Anda di halaman 1dari 91

 

Pentingnya Suhu Dalam Menilai Pipa Besi Korosi


dalam Sistem Distribusi Air 
ABSTRAK 
Suhu diperkirakan akan memainkan peran penting dalam korosi pipa besi di sistem air 
minum distribusi. Suhu dampak banyak parameter yang penting untuk korosi pipa
termasuk sifat fisik dari solusi, termodinamika dan fisik sifat skala korosi, tingkat
kimia, dan aktivitas biologis. Selain itu, variasi dalam gradien suhu dan temperatur 
dapat menimbulkan fenomena korosi baru layak dipertimbangkan oleh personel
 pengolahan air.

PENDAHULUAN

AS utilitas air akan menghabiskan sekitar $ 325 miliar selama 20 tahun ke depan untuk 
meng-upgrade sistem distribusi air mereka, 1 dengan mayoritas biaya yang terkait
dengan perbaikan atau mengganti pipa besi berkarat. Kontaminasi air minum oleh
  partikel besi dilepaskan dari pipa terkorosi sering keluhan konsumen yang paling
dikutip di banyak utilitas. Korosi besi juga sebuah keprihatinan kesehatan tidak 
langsung manusia, karena tuberkel dalam pipa dapat memberikan situs untuk mikroba
tumbuh kembali dan korosi langsung mengkonsumsi desinfektan, sehingga menurunkan
residu.Akhirnya, dalam satu keadaan yang sangat tidak biasa, inisiasi klorinasi dari
distribusi air sistem menyebabkan pelepasan partikel besi dan tembaga yang terkandung
sangat tinggi(sampai 5 mg / L) tingkat arsenik, yang bisa menimbulkan risiko kesehatan
akut dengan population.2 Korosi pipa besi adalah proses rumit yang dipengaruhi oleh
 berbagai faktor termasuk kualitas air dan komposisi, kondisi aliran, aktivitas biologis,
dan inhibitor korosi (lihat referensi 3 untuk review dari faktor-faktor). Faktor-faktor 
tradisional dievaluasi ketika menilai korosi besi termasuk berbagai parameter kualitas
air (pH, alkalinitas, penyangga intensitas, oksigen terlarut, dll) dan korosi indeks
(Indeks Larson ,4-6 Langelier Indeks ,7-11 Ryznar Indeks, 12 Indeks Agresivitas, 13
Kelebihan Sesaat, 14 Mengemudi Indeks Angkatan, Kalsium Karbonat dan hujan
Potential.8-10) Korosi indeks telah terbukti sebagian besar efektif untuk banyak utilitas,
dan penggunaan indeks paling terkenal, Indeks Langelier, sekarang discouraged.3
Selain itu, kualitas air tidak selalu bisa menjelaskan variasi dalam perilaku korosi;
misalnya, sebuah studi baru menemukan bahwa perubahan dalam parameter kualitas air 
 

seperti pH dan alkalinitas tidak bisa sepenuhnya memperhitungkan perubahan yang


diamati pada korosi dari pipa besi di bawah stagnan conditions.16 Suhu, faktor yang
  berpotensi penting dalam korosi besi, jarang dibawa ke akun ketika besi korosi dinilai.
Ada dua kemungkinan yang harus dipertimbangkan ketika menyelidiki pengaruh suhu
 pada korosi besi. Yang pertama adalah bahwa korosi dapat secara signifikan berbeda
  pada satu suhu konstan dibandingkan dengan yang lain untuk kualitas air yang
diberikan. Sebagai contoh, sebuah pipa pada 20ºC(72ºF)lebih mungkin mengalami
masalah korosi dari pipa pada 5ºC (40ºF). Yang kedua kemungkinan adalah bahwa
variasi suhu dapat mempengaruhi korosi besi. Artinya, pipa di mana suhu bervariasi
antara dua temperatur (baik meningkat, menurun, atau siklik) atas waktu singkat bisa
menimbulkan korosi berbeda dari pipa tetap konstan pada suhu baik. Tinjauan literatur 
  berikut membahas masing-masing skenario secara rinci, dalam rangka untuk 
memperingatkan konsultan, manajer utilitas, dan personil peraturan untuk fenomena
yang mungkin ditemui dalampraktek.

BERBEDA KONSTAN SUHU

Pipa dalam sistem distribusi hampir selalu terkubur, dan suhu tanah di sekitarnya tetap
relatif konstan. Namun, suhu air dalam pipa dapat perubahan sepanjang tahun karena
variasi musiman dari sumber air. Jadi, pipa dapat menunjukkan perilaku korosi yang
  berbeda di musim dingin dibandingkan musim panas. Hanya beberapa studi telah
meneliti peran temperatur yang berbeda dalam distribusi sistem korosi. Dalam satu
studi, penurunan berat badan menurun untuk sampel besi diadakan di 13 º C
dibandingkan 20 º C.17 Penelitian lain menemukan konsentrasi besi rendah dan korosi
rates18 dan pelanggan yang lebih sedikit keluhan merah water19 selama musim dingin
dingin. Akhirnya, satu utilitas dilaporkan lebih merah air insiden selama musim panas
hangat (M. Pearthree, komunikasi pribadi). Demikian pula, beberapa penelitian telah
menemukan perbedaan dalam korosi lead20-23 dan copper20, 23-32 pada suhu konstan
yang berbeda. Setidaknya lima parameter utama yang mempengaruhi korosi dapat
  bervariasi dengan suhu: terlarut oksigen (DO) kelarutan, sifat larutan (misalnya
viskositas), besi laju oksidasi besi, sifat termodinamika skala besi, dan aktivitas biologis
(Gambar 3-1). DO Kelarutan Kelarutan oksigen menurun pada suhu yang lebih tinggi.
Pada tekanan 1 atmosfer (laut tingkat), DO jenuh adalah 8.26 mg / L pada 25 º C
dibandingkan 12,77 mg / L pada 5 º C. Perbedaan ini bisa saja tiga efek pada korosi
  besi. Pertama, oksigen adalah akseptor elektron kunci untuk korosi besi logam. Pada
 

suhu yang lebih tinggi, ada kurang oksigen sehingga tingkat dan laju korosi lebih
mungkin terbatas. Kedua, oksigen memainkan peran penting dalam oksidasi besi
senyawa. Akhirnya, deplesi oksigen memungkinkan reaksi Kuch terjadi, dimana ada
skala besi ferri bertindak sebagai akseptor elektron untuk oksidasi logam besi ferrous
metal.33 Fe (logam) + 2FeOOH (skala) + 2H +  3Fe +2 + 4OH-(3-1) mReaksi ini
eksotermis, 34 jadi mungkin melanjutkan lebih lambat pada suhu yang lebih tinggi.
Jadi, perubahan dalam DO kelarutan dapat mempengaruhi laju korosi, besi oleh-produk 
spesiasi dan konsentrasi, dan jenis skala terbentuk. Solusi Properti Viskositas air 
menurun pada suhu yang lebih tinggi dari sekitar 1,5 x 10-2 N  sec/m2 di 5 º C sampai
9 x 10-3 N  sec/m2 pada 25 º C. Hal ini akan memungkinkan transportasi peningkatan
reaktan (O2 terlarut atau lainnya elektron akseptor) dan produk (Fe 2 spesies) ke dan
dari permukaan logam karena difusi meningkat, sehingga meningkatkan laju korosi jika
  proses difusi terbatas. Juga, tingkat difusi Fe +2 ion melalui skala oksida besi
meningkat pada lebih tinggi temperatures.35, 36 Termodinamika Properti Suhu dapat
memiliki dampak yang besar terhadap berbagai sifat termodinamika dari suatu sistem,
termasuk koefisien aktivitas, kelarutan, dan entalpi reaksi, seperti yang dijelaskan oleh
didirikan persamaan (Lampiran A). Koefisien aktivitas sedikit meningkat pada suhu
lebih rendah (Tabel 3-1). Kelarutan fase padat dapat meningkatkan atau menurun
tergantung pada tanda entalpi reaksi (Hr o) (Tabel 3-2). Untuk padatan perwakilan
ditampilkan di sini, penurunan suhu dari 25 º C sampai 5 º C diharapkan untuk 
menghasilkan perubahan 0,07 1,06 login produk kelarutan. Jadi, perubahan dalam
koefisien aktivitas dan produk kelarutan dapat menyebabkan sangat berbeda konsentrasi
  besi larut pada berbagai suhu. Tergantung pada kondisi tertentu, ini juga dapat
menyebabkan pergeseran dominasi satu produk akhir yang solid yang lain. Jika ada
yang solid tidak bentuk, konsentrasi partikulat zat besi dapat berubah juga, karena
 perubahan dalam daya tahan, kepatuhan, atau sifat protektif dari skala baru. Ada banyak 
contoh dalam literatur yang menggambarkan peran suhu di identitas senyawa yang
terbentuk pada temperatur yang berbeda. Secara umum, daerah kekebalan terhadap
korosi (stabilitas dari logam itu sendiri) dan pasif (stabilitas skala) menurun sebagai
suhu dinaikkan 25-300 º C.37 Beberapa studi telah mengidentifikasi skala besi yang
  berbeda pada temperatur yang berbeda dalam kualitas air yang sama, 36, 38-43
meskipun rentang dipelajari (20 º C - 100 º C) jauh lebih besar daripada yang dialami di
suatu sistem distribusi. Karena eksperimental kondisi yang bervariasi secara luas, tidak 
mungkin untuk menarik kesimpulan tentang peran kualitatif oksida fase yang berbeda
 

  pada aspek korosi besi dalam sistem distribusi. Fe +2 Oksidasi. Pada pH tertentu,
tingkat oksidasi besi ferro (Fe +2) meningkat dengan urutan besarnya untuk setiap
kenaikan 15 º C temperature.44, 45 Perubahan dalam spesiasi besi dapat mendukung
 pembentukan senyawa yang berbeda pada temperatur yang berbeda. Efek pada korosi
akan tergantung pada sifat (kelarutan, daya tahan, kepatuhan, dll) dari skala baru yang
terbentuk. Aktivitas Biologi Dalam rentang suhu terbatas (5 - 25 ° C), aktivitas biologis
sering dapat dijelaskan oleh persamaan Arrhenius-jenis, dengan pertumbuhan
meningkat karena suhu rises.46 Mikroba dapat mengubah tingkat deplesi oksigen dan
kondisi redoks. Selain itu, oksidasi biologi dari besi besi meningkat pada tinggi
temperatures.47-50

VARIASI SUHU

Selain perbedaan suhu rata-rata dicatat sebelumnya, sistem distribusi mungkin


mengalami gradien temperatur selama periode yang relatif singkat, tergantung pada
sumber air. Misalnya, sungai mungkin memiliki variasi suhu besar karena diurnal
  perubahan intensitas matahari, atau reservoir dapat berbalik dari termal bertingkat
dengan baik-campuran. Dua studi menunjukkan bahwa suhu air dalam sistem distribusi
(makan oleh permukaan tunggal sumber air) bervariasi musiman dari 5 º C - 21 º C 51 º
C dan 6-28 º C dengan perubahan maksimum 1,3 º C per day.52 Juga, sebuah pabrik 
 pengolahan mungkin berbeda rasio pencampuran dingin dan hangat sumber (yaitu tanah
vs air permukaan), yang menyebabkan perubahan suhu dalam sistem distribusi. Salah
satu dari beberapa studi untuk secara eksplisit mempertimbangkan dampak dari variasi
temperatur terhadap pipa distribusi sistem adalah bahwa dari Smith et al53
menggunakan sistem skala pilot distribusi terdiri pipa besi cor tak bergaris. Karena
sebagian dari sistem ini berjalan di luar ruangan, pipa itu subjek dengan perubahan suhu
harian atmosfer, menyebabkan suhu air untuk siklus antara 20- 24 º C diurnally. Dalam
satu jam 70-tes stagnasi, kekeruhan (dipantau sebagai pengganti untuk besi konsentrasi)
menunjukkan peningkatan pada setiap langkah titik belok suhu rendah. Oksigen
menunjukkan adanya penurunan saturasi langkah serupa di infleksi suhu baik tinggi dan
rendah. Demikian pula, studi pilot plant menggunakan air danau sebagai sumber 
intermiten melihat "puncak" dalam logam konsentrasi, dikaitkan dengan pengelupasan
off dari skala ke water.54 Penelitian ini tidak membuat menyebutkan mengendalikan
atau bahkan mengukur suhu, sehingga ada kemungkinan bahwa kegagalan skala adalah
karena perubahan suhu dalam pasokan air baku. Akhirnya, satu penelitian menemukan
 

  peningkatan rilis dalam pipa tembaga yang tunduk pada gradien temperatur (pipa
hangat dalam rumah dingin selama musim dingin) .Apa yang mungkin menyebabkan
  perubahan-perubahan dalam korosi karena suhu bervariasi? Pertama, sebagai
temperatur bervariasi, padatan dapat berubah dari satu fase ke yang lain seperti yang
dibahas sebelumnya. Ini dapat mengakibatkan pembentukan skala heterogen, dengan
 beberapa senyawa besi diberikan pada permukaan. Bergantian, skala sudah dapat terdiri
dari beberapa senyawa lain karena faktor-faktor selain suhu. Either way, heterogenitas
ini membuat skala besi rentan terhadap dua perubahan fisik karena suhu bervariasi-yang
  berbeda kepadatan (volume) dan berbeda koefisien ekspansi termal (Gambar 3-2).
Skala Kepadatan Komponen skala yang berbeda memiliki kerapatan yang berbeda. Hal
ini dijelaskan oleh Pilling- Bedworth rasio (PBR), sebuah ekspresi perbandingan
volume (per unit besi) dari logam tertentu senyawa lain (Tabel 3-3). Setiap PBR  1
menunjukkan bahwa tegangan tekan atau tarik dapat diperkenalkan ke dalam skala,
tergantung pada geometri permukaan. Aspek ini penting terutama ketika jenis baru dari
  bentuk-bentuk skala karena suhu yang bervariasi, terutama jika padat baru bentuk 
lapisan yang ada di bawah skala (yaitu pada antarmuka logam skala) .56 Koefisien
Ekspansi Termal Sebuah komponen skala tertentu akan memiliki koefisien ekspansi
termal yang berbeda () dibandingkan dengan logam atau lapisan lain skala (Tabel 3-4).
Sebagai contoh, logam Fe akan memperluas dan kontrak hampir 50% lebih dari Fe3O4
skala dalam menanggapi perubahan suhu yang sama. Perbedaan-perbedaan ini
menyebabkan tekanan mekanis dalam skala sebagai perubahan suhu, dan dapat
akhirnya menyebabkan skala spalling atau crack formation.3, 57, 58 fenomena ini dapat
menjadi penting dalam kasus-kasus di mana bentuk padat tambahan, di mana skala
sudah heterogen, dan bahkan di mana hanya satu jenis skala terbentuk pada logam besi.
Akhirnya, penting untuk dicatat bahwa tegangan akibat kepadatan berbeda atau skala
koefisien ekspansi termal umumnya lebih besar untuk permukaan cekung atau
cembung, seperti pipa, dibandingkan dengan permukaan datar. Demikian juga,
menekankan tersebut menjadi lebih penting dengan penurunan diameter pipa. Selain
menyebabkan detasemen fragmen skala untuk air, tekanan ini dapat menyebabkan retak 
terbentuk dalam skala. Dalam beberapa kasus, retak mungkin mengekspos logam yang
tidak dilindungi permukaan larutan, secara drastis meningkatkan tingkat korosi. Ada
  beberapa preseden untuk ini ide dalam literatur. Satu studi dari besi dan baja korosi
dalam suasana lembab menemukan bahwa skala dengan banyak celah-celah itu kurang
 protektif dibandingkan dengan skala besi dengan beberapa cracks.39 Studi lain baja di
 

atmosphere40 lembab menemukan hasil yang sama, lebih jauh lagi, menggaruk 
 permukaan spesimen skala berat dengan jarum segera menyebabkan penurunan tajam
dalam korosi potensial (yang menunjukkan peningkatan dalam reaksi korosi). Dalam
 penelitian atmosfer, retak mungkin diharapkan menjadi sangat signifikan karena hidrasi
dan dehidrasi dengan perubahan kelembaban, namun sebuah studi dari besi cor stud
ditempatkan dalam pipa sistem distribusi juga ditemukan peningkatan konsentrasi besi
dalam air ketika muncul retakan yang mendalam dalam skala pada besi studs. ada
informasi mengenai peranan kualitas air (khususnya kehadiran inhibitor fosfat) dalam
kemungkinan "penyembuhan" celah tersebut setelah mereka terbentuk, atau mencegah
 pembentukan mereka di tempat pertama.

REKOMENDASI
Bagaimana informasi ini digunakan oleh personel air ketika menilai korosi besi?
Pertama, faktor-faktor berikut ini harus dievaluasi untuk melihat apakah sistem
distribusi dikenakan perubahan suhu:

1. Adalah air sumber air permukaan yang pengalaman sehari-hari atau musiman variasi
suhu?

2. Apakah sumber air reservoir atau danau yang stratifies dan ternyata lebih musiman?

3. Apakah sumber air dua atau lebih dari suhu yang berbeda (yaitu permukaan air dan
air tanah

a) kadang-kadang dicampur di pabrik pengolahan, atau apakah rasio pencampuran


 bervariasi?

4. Apakah sistem distribusi makan oleh dua atau lebih tanaman pengobatan dengan
 berbagai sumber air?

5. Apakah setiap bagian dari sistem distribusi yang dijalankan di atas tanah, atau kurang
tanah-cover dari bagian lainnya, dan apakah air stagnasi pengalaman panjang kali
dalam bagian ini? Jika waktu tinggal air di pabrik pengolahan dan / atau tangki
 penyimpanan tidak cukup lama, salah satu perubahan suhu dapat membawa ke sistem
distribusi. Langkah berikutnya adalah untuk mengevaluasi apakah variasi suhu
 berkorelasi dengan mengamati korosi fenomena seperti:

1. Merah air episode (keluhan konsumen meningkat)


 

2. Bagian dari sistem yang harus diganti karena skala yang berlebihan membangun-up
atau korosi kegagalan (perforasi pipa)

3. Peningkatan hilangnya sisa disinfektan Jika korelasi yang diamati, utilitas mungkin
ingin mencoba untuk meminimalkan perubahan suhu di Untuk mengatasi masalah
korosi.

KESIMPULAN

Suhu mempengaruhi banyak parameter, termasuk kelarutan oksigen terlarut solusi,


viskositas, difusi tingkat, koefisien aktivitas, entalpi reaksi, kelarutan senyawa, oksidasi
tarif, dan aktivitas biologis. Masing-masing faktor dapat mempengaruhi tingkat dari
  besi korosi, komposisi dan sifat skala dibangun di dalam pipa, dan aspek korosi oleh-
  produk rilis. Sementara peran suhu spekulatif pada saat ini, kecuali utilitas waspada
terhadap kemungkinan pentingnya dan setidaknya mempertimbangkan dampaknya,
 peningkatan pemahaman fenomena korosi mungkin terbatas.

UCAPAN TERIMA KASIH

Karya ini didukung oleh National Science Foundation (NSF) di bawah hibah BES
9796299. Pendapat, temuan, dan kesimpulan atau rekomendasi adalah dari penulis dan
tidak mencerminkan pandangan dari NSF. Penulis pertama ini didukung oleh Air 
Pekerjaan Asosiasi Amerika Wolman Fellowship dan Virginia Tech Via Yayasan.

DAFTAR PUSTAKA
1. American Water Works Association. WATER:\STATS 1996 Survey. (1996).
2. Reiber, S. & Dostal, G. Arsenic and Old Pipes--A Mysterious Liaison. Opflow.
(2000).
3. American Water Works Association Research Foundation & DVGW-
Technologiezentrum Wasser.   Internal Corrosion of Water Distribution Systems,
Second Edition. American Water Works Association, Denver, CO (1996).
4. Larson, T.E. & Skold, R.V. Corrosion and Tuberculation of Cast Iron.  Journal 
 AWWA, 49:10:1294 (1957). 
5. Larson, T.E. & Skold, R.V. Laboratory Studies Relating Mineral Quality of Water to
Corrosion of Steel and Cast Iron. Corrosion, 14:285 (1958).
 

6. Larson, T.E. Corrosion by Domestic Waters. Bulletin 59, State of Illinois Department
of 
Registration and Education, Illinois State Water Survey, Urbana, IL (1975).
7. Langelier, W.F. The Analytical Control of Anti-Corrosion Water Treatment. Journal 
 AWWA, 28:10:1500 (1936).
8. Merrill, D.T. & Sanks, R.L. Corrosion Control by Deposition of CaCO3 films: Part 1,
A
Practical Approach for Plant Operators.  Journal AWWA, 69:11:592 (1977).
9. Merrill, D.T. & Sanks, R.L. Corrosion Control by Deposition of CaCO3 films: Part 2,
A
Practical Approach for Plant Operators.  Journal AWWA, 69:12:634 (1977).
10. Merrill, D.T. & Sanks, R.L. Corrosion Control by Deposition of CaCO3 films: Part
3, A
Practical Approach for Plant Operators.  Journal AWWA, 70:1:12 (1978).
11. Merrill, D.T. & Sanks, R.L. Notes and Comments: More on Protection by CaCO3
Films.
 Journal AWWA, 71:4:227 (1979).
12. Ryznar, J.W. A New Index for Determining Amount of Calcium Carbonate Scale
Formed
 by a Water. Journal AWWA, 36:4:472 (1944).
13. Millette, J.R.; Hammonds, A.F.; Pansing, M.F.; Hansen, E.C. & Clark, P.J.
Aggressive
Water: Assessing the Extent of the Problem. Journal AWWA, 72:5:262 (1980).
14. Dye, J.F. Correlation of the Two Principal Methods of Calculating the Three Kinds
of 
Alkalinity. Journal AWWA, 50:6:801 (1958).
15. Rossum, J.R. & Merrill, D.T. An Evaluation of the Calcium Carbonate Saturation
Indexes.  Journal AWWA, 75:2:95 (1983).
16. McNeill, L.S. & Edwards, M. Phosphate Inhibitors and Red Water in Stagnant
Pipes. ASCE Journal of Environmental Engineering, in press (2000).  
17. Fiksdal, L. Water Quality and Internal Corrosion of Iron Pipes. Proc. Internal
Corrosion in Water Distribution Systems. Goteborg, Sweden, 111-115 (1995).
 

18. Volk, C.; Dundore, E.; Schiermann, J. & LeChevallier, M. Practical Evaluation of 
Iron Corrosion Control in a Drinking Water Distribution System. Water Res.,
34:6:1967 (2000).
19. Horsley, M.B.; Northrup, B.W.; O'Brien, W.J. & Harms, L.L. Minimizing Iron
Corrosion in Lime Softened Water. Proc. AWWA Water Quality Technology
Conference, Paper 5C-3. San Diego, CA (1998).
20. Karalekas Jr., P.C.; Ryan, C.R. & Taylor, F.B. Control of Lead, Copper, and Iron
Pipe Corrosion in Boston.  Journal AWWA, 75:2:92 (1983).
21. Colling, J.H.; Whincup, P.A.E. & Hayes, C.R. The Measurement of 
Plumbosolvency Propensity to Guide the Control of Lead in Tapwaters.  Journal of 
the Institute of Water and  Environment Management, 1:3:263 (1987).
22. Colling, J.H.; Croll, B.T.; Whincup, P.A.E. & Harward, C. Plumbosolvency Effects
and Control in Hard Waters.   Journal of the Institute of Water and Environment 
 Management, 6:6:259 (1992).

23. Johnson, B.; Yorton, R.; Tran, T. & Kim, J. Evaluation of Corrosion Control
Alternatives to Meet the Lead and Copper Rule for Eastern Massachusetts.  Journal 
 NEWWA, 107:3:24 (1993).
24. Obrecht, M.F. & Quill, L.L. How Temperature, Treatment, and Velocity of Potable
Water Affect Corrosion of Copper and Its Alloys in Heat Exchanger and Piping
Systems.  Heating, Piping, and Air Conditioning, 32:1:165 (1960).
25. Obrecht, M.F. & Quill, L.L. How Temperature, Treatment, and Velocity of Potable
Water Affect Corrosion of Copper and Its Alloys; Cupro-Nickel, Admiralty Tubes
Resist Corrosion Better.  Heating, Piping, and Air Conditioning, 32:9:125 (1960).
26. Obrecht, M.F. & Quill, L.L. How Temperature, Treatment, and Velocity of Potable
Water Affect Corrosion of Copper and Its Alloys; Different Softened Waters Have
Broad Corrosive Effects on Copper Tubing.  Heating, Piping, and Air Conditioning,
32:7:115 (1960).
27. Obrecht, M.F. & Quill, L.L. How Temperature, Treatment, and Velocity of Potable
Water Affect Corrosion of Copper and Its Alloys; Tests Show Effects of Water 
Quality at Various Temperatures, Velocities.   Heating, Piping, and Air 
Conditioning, 32:5:105 (1960).
 

28. Obrecht, M.F. & Quill, L.L. How Temperature, Treatment, and Velocity of Potable
Water Affect Corrosion of Copper and Its Alloys; What is Corrosion?  Heating,
 Piping, and Air  Conditioning, 32:3:109 (1960).
29. Obrecht, M.F. & Quill, L.L. How Temperature, Treatment, and Velocity of Potable
Water Affect Corrosion of Copper and Its Alloys; Monitoring System Reveals
Effects of Different Operating Conditions.  Heating, Piping, and Air Conditioning,
32:4:131 (1960).
30. Obrecht, M.F. & Quill, L.L. How Temperature, Treatment, and Velocity of Potable
Water Affect Corrosion of Copper and Its Alloys.   Heating, Piping, and Air 
Conditioning, 33:4:129 (1961).
31. Obrecht, M.F. & Pourbaix, M. Corrosion of Metals in Potable Water Systems.
 Journal AWWA, 59:8:977 (1967).  
32. Sprague, N. & Edwards, M. Role of Temperature, Chlorine, and Organic Matter in
Copper Corrosion By-Product Release to Soft Water. Water Research, in press
(1999).
33. Kuch, A. Investigations of the Reduction and Re-oxidation Kinetics of Iron(III)
Oxide Scales Formed in Waters. Corrosion Sci., 28:3:221 (1988).
34. Shams el Din, A.M. & Arain, R.A. Thermometric, Gravimetric, and Potentiometric
Study of Corrosion of Iron Under Conditions of Reaction Fe+2 + Fe+3 = 3Fe+2.
 British Corrosion  Journal, 33:3:189 (1998). 60
35. Davalos, J.; Gracia, M.; Marco, J.F. & Gancedo, J.R. Corrosion of Weathering Steel
and Iron Under Wet-Dry Cycling Conditions: Influence of the Rise of Temperature
During the Dry Period.  Hyperfine Interactions, 69:1-4:871 (1991).
36. Mabuchi, K.; Horii, Y.; Takahashi, H. & Nagayama, M. Effect of Temperature and
Dissolved Oxygen on the Corrosion Behavior of Carbon Steel in High-
Temperature Water. Corrosion, 47:7:500 (1991).
37. Beverskog, B. & Puigdomenech, I. Revised Pourbaix Diagrams for Iron at 25-300
C.
Corrosion Sci., 38:12:2121 (1996).
38. Hatch, G.B. Second Corrosion Study of Pipe Exposed to Domestic Waters.
 Materials
 Protection, 9:6:34 (1970).
 

39. Misawa, T.; Asami, K.; Hashimoto, K. & Shimodaira, S. The Mechanism of 
Atmospheric Rusting and The Protective Amorphous Rust on Low Alloy Steel.
Corrosion Sci., 14:279 (1974).
40. Schwitter, H. & Bohni, H. Influence of Accelerated Weathering on the Corrosion of 
Low- Alloy Steels.  Journal Electrochem. Soc., 127:1:15 (1980).
41. Valentini, C.R.; Moina, C.A.; Vilche, J.R. & Arvia, A.J. The Electrochemical
Behaviour of Iron in Stagnant and Stirred Potassium Carbonate-Bicarbonate
Solutions in the 0-75C Temperature Range. Corrosion Sci., 25:11:985 (1985).
42. Blengino, J.M.; Keddam, M.; Labbe, J.P. & Robbiola, L. Physico-chemical
Characterization of Corrosion Layers Formed on Iron in a Sodium Carbonate-
Bicarbonate Containing Environment. Corrosion Sci., 37:4:621 (1995).
43. Simpson, L.J. & Melendres, C.A. Surface-Enhanced Raman Spectroelectrochemical
Studies of Corrosion Films on Iron in Aqueous Carbonate Solution.  Journal 
 Electrochem. Soc., 143:7:2146 (1996).
44. Stumm, W. & Morgan, J.J.  Aquatic Chemistry: Chemical Equilibria and Rates in
  Natural Waters. Third Edition. John Wiley & Sons, Inc, New York, NY (1996).  
45. Millero, F.J. Effect of Ionic Interactions on the Oxidation of Fe(II) and Cu(I) in
 Natural Waters.  Marine Chemistry, 28:1 (1989).
46. Grady Jr., C.P.L. & Lim, H.C.  Biological Wastewater Treatment. Marcel Dekker,
Inc., NY, NY 1980).
47. Denisov, G.V.; Kovrov, B.G. & Kovaleva, T.F. Effect of the pH and Temperature
of the Medium on the Rate of Oxidation of Fe2+ to Fe3+ by a Culture of 
Thiobacillus ferrooxidans and the Coefficient of Efficiency of Biosynthesis
(Translated from Russian).  Mikrobiologiya (Microbiology), 50:5:696 (1981).
48. Kovalenko, T.V.; Karavaiko, G.I. & Piskunov, V.P. Effect of Fe3+ Ions in the
Oxidation of Ferrous Iron by Thiobacillus ferrooxidans at Various Temperatures
(translated from Russian).   Mikrobiologiya (Microbiology), 51:1:142 (1982).
49. Nemati, M. & Webb, C. A Kinetic Model for Biological Oxidation of Ferrous Iron
 by
Thiobacillus ferrooxidans. Biotechnology and Bioengineering, 53:5:478 (1997).
50. Okereke, A. & Stevens Jr., S.E. Kinetics of Iron Oxidation by Thiobacillus
ferrooxidans.  Applied and Environmental Microbiology, 57:4:1052 (1991).
 

51. Holden, B.; Greetham, M.; Croll, B.T. & Scutt, J. The Effect of Changing Inter 
Process and Final Disinfection Reagents on Corrosion and Biofilm Growth in
Distribution Pipes. Water  Science Technology, 32:8:213 (1995).
52. Habibian, A. Effect of Temperature Changes on Water-Main Breaks.  Journal of 
Transportation Engineering, 120:2:312 (1994).
53. Smith, S.E.; Ta, T.; Holt, D.M.; Delanoue, A. & Colbourne, J.S. Minimising Red
Water in Drinking Water Distribution Systems. Proc. AWWA Water Quality
Technology Conference, Paper 5C-5. San Diego, CA (1998).
54. MacQuarrie, D.M.; Mavinic, D.S. & Neden, D.G. Greater Vancouver Water District
Drinking Water Corrosion Inhibitor Testing. Canadian Journal of Civil 
 Engineering, 24:1:34 (1997).
55. Rezania, L.-i.W. & Anderl, W.H. Copper Corrosion and Iron Removal Plants, The
Minnesota Experience. Proc. AWWA Water Quality Technology Conference.
 New Orleans, LA, 1033-1054 (1995).
56. Baylis, J.R. Prevention of Corrosion and "Red Water".   Journal AWWA, 15:598
(1926).
57. Schutze, M.  Protective Oxide Scales and Their Breakdown. John Wiley and Sons,
West Sussex, England (1997).
58. Tylecote, R.F. Factors Influencing the Adherence of Oxides on Metals.   Journal of 
the Iron and Steel Institute, 196:10:135 (1960).  
59. Latimer, W.M. Oxidation Potentials. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, N.J.
(2nd, 1952).
60. Pankow, J.F.  Aquatic Chemistry Concepts. Lewis Publishers, Chelsea, MI (1991).
61. Singer, P.C. & Stumm, W. The Solubility of Ferrous Iron in Carbonate-Bearing
Waters. Journal AWWA, 62:3:198 (1970).
 

Bergulir  revisi Pedoman WHO untuk   kualitas air minum 

1. PENDAHULUAN

Komposisi air bervariasi secara luas dengan kondisi geologi setempat. Baik tanah
maupun air permukaan pernah kimia H2O murni, karena air mengandung sejumlah
kecil gas, mineral dan bahan organik dari alami asal. Konsentrasi total zat terlarut di air 
tawar dianggap berkualitas baik dapat ratusan mg / l. Berkat kemajuan dalam
epidemiologi dan mikrobiologi dan kimia sejak abad ke-19, berbagai agen penyakit
  penyebab ditularkan melalui air telah diidentifikasi. Pengetahuan bahwa air mungkin
mengandung beberapa unsur yang tidak diinginkan adalah titik tolak untuk menetapkan
  pedoman dan peraturan untuk kualitas air minum. Maksimum diterima konsentrasi
anorganik dan zat organik dan mikroorganisme telah ditetapkan secara internasional
dan di banyak negara untuk menjamin keamanan air minum. Kesadaran akan
  pentingnya mineral dan konstituen bermanfaat lainnya diair minum telah ada selama
ribuan tahun, yang disebutkan dalam Veda dari kuno dari India. Dalam buku Rig Veda,
sifat air minum yang baik adalah digambarkan sebagai berikut: "Sheetham (dingin
untuk menyentuh), Sushihi (bersih), Sivam (harus memiliki nilai nutrisi, mineral dan
elemen yang diperlukan), Istham (transparan), Vimalam lahu Shadgunam
(keseimbangan asam basa yang harus berada dalam batas yang normal) "(Sadgir dan
Vamanrao 2003). Air yang mungkin mengandung diinginkan zat telah kurang mendapat
  perhatian dalam pedoman dan peraturan, tetapi kesadaran yang meningkat dari nilai
  biologis air telah terjadi di masa lalu beberapa dekade. Diproduksi artifisial
terdemineralisasi perairan, air suling pertama dan kemudian juga deionisasi atau reverse
osmosis-diperlakukan air, telah digunakan terutama untuk industri, Top of Form teknis
dan tujuan laboratorium. Teknologi ini menjadi lebih luas diterapkan dalam pengolahan
air minum dalam air minum sebagai terbatas tahun 1960-an sumber-sumber di beberapa
daerah pesisir dan pedalaman kering tidak dapat memenuhi peningkatan air akibat
tuntutan peningkatan populasi, standar hidup yang lebih tinggi, pengembangan industri,
 

dan pariwisata massal. Penyediaan air minum juga dari perhatian laut-pergi kapal, dan
  pesawat ruang angkasa juga. Potensi efek air benar-benar unmineralized tidak 
umumnya dianggap, karena air ini tidak ditemukan di alam kecuali mungkin bagi air 
hujan dan es terbentuk secara alami. Meskipun air hujan dan es yang tidak digunakan
sebagai sumber air minum di komunitas negara-negara industri di mana peraturan air 
minum dikembangkan, mereka digunakan oleh individu di beberapa lokasi. Selain itu,
  perairan alami banyak perairan rendah dalam banyak mineral atau soft (ion divalen
rendah), dan keras sering artifisial melunak. Demineralisasi air yang diperlukan di mana
 primer atau hanya sumber air melimpah yang tersedia sangat mineralisasi air payau atau
laut air. Awalnya, metode pengolahan air ini tidak digunakan di tempat lain sejak 
mereka menuntut teknis dan mahal. Dalam bab ini, air demineral adalah didefinisikan
sebagai air hampir atau benar-benar bebas dari mineral terlarut sebagai akibat dari
distilasi, deionisasi, membran filtrasi (reverse osmosis atau nanofiltrasi), elektrodialisis
atau teknologi lainnya. Total padatan terlarut ini (TDS) dalam air tersebut dapat
  bervariasi tetapi TDS bisa serendah 1 mg / l. Para listrik konduktivitas umumnya
kurang dari 2 mS / m dan bahkan mungkin lebih rendah (<0,1 mS / m). Meskipun
teknologi berawal pada 1960-an, demineralisasi tidak banyak digunakan pada waktu itu.
  Namun, beberapa negara difokuskan pada masyarakat kesehatan penelitian di bidang
ini, terutama bekas Uni Soviet di mana desalinasi adalah diperkenalkan untuk 
menghasilkan air minum di beberapa kota Asia Tengah. Jelas dari awal yang
desalinated atau demineralised air tanpa lanjut pengayaan dengan beberapa mineral
mungkin tidak sepenuhnya sesuai untuk konsumsi. Ada tiga alasan jelas untuk hal ini:

 air Demineralised sangat agresif dan jika tidak diobati, distribusi melalui pipa dan
tangki penyimpanan tidak akan mungkin. Yang agresif air menyerang pipa distribusi air 
dan logam larut dan lainnya bahan dari pipa pipa dan bahan-bahan yang terkait.
 Air suling memiliki karakteristik rasa miskin.
 Bukti awal yang tersedia bahwa beberapa zat hadir dalam air bisa memiliki efek 
menguntungkan pada kesehatan manusia serta efek samping. Sebagai contoh,
 pengalaman dengan air artifisial fluoride menunjukkan penurunan kejadian karies gigi,
dan beberapa studi epidemiologi di tahun 1960 melaporkan morbiditas dan mortalitas
yang lebih rendah dari beberapa penyakit kardiovaskular di daerah dengan air keras.
Oleh karena itu, peneliti berfokus pada dua isu:
1) apa yang mungkin efek kesehatan yang merugikan dari air demineralised, dan
 

2) apa yang minimum dan yang diinginkan atau optimum isi dari zat yang relevan
(misalnya, mineral) dalam air minum yang dibutuhkan untuk memenuhi pertimbangan
  baik teknis dan kesehatan. Para Pendekatan tradisional peraturan, yang sebelumnya
 berdasarkan membatasi risiko kesehatan dari konsentrasi berlebihan zat beracun dalam
air, sekarang memperhitungkan efek samping yang mungkin karena kekurangan
tertentu konstituen. Pada salah satu rapat kerja untuk penyusunan pedoman untuk 
minum kualitas air, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dianggap sebagai isu
diinginkan atau komposisi mineral optimum desalinated air minum oleh berfokus pada
efek kesehatan yang mungkin merugikan dari menghapus beberapa zat yang secara
alami ada dalam air minum (WHO 1979). Pada tahun 1970-an, WHO juga menugaskan
sebuah studi untuk memberikan informasi latar belakang untuk mengeluarkan pedoman
untuk air desalinated. Penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti dari A.N. Sysin
Institut Umum dan Kebersihan Umum dan Uni Soviet Academy of Medical Sciences di
  bawah arahan Profesor Sidorenko dan Dr Rakhmanin. Laporan akhir, diterbitkan
sebagai kerja internal dokumen (WHO 1980), menyimpulkan bahwa "tidak hanya
sepenuhnya air demineralised (distilat) telah properities organoleptik tidak memuaskan,
namun juga memiliki pengaruh buruk yang pasti tentang hewan dan organisme
manusia. " Setelah mengevaluasi kesehatan yang tersedia, organoleptik, dan informasi
lainnya, Tim merekomendasikan bahwa air demineralised mengandung 1) tingkat
minimum untuk. garam terlarut (100 mg / l), ion bikarbonat (30 mg / l), dan kalsium (30
mg / l),;
2.) Tingkat optimal untuk garam terlarut total (250-500 mg / l untuk klorida-sulfat air 
dan 250-500 mg / l untuk air bikarbonat);. 3) tingkat maksimum untuk alkalinitas (6,5
meq / l), natrium (200 mg / l), boron (0,5 mg / l), dan brom (0,01mg / l). Rekomendasi
ini dibahas secara lebih rinci dalam bab ini. Selama tiga dekade terakhir, desalinasi
telah menjadi secara luas dipraktekkan teknik dalam menyediakan pasokan air baru
segar. Ada lebih dari 11 ribu tanaman desalinasi di seluruh dunia dengan produksi
keseluruhan lebih dari 6 miliar galon air desalinated per hari. Di beberapa daerah seperti
seperti Timur Tengah dan Asia Barat lebih dari setengah dari air minum diproduksi
dengan cara ini. Desalinated perairan umumnya lebih diperlakukan oleh menambahkan
  bahan kimia konstituen seperti kalsium karbonat atau kapur, atau dicampur dengan
volume lebih kecil yang kaya mineral air untuk meningkatkan selera mereka dan
mengurangi agresivitas mereka ke jaringan distribusi serta pipa bahan. Namun, perairan
desalinated dapat sangat bervariasi dalam komposisi karena berbagai fasilitas yang ada
 

dikembangkan berdasarkan kasus-per kasus tanpa kepatuhan dengan pedoman seragam


(terlepas dari WHO Pedoman Kualitas Air Minum) untuk kualitas produk akhir dalam
hal TDS minimal konten. Potensi efek kesehatan yang merugikan dari konsumsi jangka
 panjang dari air demineralised adalah kepentingan tidak hanya di negara-negara kurang
segar yang memadai air tetapi juga di negara-negara di mana beberapa jenis sistem
 pengolahan air rumah secara luas digunakan atau di mana beberapa jenis air kemasan
yang dikonsumsi. Banyak merek air kemasan yang diproduksi oleh air tawar 
demineralising dan kemudian menambahkan mineral untuk rasa yang diinginkan.
Orang-orang tertentu jenis mengkonsumsi air mungkin tidak menerima mineral
tambahan yang akan hadir di lebih sangat termineralisasi perairan. Akibatnya, eksposur 
dan resiko harus dipertimbangkan pada tingkat individu atau keluarga serta di tingkat
masyarakat. 
2. RISIKO KESEHATAN DARI KONSUMSI DARI DEMINERALISED ATAU
RENDAH MINERAL AIR 

Pengetahuan tentang beberapa efek dari konsumsi air demineralised didasarkan pada
data eksperimental dan observasional. Percobaan telah dilakukan di laboratorium hewan
dan sukarelawan manusia, dan data pengamatan telah diperoleh dari populasi yang
disertakan dengan air desalinated, individu minum reverse osmosis diperlakukan air 
demineralised, dan bayi diberikan minuman disiapkan dengan air suling. Karena
informasi yang tersedia terbatas dari studi ini, kita juga harus mempertimbangkan hasil
studi epidemiologi di mana efek kesehatan bagi penduduk dibandingkan menggunakan
mineral rendah (lunak) air dan lebih kaya mineral air. Demineralised air yang belum
remineralised dianggap sebagai kasus ekstrim air rendah mineral atau soft karena hanya
 berisi sejumlah kecil mineral seperti kalsium terlarut dan magnesium yang merupakan
kontributor utama kekerasan. Konsekuensi kesehatan yang mungkin dari kandungan
mineral konsumsi air yang rendah dibahas dalam kategori berikut:

 Langsung efek pada selaput lendir usus, metabolisme dan mineral homeostasis atau
fungsi tubuh lainnya.

Praktis nol kalsium dan asupan magnesium.

Rendahnya asupan unsur-unsur penting lainnya dan microelements.


 

Hilangnya kalsium, magnesium dan unsur-unsur penting lainnya dalam makanan


disiapkan.

Kemungkinan peningkatan asupan makanan logam beracun kehabisan dari pipa air.

 Kemungkinan pertumbuhan kembali bakteri.

2,1 langsung efek dari kandungan mineral air rendah pada usus selaput lendir,
metabolisme dan mineral homeostasis atau fungsi tubuh lainnya Distilasi mineral dan
rendah kadar air (TDS <50 mg / l) dapat memiliki rasa negatif karakteristik yang
konsumen dapat beradaptasi dengan waktu. Air ini juga dilaporkan kurang kehausan
quenching (WHO 1980). Meskipun tidak dianggap efek kesehatan, mereka harus
diperhitungkan ketika mempertimbangkan kesesuaian air kandungan mineral rendah
untuk konsumsi manusia. Miskin organoleptik dan haus karakteristik dapat
mempengaruhi jumlah air yang dikonsumsi atau orang lain menyebabkan untuk 
mencari, air mungkin kurang memuaskan sumber. Sebuah studi oleh Williams (1963)
melaporkan bahwa air suling diperkenalkan ke dalam usus menyebabkan perubahan
abnormal pada sel-sel epitel tikus, mungkin karena osmotik shock. Namun, kesimpulan
yang sama tidak terjangkau oleh Schumann et al. Dalam studi yang lebih baru yang
didasarkan pada 14-hari percobaan pada tikus (1993). Histologi tidak mengungkapkan
tanda-tanda erosi, ulserasi atau peradangan pada kerongkongan, lambung dan jejunum.
Sekretorik diubah fungsi dalam hewan (yaitu, peningkatan sekresi dan keasaman jus
lambung) dan nada otot perut diubah dilaporkan dalam studi bagi WHO (1980),
 bagaimanapun, saat ini tersedia berdasarkan data, efek negatif langsung dari kandungan
mineral air rendah pada pencernaan selaput lendir belum jelas ditunjukkan. Ini telah
cukup menunjukkan bahwa mengkonsumsi air mineral yang rendah konten memiliki
efek negatif pada mekanisme homeostasis, mengorbankan mineral dan air metabolisme
di dalam tubuh. Peningkatan output urin (yaitu, peningkatan diuresis) dikaitkan dengan
 peningkatan ekskresi utama intra dan ion ekstraseluler dari cairan tubuh, keseimbangan
negatif mereka, dan perubahan badan air tingkat dan aktivitas fungsional dari beberapa
air tubuh managementdependent hormon. Percobaan pada hewan, terutama tikus,
sampai satu tahun periode telah berulang kali menunjukkan bahwa asupan air suling
atau air dengan TDS  75 mg / l mengarah ke:

1) asupan air meningkat, diuresis, volume cairan ekstraseluler, dan konsentrasi serum
sodium (Na) dan klorida (Cl) ion dan meningkatkan mereka eliminasi dari tubuh,
 

sehingga keseimbangan negatif secara keseluruhan jika tidak memadai kompensasi dari
makanan, dan 2) lebih rendah volume sel darah merah dan beberapa lain perubahan
hematokrit (WHO 1980). Meskipun baru-baru ini studi (Rakhmaninet al. 1989) tidak 
menemukan efek mutagenik atau gonadotoxic air suling, mereka tidak menambahkan
  pengetahuan baru tentang penurunan sekresi tri-iodothyronine dan aldosteron,
  peningkatan sekresi kortisol, perubahan morfologi pada ginjal termasuk atrofi lebih
menonjol dari glomeruli, dan bengkak endotelium vaskular membatasi aliran darah.
Osifikasi tulang berkurang adalah juga ditemukan pada janin tikus yang diberi air 
 bendungan suling dalam satu tahun- studi. Rupanya berkurang asupan mineral dari air 
tidak dikompensasi oleh diet mereka. Hasil percobaan pada sukarelawan manusia
dievaluasi oleh peneliti untuk Laporan WHO (1980) berada dalam perjanjian dengan
yang dilaporkan dalam percobaan hewan. Air mineral rendah jelas:

1) peningkatan diuresis (hampir sebesar 20%, pada rata-rata), tubuh volume air, dan
konsentrasi natrium serum,

2) penurunan konsentrasi serum potasium, dan

3) meningkatkan penghapusan natrium, kalium, klorida, kalsium dan magnesium ion


dari tubuh. Dasar mekanisme efek air rendah di TDS (misalnya <100 mg / l) di atas air 
dan homeostasis mineral disarankan sebagai berikut (WHO 1980). Rendah air mineral
 bertindak atas osmoreseptor dari saluran pencernaan, yang menyebabkan peningkatan
aliran ion natrium ke dalam lumen usus dan sedikit penurunan tekanan osmotik dalam
sistem portal vena dengan rilis berikutnya dari natrium ditingkatkan ke darah sebagai
respon adaptasi. Perubahan osmotik dalam plasma darah hasil dalam redistribusi cairan
tubuh, yaitu, ada peningkatan dalam total cairan ekstraseluler volume dan transfer air 
dari eritrosit dan interstisial cairan ke dalam plasma dan cairan intraseluler dan antara
interstisial. Dalam menanggapi volume plasma berubah, baroreseptor dan reseptor 
volume yang dalam aliran darah diaktifkan, mendorong penurunan dalam rilis
aldosteron dan sehingga peningkatan eliminasi natrium. Reaktivitas dari reseptor 
volume di kapal dapat mengakibatkan penurunan ADH rilis dan diuresis ditingkatkan.
Masyarakat Jerman untuk Gizi mencapai kesimpulan yang sama, peringatan publik 
terhadap minum air suling (DgfE 1993). Peringatan ini diterbitkan dalam menanggapi
edisi Jerman Kebenaran Mengejutkan Tentang Air (Bragg dan Bragg 1993), yang
  penulis merekomendasikan minum air suling, bukan air "biasa" minum. Masyarakat di
 

kertas posisi nya menjelaskan bahwa air dalam tubuh manusia selalu mengandung
elektrolit (misalnya kalium dan natrium) pada konsentrasi tertentu dikontrol oleh tubuh.
Air resorpsi oleh epitel usus juga diaktifkan oleh transportasi natrium. Jika air suling
yang tertelan, usus harus menambahkan elektrolit ke air pertama, membawa mereka
dari cadangan tubuh. Karena tubuh tidak pernah menghilangkan cairan dalam bentuk 
"murni" air tetapi selalu bersama-sama dengan garam, asupan elektrolit harus
dipastikan. Konsumsi air suling menyebabkan pengenceran elektrolit dilarutkan dalam
air tubuh. Badan yang tidak memadai air redistribusi antara kompartemen dapat
mengganggu fungsi organ vital. Gejala pada sangat awal kondisi ini meliputi kelelahan,
kelemahan dan sakit kepala; gejala yang lebih parah adalah kram otot dan detak jantung
terganggu. Bukti tambahan berasal dari percobaan hewan dan klinis pengamatan di
 beberapa negara. Hewan yang diberikan seng atau magnesium dalam dosis 8 air minum
mereka memiliki konsentrasi signifikan lebih tinggi dari unsur-unsur di serum dari
hewan diberi elemen yang sama dalam jumlah yang jauh lebih tinggi dengan makanan
dan dilengkapi dengan rendah air mineral untuk minum. Berdasarkan hasil percobaan
dan pengamatan klinis dari kekurangan mineral pada pasien yang penyerapan usus tidak 
  perlu diperhitungkan dan yang menerima gizi seimbang intravena diencerkan dengan
air suling, Robbins dan Sly (1981) menduga bahwa asupan rendah air mineral
 bertanggung jawab untuk peningkatan penghapusan mineral dari tubuh.

Reguler asupan rendah isi air mineral dapat dikaitkan dengan evolusi
 progresif dari perubahan yang dibahas di atas, mungkin tanpa manifestasi gejala atau
gejala kausal selama bertahun-tahun. Namun demikian, kerusakan akut yang parah,
seperti kejutan hyponatremic atau mengigau, dapat terjadi berikut upaya fisik yang
intens dan menelan beberapa liter rendah-mineral air (Basnyat et al. 2000). Yang
disebut "intoksikasi air" (hyponatremic syok) juga dapat terjadi dengan konsumsi yang
cepat dalam jumlah yang berlebihan tidak hanya dari air mineral rendah tapi juga air 
keran. Para "keracunan" risiko meningkat seiring dengan penurunan tingkat TDS.
Dalam, masalah kesehatan masa lalu akut dilaporkan dalam gunung pendaki yang telah
menyiapkan minuman mereka dengan salju yang meleleh tidak dilengkapi dengan ion
yang diperlukan. Sebuah kursus yang lebih parah dari kondisi seperti ditambah dengan
otak edema, kejang dan asidosis metabolik dilaporkan di minuman bayi yang telah
disiapkan dengan botol suling atau rendah-mineral air (CDC 1994).
 

2,2 Praktis nol asupan kalsium dan magnesium dari lowmineral air Kalsium dan
magnesium kedua elemen penting. Kalsium adalah substansial komponen tulang dan
gigi. Selain itu, memainkan peran dalam neuromuskuler rangsangan (yaitu,
mengurangi, fungsi yang tepat dari miokard melakukan sistem, jantung dan
kontraktilitas otot, transmisi informasi intraseluler dan coagulability darah. Magnesium
memainkan peranan penting sebagai kofaktor suatu dan aktivator lebih dari 300 reaksi
enzimatik termasuk glikolisis, ATP metabolisme, transportasi elemen seperti natrium,
kalium, dan kalsium melalui membran, sintesis protein dan asam nukleat,
neuromuskular rangsangan dan kontraksi otot. Meskipun air minum bukan merupakan
sumber utama kalsium dan asupan magnesium, pentingnya kesehatan asupan tambahan
ini elemen dari air minum mungkin lebih besar daripada kontribusi gizi dinyatakan
sebagai proporsi dari total asupan harian unsur-unsur. Bahkan di negara industri, diet
tidak kekurangan dalam hal kuantitas kalsium 9 dan magnesium, mungkin tidak dapat
sepenuhnya mengkompensasi adanya kalsium dan, khususnya, magnesium, dalam air 
minum. Sejak awal 1960-an, studi epidemiologi di banyak negara di seluruh dunia telah
melaporkan bahwa air lunak (yaitu, air rendah kalsium dan magnesium) dan air yang
rendah magnesium dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas akibat
  penyakit kardiovaskular (CVD) dibandingkan dengan air keras dan air magnesium
tinggi. Gambaran bukti epidemiologi disediakan oleh Tinjauan artikel terakhir (Sauvant
dan Pepin 2002;. Donato et al 2003; Monarca et al. 2003; Nardi dkk. 2003) dan
diringkas dalam bab-bab lain dari ini monografi (Calderon dan Craun, Monarca et al.).
Penelitian terbaru juga menunjukkan bahwa asupan air lunak, yakni air rendah kalsium,
dapat berhubungan dengan lebih tinggi risiko fraktur pada anak-anak (Verd Vallespir et
al. 1992), tertentu penyakit neurodegeneratif (Jacqmin et al. 1994), pra-jangka lahir dan
  berat badan rendah pada saat kelahiran (Yang et al, 2002.) dan beberapa jenis kanker 
(Yang et al, 1997;. Yang et al. 1998). Selain peningkatan risiko kematian mendadak 
(Eisenberg 1992; Bernardi et al. 1995; Garzon dan Eisenberg 1998), asupan air rendah
di magnesium tampaknya dikaitkan dengan risiko lebih tinggi penyakit saraf motorik 
(Iwami et al, 1994.), Gangguan kehamilan (disebut preeklamsia) (Melles & Ciuman
1992), dan beberapa jenis kanker (Yang et al 1999a;.. Yang et al 1999b; Yang et al.
1999c; Yang et al. 2000). Pengetahuan khusus tentang perubahan dalam metabolisme
kalsium dalam suatu populasi disertakan dengan air desalinated (yaitu, air suling
disaring melalui batu kapur) TDS rendah dan kalsium, diperoleh dari studi yang
dilakukan di Uni Soviet kota Shevchenko. Penduduk setempat menunjukkan aktivitas
 

  penurunan alkali fosfatase, konsentrasi plasma berkurang kalsium dan fosfor dan
ditingkatkan dekalsifikasi jaringan tulang. Perubahan yang paling ditandai di
  perempuan, terutama perempuan hamil dan bergantung pada durasi tinggal di
Shevchenko. (WHO 1980; Pribytkov 1972; Rakhmanin et al. 1973). Pentingnya
kalsium air juga dikonfirmasi dalam studi satu tahun tikus pada diet sepenuhnya
memadai dalam hal nutrisi dan garam dan diberi desalinated air dengan ditambahkan
 padatan terlarut 400 mg / l dan baik 5 mg / l, 25 mg / l, atau 50 mg / l kalsium (WHO
1980;. Rakhmanin et al 1976). Hewan-hewan diberi air dosis dengan 5 mg / l dari
kalsium dipamerkan pengurangan thyroidal dan lainnya fungsi yang terkait
dibandingkan dengan hewan yang diberi dua dosis yang lebih tinggi kalsium.
Sementara efek bahan kimia yang paling sering ditemukan dalam air minum
menampakkan diri setelah paparan panjang, efek kalsium dan, di tertentu, orang-orang
dari magnesium pada sistem kardiovaskular diyakini mencerminkan eksposur terakhir.
Hanya paparan beberapa bulan mungkin cukup Konsumsi time efek dari air yang
rendah magnesium dan / atau kalsium. (Rubenowitz et al. 2000). Ilustrasi seperti
eksposur jangka pendek kasus-kasus di populasi Ceko dan Slovakia yang mulai
menggunakan reverse osmosis berbasis sistem untuk pengolahan akhir air minum
PDAM di rumah mereka pada 2000-2002. Dalam beberapa minggu atau bulan berbagai
keluhan kesehatan sugestif akut magnesium (dan mungkin kalsium) dilaporkan
kekurangan (NIPH 2003). Diantara pengaduan gangguan kardiovaskular, kelelahan,
kelemahan atau kram otot. Ini adalah dasarnya gejala yang sama tercantum dalam
 peringatan Masyarakat Jerman untuk Gizi.

2.3 Rendah asupan beberapa elemen penting dan microelements rendah-air mineral
Meskipun air minum, dengan beberapa pengecualian langka, bukan sumber utama
unsur esensial bagi manusia, kontribusinya mungkin penting untuk beberapa alasan.
Diet modern banyak orang mungkin tidak menjadi sumber yang memadai mineral dan
microelements. Dalam kasus kekurangan dari batas yang diberikan elemen, bahkan
relatif rendah asupan elemen dengan air minum mungkin memainkan peran protektif 
yang relevan. Hal ini karena elemen biasanya hadir dalam air sebagai ion bebas dan
oleh karenanya, lebih mudah diserap dari air dibandingkan dengan makanan di mana
mereka kebanyakan terikat untuk zat lain. Studi hewan juga menggambarkan
  pentingnya microquantities dari beberapa elemen hadir dalam air. Misalnya,
 

Kondratyuk (1989) melaporkan bahwa variasi dalam asupan microelements dikaitkan


dengan sampai enam kali lipat perbedaan dalam konten mereka dalam jaringan otot.
Hasil ini ditemukan dalam 6 - bulan percobaan di mana tikus secara acak menjadi 4
kelompok dan diberikan: a) kran air,

 b) air mineral rendah,

c) rendah ditambah dengan air mineral iodida, kobalt, tembaga, mangan, molibdenum,
seng dan fluoride dalam air keran,

d) air mineral rendah dilengkapi dengan elemen yang sama tetapi pada sepuluh kali
konsentrasi yang lebih tinggi. Selain itu, efek negatif pada pembentukan darah Proses
yang ditemukan terkait dengan air demineralised non ditambah. Berarti  ulphate 

dalam konten dari sel darah merah sebanyak 19% lebih rendah pada hewan yang
menerima air demineralised non-dilengkapi dibandingkan dengan yang diberikan pada
hewan air keran. Perbedaan hemoglobin lebih besar bila dibandingkan dengan hewan
diberi air ditambah. Terakhir epidemiologi studi desain ekologis antara Rusia populasi
yang disertakan dengan air bervariasi dalam TDS menunjukkan bahwa mineral rendah
air minum dapat menjadi faktor risiko hipertensi dan penyakit jantung koroner, ulkus
lambung dan duodenum, gastritis kronis, gondok, komplikasi kehamilan dan beberapa
komplikasi pada bayi baru lahir dan bayi, termasuk sakit kuning, anemia, patah tulang
dan gangguan pertumbuhan (Mudryi 1999). Namun, tidak jelas apakah efek diamati
dalam studi ini karena kandungan kalsium yang rendah dan magnesium atau unsur-
unsur penting lainnya, atau karena faktor lain. Lutai (1992) melakukan studi kohort
 besar epidemiologi di Ust-Ilim wilayah Rusia. Penelitian difokuskan pada morbiditas
dan pembangunan fisik di 7658 orang dewasa, 562 anak-anak dan 1582 wanita hamil
dan bayi mereka dalam dua daerah disertakan dengan air yang berbeda di TDS. Salah
satu daerah itu dipasok dengan air yang lebih rendah dalam mineral (nilai mean: TDS
134 mg / l, kalsium 18,7 mg /l, magnesium 4,9 mg / l, bikarbonat 86,4 mg / l) dan yang
lainnya dipasok dengan air yang lebih tinggi dalam mineral (nilai mean: TDS 385 mg /
l, kalsium 29,5 mg / l, magnesium 8,3 mg / l, bikarbonat 243,7 mg / l). Air tingkat
ulphate , klorida, natrium, kalium, tembaga, seng, mangan dan molibdenum yang juga
ditentukan. Populasi dari dua daerah tidak berbeda dari satu sama lain dalam kebiasaan
makan, kualitas udara, kondisi sosial dan waktu tinggal di masing-masing daerah.
Penduduk daerah yang disertakan dengan air yang lebih rendah di mineral
 

menunjukkan tingkat insiden yang lebih tinggi gondok, hipertensi, jantung iskemik 
 penyakit, ulkus lambung dan duodenum, gastritis kronis, kolesistitis dan nefritis. Anak-
anak yang tinggal di daerah ini dipamerkan pembangunan fisik lebih lambat dan
kelainan pertumbuhan yang lebih, wanita hamil lebih sering menderita dari edema dan
anemia. Bayi yang baru lahir dari daerah ini menunjukkan morbiditas lebih tinggi.
Terendah morbiditas dikaitkan dengan kadar kalsium air memiliki dari 30-90 mg / l,
magnesium tingkat 17-35 mg / l, dan TDS sekitar 400 mg / l (untuk bikarbonat
mengandung air). Para penulis menyimpulkan bahwa air tersebut dapat dianggap
sebagai fisiologis optimal. Air mineral yang lebih tinggi juga relatif tinggi di
  bikarbonat, dan Lutai menyarankan bahwa isi diinginkan bikarbonat air minum harus
antara 250 dan 500 mg / l. Tinggi 2,4 hilangnya kalsium, magnesium dan lainnya
  penting unsur-unsur dalam makanan disiapkan dalam air mineral rendah Ketika
digunakan untuk memasak, air lunak ditemukan menyebabkan kerugian besar semua
elemen penting dari makanan (sayuran, daging, sereal). Kerugian tersebut dapat
mencapai hingga 60% untuk magnesium dan kalsium atau bahkan lebih untuk beberapa
lainnya microelements (misalnya, tembaga 66%, 70% mangan, kobalt 86%).
Sebaliknya, ketika air keras yang digunakan untuk memasak, hilangnya elemen ini jauh
lebih rendah, dan dalam beberapa kasus, kandungan kalsium lebih tinggi dilaporkan
dalam makanan sebagai hasil memasak (WHO 1978; Haring dan Van Delft 1981; Oh et
al, 1986.; Durlach 1988). Karena sebagian besar nutrisi tertelan dengan makanan,
  penggunaan air mineral rendah untuk pemasakan dan pengolahan makanan dapat
menyebabkan defisiensi ditandai total asupan beberapa elemen penting yang jauh lebih
tinggi dari yang diharapkan dengan menggunakan seperti air untuk minum saja. Diet
saat banyak orang biasanya tidak menyediakan semua elemen yang dibutuhkan dalam
  jumlah yang cukup, dan karena itu, faktor apapun yang mengakibatkan hilangnya
unsur-unsur esensial dan nutrisi selama pemrosesan dan persiapan makanan dapat
merugikan bagi mereka

2,5 Peningkatan risiko dari logam beracun Rendah-mineralisasi air tidak stabil dan
karena itu, sangat agresif untuk bahan yang datang ke dalam kontak. Air seperti lebih
mudah menyerap logam dan beberapa zat organik dari pipa, pelapis, tangki
  penyimpanan dan kontainer, dan alat kelengkapan selang garis, karena tidak mampu
membentuk rendah diserap kompleks dengan beberapa zat beracun dan sehingga
mengurangi efek negatif mereka. Di antara delapan wabah keracunan kimia dari air 
 

minum yang dilaporkan dalam Amerika Serikat pada 1993-1994, ada tiga kasus
keracunan timbal pada bayi yang memiliki darah-lead tingkat 15 mg / dl, 37 mg / dl,
dan 42 mg / dl. Tingkat kepedulian adalah 10 mg / dl. Untuk semua tiga kasus, timah
telah kehabisan dari fitting kuningan dan leadsoldered jahitan di tangki penyimpanan
air minum. Sistem air tiga digunakan minum air mineral yang rendah yang telah
mengintensifkan proses pencucian (Kramer et al. 1996). Pertama-menimba air sampel
di keran dapur telah mengakibatkan tingkat 495 untuk 1050 mg / l untuk dua bayi
dengan timbal dalam darah tertinggi; 66 ug / l ditemukan pada sampel air yang
dikumpulkan pada keran dapur bayi ketiga (Anon. 1994). Kalsium dan, pada tingkat
lebih rendah, magnesium dalam air dan makanan yang dikenal untuk memiliki aktivitas
  bersifat antitoksin. Mereka dapat membantu mencegah penyerapan beberapa beracun
elemen seperti timbal dan kadmium dari usus ke dalam darah, baik melalui Reaksi
langsung yang menyebabkan terbentuknya senyawa unabsorbable atau melalui
  persaingan untuk situs pengikatan (Thompson 1970; Levander 1977; Oehme 1979;
Hopps dan Feder 1986; Nadeenko et al. 1987; Durlach et al. 1989; Plitman et al. 1989).
Meskipun ini efek perlindungan terbatas, tidak boleh diberhentikan. Populasi disertakan
dengan air mineral rendah mungkin berada pada risiko yang lebih tinggi dalam hal efek 
samping dari paparan zat-zat beracun dibandingkan dengan populasi disertakan dengan
mineralisasi air rata-rata dan kekerasan.

2,6 Kemungkinan kontaminasi bakteri rendah air mineral Semua air rentan terhadap
kontaminasi bakteri baik pada sumber atau sebagai hasil dari mikroba pertumbuhan
kembali dalam sistem pipa. Pertumbuhan kembali bakteri di dalam pipa sistem
didorong oleh suhu awal yang lebih tinggi, suhu yang lebih tinggi dari air dalam sistem
distribusi karena beriklim panas, kurangnya sisa disinfektan dan ketersediaan nutrisi
yang lebih besar mungkin karena agresif sifat air untuk bahan dalam kontak dengan itu.
Dengan tidak adanya suatu disinfektan pertumbuhan kembali sisa mungkin juga terjadi
  pada air desalinated. Meskipun membran desalinasi utuh harus menghapus semua
  bakteri, hal itu mungkin tidak 100% efektif (mungkin karena kebocoran) seperti dapat
didokumentasikan oleh wabah tipus demam yang disebabkan oleh reverse osmosis-
diperlakukan air di Arab Saudi pada tahun 1992 (al- Qarawi et al. 1995). Resiko
kontaminasi bakteri dari air yang diolah dengan berbagai jenis perangkat perawatan di
rumah air dilaporkan oleh Geldreich et al. (1985) dan Pembayaran et al. (1989, 1991).
Ceko Institut Nasional Kesehatan Masyarakat (NIPH, 2003) di Praha telah menguji
 

keamanan produk yang ditujukan untuk kontak dengan air minum dan menemukan
  bahwa tank-tank tekanan dari unit reverse osmosis rentan terhadap pertumbuhan
kembali bakteri. Mereka berisi kantong karet yang permukaannya tampaknya
menguntungkan bagi bakteri pertumbuhan

3. Diinginkan MINERAL ISI


Demineral AIR MINUM Sifat korosif air demineralised dan potensi resiko kesehatan
yang berhubungan untuk distribusi dan konsumsi air TDS yang rendah telah
menyebabkan rekomendasi dari kandungan mineral minimum dan optimum dalam
minum air dan kemudian, di beberapa negara, pembentukan nilai-nilai wajib di
legislatif atau peraturan teknis masing-masing untuk kualitas air minum. Karakteristik 
organoleptik dan haus-quenching kapasitas juga dianggap dalam rekomendasi. Sebagai
contoh, studi relawan manusia (WHO 1980) menunjukkan bahwa suhu air 15-350 C
fisiologis puas terbaik kebutuhan. Air suhu di atas 350 atau di bawah 150 C
menghasilkan pengurangan di konsumsi air. Air dengan TDS dari 25-50 mg / l
digambarkan hambar (WHO 1980). 
3.1 Laporan WHO tahun 1980 Garam yang tercuci dari tubuh di bawah pengaruh air 
minum dengan TDS rendah. Karena efek samping seperti air garam diubah
keseimbangan yang diamati tidak hanya di air benar-benar desalinated tetapi juga dalam
air dengan TDS antara 50 dan 75 mg / l, tim yang menyiapkan laporan WHO 1980
merekomendasikan bahwa TDS dalam air minum minimal harus 100 mg / l. Tim juga
merekomendasikan bahwa TDS optimal harus sekitar 200-400 mg / l untuk klorida-
sulfat perairan dan 250-500 mg / l untuk perairan bikarbonat (WHO 1980).
Rekomendasi didasarkan pada eksperimen yang luas studi yang dilakukan pada tikus,
anjing dan sukarelawan manusia. Eksposur air termasuk Moscow air keran, air 
desalinated sekitar 10 mg / l TDS, dan laboratorium disiapkan air 50, 100, 250, 300,
500, 750, 1000, dan 1500 mg / l TDS menggunakan konstituen berikut dan proporsi: Cl
(40%), HCO3-(32%), SO4 (28%) / Na (50%), Ca (38%), Mg (12%). Sejumlah hasil
kesehatan diselidiki termasuk: dinamika berat badan, basal dan nitrogen metabolisme,
enzim aktivitas, air-garam homeostasis dan sistem regulasi, mineral isi dari jaringan
tubuh dan cairan, hematokrit, dan aktivitas ADH. Para TDS optimal terkait dengan
insiden terendah efek samping, negatif perubahan pada manusia, anjing, atau tikus,
karakteristik organoleptik yang baik dan haus-quenching sifat, dan corrosivity
mengurangi air. Selain tingkat TDS, tim (WHO 1980) merekomendasikan bahwa
 

kalsium konten minimum air minum harus desalinated 30 mg / l. Tingkat ini didasarkan
  pada masalah kesehatan dengan efek yang paling kritis yang perubahan hormonal
dalam metabolisme kalsium dan fosfor dan mineral berkurang saturasi jaringan tulang.
Juga, ketika kalsium meningkat menjadi 30 mg / l, yang Aktivitas korosif air 
desalinated akan lumayan berkurang dan air akan lebih stabil (WHO 1980). Tim (WHO
1980) juga direkomendasikan kandungan ion bikarbonat dari 30 mg / l sebagai tingkat
 pokok minimum diperlukan untuk mencapai karakteristik organoleptik dapat diterima,
corrosivity berkurang, dan konsentrasi kesetimbangan untuk tingkat minimum yang
disarankan dari kalsium. 
3.2 Terbaru rekomendasi Penelitian yang lebih baru telah memberikan informasi
tambahan tentang minimal dan tingkat optimal mineral yang harus di dalam air 
demineralised. Untuk Misalnya, efek air minum kekerasan berbeda pada status
kesehatan perempuan berusia 20 sampai 49 tahun adalah subjek dari dua kohort studi
epidemiologi (460 dan 511 perempuan) di empat kota Siberia Selatan (Levin et al 1981;
  Novikov et al 1983). Air di Kota air A memiliki terendah kadar kalsium dan
magnesium (3,0 mg / l kalsium dan 2,4 mg / l magnesium). Air di kota B memiliki
tingkat sedikit lebih tinggi (18,0 mg / l kalsium dan 5,0 mg / l magnesium). Tingkat
tertinggi ada di kota C (22,0 mg / l kalsium dan 11,3 mg / l magnesium) dan kota D
(45,0 mg / l kalsium dan 26,2 mg / l magnesium). Perempuan yang tinggal di kota A
dan B lebih sering menunjukkan perubahan kardiovaskular (yang diukur dengan ECG),
tekanan darah tinggi, somatoform disfungsi otonom, sakit kepala, pusing, dan
osteoporosis (sebagai diukur dengan sinar-X absoptiometry dibandingkan dengan kota-
kota C dan D. Ini Hasil penelitian menunjukkan bahwa isi magnesium minimum air 
minum harus menjadi 10 mg / l dan kandungan kalsium minimum harus 20 mg / l
  bukan dari 30 mg / l seperti yang direkomendasikan pada tahun 1980 (WHO 1980).
Berdasarkan data yang tersedia saat ini, berbagai peneliti telah merekomendasikan
 bahwa tingkat berikut kalsium, magnesium, dan kesadahan air harus dalam air minum:
15

 Untuk magnesium, minimal 10 mg / l (Novikov et al 1983;. Rubenowitz et al. 2000)


dan optimum sekitar 20-30 mg / l (Durlach et al, 1989.; Kozisek 1992);
 Untuk kalsium, minimal 20 mg / l (Novikov et al 1983.) Dan optimal dari sekitar 50
(40-80) mg / l (Rakhmanin et al 1990;. Kozisek 1992);
 

 Untuk kesadahan air total, jumlah kalsium dan magnesium harus 2 sampai 4 mmol / l
(Plitman et al, 1989;. Lutai 1992; Muzalevskaya et al, 1993.; Golubev dan Zimin 1994).
Pada konsentrasi tersebut, minimum atau tidak ada efek kesehatan yang merugikan
yang diamati. Efek kesehatan maksimal pelindung atau manfaat dari meminum air 
tampaknya terjadi pada konsentrasi yang diinginkan atau optimum diperkirakan.Tingkat
magnesium direkomendasikan didasarkan pada sistem kardiovaskular efek, sementara
 perubahan dalam metabolisme kalsium dan pengerasan digunakan sebagai dasar untuk 
tingkat kalsium yang direkomendasikan. Batas atas kekerasan kisaran optimal berasal
dari data yang menunjukkan risiko yang lebih tinggi batu empedu, batu ginjal, batu
kemih, arthrosis dan artropati pada populasi yang disediakan dengan air kekerasan yang
lebih tinggi dari 5 mmol / l. Jangka panjang asupan air minum diperhitungkan dalam
memperkirakan konsentrasi tersebut. Untuk jangka pendek indikasi terapi beberapa
 perairan, konsentrasi yang lebih tinggi dari elemen-elemen ini dapat dipertimbangkan.

3.3 Pedoman dan petunjuk untuk kalsium, magnesium, dan tingkat kesadahan dalam air 
minum WHO dalam edisi-2 Pedoman Kualitas Air Minum (WHO 1996) dievaluasi
kalsium dan magnesium dalam hal kekerasan air tetapi tidak merekomendasikan baik 
tingkat minimum atau batas maksimum untuk kalsium, magnesium, atau kekerasan.
Directive Eropa pertama (Uni Eropa 1980) mendirikan persyaratan untuk kekerasan
minimum untuk air lunak atau desalinated ( 60 mg / l sebagai kation kalsium atau
setara). Persyaratan ini muncul wajib di perundang-undangan nasional dari semua
anggota MEE, tapi Instruksi ini berakhir pada Desember 2003 ketika sebuah Directive
  baru (Uni Eropa 1998) menjadi efektif. Petunjuk baru tidak berisi persyaratan untuk 
kalsium, magnesium, atau air tingkat kekerasan. Di sisi lain, tidak mencegah negara
anggota dari melaksanakan persyaratan tersebut ke nasional mereka undang-undang.
Hanya beberapa negara anggota Uni Eropa (misalnya Belanda) telah memasukkan
kalsium, magnesium, atau air kesadahan dalam peraturan nasional mereka sebagai
  persyaratan yang mengikat. Beberapa negara anggota Uni Eropa (misalnya Austria,
Jerman) termasuk parameter ini di tingkat bawah sebagai peraturan mengikat, seperti
teknis standar (misalnya, tindakan yang berbeda untuk pengurangan corrosivity air).
Sebaliknya, keempat negara Eropa Tengah yang menjadi bagian dari Uni Eropa di 2004
mungkin telah memasukkan persyaratan berikut dalam masing-masing peraturan tetapi
 bervariasi dalam kekuatan mengikat
 

; Republik Ceko (2004): untuk air lunak  30 mg / l kalsium dan  10mg / l


magnesium; pedoman tingkat 40-80 mg / l kalsium dan 20-30 mg / lmagnesium
(kekerasan sebagai Ca + Mg=2,0-3,5mmoll).
 Hungaria (2001): kekerasan 50-350 mg / l (sebagai CaO); minimum yang diperlukan
konsentrasi 50 mg / l harus dipenuhi dalam air minum kemasan, baru sumber air, dan
melunak dan desalinated air.

Polandia(2000):.60-500mg/l(sebagaiCaCO3)kekerasan
 Slowakia (2002): tingkat pedoman> 30 mg / l kalsium dan 10 - 30 mg / l magnesium.
Teknis Astronot Rusia lingkungan standar di angkasa dikemudikan

- Persyaratan medis dan teknis umum (Anonim 1995) mendefinisikan persyaratan


kualitatif untuk daur ulang air dimaksudkan untuk minum di angkasa. Diantara
  persyaratan lainnya, TDS harus berkisar antara 100 dan 1000 mg / l dengan
tingkat minimum fluorida, kalsium dan magnesium yang ditentukan oleh komisi
khusus secara terpisah untuk setiap penerbangan kosmik. Fokusnya adalah pada
  bagaimana suplemen air daur ulang dengan konsentrat mineral untuk 
membuatnya "Fisiologis berharga" (Sklyar et al. 2001).

4. KESIMPULAN

Minum air harus mengandung tingkat minimum mineral esensial tertentu (Dan
komponen lain seperti karbonat). Sayangnya, selama melewati dua dekade, perhatian
  penelitian kecil telah diberikan kepada bermanfaat atau pelindung efek dari zat air 
minum. Fokus utama adalah pada kontaminan dan toksikologi sifat mereka. Namun
demikian, beberapa studi telah berusaha untuk menentukan isi minimum dari elemen
  penting atau TDS dalam air minum, dan beberapa negara telah memasukkan
 persyaratan atau pedoman untuk bahan yang dipilih dalam peraturan air mereka minum.
Meskipun kasus-kasus luar biasa, masalah yang relevan tidak hanya di mana air minum
diperoleh dengan desalinasi (jika tidak cukup re-mineralisasi) tetapi juga di mana
rumah perawatan atau air pusat pengobatan mengurangi isi dari mineral penting dan
rendah mineral botolan air yang dikonsumsi. Meskipun air minum yang diproduksi oleh
desalinasi distabilkan dengan beberapa mineral, ini biasanya tidak terjadi untuk air 
demineralised sebagai akibat dari rumah tangga pengobatan. Bahkan ketika stablized,
komposisi akhir dari beberapa perairan mungkin tidak memadai dalam hal memberikan
manfaat kesehatan. Meskipun desalinated perairan yang dilengkapi terutama dengan
 

kalsium (kapur) atau karbonat lainnya, mereka mungkin kekurangan magnesium dan
microelements lain seperti fluoride dan kalium, seperti perairan paling alami.
Selanjutnya, jumlah kalsium yang dilengkapi didasarkan pada pertimbangan teknis
(yaitu, mengurangi agresivitas) bukan pada masalah kesehatan. Mungkin tidak ada yang
  biasa cara menggunakan re-mineralisasi bisa dianggap optimal, karena air tidak 
mengandung semua komponen yang menguntungkan. Saat ini metode stabilisasi
terutama ditujukan untuk mengurangi efek korosif demineralised air. Demineralised air 
yang belum remineralized, atau rendah-mineral kandungan air - dalam terang dari tidak 
adanya atau kurangnya substansial penting mineral di dalamnya - tidak dianggap air 
minum yang ideal, dan karena itu, regulernya konsumsi mungkin tidak memberikan
tingkat yang memadai dari beberapa nutrisi yang bermanfaat. Bab ini memberikan
alasan untuk kesimpulan ini. Bukti dalam hal efek eksperimental dan temuan pada
manusia relawan yang berhubungan dengan air yang sangat demineralised kebanyakan
ditemukan di tua studi, beberapa di antaranya mungkin tidak memenuhi kriteria
metodologi saat ini. Namun, temuan dan kesimpulan tidak boleh diberhentikan.
Beberapa studi ini adalah unik, dan studi intervensi, meskipun tidak diarahkan, tidak 
akan ilmiah, finansial, atau etis layak untuk tingkat hari yang sama. Para Namun,
metode tidak begitu dipertanyakan untuk selalu membatalkan mereka hasil. Hewan
yang lebih tua dan studi klinis pada risiko kesehatan dari minum demineralised air 
mineral atau rendah menghasilkan hasil yang konsisten baik dengan masing-masing lain
dan dengan penelitian yang lebih baru, dan penelitian terbaru telah cenderung
mendukung. Bukti yang cukup sekarang tersedia untuk mengkonfirmasi risiko
kesehatan dari minum kekurangan kalsium atau magnesium air. Banyak penelitian
menunjukkan bahwa air yang lebih tinggi magnesium terkait dengan penurunan risiko
CVD dan terutama untuk tiba tiba kematian akibat CVD. Hubungan ini telah mandiri
dijelaskan dalam studi epidemiologi dengan desain studi yang berbeda, yang dilakukan
di berbagai daerah (dengan populasi yang berbeda), dan pada waktu yang berbeda.
Yang konsisten pengamatan epidemiologi yang didukung oleh data dari otopsi, klinis,
dan studi hewan. Biologis masuk akal untuk efek perlindungan dari magnesium
substansial, namun spesifisitas kurang jelas karena multifaktorial etiologi CVD. Selain
  peningkatan risiko kematian mendadak, telah menyarankan bahwa asupan air rendah
magnesium dapat dikaitkan dengan lebih tinggi risiko penyakit saraf motorik, gangguan
kehamilan (yang disebut preeklamsia, dan kematian mendadak pada bayi) dan beberapa
  jenis kanker. Terakhir studi menunjukkan bahwa asupan air lunak, yakni air rendah
 

kalsium, adalah berhubungan dengan risiko tinggi fraktur pada anak-anak,


neurodegenerative tertentu penyakit, lahir prematur dan berat badan rendah saat lahir 
dan beberapa jenis kanker. Selanjutnya, kemungkinan peran kalsium air dalam
  pengembangan CVD tidak bisa dikesampingkan. Internasional dan nasional yang
  bertanggung jawab untuk kualitas air minum berwenang harus mempertimbangkan
  pedoman untuk perawatan desalinasi air, menetapkan minimal isi dari elemen yang
relevan seperti kalsium dan magnesium dan TDS. Jika penelitian tambahan diperlukan
untuk menetapkan pedoman, otoritas ini harus mempromosikan penelitian yang
ditargetkan dalam bidang ini untuk menguraikan manfaat kesehatan. Jika pedoman
yang ditetapkan untuk bahan yang harus di dalam air deminerialized, berwenang harus
memastikan bahwa pedoman ini juga berlaku untuk penggunaan rumah
tertentuperawatan perangkat dan air botol.

5. REFERENCES

Anonymous (1995) GOST R 50804-95 Astronaut environment in piloted spaceships ± 


general medical and technical requirements. (In Russian.) Russian Governmental
Standard. Gosstandard Rossii, Moscow.

Anonymous (1994) Epidemiologic notes and reports lead-contaminated drinking water 


in
 bulk-storage tanks²Arizona and California, 1993.  MMWR 43(41), 751; 757-758.

Basnyat, B., Sleggs, J. and Spinger, M. (2000) Seizures and delirium in a trekker: the
consequences of excessive water drinking? Wilderness Environ. Med. 11, 69-70.

Bernardi, D., Dini, F.L., Azzarelli, A., Giaconi, A., Volterrani, C. and Lunardi, M.
(1995)
Sudden cardiac death rate in an area characterized by high incidence of coronary
artery disease and low hardness of drinking water.  Angiology 46, 145-149.

Bragg, P.C. and Bragg, P. (1993) The Shocking Truth about Water. 27th ed. Health
 

Science, Santa Barbara, CA. CDC (1994) Hyponatremic seizures among infants fed
with commercial bottled drinking water ± Wisconsin, 1993.  MMWR 43, 641-643.

DgfE (Deutsche Gesellschaft für Ernährung) (1993) Drink distilled water? (In German.)
 Med. Mo. Pharm. 16, 146.

Donato, F., Monarca, S., Premi, S., and Gelatti, U (2003) Drinking water hardness and
chronic degenerative diseases. Part III. Tumors, urolithiasis, fetal malformations,
deterioration of the cognitive function in the aged and atopic eczema. (In Italian.)
 Ann. Ig. 15, 57-70.

Durlach, J. (1988) The importance of magnesium in water. In  Magnesium in Clinical 


 Practice (ed. J.Durlach), pp 221-222, John Libbey & Co Ltd, London.

Durlach, J., Bara, M. and Guiet-Bara, A. (1989) Magnesium level in drinking water: its
importance in cardiovascular risk. In   Magnesium in Health and Disease (ed.Y.Itokawa
and J.Durlach), pp. 173-182, J.Libbey & Co Ltd, London.
Eisenberg, M.J. (1992) Magnesium deficiency and sudden death.   Am. Heart J. 124,
544-549.

European Union (1980) Council Directive 80/778/EEC of 15 July 1980 relating to the
quality of water intended for human consumption. Off. J. Eur. Commun. L229, 11- 29.
European Union (1998) Council Directive 98/83/EC of 3 November 1998 on the quality
of water intended for human consumption. Off. J. Eur. Commun. L330, 32-54. Garzon,
P. and Eisenberg, M.J. (1998) Variation in the mineral content of commercially
available bottled waters: implication for health and disease. Am. J. Med. 105, 125- 130.

Geldreich, E.E., Taylor, R.H., Blannon, J.C. and Reasoner, D.J. (1985) Bacterial
colonization of point-of-use water treatment devices.  Journal AWWA 77, 72-80.

Golubev, I.M. and Zimin, V.P. (1994) On the standard of total hardness in drinking
water. (In Russian.) Gig. Sanit.  No. 3/1994 (volume not given), 22-23.
Haring, B.S.A. and Van Delft, W. (1981) Changes in the mineral composition of food
as
 

a result of cooking in ³hard³ and ³soft³ waters.   Arch. Environ. Health 36, 33-35.
Hopps, H.C. and Feder, G.L. (1986) Chemical qualities of water that contribute to
human
health in a positive way. Sci. Total Environ. 54, 207-216.

Iwami, O., Watanabe, T., Moon, Ch.S., Nakatsuka, H. and Ikeda, M. (1994) Motor 
neuron disease on the Kii Peninsula of Japan: excess manganese intake from food
coupled with low magnesium in drinking water as a risk factor. Sci. Total Environ.
149, 121-135.

Jacqmin, H., Commenges, D., Letenneur, L., Barberger-Gateau, P. and Dartigues, J.F.
(1994) Components of drinking water and risk of cognitive impairment in the
elderly. Am. J. Epidemiol. 139, 48-57.

Kondratyuk, V.A. (1989) On the health significance of microelements in low-mineral


water. (In Russian.) Gig. Sanit.  No.2/1989 (volume not given), 81-82.
Kozisek, F. (1992) Biogenic value of drinking water. (In Czech.) PhD thesis. National
Institute of Public Health, Praha.

Kramer, M.H., Herwaldt, B.L., Craun, G.F., Calderon, R.L. and Juranek, D.D. (1996)
Surveillance for Waterborne-Disease Outbreaks ± United States, 1993-1994. In:
CDC Surveillance Summaries, April 12, 1996.  MMWR 45 (No. SS-1), 1-33.
Levander, O.A. (1977). Nutritional factors in relation to heavy metal toxicants.  F ed.
 Proc. 36, 1683-1687.

Levin, A.I., Novikov, J.V., Plitman, S.I., Noarov, J.A. and Lastochkina, K.O. (1981)
Effect of water of varying degrees of hardness on the cardiovascular system. (In
Russian.) Gig. Sanit.   No. 10/1981 (volume not given), 16-19. Lutai, G.F. (1992)
Chemical composition of drinking water and the health of population. (In Russian.)
Gig. Sanit. No. 1/1992 (volume not given), 13-15.

Melles, Z. and Kiss, S.A. (1992) Influence of the magnesium content of drinking water 
and of magnesium therapy on the occurrence of preeclampsia.  Magnes. Res. 5, 277-279.
 

Monarca, S., Zerbini, I., Simonati, C. and Gelatti, U. (2003) Drinking water hardness
and
chronic degenerative diseases. Part II. Cardiovascular diseases. (In Italian.)  Ann.
 Ig.15, 41-56.

Mudryi, I.V. (1999) Effects of the mineral composition of drinking water on the
 population´s health (review). (In Russian.) Gig. Sanit.   No.1/1999 (volume not given),
15-18. 20

Muzalevskaya, L.S., Lobkovskii, A.G. and Kukarina, N.I. (1993) Incidence of chole-
and
nephrolithiasis, osteoarthrosis, and salt arthropathies and drinking water hardness.(In
Russian.) Gig. Sanit. No. 12/1993 (volume not given), 17-20.
  Nadeenko, V.G., Lenchenko, V.G. and Krasovskii, G.N. (1987) Combined effect of 
metals during their intake with drinking water. (In Russian.) Gig. Sanit.  No.12 /1987
(volume not given), 9-12.

 Nardi, G., Donato, F., Monarca, S., and Gelatti, U. (2003) Drinking water hardness and
chronic degenerative diseases. Part I. Analysis of epidemiological research. (In Italian.)
  Annali di igiene - medicina preventiva e di comunita 15, 35-40. NIPH (National
Institute of Public Health) (2003) Internal data. Prague Novikov, J.V., Plitman, S.I.,
Levin, A.I. and Noarov, J.A. (1983) Hygienic regulation for he minimum magnesium
level in drinking water. (In Russian.) Gig. Sanit. No. 9/1983 (volume not given), 7-11.

Oehme, F.W. (ed.) (1979). Toxicity of heavy metals in the environment . Part 1.
M.Dekker, New York.

Oh, C.K., Lücker, P.W., Wetzelsberger, N. and Kuhlmann, F. (1986) The determination
of magnesium, calcium, sodium and potassium in assorted foods with special attention
to the loss of electrolytes after various forms of food preparations.  Mag.-  Bull. 8, 297-
302.

Payment, P. (1989) Bacterial colonization of reverse-osmosis water filtration units.


Can.
 

 J. Microbiol. 35, 1065-1067.

Payment, P., Franco, E., Richardson, L. and Siemiatycki, J. (1991) Gastrointestinal


health
effects associated with the consumption of drinking water produced by point-of-use
domestic reverse-osmosis filtration units. Appl. Environ. Microbiol. 57, 945-948.

Plitman, S.I., Novikov, Yu.V., Tulakina, N.V., Metelskaya, G.N., Kochetkova, T.A.
and
Khvastunov, R.M. (1989) On the issue of correction of hygenic standards with
account of drinking water hardness. (In Russian.) Gig. Sanit. No. 7/1989 (volume
not given), 7-10.

Pribytkov Yu N. (1972) «.(In Russian.) Gig. Sanit.  No«., 103-105.

Rakhmanin Yu A., Lycnikova, T.D., ., Michailova, R.I. (1973) Coll.: Water Hygiene
and the Public Health Protection of Water Bodies (In Russian.), Moscow, Acad. Med.
Sci. USSR, fasc. 3, 44-51.

Rakhmanin, Yu A., Bonasevskaya, T.I., Lestrovoy, A.P., Michailova, R.I., Guscina,


L.M.
(1976) Coll.: Public Health Aspects of Environmental Protection (In Russian.),
Moscow, Acad. Med. Sci. USSR, fasc. 3, 68-71.

Rakhmanin, Yu.A., Mikhailova, R.I., Filippova, A.V., Feldt, E.G., Belyaeva, N.N.,

Lamentova, T.G. and Kumpan, N.B., (1989) On some aspects of biological effects
of distilled water. (In Russian.) Gig. Sanit. No. 3/1989 (volume not given), 92-93.

Rachmanin, Yu.A., Filippova, A.V., Michailova, R.I., Belyaeva, N.N., Lamentova,


T.G.,
Kumpan, N.B. and Feldt, E.G. 1990 Hygienic assessment of mineralizing lime
materials used for the correction of mineral composition of low-mineralized water. (In
 

Russian.) Gig. Sanit.  No. 8/1990 (volume not given), 4-8. Robbins, D.J. and Sly, M.R.
(1981) Serum zinc and demineralized water.  Am. J. Clin. Nutr. 34, 962-963.

Rubenowitz, E., Molin, I., Axelsson, G. and Rylander, R. (2000) Magnesium in


drinking
water in relation to morbidity and mortality from acute myocardial infarction.
 Epidemiology 11, 416-421.

Sadgir, P. and Vamanrao, A. (2003) Water in Vedic Literature. In  Abstract Proceedings


of the 3rd International Water History Association Conference, Alexandria 2003,
(http://www.iwha.net/a_abstract.htm).

Sauvant, M-P. and Pepin, D. (2002) Drinking water and cardiovascular disease.  F ood 
Chem. Toxicol. 40, 1311-1325.

Schumann, K., Elsenhans, B., Reichl, F.X., Pfob, H. and Wurster, K.H. (1993) Does
intake of highly demineralized water damage the rat gastrointestinal tract? V et.
 Hum. Toxicol. 35, 28-31.

Sklyar, E.F., Amiragov, M.S., Berezkin, S.V., Kurochkin, M.G. and Skuratov, V.M.
(2001) Recovered water mineralization technique. (In Russian.) Aviakosm. Ekolog.
 Med. 35(5), 55-59.Thompson, D.J. (1970) Trace element in animal nutrition. 3rd ed.
Int. Minerals and Chem. Corp., Illinois.

Verd Vallespir, S., Domingues Sanches, J., Gonzales Quintial, M., Vidal Mas, M.,

Mariano Soler, A.C., de Roque Company, C. and Sevilla Marcos, J.M. (1992)
Association between calcium content of drinking water and fractures in children (in
Spanish).   An. Esp. Pediatr. 37, 461-465. WHO (1978) How trace elements in water 
contribute to health. WHO Chronicle 32, 382-
385.
WHO (1979)   Health effects of the removal of substances occurring naturally in
drinking water, with special reference to demineralized and desalinated water . Report
on a  working group (Brussels, 20-23 March 1978). EURO Reports and Studies 16.
 

World Health Organization, Copenhagen.  WHO (1980) Guidelines on health aspects of 
water desalination. ETS/80.4. World Health Organization, Geneva.  

WHO (1996) Guidelines for Drinking-water Quality. 2nd edn, vol. 2,  Health Criteria
and 
Other Supporting Information.   pp 237-240. World Health Organization, Geneva.
Williams, A.W. (1963) Electron microscopic changes associated with water absorption
in the jejunum. Gut 4, 1-7.

Yang, Ch.Y., Chiu, H.F., Chiu, J.F., Tsai, S.S. and Cheng, M.F. (1997) Calcium and
magnesium in drinking water and risk of death from colon cancer.  Jpn. J. Cancer Res.
88, 928-933. 

Yang, Ch.Y., Cheng, M.F., Tsai, S.S. and Hsieh, Y.L. (1998) Calcium, magnesium, and
nitrate in drinking water and gastric cancer mortality. Jpn. J. Cancer Res. 89, 124-130.

Yang, Ch.Y., Chiu, H.F., Cheng, M.F., Tsai, S.S., Hung, Ch.F. and Lin, M.Ch. (1999a)
Esophageal cancer mortality and total hardness levels in Taiwan¶s drinking water.
 Environ. Research , Section A 81, 302-308.

Yang, Ch.Y., Chiu, H.F., Cheng, M.F., Tsai, S.S., Hung, Ch.F. and Tseng, Y.T. (1999b)
Pancreatic cancer mortality and total hardness levels in Taiwan¶s drinking water. J.
Toxicol. Environ. Health A 56, 361-369.

Yang, Ch.Y., Tsai, S.S., Lai, T.Ch., Hung, Ch.F. and Chiu, H.F. (1999c) Rectal cancer 
mortality and total hardness levels in Taiwan¶s drinking water.   Environ. Research,
Section A 80, 311-316.

Yang, Ch.Y., Chiu, H.F., Cheng, M.F., Hsu, T.Y., Cheng, M.F. and Wu. T.N. (2000)
Calcium and magnesium in drinking water and the risk of death from breast cancer.  J.
Toxicol. Environ. Health, Part A 60, 231-241.

Yang, Ch.Y., Chiu, H.F., Chang, Ch. Ch., Wu, T.N. and Sung, F.Ch. (2002)
Association
 

of very low birth weight with calcium levels in drinking water.   Environ. Research,
Section A 89, 189-194.
 

PENETAPAN KADAR Fe DAN Zn DI DALAM TEMPE YANG DI


BUNGKUS PLASTIK DAN DAUN YANG DIJUAL DI PASAR 
KARTASURA DENGAN MENGGUNAKAN METODE
PENGAKTIFAN NEUTRON 

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 
Lebih dari 70% makanan yang beredar dan dijual di pasaran diproduksi oleh industri
rumah tangga yang dalam proses produksinya kebanyakan masih jauh dari persyaratan
kesehatan, keselamatan atau bahkan hampir tidak memenuhipersyaratan sama sekali
(Sartono, 2001). Tempe merupakan salah satu produk dari industri rumah tangga karena
tempe adalah salah satu makanan yang memiliki kandungan gizi dan protein yang
cukup tinggi, selain itu harganya juga terjangkau sehingga tempe merupakan makanan
yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Saat ini berbagai produsen makanan dan
minuman berusaha menarik konsumen dengan meningkatkan kualitas produknya,
sebagai contoh peningkatan tampilan produk dengan dilindungi pembungkus. Hal
tersebut untuk menjaga kualitas dari produk itu sendiri dan untuk menghindari makanan
dari cemaran partikel-partikel di udara. Tetapi terlepas dari itu, timbul pula
  permasalahan apakah kemungkinan tempe tersebut juga terkontaminasi oleh bakteri,
senyawa-senyawa kimia dan logam-logam berat baik logam non esensial maupun
logam esensial seperti logam Zn dan Fe. Kemungkinan tempe juga dapat tercemar 
selama proses pengolahan, serta alat yang digunakan karena sebagian besar peralatan
yang digunakan masih tergolong sederhana, seperti aluminium dimana Zn sendiri sering
digunakan sebagai campuran produksi logam. Selain itu tidak menutup kemungkinan
kontaminasi juga terjadi pada saat proses pendistribusian tempe dari industri ke pasar,
kemungkinan tempe yang dijual di Pasar juga bisa tercemar oleh partikelpartikel
diudara karena adanya material dari kendaraan bermotor yang sudah tidak layak pakai
atau bisa juga disebabkan kerena knalpot yang dipakai telah keropos. Menurut
  penelitian (Pollizzi et al., 2007) di dalam udara terkandung logam Fe walaupun dalam
konsentrasi yang kecil yaitu sebesar 0,95-0,56 ìg/m3 . Logam esensial seperti Zn dan Fe
dalam dosis rendah dapat menyebabkan kenaikan absorpsi Pb dan Cd didalam tubuh
 

akan tetapi logam Fe dan Zn pada kadar tertentu masih diperlukan bagi tubuh dalam
 proses biokimia, tetapi dalam jumlah yang berlebih logam tersebut dapat menyebabkan
keracunan (Darmono, 1995). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk 
menentukan seberapa besar kadar logam Fe dan Zn yang terkandung pada tempe yang
dibungkus plastik dan daun yang dijual di Pasar Kartasura dengan Analisis Pengaktifan
  Neutron (APN). Kelebihan dari APN ini adalah mampu menganalisis unsur-unsur 
kelumit dalam suatu cuplikan bersama-sama, tanpa pemisahan kimia, penyiapan
cuplikan yang mudah dan cepat, serta mempunyai kepekaan yang tinggi (Susetyo,
1988).
B. Perumusan masalah
Rumusan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah dalam tempe yang dibungkus plastik dan daun yang dijual di Pasar Kartasura
terdapat logam Fe dan Zn?
2. Berapakah kadar logam Fe dan Zn dalam tempe berdasarkan perbedaan pembungkus
 plastik dan daun yang dijual di Pasar Kartasura?

C. Tujuan Penelitian 
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Untuk membuktikan adanya logam Fe dan Zn dalam tempe yang dibungkus plastik 
dan
daun yang dijual di Pasar Kartasura.
2. Untuk menetapkan kadar logam Fe dan Zn dalam tempe yang dibungkus plastik dan
daun yang dijual di Pasar Kartasura.

D. Tinjauan Pustaka  
1. Pencemaran Akibat Logam  Berat 

Pencemaran adalah peristiwa masuknya zat atau bahan dalam bentuk padat, cair, gas
atau partikel tersuspensi dalam kadar tertentu di lingkungan yang dapat menimbulkan
gangguan terhadap makhluk hidup, tumbuh-tumbuhan dan atau benda (Anonim, 1998).
Salah satu contoh pencemarnya yaitu pencemaran dari hasil penggunaan dan kebutuhan
  bahan kimia seperti pencemaran logam-logam berat, pencemaran panas, pencemaran
limbah industri, pencemaran oleh pestisida dan sebagainya (Palar, 1994). Dapat
dikatakan bahwa hampir semua logam berat bersifat toksik yang dapat meracuni tubuh
makhluk hidup. Contohnya adalah Cd, Pb, dan Cr. Walaupun demikian beberapa dari
 

logam berat tersebut tetap dibutuhkan oleh makhluk hidup walau dalam jumlah yang
kecil, sehingga apabila kebutuhan dalam jumlah kecil tersebut tidak terpenuhi maka
dapat berakibat fatal bagi kelangsungan hidupnya. Logam tersebut disebut logam
esensial. Logam esensial bila masuk ke dalam tubuh dalam jumlah yang berlebihan,
maka akan berubah fungsi menjadi racun bagi tubuh. Sebagai contoh adalah Cu, Zn, Fe
dan nikel (Palar,1994).
Menurut Connel dan Miller (1995), mekanisme toksisitas logam adalah sebagai berikut:
a. Logam menahan gugus fungsi biologis yang esensial dalam biomolekul .
 b. Menggantikan ion logam esensial dalam biomolekul.
c. Mengubah konformasi aktif biomolekul.

2. Pencemaraan  logam Zn 


Seng (Zn) mempunyai nomor atom 30 dan memiliki berat atom sebesar 65,39. Dalam
sistem periodik unsur-unsur kimia Zn termasuk dalam golongan II. Logam ini cukup
mudah dikempa dan liat pada 110 ± 150_ C, Zn melebur pada 110_ C dan mendidih
 pada 906_ C. Logam Zn adalah unsur penting bagi tubuh yang dibutuhkan dalam organ
atau jaringan tubuh (Darmono, 1995).
a. Sifat-sifat Zn adalah:
1) Di dalam air minum Zn menimbulkan rasa kesat.
2) Menyebabkan warna air menjadi keruh, dan bila dimasak akan timbul endapan
seperti pasir.
 b. Penggunaan Zn
Seng (Zn) ditemukan dalam suatu pertambangan logam, sebagai bentuk disulfida.
Seng
dan beberapa senyawanya digunakan dalam campuran produksi logam misalnya
alumunium, perunggu, loyang dan kuningan. Senyawa Zn juga sering digunakan
dalam
 pestisida, lampu, gelas, bahan keramik, pelapisan logam seperti baja, besi yang
merupakan produk anti karat (Darmono, 1995).

c. Distribusi Zn
Seng masuk dalam tubuh dapat terakumulasi dengan konsentrasi tinggi terdapat
dalam
otot, hati, ginjal, pankreas dan sistem reproduksi yakni epidermis, prostat dan testis.
 

Seng yang disuntikkan ke dalam tubuh memperlihatkan bahwa pada mulanya


disimpan
dalam hati kemudian menuju sel-sel darah merah, tulang kemudian terjadi akumulasi
(Ganiswara, 1995). Dosis yang tinggi dari seng yang masuk ke perut menyebabkan
gejala keracunan berupa demam, muntah, kekejangan pada lambung dan diare. Air 
minum yang mengandung seng dengan kadar 6-8 ppm dapat menyebabkan
konstipasi kronik pada ternak bersamaan dengan penurunan hasil susu pada masa
menyusui (Clarke dan Myra, 1975). Seng di distribusikan keseluruh tubuh dan kadar 
tertinggi di dapatkan pada koroid mata, spermatozoa, rambut, kuku, tulang dan
  prostat. Di dalam plasma sebagian besar Zn terikat pada protein terutama pada
albumin, á-2-makroglobulin dan transferin. Di dalam ASI mengandung 3 mg/L Zn
 pada saat setelah melahirkan, tetapi selanjutnya menurun (Ganiswara, 1995).

3. Besi (Fe) 

Besi adalah logam dalam kelompok makromineral di dalam kerak bumi, tetapi termasuk 
kelompok mikro dalam sistem biologi. Logam ini mungkin logam yang pertama
ditemukan dan digunakan oleh manusia sebagai alat pertanian. Besi juga sering tersedia
dalam preparat obat dan vitamin, termasuk tablet suplemen, sebagai sulfat, glukonat,
dan garam fumarat. Zat besi diketahui sangat berperan dalam proses fisiologik dan
 banyak diketahui kepentingannya dalam proses biokimiawi. Dalam tablet multivitamin
mineral biasanya diberikan pada ibu hamil yang menjelang melahirkan untuk mencegah
defisiensi Fe (Darmono, 2001). Pada sistem biologi seperti hewan, manusia dan
tanaman, logam ini bersifat esensial, kurang stabil, dan secara perlahan berubah
menjadi fero (FeII) atau feri (FeIII). Kandungan Fe dalam tubuh hewan sangat
  bervariasi tergantung pada status kesehatan, nutrisi, umur, jenis kelamin dan spesies.
Sumber utama pencemaran udara oleh Fe ialah pabrik besi dan baja. Inhalasi Fe oksida
dari asap dan debu yang sering terjadi di lokasi pertambangan, dapat menyebabkan
radang paru-paru. Pada waktu pemeriksaan sinar rontgen, terlihat adanya endapan Fe
(siderosis) dalam alveoli paru-paru. Kejadian toksisitas Fe ini jarang ditemukan pada
  peristiwa polusi udara lingkungan (Darmono, 2001). Pada umumnya setiap jaringan
tubuh selalu mengandung Fe, yaitu 4 g Fe. Tempat pertama dalam tubuh yang
mengontrol pemasukan Fe ialah di dalam usus halus. Bagian usus ini berfungsi untuk 
absorpsi dan sekaligus juga sebagai ekskresi Fe yang diserap. Besi dalam usus
diabsorpsi dalam bentuk feritin, dimana bentuk besi (II) lebih mudah diabsorpsi
 

daripada bentuk besi (III). Feritin masuk ke dalam darah dan berubah bentuk menjadi
senyawa transferin. Dalam darah tersebut besi mempunyai status sebagai besi trivalen
yang kemudian ditransfer ke hati yang kemudian disimpan dalam organ tersebut dalam
  bentuk feritin dan hemolisiderin. Toksisitas terjadi bila mana terjadi kelebihan Fe
(kejenuhan) dalam ikatan tersebut (Ganiswara, 1995). Mekanisme toksisitas Fe secara
  pasti belum begitu jelas, diperkirakan kematian terjadi karena sekunder syok yang
disebabkan oleh iritasi gastro intestinal. Bila dilakukan autopsi terhadap korban
keracunan ditemukan perdarahan dan nekrosis pada mukosa lambung dan usus.
Keracunan Fe ini dapat menyebabkan permeabilitas dinding pembuluh darah kapiler 
meningkat sehingga plasma darah merembes keluar. Akibatnya, volume darah menurun
dan hipoksia jaringan menyebabkan asidosis. Penelitian pada hewan menunjukkan
  bahwamtoksisitas akut dari Fe ini menyebabkan lamanya proses koagulasi darah
(Ganiswara, 1995).

4. Analisis Pengaktifan Neutron (APN) 

Analisis pengaktifan neutron adalah suatu analisis unsur yang didasarkan pada
 pengukuran keradioaktifan imbas jika suatu sampel disinari neutron. Teknik analisa ini
  pertama kali ditemukan oleh seorang ahli berkebangsaan Hungaria bernama Gorge
Havesy ketika mencoba menentukan impuritas  Disporsium (Dy) dalam sampel Ykrium
(Y) dengan jalan menembaki sampel tersebut dengan neutron (Susetyo, 1998). Metode
APN mempunyai beberapa keunggulan dibanding metode analisis yang lain adalah:
a. Analisis aktivasi neutron memungkinkan analisis langsung untuk sampel
 berbentuk padat, cair, gas tanpa merusak sampel lebih dahulu (non destruktif).
 b. Bahaya kontaminasi sebagai sumber kesalahan dapat dikurangi.
c. Dengan menggunakan metode relatif, dapat dibandingkan secara mudah dan akurat.
d. Mempunyai kepekaan yang tinggi dan limit deteksi rendah sampai orde ppb atau sub
 ppb.
e. Dapat digunakan untuk analisis cuplikan biologi, lingkungan, geologi dan lain-lain.
f. Dengan menggunakan metode ini dapat dilakukan analisis kualitatif dan kuantitatif 
dari
  banyak unsur secara bersamaan tanpa pemisahaan kimia. Proses ini disebut AAN
secara
Instrumental (AANI) (Susetyo, 1998). Meskipun APN mempunyai beberapa
keunggulan, tetapi ia juga mempunyai beberapa kelemahan diantaranya adalah:
 

a. Memerlukan fasilitas dan peralatan tradisi yang besar dan mahal yaitu reaktor 
fisi atau akselerator partikel.
 b. Laboratorium yang digunakan untuk melakukan analisis ini harus mempunyai
 perlengkapan khusus untuk penanganan zat radioaktif.
c. Untuk analisis radionuklida berumur panjang diperlukan waktu analisis yang
relatif lama. (Susetyo, 1988).

5. Prinsip Analisis Pengaktifan Neutron 

Prinsip dasar APN adalah menembaki suatu cuplikan yang tidak radioaktif dengan
neutron sehingga terjadi reaksi tangkapan neutron oleh inti suatu unsure dalam
cuplikan. Unsur-unsur tersebut berubah menjadi radioaktif. Setelah paparan radiasi
neutron dianggap cukup, cuplikan dikeluarkan dari sumber, cuplikan tersebut sekarang
mengandung unsur-unsur yang memancarkan sinar radioaktif.
Sinar ã yang dipancarkan oleh berbagai unsur dalam cuplikan dapat dianalisis secara
spektromentri ã. Analisis kualitatif dilakukan berdasarkan penentuan tenaga sinar ã,
sedangkan analisis kuantitatif dilakukan dengan menentukan intensitasnya. Gambar 1
menjelaskan prinsip Analisis Aktivasi Neutron. Esensi dasar yang dibutuhkan untuk 
menganalisis sebuah sampel dengan metode APN adalah sebuah sumber neutron,
instrumentasi yang sesuai untuk mendeteksi sinar gamma, dan sebuah pengetahuan
detail dari reaksi yang dibutuhkan ketika neutron berinteraksi dengan target (Susetyo,
1988).

K eterangan  :
a)  Sampel terdiri atas bermacam-macam unsur misalnya unsur-( O ) dan kelumit ( Ä )
dan lain-lain.
 b)  Sampel diiradiasi dengan neutron dan membuat beberapa atom menjadi radioaktif 
(dan).
c) Sinar -ã yang dipancarkan oleh unsur-unsur radioaktif tersebut menunjukkan data
kualitatif unsur-unsur dalam cuplikan. Apabila unsur-unsur stabil dalam cuplikan
diiradiasi dengan neutron, maka terjadi macam-macam reaksi inti, namun yang
digunakan dalam APN adalah reaksi neutron gamma (n, ã) yang artinya suatu
unsure
 jika ditembak dengan neutron maka unsur tersebut akan berubah menjadi unsur lain
sambil melepaskan sinar ã.
 

 
Contoh:
58Fe+ 0ã0 + 0n1 59Fe + 0ã 2 + E (1)
Reaksi di atas dapat ditulis sebagai 58Fe (n, ã) 59Fe. Pemilihan reaksi pengaktifan yang
 perlu diikuti dengan pemilihan fasilitas radiasi yang bersesuaian. Ada 3 jenis fasilitas
iradiasi neutron yang penting, yaitu:
a. Reaktor atom
 b. Akselerator 
c. Sumber neutron isokopik (Susetyo, 1988)
Penelitian ini menggunakan fasilitas iradiasi neutron yang ada dalam reactor atom.
Bahan bakar reaktor atom yang digunakan adalah uranium. Dalam uranium terdapat
dua
isotop utama yaitu 92U235 dan 92U235 apabila radionuklida menyerap neutron akan
mengalami pembelahan menjadi dua inti radionuklida baru dan melepas dua atau tiga
neutron. Neutron yang dihasilkan langsung dari pembelahan uranium mempunyai
tenaga yang sangat tinggi atau disebut neutron cepat. Neutron cepat tidak dapat
dipergunakan secara efektif untuk melakukan pembelahan uranium, oleh sebab itu
dalam reaktor jenis tertentu dilakukan penurunan tenaga neutron (Susetyo, 1988)
Ditinjau dari tenaga yang dimilikinya, neutron dapat digolongkan menjadi Neutron
Cepat mempunyai tenaga diatas 0,1 MeV lebih dari 0,5 MeV, Neutron Epitermal
mempunyai tenaga antara 0,2 eV sampai dengan 0,1 MeV, Neutron Termal
mempunyai
tenaga di bawah 0,2 eV (Susetyo, 1988).

6. Interaksi Sinar ±ã dengan Materi  


Interaksi sinar ±ã dengan materi dapat terjadi melalui bermacam-macam proses. Dari
  bermacam-macam proses tersebut hanya ada tiga macam proses yang penting untuk 
spektrometri-ã, yaitu:
a. Efek fotolistrik 
Efek fotolistrik adalah interaksi (tumbukan) antara sinar-ã dengan elektron dalam
atom
sehingga menyebabkan elektron terpancar keluar dari atom. Pada peristiwa ini energy
sinar-ã diberikan kepada elektron atom yang ditumbuk. Sebagian dari energi sinar-ã
tersebut digunakan untuk melepaskan ikatan elektron dengan inti atom dan sistemnya
 

diubah menjadi kinetik.

 b. Efek Compton


Efek Compton adalah peristiwa tumbukan elastis antara sinar-ã dengan elektron yang
terikat lemah. Dalam tumbukan elastis ini, sinar-ã hanya memberikan sebagian
energinya pada elektron yang dibutuhkannya. Akibat dari tumbukan tersebut,
elektron
terpental dari orbit dengan energi kinetic tertentu, sedangkan sinar-ã terhambur ini
mempunyai energi yang lebih kecil dari keadaan sebelum tumbukan. Elektron
Compton
terlepas dalam proses ini memiliki energi sebesar selisih antara energi sinar-ã mula-
mula dengan energi sinar-ã terhambur.

c. Produksi Pasangan (pair produksi) Produksi pasangan adalah peristiwa terbentuknya


  pasangan electron positron sebagai akibat adanya interaksi sinar-ã yang berenergi
tinggi
dengan medan listrik inti atom yang bermassa besar. Dalam keadaan diam electron
dan
  positron memiliki energi sebesar 0,511 Mev, oleh karena itu syarat terjadinya
 produksi
 pasangan adalah hv _ 1,022 Mev. Jika hv _ 1,022 Mev, maka energi sisanya akan
 berubah menjadi kinetik pasangan elektron dan positron yang terbentuk.

7. Perangkat Spektrum- ã
Spektrometri-ã didefinisikan sebagai suatu metode pengukuran dan identifikasi unsure
unsur radioaktif di dalam suatu cuplikan dengan jalan mengamati spektrum
karakteristik yang ditimbulkan oleh interaksi sinar-ã yang dipancarkan oleh zat-zat
radioaktif tersebut dengan detektor (Susetyo,1998). Spektrometri-ã terdiri dari detektor 
semikonduktor HpGe, sumber tegangan tinggi (HV), preamplifier dan penganalisa salur 
ganda dan unit pengolahan data (Susetyo, 1988).
a. Detektor Semikonduktor HpGe (High Pure Germanium))
Detektor HpGe adalah detektor semi konduktor yang medium detektornya terbuat
dari
 bahan semi konduktor berupa germanium dengan kemurnian tinggi. Detektor HpGe
 

diletakkan dalam bejana hampa yang disebut sistem cryostat. Didalam sistem
cryostat 
detektor HpGe didinginkan oleh nitrogen cair yang memiliki suhu -196 _ C (77 K).
Selain untuk menjamin daya pisah yang tinggi, nitrogen cair yang diperlukan untuk 
menjaga kestabilan daerah intrinsik (Susetyo, 1988). Detektor HpGe harus
dioperasikan
 pada suhu yang sangat rendah. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kebocoran arus
yang
menghasilkan derau danmerusak daya pisah detektor. Nitrogen cair disini juga
diperlukan untuk menjaga keberadaan daerah intrinsik. Daya pisah atau resolusi
detektor adalah kemampuan detektor untuk memisahkan dua puncak energi sinar-ã
yang berdekatan. Ukuran daya pisah detektor dinyatakan dengan lebar setengah
tinggi
maksimum atau FWHM (  F ull Width Half Maksimum ) (Susetyo, 1988).

 b. Sumber Tegangan Tinggi


Sumber tegangan tinggi (sumber daya) dalam ruang lingkup alat elektronik pembant
alat
nuklir dibagi dalam dua bagian. Sumber tegangan yang diperlukan untuk alat-alat
elektronik dan sumber tegangan tinggi untuk detektor. Peralatan elektronik yang
digunakan untuk pengukuran radiasi mengikuti suatu standar tertentu yang disebut
 NIM
(Nuclear Instrument Module). Modul-modul elektronik tersebut mempunyai bentuk,
ukuran, serta tegangan kerja standar. Bin merupakan rak sebagai tempat modul-
modul
yang mengikuti standar NIM tersebut. Bin ini juga yang berfungsi sebagai
 pencantudayanya. Sumber tegangan tinggi pada perangkat spektrometer-ã adalah
sumber tegangan yang diatur dan disesuaikan dengan tegangan kerja detector yang
digunakan. Setiap detektor memerlukan tegangan searah yang cukup tinggi dengan
nilai
yang berbeda-beda. Pada detektor HpGe tegangan kerja yang digunakan adalah
sebesar 
3000 Volt (Susetyo, 1988).
 

c. Pre-Amplifier dan Amplifier 


Pre-amplifier terletak diantara detektor dan amplifier. Umumnya alat ini dipasang
sedekat mungkin dengan detektor.
Alat ini berfungsi sebagai berikut :
1) Untuk melakukan amplifikasi awal terhadap pulsa keluaran detektor.
2) Untuk melakukan pembentukan pulsa pendahuluan.
3) Untuk mencocokkan impedansi keluaran detektor dengan kabel sinyal masuk 
ke
 penguat.
4) Untuk mengadakan perubahan muatan menjadi tegangan pada pulsa keluaran
detektor.
5) Sebagai penurunan derau.Amplifier berfungsi sebagai alat yang meneruskan
  pulsa dari preamplifier, dimana memberikan hasil keluaran yang memiliki
daya
 pisah tinggi dan membentuk tampilan lebih baik dan terbaca (Susetyo,1988).

8. Tempe 
Tempe merupakan sumber zat protein yang baik. Setiap 100 gram tempe mengandung
18-20 gram zat protein, 4 gram zat lemak, vitamin B12 dan 129 miligram zat kalsium.
Tempe juga mengandung mineral makro dan mikro dalam jumlah yang cukup. Jumlah
mineral besi, tembaga dan seng berturut-turut adalah 9,39; 2,87; dan 8,05 mg setiap 100
gram tempe. Tempe merupakan makanan tradisional yang terkenal tidak hanya didalam
negeri, tetapi juga di luar negeri. Bahkan di Jepang dan Amerika sudah membuat
sendiri, setelah mempelajari cara pembuatannya di Indonesia. Tempe merupakan hasil
 proses fermentasi kedelai yang terikat padat oleh mycellium dari  Rhysopus oligoporus
(Winarno, 1997).
Berbagai sifat tempe yang unggul sebagai berikut :
a. Mempunyai nilai biologi tinggi, mengandung 8 asam amino esensial.
 b. Lemak jenuh rendah.
c. Kadar vitamin B12 tinggi.
d. Mudah dicerna, jadi baik untuk segala umur.
e. Mengandung antibiotik dan berpengaruh baik pada pertumbuhan badan
f. Formula tempe untuk makanan bayi mempunyai nilai positif dalam pencegahan diare.
 

g. Tempe dapat memerangi bakteri E.coli (Winarno, 1997). Sudah diketahui bahwa
  produsen dalam memproduksi tempe melalui beberapa langkah, langkah pertama biji
kedelai yang telah dipilih dibersihkan dari kotoran, dicuci dengan air PDAM (air 
sumur) selama 1 jam kemudian setelah bersih kedelai direbus dalam air selama 2 jam.
Kedelai kemudian direndam 12 jam dalam air panas atau hangat berikutnya kedalai
direndam dalam air dingin selama 12 jam. Setelah 12 jam direndam kedelai dicuci dan
dikuliti (dikupas). Langkah kedua kedelai yang telah dikupas lalu direbus dalam
dandang untuk membunuh bakteri yang kemungkinan tumbuh selama perendaman,
kemudian kedelai diambil dari dandang diletakkan diatas tampah dan diratakan tipis-
tipis. Selanjutnya kedelai dibiarkan dingin sampai permukaan keping kedelai kering dan
airnya menetes habis. Sesudah itu kedelai dicampur dengan laru (ragi 2%) untuk 
mempercepat pertumbuhan jamur. Tahap peragian (fermentasi) adalah tahap penentu
keberhasilan dalam membuat tempe kedelai. Langkah ketiga bila campuran bahan
fermentasi kedelai sudah rata, campuran tersebut dicetak pada loyang (cetakan kayu)
dengan lapisan plastic atau daun yang akhirnya dipakai sebagai pembungkus. Plastik 
yang dipakai sebelumnya dilubangi (ditusuk-tusuk) gunanya untuk memberi udara
supaya jamur yang tumbuh berwarna putih. Proses percetakan atau pembungkus
memakan waktu 3 jam. Daun yang biasanya dipakai sebagai pembungkus adalah daun
 pisang (jati). Ada yang berpendapat bahwa rasa tempe yang dibungkus plastik menjadi
aneh dan tempe lebih mudah busuk (disbanding tempe yang dibungkus daun). Langkah
terakhir campuran kedelai yang telah dicetak dan diratakan permukaanya dihamparkan
di atas rak kemudian ditutup selama 24 jam. Setelah 24 jam, tutup dibuka dan campuran
kedelai diangin-anginkan selama 24 jam lagi. Setelah itu campuran kedelai telah
menjadi tempe siap jual. Supaya tempe dapat bertahan lama, tempe yang misalnya akan
menjadi produk ekspor dapat dibekukan dan dikirim ke luar negri dalam peti kemas
 pendingin (Winarno,1977).

E. Landasan Teori 
Terjadinya toksisitas logam dapat melalui beberapa jalan, yaitu inhalasi (melalui
 pernafasan), termakan, dan penetrasi melalui kulit. Hubungan antara lokasi industri dan
 

inhalasi debu adalah sangat nyata dalam proses keracunan logam (Darmono, 2001).
Kandungan Zn dalam tanah secara alamiah adalah sebesar 50 mg/g, jika kandungan Zn
dalam tanah melebihi normal maka tanaman yang ditanam di atasnya dapat
menyebabkan keracunan (Darmono, 1995). Kedelai merupakan sumber bahan baku
tempe dan tahu yang sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Menurut penelitian
yang ditelah dilakukan kedelai mengandung logam Fe 3,55 mg dan Zn sebesar 0,99 mg
(Ipin, 2007). Pertumbuhan kedelai sering kali terhambat karena keracunan aluminium
sehingga dapat mengurangi mutu atau nilai gizi dari kedelai tersebut dan jika kedelai
yang keracunan oleh aluminium dikonsumsi dapat menyebabkan keracunan (Danarti,
1996). Semua bahan pangan alami mengandung logam dalam konsentrasi rendah dan
selama persiapan makanan kemungkinan kandungan logam akan bertambah (Fardiaz,
1992). Logam kimia yang terlarut dari alat masak atau kontainer yang digunakan untuk 
mengolah dan menyimpan makanan dapat menyebabkan keracunan. Logam dan
senyawa kimia tersebut dapat terlarut umumnya karena makanan bersifat asam dan juga
karena adanya pemanasan sehingga dapat melarutkan logam dari peralatan yang
digunakan seperti alatalat yang terbuat dari aluminium, seng atau tembaga (Sartono,
2001). Selama proses pembuatan tempe dimungkinkan terjadinya pelarutan logam dan
dikhawatirkan akan didapati cemaran logam tertentu karena adanya proses pemanasan.

F. Hipotesis 
Dalam penelitian ini tempe mengandung logam Fe dan Zn dengan kadar tertentu
yang dibedakan menurut pembungkus (plastik dan daun) yang dijual di Pasar Kartasura.
 

Ammonium  ions prevent  methylation  of   uridine to  ribothymidine   in 


  Azotobacter vinelandii tRNA 

Hal ini menunjukkan bahwa tRNA dari Azotobacter vinelandii tumbuh di hadapan
amonium klorida tidak memiliki ribothymidine sementara yang tumbuh tanpa adanya
amonium yang garam mengandung nukleosida dimodifikasi ini. [32P] Dicap-tRNA dari
organisme ini tumbuh di medium yang mengandung garam amonium dicerna dengan
RNase T1 dan pseudouridinecontaining yang tetranucleotide, umum untuk semua tRNA
diisolasi dan dianalisis untuk nukleosida yang menggantikan ribothymidine tersebut.
Hal itu ditemukan uridin. Sel yang sebelumnya diberi label dengan [32P] - fosfat dalam
medium garam amonium dicuci dan diinkubasi dalam saltfree amonium menengah
untuk menguji apakah ribothymidine akan terbentuk atas penghapusan amonium yang
ion. Metilasi uridin tidak terjadiI.

Pengantar  
Metabolisme dari beberapa nukleosida dimodifikasi dalam tRNA
mikroorganisme adalah diketahui sensitif terhadap kondisi budaya. Spesies yang relatif 
  proporsi
dengan kondisi pertumbuhan termasuk 2-methylthio-N6-isopentenil-adenosin (Buck 
dan
Griffiths, 1981; Buu et al, 1981), 2-methylthioribosylzeatin (Ajitkumar dan Cherayil,.
1985a; Buck dan Ames, 1984; Morries et al, 1981), 5-methylaminomethyl-2-
thiouridine.
(Chackalaparampil dan Cherayil, 1981) dan 4-thiouridine (Ajitkumar dan Cherayil,
1985b). Kami telah mengamati bahwa ketika bakteri pengikat nitrogen, Azotobacter 
vinelandii dan Rizobium meliloti, yang tumbuh di hadapan garam amonium tRNA dari
organisme ini tidak memiliki ribothymidine (). Di sisi lain, ketika A. vinelandii
tumbuh
tanpa adanya garam amonium tRNA yang berisi  sejauh 1 mol / mol
(Ajitkumar dan Cherayil, 1982). , yang terjadi pada lengan yC dari tRNA adalah
salah satu
nukleosida dimodifikasi yang unik hadir dalam tRNA kebanyakan, kecuali metionin
 

inisiator 
tRNA dari eukariota banyak (Gauss dan Sprinzl, 1983). Ada sistem di mana
tRNA alami kekurangan T. tRNA tersebut telah terbukti sebagai baik sebagai orang-
orang yang mengandung  di dalam sintesis protein in vitro (Svensson dkk., 1971).
  Namun, tampak bahwa memainkan peran halus dalam sintesis protein, meskipun
fungsi yang tepat adalah tidak diketahui (Kersten dkk., 1981). Dalam sistem tertentu 
telah ditemukan untuk diganti dengan 2 '-Omethylribothymidine atau 2-
thioribothymidine (Gauss dan Sprinzl, 1983). Isi dari yang terakhir telah dilaporkan
meningkat dengan temperatur termofilik tertentu
organisme (Watanabe et al., 1980).

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan utama untuk mengidentifikasi nukleosida


yang menggantikan A. vinelandii  ketika dikultur dalam media yang mengandung
amonium garam. Arab Bahan dan metode Carrier-bebas H3 32 PO4 diperoleh dari
Bhabha Atomic Research Centre, Bombay. RNases T1 dan T2 berasal dari Sigma
Chemical Co, St Louis, Missouri, Amerika Serikat. Plastik didukung lapisan tipis piring
mikrokristalin selulosa dan DEAE-selulosa kertas yang dibeli dari Macherey-Nagel,
dan Schleicher dan Schull, Republik Federal Jerman, masing-masing. Pertumbuhan
 bakteri dan isolasi tRNA A. vinelandii OP (Wisconsin) ditanam dalam ketidakhadiran
dan dalam kehadiran amonium garam.

Dalam kasus pertama Burk-dimodifikasi nitrogen bebas menengah (Strandberg


dan Wilson, 1967) digunakan dan dalam kasus kedua 2,8 mg N / ml atau 0,49 mg N /
ml sebagai NH4 Cl ditambahkan ke dalam media nitrogen bebas. Konsentrasi garam
amonium digunakan sudah cukup untuk benar-benar menekan gen nitrogenase (Gordon
dan Brill, 1972). Sel ditumbuhkan dalam medium fosfat rendah di hadapan [32P]-fosfat
dan
tRNA berlabel diisolasi dan dimurnikan seperti yang dijelaskan sebelumnya (Ajitkumar 
dan Cherayil, 1982). Analisis [32P]-label produk [32P] Dicap-tRNA yang dikonversi
menjadi nukleotida oleh pencernaan dengan RNase T2 dan untuk oligonukleotida oleh
  pencernaan dengan RNase T1 Dua dimensi kromatografi lapis tipis (2-D TLC) dari
nukleotida dilakukan pada 10 × 10 cm pelat selulosa, 0,1 mm ketebalan, menggunakan
sistem pelarut asam isobutyric: 0,5 amonium hidroksida , 05:03 (V / v) pada dimensi
  pertama dan isopropanol: conc. HCl: air, 70:15:15 (v / v / v) dalam kedua dimensi
(Nishimura et al., 1967). Piring dikeringkan dan dikenakan autoradiografi. Pemisahan
 

dari 3 '-fosfat dari T, uridin dan pseudouridine () adalah dipengaruhi oleh turun
kromatografi kertas Whatman 1 kertas mm
menggunakan isopropanol: air: kerucut, amonia, 70:30:1 (v / v / v) sebagai sistem
 pelarut
(Brownlee, 1972). Elektroforesis tegangan tinggi dilakukan pada Whatman 3 mm
kertas atau DEAE-selulosa kertas dalam asam asetat-piridin-EDTA buffer, pH 3,5, di
40-60 V / cm menggunakan cyanol xylene dan asam fuchsin sebagai penanda pewarna
(Smith, 1967). Sampel radioaktif yang pulih dari kertas Whatman dan DEAE-selulosa
kertas dengan elusi dengan air dan 1,0  triethylammonium asetat, pH 10, masing-
masing
(Sanger dan Brownlee, 1967). Metilasi uridin untuk ribothymidine 269 Hasil Pengaruh
garam amonium pada produksi ribothymidine Dalam studi sebelumnya, ditemukan
  bahwa pada sel A. vinelandii tumbuh dengan kelebihan amonium klorida (2,8 mg N /
ml), tRNA benar-benar kekurangan T, sementara sel tumbuh tanpa adanya amonium
klorida terkandung  sejauh dari 1 mol / mol tRNA (Ajitkurnar dan Cherayil, 1982).
Dalam rangka untuk mencari tahu apakah ini adalah karena salah efek dari kelebihan
ion amonium, sel-sel tumbuh dengan amonium jauh lebih sedikit garam (0,49 mg N /
ml), hanya sedikit lebih tinggi dari yang dibutuhkan untuk menindas nitrogenease yang
gen (Gordon dan Brill, 1972). RNase T2 mencerna dari [32P] berlabel tRNA yang
diisolasi dari sel tumbuh dengan garam amonium rendah menjadi sasaran 2-D TLC dan
selanjutnya autoradiografi.

Autoradiogram menunjukkan tidak adanya Tp. Ini ditemukan reversibel, sel-sel


tumbuh dengan garam amonium, ketika disubkultur dalam adanya garam amonium
diproduksi Tp setelah beberapa generasi. Sebuah tergantung waktu Tp penampilan bisa
diperhatikan ketika amonium garam-sel tumbuh dicuci, diinkubasi dengan [32P]-fosfat
dalam medium nitrogen bebas dan terisolasi tRNA adalah dianalisis. Butuh waktu
sekitar 6 jam inkubasi untuk deteksi Tp bawah eksperimental kondisi yang digunakan.
Di sisi lain, dalam kasus sel yang sebelumnya tumbuh di tidak adanya ion amonium
kehadiran Tp dalam tRNA dapat dicatat dalam waktu sekitar 2 jam. Escherichia coli
diketahui mengandung  dalam tRNA nya. Dalam rangka untuk menguji apakah 
konten akan berubah dengan konsentrasi garam amonium, sel ditumbuhkan dalam
sintetik menengah di dua konsentrasi amonium klorida (0,49 mg dan 2,8 mg N / ml)
dan tRNA dianalisis. Isi  dari tRNA tidak semua terpengaruh oleh konsentrasi ion
 

amonium (hasil tidak disajikan). Identifikasi Tp menggantikan nukleotida Tidak adanya


Tp dalam A. vinelandii tRNA dapat disebabkan kurangnya metilasi dari uridin residu
 pada posisi ke-54 atau modifikasi lebih lanjut dari  baik '-Omethylribothymidine atau
untuk 2-thioribothymidine atau untuk setiap spesies yang tidak diketahui lainnya.
Dalam untuk mendirikan mana kemungkinan yang berbeda ada dalam kasus ini, Rnase
T1 mencerna dari [32P] berlabel tRNA dari sel-sel tumbuh di bawah dua kondisi yang
difraksinasi secara terpisah untuk mengisolasi pseudouridine mengandung
tetranucleotide yang paling umum untuk tRNA (Zamir et al, 1965;. Gauss dan Sprinzyl,
1983). Para RNase T1 mencerna pada elektroforesis pada selulosa DEAE-kertas pada
  pH 3,5 menunjukkan adanya 9 band di kedua sampel (gambar 2A). Band 2 dan 3 di
wilayah tetranucleotide (Sanger dan Brownlee, 1967) yang dielusi keluar, dicerna untuk 
mononucleotides dan dianalisis oleh 2-D TLC. Hanya Band 2 dari kedua sampel
ditemukan mengandung  p (Data tidak ditunjukkan). Kontaminasi dari band 2 oleh
spesies lain sudah jelas. Oleh karena itu selanjutnya dimurnikan dengan elektroforesis
  pada kertas Whatman 3 mm pada pH 3,5. Para autoradiogram memang menunjukkan
kontaminasi (2B gambar). Band utama (No 4) adalah dielusi keluar dan dianalisis untuk 
komposisi nukleotida tersebut.
Band dimurnikan itu dicerna dengan RNase T2 dan alikuot menjadi sasaran
elektroforesis pada kertas Whatman 3 mm pada pH 3,5. Dua titik intensitas yang sama
 pada
wilayah Cp dan Gp dan yang ketiga dengan intensitas dua kali lipat di wilayah  p
adalah diamati dalam kedua sampel (Gambar 2C). Kedua sampel memiliki kontaminasi
kecil
Ap. Radioaktivitas di setiap tempat diukur. Proporsi relatif dari radioaktivitas di tempat
yang telah 01:01:02 (tabel 1). Tp dan p bergerak dengan mobilitas 0,98 sehubungan
dengan Up pada pH 3,5 (Smith, 1967). Oleh karena itu rasio radioaktivitas dalam
  bintik-bintik (seperti dalam tabel 1) diharapkan bagi Tp mengandung tetranucleotide.
Karena rasio yang mononucleotides di tetranucleotide Tp-kurang juga tampak jelas
01:01:02 bahwa tempat karena mononucleotide yang menggantikan Tp juga bergerak 
dengan mobilitas mirip dengan Anot alikuot nya dari RNase T2 mencerna dari
tetranucleotide Tp-kurang dicampur 
dengan non-radioaktif tRNA mencerna dan mengalami 2-D TLC. Empat titik hampir 
intensitas yang sama diamati. Tiga dari mereka, seperti yang diharapkan, berada di
 posisi
 

Cp, Gp dan  hal Tanggal 4 bertepatan dengan tempat Up non-radioaktif A minor 


tempat di wilayah Tp juga bisa dicatat. Bintik-bintik radioaktif dipotong keluar dari
  piring dan radioaktivitas dalam masing-masing ditentukan. Jumlah radioaktivitas di
tempat itu, Cp 12, 230, GP 13, 120; Up 14, 370 dan p 11, 650, rasio yang 0,93: 1.00:
1.10: 0,89 untuk Cp, GP, Up dan  hal Radioaktivitas di wilayah Tp hanya y390 cpm.
Hasil ini menetapkan bahwa sampel tRNA dari A. vinelandii tumbuh di garam
ofammonium kehadiran telah Up di tempat Tp dan metilasi uridin di posisi ke-54 tidak 
terjadi. Tes dengan [32P] berlabel sel dicuci bebas dari garam-garam amonium Non-
metilasi residu uridin tRNA menyarankan dua kemungkinan. Baik enzim, uridin-5-
methyltransferase yang methylates U untuk  dihambat atau gen coding untuk enzim
tersebut ditekan. Jika inhibisi enzim oleh ion amonium terlibat, penghapusan garam
amonium harus menghasilkan metilasi residu U untuk T. Di sisi lain, jika gen telah
ditekan, enzim sintesis segar setelah penghapusan ion amonium akan diperlukan untuk 
  pembentukan T. Percobaan berikut ini dilakukan untuk membedakan antara
dua kemungkinan. A. vinelandii sel tumbuh hingga pertengahan fase log dengan [32P]-
fosfat dalam kelebihan garam amonium dicuci dua kali dengan normal saline dan ini
 prelabelled
sel diinkubasi dalam medium nitrogen bebas yang mengandung 100 pg / ml rifampisin
untuk 
  periode 2 jam Selain rifampisin adalah untuk mencegah sintesis enzim segar. tRNA
diisolasi dan dianalisis untuk Tp, itu tidak bisa terdeteksi (Gambar 4A).
Berkepanjangan inkubasi dengan rifampisin mengakibatkan lisis sel. Sel, diinkubasi
tanpa rifampisin juga tidak mengandung Tp di tRNA Namun ia melihat sebelumnya
 bahwa sel-sel yang sebelumnya tumbuh di tidak adanya nitrogen tetap dirawat di serupa
cara, diproduksi Tp di tRNA sekitar 2 jam. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak adanya
Tp di tRNA dari sel-sel tumbuh dengan adanya garam amonium itu bukan karena
 penghambatan reversibel dari enzim memodifikasi oleh ion-ion amonium. 

Diskusi
Sangat menarik bahwa tRNA dari A. vinelandii tidak memiliki  ketika organisme yang
tumbuh di media yang mengandung suatu garam amonium. Kurangnya  tidak dapat
karena cacat apa pun dalam gen terlibat dalam sintesis  sebagai A. vinelandii sel
menghasilkan  ketika tumbuh di tidak adanya amonia. R. meliloti, bakteri nitrogen
simbiosis memperbaiki juga telah ditemukan untuk  kurangnya dalam tRNA ketika
 

 berbudaya dengan adanya amonium klorida (Ajitkumar dan Cherayil, 1982). Menjadi
nitrogen simbiosis fixer R. meliloti tidak dapat dibudidayakan di tidak adanya nitrogen
tetap.  isi dari E. coli tRNA sekali tidak terpengaruh oleh perubahan konsentrasi ion
amonium (hasil tidak disajikan). Hal ini menggoda untuk berspekulasi bahwa fenomena
tidak adanya Tp di tRNA ketika organisme ini tumbuh dengan adanya garam amonium
adalah karakteristik dari bakteri pengikat nitrogen. Lebih bakteri seperti bagaimanapun,
harus dipelajari untuk membangun ini. Kebanyakan spesies tRNA mengandung
tetranucleotide, ~ T 'CG (Zamir et al., 1965). Analisis dari tetranucleotide dari A.
vinelandii tRNA telah menunjukkan bahwa ia mengandung U bukan  ketika
organisme tumbuh di hadapan ion amonium (angka 2 dan 3). Sejak jumlah
radioaktivitas dalam tetranucleotide itu sebanding dalam kedua kasus (lihat
tabel 1) U CG adalah tetranucleotide menonjol dalam tRNA dari sel-sel tumbuh dalam
keberadaan ion amonium. 2-D analisis TLC dari mencerna tetranucleotide
menunjukkan
kehadiran jumlah yang sangat kecil Tp, sekitar 3% dari GP (lihat teks dan gambar 3).
Hal ini menunjukkan bahwa bahkan di hadapan garam amonium sejumlah kecil Tp
adalah
disintesis. Jumlah ini tidak dapat dideteksi pada tRNA total (Gambar 1 A) tetapi bisa
dideteksi ketika menjadi diperkaya oleh pemurnian fragmen tetranucleotide
(Gambar 3). Jumlah jauh lebih besar dari tRNA berlabel dari itu untuk 2-D TLC
(gambar 1) adalah digunakan untuk analisis fragmen tetranucleotide (angka 2 dan 3).
Jika enzim yang methylates residu U dihambat oleh ion NH4, penghapusan dengan
mencuci akan mencegah hambatan dan alkohol residu U. Sebagai tRNA adalah
  prelabelled dengan [32P]-fosfat pembentukan  akan mengakibatkan penampilan
tempat radioaktif karena Tp. Karena ini tidak diamati (Gambar 4) itu adalah untuk 
disimpulkan bahwa enzim tersebut tidak hadir dalam sel atau itu ireversibel terhambat.
Dalam kasus sel yang sebelumnya tumbuh tanpa adanya ion amonium  diproduksi +
Metilasi uridin untuk ribothymidine 275
  bawah kondisi yang sama mencuci dan inkubasi dengan [32P]-fosfat (1B gambar).
Di bawah kondisi eksperimental yang digunakan dalam penelitian ini  akan terbentuk 
hanya jika enzim dapat methylate tRNA diproses. Setiap prekursor tRNA akan berubah
menjadi spesies matang pada saat sel-sel yang dipanen dan dicuci (lihat di atas). Sejak 
  pembentukan  diamati dalam satu kasus itu harus disimpulkan bahwa A. vinelandii
enzim, uridin-5-methyltransferase, dapat methylate tRNA matang. Dalam hal ini
 

menghormatinya tampaknya mirip dengan enzim E. coli yang dapat methylate matang
tRNA1 Gly dari bibit gandum (Marcu et al., 1978). Hal ini jelas dari hasil ini bahwa
garam amonium tidak inhibitor reversibel dari uridin-5-methyltransferase dari A.
vinelandii. Namun tidak jelas apakah itu merupakan ireversibel inhibitor atau represor.
Garam amonium yang dikenal sebagai represor dari jumlah sistem enzim seperti
nitrogenase, nitrat sintetase glutamin dan reduktase (Brill, 1980; Shanmugam dan
Hennecke, 1979). Mungkin, seperti nitrogenase yang gen uridin-5 methyltransferase
gen dari A. vinelandii, ditekan oleh amonium garam. Implikasi dari pengamatan dalam
fiksasi nitrogen tidak yang jelas. Nukleotida diubah pada tRNA yang diketahui terlibat
dalam ekspresi operon, contoh terkenal yang pseudouridine di histidin tRNA
Salmonella typhimurium dalam ekspresi operon histidin (Brenner et al., 1972).

R eferences 
Ajitkumar, P. and Cherayil, J. D. (1982) Curr. Sci., 51, 970.
Ajitkumar, P. and Cherayil, J. D. (1985a) J. Bacteriol., 162, 752.
Ajitkumar, P. and Charayil, J. D. (1985b) Curr. Sci., 54, 262.
Brenner, M., Lewis, J. ., Strauss, D. S., de Lorenzo, F. and Ames, B. N. (1972)  J.
 Biol. Chem., 247, 4333.
Brill, W. J. (1980)   Microbiol. Rev., 44, 449.
Brownlee, G. G. (1972) in  Determination of Sequences in RNA (eds T. S. Work and E.
Work) (Laboratory
Techniques in Biochemistry and Molecular Biology) p. 204.
Buck, M. and Griffiths, . (1981) Nucleic Acids Res., 9, 401.
Buck, M. and Ames, B. N. (1984) Cell, 36, 523.
Buu, ., Menichi B. and Heyman, T. (1981)  J. Bacteriol., 146, 819.
Chackalaparampil, I. and Cherayil, J. D. (1981) Biochem. Int., 2, 121.
Gauss, D. H. and Sprinzl, M. (1983)  Nucleic Acids Res., 11, r1.
Gordon, J. . and Brill, W. J. (1972)  Proc. Natl. Acad. Sci. USA, 69, 3501.
Kersten, ., Albani, ., Mannlein, ., Praisler, R., Wurmbach, P. and Nierhauss, K. H.
(1981) Eur. J.
 Biochem., 114, 451.
Marcu, K., Marcu, D. and Dudock, B. (1978)  Nucleic Acids Res., 5, 1075.
 

Morris, R. O., Regier, D. ., Olson, R. . Jr., Struxness, L. A. and Armstrong, D. J.


(1981) Biochemistry, 20,
6012.
 Nishimura, S., Harada, F., Narushima, U. and Seno, T. (1967)  Biochim. Biophys. Acta,
142, 133.

Sanger, F. and Brownlee, G. G. (1967)  Methods Enzymol., 12A, 361.


Shanmugam, . . and Hennecke, . (1979) in  Recent Advances in Biological Nitrogen
 F ixation (ed. . S. S.
Rao) (Bombay: Oxford and Inter. Book House) p. 227.
276 Ajitkumar and Cherayil 
Smith, J. D. (1967)  Methods Enzymol., 12A, 350.
Strandberg, G. W. and Wilson, P. W. (1967)  Proc. Natl. Acad. Sci. USA., 58, 1404.
Svensson, I., Isaksson, L. and Henningsson, A. (1971)   Biochim. Biophys. Acta, 238,
331.
Watanabe, K., Oshima, T., Iijima, K., Yamaizumi, Z. and Nishimura, S. (1980)  J.
 Biochem. (Jpn.), 87,  1.

Zamir, ., Holley, R. W. and Marquisee, M. (1965) J. Biol. Chem., 240, 1267. 


 

PENGGUNAAN BAKTERI NITRIFIKASI UNTUK BIOREMEDIASI


DAN PENGARUHNYA TERHADAP KONSENTRASI AMONIA
DAN NITRIT DI TAMBAK UDANG
oleh 
MUHAMMAD BADJOERI DAN TRI WIDIYANTO
Pusat Penelitian Limnologi - LIP1
Received 11 March, Accepted 16 July 2008
ABSTRAK 
Meningkatnya konsentrasi bahan organik pada tambak udang sebagai akibat pemberian
  pakan buatan (pelet) mempakan ha1 yang sulit dihindari walaupun dengan resiko
terjadinya penurunan kualitas air. Bioremediasi dengan memanfaatkan aktivitas bakteri
adalah salah satu upaya untuk mengatasi masalah penurunan kualitas air tambak. Telah
dilakukan penelitian pengamh pemberian bakteri nitrifikasi sebagai agen
  bioremediTujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian bakteri
nitrifikasi terhadap kondisi kualitas air tambak udang windu. Digunakan 2 tambak uji
yang luasnya masing-masing 2000 m', yaitu tambak uji dengan perlakukan bioremediasi
dan tambak kontrol (tanpa bioremediasi). Padat tebar benur yang digunakan 30 ekor per 
mZ. Penelitian dilakukan selama 120 hari dan pengambilan sampel air dilakukan secara
  berkala setiap 10 hari selama 4   bulan. Perlakuan bioremediasi dengan menebarkan
 bakteri nitrifikasi ke tambak udang dengan ratio penebaran: bakteri nitrifikasi : bakteri
denitrifikasi = 1 : 1, dengan kepadatan populasi bakteri lo9 upWmL. Dosis pemberian
  bakteri adalah pada tahap persiapan tambak sebanyak 150 L/Ha (tergantung kondisi
tambak), bulan ke 1 dan ke 2 sebanyak 50 Lha tiap 10 hari, bulan ke 3 dan ke 4
sebanyak 100 Lha tiap 5 hari. Hasil analisa kualitas air menuniukan oemberian bakteri
nitrifikasi seba-ea i a-ee n bioremediasi berpengaruh positif terhadap perbaikan kondisi
kualitas air tambak, dan konsentrasi ammonia dan nitrit berada dibawah ambang batas
konsentrasi toksik yang membahayakan udang yang dibudidayakan.
PENDAHULUAN
Budidaya udang windu (Penaeus monodon Fab.) merupakan usaha yang potensial dan
  bernilai ekonomi tinggi. Indonesia merupakan Negara yang mempunyai peluang besar 
untuk mengembangkan usaha ini. Pada tahun 1993 Indonesia adalah negara penghasil
udang windu terbesar ketiga di dunia setelah Thailand dan Equador (ANONYMOUS
1996), namun sejak tahun 1995 produksi udang di Indonesia sampai saat ini terus
mengalami penurunan produksi yang sangat berarti, yang disebabkan oleh pencemaran
 

liigkungan, akumulasi bahan organik dan penurunan kualitas air. Pencemaran


lingkungan perairan oleh bahan organik yang umumnya berasal dari limbah industri dan
domestik, yang dalam beberapa tahun terakhiir ini terus meningkat (GUNALAN 1993).
Pencemaran pada perairan budidaya selain berasal dari limbah industri clan domestik 
  juga berasal dari sisa pakan buatan (pelet) dan feces hewan yang dibudidayakan.
Kandungan protein pelet (pakan  udang buatan) cukup tinggi, yaitu sekitar 40 %,
sehingga pembusukan (perombakan) pelet akan menghasikan senyawa nitrogen
anorganik berupa N-NH3 / N-N&+ (amonidamonium) yang merupakan salah satu
senyawa toksik bagi udang (BOYD 1990). Menurut GARNO (2004) sekitar 90%
  protein yang terdapat pada tambak berasal dari pelet, hanya 22% yang dikonversi
menjadi biomassa udang dan 7% dimanfaatkan oleh aktivitas mikroorganisme,
sedangkan 14% terakumulasi dalam sedimen dan 57% tersuspensi pada air tambak.
Diestimasi terjadi akurnulasi senyawa nitrogen organik di tambak udang jumlahnya
sebesar 600 kghdtahun pada tambak yang bcrproduksi 10 ton/ha/th dengan konversi
  pakan 1,6. Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa semakin banyak penggunaan pelet
akan semakii besar terjadinya akumulasi bahan organik yang dapat memacu terjadinya
  proses terbentuknya senyawa metabolit toksik di dalam perairan tambak, sedangkan
  pemberian pelet akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan udang. BAKTERI
  NITRIFIKASI UNTUK BIOREMEDIASI TAMBAK  UDANG Tingginya akumulasi
 bahan organik di tambak udang dapat menimbulkan beberapa dampak yang merugikan
yaitu,
1). Memacu pertumbuhan mikroorganisme heteroirofk dan bakteri patogen,
2). eutrofkasi,
3). terbentuknya senyawa toksik (amonia dan nitrit), dan
4). menurunnya konsentrasi oksigen terlarut (WIDIYANTO, 2006).
Secara alamiah sistem perairan (tambak udang) mampu melakukan proses
 selfpurzjkation, namun apabila kandungan senyawa organik sudah melampaui batas
kemampuan   self purzj?cation, rnaka akumulasi bahan organik dan pembentukan
senyawa-senyawa toksik di perairan tidak dapat dikendalikan, sehiigga menyebabkan
menurunnya kondisi kualitas air bahkan kematian udang yang dibudidayakan
(BADJOERI et al. 2006). Senyawa amonia atau amonium dan nitrit dalam batas-batas
konsentrasi tertentu dapat menimbulkan dampak negatif (Tabel 1). Senyawa amonia
dan nitrit bersifat toksik bila konsentrasinya sudah melebihi ambang batas, namun
demikian mekanisme toksisitasnya bagi udang mash belum banyak diketahui dengan
 

  jelas. Konsentrasi amonia yang aman untuk budidaya udang 5  0,012 mg/L dan
konsentrasi maksimumsenyawa nitrit di perairan budidaya 5  4,4 mgIL (SCHWEDLER 
et  al. 1985). Beberapa upaya pengelolaan perairan tambak udang yang umumnya
  banyak dilakukan para petani tambak, antara lain teknik sedimentasi dengan
menggunakan kolam tandon air untuk menyimpan air sebelum air d i u k k a n kedalam
tambak, pemakaian kicir air untuk meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut dan
  penggunaan bahan kimia (antara lam saponin dan antibiotik) untuk mengantisipasi
hama dan penyakit. Namun upayaupaya tersebut belum memberikan had yang optimal
dalam meningkatkan hasil produksi udang. Salah satu upaya alternatif yang terus dikaji
dan dikembangkan ialah teknik bioremediasi, merupakan pendekatan biologis dalam
  pengelolaan kualitas air tarnbak dengan memanfaatkan aktivitas bakteri dalam
rnerombak bahan organik dalam sistem perairan budidaya. Beberapa jenis atau
kelompok bakteri diketahui mampu melakukan proses perombakan (dekomposisi)
senyawa-senyawa metabolit toksik, dan dapat dikembangkad sebagai bakteri agen
  bioremediasi untuk pengendalian kualitas air. Jenis atau kelompok bakteri tersebut
antara lain bakteri nitrifkasi, bakteri sulfur (pereduksi sulfit), dan bakteri pengoksidasi
amonia. Kelompok atau jenis bakteri tersebut perlu dikondisikan agar lebii aktif dalam
membantu proses perombakan, sehiigga dapat mengeliminasi senyawa-senyawa toksik 
tersebut dari dalam sistem perairan tambak. Beberapa produk bakteri agen bioremediasi
hasil penelitian telah dikomersilkan dan diaplikasikan di tambak pada saat ini,  antara
lain EM4, StarBIO, Aquazyme dan Super PS. Beberapa penelitian bakteri agen
 bioremediasi, antara lain dilakukan oleh MUSTAFA et al. (2001) dengan BADJOERI
& WIDIYANTO
Sumber  :  BOYD  1990,  CHIN & CHEN (1987) , CHEN & CHIN (1988),  BOYD &
FAST (1992) 
menggunakan bakteri  Bacillus sp. dan  Pseudomonas sp. yang dimokulasi secara
 bersamaan, sehingga mampu m e n d a n kandungan bahan  organic sedimen tambak 
udang sebesar 60% setelah inkubasi selama 56 hari. DEVARAJA ef al. (2002)
menggunakankan campuran bakteri  Bacillus sp.dan  Saccharomyces sp., serta
campuran dari  Bacillus sp.,  Nitrosomonas sp. dan  Nirrosobacter  sp. pada sistem
  budidaya udang. Pada penelitian ini digunakan bakteri nitrifikasi dan bakteri
denitrifikasi sebagai agen bioremediasi senyawa metabolit toksik arnonia dan nitrit di
tambak udang. Bakteri yang akan digunakan adalah hasil isolasi dan seleksi dari
 beberapa perairan tambak di Indonesia. Penggunaan bakteri nitirifikasi dan denitrifikasi
 

untuk menjaga keseimbangan senyawa nitrogen anorganik (amonia, nitrit dan nitrat) di
sistem tambak. Pendekatan bioremediasi ini diharapkan dapat menyeimbangkan
kelebihan residu senyawa nitrogen yang berasal dari pakan, dilepaskan bempa gas N2  1 
N20  ke atmosfir. Peran bakteri nitrifikasi adalah mengoksidasi amonia menjadi nitrit
atau nitrat, sedangkan bakteri denitrifikasi akan mereduksi nitrat atau nitrit menjadi
dinitrogen oksida (N20) atau gas nitrogen (Nz).
BAKTERI NITRIFIKASI UNTUK BIOREMEDIASI TAMBAK UDANG
Pemberian bakteri nitrifkasi dan denitrifkasi sebagai agen bioremediasi ke dalam
tambak udang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan bakteri yang berperan
dalam proses remineralisasi unsur h a nitrogen dan membantu proses purifhsi alarniah
(selfpurification) dalam siklus nitrogen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
kemampuan bakteri agen bioremediasi menjaga keseimbangan kondisi kualitas air di
tambak udang windu.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan pada tambak udang windu di daerah Karawang, Jawa Barat pada
  bulan Juni s!d September 2005. Tambak yang digunakan berupa 2 kolam uji yang
luasnya masing-masing 2000 m2. Kolam pertama sebagai tambak uji dengan
  perlakukan pemberian bakteri bioremediasi dan kolam kedua sebagai tambak kontrol
(tanpa perlakuan bioremediasi). Padat tebar 30 ekor per  mZ.  Lama penelitian satu
siklus pemeliharaan udang windu sekitar 120 hari, pengamatan dilakukan secara
  berkala setiap 10 hari. Setiap tambak dilengkapi dengan 2 unit kincir air dan 1 unit
aerojet. Perlakuan bioremediasi dengan menebarkan bakteri ke dalam tambak udang
dengan ratio penebaran bakteri nitrifikasi : bakteri denitrifkasi = 1 : 1. Dosis pemberian
 bakteri, pada tahap persiapan tambak sebanyak 150 L!ha (tergantung kondisi tambak),
 bulan ke 1 dan ke 2 sebanyak 50 L!ha tiap 10 hari, bulan ke 3 dan ke 4 sebanyak 100
L/Ha tiap 5 hari, dengan kepadatan p- opulasi lo9 upkfml. Isolat bakteri nitrifkasi dm
denitrifkasi yang digunakan hasil isolasi dari perairan tambak udang daerah Tanggerang
dan Serang, Jawa Barat dan tambak daerah Moramo-Kendari, Sulawesi Tengara. Hasil
uji genetika (PCR dan  s
16  rRNA), isolat bakteri dengan kodeASLT yang mempunyai
kemampuan aktivitas nitrifikasi rnirip (99%) denganPseudomonas stutzeri. Isolat
  bakteri dengan kode KDTS yang mempunyai kemampuan aktivitas denitrifkasi mirip
(99%) dengan Alcaligenes sp (WIDIYANTO 2006). Media pertumbuhan bakteri untuk  
 bakteri nitrifikasi dan denitrifikasi adalah media cair Sea Water Complete (bakto pepton
5g, ekstrak ragi lg, gliserol3g, akuades 250 ml dan air laut 750 mL) dan diinkubasi pada
 

kondisi aerojZik, pH 7,2 dan suhu ruang. Inkubasi baktri denitrifkasi pada pH dan suhu
yang sama dengan kondisi miboaerojZik (LUEKING et al., 1978). Inkubasi bakteri
selama 5 - 7 hari. Isolat siap ditebar ke dalam tambak udang pada hari ke 8 - 10 karena
masa pertumbuhan eksponensial. Parameter fisika-kimia kualitas air tambak yang
diamati meliputi: pH, suhu, oksigen terlarut (DO), salinitas, kecerahan, amonia, nitrit,
nitrat dan nitrogen total selama satu siklus pemeliharaan (sekitar 120 h i ) , (Tabel 2).
HASIL DAh' PEMBAHASAN
Hasil analisis kualitas air tambak menunjukkan pemberian bakteri bioremediasi
  berpengaruh terhadap kondisi kualitas air tambak, terutama terhadap konsentrasi
senyawa amonia, nitrit, nitrat, dan nitrogen total. Secara keseluruhan konsentrasi
senyawa-senyawa tersebut di tambak yang diberi perlakuan bakteri bioremediasi
(tambak uji) tampak lebi rendah Kondisi kualitas air pada awal pemeliharaan sampai
 pemeliharaan selama 50 hari konsentrasi amonianya masih rendah baik pada tambak uji
(0,041 - 0,157 mg/L) maupun pada tambak kontrol (0,006 - 0,132 mgL ) (Gambar 1).
Kondisi ini menunjukkan, bahwa konsentrasi senyawa nitrogen organik di tambak 
udang belum terlalu tinggi, ha1 ini keliiatan dari konsentrasi nitrogen totalnya yang
 berkisar antara 0,210 - 2,258 mg/L di tambak uji, sedangkan di tambak kontrol0,3 17 -
2,43 1 mg/L (Gambar 2). Selain itu juga terlihat sampai hari ke 50, konsentrasi amonia
dan nitrit di tambak udang rendah Kondisi ini menunjukan proses purifiasi alami di
tambak udang dapat berlangsung dan diduga bakteri bioremediasi yang ditambahkan
dapat beradaptasi dalam menjaga keseimbangan populasimikroorganisme di tambak 
udang. Pada pengamatan hari ke 10  konsentrasi amonia di tambak uji 0,142 mg/L dan
tejadi peningkatan pada hari ke 20  menjadi 0,157  mgL, akan tetapi selanjutnya
konsentrasi amonia tern mengalami penurunan pada hari ke 30 (0,877  m&), hari ke 40
(0,041  mg/L) sampai hari ke 50 (0,043  mg/L). Begitu pula halnya terjadi di tambak 
kontrol, dimana pada hari ke 10 konsentrasi amonia 0,110 mgL dan mengalami
  peningkatan pada hari ke 20 menjadi 0,132 mg/L, dan terns menurun menjadi 0,041
mg/L (hari ke 30), 0,006 mg/L (hari ke 40) dan 0,083 mg/L (hari ke 50). Konsentrasi
senyawa metabolit toksik di tambak udang, umumnya menunjukkan peningkatan pada
hari ke 15 setelah udang ditebar, yaitu amonia (NH3) di sedimen mencapai 8,5 m a ,
nitrat 0,93 mg/L, nitrit (NOz) 0,69 mg/L. Sedangkan konsentrasi nitrogen total terlamt
 pada hari ke 3 0,42 mgL (BUFFORD et  al., 2002). Setelah 50 - 60 hari pemeliharaan,
terjadi peningkatan konsentrasi amonia di tambak kontrol dari 0,083 mg/L menjadi
2,639 mg/L, sedangkan di tambak uji juga te rjadi peningkatan konsentrasi amonia
 

namun relatif lebih kecil peningkatannya, yaitu dari 0,043 mgL menjadi 0,137mgIL.
Hal ini menyerupai hasil penelitian yang diiakukan oleh SABAR & WIDIYANTO
(1998) yang menunjukkan adanya peningkatan senyawa organik pada system tambak 
semi-intensif terjadi mulai hari ke 60. Pada awal operasional tambak, konsentrasi
senyawa karbon organik pada sistem sedimen umumnya sebesar 41,O mgL dan pada
tambak udang umur 60 hari meningkat menjadi 140 mgL dan selain senyawa karbon
organik juga unsur nitrogen, fosfat dm sulfur banyak terkandung di dalam senyawa
organik yang berasal dari pakan udang. Memasuki masa pemeliharaan 70 - 80 hari
konsentrasi amonia baik pada tambak uji maupun kontrol relatif berfluktuasi, namun
cendrung terjadi peningkatan konsentrasi amonia, dimana pada tambak uji pada hari ke
80 konsentrasinya mencapai 0,301 mg/L dan di tambak kontrol 1,210 mgL., namun
 pada hari ke 80 - 100 terjadi lagi penurunan konsentrasi amonia, dan pada hari ke 120
terlihat konsentrasi a m o ~ ate rliat cendrung terus meningkat, pada tambak uji 0,756
mg/L, sedangkan pada tambak control 0,920 mg/L.Peningkatan konsentrasi amonia ini
sebagai akibat proses dekomposisi (amonifkasi) bahan-bahan organik yang berasal dari
sisa pakan, feces udang, plankton yang mati oleh bakteri heterotrofik dan apabila proses
selanjutnya yaitu nitrifikasi tidak berlangsung baik  maka  akan terjadi akumulasi
amonia di perairan tambak udang. Konsentrasi Ntrit di tambak udang baik di tambak uji
rnaupun di tambak kontrol cendemg terus mengalami peningkatan, terutama masa
 pemeliaraan 10 - 60 hari, bahkan sampai 70 hari di tambak kontrol (Gambar 3). Pada
tambak uji konsentrasi nitrit meningkat dari 0,008 mgL (hari ke 10) menjadi 0,127
mg/L (hari ke 60) atau meningkat sebanyak 0,116 mgL selama 50 hari, sedangkan
ditambak kontrol konsentrasi nitrit meningkat dari 0,011 mg/L ( hi  ke 10) menjadi 0,165
mg/L ( h i ke 70) atau meningkat sebanyak 0,154 mg/L selama 60 hari.
Hal ini terjadi karena adanya aktivitas bakteri nitrifikasi, yang pada kondisi
aerobii bakteri nitritasi (bakteri pembentuk nitrit) akan mengoksidasi amonia menjadi
nitrit, dan pada kondisi oksigen yang memadai proses ini akan berlanjut menjadi proses
nitratasi, nitrit akan dioksidasi menjadi nitrat oleh bakteri nitratasi (bakteri pembentuk 
nitrat). Gambar 4. memperlihatkan pada masa pemeliharaan udang 70 - 120 hari
konsentrasi nitrat relatif tinggi, (di tambak kontrol berkisar 0,321 - 0,996 mg/L dan di
tambak uji berkisar 0,222 - 0,757 mgL) karena hasil perombakan nitrit menjadi nitrat
 pada proses nitriiasi. Konsentrasi nitrit di tambak udang uji setelah umur  80 - 100 hari
  berfluktuasi, namun cenderung terns mengalami penurunan. Hal hi  diduga karena
aktivitas bakteri nitratasi yang mereduksi nitrit menjadi nitrat. Hasil analisis nitrit di
 

tambak udang uji juga memperlihatkan konsentrasi nitrityang lebii rendah dibandiig
tambak kontrol, ha1 ini menunjukan adanya pengaruh pemberim bakteri nitrifikasi
untuk bioremediasi perairan tambak udang.
Hasil pengukuran parameter kualitas air menunjukan bahwa, pH airpada tambak 
uii maupun tambak kontrol tidak 4menwiukan konsentrasi yangjauh berbeda, yaitu
 berkisar antara 8,09 - 8,49 pdatambak uji dan 8,00 - 8,85 pada tambak kontrol (Gambar 
5). Menurut AHMAD (1991) dan RHEINHEIMER (1985) bakteri di perairan dapat
tumbuh optimal pada kisaran pH antara 6,5 - 8,5 dan fluktuasi pH di perairan
Ine~pakatIp roses alami karena aktivitas mikroorganisme (bakteri dan fhgi). Kondisi pH
air tambak antara 7 - 9 mempakan kondisi yang mendukung untuk pemeliharaan ikan
atau udang (BOYD 1990). Nilai pH >7 rnenunjukkan air tambak teroksidasi dengan
  baii (RHEINHEIMER 1985), kondiii ini mendukung bakteri nitrifiii untuk 
mengoksidasi amonia rnenjadi nitrit dan nitrat. Oksigen terlarut (DO) di  dalam air 
mempakan parameter yang sangat penting, karena apabila konsentrasinya rendah (<50
% konsentrasi jenuh) menyebabkan tekanan parsial oksigen di dalarn air menjadi tidak 
cukup tinggi untuk proses penetrasi oksigen ke dalam lamella insang udang sehingga
menyebabkan udang mati lemas. Apabila terlalu lewat jenuh (>I 50 YO), penetrasi
oksigen ke dalam insang menjadi terlalu cepat, menyebabkan penyakit "gas bubble
disease" (AHMAD 1991) Konsentrasi oksigen terlarut di tambak uji maupun tambak 
control relatif tinggi yaitu antara 8,55 - 18,49 mg/L di tambak uji dan 7,95 - 18,60 mg/L
di tambak kontrol (Gambar 6). Hal ini dikarenakan proses fotosintesis oleh fitoplankton
di tambak (BOYD dan CHIANG dalam AHMAD 1991). Tingginya konsentrasi
oksigen terlarut di tambak udang diduga juga karena penetrasi oksigen oleh kin& air (2
unit) dan aerojet (1 unit) yang dipasang di tambak. Menurut AHMAD (1991)
konsentrasi oksigen terlamt pada waktu fajar (jam 04.00) dapat te rjadidefisk 
konsentrasi oksGen hingga &t?ncapai 1,54 mg/L, karena itu pemasangan alat pemasok 
oksigen (aerator)di tambak udang sangat diperlukan untuk menghindari kematian udang
akibat kekurangan oksigen.
Konsentrasi rata-rata oksigen terlarut di tambak uji (10,93 mg/L) dan di tambak 
kontrol(12,33 mg/L) layak untuk mendukung kehidupan ikan atau udang yang
dibudidayakan dan aktivitas mikroorganisme (bakteri) untuk melakukan vroses
  biogeokimia di perairan. Menurut ELLIS dalam BOYD (1990) pad'a kondisi &igen
dipeiairan rata-rata 3 mgk atau kurang dapat membahayakan ikan atau berbagai jenis
fauna air lainnya. Sedangkan menurut WEATON dalam BOYD (1990) pada
 

konsentrasi oksigen berkisar antara 2,s - 3,s mg/L ikan raibow trout mati dan tidak 
dapat turnbuh dengan baik pada oksigen 5 mgL. Pemeliharaan ikan pada kondisi
oksigen rendah yang term menerus &pat menyebabkan ikan mudah terserang infeksi
 bakteri patogen (SNIEZKO & PLUMB et al. dalam BOYD 1990). Konsentrasi oksigen
terlarut yang baik untuk pemeliharaan ikan yaitu > 5 mg/L (BOYD1990).
Konsentrasi oksigen terlarut pada tambak uji, sejak memasuki masa
 pemeliharaan 30 hari sampai 120 hari lebii rendah konsentrasinya disbanding tambak 
kontrol, ha1 ini kelihatan menunjukan adanya proses respirasi dan perombakan bahan
organik yang terjadi pada tambak uji lebih aktif   dibandiig di tambak kontrol.
Konsentrasi oksigen terlarut di tambak akan terjadi fluktuasi antara pagi, siang, sore dan
malam hari. Konsentrasi oksigen terlarut di tambak pada sore hari (jam 15.00-18.00)
dapat mencapai 15 - 16 mg/L di mush kemarau dan mencapai 8  mg/L di mush
 penghujan. Pada pagi hari (jam 04.00 - 06.00) di musim kemarau konsentrasi oksigen
terlarut mencapai 4 - 4,5 mg/L dan di mush hujan < 4 mg/L (BOYD 1990). Proses
 perombakan senyawa amonia sangat tergantung dengan keberadaan konsentrasi oksigen
terlarut di tambak. Menurut WICKINS (1985) udang windu berbobot 1,6 g
menghasilkan 0,96 mg N-N~3+/hari sedangkan udang yang berbobot 30 g
menghasilkan 0,3 mg N-NH3+/hari, dan apabila pakan yang diberikan 3 % dari berat
  biomassa udang, maka dalam satu hari akan diproduksi amonia sekitar 0,49 mg/L N-
  NH~' per hari, yang merupakan penjumlahan amonia yang diproduksi udang dan sisa
  pakan Untuk mengoksidasi amonia 0,49 mg1L per hari diperlukan oksigen sebanyak 
1,9 mg/L (AHMAD 1991). Pada malam hari diperlukan oksigen terlarut sebanyak 734
mg/L. Jika konsentrasi oksigen terlarut pada sore hari (jam 17.00) sebanyak 9 mg/L
maka konsentrasi oksigen terlarut pada pagi hari (jam 05.00) adalah 9 mglL dikurangi
7,54 mglL = 1,46 mglL (AHMAD 1991). Konsentrasi oksigen terlarut terendah untuk 
 budidaya udang adalah 3 mglL (POERNOMO 1988, CHOLIK 1988, BOYD 1990 dan
AHMAD 1991). Oleh karena itu untuk mengatasi kondisi ini diperlukan alat bantu
  pemasok oksigen ke dalam tambak, yaitu kincir air dan aerojet. Menurut AHMAD
(1991) kiicir air dan aerojet mempunyai efisiensi aerasi masing-masing sebesar 2,10 kg
02kW.jam dan 0,97 kg OzkW.jam. Menurut BOYD & AHMAD (1987) untuk 
menaikan konsentrasi oksigen terlarut dari 1, 46 mglL menjadi 3 mglL diperlukan
sekitar 7 kW.jam atau diperlukan sekitar 4 buah aerator (kincir)/ha untuk meningkatkan
oksigen terlarut sampai konsentrasi yang aman bagi kehidupan udang pada malam
 

hari (jam 24.00 - 01.00). Pada penelitian ini, tambak udang dilengkapi dengan 2 unit
kincir air dan 1 unit aerojet  (pompa penyemprot) di setiap tambak untuk memenuhi
kebutuhan oksigen di air tambak.
Suhu air selalu berkaitan dengan pH air, konsentrasi oksigen terlarut, salinitas
dan kelarutan amonia di perairan (BOYD 1990). Suhu air di tambak uji berkisar antara
30,5 - 31,7 OC dan kontrol 30,2 - 31,5 OC (Gambar 7). Pada kisaran suhu tersebut
udang masih dapat hidup normal, bahkan pada suhu sekitar 35 OC udang mash  dapat
hidup normal seperti pengamatan yang dilakukan oleh AHMAD (1991) di tambak 
 percobaan Maranak-Sulawesi selatan. Suhu optimal untuk pertumbuhan udang adalah
 berkisar antara 28 - 30 OC (BOYD 1990). Suhu rata-rata di tambak uji 3 1,17 OC dan
di tambak kontrol3 1,08 OC, kondisi suhu ini mendukung aktivitas bakteri dalam
melakukan proses perombakan bahan organik. Menurut RHEINHEIMER (1985) suhu
optimal amonifikasi dan nitrifikasi berkisar antara 30 - 35 OC. Salinitas (kadar garam)
di tambak uji berkisar antara 31,O - 33,62 '1, dm  tambak   kontrol berkisar 29,4 - 33,4
0100 (Gambar 8). Salinitas di tambak udang, di tambak uji maupun tambak kontrol
relatif cukup tinggi, karena saliiitas optimal air tambak untuk pertumbuhan udang
windu 20 '1, . Menurut AHMAD (1991) udang windu walaupun termasuk hewan
euryhaline dan masih dapat hidup normal pada saliitas 35 'I, sebaiknya dibudidayakan
  pada salinitas normal untuk perkembangannya yaitu 12 ± 20 0100, dan salinitas
tertinggi untuk pertumbuhan mikroorganisme halophilic (bakteri dan fungi), yaitu 25 -
40 '1, dan tumbuh optimal pada salintas 5 -20 '1, (RHEIWRIMER 1995).
`Tingginya kadar garam di tambak udang uji rnaupun control dienakan musim
kemarau sehingga salinitas di tambak terus meningkat karena proses penguapan air,
selain itu di lokasi penelitian relatif sulit untuk mendapatkan air tawar. Pada masa
  pemeliharaan 70 - 90 h i , salinitas air tambak menurunakibat pengenceran yang
disebabkan oleh hujan yang turun. Namun demikian kondisi salinitas air tambak 
diduga masih mendukung aktivitas bakteri dalam melakukan proses perombakan bahan
organik 
KESIMPULAN
Bakteri nitrifkasi yang di masukkan ke dalam tambak udang windu mampu
 beradaptasi dan  menjaga kestabilan konsentrasi amonia dan nittit, sehingga
konsentrasinya masih berada pada batas aman untuk budidaya udang. Pemberian
 bakteri n i t r i f h i sebagai agen bioremediasi ke dalam perairan tambak udang dengan
dosis 50 L/ha (udang umur 30 -60 hari) dan 100 L h (6 0 - 120 hari) dengan kepadatan
 

 populasi 10' upk/mL. setiap 10 hari berpengaruh positif terhadap perbaikan kualitas air 
tambak udang windu.

DAFTAR PUSTAKA
ANONYMOUS, 1996.  Aqua Farm News. Vol. XIV: No. 4 dan 5.

AHMAD, T. 1991. Pengelolaan Peubah Mutu Air Yang Penting dalam Tambak Udang
Intensif. Indonesia Fis heries Information System. Infs Manual Seri no. 25. Direktorat
Jenderal Perikanan dan International Development Research Centre. 40 hal. 

BADJOERI. M., G. S. HARYANI,  T. WIDIYANTO, W. RIYANTO, I.RUSMANA,


  N. H. SAD1 dan V. INDARWATI 2006.  Pemanfaatan   Bakteri NitrzjXmi dun
 Denitrz3kasi untuk   Bioremediasi Senyawa    Metabolit Toksik di Tambak Udang.
Laporan Tahunan. Program
Penelitian dan Pengembangan Iptek - Riset Kompetitif LIPI. DIPA BADJOERI &
WIDIYANTO Biro Perencanaan dan Keuangan LIPI dan Puslit Biologi LIPI. Bogor.
46 hal.

BOYD, C. E. 1990. Water quality in ponds for Aqua Culture. Alabama agricultural 
experiment station. Auburn University. 482 pp.  

BOYD, C.E. and A.W. FAST. 1992. Pond monitoring and management in. FAST,
A.W. and LESTER, L.J. (Eds).  Marine S hrimp Culture : Principles and Practices: 497
- 5 14.   BOYD, C. E. and T. AHMAD.  1987.  E valuation of Aeratorsfor C hannel 
Catfzsh Farming. Ala Agr. Exp. Sta., Auburn Univ., Ala., Bull. 584.  52 p. 

BUFORD, M. A., N.P. PRESTON, P.M. GILBERT and W.C. DENNISON. 2002.
Tracing the fate of "N-enriched feed in an intensive shrimp system.  Aquaculture. 206 :
199 - 216.CHIN, T. S. and J. C. CHEN. 1987. Acute Toxicity of Amonia to Larvae of 
the Tiger Prawn,   Penaeus monodon. Acuaculture, 66: 247-253. CHEN, J. C. and
CHIN, T.S. 1988. Joint Action of Amonia and nitrite on Tiger Prawn  Penaeus
monodon Postlarvae. .I Worls Aquaculture. S OC., 19:127-131.
 

CHOLIK, F. 1988.  Dasar-dasar  Bertambak Udang Intensij  Seminar Budidaya Udang


Intensif. Patra Utama,  Jakarta, 12-19. DEVARAJA, T.N., F.M. WSOFF and M.
SHARIFF. 2002. Changes in bacterial population and shrimp production in pond
treated with commercial microbial products. Aquaculture. 206 : 245 - 256.

GUNALAN, D. E. A. 1993.  Penerapan  Bioremediasi untuk Melenyapkan


 Polutan Organik dari Lingkungan. Makalah Diskusi Panel. Kongres Nasional
Perhimpunan Miobiologi Indonesia, Surabaya 2-4 Desember 1993. Univ. Erlangga. 13
hal.
 

Efektivitas Mengambang Micro-Manik  Bio-Filter untuk  Ikan 


Hias 
dalam Sistem R e-Beredar Akuakultur 

Abstrak 
Bio-filtrasi telah banyak digunakan dalam re-sirkulasi akuakultur sistem untuk 
menghapus limbah dan untuk mengubah amonia beracun dan nitrit menjadi produk 
akhir ikan hias yang aman dan organisme air lainnya. Namun, studi mikro-manik 
  penggunaan sebagai media filter belum diperluas dan dikembangkan secara
menyeluruh. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk membangun
sebuah biologis filter yang terbuat dari polietilen mikro-manik sebagai media filter dan
untuk menganalisa efektivitasnya dalam menghapus sampah serta dalam mengkonversi
  bahan organik beracun menjadi zat stabil. Bio-filter yang dibangun di bawah rotasi
molding proses. Tabung, selang, dan pipa yang terbuat dari polivinil klorida (PVC)
sementara pengencang yang terbuat dari stainless steel dan non korosif bahan.
Efektivitas dari bio-filter yang diukur dengan menggunakan permintaan oksigen
  biokimia (BOD) dan total padatan tersuspensi (TSS) analisis. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa bio-filter efisien cukup untuk menghilangkan padatan tersuspensi
dan BOD. Oleh karena itu, mikro ini-manik mengambang bio-filter dapat digunakan
dalam budidaya sistem.
Keywords: Micro-manik bio-filter, ikan hias, kembali beredar akuakultur sistem;
kebutuhan oksigen biokimia, total padatan tersuspensi.
1.  Pengantar Re-sirkulasi sistem akuakultur secara perlahan mulai berkembang di
Malaysia. Kebanyakan Malaysia akuakultur peternak cenderung untuk 
 beroperasi filtrasi mekanis dan biologis dalam tangki filtrasi filter yang terpisah.
Bahkan meskipun penelitian sebelumnya [1-5] telah membuktikan efisiensi
filter manik mengambang dalam melakukan baik mekanik dan filtrasi biologis
 pada satu unit, jenis filter belum banyak digunakan di Malaysia. Oleh karena itu,
ini Penelitian dilakukan untuk membangun mikro-manik mengambang bio-filter 
model pada biaya yang paling masuk akal dan untuk mengembangkan model
sehingga filter dapat diterapkan secara praktis, sesuai dan efektif untuk ikan air 
tawar di air hangat akuakultur aplikasi. Sebagian besar penyaring yang
digunakan dalam akuakultur manik aplikasi saat ini menggunakan 3 manik-
 

manik mm dengan kepadatan hanya beberapa kurang dari persen air. Media ini
 juga 50-100 kali lebih mahal, satuan luas permukaan per disediakan, dari yang 1
mm mengambang jenis media yang digunakan oleh Greiner dan Timmons [4].
Untuk kejelasan dalam makalah ini, kecil Media manik dan filter (1 mm
diameter) yang disebut sebagai filter mikro-manik untuk membedakan dari 3
mm reaktor manik. Istilah mikro-manik juga telah digunakan oleh peneliti lain
untuk tipe 1 mm manik media [6]. Sementara ada informasi yang cukup besar 
dalam literatur tentang karakteristik nitrifikasi untuk sebagian besar media di
saat ini menggunakan [7-10], tidak ada informasi kuantitatif mengenai
  penggunaan 1 mengambang polietilen mm media (mikro-manik-manik) yang
saat ini sedang digunakan dalam akuakultur aplikasi.
1.1 Bead filter pada proses perlakuan mekanik Filtrasi mekanik atau klarifikasi
adalah proses menghilangkan padatan tersuspensi dari air. Padatan
tersuspensi dalam sistem re-sirkulasi umumnya partikel kecil makanan
tercerna, bakteri, dan ganggang. Padatan tersebut cenderung mengurangi
kejernihan air dan juga mengurangi sejumlah besar oksigen. Filter manik 
menghapus padatan dari air dengan mekanisme yang berbeda. Mengejan fisik 
mungkin adalah mekanisme yang paling dominan menghapus lebih besar 
  partikel (> 50 mikron). Partikel yang lebih halus (<20 mikron) dikeluarkan
 pada tingkat yang lebih rendah dengan proses yang disebut bio-penyerapan.
Partikel-partikel ditangkap oleh bakteri biofilm pada permukaan manik-
manik. Semakin melewati padatan lebih ditangkap [11, 12].
http://astonjournals.com/faj 2 Riset Pasal
1.2 Bead filter pada proses pengolahan biologis Ada dua metode yang umum
digunakan untuk menghilangkan amonia dalam sistem air tawar: pertukaran
ion dan biologis filtrasi. Dalam sistem air garam, pertukaran ion bukanlah
alternatif karena dalam budaya air cepat jenuh semua situs adsorpsi pada
media pertukaran ion. Dengan demikian, filter biologis adalah satu-satunya
 banyak digunakan metode untuk menghilangkan amonia dan nitrit dari semua
 jenis sistem akuakultur. Filter biologis terdiri dari beberapa media padat yang
  berfungsi sebagai permukaan di mana bakteri dapat melampirkan dan
  berkembang. Filter manik secara khusus dirancang untuk memfasilitasi
  pertumbuhan yang cepat dari bakteri nitrifikasi dan heterotrofik baik yang
dalam sistem air tawar terdiri dari Nitrosomonas dan Nitrobacter spp.
 

Mikroorganisme tumbuh di ruang pori antara manik-manik, penggalian


organik terlarut dari perairan beredar memasuki filter dan menetralkan isi
amonia dalam hasil air terlarut dari kolam ikan. Tumbuh lebih lambat
nitrifiers, lapisan manik-manik, mengubah amonia beracun dan nitrit menjadi
  produk akhir yang stabil nitrifikasi [13]. Sebagai padatan dan biomassa
  bakteri menumpuk, tempat tidur mulai menyumbat, menghambat transfer 
oksigen dan nutrisi untuk bakteri dalam filter. Dengan demikian, urutan
 backwash perlu diterapkan [14].

2. Metode
2.1 Bahan pemilihan
2.1.1 Filter tangki Tangki filter yang terbuat dari polietilen. Untuk tujuan
keselamatan ketebalan tangki harus 0,2 m di untuk menahan tekanan
hidrolik yang dihasilkan oleh air yang mengalir dari kolam ke dalam
tangki. Ketika tangki diisi dengan air, mikro-manik akan mengapung
sampai ke tingkat leher tangki. Karena saluran air tabung terletak lebih
rendah daripada tingkat leher, sehingga tangki harus menjadi silinder 
dengan bentuk kerucut di bagian atas dari ruang untuk meminimalkan
mikro-manik mengisi daerah. Karena desain untuk filter biologi harus
mencegah sinar yang berlebihan untuk bakteri, tangki dicat berwarna
 biru untuk menyediakan kegelapan lengkap untuk diurnal bersepeda dari
rezim cahaya untuk bakteri nitrifikasi.
2.1.2 Filter media Polyethylene bubuk dipilih sebagai media filter. Volume
manik harus ¾ volume tangki. Para Manik-manik bola di bentuk dengan
diameter 1-2 mm. Polietilen mikro manik yang ditunjukkan pada
Gambar 1. Gambar 1: Polyethylene mikro-manik. Gambar 2: Struktur 
kimia dari polietilen. Polietilen adalah satuan berulang dari etilena
[C2H4] memiliki struktur kimia seperti yang ditunjukkan pada Gambar 
2.
2.1.3 Pipa dan fitting PVC pipa tekanan jadwal 40 umumnya dinilai ganda
untuk sistem tekanan air, serta limbah dan tiriskan aplikasi ventilasi,
memenuhi persyaratan dari American Society for Testing dan Material
[ASTM] Standar D2665. Alasan untuk memilih PVC adalah bahwa suhu
air di bawah 45 ° C tidak akan mempengaruhi migrasi dari PVC. Tabel 1
 

  berisi daftar properti untuk pipa PVC Jadwal 40. Bubuk Polyethylene
memiliki http://astonjournals.com/faj Perikanan dan Budidaya Jurnal,
Volume 2011: FAJ-28 3 karakteristik bahwa itu adalah non-berbahaya
  bagi ikan serta organisme hidup lainnya. Selanjutnya, polietilen telah
 biaya rendah, memiliki kehidupan rak panjang, dan tersedia di toko-toko
ritel.

2.2 mikro-manik Mengambang bio-filter operasi Setelah mikro-manik mengambang


  bio-filter itu dibuat, fungsi dan operasi yang diuji untuk memastikan nya
kemampuan kinerja. Bio-filter yang terhubung ke kolam 10 m2 dengan 20 Koi ikan
mas, Cyprinus carpio [rata-rata berat 2 kg] menggunakan pipa PVC dan fitting
Jadwal 40. Sebuah pompa submersible setengah tenaga kuda yang digunakan untuk 
memompa air dari kolam ke dalam bio-filter. Air disaring akan mengalir keluar 
dari bio-filter oleh hidrostatik tekanan dan kembali ke kolam, membentuk sistem
re-sirkulasi akuakultur. Diagram skematik dari tata letak aliran operasi ditunjukkan
  pada Gambar 3, dan mengambang mikro-manik bio-filter ditunjukkan pada
Gambar 4a dan Gambar 4b. Gambar 3: Operasi tata letak dari sistem re-sirkulasi
akuakultur menggunakan floating-manik mikro bio-filter.
http://astonjournals.com/faj 4 Penelitian Pasal Gambar 4a: Floating mikro-manik 
  bio filter. Gambar 4b: Floating mikro-manik bio-filter di kolam koi. Setelah
  beroperasi selama beberapa waktu, lumpur dari filtrasi cenderung menumpuk di
dalam tempat tidur. Kondisi ini menurunkan laju aliran pada titik keluar dari bio-
filter. Untuk mengatasi masalah ini, modus backwash diperlukan dalam rangka
untuk menghapus akumulasi lumpur di dalam packed bed. Untuk beralih dari
modus filtrasi ke modus backwash, aliran inlet terbalik sehingga, itu menjadi titik 
outlet. Filtrasi modus dimatikan dan air bersih [dari sumber air] dipasok ke dalam
 pipa outlet. Air bersih akan memasuki tidur tangki dari pipa outlet, dan mengalir 
melalui packed bed menyebabkan aliran turbulensi. Aliran ini akan menyebabkan
dikemas tidur menjadi nakal sehingga menghilangkan akumulasi lumpur terjebak 
 

antara partikel microbead tersebut. Lumpur ini akhirnya akan mengalir keluar dari
tangki melalui pipa inlet. Diagram skematik menyajikan filtrasi modus dan modus
  backwash ditunjukkan pada Gambar 5. Gambar 5a: modus Filtrasi. Gambar 5b:
  backwash modus. http://astonjournals.com/faj Perikanan dan Budidaya Jurnal,
Volume 2011: FAJ-28 5
2.3 Kinerja analisis Operasi bio-filter yang diamati selama tujuh hari. Dalam periode
ini, tes dilakukan dalam rangka untuk menguji nya kinerja efisiensi. Tes
Biochemical Oxygen Demand [Direksi] dan Total Suspended Solids [TSS] analisis.
Sampel diambil selama operasi bio-filter dan dikumpulkan dari pipa outlet untuk 
tujuh hari berturut-turut di 10:00
Sekitar 1,2 kg pakan diumpankan ke ikan [ikan berat rata-rata individu 2 kg] dua
kali sehari, di pagi hari pukul 9 pagi dan di sore hari pukul 3 sore. Perhitungan
dosis pakan didasarkan pada 3% dari berat ikan. Para makanan komersial
diproduksi oleh Fwusow Industry Co Ltd digunakan. Bahan pakan terdiri dari
gandum tepung, tepung ikan, tepung udang, tepung kerang, bibit gandum, tepung
krill, bubuk ragi, -karoten, lesitin, L-lisin, DL-metionin, minyak ikan, vitamin A,
vitamin D3, vitamin C, vitamin E, riboflavin, biotin, asam folat, kalsium
  pantothenate, kalsium fosfat, kolin klorida, niasin, para-aminobenzoic acid, besi
sulfat, mangan oksida, sulfat tembaga, seng oksida, magnesium sulfat, sulfat kobalt
[komposisi gizi, lihat Tabel 2]. Tabel 2: Nutrisi komposisi makanan koi [Fwusow
Industry Co Ltd]. Komposisi Gizi Tingkat Minyak mentah protein> 42% Minyak 
mentah lemak> 5% Serat kasar <4% Minyak mentah abu <12% Moisture <10%
2.3.1 kebutuhan oksigen biokimia [Direksi] tes Direksi analisis dilakukan untuk 
menentukan tingkat di mana oksigen digunakan oleh mikroorganisme dalam
dekomposisi bahan organik. Metode ini terdiri dari mengisi dengan sampel,
melimpah, botol kedap udara dari 30 mL kosong botol dan mengerami itu
  pada suhu tertentu 20 ° C selama 5 hari. Oksigen terlarut [DO] diukur 
awalnya dan setelah inkubasi, menggunakan DO meter. Direksi dihitung
dari perbedaan antara awal dan akhir DO seperti yang ditunjukkan dalam
  persamaan berikut [16]. Karena DO awal ditentukan sesaat setelah
 pengenceran dibuat, uptakes oksigen semua yang terjadi setelah pengukuran
ini dimasukkan dalam pengukuran BOD. DOI ± DOF BOD [mg / L] = ------
------------------ [1]
 

P Mana DOI = DO dari sampel yang diencerkan segera setelah persiapan


[mg / L], DOF = DO sampel diencerkan setelah 5 hari inkubasi pada 20 ° C
[mg / L],
P = volumetrik fraksi desimal dari sampel yang digunakan.
2.3.2 Jumlah total padatan tersuspensi [TSS] tes TSS dilakukan untuk menentukan
efisiensi bio-filter pada perangkap padatan tersuspensi di dalam sistem.
Sebuah wellmixed sampel disaring melalui filter standar ditimbang kaca-
serat dan residu ditahan pada filter dikeringkan hingga berat konstan dari
103 ° C sampai 105 ° C. Peningkatan berat filter mewakili total padatan
tersuspensi. Jika bahan ditangguhkan menyumbat filter dan memperpanjang
filtrasi, mungkin perlu untuk meningkatkan diameter filter atau mengurangi
volume sampel. Untuk mendapatkan perkiraan dari total ditangguhkan
 padatan, perbedaan antara padatan terlarut total dan total padatan dihitung
dengan menggunakan persamaan seperti yang ditunjukkan di bawah ini
[16]. [A - B] x 1000 Total Suspended Solids
[mg / L] = [2] ---------------------------------
Contoh Volume [ml] Di mana A = berat filter + residu dikeringkan [mg], B
= berat filter [mg]. http://astonjournals.com/faj Pasal 6 Penelitian 3. Hasil
dan Diskusi 3.1 Direksi Kebutuhan oksigen biokimia [Direksi] penentuan
secara umum telah diakui sebagai yang paling sesuai dan sensitif tes untuk 
deteksi dan pengukuran polusi. Ini telah lama diadopsi sebagai yang paling
Indeks kimia yang bisa dipercaya mengenai keadaan sebenarnya dari sungai
[17]. Telah ditemukan bahwa jika angka BOD lakukan tidak melebihi 4 mg
/ L air bebas dari tanda-tanda polusi. Komisi Royal terkenal klasifikasi
sungai sesuai dengan nilai-nilai BOD ditemukan dapat diterapkan di
  perairan di Malaysia [18] observasi. Sebelum instalasi [Hari 0] bio-filter,
nilai BOD itu tinggi [90 mg / L] dan ini Kondisi ini diklasifikasikan sebagai
sangat tidak tercemar sesuai dengan standar kualitas air untuk akuakultur 
Hal ini mengakibatkan konsentrasi tinggi senyawa organik di dalam kolam.
Kondisi ini akan mendorong mikroorganisme di dalam kolam untuk 
melakukan pekerjaan mereka dengan menguraikan materi organik menjadi
non-berbahaya zat. Kegiatan ini membutuhkan mikroorganisme untuk 
mengkonsumsi banyak oksigen dengan demikian, menurunkan terlarut
oksigen dan meningkatkan tingkat Direksi. Pada hari pertama bio-filter 
 

yang dipasang dan dioperasikan [Hari 1], BOD menurun menjadi 48 mg / L.


Pada titik ini, mikroorganisme tumbuh di filter untuk menguraikan bahan
organik, mengakibatkan pengurangan konsentrasi bahan organik, serta nilai
BOD. Hal ini disebabkan pengurangan organik materi, sehingga aktivitas
kurang oleh mikroorganisme dan konsumsi oksigen kurang. Pada hari
ketiga dan keempat, fisiensi bio-filter ini terbukti ketika nilai BOD turun
dari 9 mg / L untuk 4 mg / L. Pada titik ini, kondisi air diklasifikasikan
sebagai moderat dan sedikit tercemar. Kemudian, nilai BOD menurun
menjadi 1,5 mg / L pada kelima serta pada hari keenam dan ini
diklasifikasikan sebagai bersih. Dengan demikian, bio filter yang terbukti
efisien cukup untuk memberikan luas permukaan yang sesuai untuk bakteri
nitrifikasi untuk menjajah dan mengisi.
3.2 TSS Para padatan tersuspensi yang sangat pantas dalam air karena berbagai alasan.
Mineral dan organik tersuspensi hal dapat menyebabkan pendangkalan dan oleh
menyelimuti dasar sungai / laut menyebabkan kerusakan tanaman dan hewan.
Selanjutnya, bahan pasir dapat menyebabkan luka fisik untuk ikan [19].
http://astonjournals.com/faj Perikanan dan Budidaya Jurnal, Volume 2011: FAJ-28
7 Data yang dikumpulkan dari tes yang disajikan pada Tabel 4 merupakan hasil
dari tes saat TSS diamati selama tujuh hari. Sebelum bio-filter yang mulai
  beroperasi [Hari 0], nilai TSS itu tinggi [985 mg / L] dan Kondisi ini
diklasifikasikan sebagai sangat tidak tercemar sesuai dengan Standar Kualitas Air 
untuk Budidaya [lihat Tabel 3]. Hal ini karena konsentrasi tinggi zat organik serta
  padatan tersuspensi di dalam kolam. Pada hari pertama [Hari 1] bio-filter 
dinyalakan dan mulai beroperasi dan hari kedua [Hari 2], TSS yang menurun
menjadi 115 mg / L. Angka ini menunjukkan bahwa banyak padatan tersuspensi
telah dihapus dari kolam sehingga memperbaiki kualitas air, yang diklasifikasikan
sebagai sedikit tercemar. Kemudian, TSS di dalam kolam terus menurun turun dari
76 mg / L pada hari ketiga sampai 5 mg / L pada
keenam hari. Nilai-nilai ini jatuh di bawah penunjukan sangat bersih berdasarkan
 pada Standar Kualitas Air untuk Akuakultur. Dengan demikian, bio-filter terbukti
cukup efisien untuk menghilangkan padatan tersuspensi dalam kolam dan
mengubah kondisi air dari 'terlalu tercemar' ke `sangat bersih '. Oleh karena itu,
 bio-filter berfungsi dengan baik dan memenuhi tujuan yang diinginkan.
 

4.Kesimpulan Mikro-manik mengambang bio-filter pelabuhan dan mengandung


mikroorganisme yang diinginkan yang bisa membusuk organik materi dan
mengubahnya menjadi zat tidak berbahaya bagi ikan. Hal ini dapat digunakan untuk 
menggantikan kebutuhan kembar dari filter filter dan biologi mekanik. Sistem
sirkulasi ulang dan backwash yang diusulkan dalam studi ini dapat menyimpan
hilangnya air selama backwash. Air kehilangan selama backwash digantikan oleh
sekitar 20% dari baru bersih air. Menurut hasil studi [TSS dan BOD], dengan
kepadatan tebar ikan ini dan tingkat makan, penerapan bio-filter efektif dalam
mengendalikan, mempertahankan dan membela kualitas air. Selain itu, penggunaan
 bio-filter yang wajar bagi para petani karena harga yang rendah. Polietilen digunakan
sebagai media filter bisa memperpanjang umur simpan, media, dibandingkan dengan
media lain seperti pasir. Oleh karena itu, filter ini dapat diimplementasikan dalam
 budidaya untuk trah air tawar di Malaysia dan negara-negara lain. Namun demikian,
lebih lanjut penelitian harus menilai efikasi yang lebih intensif di bawah kondisi dan
akuakultur dilakukan pada filter ini untuk menyediakan lebih peralatan nyaman
untuk pengguna. Untuk indikator misalnya pH, suhu, dan melarutkan oksigen bisa
melekat pada filter untuk memungkinkan semua variabel-variabel yang akan
dimonitor dan dikendalikan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hall AG, 1999. A Comparative Analysis of Three Bio-filter Types Treating


Wastewater Produced in Recirculating Aquaculture Systems. Fisheries and
Wildlife Sciences, Virginia Polytechnic Institute and State University, Virginia.
2. Westerman PW, Losordo TM, Wildhaber ML, 1996. Evaluation of various biofilters
in an intensive recirculating fish production facility. Transactions of the
American Society of Agricultural Engineers, 39: 723-727.
3. Twarowskaa JG, Westermana PW, Losordo TM, 1997. Water treatment and waste
characterization evaluation of an intensive recirculating fish production system.
Aquacultural Engineering, 16: 133-147.
 

4. Greiner AD, Timmons MB, 1998. Evaluation of the nitrification rates of microbead
and trickling filters in an intensive recirculating tilapia production facility.
Aquacultural Engineering, 18: 189-200.
5. Smith M, 2003. Biological filters for aquaculture. In: Technical and Commercial
Information, L.S. Enterprises, Fort Myers, Florida.
[http://www.biofilters.com/webfilt.htm]
http://astonjournals.com/faj8 Research Article
6. Dean RC, Karkare SB, Ray NG, et al., 1988. Large scale culture of hybridoma and
mammalian cells in fluidized bed reactors. In: Bioreactor Immobilized Enzymes
and Cells: Fundamentals and Applications. p. 128, Elsevier Applied Science,
London.
7. Grady CXPL, Lim HC, 1980. Biological wastewater treatment. Marcel Dekker, New
York.
8. Tanaka H, Dunn IJ, 1982. Kinetics of biofilm nitrification. Biotechnology and
Bioengineering, 24: 669-689.
9. Westerman PW, Losordo TM, Wildhaber ML, 1993. Evaluation of various biofilters
in an intensive recirculating fish production facility. In: Proceedings of an
Aquacultural Engineering Conference, 21-23 June 1993, pp. 326-334, ASAE
Publication 02-93, St. Joseph, MI, Washington.
10. Wheaton FW, Hochheimer JN, Kaiser GE, et al., 1994. Nitrification filter 
  principles. In: Aquaculture Water Reuse Systems: Engineering Design and
Management. M.B, T., and Losordo, T. S., (eds), Elsevier, Amsterdam.
11. Selective Koi Sales, 2011. Econobead filters. Hainford, UK. `
[http://www.selectivekoisales.co.uk/shop/index.php?cPath=67_17]
12. Russel Water Gardens, 2011. The HydroBead Vortex. Redmond, WA.
[http://www.russellwatergardens.com/Filters/hydrobeadvortex-
3.php?PHPSESSID=394272e7ca0fa54533fbe7981df4c0a9]
13. Colt JE, Amstrong DA, 1981. Nitrogen toxicity to crustaceans, fish, and molluscs.
In: Bioengineering Symposium for Fish Culture [Jallen, L., and Kinney, E. C., eds],
Fish Culture Section of the American Fisheries Society, Bethesda, Maryland, USA.
14. Malone RF, Drennan D, Stahl C, et al., 2000. Development rationale for the use of 
marine recirculating biofilters to simplify management strategies and reduce costs
associated with marine aquaculture systems. In: 3rd International Conference on
 

Recirculating Aquaculture System, Aquaculture Network Information Center 


[AquaNIC.org], Roanoke, Virginia.
15. Spears Manufacturing Company, 1999. PVC Schedule 40 Fittings, Performance
Engineered and Tested.
[www.kthsales.com/website/vendors/Spears/PDF/pvc40.pdf]
16. American Public Health Association, American Water Works Association, and
Water Pollution Control Federation, 1995. Standard methods for the examination of 
water and wastewater, 19th Edn, APHA, Washington D.C.
17. Royal Commission on Sewage Disposal, 1912. Standards and tests for sewage and
sewage effluents discharging into rivers and streams. Vol. 1. Cmd. 6464, H.M.S.O.,
London.
18. Jabatan Perikanan, 1984. Water quality for aquaculture in Malaysia. In: Risalah
Perikanan Bil.20, Kementerian Pertanian Malaysia, Kuala Lumpur.
19. Alabaster JS, Lloyd R, 1982. Water quality criteria for freshwater fish. 2nd Edition,
Food and Agriculture Organization of the United Nations, Butterworth's,
London.
 

STUDI PENENTUAN KOEFISIEN BIODEGRADASI AIR 


LIMBAH
DOMESTIK INFLUEN BOEZEM MOROKREMBANGAN  

Abstrak  :
Boezem Morokrembangan merupakan muara dari saluran drainase yang ada di
Kota Surabaya. Boezem ini telah mengalami pencemaran berat oleh limbah domestik 
sehingga kemampuan   self purification-nya berkurang. Potensi   self purification suatu
 badan air dapat dilihat dari nilai koefisien biodegradasi. Pada penelitian ini dilakukan
analisis secara batch terhadap sampel air dari influen Boezem Morokrembangan untuk 
mendapatkan nilai koefisen biodegradasi. Analisis dilakukan dengan melihat hubungan
antara perubahan konsentrasi substrat (nilai PV) dan biomassa (MLSS) setiap 3 jam
selama 24 jam proses aerasi. Kondisi optimum aerasi dan rasio BOD5/COD didapatkan
  pada penelitian pendahuluan. Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan rasio
BOD5/COD sampel sebesar 0,5 dan kodisi optimum aerasi terjadi pada sampel air 
dengan konsentrasi BOD5 terendah dengan proses agitasi skala 6 magnetic stirrer.  Nilai
koefisien biodegradasi sampel air dengan PV awal 23,384 mg/L, 72,048 mg/L dan
293,88 mg/L berturut-turut adalah 0,015/jam, 0,00311/jam dan 0,002/jam.
1. Pendahuluan  

Boezem Morokrembangan yang merupakan muara dari saluran drainase dan


 berfungsi
sebagai pengendali banjir di Kota Surabaya, saat ini telah tercemar berat oleh limbah
domestik. Hal ini mengakibatkan boezem tidak dapat bekerja dengan baik sesuai
dengan fungsinya. Secara alamiah boezem memiliki kemampuan  self purification dan
kemampuan untuk mengolah bahan pencemar yang masuk kedalamnya, namun karena
 besarnya beban bahan pencemar yang masuk ke boezem menyebabkan kemampuan self 
 purification   berkurang. Salah satu parameter yang dapat menunjukkan kemampuan self 
 purification suatu badan air adalah koefisien biodegradasi. Nilai koefisien biodegradasi
merupakan parameter penting yang menunjukkan potensi fisik biokimia suatu badan air 
untuk memurnikan diri ( self purification ).

Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah berapa persentase
 jumlah
 

  bahan organik biodegradable   pada air limbah influen Boezem Morokrembangan,


 bagaimana
kondisi optimum aerasi yang akan digunakan pada penelitian ini, dan berapa nilai
koefisien
 biodegradasi air limbah influen Boezem Morokrembangan.

Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mengetahui persentase jumlah bahan


organik 
biodegradable yang terkandung dalam air limbah influen Boezem Morokrembangan
dan
mengetahui kondisi optimum aerasi yang dapat digunakan dalam penelitian ini.
Sedangkan tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan nilai koefisien
  biodegradasi air limbah domestik influen Boezem Morokrembangan. Nilai koefisien
  biodegradasi yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
salah satu referensi dalam evaluasi kinerja dari Boezem Morokrembangan.
Air Boezem Morokrembangan memiliki karakteristik yang berfluktuasi setiap
harinya, tergantung kualitas dan kuantitas air yang masuk ke dalamnya. Namun
demikian, berdasarkan pada Peraturan Daerah Kota Surabaya No. 02 Tahun 2004,
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, Boezem
Morokrembangan diklasifikasikan dalam badan air kelas III yaitu air yang
 peruntukannya dapat dipergunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar dan air payau,
 peternakan, air untuk mengairi pertamanan, dan/ atau peruntukan lain.
Biodegradasi adalah reaksi biologis, baik aerobik maupun anaerobik, yang
mengubah
senyawa organik pencemar menjadi karbondioksida ataupun substansi lain yang tidak 
lagi
  berbahaya. Proses biodegradasi dapat berlangsung secara efektif jika tersedia
lingkungan yang sesuai untuk kehidupan mikroorganisme. Yang dimaksud dengan
lingkungan yang sesuai antara lain adalah terpenuhinya kebutuhan nutrisi
mikroorganisme dan faktor lingkungan seperti temperatur dan pH yang sesuai, serta
terpenuhinya kebutuhan oksigen untuk respirasi (Benefield and Randall, 1980).
Kadang-kadang proses degradasi alamiah terjadi di lingkungan tercemar tanpa
membutuhkan intervensi manusia, namun terkadang beberapa derajat intervensi
dibutuhkan untuk menstimulasi biodegradasi (Alvarez and Illman, 2006). Salah satu
 

  bentuk intervensi manusia dalam menstimulasi biodegradasi adalah dengan


memasukkan udara/ air kaya oksigen (aerasi) ke dalam badan air. Salah satu kegunaan
dari aerasi pada pengolahan air limbah adalah memberikan suplai oksigen pada proses
 pengolahan biologi secara aerobik. Pengaruh lamanya waktu pada proses oksidasi akan
mempengaruhi kemampuan mikroorganisme untuk mendegradasikan bahan organic
yang terdapat dalam air buangan. Semakin lamanya waktu yang diberikan pada proses
oksidasi maka akan memberi kesempatan bagi mikroorganisme untuk tumbuh dan
melakukan degradasi bahan organik. (Droste,1997).

Pada t=0, substrat dan nutrien berlimpah, dan keberadaan populasi biomassa
sangatlah
sedikit. Sebagai akibat dikonsumsinya substrat, empat fase pertumbuhan yang berbeda
terjadi, yaitu: fase lamban (lag phase), fase pertumbuhan eksponensial ( exponential 
  growth phase), fase stasioner (  stationary phase), dan fase kematian (death phase/ 
endogenous decay phase ) (Metcalf and Eddy, 2003).
Kinetika pertumbuhan mikroba menentukan oksidasi (penggunaan) substrat dan
 produksi biomassa, yang menyumbang konsentrasi TSS dalam reaktor biologis. Karena
air limbah penduduk dan industri mengandung sejumlah substrat, konsentrasi senyawa
organik paling sering ditunjukkan dengan nilai COD biodegradable atau uBOD, yang
mana keduanya terdiri atas komponen biodegradable terlarut, koloid, dan partikulat
(Metcalf and Eddy, 2003). Zat organik dalam air juga dapat diketahui dengan
menentukan angka permangantanya. Yang dimaksud dengan nilai permanganat
(KMnO4) adalah jumlah miligram Kalium Permanganat yang dibutuhkan untuk 
mengoksidasi zat organik yang ada dalam air. Walaupun KMnO4 sebagai oksidator 
yang dipakai tidak dapat mengoksidasi semua zat organik yang ada, namun cara ini
sangat praktis dan tepat pengerjaannya (Sutrisno, 2002). Satu kegunaan utama dari
operasi biokimia adalah dalam mengurangi atau menghilangkan bahan organik terlarut
yang dapat digunakan sebagai sumber makanan oleh mikroorganisme yang ada. Ketika
hal ini terjadi, sebagian dari karbon diubah menjadi karbondioksida dan sisanya diubah
menjadi materi sel yang baru. Karbondioksida terlepas sebagai gas dan materi sel
dihilangkan dalam operasi fisik menjadikan air limbah terbebas dari bahan organik asli
(Grady and Lim, 1980).
 

Laju keseluruhan dari reaksi biologis tergantung pada aktivitas katalitis enzim
dalam reaksi yang jelas. Kinetika enzim telah didefinisikan oleh Michaelis-Menten
untuk reaksi tunggal yang meliputi substrat tunggal. Bentuk persamaan yang sama
dapat digunakan pada banyak kasus untuk menunjukkan kinetika yang diobservasi
dengan banyak substrat dan reaksi kultur campuran yang terjadi di dalam proses
 pengolahan air limbah.
Dalam meninjau ekspresi kinetika yang digunakan untuk menggambarkan
  penggunaan substrat dan laju pertumbuhan biomassa, sangat penting diingat bahwa
ekspresi yang digunakan dalam pemodelan proses biologis semuanya adalah empiris,
 berdasarkan nilai koefisien yang ditentukan melalui percobaan.

2. Metodologi 
Untuk mencapai tujuan penelitian ini, kerangka penelitian yang digunakan
adalah merumuskan ide studi, melakukan peninjauan pada pustaka yang ada,
melaksanakan penelitian pendahuluan dan penelitian utama di laboratorium, mengolah
data dan membahas hasil penelitian, serta menarik kesimpulan.

Penelitian Pendahuluan  
Analisis untuk mengetahui persentase jumlah zat organik  biodegradable dalam air 
limbah yang masuk ke Boezem Morokrembangan Selatan dilakukan di laboratorium
dengan cara mengukur rasio konsentrasi BOD5 dan COD dari sampel air. Sampel air 
diambil dari masing-masing inlet boezem yaitu Saluran Purwodadi dan Saluran Greges.
Analisis ini dilakukan selama 3 hari berturutturut. Analisis penentuan kondisi optimum
aerasi bertujuan untuk membandingkan proses aerasi secara difusi dengan proses aerasi
secara mekanik pada berbagai konsentrasi BOD5. Kondisi optimum ditentukan dengan
memilih proses aerasi yang paling efektif dalam menaikkan dan menurunkan
konsentrasi DO dalam sampel air dengan konsentrasi BOD5 yang bervariasi.

Penelitian Utama 
 

Analisis penentuan koefisien biodegradasi dilakukan dalam skala laboratorium dengan


 proses batch dan dilaksanakan pada kondisi optimum aerasi yang telah ditentukan pada
analisis sebelumnya. Prosedur analisisnya adalah sebagai berikut :
- dimasukkan sampel air dengan tiga konsentrasi PVs awal yang berbeda ke dalam tiga
  buah reaktor, dimana volume masing-masing reaktor adalah 1 L. Pada reaktor 1 dan
reaktor 2 digunakan sampel air limbah asli dengan konsentrasi PVs awal berturut-turut
adalah 23,384 mg/L dan 72,048 mg/L . Sedangkan pada reaktor 3 digunakan sampel air 
limbah asli dengan penambahan glukosa sehingga konsentrasi PVs awal menjadi
293,88 mg/L.
- Dilakukan proses aerasi terhadap ketiga reaktor tersebut secara kontinyu selama 24
 jam
- Disampling pada masing-masing reaktor dan dilakukan analisis terhadap parameter 
PVs dan MLSS pada t aerasi =.0, 3 jam, 6 jam, 9 jam, 12 jam, dan 24 jam.
- Kondisi operasi dalam reaktor dijaga agar volumenya tetap 1 L, pH antara 6-8, dan
konsentrasi
DO > 2 mg/L.

Dari hasil analisis di atas, dilakukan pengolahan data hingga diperoleh nilai
koefisien
  biodegradasi. Selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan dari keselruhan analisis
yang telah
dilaksanakan.

3. Hasil  dan Pembahasan  

   Penelitian Pendahuluan
Rasio BOD5/COD air limbah menunjukkan persentase jumlah bahan organik 
biodegradable dari jumlah bahan organik total yang terkandung di dalam air limbah
tersebut. Menurut Alaerts dan Santika (1984), perbandingan rata-rata antara BOD5 dan
COD juga dapat menunjukkan jenis dari air limbah. Perbandingan rata-rata BOD5 dan
COD untuk bermacam-macam jenis air dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini.  
 

Rasio BOD5/COD Jenis Air 


0.4 sampai 0.6 Air buangan penduduk 
0.6 Air buangan penduduk setelah pengendapan primer 
0.2 Air buangan penduduk sesudah diolah secara biologis
0.1 Air sungai yang tidak tercemar 
0.6 sampai 0.65 Air beracun industri organis tanpa keracunan
0.6 sampai 0.62 Air buangan industri inorganis atau beracun

Selain itu, jika rasio BOD5/COD untuk air limbah yang tidak terolah adalah 0,5
atau lebih, limbah tersebut dianggap sebagai limbah yang mudah terolah secara
 biologis. Jika rasionya di bawah kira-kira 0,3 maka ada dua kemungkinan, yaitu bahwa
limbah tersebut mengandung komponen toksik atau diperlukan mikroorganisme yang
telah diaklimatisasi dalam proses stabilisasinya (Metcalf and Eddy, 2003).
Pada penelitian ini pengukuran konsentrasi BOD5 dan COD dilakukan di
laboratorium selama tiga hari berturut-turut, dimana pengambilan sampel dilakukan saat
kondisi cuaca tidak sedang hujan. Dari penelitian yang dilakukan selama tiga hari
  berturut-turut terhadap sampel air dari influen Boezem Morokrembangan didapatkan
data-data seperti yang tercantum pada Tabel 3.

Lokasi   Tanggal  [BOD5]  [COD]  R asio  R asio  rata-


Sampling   Analisis   ( mg/L)  ( mg/L)  BOD5/COD  rata 
BOD5/COD 
Saluran 2 Mei 2010 12 24 0.500 0.484
Greges 3 Mei 2010 38 80 0.475
4 Mei 2010 65 136 0.478
Saluran 2 Mei 2010 23 48 0.479 0.474
Purwodadi 3 Mei 2010 19 40 0.475
4 Mei 2010 30 64 0.469

Dari hasil analisis laboratorium di atas diketahui bahwa perbandingan rata-rata


BOD5/COD air limbah influen Boezem Morokrembangan, baik di Saluran Greges
 

maupun Purwodadi menunjukkan nilai yang hampir sama yaitu mendekati 0,5. Data ini
menunjukkan bahwa hampir 50% kandungan bahan organic dalam air limbah influen
Boezem Morokrembangan bersifat biodegradable. Data ini juga menunjukkan bahwa
air limbah yang masuk ke boezem, baik dari Saluran Greges maupun Purwodadi
termasuk kategori air buangan penduduk yang belum terolah, dan tidak tercemar oleh
air buangan industri baik organik maupun anorganik. Selain itu, dapat disimpulkan
 bahwa metode pengolahan yang cocok digunakan untuk mengolah air boezem adalah
dengan pengolahan biologis (untuk mengolah kandungan bahan organik  biodegradable)
yang dikombinasikan dengan pengolahan secara fisik. Sedangkan pengolahan secara
kimia kurang cocok digunakan untuk mengolah air boezem karena salah satu kerugian
signifikan dari pengolahan secara kimia adalah  sludge yang dihasilkan besar (Metcalf 
and Eddy,2003). Hal ini dapat mempercepat terjadinya pendangkalan pada boezem.
Kerugian lainnya adalah diperlukannya penanganan lebih lanjut terhadap  sludge yang
dihasilkan dari pengolahan secara kimia.

Penelitian pendahuluan berikutnya adalah penentuan kondisi optimum aerasi.


Pada
  penelitian ini, digunakan aerator tipe diffuser , yaitu menggunakan air pump yang
dilengkapi dengan air diffuser  dan aerator tipe mekanik (mechanical aerators), yaitu
dengan menggunakan magnetic stirrer  untuk aerasi dengan cara agitasi (memanfaatkan
turbulensi). Aerasi dengan melepaskan  gelembung udara dilakukan dengan tiga variasi
debit udara yaitu 1,5 ml/menit, 3 ml/menit, dan 4  ml/menit. Sedangkan aerasi dengan
cara agitasi menggunakan magnetic stirrer  dilakukan dengan  dua variasi kecepatan
yaitu pada skala 6 dan skala 8. Variasi sistem aerasi ini diterapkan pada air   limbah
influen boezem dengan tiga variasi konsentrasi BOD5 yaitu 12 mg/L, 18 mg/L dan 37
mg/L.
Kondisi optimum aerasi ditentukan dengan cara membandingkan tiap variasi
 berdasarkan
laju kenaikan kadar oksigen terlarut saat aerasi dan laju penurunannya saat aerasi
dihentikan. Laju kenaikan kadar DO ditentukan dengan membagi kenaikan kadar DO
awal hingga mencapai jenuh dengan waktu tercapainya kadar DO jenuh tersebut.
Sedangkan laju penurunan kadar DO dihitung dengan membagi penurunan kadar DO
sejak aerasi dihentikan dengan waktu selama aerasi dihentikan.
 

Kapasitas air dalam menampung DO (konsentrasi DO jenuh) tergantung pada


temperatur,
salinitas, dan tekanan parsial oksigen saat kontak dengan air. Menurut Metcalf and
Eddy (2003),
oksigen akan lebih mudah terlarut dalam air dengan temperatur yang lebih rendah. Pada
  penelitian ini temperatur awal air boezem adalah 30oC, dimana tipikal konsentrasi
DO jenuhnya , menurut Benefild and Randall (1980), adalah 7,63 mg/L pada
konsentrasi Cl- nol dan tekanan udara 1 atm. Namun demikian, dalam penelitian ini
konsentrasi DO jenuh ditentukan berdasarkan pengamatan selama beberapa waktu
dimana konsentrasi DO sudah tidak mengalami kenaikan walaupun dilakukan aerasi
secara kontinyu.

Perbandingan laju kenaikan dan penurunan kadar DO pada berbagai variasi


debit aerasi dan kecepatan agitasi serta konsentrasi BOD5 selengkapnya dapat dilihat
 pada Tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4. Perbandingan Laju Kenaikan Kadar   Dissolved Oxygen (DO) pada Berbagai
Kondisi
Aerasi.
K onsentrasi   Jenis  aerasi   Laju  kenaikan  Laju  penurunan  
BOD5  DO (mg/L. menit)  DO
( mg/L. menit) 

BOD = 12 Agitasi 1 1,04 0,0033


mg/L Agitasi 2 1,08 0,0089
 

aerasi 1 0,255 0,0047


Aerasi 2 0,208 3 1,04
Aerasi 3 0,004 0,00625
BOD = 18 agitasi1 0,11 0,06
mg/L
agitasi 2 0,4267 0,0614
aerasi 1 0,29 0,0843
aerasi 2 0,4 0,1057

aerasi 3 0,31 0,0857


BOD = 37 agitasi1 0.075 0.0425
mg/L Agitasi 2 0.3 0.036
Aerasi 1 0.076 0.467
Aerasi 2 0.228 0.024
Aerasi 3 0.59 0.0978

Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa laju kenaikan DO yang paling besar 
terjadi pada kondisi aerasi dengan agitasi 2, dimana kecepatan agitasinya adalah pada
skala 8 magnetic stirrer . Laju kenaikan DO tertinggi ini terjadi pada sampel air boezem
dengan konsentrasi BOD5 terendah yaitu 12 mg/L.
Sedangkan laju penurunan DO terendah yang terjadi setelah penghentian proses
aerasi, dialami oleh sampel yang sebelumnya diaerasi pada kondisi aerasi dengan
agitasi 1 (yaitu pada kecepatan agitasi skala 6 magnetic stirrer ). Laju penurunan DO
terendah ini juga terjadi pada kondisi sampel dengan konsentrasi BOD5 terendah yaitu
sebesar 12 mg/L.

Dengan pertimbangan bahwa dengan kecepatan agitasi skala 6 maka energi


yang digunakanuntuk mixing lebih kecil dan laju penurunan kadar DO-nya pun
merupakan yang paling kecil, meskipun laju kenaikan kadar DO-nya bukan merupakan
yang paling besar (hanya berbeda sedikit dari agitasi skala 8 yang memiliki laju
kenaikan oksigen terbesar), maka ditentukan bahwa kondisi optimum proses aerasi
adalah pada skala 6 magnetic stirrer .
 

Dari analisis ini diambil kesimpulan bahwa kondisi optimum aerasi terjadi pada
agitasi 1 dimana kecepatan agitasi berada pada skala 6 magnetic stirrer, dan pada
konsentrasi BOD5 sampel sebesar 12 mg/L yang merupakan konsentrasi terendah dari
sampel yang diuji. Hasil tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi BOD5 berbanding
terbalik dengan laju kenaikan DO, dan berbanding lurus dengan laju penurunannya.

Penelitian Utama 
Penelitian untuk menentukan koefisien biodegradasi air limbah domestik influen
Boezem Morokrembangan ini dilakukan di bawah kondisi optimum aerasi yang telah
ditentukan pada penelitian pendahuluan, yaitu dengan agitasi sampel pada skala 6
magnetic stirrer  dan konsentrasi BOD5 sebesar 12 mg/L, namun sebagai bahan
 perbandingan maka penentuan koefisien biodegradasi juga dilakukan pada air boezem
dengan konsentrasi bahan organik yang lebih tinggi. Pada penelitian ini digunakan tiga
  buah reaktor, dimana reaktor pertama dan kedua berisi sampel air limbah asli tanpa
  penambahan glukosa (dengan konsentrasi PVs awal yang berbeda) dan reactor ketiga
  berisi sampel air limbah asli dengan penambahan glukosa. Penambahan glukosa
dilakukan untuk menaikkan konsentrasi bahan organik sampel air. Dalam penentuan
koefisien biodegradasi dilakukan proses aerasi terhadap sampel air secara kontinyu
selama 24 jam, dengan pengambilan sampel pada reaktor setiap interval waktu 3 jam
untuk dianalisa parameter PVs (sebagai subtrat) dan MLSS (sebagai biomassa). Hasil
analisisnya dapat dilihat pada Tabel 5, Tabel 6 dan Tabel 7 .Tabel 5. Hasil analisis PVs
dan MLSS pada sampel air di reaktor pertama (tanpa penambahan
glukosa) dengan proses agitasi selama 24 jam
t ( jam  ke-)  PV s (sbg  ln St  MLSS X rerata  Xrerata.t 
S)  (sbgX)  
dalam  dalam 
mg/L  mg/L 
0 23.384 3.152052028 4 4 0
3 18.012 2.891038202 11 7 22.5
6 11.692 2.458904847 12 8 48
9 9.164 2.215282765 10 7 63
18 8.532 2.143823801 8 6 72
24 6.952 1.939029388 2 3 72
 

 
Dari hasil analisis seperti terlihat pada Tabel 5 di atas diketahui bahwa dengan
  proses agitasi selama 24 jam konsentrasi PVs mengalami penurunan dari 23,384 mg/L
hingga mencapai 6,952 mg/L atau turun sekitar 70% dari konsentrasi PVs awal.
Sedangkan kadar MLSS mengalami kenaikan pada awal proses agitasi, namun
kemudian menurun sampai konsentrasinya lebih kecil dari konsentrasi awalnya.
Dari grafik pada gambar diatas dapat dihitung besarnya nilai koefisien
  biodegradasi (k) yang merupakan slope dari grafik tersebut. Perhitungannya adalah
sebagai berikut :
Untuk x = 0  y y = (-0,015*0)+3,194 = 3,194
Untuk x = 60  y = (-0,015*60)+3,194 = 2,294
  Nilai koefisien biodegradasi ini menunjukkan jumlah substrat yang dapat di
  biodegradasi oleh biomassa per satuan waktu. Nilai koefisien biodegradasi sebesar 
0,015/jam menunjukkan bahwa kemampuan biomassa alamiah yang terkandung dalam
sampel air Boezem Morokrembangan dalam mereduksi bahan organik  biodegradable
 pada boezem cukup kecil.
Tabel 6. Hasil analisis PV dan MLSS pada sampel air di reaktor kedua (tanpa
 penambahan
glukosa) dengan proses agitasi selama 24 jam

t (Jam  ke-)  PVs (sbg S) Ln St  MLSS (sbg  Xrerata  Xrerata.t 


dalam  mg/L  X) 
dalam  mg/L 
0 72.048 4.277332564 8 8 0
3 66.36 4.195094465 11 9.5 28.5
6 62.252 4.131190663 13 10.5 63
9 56.564 4.03537274 17 12.5 112.5
18 52.772 3.965980747 12 10 120
24 39.5 3.676300672 7 7.5 180

Hasil analisis terhadap sampel air dengan penambahan glukosa menunjukkan


 bahwa setelah proses agitasi selama 24 jam, konsentrasi PV terlarut sampel mengalami
  penurunan dari 293,88 mg/L menjadi 31,6 mg/L atau menurun hampir 90% dari
 

konsentrasi awal. Sedangkan konsentrasiMLSS mengalami proses turun dan naik 


hingga pada akhir proses aerasi diketahui bahwakonsentrasi MLSS adalah 0 mg/L.
Dari hasil analisis terhadap nilai koefisien biodegradasi air limbah domestik 
yang masuk ke Boezem Morokrembangan dengan konsentrasi PVs awal yang berbeda-
 beda di atas, didapatkan besarnya nilai koefisien biodegradasi yang berbanding terbalik 
dengan besarnya konsentrasi PVs awal. Hal ini bertolak belakang dengan konsep
  persamaan Michaelis-Menten yang menggambarkan bahwa semakin besarnya
konsentrasi substrat sampai tak terhingga, akan mengakibatkan mikroorganisme
tumbuh dengan laju maksimumnya. Perbedaan antara hasil analisis dengan teori
tersebut terjadi karena tidak diperhatikannya rasio F/M dalam reaktor, sehingga
mikroorganisme alamiah yang terkandung dalam sampel air boezem tidak dapat
menguraikan kelebihan substrat tersebut. Hal ini juga menunjukkan bahwa
mikroorganisme alamiah yang terkandung dalam air boezem memiliki karakteristik 
kurang aktif dalam menguraikan pencemar organik.

4. K esimpulan  dan Saran 

Kesimpulan dari penelitian ini adalah :


- Persentase jumlah bahan organik  biodegradable yang terkandung dalam air limbah
influen Boezem Morokrembangan, baik di inlet Saluran Greges maupun inlet Saluran
Purwodadi adalah sebesar 50%. Hal ini menunjukkan bahwa air limbah yang masuk 
ke BoezemKondisi optimum proses aerasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
  proses aerasi dengan sistem agitasi menggunakan magnetic stirrer  dengan kecepatan
skala 6, dan konsentrasi BOD5 sebesar 12 mg/L yang merupakan konsentrasi BOD5
sampel yang terendah.
- Nilai koefisien biodegradasi air limbah domestik influen Boezem Morokrembangan
yang diperoleh dari analisa pada tiga reaktor dengan PVterlarut awal 23,384 mg/L,
72,048 mg/L dan 293,88 mg/L berturut-turut adalah 0,015/jam, 0,00311/jam dan
0,002/jam. Nilai ini menunjukkan bahwa mikroorganisme alami yang terkandung dalam
air boezem memilikkarakter kurang aktif dalam mendegradasi bahan pencemar organik.
Daftar Pustaka 
Alaerts, G., dan Santika, S. S. (1987). Metoda Penelitian Air . Surabaya : Usaha Nasional.

Alvarez, P. J. J., and Illman, W. A. (2006). Bioremediation and natural Attenuation :


Process Fundamentals and Mathematical Models. New Jersey : John Wiley and Sons,
Inc. 19 
 

Benefild, L. D., and Randal, C. W. (1980). Biological Process Design for Wastewater 


Treatment. New York : Prentice-Hall, Inc.
Droste, R. L. (1997). Theory and Practice Of  Water and Wastewater Treatment.
United State of America : John Wiley & Sons, Inc.

Grady, C. P. L., and Lim, H. C. (1980). Biological Wastewater Treatment Theory and 


Application. New York : Marcel Dekker, Inc.  

Metcalf and Eddy. (2003). Wastewater Engineering : Treatment and R euse (Fourth 


Edition). New York : McGraw-Hill Companies, Inc.

Peraturan Pemerintah (PP) No.82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan K ualitas Air dan 
Pengendalian Penemaran Air. 

Reynolds, T. D., and Richards, P. A. (1996). Unit Operations and Processes in 


Environmental  
Engineering (Second Edition). Boston : PWS Publishing Company.

Sutrisno, T. 2002. Teknologi Penyediaan Air  Bersi h. Jakarta: Rineka Cipta.  

Anda mungkin juga menyukai