dan
mengalami percabangan setinggi T5 pada level karina dibelakang
sendi sternomanubrium. Perbedaan utama pada bronkus utama
kanan dan kiri adalah: (1) Bronkus kanan memiliki diameter yang
lebih besar dan membentuk sudut yang lebih kurang akut dengan
trakea, sedangkan bronkus kiri menyimpang pada sudut yang lebih

19
horizontal. (2) Bronkus kanan memiliki 3 cabang bronkus yang
masing-masing terletak pada lobus atas, tengah dan bawah,
sedangkan bronkus kiri terbagi hanya menjadi 2 cabang yaitu
bronkus kiri lobus atas dan bronkus kiri lobus bawah. (3) Bronkus
kanan berjarak sekitar 1-2,5 cm dari carina, sedangkan bifurkasi
bronkus utama kiri berjarak sekitar 5cm lebih distal dari carina.

Gambar 2.6 Pertimbangan Anatomis Penempatan Double-lumen tube

Double-lumen tube sisi kanan memiliki portal melalui cuff


bronkial untuk ventilasi lobus kanan atas. Variasi anatomi tiap
individu dalam jarak antara carina dan bronkus kanan atas terkadang
mengakibatkan kesulitan ventilasi lobus itu dengan right-sided tube.
Left-sided double lumen tube menjadi pilihan bagi sebagian besar
prosedur pembedahan terlepas dari sisi paru yang dioperasi. Ada
beberapa situasi tertentu dimana penggunaan right-sided lumen
direkomendasikan: (1) Hambatan anatomis bronkus utama kiri
karena masa intrabronkial atau ekstrabronkial (2) Kompresi bronkus
utama kiri akibat aneurisma aorta toraks desenden (3)
Pneumonektomi sisi kiri, (4) Transplantasi paru sisi kiri.

20
Gambar 2.4 Posisi yang benar dari left dan right double-lumen tube

Dalam penempatan double-lumen tubes, laringoskopi


dengan bilah melengkung (MacIntosh) biasanya menjadi pilihan,
karena lebih memudahkan proses intubasi dan menyediakan lebih
banyak ruang untuk memanipulasi double-lumen tubes yang besar
jika dibandingkan dengan laringoskopi bilah lurus. Laringoskopi
video juga dapat digunakan untuk memfasilitasi penempatan tubes.
Double-lumen tubes dilewatkan dengan bagian distal anterior dan
diputar 90 derajat (kearah bronkus yang dituju untuk diintubasi)
setelah melewati pita suara dan memasuki laring.

21
Pada titik ini, operator memiliki dua pilihan: (1) tubes dapat
dimajukan sampai ada resistensi yang dirasakan (kedalaman rata-
rata adalah 29cm), atau (2) sebagai alternatif bronkoskopi serat optik
(Fiber optic broncoscope) dapat digunakan untuk memastikan
posisi tube dengan memasukkannya kedalam bronkus yang
diinginkan. Penempatan tubes yang benar dapat dilhat dan
ditetapkan melalui gambar dibawah ini, dan dikonfirmasi dengan
bronkoskopi serat optik fleksibel:

Gambar 2.6 Protokol pemasangan left-sided double lumen tube

Sebagian besar double-lumen tubes mudah mengakomodasi


bronkoskop dengan diameter luarnya yang cukup luas 3,6-4,2 mm.
Ketika bronkoskop dimasukkan ke dalam tracheal lumen, carina
harus terlihat dan ujung bronkial tube harus terlihat memasuki
masing masing-masing bronkus, selain itu bagian atas cuff bronkial
(biasanya berwarna biru) harus terlihat, tetapi tidak boleh dibuat
over-cuffed di carina. Jika cuff bronchial dari left-sided bronchial
lumen tidak terlihat, maka bronchial limb dari tubesnya mungkin
telah masuk terlalu jauh, sehingga tabung harus ditarik sampai cuff
dapat terlihat dibawah carina. Posisi right-sided lumen dikonfirmasi
dengan menempatkan fiberoptic scope melalui endobronchial

22
lumen, dimana portal endobronkial dengan pembukaan bronkus
lobus kanan atas harus dapat tervisualisasi.

Posisi tube harus dikonfirmasi ulang setelah pasien


diposisikan untuk pembedahan karena tube dapat bergerak relative
terhadap carina karena perubahan posisi pasien menjadi posisi
lateral dekubitus. Malposisi double-lumen tube diindikasikan
dengan kegagalan kolaps pada paru yang akan dioperasi, dan
komplians paru yang buruk.
Komplikasi dari double-lumen tubes antara lain adalah: (1)
Hipoksemia akibat tube malposition, (2) Traumatic laryngitis, (3)
Ruptur Tracheobronchial karena penempatan posisi yang bersifat
traumatik atau over-inflasi dari cuff bronkial.

2.3 Pemilihan Obat Anestesi


General anestesi normlanya meningkatkan tekanan jalan nafas dengan cara
menurunkan kapasitas residual fungsional (FRC). Tekanan jalan nafas selanjutnya
dapat ditingkatkan lebih jauh selama pembedahan berlangsung oleh obstruksi
karena sekresi atau tumor dan oleh trauma yang ditimbulkan karena pembedahan
yang dapat mengakibatkan perdarahan dan bronkospasme.

23
Kondisi medis seperti PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik), Asma,
Fibrosis kistik, dan penyakit gangguan paru lainnya juga dapat memberikan efek
seperti diatas dan dapat menimbulkan reaktifitas jalan nafas. Intubasi bronkus
dengan double-lume tube (DLT) atau bronchial blocker dapat menghasilkan
bronkospasme melalui mekanisme stimulasi mukosa.
Efek ini dapat dikompensasi sebagian dengan penggunaan anestesi inhalasi.
Halotan, enfluran, isofluran, desfluran, dan sevofluran memiliki efek bronkodilator.
Mereka juga dapat mematikan refleks bronkonstriksi pada salurang nafas pada
pasien dengan saluran nafas yang reaktif.
Isofluran, sevofluran, maupun desfluran, yang mengijinkan terjadinya
kedalaman anetesi dengan efek aritmia ventilasi yang lebih minimal, menjadi
pilihan pada pembedahan toraks.
Penggunaan isoflurane, sevoflurane, maupun desfluran dalam mekanisme
ventilasi satu paru, tidak menunjukkan adanya perbedaan dalam oksigenasi dan
kestabilan hemodinamika.
Penggunaan obat-obatan pelepas histamin (thiopental, thiamylal,
propanidid) dapat menghasilkan bronkospasme. Pemberian ketiga obat ini harus
diperhatikan secara hati-hati pada pasien dengan jalan napas yang reaktif.
Methohexital, etomidate, dan propofol tidak menyebabkan pelepasan
histamine, sehingga patut dibertimbangkan sebagai pilihan induksi anestesi pada
pasien yang memiliki asma.
Beberapa obat pelumpuh otot seperti vecuronium, mivacurium, curare,
juga dapat menyebabkan pelepasan histamine.
Ketamine memiliki efek bronkodilasi langsung dan merupakan antagonis
bronkokonstriksi dari histamine tanpa memberikan efek depresi pernapasan.
Ketamine juga dapat mempertahankan HPV (Hypoxic Pulmonary
Vasoconstriction). Ketamine memiliki onset kerja yang sangat cepat dan
merupakan salah satu induksi anestesi pilihan pada pasien torakotomi emergensi
yang sedang dalam keadaan tidak stabil. Namun penggunaan ketamine tidak begitu
disarankan dalam pembedahan toraks rutin.

24
Dalam paru-paru, hipoksia regional menyebabkan konstriksi arteriol
dengan menyalurkan darah menjauhi bagian yang sedang hipoksik ke area dengan
oksigenasi yang lebih baik. Respon HPV (Hypoxic Pulmonary Vasoconstriction)
memperbaiki pertukaran oksigen dengan menyesuaikan ventilasi dan perfusi.
Efek anestesi pada HPV merupakan sesuatu yang kompleks. Beberapa studi
yang coba dilakukan pada hewan, memberikan hasil bahwa semua agen intravena
seperti berbiturat, droperidol, ketamine, opioids, hipnotik, tidak menekan HPV.
Namun, dalam suatu studi eksperimental, didapatkan bahwa semua anestesi
inhalasi termasuk sevoflurane, dan desflurane memiliki efek langsung dalam
menghambat HPV.
Penekanan langsung pada HPV oleh obat-obat anestesi inhalasi
dihubungkan dengan pelepasan nitric oxide endogen. Sebaliknya, inhibisi produksi
NO meningkatkan respon HPV, bahkan dalam penggunaan anestesi inhalasi.

Pemilihan obat anestesi pada pasien bedah toraks melibatkan hal yang
menantang, karena harus mempertahankan stabilitas hemodinamika dan oksigenasi
selama ventilasi satu paru. Anestesi umum dapat meningkatkan tahanan jalan nafas
dan penurunan FRC. Pasien yang akan menjalani torakotomi memiliki resiko
mengalami peningkatan tahanan jalan nafas yang lebih besar akibat sekret yang
berlebihan atau akibat tumor.

25
Beberapa pasien dengan PPOK, Asma, Fibrosis Kistik, maupun penyakit
paru lainnya dapat mempengaruhi diameter jalan nafas dan reaktivitas jalan nafas.
Trauma operasi pada paru juga dapat menimbulkan perdarahan dan bronkospasme.
Intubasi endotrakea juda dapat menimbulkan bronkospasme akibat rangsangan
langsung pada mukosa, demikian juga ventilasi melalui satu lumen dari pipa
endotrakea lumen ganda dapat menimbulkan peningkatan tahanan jalan nafas.
Efek-efek bronkospasme dapat sebagian ditekan oleh penggunaan anestesi
inhalasi. Halotane, Enflurane, dan Isoflurane memiliki potensi sebagai
bronkodilator langsung. Agen ini juga dapat menghilangkan efek bronkokonstriksi
pada pasien dengan jalan nafas yang reaktif. Secara klinis, isoflurane merupakan
pilihan yang baik karena hanya menimbulkan depresi miokard minimal dan jarang
menimbulkan aritmia ventrikel dibandingkan dengan halotane dan enflurane.

Obat-obat yang menimbulkan pelepasan histamine dapat memicu terjadinya


bronkospasm. Obat induksi anestesi seperti Tiopental, tiamilal, dan propanidid
memiliki efek pelepasan histamine yang berhubungan dengan dosisnya. Sedangkan
methohexitone, ethomidate, dan propofol tidak. Ketamine memiliki efek
bronkodilator yang dapat digunakan untuk induksi pada pasien dengan jalan napas
yang reaktif. Ketamine memiliki onset yang cepat, mempertahankan stabilitas
kardiovaskuler, dan digunakan untuk induksi anestesi pada pasien-pasien yang
tidak stabol yang akan menjalani torakotomi emergensi. Ketamin memiliki efek
bronkodilatasi langsung dan merupakan antagonis bronkokonstriksi akibat
pelepasan histamin tanpa menimbulkan depresi pernapasan. Namun penggunaan

26
ketamine sebaiknya dihindari pada pasien dengan level teofilin yang tinggi pada
pasien asma karena dapat memicu terjadinya kejang.

Obat-obat pelumpuh otot seperti vecuronium, pancuronium, merupakan


pilihan, sedangkan pemakaian atracurium dan gantacurium menimbulkan efek
pelepasan histamine sehingga dihindari.

Rekomendasi Pemilihan Obat dan Teknik Anestesi


Anestesi umum dengan ventilasi kontrol merupakan metode anestesi yang
paling aman dalam pembedahan toraks.
Obat-obat anestesi inhalasi halogen merupakan pilihan yang baik karena
memiliki efek yang baik pada jalan nafas, karena dapat mencegah terjadinya

27
bronkokonstriksi, memiliki efek bronkodilatasi, dan menghilangkan reflek jalan
nafas pada pasien yang memiliki jalan nafas yang reaktif (misalnya perokok).
Kelebihan dari obat ini adalah dapat diberikan dengan oksigen inspirasi konsentrasi
tinggi tanpa kehilangan efek anestesninya, cepat dieleminasi sehingga kejadian
hipoventilasi pasca bedah dapat dikurangi. Pada dosis klinis umum (mendekati 1
MAC) dapat menjamin stabilitas kardiovaskuler, dan obat golongan ini tidak telihat
menurnkan PaO2 selama ventilasi satu paru.
Obat-obatan anestesi intravena yang menjadi pilihan untuk induksi anestesi
adalah propofol dan etomidate karena tidak menginduksi terjadinya
bronkokonstriksi. Penggunaan thiopental sebaiknya dihindari karena dapat
menginduksi bronkospasme dan memperberat efek pelepasan histamine. Ketamine
merupakan anestesi intravena dengan efek bronkodilatasi langsung, dan merupakan
pilihan yang baik untuk pasien dengan asma yang secara hemodinamika tidak
stabil. Namun pada pembedahan elektif penggunaan ketamine jarang dilakukan.
Obat-obat anestesi intravena yang bertujuan untuk memberikan efek
analgesia, terutama narkotik fentanyl terbukti dapat mempertahankan stabilitas
hemodinamik sehingga sangat bermanfaat untuk pasien dengan penyakit arteri
koronoria. Dalam dosis sedang, fentanyl dapat menurunkan kebutuhan obat
anestesi inhalasi halogen, dan dalam dosis besar atau dosis sedang dikombinasikan
dengan anestesi inhalasi dapat diberikan oksigen inspirasi dalam konsentrasi tinggi.
Fentanil tidak menurunkan HPV sehingga, dapat mempertahankan oksigenasi
seoptimal mungkin selama ventilasi satu paru.
Ketamin dalam kombinasi dengan N2O dan pelumpuh otot dapat digunakan
dalam bedah torak. Meskipun pemakaian ketamine tidak dianjurkan dalam
penatalaksanaan operasi elektif, obat ini bermanfaat sebagai induksi pada pasien-
pasien kritis yang akan menjalani bedah darurat oleh karena efek memiliki efek
simpatomimetik yang diperlukan karena kebanyakan pembedahan torak darurat
disertai dengan kondisi hipovolemik. Disamping itu, obat ini memiliki onset yang
cepat dan dapat mengurangi bronkospasme pada pasien asma, dan tidak berefek
pada HPV sehingga obat ini tidak menganggu oksigenasi selama ventilasi.

28
Setelah preoksigenasi atau proses denitrogenisasi dengan oksigen 100%
selama 3-5 menit dapat diberikan fentanil intravena 2-50 mcg/kg sebagai obat
anelgesia.

Induksi anestesi dapat dilakukan dengan obat anestesi pilihan seperti


etomidate 0.2-0.5mg/kg, propofol 1-2.5 mg/kg. methohexital 1-2mg/kg atau
ketamine dengan dosis induksi 1-2mg/kg untuk pasien dengan jalan nafas yang
sangat reaktif atau sedang mengalami hypovolemia sedang.

29
Obat pelumpuh otot pilihan pada pasien dengan torakotomi adalah
vecuronium 0,12 mg/kg atau, pancuronium 0.12 mg/kg, dan cisatracurium
0.2mg/kg.

Pemeliharan anestesi dilakukan dengan pemakaian isoflurane 1,0 MAC,


narkotik, dan pelumpuh otot dosis pemeliharaan.
Pada posisi lateral dekubitu, isi abdomen dapat mendesak diafragma ke atas
dan menurunkan FRC dari paru dependen. Agar PaO2 dapat maksimal, paru
dependen harus diventilasi dengan oksigen 100% dengan volume tidal yang besar
(8-14 ml/kg).

2.4 Pre-operatif
Komplikasi paska bedah yang paling sering terjadi adalah atelektasis dan
pneumonia, dimana untuk mencegah hal tersebut, diperlukan pesiapan dan
tindakan-tindakan prabedah yang ditujukan untuk optimalisasi fungsi paru.
Persiapan tersebut meliputi penghentian kebiasaan merokok setidaknyua 1-
2 hari sebelum dilakukannya tindakan pembedahan. Hal ini dikarenakan rokok
dapat meningkatkan reaktifitas jalan napas dan dapat menurunkan pengosongan
sekret. Selain itu dapat juga digunakan obat-obatan yang dapat melebarkan jalan
napas seperti B2 agonist, atnikolinergik, dan glukokortikoid. Selain itu, pasien

30
dengan dahak yang berlebih dapat diberikan obat-obatan ekspektoran dan
mukolitik. Serta pemberian antibiotik profilaksis.
Selain memberikan obat-obatan pre-medikasi, pasien dengan penyakit paru
ataupun penyakit kardiovaskuler disarankan untuk melakukan pemeriksaan
echocardiography, ronsen paru dan CT-Scan atau MRI.

2.4 Intra-operatif
Persiapan dan Monitoring
Monitor rutin selama pembedahan toraks meliputi pemasangan pengukur
tekanan darah, pulse oximetry, end-tidal, kapnografi, ECG, temperature, dan
kateter urin.
Selama ventilasi satu paru, memonitor oksigenasi melalui saturasi oksigen
biasanya adekuat. Akan tetapi dalam keadaan hipotensi lama, pulse oximetry
menjadi kurang akurat. Pemasangan akses arterial mengijinkan pengambilan
sampel dari darah arteri secara intermiten untuk memonitor oksigenasi, ventilasi,
dan status asam-basa pasien. Akses arterial ini juga berguna untuk memonitor status
hemodinamika pasien, terutama pada kasus pembedahan jantung dan pembuluh
darah besar yang dapat menyebabkan hipotensi dan aritmia.
Sekarang ini yang digunakan adalah CIABG (Continuous Intra-Arterial
Blood Gas Monitoring) karena pengambilan sampel darah arteri secara intermiten
dapat gagal dalam mendeteksi transien arteri hipoksemia selama ventilasi satu paru.
Pemantauan status cairan pasien dengan pemasangan CVC (Central Venous
Pressure) tidak terlalu diperlukan dalam pembedahan torakotomi karena tidak
terjadi perubahan cairan yang besar. Restriksi cairan diindikasikan pada pasien
yang akan menjalani pembedahan toraks. Pemberian yang direkomendasikan
adalah cairan kristaloid kurang dari 20mL/kg (1-2L) selama 24jam.
Transesophageal Echocardiography (TEE) digunakan dalam operasi
pembedahan paru. Mengklem arteri pulmonal selama pneumonectomy
dihubungkan dengan difungsi transient ventrikel kanan, dan regurgitasi mitral
ringan dari dilatasi akut ventrikel kanan. Monitoring TEE pada pasien-pasien
berresiko tinggi dengan penyakit jantung selama pneumonectomy membantu

31
mendeteksi pasien yang keumngkinan akan menglami kegagalan pada ventrikel
kanan dana tau hipokesmia pada masa preoperative. Selama torakotomi, TEE dapat
digunakan untuk mengindentifikasi keberadaan tumor pada vena pulmonal, emboli
tumor, dan invasi tumor ke atrium kanan.
Induksi Anestesi
Setelah preoksigenasi yang akurat, anestesi intravena digunakan sebagai
obat induksi. Pilihan obat induksi intravena pada pasien torakotomi merupakan
obat-obat yang memiliki efek bronkodilatasi.
Laringoskopi langsung harus dilakukan setelah induksi anestesi yang
adekuat dan setelah kedalaman anesthesia telah tercapai. Intubasi endotrakea pada
torakotomi menggunakan double-lumen bronchial tube. Controlled Positive
Pressure Ventilation membantu mencegah terjadinya atelektasis, pernapapasan
paradoksikal, dan pergeseran mediastinum.
Posisi Anestesi
Setelah induksi, intubasi dan konfirmasi posisi tracheal atau bronchial tube
yang benar, dilakukan pemosisian pasien. Posisi pilihan pada sebagian besar
prosedur torakotomi adalah posisi lateral dekubitus. Posisi yang tepat dapat
menurunkan resiko cedera pada pasien dan dapat menyediakan ladang operasi yang
tepat dan cukup. Lengan bagian bawah difleksi dan lengan bagian atas
diekstensikan di depan kepala. Bantal diletakkan antara lengan dan kaki, dan
diantara axilla untuk mengurangi tekanan pada bahu inferior dan membantu
mencegah penekanan pada pleksus brakialis.

Rumatan Anestesi
Kombinasi obat inhalasi seperti isoflurane, sevoflurane, atau desflurane
dengan opioid merupakan pilihan bagi kebanyakan klinisi. Kelebihan inhalasi
anestesi adalah efek bronkodilatasi yang potent tergantung dosis, penurunan refleks
nafas, dan penggunaan FIO2 yang tinggi jika diperlukan, dan mempertahakan
kedalaman anestesi, serta efek yang minimal terhadap HPV. Agen anestesi inhalasi
halogen dalam dosis <1 MAC memiliki efek yang minimal pada HPV.

32
Jika opioid epidural digunakan post-operatif maka iv opioid selama
pembedahan harus ditekan untuk menurunkan efek depresi pernapasan yang
berlebih. Pemeliharaan pelumpuhan otot dengan non-depolarizing neuromuscular
blocker (NMB) selama pembedahan memfasilitasi tatalaksana anestesi. Pemberian
cairan intravena harus di batasi pada pasien torakotomi karena cairan yang berlebih
dihubungkan dengan Acute Lung Injury pada masa post-operatif. Pemberian cairan
yang berlebih dalam posisi lateral dekubitus dapat mengakibatkan lower lung
syndrome.
Kejadian hipoksemia berkurang dengan metode isolasi paru yang membaik,
teknik ventilasi, dan penggunaan obat anestesi inhalasi yang memiliki efek minimal
terhadap HPV.

2.5 Post-operatif
Kebanyakan pasien di ekstubasi segera setelah pembedahan untuk
mengurangi resiko barotrauma pada paru. Namun pada beberapa pasien ekstubasi
ditunda sampai kriteria ekstubasi terpenuhi. Jika double-lumen tube digunakan
selama pembedahan dengan teknik one-lung ventilation, maka setelah pembedahan
selesai, harus diganti dengan single-lumen tube.
Pasien kemudian dipindahkan ke ruangan post-anestesi care unit untuk
dievaluasi lebih lanjut. Post-operatif hipoksemia dan asidosis respiratorik sering
dijumpai pada pasien post-torakotomi. Masalah tersebut diakibatkan oleh
atelektasis dan pernafasan dangkal yang ditimbulkan akibat nyeri yang ditimbulkan
akibat insisi.
Perdarahan pasca operasi mecakup 3% dari komplikasi yang ditimbulkan
dari prosedur torakotomi, dan dikaitkan dengan 20% penyebab kematian. Tanda-
tanda perdarahan termasuk hipotensi, takikardia, dan hematocrit yang turun.
Aritmia supraventricular pasca operasi bisanya terjadi pasca operasi umum terjadi
dan memerlukan perawatan segera.
Perawatan rutin pasca operasi harus mencakup memposisikan pasien dalam
posisi semi-upright (>30 derajat), pemberian oksigen tambahan (40%-50%),

33
spirometrik insentif, EKG dan pemantauan hemodinamik, serta ronsen dada pasca
operasi, serta menghilangkan rasa sakit yang ditimbulkan pasca-operasi.

Post-Operatif Analgesia
Pentingnya manajemen nyeri yang memadai pada pasien bedah toraks tidak
dapat diremehkan. Kontrol nyeri yang tidak adekuat pada pasien dapat
menghasilkan upaya pernapasan yang buruk dan ketidakmampuan untuk batuk dan
mengeluarkan sekret. Hal tersebut dapat mengakibatkan penutupan jalan nafas,
atelektasis, dan hipoksemia.
Analgesik epidural merupakan metode optimal dalam manajemen nyeri
akut pasca bedah toraks. Analgesik epidural menyediakan penghilang rasa sakit
yang sangat baik, dan menghindari efek samping yang terkait dengan pemberian
opioid sistemik. Namun masih banyak perdebatan mengenai tingkat penempatan
kateter epidural (thoracic/lumbar), jenis obat yang diberikan (opioid dan atau
anestesi lokal), dan waktu pemberian obat (sebelum insisi obat vs sebelum akhir
operasi). Sebagian besar klinis menggunakan kombinasi opioid (fentanyl, morfin,
hidromorfon) dan anestesi lokal seperti bupivacaine atau ropivacaine), dengan
kateter epidural ditempatkan pada tingkat toraks.
Selain analgesik epidural, blok ssaraf interkostal atau paravertebral dengan
anestesi lokal yang bekerja lama, dapat memfasilitasi manajemen nyeri, namun
memiliki durasi yang tidak lama. Biasanya digunakan obat anestesi lokal yang
bekerja lama 3-4 ml bupivakain 0,5%.
Cyroanalgesia dapat digunakan secara intraoperative untuk membekukan
saraf interkostalis (cyroneurolysis) dan menghasilkan efek anestesi yang tahan
lama. Sayangnya, efek maksimal analgesia mungkin tidak tercapai 24-48 jam
setelah prosedur cyroanalgesia.

34
2.7 Komplikasi Post-Operatif
- Atelektasis
- Fistula Bronkopleura
- Perdarahan
- Obstruksi vena
- Hemoptysis
- Herniasi jantung
- Phrenic Nerve Palsy
- Spinal Cord Compression
- Back pain
- Loss Motor Function
- Cedera nervus reccurent laryngeal
- Cedera nervus vagus

35
DAFTAR PUSTAKA
1. Hall J. Guyton and Hall textbook of medical physiology. Philadelphia, PA:
Elsevier; 2016
2. Sherwood L. Human physiology. 9th ed. Cengage Learning;2015.
3. Miller, R., Cohen, N., Eriksson, L., Fleisher, L., Wiener-Kronish, J. and
Young, W. (2015). Miller's anesthesia. 8th ed. Philadelphia: Elsevier.
4. Morgan, Mikhail’s. Clinical Anesthesiology. (2013). Morgan&Mikhail’s
Clinical Anesthesiology. 5th ed.
5. Patwa A, Shah A. Anatomy and physiology of respiratory system relevant
to anaesthesia. Indian J Anaesth. 2015; 59(9):533-541
6. Slinger P, Scott WA. Arterial oxygenation during one-lung ventilation: a
comparison of enflurane and isoflurane. Anesthesiology 1995; 82: 940–6

36

Anda mungkin juga menyukai