PENDAHULUAN
AS utilitas air akan menghabiskan sekitar $ 325 miliar selama 20 tahun ke depan untuk
meng-upgrade sistem distribusi air mereka, 1 dengan mayoritas biaya yang terkait
dengan perbaikan atau mengganti pipa besi berkarat. Kontaminasi air minum oleh
partikel besi dilepaskan dari pipa terkorosi sering keluhan konsumen yang paling
dikutip di banyak utilitas. Korosi besi juga sebuah keprihatinan kesehatan tidak
langsung manusia, karena tuberkel dalam pipa dapat memberikan situs untuk mikroba
tumbuh kembali dan korosi langsung mengkonsumsi desinfektan, sehingga menurunkan
residu.Akhirnya, dalam satu keadaan yang sangat tidak biasa, inisiasi klorinasi dari
distribusi air sistem menyebabkan pelepasan partikel besi dan tembaga yang terkandung
sangat tinggi(sampai 5 mg / L) tingkat arsenik, yang bisa menimbulkan risiko kesehatan
akut dengan population.2 Korosi pipa besi adalah proses rumit yang dipengaruhi oleh
berbagai faktor termasuk kualitas air dan komposisi, kondisi aliran, aktivitas biologis,
dan inhibitor korosi (lihat referensi 3 untuk review dari faktor-faktor). Faktor-faktor
tradisional dievaluasi ketika menilai korosi besi termasuk berbagai parameter kualitas
air (pH, alkalinitas, penyangga intensitas, oksigen terlarut, dll) dan korosi indeks
(Indeks Larson ,4-6 Langelier Indeks ,7-11 Ryznar Indeks, 12 Indeks Agresivitas, 13
Kelebihan Sesaat, 14 Mengemudi Indeks Angkatan, Kalsium Karbonat dan hujan
Potential.8-10) Korosi indeks telah terbukti sebagian besar efektif untuk banyak utilitas,
dan penggunaan indeks paling terkenal, Indeks Langelier, sekarang discouraged.3
Selain itu, kualitas air tidak selalu bisa menjelaskan variasi dalam perilaku korosi;
misalnya, sebuah studi baru menemukan bahwa perubahan dalam parameter kualitas air
Pipa dalam sistem distribusi hampir selalu terkubur, dan suhu tanah di sekitarnya tetap
relatif konstan. Namun, suhu air dalam pipa dapat perubahan sepanjang tahun karena
variasi musiman dari sumber air. Jadi, pipa dapat menunjukkan perilaku korosi yang
berbeda di musim dingin dibandingkan musim panas. Hanya beberapa studi telah
meneliti peran temperatur yang berbeda dalam distribusi sistem korosi. Dalam satu
studi, penurunan berat badan menurun untuk sampel besi diadakan di 13 º C
dibandingkan 20 º C.17 Penelitian lain menemukan konsentrasi besi rendah dan korosi
rates18 dan pelanggan yang lebih sedikit keluhan merah water19 selama musim dingin
dingin. Akhirnya, satu utilitas dilaporkan lebih merah air insiden selama musim panas
hangat (M. Pearthree, komunikasi pribadi). Demikian pula, beberapa penelitian telah
menemukan perbedaan dalam korosi lead20-23 dan copper20, 23-32 pada suhu konstan
yang berbeda. Setidaknya lima parameter utama yang mempengaruhi korosi dapat
bervariasi dengan suhu: terlarut oksigen (DO) kelarutan, sifat larutan (misalnya
viskositas), besi laju oksidasi besi, sifat termodinamika skala besi, dan aktivitas biologis
(Gambar 3-1). DO Kelarutan Kelarutan oksigen menurun pada suhu yang lebih tinggi.
Pada tekanan 1 atmosfer (laut tingkat), DO jenuh adalah 8.26 mg / L pada 25 º C
dibandingkan 12,77 mg / L pada 5 º C. Perbedaan ini bisa saja tiga efek pada korosi
besi. Pertama, oksigen adalah akseptor elektron kunci untuk korosi besi logam. Pada
suhu yang lebih tinggi, ada kurang oksigen sehingga tingkat dan laju korosi lebih
mungkin terbatas. Kedua, oksigen memainkan peran penting dalam oksidasi besi
senyawa. Akhirnya, deplesi oksigen memungkinkan reaksi Kuch terjadi, dimana ada
skala besi ferri bertindak sebagai akseptor elektron untuk oksidasi logam besi ferrous
metal.33 Fe (logam) + 2FeOOH (skala) + 2H + 3Fe +2 + 4OH-(3-1) mReaksi ini
eksotermis, 34 jadi mungkin melanjutkan lebih lambat pada suhu yang lebih tinggi.
Jadi, perubahan dalam DO kelarutan dapat mempengaruhi laju korosi, besi oleh-produk
spesiasi dan konsentrasi, dan jenis skala terbentuk. Solusi Properti Viskositas air
menurun pada suhu yang lebih tinggi dari sekitar 1,5 x 10-2 N sec/m2 di 5 º C sampai
9 x 10-3 N sec/m2 pada 25 º C. Hal ini akan memungkinkan transportasi peningkatan
reaktan (O2 terlarut atau lainnya elektron akseptor) dan produk (Fe 2 spesies) ke dan
dari permukaan logam karena difusi meningkat, sehingga meningkatkan laju korosi jika
proses difusi terbatas. Juga, tingkat difusi Fe +2 ion melalui skala oksida besi
meningkat pada lebih tinggi temperatures.35, 36 Termodinamika Properti Suhu dapat
memiliki dampak yang besar terhadap berbagai sifat termodinamika dari suatu sistem,
termasuk koefisien aktivitas, kelarutan, dan entalpi reaksi, seperti yang dijelaskan oleh
didirikan persamaan (Lampiran A). Koefisien aktivitas sedikit meningkat pada suhu
lebih rendah (Tabel 3-1). Kelarutan fase padat dapat meningkatkan atau menurun
tergantung pada tanda entalpi reaksi (Hr o) (Tabel 3-2). Untuk padatan perwakilan
ditampilkan di sini, penurunan suhu dari 25 º C sampai 5 º C diharapkan untuk
menghasilkan perubahan 0,07 1,06 login produk kelarutan. Jadi, perubahan dalam
koefisien aktivitas dan produk kelarutan dapat menyebabkan sangat berbeda konsentrasi
besi larut pada berbagai suhu. Tergantung pada kondisi tertentu, ini juga dapat
menyebabkan pergeseran dominasi satu produk akhir yang solid yang lain. Jika ada
yang solid tidak bentuk, konsentrasi partikulat zat besi dapat berubah juga, karena
perubahan dalam daya tahan, kepatuhan, atau sifat protektif dari skala baru. Ada banyak
contoh dalam literatur yang menggambarkan peran suhu di identitas senyawa yang
terbentuk pada temperatur yang berbeda. Secara umum, daerah kekebalan terhadap
korosi (stabilitas dari logam itu sendiri) dan pasif (stabilitas skala) menurun sebagai
suhu dinaikkan 25-300 º C.37 Beberapa studi telah mengidentifikasi skala besi yang
berbeda pada temperatur yang berbeda dalam kualitas air yang sama, 36, 38-43
meskipun rentang dipelajari (20 º C - 100 º C) jauh lebih besar daripada yang dialami di
suatu sistem distribusi. Karena eksperimental kondisi yang bervariasi secara luas, tidak
mungkin untuk menarik kesimpulan tentang peran kualitatif oksida fase yang berbeda
pada aspek korosi besi dalam sistem distribusi. Fe +2 Oksidasi. Pada pH tertentu,
tingkat oksidasi besi ferro (Fe +2) meningkat dengan urutan besarnya untuk setiap
kenaikan 15 º C temperature.44, 45 Perubahan dalam spesiasi besi dapat mendukung
pembentukan senyawa yang berbeda pada temperatur yang berbeda. Efek pada korosi
akan tergantung pada sifat (kelarutan, daya tahan, kepatuhan, dll) dari skala baru yang
terbentuk. Aktivitas Biologi Dalam rentang suhu terbatas (5 - 25 ° C), aktivitas biologis
sering dapat dijelaskan oleh persamaan Arrhenius-jenis, dengan pertumbuhan
meningkat karena suhu rises.46 Mikroba dapat mengubah tingkat deplesi oksigen dan
kondisi redoks. Selain itu, oksidasi biologi dari besi besi meningkat pada tinggi
temperatures.47-50
VARIASI SUHU
peningkatan rilis dalam pipa tembaga yang tunduk pada gradien temperatur (pipa
hangat dalam rumah dingin selama musim dingin) .Apa yang mungkin menyebabkan
perubahan-perubahan dalam korosi karena suhu bervariasi? Pertama, sebagai
temperatur bervariasi, padatan dapat berubah dari satu fase ke yang lain seperti yang
dibahas sebelumnya. Ini dapat mengakibatkan pembentukan skala heterogen, dengan
beberapa senyawa besi diberikan pada permukaan. Bergantian, skala sudah dapat terdiri
dari beberapa senyawa lain karena faktor-faktor selain suhu. Either way, heterogenitas
ini membuat skala besi rentan terhadap dua perubahan fisik karena suhu bervariasi-yang
berbeda kepadatan (volume) dan berbeda koefisien ekspansi termal (Gambar 3-2).
Skala Kepadatan Komponen skala yang berbeda memiliki kerapatan yang berbeda. Hal
ini dijelaskan oleh Pilling- Bedworth rasio (PBR), sebuah ekspresi perbandingan
volume (per unit besi) dari logam tertentu senyawa lain (Tabel 3-3). Setiap PBR 1
menunjukkan bahwa tegangan tekan atau tarik dapat diperkenalkan ke dalam skala,
tergantung pada geometri permukaan. Aspek ini penting terutama ketika jenis baru dari
bentuk-bentuk skala karena suhu yang bervariasi, terutama jika padat baru bentuk
lapisan yang ada di bawah skala (yaitu pada antarmuka logam skala) .56 Koefisien
Ekspansi Termal Sebuah komponen skala tertentu akan memiliki koefisien ekspansi
termal yang berbeda () dibandingkan dengan logam atau lapisan lain skala (Tabel 3-4).
Sebagai contoh, logam Fe akan memperluas dan kontrak hampir 50% lebih dari Fe3O4
skala dalam menanggapi perubahan suhu yang sama. Perbedaan-perbedaan ini
menyebabkan tekanan mekanis dalam skala sebagai perubahan suhu, dan dapat
akhirnya menyebabkan skala spalling atau crack formation.3, 57, 58 fenomena ini dapat
menjadi penting dalam kasus-kasus di mana bentuk padat tambahan, di mana skala
sudah heterogen, dan bahkan di mana hanya satu jenis skala terbentuk pada logam besi.
Akhirnya, penting untuk dicatat bahwa tegangan akibat kepadatan berbeda atau skala
koefisien ekspansi termal umumnya lebih besar untuk permukaan cekung atau
cembung, seperti pipa, dibandingkan dengan permukaan datar. Demikian juga,
menekankan tersebut menjadi lebih penting dengan penurunan diameter pipa. Selain
menyebabkan detasemen fragmen skala untuk air, tekanan ini dapat menyebabkan retak
terbentuk dalam skala. Dalam beberapa kasus, retak mungkin mengekspos logam yang
tidak dilindungi permukaan larutan, secara drastis meningkatkan tingkat korosi. Ada
beberapa preseden untuk ini ide dalam literatur. Satu studi dari besi dan baja korosi
dalam suasana lembab menemukan bahwa skala dengan banyak celah-celah itu kurang
protektif dibandingkan dengan skala besi dengan beberapa cracks.39 Studi lain baja di
atmosphere40 lembab menemukan hasil yang sama, lebih jauh lagi, menggaruk
permukaan spesimen skala berat dengan jarum segera menyebabkan penurunan tajam
dalam korosi potensial (yang menunjukkan peningkatan dalam reaksi korosi). Dalam
penelitian atmosfer, retak mungkin diharapkan menjadi sangat signifikan karena hidrasi
dan dehidrasi dengan perubahan kelembaban, namun sebuah studi dari besi cor stud
ditempatkan dalam pipa sistem distribusi juga ditemukan peningkatan konsentrasi besi
dalam air ketika muncul retakan yang mendalam dalam skala pada besi studs. ada
informasi mengenai peranan kualitas air (khususnya kehadiran inhibitor fosfat) dalam
kemungkinan "penyembuhan" celah tersebut setelah mereka terbentuk, atau mencegah
pembentukan mereka di tempat pertama.
REKOMENDASI
Bagaimana informasi ini digunakan oleh personel air ketika menilai korosi besi?
Pertama, faktor-faktor berikut ini harus dievaluasi untuk melihat apakah sistem
distribusi dikenakan perubahan suhu:
1. Adalah air sumber air permukaan yang pengalaman sehari-hari atau musiman variasi
suhu?
2. Apakah sumber air reservoir atau danau yang stratifies dan ternyata lebih musiman?
3. Apakah sumber air dua atau lebih dari suhu yang berbeda (yaitu permukaan air dan
air tanah
4. Apakah sistem distribusi makan oleh dua atau lebih tanaman pengobatan dengan
berbagai sumber air?
5. Apakah setiap bagian dari sistem distribusi yang dijalankan di atas tanah, atau kurang
tanah-cover dari bagian lainnya, dan apakah air stagnasi pengalaman panjang kali
dalam bagian ini? Jika waktu tinggal air di pabrik pengolahan dan / atau tangki
penyimpanan tidak cukup lama, salah satu perubahan suhu dapat membawa ke sistem
distribusi. Langkah berikutnya adalah untuk mengevaluasi apakah variasi suhu
berkorelasi dengan mengamati korosi fenomena seperti:
2. Bagian dari sistem yang harus diganti karena skala yang berlebihan membangun-up
atau korosi kegagalan (perforasi pipa)
3. Peningkatan hilangnya sisa disinfektan Jika korelasi yang diamati, utilitas mungkin
ingin mencoba untuk meminimalkan perubahan suhu di Untuk mengatasi masalah
korosi.
KESIMPULAN
Karya ini didukung oleh National Science Foundation (NSF) di bawah hibah BES
9796299. Pendapat, temuan, dan kesimpulan atau rekomendasi adalah dari penulis dan
tidak mencerminkan pandangan dari NSF. Penulis pertama ini didukung oleh Air
Pekerjaan Asosiasi Amerika Wolman Fellowship dan Virginia Tech Via Yayasan.
DAFTAR PUSTAKA
1. American Water Works Association. WATER:\STATS 1996 Survey. (1996).
2. Reiber, S. & Dostal, G. Arsenic and Old Pipes--A Mysterious Liaison. Opflow.
(2000).
3. American Water Works Association Research Foundation & DVGW-
Technologiezentrum Wasser. Internal Corrosion of Water Distribution Systems,
Second Edition. American Water Works Association, Denver, CO (1996).
4. Larson, T.E. & Skold, R.V. Corrosion and Tuberculation of Cast Iron. Journal
AWWA, 49:10:1294 (1957).
5. Larson, T.E. & Skold, R.V. Laboratory Studies Relating Mineral Quality of Water to
Corrosion of Steel and Cast Iron. Corrosion, 14:285 (1958).
6. Larson, T.E. Corrosion by Domestic Waters. Bulletin 59, State of Illinois Department
of
Registration and Education, Illinois State Water Survey, Urbana, IL (1975).
7. Langelier, W.F. The Analytical Control of Anti-Corrosion Water Treatment. Journal
AWWA, 28:10:1500 (1936).
8. Merrill, D.T. & Sanks, R.L. Corrosion Control by Deposition of CaCO3 films: Part 1,
A
Practical Approach for Plant Operators. Journal AWWA, 69:11:592 (1977).
9. Merrill, D.T. & Sanks, R.L. Corrosion Control by Deposition of CaCO3 films: Part 2,
A
Practical Approach for Plant Operators. Journal AWWA, 69:12:634 (1977).
10. Merrill, D.T. & Sanks, R.L. Corrosion Control by Deposition of CaCO3 films: Part
3, A
Practical Approach for Plant Operators. Journal AWWA, 70:1:12 (1978).
11. Merrill, D.T. & Sanks, R.L. Notes and Comments: More on Protection by CaCO3
Films.
Journal AWWA, 71:4:227 (1979).
12. Ryznar, J.W. A New Index for Determining Amount of Calcium Carbonate Scale
Formed
by a Water. Journal AWWA, 36:4:472 (1944).
13. Millette, J.R.; Hammonds, A.F.; Pansing, M.F.; Hansen, E.C. & Clark, P.J.
Aggressive
Water: Assessing the Extent of the Problem. Journal AWWA, 72:5:262 (1980).
14. Dye, J.F. Correlation of the Two Principal Methods of Calculating the Three Kinds
of
Alkalinity. Journal AWWA, 50:6:801 (1958).
15. Rossum, J.R. & Merrill, D.T. An Evaluation of the Calcium Carbonate Saturation
Indexes. Journal AWWA, 75:2:95 (1983).
16. McNeill, L.S. & Edwards, M. Phosphate Inhibitors and Red Water in Stagnant
Pipes. ASCE Journal of Environmental Engineering, in press (2000).
17. Fiksdal, L. Water Quality and Internal Corrosion of Iron Pipes. Proc. Internal
Corrosion in Water Distribution Systems. Goteborg, Sweden, 111-115 (1995).
18. Volk, C.; Dundore, E.; Schiermann, J. & LeChevallier, M. Practical Evaluation of
Iron Corrosion Control in a Drinking Water Distribution System. Water Res.,
34:6:1967 (2000).
19. Horsley, M.B.; Northrup, B.W.; O'Brien, W.J. & Harms, L.L. Minimizing Iron
Corrosion in Lime Softened Water. Proc. AWWA Water Quality Technology
Conference, Paper 5C-3. San Diego, CA (1998).
20. Karalekas Jr., P.C.; Ryan, C.R. & Taylor, F.B. Control of Lead, Copper, and Iron
Pipe Corrosion in Boston. Journal AWWA, 75:2:92 (1983).
21. Colling, J.H.; Whincup, P.A.E. & Hayes, C.R. The Measurement of
Plumbosolvency Propensity to Guide the Control of Lead in Tapwaters. Journal of
the Institute of Water and Environment Management, 1:3:263 (1987).
22. Colling, J.H.; Croll, B.T.; Whincup, P.A.E. & Harward, C. Plumbosolvency Effects
and Control in Hard Waters. Journal of the Institute of Water and Environment
Management, 6:6:259 (1992).
23. Johnson, B.; Yorton, R.; Tran, T. & Kim, J. Evaluation of Corrosion Control
Alternatives to Meet the Lead and Copper Rule for Eastern Massachusetts. Journal
NEWWA, 107:3:24 (1993).
24. Obrecht, M.F. & Quill, L.L. How Temperature, Treatment, and Velocity of Potable
Water Affect Corrosion of Copper and Its Alloys in Heat Exchanger and Piping
Systems. Heating, Piping, and Air Conditioning, 32:1:165 (1960).
25. Obrecht, M.F. & Quill, L.L. How Temperature, Treatment, and Velocity of Potable
Water Affect Corrosion of Copper and Its Alloys; Cupro-Nickel, Admiralty Tubes
Resist Corrosion Better. Heating, Piping, and Air Conditioning, 32:9:125 (1960).
26. Obrecht, M.F. & Quill, L.L. How Temperature, Treatment, and Velocity of Potable
Water Affect Corrosion of Copper and Its Alloys; Different Softened Waters Have
Broad Corrosive Effects on Copper Tubing. Heating, Piping, and Air Conditioning,
32:7:115 (1960).
27. Obrecht, M.F. & Quill, L.L. How Temperature, Treatment, and Velocity of Potable
Water Affect Corrosion of Copper and Its Alloys; Tests Show Effects of Water
Quality at Various Temperatures, Velocities. Heating, Piping, and Air
Conditioning, 32:5:105 (1960).
28. Obrecht, M.F. & Quill, L.L. How Temperature, Treatment, and Velocity of Potable
Water Affect Corrosion of Copper and Its Alloys; What is Corrosion? Heating,
Piping, and Air Conditioning, 32:3:109 (1960).
29. Obrecht, M.F. & Quill, L.L. How Temperature, Treatment, and Velocity of Potable
Water Affect Corrosion of Copper and Its Alloys; Monitoring System Reveals
Effects of Different Operating Conditions. Heating, Piping, and Air Conditioning,
32:4:131 (1960).
30. Obrecht, M.F. & Quill, L.L. How Temperature, Treatment, and Velocity of Potable
Water Affect Corrosion of Copper and Its Alloys. Heating, Piping, and Air
Conditioning, 33:4:129 (1961).
31. Obrecht, M.F. & Pourbaix, M. Corrosion of Metals in Potable Water Systems.
Journal AWWA, 59:8:977 (1967).
32. Sprague, N. & Edwards, M. Role of Temperature, Chlorine, and Organic Matter in
Copper Corrosion By-Product Release to Soft Water. Water Research, in press
(1999).
33. Kuch, A. Investigations of the Reduction and Re-oxidation Kinetics of Iron(III)
Oxide Scales Formed in Waters. Corrosion Sci., 28:3:221 (1988).
34. Shams el Din, A.M. & Arain, R.A. Thermometric, Gravimetric, and Potentiometric
Study of Corrosion of Iron Under Conditions of Reaction Fe+2 + Fe+3 = 3Fe+2.
British Corrosion Journal, 33:3:189 (1998). 60
35. Davalos, J.; Gracia, M.; Marco, J.F. & Gancedo, J.R. Corrosion of Weathering Steel
and Iron Under Wet-Dry Cycling Conditions: Influence of the Rise of Temperature
During the Dry Period. Hyperfine Interactions, 69:1-4:871 (1991).
36. Mabuchi, K.; Horii, Y.; Takahashi, H. & Nagayama, M. Effect of Temperature and
Dissolved Oxygen on the Corrosion Behavior of Carbon Steel in High-
Temperature Water. Corrosion, 47:7:500 (1991).
37. Beverskog, B. & Puigdomenech, I. Revised Pourbaix Diagrams for Iron at 25-300
C.
Corrosion Sci., 38:12:2121 (1996).
38. Hatch, G.B. Second Corrosion Study of Pipe Exposed to Domestic Waters.
Materials
Protection, 9:6:34 (1970).
39. Misawa, T.; Asami, K.; Hashimoto, K. & Shimodaira, S. The Mechanism of
Atmospheric Rusting and The Protective Amorphous Rust on Low Alloy Steel.
Corrosion Sci., 14:279 (1974).
40. Schwitter, H. & Bohni, H. Influence of Accelerated Weathering on the Corrosion of
Low- Alloy Steels. Journal Electrochem. Soc., 127:1:15 (1980).
41. Valentini, C.R.; Moina, C.A.; Vilche, J.R. & Arvia, A.J. The Electrochemical
Behaviour of Iron in Stagnant and Stirred Potassium Carbonate-Bicarbonate
Solutions in the 0-75C Temperature Range. Corrosion Sci., 25:11:985 (1985).
42. Blengino, J.M.; Keddam, M.; Labbe, J.P. & Robbiola, L. Physico-chemical
Characterization of Corrosion Layers Formed on Iron in a Sodium Carbonate-
Bicarbonate Containing Environment. Corrosion Sci., 37:4:621 (1995).
43. Simpson, L.J. & Melendres, C.A. Surface-Enhanced Raman Spectroelectrochemical
Studies of Corrosion Films on Iron in Aqueous Carbonate Solution. Journal
Electrochem. Soc., 143:7:2146 (1996).
44. Stumm, W. & Morgan, J.J. Aquatic Chemistry: Chemical Equilibria and Rates in
Natural Waters. Third Edition. John Wiley & Sons, Inc, New York, NY (1996).
45. Millero, F.J. Effect of Ionic Interactions on the Oxidation of Fe(II) and Cu(I) in
Natural Waters. Marine Chemistry, 28:1 (1989).
46. Grady Jr., C.P.L. & Lim, H.C. Biological Wastewater Treatment. Marcel Dekker,
Inc., NY, NY 1980).
47. Denisov, G.V.; Kovrov, B.G. & Kovaleva, T.F. Effect of the pH and Temperature
of the Medium on the Rate of Oxidation of Fe2+ to Fe3+ by a Culture of
Thiobacillus ferrooxidans and the Coefficient of Efficiency of Biosynthesis
(Translated from Russian). Mikrobiologiya (Microbiology), 50:5:696 (1981).
48. Kovalenko, T.V.; Karavaiko, G.I. & Piskunov, V.P. Effect of Fe3+ Ions in the
Oxidation of Ferrous Iron by Thiobacillus ferrooxidans at Various Temperatures
(translated from Russian). Mikrobiologiya (Microbiology), 51:1:142 (1982).
49. Nemati, M. & Webb, C. A Kinetic Model for Biological Oxidation of Ferrous Iron
by
Thiobacillus ferrooxidans. Biotechnology and Bioengineering, 53:5:478 (1997).
50. Okereke, A. & Stevens Jr., S.E. Kinetics of Iron Oxidation by Thiobacillus
ferrooxidans. Applied and Environmental Microbiology, 57:4:1052 (1991).
51. Holden, B.; Greetham, M.; Croll, B.T. & Scutt, J. The Effect of Changing Inter
Process and Final Disinfection Reagents on Corrosion and Biofilm Growth in
Distribution Pipes. Water Science Technology, 32:8:213 (1995).
52. Habibian, A. Effect of Temperature Changes on Water-Main Breaks. Journal of
Transportation Engineering, 120:2:312 (1994).
53. Smith, S.E.; Ta, T.; Holt, D.M.; Delanoue, A. & Colbourne, J.S. Minimising Red
Water in Drinking Water Distribution Systems. Proc. AWWA Water Quality
Technology Conference, Paper 5C-5. San Diego, CA (1998).
54. MacQuarrie, D.M.; Mavinic, D.S. & Neden, D.G. Greater Vancouver Water District
Drinking Water Corrosion Inhibitor Testing. Canadian Journal of Civil
Engineering, 24:1:34 (1997).
55. Rezania, L.-i.W. & Anderl, W.H. Copper Corrosion and Iron Removal Plants, The
Minnesota Experience. Proc. AWWA Water Quality Technology Conference.
New Orleans, LA, 1033-1054 (1995).
56. Baylis, J.R. Prevention of Corrosion and "Red Water". Journal AWWA, 15:598
(1926).
57. Schutze, M. Protective Oxide Scales and Their Breakdown. John Wiley and Sons,
West Sussex, England (1997).
58. Tylecote, R.F. Factors Influencing the Adherence of Oxides on Metals. Journal of
the Iron and Steel Institute, 196:10:135 (1960).
59. Latimer, W.M. Oxidation Potentials. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, N.J.
(2nd, 1952).
60. Pankow, J.F. Aquatic Chemistry Concepts. Lewis Publishers, Chelsea, MI (1991).
61. Singer, P.C. & Stumm, W. The Solubility of Ferrous Iron in Carbonate-Bearing
Waters. Journal AWWA, 62:3:198 (1970).
1. PENDAHULUAN
Komposisi air bervariasi secara luas dengan kondisi geologi setempat. Baik tanah
maupun air permukaan pernah kimia H2O murni, karena air mengandung sejumlah
kecil gas, mineral dan bahan organik dari alami asal. Konsentrasi total zat terlarut di air
tawar dianggap berkualitas baik dapat ratusan mg / l. Berkat kemajuan dalam
epidemiologi dan mikrobiologi dan kimia sejak abad ke-19, berbagai agen penyakit
penyebab ditularkan melalui air telah diidentifikasi. Pengetahuan bahwa air mungkin
mengandung beberapa unsur yang tidak diinginkan adalah titik tolak untuk menetapkan
pedoman dan peraturan untuk kualitas air minum. Maksimum diterima konsentrasi
anorganik dan zat organik dan mikroorganisme telah ditetapkan secara internasional
dan di banyak negara untuk menjamin keamanan air minum. Kesadaran akan
pentingnya mineral dan konstituen bermanfaat lainnya diair minum telah ada selama
ribuan tahun, yang disebutkan dalam Veda dari kuno dari India. Dalam buku Rig Veda,
sifat air minum yang baik adalah digambarkan sebagai berikut: "Sheetham (dingin
untuk menyentuh), Sushihi (bersih), Sivam (harus memiliki nilai nutrisi, mineral dan
elemen yang diperlukan), Istham (transparan), Vimalam lahu Shadgunam
(keseimbangan asam basa yang harus berada dalam batas yang normal) "(Sadgir dan
Vamanrao 2003). Air yang mungkin mengandung diinginkan zat telah kurang mendapat
perhatian dalam pedoman dan peraturan, tetapi kesadaran yang meningkat dari nilai
biologis air telah terjadi di masa lalu beberapa dekade. Diproduksi artifisial
terdemineralisasi perairan, air suling pertama dan kemudian juga deionisasi atau reverse
osmosis-diperlakukan air, telah digunakan terutama untuk industri, Top of Form teknis
dan tujuan laboratorium. Teknologi ini menjadi lebih luas diterapkan dalam pengolahan
air minum dalam air minum sebagai terbatas tahun 1960-an sumber-sumber di beberapa
daerah pesisir dan pedalaman kering tidak dapat memenuhi peningkatan air akibat
tuntutan peningkatan populasi, standar hidup yang lebih tinggi, pengembangan industri,
dan pariwisata massal. Penyediaan air minum juga dari perhatian laut-pergi kapal, dan
pesawat ruang angkasa juga. Potensi efek air benar-benar unmineralized tidak
umumnya dianggap, karena air ini tidak ditemukan di alam kecuali mungkin bagi air
hujan dan es terbentuk secara alami. Meskipun air hujan dan es yang tidak digunakan
sebagai sumber air minum di komunitas negara-negara industri di mana peraturan air
minum dikembangkan, mereka digunakan oleh individu di beberapa lokasi. Selain itu,
perairan alami banyak perairan rendah dalam banyak mineral atau soft (ion divalen
rendah), dan keras sering artifisial melunak. Demineralisasi air yang diperlukan di mana
primer atau hanya sumber air melimpah yang tersedia sangat mineralisasi air payau atau
laut air. Awalnya, metode pengolahan air ini tidak digunakan di tempat lain sejak
mereka menuntut teknis dan mahal. Dalam bab ini, air demineral adalah didefinisikan
sebagai air hampir atau benar-benar bebas dari mineral terlarut sebagai akibat dari
distilasi, deionisasi, membran filtrasi (reverse osmosis atau nanofiltrasi), elektrodialisis
atau teknologi lainnya. Total padatan terlarut ini (TDS) dalam air tersebut dapat
bervariasi tetapi TDS bisa serendah 1 mg / l. Para listrik konduktivitas umumnya
kurang dari 2 mS / m dan bahkan mungkin lebih rendah (<0,1 mS / m). Meskipun
teknologi berawal pada 1960-an, demineralisasi tidak banyak digunakan pada waktu itu.
Namun, beberapa negara difokuskan pada masyarakat kesehatan penelitian di bidang
ini, terutama bekas Uni Soviet di mana desalinasi adalah diperkenalkan untuk
menghasilkan air minum di beberapa kota Asia Tengah. Jelas dari awal yang
desalinated atau demineralised air tanpa lanjut pengayaan dengan beberapa mineral
mungkin tidak sepenuhnya sesuai untuk konsumsi. Ada tiga alasan jelas untuk hal ini:
air Demineralised sangat agresif dan jika tidak diobati, distribusi melalui pipa dan
tangki penyimpanan tidak akan mungkin. Yang agresif air menyerang pipa distribusi air
dan logam larut dan lainnya bahan dari pipa pipa dan bahan-bahan yang terkait.
Air suling memiliki karakteristik rasa miskin.
Bukti awal yang tersedia bahwa beberapa zat hadir dalam air bisa memiliki efek
menguntungkan pada kesehatan manusia serta efek samping. Sebagai contoh,
pengalaman dengan air artifisial fluoride menunjukkan penurunan kejadian karies gigi,
dan beberapa studi epidemiologi di tahun 1960 melaporkan morbiditas dan mortalitas
yang lebih rendah dari beberapa penyakit kardiovaskular di daerah dengan air keras.
Oleh karena itu, peneliti berfokus pada dua isu:
1) apa yang mungkin efek kesehatan yang merugikan dari air demineralised, dan
2) apa yang minimum dan yang diinginkan atau optimum isi dari zat yang relevan
(misalnya, mineral) dalam air minum yang dibutuhkan untuk memenuhi pertimbangan
baik teknis dan kesehatan. Para Pendekatan tradisional peraturan, yang sebelumnya
berdasarkan membatasi risiko kesehatan dari konsentrasi berlebihan zat beracun dalam
air, sekarang memperhitungkan efek samping yang mungkin karena kekurangan
tertentu konstituen. Pada salah satu rapat kerja untuk penyusunan pedoman untuk
minum kualitas air, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dianggap sebagai isu
diinginkan atau komposisi mineral optimum desalinated air minum oleh berfokus pada
efek kesehatan yang mungkin merugikan dari menghapus beberapa zat yang secara
alami ada dalam air minum (WHO 1979). Pada tahun 1970-an, WHO juga menugaskan
sebuah studi untuk memberikan informasi latar belakang untuk mengeluarkan pedoman
untuk air desalinated. Penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti dari A.N. Sysin
Institut Umum dan Kebersihan Umum dan Uni Soviet Academy of Medical Sciences di
bawah arahan Profesor Sidorenko dan Dr Rakhmanin. Laporan akhir, diterbitkan
sebagai kerja internal dokumen (WHO 1980), menyimpulkan bahwa "tidak hanya
sepenuhnya air demineralised (distilat) telah properities organoleptik tidak memuaskan,
namun juga memiliki pengaruh buruk yang pasti tentang hewan dan organisme
manusia. " Setelah mengevaluasi kesehatan yang tersedia, organoleptik, dan informasi
lainnya, Tim merekomendasikan bahwa air demineralised mengandung 1) tingkat
minimum untuk. garam terlarut (100 mg / l), ion bikarbonat (30 mg / l), dan kalsium (30
mg / l),;
2.) Tingkat optimal untuk garam terlarut total (250-500 mg / l untuk klorida-sulfat air
dan 250-500 mg / l untuk air bikarbonat);. 3) tingkat maksimum untuk alkalinitas (6,5
meq / l), natrium (200 mg / l), boron (0,5 mg / l), dan brom (0,01mg / l). Rekomendasi
ini dibahas secara lebih rinci dalam bab ini. Selama tiga dekade terakhir, desalinasi
telah menjadi secara luas dipraktekkan teknik dalam menyediakan pasokan air baru
segar. Ada lebih dari 11 ribu tanaman desalinasi di seluruh dunia dengan produksi
keseluruhan lebih dari 6 miliar galon air desalinated per hari. Di beberapa daerah seperti
seperti Timur Tengah dan Asia Barat lebih dari setengah dari air minum diproduksi
dengan cara ini. Desalinated perairan umumnya lebih diperlakukan oleh menambahkan
bahan kimia konstituen seperti kalsium karbonat atau kapur, atau dicampur dengan
volume lebih kecil yang kaya mineral air untuk meningkatkan selera mereka dan
mengurangi agresivitas mereka ke jaringan distribusi serta pipa bahan. Namun, perairan
desalinated dapat sangat bervariasi dalam komposisi karena berbagai fasilitas yang ada
Pengetahuan tentang beberapa efek dari konsumsi air demineralised didasarkan pada
data eksperimental dan observasional. Percobaan telah dilakukan di laboratorium hewan
dan sukarelawan manusia, dan data pengamatan telah diperoleh dari populasi yang
disertakan dengan air desalinated, individu minum reverse osmosis diperlakukan air
demineralised, dan bayi diberikan minuman disiapkan dengan air suling. Karena
informasi yang tersedia terbatas dari studi ini, kita juga harus mempertimbangkan hasil
studi epidemiologi di mana efek kesehatan bagi penduduk dibandingkan menggunakan
mineral rendah (lunak) air dan lebih kaya mineral air. Demineralised air yang belum
remineralised dianggap sebagai kasus ekstrim air rendah mineral atau soft karena hanya
berisi sejumlah kecil mineral seperti kalsium terlarut dan magnesium yang merupakan
kontributor utama kekerasan. Konsekuensi kesehatan yang mungkin dari kandungan
mineral konsumsi air yang rendah dibahas dalam kategori berikut:
Langsung efek pada selaput lendir usus, metabolisme dan mineral homeostasis atau
fungsi tubuh lainnya.
Kemungkinan peningkatan asupan makanan logam beracun kehabisan dari pipa air.
2,1 langsung efek dari kandungan mineral air rendah pada usus selaput lendir,
metabolisme dan mineral homeostasis atau fungsi tubuh lainnya Distilasi mineral dan
rendah kadar air (TDS <50 mg / l) dapat memiliki rasa negatif karakteristik yang
konsumen dapat beradaptasi dengan waktu. Air ini juga dilaporkan kurang kehausan
quenching (WHO 1980). Meskipun tidak dianggap efek kesehatan, mereka harus
diperhitungkan ketika mempertimbangkan kesesuaian air kandungan mineral rendah
untuk konsumsi manusia. Miskin organoleptik dan haus karakteristik dapat
mempengaruhi jumlah air yang dikonsumsi atau orang lain menyebabkan untuk
mencari, air mungkin kurang memuaskan sumber. Sebuah studi oleh Williams (1963)
melaporkan bahwa air suling diperkenalkan ke dalam usus menyebabkan perubahan
abnormal pada sel-sel epitel tikus, mungkin karena osmotik shock. Namun, kesimpulan
yang sama tidak terjangkau oleh Schumann et al. Dalam studi yang lebih baru yang
didasarkan pada 14-hari percobaan pada tikus (1993). Histologi tidak mengungkapkan
tanda-tanda erosi, ulserasi atau peradangan pada kerongkongan, lambung dan jejunum.
Sekretorik diubah fungsi dalam hewan (yaitu, peningkatan sekresi dan keasaman jus
lambung) dan nada otot perut diubah dilaporkan dalam studi bagi WHO (1980),
bagaimanapun, saat ini tersedia berdasarkan data, efek negatif langsung dari kandungan
mineral air rendah pada pencernaan selaput lendir belum jelas ditunjukkan. Ini telah
cukup menunjukkan bahwa mengkonsumsi air mineral yang rendah konten memiliki
efek negatif pada mekanisme homeostasis, mengorbankan mineral dan air metabolisme
di dalam tubuh. Peningkatan output urin (yaitu, peningkatan diuresis) dikaitkan dengan
peningkatan ekskresi utama intra dan ion ekstraseluler dari cairan tubuh, keseimbangan
negatif mereka, dan perubahan badan air tingkat dan aktivitas fungsional dari beberapa
air tubuh managementdependent hormon. Percobaan pada hewan, terutama tikus,
sampai satu tahun periode telah berulang kali menunjukkan bahwa asupan air suling
atau air dengan TDS 75 mg / l mengarah ke:
1) asupan air meningkat, diuresis, volume cairan ekstraseluler, dan konsentrasi serum
sodium (Na) dan klorida (Cl) ion dan meningkatkan mereka eliminasi dari tubuh,
sehingga keseimbangan negatif secara keseluruhan jika tidak memadai kompensasi dari
makanan, dan 2) lebih rendah volume sel darah merah dan beberapa lain perubahan
hematokrit (WHO 1980). Meskipun baru-baru ini studi (Rakhmaninet al. 1989) tidak
menemukan efek mutagenik atau gonadotoxic air suling, mereka tidak menambahkan
pengetahuan baru tentang penurunan sekresi tri-iodothyronine dan aldosteron,
peningkatan sekresi kortisol, perubahan morfologi pada ginjal termasuk atrofi lebih
menonjol dari glomeruli, dan bengkak endotelium vaskular membatasi aliran darah.
Osifikasi tulang berkurang adalah juga ditemukan pada janin tikus yang diberi air
bendungan suling dalam satu tahun- studi. Rupanya berkurang asupan mineral dari air
tidak dikompensasi oleh diet mereka. Hasil percobaan pada sukarelawan manusia
dievaluasi oleh peneliti untuk Laporan WHO (1980) berada dalam perjanjian dengan
yang dilaporkan dalam percobaan hewan. Air mineral rendah jelas:
1) peningkatan diuresis (hampir sebesar 20%, pada rata-rata), tubuh volume air, dan
konsentrasi natrium serum,
kertas posisi nya menjelaskan bahwa air dalam tubuh manusia selalu mengandung
elektrolit (misalnya kalium dan natrium) pada konsentrasi tertentu dikontrol oleh tubuh.
Air resorpsi oleh epitel usus juga diaktifkan oleh transportasi natrium. Jika air suling
yang tertelan, usus harus menambahkan elektrolit ke air pertama, membawa mereka
dari cadangan tubuh. Karena tubuh tidak pernah menghilangkan cairan dalam bentuk
"murni" air tetapi selalu bersama-sama dengan garam, asupan elektrolit harus
dipastikan. Konsumsi air suling menyebabkan pengenceran elektrolit dilarutkan dalam
air tubuh. Badan yang tidak memadai air redistribusi antara kompartemen dapat
mengganggu fungsi organ vital. Gejala pada sangat awal kondisi ini meliputi kelelahan,
kelemahan dan sakit kepala; gejala yang lebih parah adalah kram otot dan detak jantung
terganggu. Bukti tambahan berasal dari percobaan hewan dan klinis pengamatan di
beberapa negara. Hewan yang diberikan seng atau magnesium dalam dosis 8 air minum
mereka memiliki konsentrasi signifikan lebih tinggi dari unsur-unsur di serum dari
hewan diberi elemen yang sama dalam jumlah yang jauh lebih tinggi dengan makanan
dan dilengkapi dengan rendah air mineral untuk minum. Berdasarkan hasil percobaan
dan pengamatan klinis dari kekurangan mineral pada pasien yang penyerapan usus tidak
perlu diperhitungkan dan yang menerima gizi seimbang intravena diencerkan dengan
air suling, Robbins dan Sly (1981) menduga bahwa asupan rendah air mineral
bertanggung jawab untuk peningkatan penghapusan mineral dari tubuh.
Reguler asupan rendah isi air mineral dapat dikaitkan dengan evolusi
progresif dari perubahan yang dibahas di atas, mungkin tanpa manifestasi gejala atau
gejala kausal selama bertahun-tahun. Namun demikian, kerusakan akut yang parah,
seperti kejutan hyponatremic atau mengigau, dapat terjadi berikut upaya fisik yang
intens dan menelan beberapa liter rendah-mineral air (Basnyat et al. 2000). Yang
disebut "intoksikasi air" (hyponatremic syok) juga dapat terjadi dengan konsumsi yang
cepat dalam jumlah yang berlebihan tidak hanya dari air mineral rendah tapi juga air
keran. Para "keracunan" risiko meningkat seiring dengan penurunan tingkat TDS.
Dalam, masalah kesehatan masa lalu akut dilaporkan dalam gunung pendaki yang telah
menyiapkan minuman mereka dengan salju yang meleleh tidak dilengkapi dengan ion
yang diperlukan. Sebuah kursus yang lebih parah dari kondisi seperti ditambah dengan
otak edema, kejang dan asidosis metabolik dilaporkan di minuman bayi yang telah
disiapkan dengan botol suling atau rendah-mineral air (CDC 1994).
2,2 Praktis nol asupan kalsium dan magnesium dari lowmineral air Kalsium dan
magnesium kedua elemen penting. Kalsium adalah substansial komponen tulang dan
gigi. Selain itu, memainkan peran dalam neuromuskuler rangsangan (yaitu,
mengurangi, fungsi yang tepat dari miokard melakukan sistem, jantung dan
kontraktilitas otot, transmisi informasi intraseluler dan coagulability darah. Magnesium
memainkan peranan penting sebagai kofaktor suatu dan aktivator lebih dari 300 reaksi
enzimatik termasuk glikolisis, ATP metabolisme, transportasi elemen seperti natrium,
kalium, dan kalsium melalui membran, sintesis protein dan asam nukleat,
neuromuskular rangsangan dan kontraksi otot. Meskipun air minum bukan merupakan
sumber utama kalsium dan asupan magnesium, pentingnya kesehatan asupan tambahan
ini elemen dari air minum mungkin lebih besar daripada kontribusi gizi dinyatakan
sebagai proporsi dari total asupan harian unsur-unsur. Bahkan di negara industri, diet
tidak kekurangan dalam hal kuantitas kalsium 9 dan magnesium, mungkin tidak dapat
sepenuhnya mengkompensasi adanya kalsium dan, khususnya, magnesium, dalam air
minum. Sejak awal 1960-an, studi epidemiologi di banyak negara di seluruh dunia telah
melaporkan bahwa air lunak (yaitu, air rendah kalsium dan magnesium) dan air yang
rendah magnesium dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas akibat
penyakit kardiovaskular (CVD) dibandingkan dengan air keras dan air magnesium
tinggi. Gambaran bukti epidemiologi disediakan oleh Tinjauan artikel terakhir (Sauvant
dan Pepin 2002;. Donato et al 2003; Monarca et al. 2003; Nardi dkk. 2003) dan
diringkas dalam bab-bab lain dari ini monografi (Calderon dan Craun, Monarca et al.).
Penelitian terbaru juga menunjukkan bahwa asupan air lunak, yakni air rendah kalsium,
dapat berhubungan dengan lebih tinggi risiko fraktur pada anak-anak (Verd Vallespir et
al. 1992), tertentu penyakit neurodegeneratif (Jacqmin et al. 1994), pra-jangka lahir dan
berat badan rendah pada saat kelahiran (Yang et al, 2002.) dan beberapa jenis kanker
(Yang et al, 1997;. Yang et al. 1998). Selain peningkatan risiko kematian mendadak
(Eisenberg 1992; Bernardi et al. 1995; Garzon dan Eisenberg 1998), asupan air rendah
di magnesium tampaknya dikaitkan dengan risiko lebih tinggi penyakit saraf motorik
(Iwami et al, 1994.), Gangguan kehamilan (disebut preeklamsia) (Melles & Ciuman
1992), dan beberapa jenis kanker (Yang et al 1999a;.. Yang et al 1999b; Yang et al.
1999c; Yang et al. 2000). Pengetahuan khusus tentang perubahan dalam metabolisme
kalsium dalam suatu populasi disertakan dengan air desalinated (yaitu, air suling
disaring melalui batu kapur) TDS rendah dan kalsium, diperoleh dari studi yang
dilakukan di Uni Soviet kota Shevchenko. Penduduk setempat menunjukkan aktivitas
penurunan alkali fosfatase, konsentrasi plasma berkurang kalsium dan fosfor dan
ditingkatkan dekalsifikasi jaringan tulang. Perubahan yang paling ditandai di
perempuan, terutama perempuan hamil dan bergantung pada durasi tinggal di
Shevchenko. (WHO 1980; Pribytkov 1972; Rakhmanin et al. 1973). Pentingnya
kalsium air juga dikonfirmasi dalam studi satu tahun tikus pada diet sepenuhnya
memadai dalam hal nutrisi dan garam dan diberi desalinated air dengan ditambahkan
padatan terlarut 400 mg / l dan baik 5 mg / l, 25 mg / l, atau 50 mg / l kalsium (WHO
1980;. Rakhmanin et al 1976). Hewan-hewan diberi air dosis dengan 5 mg / l dari
kalsium dipamerkan pengurangan thyroidal dan lainnya fungsi yang terkait
dibandingkan dengan hewan yang diberi dua dosis yang lebih tinggi kalsium.
Sementara efek bahan kimia yang paling sering ditemukan dalam air minum
menampakkan diri setelah paparan panjang, efek kalsium dan, di tertentu, orang-orang
dari magnesium pada sistem kardiovaskular diyakini mencerminkan eksposur terakhir.
Hanya paparan beberapa bulan mungkin cukup Konsumsi time efek dari air yang
rendah magnesium dan / atau kalsium. (Rubenowitz et al. 2000). Ilustrasi seperti
eksposur jangka pendek kasus-kasus di populasi Ceko dan Slovakia yang mulai
menggunakan reverse osmosis berbasis sistem untuk pengolahan akhir air minum
PDAM di rumah mereka pada 2000-2002. Dalam beberapa minggu atau bulan berbagai
keluhan kesehatan sugestif akut magnesium (dan mungkin kalsium) dilaporkan
kekurangan (NIPH 2003). Diantara pengaduan gangguan kardiovaskular, kelelahan,
kelemahan atau kram otot. Ini adalah dasarnya gejala yang sama tercantum dalam
peringatan Masyarakat Jerman untuk Gizi.
2.3 Rendah asupan beberapa elemen penting dan microelements rendah-air mineral
Meskipun air minum, dengan beberapa pengecualian langka, bukan sumber utama
unsur esensial bagi manusia, kontribusinya mungkin penting untuk beberapa alasan.
Diet modern banyak orang mungkin tidak menjadi sumber yang memadai mineral dan
microelements. Dalam kasus kekurangan dari batas yang diberikan elemen, bahkan
relatif rendah asupan elemen dengan air minum mungkin memainkan peran protektif
yang relevan. Hal ini karena elemen biasanya hadir dalam air sebagai ion bebas dan
oleh karenanya, lebih mudah diserap dari air dibandingkan dengan makanan di mana
mereka kebanyakan terikat untuk zat lain. Studi hewan juga menggambarkan
pentingnya microquantities dari beberapa elemen hadir dalam air. Misalnya,
c) rendah ditambah dengan air mineral iodida, kobalt, tembaga, mangan, molibdenum,
seng dan fluoride dalam air keran,
d) air mineral rendah dilengkapi dengan elemen yang sama tetapi pada sepuluh kali
konsentrasi yang lebih tinggi. Selain itu, efek negatif pada pembentukan darah Proses
yang ditemukan terkait dengan air demineralised non ditambah. Berarti ulphate
dalam konten dari sel darah merah sebanyak 19% lebih rendah pada hewan yang
menerima air demineralised non-dilengkapi dibandingkan dengan yang diberikan pada
hewan air keran. Perbedaan hemoglobin lebih besar bila dibandingkan dengan hewan
diberi air ditambah. Terakhir epidemiologi studi desain ekologis antara Rusia populasi
yang disertakan dengan air bervariasi dalam TDS menunjukkan bahwa mineral rendah
air minum dapat menjadi faktor risiko hipertensi dan penyakit jantung koroner, ulkus
lambung dan duodenum, gastritis kronis, gondok, komplikasi kehamilan dan beberapa
komplikasi pada bayi baru lahir dan bayi, termasuk sakit kuning, anemia, patah tulang
dan gangguan pertumbuhan (Mudryi 1999). Namun, tidak jelas apakah efek diamati
dalam studi ini karena kandungan kalsium yang rendah dan magnesium atau unsur-
unsur penting lainnya, atau karena faktor lain. Lutai (1992) melakukan studi kohort
besar epidemiologi di Ust-Ilim wilayah Rusia. Penelitian difokuskan pada morbiditas
dan pembangunan fisik di 7658 orang dewasa, 562 anak-anak dan 1582 wanita hamil
dan bayi mereka dalam dua daerah disertakan dengan air yang berbeda di TDS. Salah
satu daerah itu dipasok dengan air yang lebih rendah dalam mineral (nilai mean: TDS
134 mg / l, kalsium 18,7 mg /l, magnesium 4,9 mg / l, bikarbonat 86,4 mg / l) dan yang
lainnya dipasok dengan air yang lebih tinggi dalam mineral (nilai mean: TDS 385 mg /
l, kalsium 29,5 mg / l, magnesium 8,3 mg / l, bikarbonat 243,7 mg / l). Air tingkat
ulphate , klorida, natrium, kalium, tembaga, seng, mangan dan molibdenum yang juga
ditentukan. Populasi dari dua daerah tidak berbeda dari satu sama lain dalam kebiasaan
makan, kualitas udara, kondisi sosial dan waktu tinggal di masing-masing daerah.
Penduduk daerah yang disertakan dengan air yang lebih rendah di mineral
menunjukkan tingkat insiden yang lebih tinggi gondok, hipertensi, jantung iskemik
penyakit, ulkus lambung dan duodenum, gastritis kronis, kolesistitis dan nefritis. Anak-
anak yang tinggal di daerah ini dipamerkan pembangunan fisik lebih lambat dan
kelainan pertumbuhan yang lebih, wanita hamil lebih sering menderita dari edema dan
anemia. Bayi yang baru lahir dari daerah ini menunjukkan morbiditas lebih tinggi.
Terendah morbiditas dikaitkan dengan kadar kalsium air memiliki dari 30-90 mg / l,
magnesium tingkat 17-35 mg / l, dan TDS sekitar 400 mg / l (untuk bikarbonat
mengandung air). Para penulis menyimpulkan bahwa air tersebut dapat dianggap
sebagai fisiologis optimal. Air mineral yang lebih tinggi juga relatif tinggi di
bikarbonat, dan Lutai menyarankan bahwa isi diinginkan bikarbonat air minum harus
antara 250 dan 500 mg / l. Tinggi 2,4 hilangnya kalsium, magnesium dan lainnya
penting unsur-unsur dalam makanan disiapkan dalam air mineral rendah Ketika
digunakan untuk memasak, air lunak ditemukan menyebabkan kerugian besar semua
elemen penting dari makanan (sayuran, daging, sereal). Kerugian tersebut dapat
mencapai hingga 60% untuk magnesium dan kalsium atau bahkan lebih untuk beberapa
lainnya microelements (misalnya, tembaga 66%, 70% mangan, kobalt 86%).
Sebaliknya, ketika air keras yang digunakan untuk memasak, hilangnya elemen ini jauh
lebih rendah, dan dalam beberapa kasus, kandungan kalsium lebih tinggi dilaporkan
dalam makanan sebagai hasil memasak (WHO 1978; Haring dan Van Delft 1981; Oh et
al, 1986.; Durlach 1988). Karena sebagian besar nutrisi tertelan dengan makanan,
penggunaan air mineral rendah untuk pemasakan dan pengolahan makanan dapat
menyebabkan defisiensi ditandai total asupan beberapa elemen penting yang jauh lebih
tinggi dari yang diharapkan dengan menggunakan seperti air untuk minum saja. Diet
saat banyak orang biasanya tidak menyediakan semua elemen yang dibutuhkan dalam
jumlah yang cukup, dan karena itu, faktor apapun yang mengakibatkan hilangnya
unsur-unsur esensial dan nutrisi selama pemrosesan dan persiapan makanan dapat
merugikan bagi mereka
2,5 Peningkatan risiko dari logam beracun Rendah-mineralisasi air tidak stabil dan
karena itu, sangat agresif untuk bahan yang datang ke dalam kontak. Air seperti lebih
mudah menyerap logam dan beberapa zat organik dari pipa, pelapis, tangki
penyimpanan dan kontainer, dan alat kelengkapan selang garis, karena tidak mampu
membentuk rendah diserap kompleks dengan beberapa zat beracun dan sehingga
mengurangi efek negatif mereka. Di antara delapan wabah keracunan kimia dari air
minum yang dilaporkan dalam Amerika Serikat pada 1993-1994, ada tiga kasus
keracunan timbal pada bayi yang memiliki darah-lead tingkat 15 mg / dl, 37 mg / dl,
dan 42 mg / dl. Tingkat kepedulian adalah 10 mg / dl. Untuk semua tiga kasus, timah
telah kehabisan dari fitting kuningan dan leadsoldered jahitan di tangki penyimpanan
air minum. Sistem air tiga digunakan minum air mineral yang rendah yang telah
mengintensifkan proses pencucian (Kramer et al. 1996). Pertama-menimba air sampel
di keran dapur telah mengakibatkan tingkat 495 untuk 1050 mg / l untuk dua bayi
dengan timbal dalam darah tertinggi; 66 ug / l ditemukan pada sampel air yang
dikumpulkan pada keran dapur bayi ketiga (Anon. 1994). Kalsium dan, pada tingkat
lebih rendah, magnesium dalam air dan makanan yang dikenal untuk memiliki aktivitas
bersifat antitoksin. Mereka dapat membantu mencegah penyerapan beberapa beracun
elemen seperti timbal dan kadmium dari usus ke dalam darah, baik melalui Reaksi
langsung yang menyebabkan terbentuknya senyawa unabsorbable atau melalui
persaingan untuk situs pengikatan (Thompson 1970; Levander 1977; Oehme 1979;
Hopps dan Feder 1986; Nadeenko et al. 1987; Durlach et al. 1989; Plitman et al. 1989).
Meskipun ini efek perlindungan terbatas, tidak boleh diberhentikan. Populasi disertakan
dengan air mineral rendah mungkin berada pada risiko yang lebih tinggi dalam hal efek
samping dari paparan zat-zat beracun dibandingkan dengan populasi disertakan dengan
mineralisasi air rata-rata dan kekerasan.
2,6 Kemungkinan kontaminasi bakteri rendah air mineral Semua air rentan terhadap
kontaminasi bakteri baik pada sumber atau sebagai hasil dari mikroba pertumbuhan
kembali dalam sistem pipa. Pertumbuhan kembali bakteri di dalam pipa sistem
didorong oleh suhu awal yang lebih tinggi, suhu yang lebih tinggi dari air dalam sistem
distribusi karena beriklim panas, kurangnya sisa disinfektan dan ketersediaan nutrisi
yang lebih besar mungkin karena agresif sifat air untuk bahan dalam kontak dengan itu.
Dengan tidak adanya suatu disinfektan pertumbuhan kembali sisa mungkin juga terjadi
pada air desalinated. Meskipun membran desalinasi utuh harus menghapus semua
bakteri, hal itu mungkin tidak 100% efektif (mungkin karena kebocoran) seperti dapat
didokumentasikan oleh wabah tipus demam yang disebabkan oleh reverse osmosis-
diperlakukan air di Arab Saudi pada tahun 1992 (al- Qarawi et al. 1995). Resiko
kontaminasi bakteri dari air yang diolah dengan berbagai jenis perangkat perawatan di
rumah air dilaporkan oleh Geldreich et al. (1985) dan Pembayaran et al. (1989, 1991).
Ceko Institut Nasional Kesehatan Masyarakat (NIPH, 2003) di Praha telah menguji
keamanan produk yang ditujukan untuk kontak dengan air minum dan menemukan
bahwa tank-tank tekanan dari unit reverse osmosis rentan terhadap pertumbuhan
kembali bakteri. Mereka berisi kantong karet yang permukaannya tampaknya
menguntungkan bagi bakteri pertumbuhan
kalsium konten minimum air minum harus desalinated 30 mg / l. Tingkat ini didasarkan
pada masalah kesehatan dengan efek yang paling kritis yang perubahan hormonal
dalam metabolisme kalsium dan fosfor dan mineral berkurang saturasi jaringan tulang.
Juga, ketika kalsium meningkat menjadi 30 mg / l, yang Aktivitas korosif air
desalinated akan lumayan berkurang dan air akan lebih stabil (WHO 1980). Tim (WHO
1980) juga direkomendasikan kandungan ion bikarbonat dari 30 mg / l sebagai tingkat
pokok minimum diperlukan untuk mencapai karakteristik organoleptik dapat diterima,
corrosivity berkurang, dan konsentrasi kesetimbangan untuk tingkat minimum yang
disarankan dari kalsium.
3.2 Terbaru rekomendasi Penelitian yang lebih baru telah memberikan informasi
tambahan tentang minimal dan tingkat optimal mineral yang harus di dalam air
demineralised. Untuk Misalnya, efek air minum kekerasan berbeda pada status
kesehatan perempuan berusia 20 sampai 49 tahun adalah subjek dari dua kohort studi
epidemiologi (460 dan 511 perempuan) di empat kota Siberia Selatan (Levin et al 1981;
Novikov et al 1983). Air di Kota air A memiliki terendah kadar kalsium dan
magnesium (3,0 mg / l kalsium dan 2,4 mg / l magnesium). Air di kota B memiliki
tingkat sedikit lebih tinggi (18,0 mg / l kalsium dan 5,0 mg / l magnesium). Tingkat
tertinggi ada di kota C (22,0 mg / l kalsium dan 11,3 mg / l magnesium) dan kota D
(45,0 mg / l kalsium dan 26,2 mg / l magnesium). Perempuan yang tinggal di kota A
dan B lebih sering menunjukkan perubahan kardiovaskular (yang diukur dengan ECG),
tekanan darah tinggi, somatoform disfungsi otonom, sakit kepala, pusing, dan
osteoporosis (sebagai diukur dengan sinar-X absoptiometry dibandingkan dengan kota-
kota C dan D. Ini Hasil penelitian menunjukkan bahwa isi magnesium minimum air
minum harus menjadi 10 mg / l dan kandungan kalsium minimum harus 20 mg / l
bukan dari 30 mg / l seperti yang direkomendasikan pada tahun 1980 (WHO 1980).
Berdasarkan data yang tersedia saat ini, berbagai peneliti telah merekomendasikan
bahwa tingkat berikut kalsium, magnesium, dan kesadahan air harus dalam air minum:
15
Untuk kesadahan air total, jumlah kalsium dan magnesium harus 2 sampai 4 mmol / l
(Plitman et al, 1989;. Lutai 1992; Muzalevskaya et al, 1993.; Golubev dan Zimin 1994).
Pada konsentrasi tersebut, minimum atau tidak ada efek kesehatan yang merugikan
yang diamati. Efek kesehatan maksimal pelindung atau manfaat dari meminum air
tampaknya terjadi pada konsentrasi yang diinginkan atau optimum diperkirakan.Tingkat
magnesium direkomendasikan didasarkan pada sistem kardiovaskular efek, sementara
perubahan dalam metabolisme kalsium dan pengerasan digunakan sebagai dasar untuk
tingkat kalsium yang direkomendasikan. Batas atas kekerasan kisaran optimal berasal
dari data yang menunjukkan risiko yang lebih tinggi batu empedu, batu ginjal, batu
kemih, arthrosis dan artropati pada populasi yang disediakan dengan air kekerasan yang
lebih tinggi dari 5 mmol / l. Jangka panjang asupan air minum diperhitungkan dalam
memperkirakan konsentrasi tersebut. Untuk jangka pendek indikasi terapi beberapa
perairan, konsentrasi yang lebih tinggi dari elemen-elemen ini dapat dipertimbangkan.
3.3 Pedoman dan petunjuk untuk kalsium, magnesium, dan tingkat kesadahan dalam air
minum WHO dalam edisi-2 Pedoman Kualitas Air Minum (WHO 1996) dievaluasi
kalsium dan magnesium dalam hal kekerasan air tetapi tidak merekomendasikan baik
tingkat minimum atau batas maksimum untuk kalsium, magnesium, atau kekerasan.
Directive Eropa pertama (Uni Eropa 1980) mendirikan persyaratan untuk kekerasan
minimum untuk air lunak atau desalinated ( 60 mg / l sebagai kation kalsium atau
setara). Persyaratan ini muncul wajib di perundang-undangan nasional dari semua
anggota MEE, tapi Instruksi ini berakhir pada Desember 2003 ketika sebuah Directive
baru (Uni Eropa 1998) menjadi efektif. Petunjuk baru tidak berisi persyaratan untuk
kalsium, magnesium, atau air tingkat kekerasan. Di sisi lain, tidak mencegah negara
anggota dari melaksanakan persyaratan tersebut ke nasional mereka undang-undang.
Hanya beberapa negara anggota Uni Eropa (misalnya Belanda) telah memasukkan
kalsium, magnesium, atau air kesadahan dalam peraturan nasional mereka sebagai
persyaratan yang mengikat. Beberapa negara anggota Uni Eropa (misalnya Austria,
Jerman) termasuk parameter ini di tingkat bawah sebagai peraturan mengikat, seperti
teknis standar (misalnya, tindakan yang berbeda untuk pengurangan corrosivity air).
Sebaliknya, keempat negara Eropa Tengah yang menjadi bagian dari Uni Eropa di 2004
mungkin telah memasukkan persyaratan berikut dalam masing-masing peraturan tetapi
bervariasi dalam kekuatan mengikat
Polandia(2000):.60-500mg/l(sebagaiCaCO3)kekerasan
Slowakia (2002): tingkat pedoman> 30 mg / l kalsium dan 10 - 30 mg / l magnesium.
Teknis Astronot Rusia lingkungan standar di angkasa dikemudikan
4. KESIMPULAN
Minum air harus mengandung tingkat minimum mineral esensial tertentu (Dan
komponen lain seperti karbonat). Sayangnya, selama melewati dua dekade, perhatian
penelitian kecil telah diberikan kepada bermanfaat atau pelindung efek dari zat air
minum. Fokus utama adalah pada kontaminan dan toksikologi sifat mereka. Namun
demikian, beberapa studi telah berusaha untuk menentukan isi minimum dari elemen
penting atau TDS dalam air minum, dan beberapa negara telah memasukkan
persyaratan atau pedoman untuk bahan yang dipilih dalam peraturan air mereka minum.
Meskipun kasus-kasus luar biasa, masalah yang relevan tidak hanya di mana air minum
diperoleh dengan desalinasi (jika tidak cukup re-mineralisasi) tetapi juga di mana
rumah perawatan atau air pusat pengobatan mengurangi isi dari mineral penting dan
rendah mineral botolan air yang dikonsumsi. Meskipun air minum yang diproduksi oleh
desalinasi distabilkan dengan beberapa mineral, ini biasanya tidak terjadi untuk air
demineralised sebagai akibat dari rumah tangga pengobatan. Bahkan ketika stablized,
komposisi akhir dari beberapa perairan mungkin tidak memadai dalam hal memberikan
manfaat kesehatan. Meskipun desalinated perairan yang dilengkapi terutama dengan
kalsium (kapur) atau karbonat lainnya, mereka mungkin kekurangan magnesium dan
microelements lain seperti fluoride dan kalium, seperti perairan paling alami.
Selanjutnya, jumlah kalsium yang dilengkapi didasarkan pada pertimbangan teknis
(yaitu, mengurangi agresivitas) bukan pada masalah kesehatan. Mungkin tidak ada yang
biasa cara menggunakan re-mineralisasi bisa dianggap optimal, karena air tidak
mengandung semua komponen yang menguntungkan. Saat ini metode stabilisasi
terutama ditujukan untuk mengurangi efek korosif demineralised air. Demineralised air
yang belum remineralized, atau rendah-mineral kandungan air - dalam terang dari tidak
adanya atau kurangnya substansial penting mineral di dalamnya - tidak dianggap air
minum yang ideal, dan karena itu, regulernya konsumsi mungkin tidak memberikan
tingkat yang memadai dari beberapa nutrisi yang bermanfaat. Bab ini memberikan
alasan untuk kesimpulan ini. Bukti dalam hal efek eksperimental dan temuan pada
manusia relawan yang berhubungan dengan air yang sangat demineralised kebanyakan
ditemukan di tua studi, beberapa di antaranya mungkin tidak memenuhi kriteria
metodologi saat ini. Namun, temuan dan kesimpulan tidak boleh diberhentikan.
Beberapa studi ini adalah unik, dan studi intervensi, meskipun tidak diarahkan, tidak
akan ilmiah, finansial, atau etis layak untuk tingkat hari yang sama. Para Namun,
metode tidak begitu dipertanyakan untuk selalu membatalkan mereka hasil. Hewan
yang lebih tua dan studi klinis pada risiko kesehatan dari minum demineralised air
mineral atau rendah menghasilkan hasil yang konsisten baik dengan masing-masing lain
dan dengan penelitian yang lebih baru, dan penelitian terbaru telah cenderung
mendukung. Bukti yang cukup sekarang tersedia untuk mengkonfirmasi risiko
kesehatan dari minum kekurangan kalsium atau magnesium air. Banyak penelitian
menunjukkan bahwa air yang lebih tinggi magnesium terkait dengan penurunan risiko
CVD dan terutama untuk tiba tiba kematian akibat CVD. Hubungan ini telah mandiri
dijelaskan dalam studi epidemiologi dengan desain studi yang berbeda, yang dilakukan
di berbagai daerah (dengan populasi yang berbeda), dan pada waktu yang berbeda.
Yang konsisten pengamatan epidemiologi yang didukung oleh data dari otopsi, klinis,
dan studi hewan. Biologis masuk akal untuk efek perlindungan dari magnesium
substansial, namun spesifisitas kurang jelas karena multifaktorial etiologi CVD. Selain
peningkatan risiko kematian mendadak, telah menyarankan bahwa asupan air rendah
magnesium dapat dikaitkan dengan lebih tinggi risiko penyakit saraf motorik, gangguan
kehamilan (yang disebut preeklamsia, dan kematian mendadak pada bayi) dan beberapa
jenis kanker. Terakhir studi menunjukkan bahwa asupan air lunak, yakni air rendah
5. REFERENCES
Basnyat, B., Sleggs, J. and Spinger, M. (2000) Seizures and delirium in a trekker: the
consequences of excessive water drinking? Wilderness Environ. Med. 11, 69-70.
Bernardi, D., Dini, F.L., Azzarelli, A., Giaconi, A., Volterrani, C. and Lunardi, M.
(1995)
Sudden cardiac death rate in an area characterized by high incidence of coronary
artery disease and low hardness of drinking water. Angiology 46, 145-149.
Bragg, P.C. and Bragg, P. (1993) The Shocking Truth about Water. 27th ed. Health
Science, Santa Barbara, CA. CDC (1994) Hyponatremic seizures among infants fed
with commercial bottled drinking water ± Wisconsin, 1993. MMWR 43, 641-643.
DgfE (Deutsche Gesellschaft für Ernährung) (1993) Drink distilled water? (In German.)
Med. Mo. Pharm. 16, 146.
Donato, F., Monarca, S., Premi, S., and Gelatti, U (2003) Drinking water hardness and
chronic degenerative diseases. Part III. Tumors, urolithiasis, fetal malformations,
deterioration of the cognitive function in the aged and atopic eczema. (In Italian.)
Ann. Ig. 15, 57-70.
Durlach, J., Bara, M. and Guiet-Bara, A. (1989) Magnesium level in drinking water: its
importance in cardiovascular risk. In Magnesium in Health and Disease (ed.Y.Itokawa
and J.Durlach), pp. 173-182, J.Libbey & Co Ltd, London.
Eisenberg, M.J. (1992) Magnesium deficiency and sudden death. Am. Heart J. 124,
544-549.
European Union (1980) Council Directive 80/778/EEC of 15 July 1980 relating to the
quality of water intended for human consumption. Off. J. Eur. Commun. L229, 11- 29.
European Union (1998) Council Directive 98/83/EC of 3 November 1998 on the quality
of water intended for human consumption. Off. J. Eur. Commun. L330, 32-54. Garzon,
P. and Eisenberg, M.J. (1998) Variation in the mineral content of commercially
available bottled waters: implication for health and disease. Am. J. Med. 105, 125- 130.
Geldreich, E.E., Taylor, R.H., Blannon, J.C. and Reasoner, D.J. (1985) Bacterial
colonization of point-of-use water treatment devices. Journal AWWA 77, 72-80.
Golubev, I.M. and Zimin, V.P. (1994) On the standard of total hardness in drinking
water. (In Russian.) Gig. Sanit. No. 3/1994 (volume not given), 22-23.
Haring, B.S.A. and Van Delft, W. (1981) Changes in the mineral composition of food
as
a result of cooking in ³hard³ and ³soft³ waters. Arch. Environ. Health 36, 33-35.
Hopps, H.C. and Feder, G.L. (1986) Chemical qualities of water that contribute to
human
health in a positive way. Sci. Total Environ. 54, 207-216.
Iwami, O., Watanabe, T., Moon, Ch.S., Nakatsuka, H. and Ikeda, M. (1994) Motor
neuron disease on the Kii Peninsula of Japan: excess manganese intake from food
coupled with low magnesium in drinking water as a risk factor. Sci. Total Environ.
149, 121-135.
Jacqmin, H., Commenges, D., Letenneur, L., Barberger-Gateau, P. and Dartigues, J.F.
(1994) Components of drinking water and risk of cognitive impairment in the
elderly. Am. J. Epidemiol. 139, 48-57.
Kramer, M.H., Herwaldt, B.L., Craun, G.F., Calderon, R.L. and Juranek, D.D. (1996)
Surveillance for Waterborne-Disease Outbreaks ± United States, 1993-1994. In:
CDC Surveillance Summaries, April 12, 1996. MMWR 45 (No. SS-1), 1-33.
Levander, O.A. (1977). Nutritional factors in relation to heavy metal toxicants. F ed.
Proc. 36, 1683-1687.
Levin, A.I., Novikov, J.V., Plitman, S.I., Noarov, J.A. and Lastochkina, K.O. (1981)
Effect of water of varying degrees of hardness on the cardiovascular system. (In
Russian.) Gig. Sanit. No. 10/1981 (volume not given), 16-19. Lutai, G.F. (1992)
Chemical composition of drinking water and the health of population. (In Russian.)
Gig. Sanit. No. 1/1992 (volume not given), 13-15.
Melles, Z. and Kiss, S.A. (1992) Influence of the magnesium content of drinking water
and of magnesium therapy on the occurrence of preeclampsia. Magnes. Res. 5, 277-279.
Monarca, S., Zerbini, I., Simonati, C. and Gelatti, U. (2003) Drinking water hardness
and
chronic degenerative diseases. Part II. Cardiovascular diseases. (In Italian.) Ann.
Ig.15, 41-56.
Mudryi, I.V. (1999) Effects of the mineral composition of drinking water on the
population´s health (review). (In Russian.) Gig. Sanit. No.1/1999 (volume not given),
15-18. 20
Muzalevskaya, L.S., Lobkovskii, A.G. and Kukarina, N.I. (1993) Incidence of chole-
and
nephrolithiasis, osteoarthrosis, and salt arthropathies and drinking water hardness.(In
Russian.) Gig. Sanit. No. 12/1993 (volume not given), 17-20.
Nadeenko, V.G., Lenchenko, V.G. and Krasovskii, G.N. (1987) Combined effect of
metals during their intake with drinking water. (In Russian.) Gig. Sanit. No.12 /1987
(volume not given), 9-12.
Nardi, G., Donato, F., Monarca, S., and Gelatti, U. (2003) Drinking water hardness and
chronic degenerative diseases. Part I. Analysis of epidemiological research. (In Italian.)
Annali di igiene - medicina preventiva e di comunita 15, 35-40. NIPH (National
Institute of Public Health) (2003) Internal data. Prague Novikov, J.V., Plitman, S.I.,
Levin, A.I. and Noarov, J.A. (1983) Hygienic regulation for he minimum magnesium
level in drinking water. (In Russian.) Gig. Sanit. No. 9/1983 (volume not given), 7-11.
Oehme, F.W. (ed.) (1979). Toxicity of heavy metals in the environment . Part 1.
M.Dekker, New York.
Oh, C.K., Lücker, P.W., Wetzelsberger, N. and Kuhlmann, F. (1986) The determination
of magnesium, calcium, sodium and potassium in assorted foods with special attention
to the loss of electrolytes after various forms of food preparations. Mag.- Bull. 8, 297-
302.
Plitman, S.I., Novikov, Yu.V., Tulakina, N.V., Metelskaya, G.N., Kochetkova, T.A.
and
Khvastunov, R.M. (1989) On the issue of correction of hygenic standards with
account of drinking water hardness. (In Russian.) Gig. Sanit. No. 7/1989 (volume
not given), 7-10.
Rakhmanin Yu A., Lycnikova, T.D., ., Michailova, R.I. (1973) Coll.: Water Hygiene
and the Public Health Protection of Water Bodies (In Russian.), Moscow, Acad. Med.
Sci. USSR, fasc. 3, 44-51.
Rakhmanin, Yu.A., Mikhailova, R.I., Filippova, A.V., Feldt, E.G., Belyaeva, N.N.,
Lamentova, T.G. and Kumpan, N.B., (1989) On some aspects of biological effects
of distilled water. (In Russian.) Gig. Sanit. No. 3/1989 (volume not given), 92-93.
Russian.) Gig. Sanit. No. 8/1990 (volume not given), 4-8. Robbins, D.J. and Sly, M.R.
(1981) Serum zinc and demineralized water. Am. J. Clin. Nutr. 34, 962-963.
Sauvant, M-P. and Pepin, D. (2002) Drinking water and cardiovascular disease. F ood
Chem. Toxicol. 40, 1311-1325.
Schumann, K., Elsenhans, B., Reichl, F.X., Pfob, H. and Wurster, K.H. (1993) Does
intake of highly demineralized water damage the rat gastrointestinal tract? V et.
Hum. Toxicol. 35, 28-31.
Sklyar, E.F., Amiragov, M.S., Berezkin, S.V., Kurochkin, M.G. and Skuratov, V.M.
(2001) Recovered water mineralization technique. (In Russian.) Aviakosm. Ekolog.
Med. 35(5), 55-59.Thompson, D.J. (1970) Trace element in animal nutrition. 3rd ed.
Int. Minerals and Chem. Corp., Illinois.
Verd Vallespir, S., Domingues Sanches, J., Gonzales Quintial, M., Vidal Mas, M.,
Mariano Soler, A.C., de Roque Company, C. and Sevilla Marcos, J.M. (1992)
Association between calcium content of drinking water and fractures in children (in
Spanish). An. Esp. Pediatr. 37, 461-465. WHO (1978) How trace elements in water
contribute to health. WHO Chronicle 32, 382-
385.
WHO (1979) Health effects of the removal of substances occurring naturally in
drinking water, with special reference to demineralized and desalinated water . Report
on a working group (Brussels, 20-23 March 1978). EURO Reports and Studies 16.
World Health Organization, Copenhagen. WHO (1980) Guidelines on health aspects of
water desalination. ETS/80.4. World Health Organization, Geneva.
WHO (1996) Guidelines for Drinking-water Quality. 2nd edn, vol. 2, Health Criteria
and
Other Supporting Information. pp 237-240. World Health Organization, Geneva.
Williams, A.W. (1963) Electron microscopic changes associated with water absorption
in the jejunum. Gut 4, 1-7.
Yang, Ch.Y., Chiu, H.F., Chiu, J.F., Tsai, S.S. and Cheng, M.F. (1997) Calcium and
magnesium in drinking water and risk of death from colon cancer. Jpn. J. Cancer Res.
88, 928-933.
Yang, Ch.Y., Cheng, M.F., Tsai, S.S. and Hsieh, Y.L. (1998) Calcium, magnesium, and
nitrate in drinking water and gastric cancer mortality. Jpn. J. Cancer Res. 89, 124-130.
Yang, Ch.Y., Chiu, H.F., Cheng, M.F., Tsai, S.S., Hung, Ch.F. and Lin, M.Ch. (1999a)
Esophageal cancer mortality and total hardness levels in Taiwan¶s drinking water.
Environ. Research , Section A 81, 302-308.
Yang, Ch.Y., Chiu, H.F., Cheng, M.F., Tsai, S.S., Hung, Ch.F. and Tseng, Y.T. (1999b)
Pancreatic cancer mortality and total hardness levels in Taiwan¶s drinking water. J.
Toxicol. Environ. Health A 56, 361-369.
Yang, Ch.Y., Tsai, S.S., Lai, T.Ch., Hung, Ch.F. and Chiu, H.F. (1999c) Rectal cancer
mortality and total hardness levels in Taiwan¶s drinking water. Environ. Research,
Section A 80, 311-316.
Yang, Ch.Y., Chiu, H.F., Cheng, M.F., Hsu, T.Y., Cheng, M.F. and Wu. T.N. (2000)
Calcium and magnesium in drinking water and the risk of death from breast cancer. J.
Toxicol. Environ. Health, Part A 60, 231-241.
Yang, Ch.Y., Chiu, H.F., Chang, Ch. Ch., Wu, T.N. and Sung, F.Ch. (2002)
Association
of very low birth weight with calcium levels in drinking water. Environ. Research,
Section A 89, 189-194.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Lebih dari 70% makanan yang beredar dan dijual di pasaran diproduksi oleh industri
rumah tangga yang dalam proses produksinya kebanyakan masih jauh dari persyaratan
kesehatan, keselamatan atau bahkan hampir tidak memenuhipersyaratan sama sekali
(Sartono, 2001). Tempe merupakan salah satu produk dari industri rumah tangga karena
tempe adalah salah satu makanan yang memiliki kandungan gizi dan protein yang
cukup tinggi, selain itu harganya juga terjangkau sehingga tempe merupakan makanan
yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Saat ini berbagai produsen makanan dan
minuman berusaha menarik konsumen dengan meningkatkan kualitas produknya,
sebagai contoh peningkatan tampilan produk dengan dilindungi pembungkus. Hal
tersebut untuk menjaga kualitas dari produk itu sendiri dan untuk menghindari makanan
dari cemaran partikel-partikel di udara. Tetapi terlepas dari itu, timbul pula
permasalahan apakah kemungkinan tempe tersebut juga terkontaminasi oleh bakteri,
senyawa-senyawa kimia dan logam-logam berat baik logam non esensial maupun
logam esensial seperti logam Zn dan Fe. Kemungkinan tempe juga dapat tercemar
selama proses pengolahan, serta alat yang digunakan karena sebagian besar peralatan
yang digunakan masih tergolong sederhana, seperti aluminium dimana Zn sendiri sering
digunakan sebagai campuran produksi logam. Selain itu tidak menutup kemungkinan
kontaminasi juga terjadi pada saat proses pendistribusian tempe dari industri ke pasar,
kemungkinan tempe yang dijual di Pasar juga bisa tercemar oleh partikelpartikel
diudara karena adanya material dari kendaraan bermotor yang sudah tidak layak pakai
atau bisa juga disebabkan kerena knalpot yang dipakai telah keropos. Menurut
penelitian (Pollizzi et al., 2007) di dalam udara terkandung logam Fe walaupun dalam
konsentrasi yang kecil yaitu sebesar 0,95-0,56 ìg/m3 . Logam esensial seperti Zn dan Fe
dalam dosis rendah dapat menyebabkan kenaikan absorpsi Pb dan Cd didalam tubuh
akan tetapi logam Fe dan Zn pada kadar tertentu masih diperlukan bagi tubuh dalam
proses biokimia, tetapi dalam jumlah yang berlebih logam tersebut dapat menyebabkan
keracunan (Darmono, 1995). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk
menentukan seberapa besar kadar logam Fe dan Zn yang terkandung pada tempe yang
dibungkus plastik dan daun yang dijual di Pasar Kartasura dengan Analisis Pengaktifan
Neutron (APN). Kelebihan dari APN ini adalah mampu menganalisis unsur-unsur
kelumit dalam suatu cuplikan bersama-sama, tanpa pemisahan kimia, penyiapan
cuplikan yang mudah dan cepat, serta mempunyai kepekaan yang tinggi (Susetyo,
1988).
B. Perumusan masalah
Rumusan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah dalam tempe yang dibungkus plastik dan daun yang dijual di Pasar Kartasura
terdapat logam Fe dan Zn?
2. Berapakah kadar logam Fe dan Zn dalam tempe berdasarkan perbedaan pembungkus
plastik dan daun yang dijual di Pasar Kartasura?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Untuk membuktikan adanya logam Fe dan Zn dalam tempe yang dibungkus plastik
dan
daun yang dijual di Pasar Kartasura.
2. Untuk menetapkan kadar logam Fe dan Zn dalam tempe yang dibungkus plastik dan
daun yang dijual di Pasar Kartasura.
D. Tinjauan Pustaka
1. Pencemaran Akibat Logam Berat
Pencemaran adalah peristiwa masuknya zat atau bahan dalam bentuk padat, cair, gas
atau partikel tersuspensi dalam kadar tertentu di lingkungan yang dapat menimbulkan
gangguan terhadap makhluk hidup, tumbuh-tumbuhan dan atau benda (Anonim, 1998).
Salah satu contoh pencemarnya yaitu pencemaran dari hasil penggunaan dan kebutuhan
bahan kimia seperti pencemaran logam-logam berat, pencemaran panas, pencemaran
limbah industri, pencemaran oleh pestisida dan sebagainya (Palar, 1994). Dapat
dikatakan bahwa hampir semua logam berat bersifat toksik yang dapat meracuni tubuh
makhluk hidup. Contohnya adalah Cd, Pb, dan Cr. Walaupun demikian beberapa dari
logam berat tersebut tetap dibutuhkan oleh makhluk hidup walau dalam jumlah yang
kecil, sehingga apabila kebutuhan dalam jumlah kecil tersebut tidak terpenuhi maka
dapat berakibat fatal bagi kelangsungan hidupnya. Logam tersebut disebut logam
esensial. Logam esensial bila masuk ke dalam tubuh dalam jumlah yang berlebihan,
maka akan berubah fungsi menjadi racun bagi tubuh. Sebagai contoh adalah Cu, Zn, Fe
dan nikel (Palar,1994).
Menurut Connel dan Miller (1995), mekanisme toksisitas logam adalah sebagai berikut:
a. Logam menahan gugus fungsi biologis yang esensial dalam biomolekul .
b. Menggantikan ion logam esensial dalam biomolekul.
c. Mengubah konformasi aktif biomolekul.
c. Distribusi Zn
Seng masuk dalam tubuh dapat terakumulasi dengan konsentrasi tinggi terdapat
dalam
otot, hati, ginjal, pankreas dan sistem reproduksi yakni epidermis, prostat dan testis.
3. Besi (Fe)
Besi adalah logam dalam kelompok makromineral di dalam kerak bumi, tetapi termasuk
kelompok mikro dalam sistem biologi. Logam ini mungkin logam yang pertama
ditemukan dan digunakan oleh manusia sebagai alat pertanian. Besi juga sering tersedia
dalam preparat obat dan vitamin, termasuk tablet suplemen, sebagai sulfat, glukonat,
dan garam fumarat. Zat besi diketahui sangat berperan dalam proses fisiologik dan
banyak diketahui kepentingannya dalam proses biokimiawi. Dalam tablet multivitamin
mineral biasanya diberikan pada ibu hamil yang menjelang melahirkan untuk mencegah
defisiensi Fe (Darmono, 2001). Pada sistem biologi seperti hewan, manusia dan
tanaman, logam ini bersifat esensial, kurang stabil, dan secara perlahan berubah
menjadi fero (FeII) atau feri (FeIII). Kandungan Fe dalam tubuh hewan sangat
bervariasi tergantung pada status kesehatan, nutrisi, umur, jenis kelamin dan spesies.
Sumber utama pencemaran udara oleh Fe ialah pabrik besi dan baja. Inhalasi Fe oksida
dari asap dan debu yang sering terjadi di lokasi pertambangan, dapat menyebabkan
radang paru-paru. Pada waktu pemeriksaan sinar rontgen, terlihat adanya endapan Fe
(siderosis) dalam alveoli paru-paru. Kejadian toksisitas Fe ini jarang ditemukan pada
peristiwa polusi udara lingkungan (Darmono, 2001). Pada umumnya setiap jaringan
tubuh selalu mengandung Fe, yaitu 4 g Fe. Tempat pertama dalam tubuh yang
mengontrol pemasukan Fe ialah di dalam usus halus. Bagian usus ini berfungsi untuk
absorpsi dan sekaligus juga sebagai ekskresi Fe yang diserap. Besi dalam usus
diabsorpsi dalam bentuk feritin, dimana bentuk besi (II) lebih mudah diabsorpsi
daripada bentuk besi (III). Feritin masuk ke dalam darah dan berubah bentuk menjadi
senyawa transferin. Dalam darah tersebut besi mempunyai status sebagai besi trivalen
yang kemudian ditransfer ke hati yang kemudian disimpan dalam organ tersebut dalam
bentuk feritin dan hemolisiderin. Toksisitas terjadi bila mana terjadi kelebihan Fe
(kejenuhan) dalam ikatan tersebut (Ganiswara, 1995). Mekanisme toksisitas Fe secara
pasti belum begitu jelas, diperkirakan kematian terjadi karena sekunder syok yang
disebabkan oleh iritasi gastro intestinal. Bila dilakukan autopsi terhadap korban
keracunan ditemukan perdarahan dan nekrosis pada mukosa lambung dan usus.
Keracunan Fe ini dapat menyebabkan permeabilitas dinding pembuluh darah kapiler
meningkat sehingga plasma darah merembes keluar. Akibatnya, volume darah menurun
dan hipoksia jaringan menyebabkan asidosis. Penelitian pada hewan menunjukkan
bahwamtoksisitas akut dari Fe ini menyebabkan lamanya proses koagulasi darah
(Ganiswara, 1995).
Analisis pengaktifan neutron adalah suatu analisis unsur yang didasarkan pada
pengukuran keradioaktifan imbas jika suatu sampel disinari neutron. Teknik analisa ini
pertama kali ditemukan oleh seorang ahli berkebangsaan Hungaria bernama Gorge
Havesy ketika mencoba menentukan impuritas Disporsium (Dy) dalam sampel Ykrium
(Y) dengan jalan menembaki sampel tersebut dengan neutron (Susetyo, 1998). Metode
APN mempunyai beberapa keunggulan dibanding metode analisis yang lain adalah:
a. Analisis aktivasi neutron memungkinkan analisis langsung untuk sampel
berbentuk padat, cair, gas tanpa merusak sampel lebih dahulu (non destruktif).
b. Bahaya kontaminasi sebagai sumber kesalahan dapat dikurangi.
c. Dengan menggunakan metode relatif, dapat dibandingkan secara mudah dan akurat.
d. Mempunyai kepekaan yang tinggi dan limit deteksi rendah sampai orde ppb atau sub
ppb.
e. Dapat digunakan untuk analisis cuplikan biologi, lingkungan, geologi dan lain-lain.
f. Dengan menggunakan metode ini dapat dilakukan analisis kualitatif dan kuantitatif
dari
banyak unsur secara bersamaan tanpa pemisahaan kimia. Proses ini disebut AAN
secara
Instrumental (AANI) (Susetyo, 1998). Meskipun APN mempunyai beberapa
keunggulan, tetapi ia juga mempunyai beberapa kelemahan diantaranya adalah:
a. Memerlukan fasilitas dan peralatan tradisi yang besar dan mahal yaitu reaktor
fisi atau akselerator partikel.
b. Laboratorium yang digunakan untuk melakukan analisis ini harus mempunyai
perlengkapan khusus untuk penanganan zat radioaktif.
c. Untuk analisis radionuklida berumur panjang diperlukan waktu analisis yang
relatif lama. (Susetyo, 1988).
Prinsip dasar APN adalah menembaki suatu cuplikan yang tidak radioaktif dengan
neutron sehingga terjadi reaksi tangkapan neutron oleh inti suatu unsure dalam
cuplikan. Unsur-unsur tersebut berubah menjadi radioaktif. Setelah paparan radiasi
neutron dianggap cukup, cuplikan dikeluarkan dari sumber, cuplikan tersebut sekarang
mengandung unsur-unsur yang memancarkan sinar radioaktif.
Sinar ã yang dipancarkan oleh berbagai unsur dalam cuplikan dapat dianalisis secara
spektromentri ã. Analisis kualitatif dilakukan berdasarkan penentuan tenaga sinar ã,
sedangkan analisis kuantitatif dilakukan dengan menentukan intensitasnya. Gambar 1
menjelaskan prinsip Analisis Aktivasi Neutron. Esensi dasar yang dibutuhkan untuk
menganalisis sebuah sampel dengan metode APN adalah sebuah sumber neutron,
instrumentasi yang sesuai untuk mendeteksi sinar gamma, dan sebuah pengetahuan
detail dari reaksi yang dibutuhkan ketika neutron berinteraksi dengan target (Susetyo,
1988).
K eterangan :
a) Sampel terdiri atas bermacam-macam unsur misalnya unsur-( O ) dan kelumit ( Ä )
dan lain-lain.
b) Sampel diiradiasi dengan neutron dan membuat beberapa atom menjadi radioaktif
(dan).
c) Sinar -ã yang dipancarkan oleh unsur-unsur radioaktif tersebut menunjukkan data
kualitatif unsur-unsur dalam cuplikan. Apabila unsur-unsur stabil dalam cuplikan
diiradiasi dengan neutron, maka terjadi macam-macam reaksi inti, namun yang
digunakan dalam APN adalah reaksi neutron gamma (n, ã) yang artinya suatu
unsure
jika ditembak dengan neutron maka unsur tersebut akan berubah menjadi unsur lain
sambil melepaskan sinar ã.
Contoh:
58Fe+ 0ã0 + 0n1 59Fe + 0ã 2 + E (1)
Reaksi di atas dapat ditulis sebagai 58Fe (n, ã) 59Fe. Pemilihan reaksi pengaktifan yang
perlu diikuti dengan pemilihan fasilitas radiasi yang bersesuaian. Ada 3 jenis fasilitas
iradiasi neutron yang penting, yaitu:
a. Reaktor atom
b. Akselerator
c. Sumber neutron isokopik (Susetyo, 1988)
Penelitian ini menggunakan fasilitas iradiasi neutron yang ada dalam reactor atom.
Bahan bakar reaktor atom yang digunakan adalah uranium. Dalam uranium terdapat
dua
isotop utama yaitu 92U235 dan 92U235 apabila radionuklida menyerap neutron akan
mengalami pembelahan menjadi dua inti radionuklida baru dan melepas dua atau tiga
neutron. Neutron yang dihasilkan langsung dari pembelahan uranium mempunyai
tenaga yang sangat tinggi atau disebut neutron cepat. Neutron cepat tidak dapat
dipergunakan secara efektif untuk melakukan pembelahan uranium, oleh sebab itu
dalam reaktor jenis tertentu dilakukan penurunan tenaga neutron (Susetyo, 1988)
Ditinjau dari tenaga yang dimilikinya, neutron dapat digolongkan menjadi Neutron
Cepat mempunyai tenaga diatas 0,1 MeV lebih dari 0,5 MeV, Neutron Epitermal
mempunyai tenaga antara 0,2 eV sampai dengan 0,1 MeV, Neutron Termal
mempunyai
tenaga di bawah 0,2 eV (Susetyo, 1988).
7. Perangkat Spektrum- ã
Spektrometri-ã didefinisikan sebagai suatu metode pengukuran dan identifikasi unsure
unsur radioaktif di dalam suatu cuplikan dengan jalan mengamati spektrum
karakteristik yang ditimbulkan oleh interaksi sinar-ã yang dipancarkan oleh zat-zat
radioaktif tersebut dengan detektor (Susetyo,1998). Spektrometri-ã terdiri dari detektor
semikonduktor HpGe, sumber tegangan tinggi (HV), preamplifier dan penganalisa salur
ganda dan unit pengolahan data (Susetyo, 1988).
a. Detektor Semikonduktor HpGe (High Pure Germanium))
Detektor HpGe adalah detektor semi konduktor yang medium detektornya terbuat
dari
bahan semi konduktor berupa germanium dengan kemurnian tinggi. Detektor HpGe
diletakkan dalam bejana hampa yang disebut sistem cryostat. Didalam sistem
cryostat
detektor HpGe didinginkan oleh nitrogen cair yang memiliki suhu -196 _ C (77 K).
Selain untuk menjamin daya pisah yang tinggi, nitrogen cair yang diperlukan untuk
menjaga kestabilan daerah intrinsik (Susetyo, 1988). Detektor HpGe harus
dioperasikan
pada suhu yang sangat rendah. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kebocoran arus
yang
menghasilkan derau danmerusak daya pisah detektor. Nitrogen cair disini juga
diperlukan untuk menjaga keberadaan daerah intrinsik. Daya pisah atau resolusi
detektor adalah kemampuan detektor untuk memisahkan dua puncak energi sinar-ã
yang berdekatan. Ukuran daya pisah detektor dinyatakan dengan lebar setengah
tinggi
maksimum atau FWHM ( F ull Width Half Maksimum ) (Susetyo, 1988).
8. Tempe
Tempe merupakan sumber zat protein yang baik. Setiap 100 gram tempe mengandung
18-20 gram zat protein, 4 gram zat lemak, vitamin B12 dan 129 miligram zat kalsium.
Tempe juga mengandung mineral makro dan mikro dalam jumlah yang cukup. Jumlah
mineral besi, tembaga dan seng berturut-turut adalah 9,39; 2,87; dan 8,05 mg setiap 100
gram tempe. Tempe merupakan makanan tradisional yang terkenal tidak hanya didalam
negeri, tetapi juga di luar negeri. Bahkan di Jepang dan Amerika sudah membuat
sendiri, setelah mempelajari cara pembuatannya di Indonesia. Tempe merupakan hasil
proses fermentasi kedelai yang terikat padat oleh mycellium dari Rhysopus oligoporus
(Winarno, 1997).
Berbagai sifat tempe yang unggul sebagai berikut :
a. Mempunyai nilai biologi tinggi, mengandung 8 asam amino esensial.
b. Lemak jenuh rendah.
c. Kadar vitamin B12 tinggi.
d. Mudah dicerna, jadi baik untuk segala umur.
e. Mengandung antibiotik dan berpengaruh baik pada pertumbuhan badan
f. Formula tempe untuk makanan bayi mempunyai nilai positif dalam pencegahan diare.
g. Tempe dapat memerangi bakteri E.coli (Winarno, 1997). Sudah diketahui bahwa
produsen dalam memproduksi tempe melalui beberapa langkah, langkah pertama biji
kedelai yang telah dipilih dibersihkan dari kotoran, dicuci dengan air PDAM (air
sumur) selama 1 jam kemudian setelah bersih kedelai direbus dalam air selama 2 jam.
Kedelai kemudian direndam 12 jam dalam air panas atau hangat berikutnya kedalai
direndam dalam air dingin selama 12 jam. Setelah 12 jam direndam kedelai dicuci dan
dikuliti (dikupas). Langkah kedua kedelai yang telah dikupas lalu direbus dalam
dandang untuk membunuh bakteri yang kemungkinan tumbuh selama perendaman,
kemudian kedelai diambil dari dandang diletakkan diatas tampah dan diratakan tipis-
tipis. Selanjutnya kedelai dibiarkan dingin sampai permukaan keping kedelai kering dan
airnya menetes habis. Sesudah itu kedelai dicampur dengan laru (ragi 2%) untuk
mempercepat pertumbuhan jamur. Tahap peragian (fermentasi) adalah tahap penentu
keberhasilan dalam membuat tempe kedelai. Langkah ketiga bila campuran bahan
fermentasi kedelai sudah rata, campuran tersebut dicetak pada loyang (cetakan kayu)
dengan lapisan plastic atau daun yang akhirnya dipakai sebagai pembungkus. Plastik
yang dipakai sebelumnya dilubangi (ditusuk-tusuk) gunanya untuk memberi udara
supaya jamur yang tumbuh berwarna putih. Proses percetakan atau pembungkus
memakan waktu 3 jam. Daun yang biasanya dipakai sebagai pembungkus adalah daun
pisang (jati). Ada yang berpendapat bahwa rasa tempe yang dibungkus plastik menjadi
aneh dan tempe lebih mudah busuk (disbanding tempe yang dibungkus daun). Langkah
terakhir campuran kedelai yang telah dicetak dan diratakan permukaanya dihamparkan
di atas rak kemudian ditutup selama 24 jam. Setelah 24 jam, tutup dibuka dan campuran
kedelai diangin-anginkan selama 24 jam lagi. Setelah itu campuran kedelai telah
menjadi tempe siap jual. Supaya tempe dapat bertahan lama, tempe yang misalnya akan
menjadi produk ekspor dapat dibekukan dan dikirim ke luar negri dalam peti kemas
pendingin (Winarno,1977).
E. Landasan Teori
Terjadinya toksisitas logam dapat melalui beberapa jalan, yaitu inhalasi (melalui
pernafasan), termakan, dan penetrasi melalui kulit. Hubungan antara lokasi industri dan
inhalasi debu adalah sangat nyata dalam proses keracunan logam (Darmono, 2001).
Kandungan Zn dalam tanah secara alamiah adalah sebesar 50 mg/g, jika kandungan Zn
dalam tanah melebihi normal maka tanaman yang ditanam di atasnya dapat
menyebabkan keracunan (Darmono, 1995). Kedelai merupakan sumber bahan baku
tempe dan tahu yang sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Menurut penelitian
yang ditelah dilakukan kedelai mengandung logam Fe 3,55 mg dan Zn sebesar 0,99 mg
(Ipin, 2007). Pertumbuhan kedelai sering kali terhambat karena keracunan aluminium
sehingga dapat mengurangi mutu atau nilai gizi dari kedelai tersebut dan jika kedelai
yang keracunan oleh aluminium dikonsumsi dapat menyebabkan keracunan (Danarti,
1996). Semua bahan pangan alami mengandung logam dalam konsentrasi rendah dan
selama persiapan makanan kemungkinan kandungan logam akan bertambah (Fardiaz,
1992). Logam kimia yang terlarut dari alat masak atau kontainer yang digunakan untuk
mengolah dan menyimpan makanan dapat menyebabkan keracunan. Logam dan
senyawa kimia tersebut dapat terlarut umumnya karena makanan bersifat asam dan juga
karena adanya pemanasan sehingga dapat melarutkan logam dari peralatan yang
digunakan seperti alatalat yang terbuat dari aluminium, seng atau tembaga (Sartono,
2001). Selama proses pembuatan tempe dimungkinkan terjadinya pelarutan logam dan
dikhawatirkan akan didapati cemaran logam tertentu karena adanya proses pemanasan.
F. Hipotesis
Dalam penelitian ini tempe mengandung logam Fe dan Zn dengan kadar tertentu
yang dibedakan menurut pembungkus (plastik dan daun) yang dijual di Pasar Kartasura.
Hal ini menunjukkan bahwa tRNA dari Azotobacter vinelandii tumbuh di hadapan
amonium klorida tidak memiliki ribothymidine sementara yang tumbuh tanpa adanya
amonium yang garam mengandung nukleosida dimodifikasi ini. [32P] Dicap-tRNA dari
organisme ini tumbuh di medium yang mengandung garam amonium dicerna dengan
RNase T1 dan pseudouridinecontaining yang tetranucleotide, umum untuk semua tRNA
diisolasi dan dianalisis untuk nukleosida yang menggantikan ribothymidine tersebut.
Hal itu ditemukan uridin. Sel yang sebelumnya diberi label dengan [32P] - fosfat dalam
medium garam amonium dicuci dan diinkubasi dalam saltfree amonium menengah
untuk menguji apakah ribothymidine akan terbentuk atas penghapusan amonium yang
ion. Metilasi uridin tidak terjadiI.
Pengantar
Metabolisme dari beberapa nukleosida dimodifikasi dalam tRNA
mikroorganisme adalah diketahui sensitif terhadap kondisi budaya. Spesies yang relatif
proporsi
dengan kondisi pertumbuhan termasuk 2-methylthio-N6-isopentenil-adenosin (Buck
dan
Griffiths, 1981; Buu et al, 1981), 2-methylthioribosylzeatin (Ajitkumar dan Cherayil,.
1985a; Buck dan Ames, 1984; Morries et al, 1981), 5-methylaminomethyl-2-
thiouridine.
(Chackalaparampil dan Cherayil, 1981) dan 4-thiouridine (Ajitkumar dan Cherayil,
1985b). Kami telah mengamati bahwa ketika bakteri pengikat nitrogen, Azotobacter
vinelandii dan Rizobium meliloti, yang tumbuh di hadapan garam amonium tRNA dari
organisme ini tidak memiliki ribothymidine (). Di sisi lain, ketika A. vinelandii
tumbuh
tanpa adanya garam amonium tRNA yang berisi sejauh 1 mol / mol
(Ajitkumar dan Cherayil, 1982). , yang terjadi pada lengan yC dari tRNA adalah
salah satu
nukleosida dimodifikasi yang unik hadir dalam tRNA kebanyakan, kecuali metionin
inisiator
tRNA dari eukariota banyak (Gauss dan Sprinzl, 1983). Ada sistem di mana
tRNA alami kekurangan T. tRNA tersebut telah terbukti sebagai baik sebagai orang-
orang yang mengandung di dalam sintesis protein in vitro (Svensson dkk., 1971).
Namun, tampak bahwa memainkan peran halus dalam sintesis protein, meskipun
fungsi yang tepat adalah tidak diketahui (Kersten dkk., 1981). Dalam sistem tertentu
telah ditemukan untuk diganti dengan 2 '-Omethylribothymidine atau 2-
thioribothymidine (Gauss dan Sprinzl, 1983). Isi dari yang terakhir telah dilaporkan
meningkat dengan temperatur termofilik tertentu
organisme (Watanabe et al., 1980).
dari 3 '-fosfat dari T, uridin dan pseudouridine () adalah dipengaruhi oleh turun
kromatografi kertas Whatman 1 kertas mm
menggunakan isopropanol: air: kerucut, amonia, 70:30:1 (v / v / v) sebagai sistem
pelarut
(Brownlee, 1972). Elektroforesis tegangan tinggi dilakukan pada Whatman 3 mm
kertas atau DEAE-selulosa kertas dalam asam asetat-piridin-EDTA buffer, pH 3,5, di
40-60 V / cm menggunakan cyanol xylene dan asam fuchsin sebagai penanda pewarna
(Smith, 1967). Sampel radioaktif yang pulih dari kertas Whatman dan DEAE-selulosa
kertas dengan elusi dengan air dan 1,0 triethylammonium asetat, pH 10, masing-
masing
(Sanger dan Brownlee, 1967). Metilasi uridin untuk ribothymidine 269 Hasil Pengaruh
garam amonium pada produksi ribothymidine Dalam studi sebelumnya, ditemukan
bahwa pada sel A. vinelandii tumbuh dengan kelebihan amonium klorida (2,8 mg N /
ml), tRNA benar-benar kekurangan T, sementara sel tumbuh tanpa adanya amonium
klorida terkandung sejauh dari 1 mol / mol tRNA (Ajitkurnar dan Cherayil, 1982).
Dalam rangka untuk mencari tahu apakah ini adalah karena salah efek dari kelebihan
ion amonium, sel-sel tumbuh dengan amonium jauh lebih sedikit garam (0,49 mg N /
ml), hanya sedikit lebih tinggi dari yang dibutuhkan untuk menindas nitrogenease yang
gen (Gordon dan Brill, 1972). RNase T2 mencerna dari [32P] berlabel tRNA yang
diisolasi dari sel tumbuh dengan garam amonium rendah menjadi sasaran 2-D TLC dan
selanjutnya autoradiografi.
Diskusi
Sangat menarik bahwa tRNA dari A. vinelandii tidak memiliki ketika organisme yang
tumbuh di media yang mengandung suatu garam amonium. Kurangnya tidak dapat
karena cacat apa pun dalam gen terlibat dalam sintesis sebagai A. vinelandii sel
menghasilkan ketika tumbuh di tidak adanya amonia. R. meliloti, bakteri nitrogen
simbiosis memperbaiki juga telah ditemukan untuk kurangnya dalam tRNA ketika
berbudaya dengan adanya amonium klorida (Ajitkumar dan Cherayil, 1982). Menjadi
nitrogen simbiosis fixer R. meliloti tidak dapat dibudidayakan di tidak adanya nitrogen
tetap. isi dari E. coli tRNA sekali tidak terpengaruh oleh perubahan konsentrasi ion
amonium (hasil tidak disajikan). Hal ini menggoda untuk berspekulasi bahwa fenomena
tidak adanya Tp di tRNA ketika organisme ini tumbuh dengan adanya garam amonium
adalah karakteristik dari bakteri pengikat nitrogen. Lebih bakteri seperti bagaimanapun,
harus dipelajari untuk membangun ini. Kebanyakan spesies tRNA mengandung
tetranucleotide, ~ T 'CG (Zamir et al., 1965). Analisis dari tetranucleotide dari A.
vinelandii tRNA telah menunjukkan bahwa ia mengandung U bukan ketika
organisme tumbuh di hadapan ion amonium (angka 2 dan 3). Sejak jumlah
radioaktivitas dalam tetranucleotide itu sebanding dalam kedua kasus (lihat
tabel 1) U CG adalah tetranucleotide menonjol dalam tRNA dari sel-sel tumbuh dalam
keberadaan ion amonium. 2-D analisis TLC dari mencerna tetranucleotide
menunjukkan
kehadiran jumlah yang sangat kecil Tp, sekitar 3% dari GP (lihat teks dan gambar 3).
Hal ini menunjukkan bahwa bahkan di hadapan garam amonium sejumlah kecil Tp
adalah
disintesis. Jumlah ini tidak dapat dideteksi pada tRNA total (Gambar 1 A) tetapi bisa
dideteksi ketika menjadi diperkaya oleh pemurnian fragmen tetranucleotide
(Gambar 3). Jumlah jauh lebih besar dari tRNA berlabel dari itu untuk 2-D TLC
(gambar 1) adalah digunakan untuk analisis fragmen tetranucleotide (angka 2 dan 3).
Jika enzim yang methylates residu U dihambat oleh ion NH4, penghapusan dengan
mencuci akan mencegah hambatan dan alkohol residu U. Sebagai tRNA adalah
prelabelled dengan [32P]-fosfat pembentukan akan mengakibatkan penampilan
tempat radioaktif karena Tp. Karena ini tidak diamati (Gambar 4) itu adalah untuk
disimpulkan bahwa enzim tersebut tidak hadir dalam sel atau itu ireversibel terhambat.
Dalam kasus sel yang sebelumnya tumbuh tanpa adanya ion amonium diproduksi +
Metilasi uridin untuk ribothymidine 275
bawah kondisi yang sama mencuci dan inkubasi dengan [32P]-fosfat (1B gambar).
Di bawah kondisi eksperimental yang digunakan dalam penelitian ini akan terbentuk
hanya jika enzim dapat methylate tRNA diproses. Setiap prekursor tRNA akan berubah
menjadi spesies matang pada saat sel-sel yang dipanen dan dicuci (lihat di atas). Sejak
pembentukan diamati dalam satu kasus itu harus disimpulkan bahwa A. vinelandii
enzim, uridin-5-methyltransferase, dapat methylate tRNA matang. Dalam hal ini
menghormatinya tampaknya mirip dengan enzim E. coli yang dapat methylate matang
tRNA1 Gly dari bibit gandum (Marcu et al., 1978). Hal ini jelas dari hasil ini bahwa
garam amonium tidak inhibitor reversibel dari uridin-5-methyltransferase dari A.
vinelandii. Namun tidak jelas apakah itu merupakan ireversibel inhibitor atau represor.
Garam amonium yang dikenal sebagai represor dari jumlah sistem enzim seperti
nitrogenase, nitrat sintetase glutamin dan reduktase (Brill, 1980; Shanmugam dan
Hennecke, 1979). Mungkin, seperti nitrogenase yang gen uridin-5 methyltransferase
gen dari A. vinelandii, ditekan oleh amonium garam. Implikasi dari pengamatan dalam
fiksasi nitrogen tidak yang jelas. Nukleotida diubah pada tRNA yang diketahui terlibat
dalam ekspresi operon, contoh terkenal yang pseudouridine di histidin tRNA
Salmonella typhimurium dalam ekspresi operon histidin (Brenner et al., 1972).
R eferences
Ajitkumar, P. and Cherayil, J. D. (1982) Curr. Sci., 51, 970.
Ajitkumar, P. and Cherayil, J. D. (1985a) J. Bacteriol., 162, 752.
Ajitkumar, P. and Charayil, J. D. (1985b) Curr. Sci., 54, 262.
Brenner, M., Lewis, J. ., Strauss, D. S., de Lorenzo, F. and Ames, B. N. (1972) J.
Biol. Chem., 247, 4333.
Brill, W. J. (1980) Microbiol. Rev., 44, 449.
Brownlee, G. G. (1972) in Determination of Sequences in RNA (eds T. S. Work and E.
Work) (Laboratory
Techniques in Biochemistry and Molecular Biology) p. 204.
Buck, M. and Griffiths, . (1981) Nucleic Acids Res., 9, 401.
Buck, M. and Ames, B. N. (1984) Cell, 36, 523.
Buu, ., Menichi B. and Heyman, T. (1981) J. Bacteriol., 146, 819.
Chackalaparampil, I. and Cherayil, J. D. (1981) Biochem. Int., 2, 121.
Gauss, D. H. and Sprinzl, M. (1983) Nucleic Acids Res., 11, r1.
Gordon, J. . and Brill, W. J. (1972) Proc. Natl. Acad. Sci. USA, 69, 3501.
Kersten, ., Albani, ., Mannlein, ., Praisler, R., Wurmbach, P. and Nierhauss, K. H.
(1981) Eur. J.
Biochem., 114, 451.
Marcu, K., Marcu, D. and Dudock, B. (1978) Nucleic Acids Res., 5, 1075.
jelas. Konsentrasi amonia yang aman untuk budidaya udang 5 0,012 mg/L dan
konsentrasi maksimumsenyawa nitrit di perairan budidaya 5 4,4 mgIL (SCHWEDLER
et al. 1985). Beberapa upaya pengelolaan perairan tambak udang yang umumnya
banyak dilakukan para petani tambak, antara lain teknik sedimentasi dengan
menggunakan kolam tandon air untuk menyimpan air sebelum air d i u k k a n kedalam
tambak, pemakaian kicir air untuk meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut dan
penggunaan bahan kimia (antara lam saponin dan antibiotik) untuk mengantisipasi
hama dan penyakit. Namun upayaupaya tersebut belum memberikan had yang optimal
dalam meningkatkan hasil produksi udang. Salah satu upaya alternatif yang terus dikaji
dan dikembangkan ialah teknik bioremediasi, merupakan pendekatan biologis dalam
pengelolaan kualitas air tarnbak dengan memanfaatkan aktivitas bakteri dalam
rnerombak bahan organik dalam sistem perairan budidaya. Beberapa jenis atau
kelompok bakteri diketahui mampu melakukan proses perombakan (dekomposisi)
senyawa-senyawa metabolit toksik, dan dapat dikembangkad sebagai bakteri agen
bioremediasi untuk pengendalian kualitas air. Jenis atau kelompok bakteri tersebut
antara lain bakteri nitrifkasi, bakteri sulfur (pereduksi sulfit), dan bakteri pengoksidasi
amonia. Kelompok atau jenis bakteri tersebut perlu dikondisikan agar lebii aktif dalam
membantu proses perombakan, sehiigga dapat mengeliminasi senyawa-senyawa toksik
tersebut dari dalam sistem perairan tambak. Beberapa produk bakteri agen bioremediasi
hasil penelitian telah dikomersilkan dan diaplikasikan di tambak pada saat ini, antara
lain EM4, StarBIO, Aquazyme dan Super PS. Beberapa penelitian bakteri agen
bioremediasi, antara lain dilakukan oleh MUSTAFA et al. (2001) dengan BADJOERI
& WIDIYANTO
Sumber : BOYD 1990, CHIN & CHEN (1987) , CHEN & CHIN (1988), BOYD &
FAST (1992)
menggunakan bakteri Bacillus sp. dan Pseudomonas sp. yang dimokulasi secara
bersamaan, sehingga mampu m e n d a n kandungan bahan organic sedimen tambak
udang sebesar 60% setelah inkubasi selama 56 hari. DEVARAJA ef al. (2002)
menggunakankan campuran bakteri Bacillus sp.dan Saccharomyces sp., serta
campuran dari Bacillus sp., Nitrosomonas sp. dan Nirrosobacter sp. pada sistem
budidaya udang. Pada penelitian ini digunakan bakteri nitrifikasi dan bakteri
denitrifikasi sebagai agen bioremediasi senyawa metabolit toksik arnonia dan nitrit di
tambak udang. Bakteri yang akan digunakan adalah hasil isolasi dan seleksi dari
beberapa perairan tambak di Indonesia. Penggunaan bakteri nitirifikasi dan denitrifikasi
untuk menjaga keseimbangan senyawa nitrogen anorganik (amonia, nitrit dan nitrat) di
sistem tambak. Pendekatan bioremediasi ini diharapkan dapat menyeimbangkan
kelebihan residu senyawa nitrogen yang berasal dari pakan, dilepaskan bempa gas N2 1
N20 ke atmosfir. Peran bakteri nitrifikasi adalah mengoksidasi amonia menjadi nitrit
atau nitrat, sedangkan bakteri denitrifikasi akan mereduksi nitrat atau nitrit menjadi
dinitrogen oksida (N20) atau gas nitrogen (Nz).
BAKTERI NITRIFIKASI UNTUK BIOREMEDIASI TAMBAK UDANG
Pemberian bakteri nitrifkasi dan denitrifkasi sebagai agen bioremediasi ke dalam
tambak udang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan bakteri yang berperan
dalam proses remineralisasi unsur h a nitrogen dan membantu proses purifhsi alarniah
(selfpurification) dalam siklus nitrogen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
kemampuan bakteri agen bioremediasi menjaga keseimbangan kondisi kualitas air di
tambak udang windu.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan pada tambak udang windu di daerah Karawang, Jawa Barat pada
bulan Juni s!d September 2005. Tambak yang digunakan berupa 2 kolam uji yang
luasnya masing-masing 2000 m2. Kolam pertama sebagai tambak uji dengan
perlakukan pemberian bakteri bioremediasi dan kolam kedua sebagai tambak kontrol
(tanpa perlakuan bioremediasi). Padat tebar 30 ekor per mZ. Lama penelitian satu
siklus pemeliharaan udang windu sekitar 120 hari, pengamatan dilakukan secara
berkala setiap 10 hari. Setiap tambak dilengkapi dengan 2 unit kincir air dan 1 unit
aerojet. Perlakuan bioremediasi dengan menebarkan bakteri ke dalam tambak udang
dengan ratio penebaran bakteri nitrifikasi : bakteri denitrifkasi = 1 : 1. Dosis pemberian
bakteri, pada tahap persiapan tambak sebanyak 150 L!ha (tergantung kondisi tambak),
bulan ke 1 dan ke 2 sebanyak 50 L!ha tiap 10 hari, bulan ke 3 dan ke 4 sebanyak 100
L/Ha tiap 5 hari, dengan kepadatan p- opulasi lo9 upkfml. Isolat bakteri nitrifkasi dm
denitrifkasi yang digunakan hasil isolasi dari perairan tambak udang daerah Tanggerang
dan Serang, Jawa Barat dan tambak daerah Moramo-Kendari, Sulawesi Tengara. Hasil
uji genetika (PCR dan s
16 rRNA), isolat bakteri dengan kodeASLT yang mempunyai
kemampuan aktivitas nitrifikasi rnirip (99%) denganPseudomonas stutzeri. Isolat
bakteri dengan kode KDTS yang mempunyai kemampuan aktivitas denitrifkasi mirip
(99%) dengan Alcaligenes sp (WIDIYANTO 2006). Media pertumbuhan bakteri untuk
bakteri nitrifikasi dan denitrifikasi adalah media cair Sea Water Complete (bakto pepton
5g, ekstrak ragi lg, gliserol3g, akuades 250 ml dan air laut 750 mL) dan diinkubasi pada
kondisi aerojZik, pH 7,2 dan suhu ruang. Inkubasi baktri denitrifkasi pada pH dan suhu
yang sama dengan kondisi miboaerojZik (LUEKING et al., 1978). Inkubasi bakteri
selama 5 - 7 hari. Isolat siap ditebar ke dalam tambak udang pada hari ke 8 - 10 karena
masa pertumbuhan eksponensial. Parameter fisika-kimia kualitas air tambak yang
diamati meliputi: pH, suhu, oksigen terlarut (DO), salinitas, kecerahan, amonia, nitrit,
nitrat dan nitrogen total selama satu siklus pemeliharaan (sekitar 120 h i ) , (Tabel 2).
HASIL DAh' PEMBAHASAN
Hasil analisis kualitas air tambak menunjukkan pemberian bakteri bioremediasi
berpengaruh terhadap kondisi kualitas air tambak, terutama terhadap konsentrasi
senyawa amonia, nitrit, nitrat, dan nitrogen total. Secara keseluruhan konsentrasi
senyawa-senyawa tersebut di tambak yang diberi perlakuan bakteri bioremediasi
(tambak uji) tampak lebi rendah Kondisi kualitas air pada awal pemeliharaan sampai
pemeliharaan selama 50 hari konsentrasi amonianya masih rendah baik pada tambak uji
(0,041 - 0,157 mg/L) maupun pada tambak kontrol (0,006 - 0,132 mgL ) (Gambar 1).
Kondisi ini menunjukkan, bahwa konsentrasi senyawa nitrogen organik di tambak
udang belum terlalu tinggi, ha1 ini keliiatan dari konsentrasi nitrogen totalnya yang
berkisar antara 0,210 - 2,258 mg/L di tambak uji, sedangkan di tambak kontrol0,3 17 -
2,43 1 mg/L (Gambar 2). Selain itu juga terlihat sampai hari ke 50, konsentrasi amonia
dan nitrit di tambak udang rendah Kondisi ini menunjukan proses purifiasi alami di
tambak udang dapat berlangsung dan diduga bakteri bioremediasi yang ditambahkan
dapat beradaptasi dalam menjaga keseimbangan populasimikroorganisme di tambak
udang. Pada pengamatan hari ke 10 konsentrasi amonia di tambak uji 0,142 mg/L dan
tejadi peningkatan pada hari ke 20 menjadi 0,157 mgL, akan tetapi selanjutnya
konsentrasi amonia tern mengalami penurunan pada hari ke 30 (0,877 m&), hari ke 40
(0,041 mg/L) sampai hari ke 50 (0,043 mg/L). Begitu pula halnya terjadi di tambak
kontrol, dimana pada hari ke 10 konsentrasi amonia 0,110 mgL dan mengalami
peningkatan pada hari ke 20 menjadi 0,132 mg/L, dan terns menurun menjadi 0,041
mg/L (hari ke 30), 0,006 mg/L (hari ke 40) dan 0,083 mg/L (hari ke 50). Konsentrasi
senyawa metabolit toksik di tambak udang, umumnya menunjukkan peningkatan pada
hari ke 15 setelah udang ditebar, yaitu amonia (NH3) di sedimen mencapai 8,5 m a ,
nitrat 0,93 mg/L, nitrit (NOz) 0,69 mg/L. Sedangkan konsentrasi nitrogen total terlamt
pada hari ke 3 0,42 mgL (BUFFORD et al., 2002). Setelah 50 - 60 hari pemeliharaan,
terjadi peningkatan konsentrasi amonia di tambak kontrol dari 0,083 mg/L menjadi
2,639 mg/L, sedangkan di tambak uji juga te rjadi peningkatan konsentrasi amonia
namun relatif lebih kecil peningkatannya, yaitu dari 0,043 mgL menjadi 0,137mgIL.
Hal ini menyerupai hasil penelitian yang diiakukan oleh SABAR & WIDIYANTO
(1998) yang menunjukkan adanya peningkatan senyawa organik pada system tambak
semi-intensif terjadi mulai hari ke 60. Pada awal operasional tambak, konsentrasi
senyawa karbon organik pada sistem sedimen umumnya sebesar 41,O mgL dan pada
tambak udang umur 60 hari meningkat menjadi 140 mgL dan selain senyawa karbon
organik juga unsur nitrogen, fosfat dm sulfur banyak terkandung di dalam senyawa
organik yang berasal dari pakan udang. Memasuki masa pemeliharaan 70 - 80 hari
konsentrasi amonia baik pada tambak uji maupun kontrol relatif berfluktuasi, namun
cendrung terjadi peningkatan konsentrasi amonia, dimana pada tambak uji pada hari ke
80 konsentrasinya mencapai 0,301 mg/L dan di tambak kontrol 1,210 mgL., namun
pada hari ke 80 - 100 terjadi lagi penurunan konsentrasi amonia, dan pada hari ke 120
terlihat konsentrasi a m o ~ ate rliat cendrung terus meningkat, pada tambak uji 0,756
mg/L, sedangkan pada tambak control 0,920 mg/L.Peningkatan konsentrasi amonia ini
sebagai akibat proses dekomposisi (amonifkasi) bahan-bahan organik yang berasal dari
sisa pakan, feces udang, plankton yang mati oleh bakteri heterotrofik dan apabila proses
selanjutnya yaitu nitrifikasi tidak berlangsung baik maka akan terjadi akumulasi
amonia di perairan tambak udang. Konsentrasi Ntrit di tambak udang baik di tambak uji
rnaupun di tambak kontrol cendemg terus mengalami peningkatan, terutama masa
pemeliaraan 10 - 60 hari, bahkan sampai 70 hari di tambak kontrol (Gambar 3). Pada
tambak uji konsentrasi nitrit meningkat dari 0,008 mgL (hari ke 10) menjadi 0,127
mg/L (hari ke 60) atau meningkat sebanyak 0,116 mgL selama 50 hari, sedangkan
ditambak kontrol konsentrasi nitrit meningkat dari 0,011 mg/L ( hi ke 10) menjadi 0,165
mg/L ( h i ke 70) atau meningkat sebanyak 0,154 mg/L selama 60 hari.
Hal ini terjadi karena adanya aktivitas bakteri nitrifikasi, yang pada kondisi
aerobii bakteri nitritasi (bakteri pembentuk nitrit) akan mengoksidasi amonia menjadi
nitrit, dan pada kondisi oksigen yang memadai proses ini akan berlanjut menjadi proses
nitratasi, nitrit akan dioksidasi menjadi nitrat oleh bakteri nitratasi (bakteri pembentuk
nitrat). Gambar 4. memperlihatkan pada masa pemeliharaan udang 70 - 120 hari
konsentrasi nitrat relatif tinggi, (di tambak kontrol berkisar 0,321 - 0,996 mg/L dan di
tambak uji berkisar 0,222 - 0,757 mgL) karena hasil perombakan nitrit menjadi nitrat
pada proses nitriiasi. Konsentrasi nitrit di tambak udang uji setelah umur 80 - 100 hari
berfluktuasi, namun cenderung terns mengalami penurunan. Hal hi diduga karena
aktivitas bakteri nitratasi yang mereduksi nitrit menjadi nitrat. Hasil analisis nitrit di
tambak udang uji juga memperlihatkan konsentrasi nitrityang lebii rendah dibandiig
tambak kontrol, ha1 ini menunjukan adanya pengaruh pemberim bakteri nitrifikasi
untuk bioremediasi perairan tambak udang.
Hasil pengukuran parameter kualitas air menunjukan bahwa, pH airpada tambak
uii maupun tambak kontrol tidak 4menwiukan konsentrasi yangjauh berbeda, yaitu
berkisar antara 8,09 - 8,49 pdatambak uji dan 8,00 - 8,85 pada tambak kontrol (Gambar
5). Menurut AHMAD (1991) dan RHEINHEIMER (1985) bakteri di perairan dapat
tumbuh optimal pada kisaran pH antara 6,5 - 8,5 dan fluktuasi pH di perairan
Ine~pakatIp roses alami karena aktivitas mikroorganisme (bakteri dan fhgi). Kondisi pH
air tambak antara 7 - 9 mempakan kondisi yang mendukung untuk pemeliharaan ikan
atau udang (BOYD 1990). Nilai pH >7 rnenunjukkan air tambak teroksidasi dengan
baii (RHEINHEIMER 1985), kondiii ini mendukung bakteri nitrifiii untuk
mengoksidasi amonia rnenjadi nitrit dan nitrat. Oksigen terlarut (DO) di dalam air
mempakan parameter yang sangat penting, karena apabila konsentrasinya rendah (<50
% konsentrasi jenuh) menyebabkan tekanan parsial oksigen di dalarn air menjadi tidak
cukup tinggi untuk proses penetrasi oksigen ke dalam lamella insang udang sehingga
menyebabkan udang mati lemas. Apabila terlalu lewat jenuh (>I 50 YO), penetrasi
oksigen ke dalam insang menjadi terlalu cepat, menyebabkan penyakit "gas bubble
disease" (AHMAD 1991) Konsentrasi oksigen terlarut di tambak uji maupun tambak
control relatif tinggi yaitu antara 8,55 - 18,49 mg/L di tambak uji dan 7,95 - 18,60 mg/L
di tambak kontrol (Gambar 6). Hal ini dikarenakan proses fotosintesis oleh fitoplankton
di tambak (BOYD dan CHIANG dalam AHMAD 1991). Tingginya konsentrasi
oksigen terlarut di tambak udang diduga juga karena penetrasi oksigen oleh kin& air (2
unit) dan aerojet (1 unit) yang dipasang di tambak. Menurut AHMAD (1991)
konsentrasi oksigen terlamt pada waktu fajar (jam 04.00) dapat te rjadidefisk
konsentrasi oksGen hingga &t?ncapai 1,54 mg/L, karena itu pemasangan alat pemasok
oksigen (aerator)di tambak udang sangat diperlukan untuk menghindari kematian udang
akibat kekurangan oksigen.
Konsentrasi rata-rata oksigen terlarut di tambak uji (10,93 mg/L) dan di tambak
kontrol(12,33 mg/L) layak untuk mendukung kehidupan ikan atau udang yang
dibudidayakan dan aktivitas mikroorganisme (bakteri) untuk melakukan vroses
biogeokimia di perairan. Menurut ELLIS dalam BOYD (1990) pad'a kondisi &igen
dipeiairan rata-rata 3 mgk atau kurang dapat membahayakan ikan atau berbagai jenis
fauna air lainnya. Sedangkan menurut WEATON dalam BOYD (1990) pada
konsentrasi oksigen berkisar antara 2,s - 3,s mg/L ikan raibow trout mati dan tidak
dapat turnbuh dengan baik pada oksigen 5 mgL. Pemeliharaan ikan pada kondisi
oksigen rendah yang term menerus &pat menyebabkan ikan mudah terserang infeksi
bakteri patogen (SNIEZKO & PLUMB et al. dalam BOYD 1990). Konsentrasi oksigen
terlarut yang baik untuk pemeliharaan ikan yaitu > 5 mg/L (BOYD1990).
Konsentrasi oksigen terlarut pada tambak uji, sejak memasuki masa
pemeliharaan 30 hari sampai 120 hari lebii rendah konsentrasinya disbanding tambak
kontrol, ha1 ini kelihatan menunjukan adanya proses respirasi dan perombakan bahan
organik yang terjadi pada tambak uji lebih aktif dibandiig di tambak kontrol.
Konsentrasi oksigen terlarut di tambak akan terjadi fluktuasi antara pagi, siang, sore dan
malam hari. Konsentrasi oksigen terlarut di tambak pada sore hari (jam 15.00-18.00)
dapat mencapai 15 - 16 mg/L di mush kemarau dan mencapai 8 mg/L di mush
penghujan. Pada pagi hari (jam 04.00 - 06.00) di musim kemarau konsentrasi oksigen
terlarut mencapai 4 - 4,5 mg/L dan di mush hujan < 4 mg/L (BOYD 1990). Proses
perombakan senyawa amonia sangat tergantung dengan keberadaan konsentrasi oksigen
terlarut di tambak. Menurut WICKINS (1985) udang windu berbobot 1,6 g
menghasilkan 0,96 mg N-N~3+/hari sedangkan udang yang berbobot 30 g
menghasilkan 0,3 mg N-NH3+/hari, dan apabila pakan yang diberikan 3 % dari berat
biomassa udang, maka dalam satu hari akan diproduksi amonia sekitar 0,49 mg/L N-
NH~' per hari, yang merupakan penjumlahan amonia yang diproduksi udang dan sisa
pakan Untuk mengoksidasi amonia 0,49 mg1L per hari diperlukan oksigen sebanyak
1,9 mg/L (AHMAD 1991). Pada malam hari diperlukan oksigen terlarut sebanyak 734
mg/L. Jika konsentrasi oksigen terlarut pada sore hari (jam 17.00) sebanyak 9 mg/L
maka konsentrasi oksigen terlarut pada pagi hari (jam 05.00) adalah 9 mglL dikurangi
7,54 mglL = 1,46 mglL (AHMAD 1991). Konsentrasi oksigen terlarut terendah untuk
budidaya udang adalah 3 mglL (POERNOMO 1988, CHOLIK 1988, BOYD 1990 dan
AHMAD 1991). Oleh karena itu untuk mengatasi kondisi ini diperlukan alat bantu
pemasok oksigen ke dalam tambak, yaitu kincir air dan aerojet. Menurut AHMAD
(1991) kiicir air dan aerojet mempunyai efisiensi aerasi masing-masing sebesar 2,10 kg
02kW.jam dan 0,97 kg OzkW.jam. Menurut BOYD & AHMAD (1987) untuk
menaikan konsentrasi oksigen terlarut dari 1, 46 mglL menjadi 3 mglL diperlukan
sekitar 7 kW.jam atau diperlukan sekitar 4 buah aerator (kincir)/ha untuk meningkatkan
oksigen terlarut sampai konsentrasi yang aman bagi kehidupan udang pada malam
hari (jam 24.00 - 01.00). Pada penelitian ini, tambak udang dilengkapi dengan 2 unit
kincir air dan 1 unit aerojet (pompa penyemprot) di setiap tambak untuk memenuhi
kebutuhan oksigen di air tambak.
Suhu air selalu berkaitan dengan pH air, konsentrasi oksigen terlarut, salinitas
dan kelarutan amonia di perairan (BOYD 1990). Suhu air di tambak uji berkisar antara
30,5 - 31,7 OC dan kontrol 30,2 - 31,5 OC (Gambar 7). Pada kisaran suhu tersebut
udang masih dapat hidup normal, bahkan pada suhu sekitar 35 OC udang mash dapat
hidup normal seperti pengamatan yang dilakukan oleh AHMAD (1991) di tambak
percobaan Maranak-Sulawesi selatan. Suhu optimal untuk pertumbuhan udang adalah
berkisar antara 28 - 30 OC (BOYD 1990). Suhu rata-rata di tambak uji 3 1,17 OC dan
di tambak kontrol3 1,08 OC, kondisi suhu ini mendukung aktivitas bakteri dalam
melakukan proses perombakan bahan organik. Menurut RHEINHEIMER (1985) suhu
optimal amonifikasi dan nitrifikasi berkisar antara 30 - 35 OC. Salinitas (kadar garam)
di tambak uji berkisar antara 31,O - 33,62 '1, dm tambak kontrol berkisar 29,4 - 33,4
0100 (Gambar 8). Salinitas di tambak udang, di tambak uji maupun tambak kontrol
relatif cukup tinggi, karena saliiitas optimal air tambak untuk pertumbuhan udang
windu 20 '1, . Menurut AHMAD (1991) udang windu walaupun termasuk hewan
euryhaline dan masih dapat hidup normal pada saliitas 35 'I, sebaiknya dibudidayakan
pada salinitas normal untuk perkembangannya yaitu 12 ± 20 0100, dan salinitas
tertinggi untuk pertumbuhan mikroorganisme halophilic (bakteri dan fungi), yaitu 25 -
40 '1, dan tumbuh optimal pada salintas 5 -20 '1, (RHEIWRIMER 1995).
`Tingginya kadar garam di tambak udang uji rnaupun control dienakan musim
kemarau sehingga salinitas di tambak terus meningkat karena proses penguapan air,
selain itu di lokasi penelitian relatif sulit untuk mendapatkan air tawar. Pada masa
pemeliharaan 70 - 90 h i , salinitas air tambak menurunakibat pengenceran yang
disebabkan oleh hujan yang turun. Namun demikian kondisi salinitas air tambak
diduga masih mendukung aktivitas bakteri dalam melakukan proses perombakan bahan
organik
KESIMPULAN
Bakteri nitrifkasi yang di masukkan ke dalam tambak udang windu mampu
beradaptasi dan menjaga kestabilan konsentrasi amonia dan nittit, sehingga
konsentrasinya masih berada pada batas aman untuk budidaya udang. Pemberian
bakteri n i t r i f h i sebagai agen bioremediasi ke dalam perairan tambak udang dengan
dosis 50 L/ha (udang umur 30 -60 hari) dan 100 L h (6 0 - 120 hari) dengan kepadatan
populasi 10' upk/mL. setiap 10 hari berpengaruh positif terhadap perbaikan kualitas air
tambak udang windu.
DAFTAR PUSTAKA
ANONYMOUS, 1996. Aqua Farm News. Vol. XIV: No. 4 dan 5.
AHMAD, T. 1991. Pengelolaan Peubah Mutu Air Yang Penting dalam Tambak Udang
Intensif. Indonesia Fis heries Information System. Infs Manual Seri no. 25. Direktorat
Jenderal Perikanan dan International Development Research Centre. 40 hal.
BOYD, C. E. 1990. Water quality in ponds for Aqua Culture. Alabama agricultural
experiment station. Auburn University. 482 pp.
BOYD, C.E. and A.W. FAST. 1992. Pond monitoring and management in. FAST,
A.W. and LESTER, L.J. (Eds). Marine S hrimp Culture : Principles and Practices: 497
- 5 14. BOYD, C. E. and T. AHMAD. 1987. E valuation of Aeratorsfor C hannel
Catfzsh Farming. Ala Agr. Exp. Sta., Auburn Univ., Ala., Bull. 584. 52 p.
BUFORD, M. A., N.P. PRESTON, P.M. GILBERT and W.C. DENNISON. 2002.
Tracing the fate of "N-enriched feed in an intensive shrimp system. Aquaculture. 206 :
199 - 216.CHIN, T. S. and J. C. CHEN. 1987. Acute Toxicity of Amonia to Larvae of
the Tiger Prawn, Penaeus monodon. Acuaculture, 66: 247-253. CHEN, J. C. and
CHIN, T.S. 1988. Joint Action of Amonia and nitrite on Tiger Prawn Penaeus
monodon Postlarvae. .I Worls Aquaculture. S OC., 19:127-131.
Abstrak
Bio-filtrasi telah banyak digunakan dalam re-sirkulasi akuakultur sistem untuk
menghapus limbah dan untuk mengubah amonia beracun dan nitrit menjadi produk
akhir ikan hias yang aman dan organisme air lainnya. Namun, studi mikro-manik
penggunaan sebagai media filter belum diperluas dan dikembangkan secara
menyeluruh. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk membangun
sebuah biologis filter yang terbuat dari polietilen mikro-manik sebagai media filter dan
untuk menganalisa efektivitasnya dalam menghapus sampah serta dalam mengkonversi
bahan organik beracun menjadi zat stabil. Bio-filter yang dibangun di bawah rotasi
molding proses. Tabung, selang, dan pipa yang terbuat dari polivinil klorida (PVC)
sementara pengencang yang terbuat dari stainless steel dan non korosif bahan.
Efektivitas dari bio-filter yang diukur dengan menggunakan permintaan oksigen
biokimia (BOD) dan total padatan tersuspensi (TSS) analisis. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa bio-filter efisien cukup untuk menghilangkan padatan tersuspensi
dan BOD. Oleh karena itu, mikro ini-manik mengambang bio-filter dapat digunakan
dalam budidaya sistem.
Keywords: Micro-manik bio-filter, ikan hias, kembali beredar akuakultur sistem;
kebutuhan oksigen biokimia, total padatan tersuspensi.
1. Pengantar Re-sirkulasi sistem akuakultur secara perlahan mulai berkembang di
Malaysia. Kebanyakan Malaysia akuakultur peternak cenderung untuk
beroperasi filtrasi mekanis dan biologis dalam tangki filtrasi filter yang terpisah.
Bahkan meskipun penelitian sebelumnya [1-5] telah membuktikan efisiensi
filter manik mengambang dalam melakukan baik mekanik dan filtrasi biologis
pada satu unit, jenis filter belum banyak digunakan di Malaysia. Oleh karena itu,
ini Penelitian dilakukan untuk membangun mikro-manik mengambang bio-filter
model pada biaya yang paling masuk akal dan untuk mengembangkan model
sehingga filter dapat diterapkan secara praktis, sesuai dan efektif untuk ikan air
tawar di air hangat akuakultur aplikasi. Sebagian besar penyaring yang
digunakan dalam akuakultur manik aplikasi saat ini menggunakan 3 manik-
manik mm dengan kepadatan hanya beberapa kurang dari persen air. Media ini
juga 50-100 kali lebih mahal, satuan luas permukaan per disediakan, dari yang 1
mm mengambang jenis media yang digunakan oleh Greiner dan Timmons [4].
Untuk kejelasan dalam makalah ini, kecil Media manik dan filter (1 mm
diameter) yang disebut sebagai filter mikro-manik untuk membedakan dari 3
mm reaktor manik. Istilah mikro-manik juga telah digunakan oleh peneliti lain
untuk tipe 1 mm manik media [6]. Sementara ada informasi yang cukup besar
dalam literatur tentang karakteristik nitrifikasi untuk sebagian besar media di
saat ini menggunakan [7-10], tidak ada informasi kuantitatif mengenai
penggunaan 1 mengambang polietilen mm media (mikro-manik-manik) yang
saat ini sedang digunakan dalam akuakultur aplikasi.
1.1 Bead filter pada proses perlakuan mekanik Filtrasi mekanik atau klarifikasi
adalah proses menghilangkan padatan tersuspensi dari air. Padatan
tersuspensi dalam sistem re-sirkulasi umumnya partikel kecil makanan
tercerna, bakteri, dan ganggang. Padatan tersebut cenderung mengurangi
kejernihan air dan juga mengurangi sejumlah besar oksigen. Filter manik
menghapus padatan dari air dengan mekanisme yang berbeda. Mengejan fisik
mungkin adalah mekanisme yang paling dominan menghapus lebih besar
partikel (> 50 mikron). Partikel yang lebih halus (<20 mikron) dikeluarkan
pada tingkat yang lebih rendah dengan proses yang disebut bio-penyerapan.
Partikel-partikel ditangkap oleh bakteri biofilm pada permukaan manik-
manik. Semakin melewati padatan lebih ditangkap [11, 12].
http://astonjournals.com/faj 2 Riset Pasal
1.2 Bead filter pada proses pengolahan biologis Ada dua metode yang umum
digunakan untuk menghilangkan amonia dalam sistem air tawar: pertukaran
ion dan biologis filtrasi. Dalam sistem air garam, pertukaran ion bukanlah
alternatif karena dalam budaya air cepat jenuh semua situs adsorpsi pada
media pertukaran ion. Dengan demikian, filter biologis adalah satu-satunya
banyak digunakan metode untuk menghilangkan amonia dan nitrit dari semua
jenis sistem akuakultur. Filter biologis terdiri dari beberapa media padat yang
berfungsi sebagai permukaan di mana bakteri dapat melampirkan dan
berkembang. Filter manik secara khusus dirancang untuk memfasilitasi
pertumbuhan yang cepat dari bakteri nitrifikasi dan heterotrofik baik yang
dalam sistem air tawar terdiri dari Nitrosomonas dan Nitrobacter spp.
2. Metode
2.1 Bahan pemilihan
2.1.1 Filter tangki Tangki filter yang terbuat dari polietilen. Untuk tujuan
keselamatan ketebalan tangki harus 0,2 m di untuk menahan tekanan
hidrolik yang dihasilkan oleh air yang mengalir dari kolam ke dalam
tangki. Ketika tangki diisi dengan air, mikro-manik akan mengapung
sampai ke tingkat leher tangki. Karena saluran air tabung terletak lebih
rendah daripada tingkat leher, sehingga tangki harus menjadi silinder
dengan bentuk kerucut di bagian atas dari ruang untuk meminimalkan
mikro-manik mengisi daerah. Karena desain untuk filter biologi harus
mencegah sinar yang berlebihan untuk bakteri, tangki dicat berwarna
biru untuk menyediakan kegelapan lengkap untuk diurnal bersepeda dari
rezim cahaya untuk bakteri nitrifikasi.
2.1.2 Filter media Polyethylene bubuk dipilih sebagai media filter. Volume
manik harus ¾ volume tangki. Para Manik-manik bola di bentuk dengan
diameter 1-2 mm. Polietilen mikro manik yang ditunjukkan pada
Gambar 1. Gambar 1: Polyethylene mikro-manik. Gambar 2: Struktur
kimia dari polietilen. Polietilen adalah satuan berulang dari etilena
[C2H4] memiliki struktur kimia seperti yang ditunjukkan pada Gambar
2.
2.1.3 Pipa dan fitting PVC pipa tekanan jadwal 40 umumnya dinilai ganda
untuk sistem tekanan air, serta limbah dan tiriskan aplikasi ventilasi,
memenuhi persyaratan dari American Society for Testing dan Material
[ASTM] Standar D2665. Alasan untuk memilih PVC adalah bahwa suhu
air di bawah 45 ° C tidak akan mempengaruhi migrasi dari PVC. Tabel 1
berisi daftar properti untuk pipa PVC Jadwal 40. Bubuk Polyethylene
memiliki http://astonjournals.com/faj Perikanan dan Budidaya Jurnal,
Volume 2011: FAJ-28 3 karakteristik bahwa itu adalah non-berbahaya
bagi ikan serta organisme hidup lainnya. Selanjutnya, polietilen telah
biaya rendah, memiliki kehidupan rak panjang, dan tersedia di toko-toko
ritel.
antara partikel microbead tersebut. Lumpur ini akhirnya akan mengalir keluar dari
tangki melalui pipa inlet. Diagram skematik menyajikan filtrasi modus dan modus
backwash ditunjukkan pada Gambar 5. Gambar 5a: modus Filtrasi. Gambar 5b:
backwash modus. http://astonjournals.com/faj Perikanan dan Budidaya Jurnal,
Volume 2011: FAJ-28 5
2.3 Kinerja analisis Operasi bio-filter yang diamati selama tujuh hari. Dalam periode
ini, tes dilakukan dalam rangka untuk menguji nya kinerja efisiensi. Tes
Biochemical Oxygen Demand [Direksi] dan Total Suspended Solids [TSS] analisis.
Sampel diambil selama operasi bio-filter dan dikumpulkan dari pipa outlet untuk
tujuh hari berturut-turut di 10:00
Sekitar 1,2 kg pakan diumpankan ke ikan [ikan berat rata-rata individu 2 kg] dua
kali sehari, di pagi hari pukul 9 pagi dan di sore hari pukul 3 sore. Perhitungan
dosis pakan didasarkan pada 3% dari berat ikan. Para makanan komersial
diproduksi oleh Fwusow Industry Co Ltd digunakan. Bahan pakan terdiri dari
gandum tepung, tepung ikan, tepung udang, tepung kerang, bibit gandum, tepung
krill, bubuk ragi, -karoten, lesitin, L-lisin, DL-metionin, minyak ikan, vitamin A,
vitamin D3, vitamin C, vitamin E, riboflavin, biotin, asam folat, kalsium
pantothenate, kalsium fosfat, kolin klorida, niasin, para-aminobenzoic acid, besi
sulfat, mangan oksida, sulfat tembaga, seng oksida, magnesium sulfat, sulfat kobalt
[komposisi gizi, lihat Tabel 2]. Tabel 2: Nutrisi komposisi makanan koi [Fwusow
Industry Co Ltd]. Komposisi Gizi Tingkat Minyak mentah protein> 42% Minyak
mentah lemak> 5% Serat kasar <4% Minyak mentah abu <12% Moisture <10%
2.3.1 kebutuhan oksigen biokimia [Direksi] tes Direksi analisis dilakukan untuk
menentukan tingkat di mana oksigen digunakan oleh mikroorganisme dalam
dekomposisi bahan organik. Metode ini terdiri dari mengisi dengan sampel,
melimpah, botol kedap udara dari 30 mL kosong botol dan mengerami itu
pada suhu tertentu 20 ° C selama 5 hari. Oksigen terlarut [DO] diukur
awalnya dan setelah inkubasi, menggunakan DO meter. Direksi dihitung
dari perbedaan antara awal dan akhir DO seperti yang ditunjukkan dalam
persamaan berikut [16]. Karena DO awal ditentukan sesaat setelah
pengenceran dibuat, uptakes oksigen semua yang terjadi setelah pengukuran
ini dimasukkan dalam pengukuran BOD. DOI ± DOF BOD [mg / L] = ------
------------------ [1]
DAFTAR PUSTAKA
4. Greiner AD, Timmons MB, 1998. Evaluation of the nitrification rates of microbead
and trickling filters in an intensive recirculating tilapia production facility.
Aquacultural Engineering, 18: 189-200.
5. Smith M, 2003. Biological filters for aquaculture. In: Technical and Commercial
Information, L.S. Enterprises, Fort Myers, Florida.
[http://www.biofilters.com/webfilt.htm]
http://astonjournals.com/faj8 Research Article
6. Dean RC, Karkare SB, Ray NG, et al., 1988. Large scale culture of hybridoma and
mammalian cells in fluidized bed reactors. In: Bioreactor Immobilized Enzymes
and Cells: Fundamentals and Applications. p. 128, Elsevier Applied Science,
London.
7. Grady CXPL, Lim HC, 1980. Biological wastewater treatment. Marcel Dekker, New
York.
8. Tanaka H, Dunn IJ, 1982. Kinetics of biofilm nitrification. Biotechnology and
Bioengineering, 24: 669-689.
9. Westerman PW, Losordo TM, Wildhaber ML, 1993. Evaluation of various biofilters
in an intensive recirculating fish production facility. In: Proceedings of an
Aquacultural Engineering Conference, 21-23 June 1993, pp. 326-334, ASAE
Publication 02-93, St. Joseph, MI, Washington.
10. Wheaton FW, Hochheimer JN, Kaiser GE, et al., 1994. Nitrification filter
principles. In: Aquaculture Water Reuse Systems: Engineering Design and
Management. M.B, T., and Losordo, T. S., (eds), Elsevier, Amsterdam.
11. Selective Koi Sales, 2011. Econobead filters. Hainford, UK. `
[http://www.selectivekoisales.co.uk/shop/index.php?cPath=67_17]
12. Russel Water Gardens, 2011. The HydroBead Vortex. Redmond, WA.
[http://www.russellwatergardens.com/Filters/hydrobeadvortex-
3.php?PHPSESSID=394272e7ca0fa54533fbe7981df4c0a9]
13. Colt JE, Amstrong DA, 1981. Nitrogen toxicity to crustaceans, fish, and molluscs.
In: Bioengineering Symposium for Fish Culture [Jallen, L., and Kinney, E. C., eds],
Fish Culture Section of the American Fisheries Society, Bethesda, Maryland, USA.
14. Malone RF, Drennan D, Stahl C, et al., 2000. Development rationale for the use of
marine recirculating biofilters to simplify management strategies and reduce costs
associated with marine aquaculture systems. In: 3rd International Conference on
Abstrak :
Boezem Morokrembangan merupakan muara dari saluran drainase yang ada di
Kota Surabaya. Boezem ini telah mengalami pencemaran berat oleh limbah domestik
sehingga kemampuan self purification-nya berkurang. Potensi self purification suatu
badan air dapat dilihat dari nilai koefisien biodegradasi. Pada penelitian ini dilakukan
analisis secara batch terhadap sampel air dari influen Boezem Morokrembangan untuk
mendapatkan nilai koefisen biodegradasi. Analisis dilakukan dengan melihat hubungan
antara perubahan konsentrasi substrat (nilai PV) dan biomassa (MLSS) setiap 3 jam
selama 24 jam proses aerasi. Kondisi optimum aerasi dan rasio BOD5/COD didapatkan
pada penelitian pendahuluan. Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan rasio
BOD5/COD sampel sebesar 0,5 dan kodisi optimum aerasi terjadi pada sampel air
dengan konsentrasi BOD5 terendah dengan proses agitasi skala 6 magnetic stirrer. Nilai
koefisien biodegradasi sampel air dengan PV awal 23,384 mg/L, 72,048 mg/L dan
293,88 mg/L berturut-turut adalah 0,015/jam, 0,00311/jam dan 0,002/jam.
1. Pendahuluan
Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah berapa persentase
jumlah
Pada t=0, substrat dan nutrien berlimpah, dan keberadaan populasi biomassa
sangatlah
sedikit. Sebagai akibat dikonsumsinya substrat, empat fase pertumbuhan yang berbeda
terjadi, yaitu: fase lamban (lag phase), fase pertumbuhan eksponensial ( exponential
growth phase), fase stasioner ( stationary phase), dan fase kematian (death phase/
endogenous decay phase ) (Metcalf and Eddy, 2003).
Kinetika pertumbuhan mikroba menentukan oksidasi (penggunaan) substrat dan
produksi biomassa, yang menyumbang konsentrasi TSS dalam reaktor biologis. Karena
air limbah penduduk dan industri mengandung sejumlah substrat, konsentrasi senyawa
organik paling sering ditunjukkan dengan nilai COD biodegradable atau uBOD, yang
mana keduanya terdiri atas komponen biodegradable terlarut, koloid, dan partikulat
(Metcalf and Eddy, 2003). Zat organik dalam air juga dapat diketahui dengan
menentukan angka permangantanya. Yang dimaksud dengan nilai permanganat
(KMnO4) adalah jumlah miligram Kalium Permanganat yang dibutuhkan untuk
mengoksidasi zat organik yang ada dalam air. Walaupun KMnO4 sebagai oksidator
yang dipakai tidak dapat mengoksidasi semua zat organik yang ada, namun cara ini
sangat praktis dan tepat pengerjaannya (Sutrisno, 2002). Satu kegunaan utama dari
operasi biokimia adalah dalam mengurangi atau menghilangkan bahan organik terlarut
yang dapat digunakan sebagai sumber makanan oleh mikroorganisme yang ada. Ketika
hal ini terjadi, sebagian dari karbon diubah menjadi karbondioksida dan sisanya diubah
menjadi materi sel yang baru. Karbondioksida terlepas sebagai gas dan materi sel
dihilangkan dalam operasi fisik menjadikan air limbah terbebas dari bahan organik asli
(Grady and Lim, 1980).
Laju keseluruhan dari reaksi biologis tergantung pada aktivitas katalitis enzim
dalam reaksi yang jelas. Kinetika enzim telah didefinisikan oleh Michaelis-Menten
untuk reaksi tunggal yang meliputi substrat tunggal. Bentuk persamaan yang sama
dapat digunakan pada banyak kasus untuk menunjukkan kinetika yang diobservasi
dengan banyak substrat dan reaksi kultur campuran yang terjadi di dalam proses
pengolahan air limbah.
Dalam meninjau ekspresi kinetika yang digunakan untuk menggambarkan
penggunaan substrat dan laju pertumbuhan biomassa, sangat penting diingat bahwa
ekspresi yang digunakan dalam pemodelan proses biologis semuanya adalah empiris,
berdasarkan nilai koefisien yang ditentukan melalui percobaan.
2. Metodologi
Untuk mencapai tujuan penelitian ini, kerangka penelitian yang digunakan
adalah merumuskan ide studi, melakukan peninjauan pada pustaka yang ada,
melaksanakan penelitian pendahuluan dan penelitian utama di laboratorium, mengolah
data dan membahas hasil penelitian, serta menarik kesimpulan.
Penelitian Pendahuluan
Analisis untuk mengetahui persentase jumlah zat organik biodegradable dalam air
limbah yang masuk ke Boezem Morokrembangan Selatan dilakukan di laboratorium
dengan cara mengukur rasio konsentrasi BOD5 dan COD dari sampel air. Sampel air
diambil dari masing-masing inlet boezem yaitu Saluran Purwodadi dan Saluran Greges.
Analisis ini dilakukan selama 3 hari berturutturut. Analisis penentuan kondisi optimum
aerasi bertujuan untuk membandingkan proses aerasi secara difusi dengan proses aerasi
secara mekanik pada berbagai konsentrasi BOD5. Kondisi optimum ditentukan dengan
memilih proses aerasi yang paling efektif dalam menaikkan dan menurunkan
konsentrasi DO dalam sampel air dengan konsentrasi BOD5 yang bervariasi.
Penelitian Utama
Dari hasil analisis di atas, dilakukan pengolahan data hingga diperoleh nilai
koefisien
biodegradasi. Selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan dari keselruhan analisis
yang telah
dilaksanakan.
Penelitian Pendahuluan
Rasio BOD5/COD air limbah menunjukkan persentase jumlah bahan organik
biodegradable dari jumlah bahan organik total yang terkandung di dalam air limbah
tersebut. Menurut Alaerts dan Santika (1984), perbandingan rata-rata antara BOD5 dan
COD juga dapat menunjukkan jenis dari air limbah. Perbandingan rata-rata BOD5 dan
COD untuk bermacam-macam jenis air dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini.
Selain itu, jika rasio BOD5/COD untuk air limbah yang tidak terolah adalah 0,5
atau lebih, limbah tersebut dianggap sebagai limbah yang mudah terolah secara
biologis. Jika rasionya di bawah kira-kira 0,3 maka ada dua kemungkinan, yaitu bahwa
limbah tersebut mengandung komponen toksik atau diperlukan mikroorganisme yang
telah diaklimatisasi dalam proses stabilisasinya (Metcalf and Eddy, 2003).
Pada penelitian ini pengukuran konsentrasi BOD5 dan COD dilakukan di
laboratorium selama tiga hari berturut-turut, dimana pengambilan sampel dilakukan saat
kondisi cuaca tidak sedang hujan. Dari penelitian yang dilakukan selama tiga hari
berturut-turut terhadap sampel air dari influen Boezem Morokrembangan didapatkan
data-data seperti yang tercantum pada Tabel 3.
maupun Purwodadi menunjukkan nilai yang hampir sama yaitu mendekati 0,5. Data ini
menunjukkan bahwa hampir 50% kandungan bahan organic dalam air limbah influen
Boezem Morokrembangan bersifat biodegradable. Data ini juga menunjukkan bahwa
air limbah yang masuk ke boezem, baik dari Saluran Greges maupun Purwodadi
termasuk kategori air buangan penduduk yang belum terolah, dan tidak tercemar oleh
air buangan industri baik organik maupun anorganik. Selain itu, dapat disimpulkan
bahwa metode pengolahan yang cocok digunakan untuk mengolah air boezem adalah
dengan pengolahan biologis (untuk mengolah kandungan bahan organik biodegradable)
yang dikombinasikan dengan pengolahan secara fisik. Sedangkan pengolahan secara
kimia kurang cocok digunakan untuk mengolah air boezem karena salah satu kerugian
signifikan dari pengolahan secara kimia adalah sludge yang dihasilkan besar (Metcalf
and Eddy,2003). Hal ini dapat mempercepat terjadinya pendangkalan pada boezem.
Kerugian lainnya adalah diperlukannya penanganan lebih lanjut terhadap sludge yang
dihasilkan dari pengolahan secara kimia.
Tabel 4. Perbandingan Laju Kenaikan Kadar Dissolved Oxygen (DO) pada Berbagai
Kondisi
Aerasi.
K onsentrasi Jenis aerasi Laju kenaikan Laju penurunan
BOD5 DO (mg/L. menit) DO
( mg/L. menit)
Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa laju kenaikan DO yang paling besar
terjadi pada kondisi aerasi dengan agitasi 2, dimana kecepatan agitasinya adalah pada
skala 8 magnetic stirrer . Laju kenaikan DO tertinggi ini terjadi pada sampel air boezem
dengan konsentrasi BOD5 terendah yaitu 12 mg/L.
Sedangkan laju penurunan DO terendah yang terjadi setelah penghentian proses
aerasi, dialami oleh sampel yang sebelumnya diaerasi pada kondisi aerasi dengan
agitasi 1 (yaitu pada kecepatan agitasi skala 6 magnetic stirrer ). Laju penurunan DO
terendah ini juga terjadi pada kondisi sampel dengan konsentrasi BOD5 terendah yaitu
sebesar 12 mg/L.
Dari analisis ini diambil kesimpulan bahwa kondisi optimum aerasi terjadi pada
agitasi 1 dimana kecepatan agitasi berada pada skala 6 magnetic stirrer, dan pada
konsentrasi BOD5 sampel sebesar 12 mg/L yang merupakan konsentrasi terendah dari
sampel yang diuji. Hasil tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi BOD5 berbanding
terbalik dengan laju kenaikan DO, dan berbanding lurus dengan laju penurunannya.
Penelitian Utama
Penelitian untuk menentukan koefisien biodegradasi air limbah domestik influen
Boezem Morokrembangan ini dilakukan di bawah kondisi optimum aerasi yang telah
ditentukan pada penelitian pendahuluan, yaitu dengan agitasi sampel pada skala 6
magnetic stirrer dan konsentrasi BOD5 sebesar 12 mg/L, namun sebagai bahan
perbandingan maka penentuan koefisien biodegradasi juga dilakukan pada air boezem
dengan konsentrasi bahan organik yang lebih tinggi. Pada penelitian ini digunakan tiga
buah reaktor, dimana reaktor pertama dan kedua berisi sampel air limbah asli tanpa
penambahan glukosa (dengan konsentrasi PVs awal yang berbeda) dan reactor ketiga
berisi sampel air limbah asli dengan penambahan glukosa. Penambahan glukosa
dilakukan untuk menaikkan konsentrasi bahan organik sampel air. Dalam penentuan
koefisien biodegradasi dilakukan proses aerasi terhadap sampel air secara kontinyu
selama 24 jam, dengan pengambilan sampel pada reaktor setiap interval waktu 3 jam
untuk dianalisa parameter PVs (sebagai subtrat) dan MLSS (sebagai biomassa). Hasil
analisisnya dapat dilihat pada Tabel 5, Tabel 6 dan Tabel 7 .Tabel 5. Hasil analisis PVs
dan MLSS pada sampel air di reaktor pertama (tanpa penambahan
glukosa) dengan proses agitasi selama 24 jam
t ( jam ke-) PV s (sbg ln St MLSS X rerata Xrerata.t
S) (sbgX)
dalam dalam
mg/L mg/L
0 23.384 3.152052028 4 4 0
3 18.012 2.891038202 11 7 22.5
6 11.692 2.458904847 12 8 48
9 9.164 2.215282765 10 7 63
18 8.532 2.143823801 8 6 72
24 6.952 1.939029388 2 3 72
Dari hasil analisis seperti terlihat pada Tabel 5 di atas diketahui bahwa dengan
proses agitasi selama 24 jam konsentrasi PVs mengalami penurunan dari 23,384 mg/L
hingga mencapai 6,952 mg/L atau turun sekitar 70% dari konsentrasi PVs awal.
Sedangkan kadar MLSS mengalami kenaikan pada awal proses agitasi, namun
kemudian menurun sampai konsentrasinya lebih kecil dari konsentrasi awalnya.
Dari grafik pada gambar diatas dapat dihitung besarnya nilai koefisien
biodegradasi (k) yang merupakan slope dari grafik tersebut. Perhitungannya adalah
sebagai berikut :
Untuk x = 0 y y = (-0,015*0)+3,194 = 3,194
Untuk x = 60 y = (-0,015*60)+3,194 = 2,294
Nilai koefisien biodegradasi ini menunjukkan jumlah substrat yang dapat di
biodegradasi oleh biomassa per satuan waktu. Nilai koefisien biodegradasi sebesar
0,015/jam menunjukkan bahwa kemampuan biomassa alamiah yang terkandung dalam
sampel air Boezem Morokrembangan dalam mereduksi bahan organik biodegradable
pada boezem cukup kecil.
Tabel 6. Hasil analisis PV dan MLSS pada sampel air di reaktor kedua (tanpa
penambahan
glukosa) dengan proses agitasi selama 24 jam
Peraturan Pemerintah (PP) No.82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan K ualitas Air dan
Pengendalian Penemaran Air.