Anda di halaman 1dari 91

Pentingnya Suhu Dalam Menilai Pipa Besi Korosi dalam Sistem Distribusi Air

ABSTRAK Suhu diperkirakan akan memainkan peran penting dalam korosi pipa besi di sistem air minum distribusi. Suhu dampak banyak parameter yang penting untuk korosi pipa termasuk sifat fisik dari solusi, termodinamika dan fisik sifat skala korosi, tingkat kimia, dan aktivitas biologis. Selain itu, variasi dalam gradien suhu dan temperatur dapat menimbulkan fenomena korosi baru layak dipertimbangkan oleh personel pengolahan air. PENDAHULUAN AS utilitas air akan menghabiskan sekitar $ 325 miliar selama 20 tahun ke depan untuk meng-upgrade sistem distribusi air mereka, 1 dengan mayoritas biaya yang terkait dengan perbaikan atau mengganti pipa besi berkarat. Kontaminasi air minum oleh partikel besi dilepaskan dari pipa terkorosi sering keluhan konsumen yang paling dikutip di banyak utilitas. Korosi besi juga sebuah keprihatinan kesehatan tidak langsung manusia, karena tuberkel dalam pipa dapat memberikan situs untuk mikroba tumbuh kembali dan korosi langsung mengkonsumsi desinfektan, sehingga menurunkan residu.Akhirnya, dalam satu keadaan yang sangat tidak biasa, inisiasi klorinasi dari distribusi air sistem menyebabkan pelepasan partikel besi dan tembaga yang terkandung sangat tinggi(sampai 5 mg / L) tingkat arsenik, yang bisa menimbulkan risiko kesehatan akut dengan population.2 Korosi pipa besi adalah proses rumit yang dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk kualitas air dan komposisi, kondisi aliran, aktivitas biologis, dan inhibitor korosi (lihat referensi 3 untuk review dari faktor-faktor). Faktor-faktor tradisional dievaluasi ketika menilai korosi besi termasuk berbagai parameter kualitas air (pH, alkalinitas, penyangga intensitas, oksigen terlarut, dll) dan korosi indeks (Indeks Larson ,4-6 Langelier Indeks ,7-11 Ryznar Indeks, 12 Indeks Agresivitas, 13 Kelebihan Sesaat, 14 Mengemudi Indeks Angkatan, Kalsium Karbonat dan hujan Potential.8-10) Korosi indeks telah terbukti sebagian besar efektif untuk banyak utilitas, dan penggunaan indeks paling terkenal, Indeks Langelier, sekarang discouraged.3 Selain itu, kualitas air tidak selalu bisa menjelaskan variasi dalam perilaku korosi; misalnya, sebuah studi baru menemukan bahwa perubahan dalam parameter kualitas air

seperti pH dan alkalinitas tidak bisa sepenuhnya memperhitungkan perubahan yang diamati pada korosi dari pipa besi di bawah stagnan conditions.16 Suhu, faktor yang berpotensi penting dalam korosi besi, jarang dibawa ke akun ketika besi korosi dinilai. Ada dua kemungkinan yang harus dipertimbangkan ketika menyelidiki pengaruh suhu pada korosi besi. Yang pertama adalah bahwa korosi dapat secara signifikan berbeda pada satu suhu konstan dibandingkan dengan yang lain untuk kualitas air yang diberikan. Sebagai contoh, sebuah pipa pada 20C(72F)lebih mungkin mengalami masalah korosi dari pipa pada 5C (40F). Yang kedua kemungkinan adalah bahwa variasi suhu dapat mempengaruhi korosi besi. Artinya, pipa di mana suhu bervariasi antara dua temperatur (baik meningkat, menurun, atau siklik) atas waktu singkat bisa menimbulkan korosi berbeda dari pipa tetap konstan pada suhu baik. Tinjauan literatur berikut membahas masing-masing skenario secara rinci, dalam rangka untuk memperingatkan konsultan, manajer utilitas, dan personil peraturan untuk fenomena yang mungkin ditemui dalampraktek. BERBEDA KONSTAN SUHU Pipa dalam sistem distribusi hampir selalu terkubur, dan suhu tanah di sekitarnya tetap relatif konstan. Namun, suhu air dalam pipa dapat perubahan sepanjang tahun karena variasi musiman dari sumber air. Jadi, pipa dapat menunjukkan perilaku korosi yang berbeda di musim dingin dibandingkan musim panas. Hanya beberapa studi telah meneliti peran temperatur yang berbeda dalam distribusi sistem korosi. Dalam satu studi, penurunan berat badan menurun untuk sampel besi diadakan di 13 C dibandingkan 20 C.17 Penelitian lain menemukan konsentrasi besi rendah dan korosi rates18 dan pelanggan yang lebih sedikit keluhan merah water19 selama musim dingin dingin. Akhirnya, satu utilitas dilaporkan lebih merah air insiden selama musim panas hangat (M. Pearthree, komunikasi pribadi). Demikian pula, beberapa penelitian telah menemukan perbedaan dalam korosi lead20-23 dan copper20, 23-32 pada suhu konstan yang berbeda. Setidaknya lima parameter utama yang mempengaruhi korosi dapat bervariasi dengan suhu: terlarut oksigen (DO) kelarutan, sifat larutan (misalnya viskositas), besi laju oksidasi besi, sifat termodinamika skala besi, dan aktivitas biologis (Gambar 3-1). DO Kelarutan Kelarutan oksigen menurun pada suhu yang lebih tinggi. Pada tekanan 1 atmosfer (laut tingkat), DO jenuh adalah 8.26 mg / L pada 25 C dibandingkan 12,77 mg / L pada 5 C. Perbedaan ini bisa saja tiga efek pada korosi besi. Pertama, oksigen adalah akseptor elektron kunci untuk korosi besi logam. Pada

suhu yang lebih tinggi, ada kurang oksigen sehingga tingkat dan laju korosi lebih mungkin terbatas. Kedua, oksigen memainkan peran penting dalam oksidasi besi senyawa. Akhirnya, deplesi oksigen memungkinkan reaksi Kuch terjadi, dimana ada skala besi ferri bertindak sebagai akseptor elektron untuk oksidasi logam besi ferrous metal.33 Fe (logam) + 2FeOOH (skala) + 2H + 3Fe +2 + 4OH-(3-1) mReaksi ini eksotermis, 34 jadi mungkin melanjutkan lebih lambat pada suhu yang lebih tinggi. Jadi, perubahan dalam DO kelarutan dapat mempengaruhi laju korosi, besi oleh-produk spesiasi dan konsentrasi, dan jenis skala terbentuk. Solusi Properti Viskositas air menurun pada suhu yang lebih tinggi dari sekitar 1,5 x 10-2 N sec/m2 di 5 C sampai 9 x 10-3 N sec/m2 pada 25 C. Hal ini akan memungkinkan transportasi peningkatan reaktan (O2 terlarut atau lainnya elektron akseptor) dan produk (Fe 2 spesies) ke dan dari permukaan logam karena difusi meningkat, sehingga meningkatkan laju korosi jika proses difusi terbatas. Juga, tingkat difusi Fe +2 ion melalui skala oksida besi meningkat pada lebih tinggi temperatures.35, 36 Termodinamika Properti Suhu dapat memiliki dampak yang besar terhadap berbagai sifat termodinamika dari suatu sistem, termasuk koefisien aktivitas, kelarutan, dan entalpi reaksi, seperti yang dijelaskan oleh didirikan persamaan (Lampiran A). Koefisien aktivitas sedikit meningkat pada suhu lebih rendah (Tabel 3-1). Kelarutan fase padat dapat meningkatkan atau menurun tergantung pada tanda entalpi reaksi ( Hr o) (Tabel 3-2). Untuk padatan perwakilan ditampilkan di sini, penurunan suhu dari 25 C sampai 5 C diharapkan untuk menghasilkan perubahan 0,07 1,06 login produk kelarutan. Jadi, perubahan dalam koefisien aktivitas dan produk kelarutan dapat menyebabkan sangat berbeda konsentrasi besi larut pada berbagai suhu. Tergantung pada kondisi tertentu, ini juga dapat menyebabkan pergeseran dominasi satu produk akhir yang solid yang lain. Jika ada yang solid tidak bentuk, konsentrasi partikulat zat besi dapat berubah juga, karena perubahan dalam daya tahan, kepatuhan, atau sifat protektif dari skala baru. Ada banyak contoh dalam literatur yang menggambarkan peran suhu di identitas senyawa yang terbentuk pada temperatur yang berbeda. Secara umum, daerah kekebalan terhadap korosi (stabilitas dari logam itu sendiri) dan pasif (stabilitas skala) menurun sebagai suhu dinaikkan 25-300 C.37 Beberapa studi telah mengidentifikasi skala besi yang berbeda pada temperatur yang berbeda dalam kualitas air yang sama, 36, 38-43 meskipun rentang dipelajari (20 C - 100 C) jauh lebih besar daripada yang dialami di suatu sistem distribusi. Karena eksperimental kondisi yang bervariasi secara luas, tidak mungkin untuk menarik kesimpulan tentang peran kualitatif oksida fase yang berbeda

pada aspek korosi besi dalam sistem distribusi. Fe +2 Oksidasi. Pada pH tertentu, tingkat oksidasi besi ferro (Fe +2) meningkat dengan urutan besarnya untuk setiap kenaikan 15 C temperature.44, 45 Perubahan dalam spesiasi besi dapat mendukung pembentukan senyawa yang berbeda pada temperatur yang berbeda. Efek pada korosi akan tergantung pada sifat (kelarutan, daya tahan, kepatuhan, dll) dari skala baru yang terbentuk. Aktivitas Biologi Dalam rentang suhu terbatas (5 - 25 C), aktivitas biologis sering dapat dijelaskan oleh persamaan Arrhenius-jenis, dengan pertumbuhan meningkat karena suhu rises.46 Mikroba dapat mengubah tingkat deplesi oksigen dan kondisi redoks. Selain itu, oksidasi biologi dari besi besi meningkat pada tinggi temperatures.47-50 VARIASI SUHU Selain perbedaan suhu rata-rata dicatat sebelumnya, sistem distribusi mungkin mengalami gradien temperatur selama periode yang relatif singkat, tergantung pada sumber air. Misalnya, sungai mungkin memiliki variasi suhu besar karena diurnal perubahan intensitas matahari, atau reservoir dapat berbalik dari termal bertingkat dengan baik-campuran. Dua studi menunjukkan bahwa suhu air dalam sistem distribusi (makan oleh permukaan tunggal sumber air) bervariasi musiman dari 5 C - 21 C 51 C dan 6-28 C dengan perubahan maksimum 1,3 C per day.52 Juga, sebuah pabrik pengolahan mungkin berbeda rasio pencampuran dingin dan hangat sumber (yaitu tanah vs air permukaan), yang menyebabkan perubahan suhu dalam sistem distribusi. Salah satu dari beberapa studi untuk secara eksplisit mempertimbangkan dampak dari variasi temperatur terhadap pipa distribusi sistem adalah bahwa dari Smith et al53 menggunakan sistem skala pilot distribusi terdiri pipa besi cor tak bergaris. Karena sebagian dari sistem ini berjalan di luar ruangan, pipa itu subjek dengan perubahan suhu harian atmosfer, menyebabkan suhu air untuk siklus antara 20- 24 C diurnally. Dalam satu jam 70-tes stagnasi, kekeruhan (dipantau sebagai pengganti untuk besi konsentrasi) menunjukkan peningkatan pada setiap langkah titik belok suhu rendah. Oksigen menunjukkan adanya penurunan saturasi langkah serupa di infleksi suhu baik tinggi dan rendah. Demikian pula, studi pilot plant menggunakan air danau sebagai sumber intermiten melihat "puncak" dalam logam konsentrasi, dikaitkan dengan pengelupasan off dari skala ke water.54 Penelitian ini tidak membuat menyebutkan mengendalikan atau bahkan mengukur suhu, sehingga ada kemungkinan bahwa kegagalan skala adalah karena perubahan suhu dalam pasokan air baku. Akhirnya, satu penelitian menemukan

peningkatan rilis dalam pipa tembaga yang tunduk pada gradien temperatur (pipa hangat dalam rumah dingin selama musim dingin) .Apa yang mungkin menyebabkan perubahan-perubahan dalam korosi karena suhu bervariasi? Pertama, sebagai temperatur bervariasi, padatan dapat berubah dari satu fase ke yang lain seperti yang dibahas sebelumnya. Ini dapat mengakibatkan pembentukan skala heterogen, dengan beberapa senyawa besi diberikan pada permukaan. Bergantian, skala sudah dapat terdiri dari beberapa senyawa lain karena faktor-faktor selain suhu. Either way, heterogenitas ini membuat skala besi rentan terhadap dua perubahan fisik karena suhu bervariasi-yang berbeda kepadatan (volume) dan berbeda koefisien ekspansi termal (Gambar 3-2). Skala Kepadatan Komponen skala yang berbeda memiliki kerapatan yang berbeda. Hal ini dijelaskan oleh Pilling- Bedworth rasio (PBR), sebuah ekspresi perbandingan volume (per unit besi) dari logam tertentu senyawa lain (Tabel 3-3). Setiap PBR 1 menunjukkan bahwa tegangan tekan atau tarik dapat diperkenalkan ke dalam skala, tergantung pada geometri permukaan. Aspek ini penting terutama ketika jenis baru dari bentuk-bentuk skala karena suhu yang bervariasi, terutama jika padat baru bentuk lapisan yang ada di bawah skala (yaitu pada antarmuka logam skala) .56 Koefisien Ekspansi Termal Sebuah komponen skala tertentu akan memiliki koefisien ekspansi termal yang berbeda ( ) dibandingkan dengan logam atau lapisan lain skala (Tabel 3-4). Sebagai contoh, logam Fe akan memperluas dan kontrak hampir 50% lebih dari Fe3O4 skala dalam menanggapi perubahan suhu yang sama. Perbedaan-perbedaan ini menyebabkan tekanan mekanis dalam skala sebagai perubahan suhu, dan dapat akhirnya menyebabkan skala spalling atau crack formation.3, 57, 58 fenomena ini dapat menjadi penting dalam kasus-kasus di mana bentuk padat tambahan, di mana skala sudah heterogen, dan bahkan di mana hanya satu jenis skala terbentuk pada logam besi. Akhirnya, penting untuk dicatat bahwa tegangan akibat kepadatan berbeda atau skala koefisien ekspansi termal umumnya lebih besar untuk permukaan cekung atau cembung, seperti pipa, dibandingkan dengan permukaan datar. Demikian juga, menekankan tersebut menjadi lebih penting dengan penurunan diameter pipa. Selain menyebabkan detasemen fragmen skala untuk air, tekanan ini dapat menyebabkan retak terbentuk dalam skala. Dalam beberapa kasus, retak mungkin mengekspos logam yang tidak dilindungi permukaan larutan, secara drastis meningkatkan tingkat korosi. Ada beberapa preseden untuk ini ide dalam literatur. Satu studi dari besi dan baja korosi dalam suasana lembab menemukan bahwa skala dengan banyak celah-celah itu kurang protektif dibandingkan dengan skala besi dengan beberapa cracks.39 Studi lain baja di

atmosphere40 lembab menemukan hasil yang sama, lebih jauh lagi, menggaruk permukaan spesimen skala berat dengan jarum segera menyebabkan penurunan tajam dalam korosi potensial (yang menunjukkan peningkatan dalam reaksi korosi). Dalam penelitian atmosfer, retak mungkin diharapkan menjadi sangat signifikan karena hidrasi dan dehidrasi dengan perubahan kelembaban, namun sebuah studi dari besi cor stud ditempatkan dalam pipa sistem distribusi juga ditemukan peningkatan konsentrasi besi dalam air ketika muncul retakan yang mendalam dalam skala pada besi studs. ada informasi mengenai peranan kualitas air (khususnya kehadiran inhibitor fosfat) dalam kemungkinan "penyembuhan" celah tersebut setelah mereka terbentuk, atau mencegah pembentukan mereka di tempat pertama. REKOMENDASI Bagaimana informasi ini digunakan oleh personel air ketika menilai korosi besi? Pertama, faktor-faktor berikut ini harus dievaluasi untuk melihat apakah sistem distribusi dikenakan perubahan suhu: 1. Adalah air sumber air permukaan yang pengalaman sehari-hari atau musiman variasi suhu? 2. Apakah sumber air reservoir atau danau yang stratifies dan ternyata lebih musiman? 3. Apakah sumber air dua atau lebih dari suhu yang berbeda (yaitu permukaan air dan air tanah a) kadang-kadang dicampur di pabrik pengolahan, atau apakah rasio pencampuran bervariasi? 4. Apakah sistem distribusi makan oleh dua atau lebih tanaman pengobatan dengan berbagai sumber air? 5. Apakah setiap bagian dari sistem distribusi yang dijalankan di atas tanah, atau kurang tanah-cover dari bagian lainnya, dan apakah air stagnasi pengalaman panjang kali dalam bagian ini? Jika waktu tinggal air di pabrik pengolahan dan / atau tangki penyimpanan tidak cukup lama, salah satu perubahan suhu dapat membawa ke sistem distribusi. Langkah berikutnya adalah untuk mengevaluasi apakah variasi suhu berkorelasi dengan mengamati korosi fenomena seperti: 1. Merah air episode (keluhan konsumen meningkat)

2. Bagian dari sistem yang harus diganti karena skala yang berlebihan membangun-up atau korosi kegagalan (perforasi pipa) 3. Peningkatan hilangnya sisa disinfektan Jika korelasi yang diamati, utilitas mungkin ingin mencoba untuk meminimalkan perubahan suhu di Untuk mengatasi masalah korosi. KESIMPULAN Suhu mempengaruhi banyak parameter, termasuk kelarutan oksigen terlarut solusi, viskositas, difusi tingkat, koefisien aktivitas, entalpi reaksi, kelarutan senyawa, oksidasi tarif, dan aktivitas biologis. Masing-masing faktor dapat mempengaruhi tingkat dari besi korosi, komposisi dan sifat skala dibangun di dalam pipa, dan aspek korosi olehproduk rilis. Sementara peran suhu spekulatif pada saat ini, kecuali utilitas waspada terhadap kemungkinan pentingnya dan setidaknya mempertimbangkan dampaknya, peningkatan pemahaman fenomena korosi mungkin terbatas. UCAPAN TERIMA KASIH Karya ini didukung oleh National Science Foundation (NSF) di bawah hibah BES 9796299. Pendapat, temuan, dan kesimpulan atau rekomendasi adalah dari penulis dan tidak mencerminkan pandangan dari NSF. Penulis pertama ini didukung oleh Air Pekerjaan Asosiasi Amerika Wolman Fellowship dan Virginia Tech Via Yayasan.

DAFTAR PUSTAKA 1. American Water Works Association. WATER:\STATS 1996 Survey. (1996). 2. Reiber, S. & Dostal, G. Arsenic and Old Pipes--A Mysterious Liaison. Opflow. (2000). 3. American Water Works Association Research Foundation & DVGWTechnologiezentrum Wasser. Internal Corrosion of Water Distribution Systems, Second Edition. American Water Works Association, Denver, CO (1996). 4. Larson, T.E. & Skold, R.V. Corrosion and Tuberculation of Cast Iron. Journal AWWA, 49:10:1294 (1957). 5. Larson, T.E. & Skold, R.V. Laboratory Studies Relating Mineral Quality of Water to Corrosion of Steel and Cast Iron. Corrosion, 14:285 (1958).

6. Larson, T.E. Corrosion by Domestic Waters. Bulletin 59, State of Illinois Department of Registration and Education, Illinois State Water Survey, Urbana, IL (1975). 7. Langelier, W.F. The Analytical Control of Anti-Corrosion Water Treatment. Journal AWWA, 28:10:1500 (1936). 8. Merrill, D.T. & Sanks, R.L. Corrosion Control by Deposition of CaCO3 films: Part 1, A Practical Approach for Plant Operators. Journal AWWA, 69:11:592 (1977). 9. Merrill, D.T. & Sanks, R.L. Corrosion Control by Deposition of CaCO3 films: Part 2, A Practical Approach for Plant Operators. Journal AWWA, 69:12:634 (1977). 10. Merrill, D.T. & Sanks, R.L. Corrosion Control by Deposition of CaCO3 films: Part 3, A Practical Approach for Plant Operators. Journal AWWA, 70:1:12 (1978). 11. Merrill, D.T. & Sanks, R.L. Notes and Comments: More on Protection by CaCO3 Films. Journal AWWA, 71:4:227 (1979). 12. Ryznar, J.W. A New Index for Determining Amount of Calcium Carbonate Scale Formed by a Water. Journal AWWA, 36:4:472 (1944). 13. Millette, J.R.; Hammonds, A.F.; Pansing, M.F.; Hansen, E.C. & Clark, P.J. Aggressive Water: Assessing the Extent of the Problem. Journal AWWA, 72:5:262 (1980). 14. Dye, J.F. Correlation of the Two Principal Methods of Calculating the Three Kinds of Alkalinity. Journal AWWA, 50:6:801 (1958). 15. Rossum, J.R. & Merrill, D.T. An Evaluation of the Calcium Carbonate Saturation Indexes. Journal AWWA, 75:2:95 (1983). 16. McNeill, L.S. & Edwards, M. Phosphate Inhibitors and Red Water in Stagnant Pipes. ASCE Journal of Environmental Engineering, in press (2000). 17. Fiksdal, L. Water Quality and Internal Corrosion of Iron Pipes. Proc. Internal Corrosion in Water Distribution Systems. Goteborg, Sweden, 111-115 (1995).

18. Volk, C.; Dundore, E.; Schiermann, J. & LeChevallier, M. Practical Evaluation of Iron Corrosion Control in a Drinking Water Distribution System. Water Res., 34:6:1967 (2000). 19. Horsley, M.B.; Northrup, B.W.; O'Brien, W.J. & Harms, L.L. Minimizing Iron Corrosion in Lime Softened Water. Proc. AWWA Water Quality Technology Conference, Paper 5C-3. San Diego, CA (1998). 20. Karalekas Jr., P.C.; Ryan, C.R. & Taylor, F.B. Control of Lead, Copper, and Iron Pipe Corrosion in Boston. Journal AWWA, 75:2:92 (1983). 21. Colling, J.H.; Whincup, P.A.E. & Hayes, C.R. The Measurement of Plumbosolvency Propensity to Guide the Control of Lead in Tapwaters. Journal of the Institute of Water and Environment Management, 1:3:263 (1987). 22. Colling, J.H.; Croll, B.T.; Whincup, P.A.E. & Harward, C. Plumbosolvency Effects and Control in Hard Waters. Journal of the Institute of Water and Environment Management, 6:6:259 (1992). 23. Johnson, B.; Yorton, R.; Tran, T. & Kim, J. Evaluation of Corrosion Control Alternatives to Meet the Lead and Copper Rule for Eastern Massachusetts. Journal NEWWA, 107:3:24 (1993). 24. Obrecht, M.F. & Quill, L.L. How Temperature, Treatment, and Velocity of Potable Water Affect Corrosion of Copper and Its Alloys in Heat Exchanger and Piping Systems. Heating, Piping, and Air Conditioning, 32:1:165 (1960). 25. Obrecht, M.F. & Quill, L.L. How Temperature, Treatment, and Velocity of Potable Water Affect Corrosion of Copper and Its Alloys; Cupro-Nickel, Admiralty Tubes Resist Corrosion Better. Heating, Piping, and Air Conditioning, 32:9:125 (1960). 26. Obrecht, M.F. & Quill, L.L. How Temperature, Treatment, and Velocity of Potable Water Affect Corrosion of Copper and Its Alloys; Different Softened Waters Have Broad Corrosive Effects on Copper Tubing. Heating, Piping, and Air Conditioning, 32:7:115 (1960). 27. Obrecht, M.F. & Quill, L.L. How Temperature, Treatment, and Velocity of Potable Water Affect Corrosion of Copper and Its Alloys; Tests Show Effects of Water Quality at Various Temperatures, Velocities. Heating, Piping, and Air Conditioning, 32:5:105 (1960).

28. Obrecht, M.F. & Quill, L.L. How Temperature, Treatment, and Velocity of Potable Water Affect Corrosion of Copper and Its Alloys; What is Corrosion? Heating, Piping, and Air Conditioning, 32:3:109 (1960). 29. Obrecht, M.F. & Quill, L.L. How Temperature, Treatment, and Velocity of Potable Water Affect Corrosion of Copper and Its Alloys; Monitoring System Reveals Effects of Different Operating Conditions. Heating, Piping, and Air Conditioning, 32:4:131 (1960). 30. Obrecht, M.F. & Quill, L.L. How Temperature, Treatment, and Velocity of Potable Water Affect Corrosion of Copper and Its Alloys. Heating, Piping, and Air Conditioning, 33:4:129 (1961). 31. Obrecht, M.F. & Pourbaix, M. Corrosion of Metals in Potable Water Systems. Journal AWWA, 59:8:977 (1967). 32. Sprague, N. & Edwards, M. Role of Temperature, Chlorine, and Organic Matter in Copper Corrosion By-Product Release to Soft Water. Water Research, in press (1999). 33. Kuch, A. Investigations of the Reduction and Re-oxidation Kinetics of Iron(III) Oxide Scales Formed in Waters. Corrosion Sci., 28:3:221 (1988). 34. Shams el Din, A.M. & Arain, R.A. Thermometric, Gravimetric, and Potentiometric Study of Corrosion of Iron Under Conditions of Reaction Fe+2 + Fe+3 = 3Fe+2. British Corrosion Journal, 33:3:189 (1998). 60 35. Davalos, J.; Gracia, M.; Marco, J.F. & Gancedo, J.R. Corrosion of Weathering Steel and Iron Under Wet-Dry Cycling Conditions: Influence of the Rise of Temperature During the Dry Period. Hyperfine Interactions, 69:1-4:871 (1991). 36. Mabuchi, K.; Horii, Y.; Takahashi, H. & Nagayama, M. Effect of Temperature and Dissolved Oxygen on the Corrosion Behavior of Carbon Steel in HighTemperature Water. Corrosion, 47:7:500 (1991). 37. Beverskog, B. & Puigdomenech, I. Revised Pourbaix Diagrams for Iron at 25-300 C. Corrosion Sci., 38:12:2121 (1996). 38. Hatch, G.B. Second Corrosion Study of Pipe Exposed to Domestic Waters. Materials Protection, 9:6:34 (1970).

39. Misawa, T.; Asami, K.; Hashimoto, K. & Shimodaira, S. The Mechanism of Atmospheric Rusting and The Protective Amorphous Rust on Low Alloy Steel. Corrosion Sci., 14:279 (1974). 40. Schwitter, H. & Bohni, H. Influence of Accelerated Weathering on the Corrosion of Low- Alloy Steels. Journal Electrochem. Soc., 127:1:15 (1980). 41. Valentini, C.R.; Moina, C.A.; Vilche, J.R. & Arvia, A.J. The Electrochemical Behaviour of Iron in Stagnant and Stirred Potassium Carbonate-Bicarbonate Solutions in the 0-75C Temperature Range. Corrosion Sci., 25:11:985 (1985). 42. Blengino, J.M.; Keddam, M.; Labbe, J.P. & Robbiola, L. Physico-chemical Characterization of Corrosion Layers Formed on Iron in a Sodium CarbonateBicarbonate Containing Environment. Corrosion Sci., 37:4:621 (1995). 43. Simpson, L.J. & Melendres, C.A. Surface-Enhanced Raman Spectroelectrochemical Studies of Corrosion Films on Iron in Aqueous Carbonate Solution. Journal Electrochem. Soc., 143:7:2146 (1996). 44. Stumm, W. & Morgan, J.J. Aquatic Chemistry: Chemical Equilibria and Rates in Natural Waters. Third Edition. John Wiley & Sons, Inc, New York, NY (1996). 45. Millero, F.J. Effect of Ionic Interactions on the Oxidation of Fe(II) and Cu(I) in Natural Waters. Marine Chemistry, 28:1 (1989). 46. Grady Jr., C.P.L. & Lim, H.C. Biological Wastewater Treatment. Marcel Dekker, Inc., NY, NY 1980). 47. Denisov, G.V.; Kovrov, B.G. & Kovaleva, T.F. Effect of the pH and Temperature of the Medium on the Rate of Oxidation of Fe2+ to Fe3+ by a Culture of Thiobacillus ferrooxidans and the Coefficient of Efficiency of Biosynthesis (Translated from Russian). Mikrobiologiya (Microbiology), 50:5:696 (1981). 48. Kovalenko, T.V.; Karavaiko, G.I. & Piskunov, V.P. Effect of Fe3+ Ions in the Oxidation of Ferrous Iron by Thiobacillus ferrooxidans at Various Temperatures (translated from Russian). Mikrobiologiya (Microbiology), 51:1:142 (1982). 49. Nemati, M. & Webb, C. A Kinetic Model for Biological Oxidation of Ferrous Iron by Thiobacillus ferrooxidans. Biotechnology and Bioengineering, 53:5:478 (1997). 50. Okereke, A. & Stevens Jr., S.E. Kinetics of Iron Oxidation by Thiobacillus ferrooxidans. Applied and Environmental Microbiology, 57:4:1052 (1991).

51. Holden, B.; Greetham, M.; Croll, B.T. & Scutt, J. The Effect of Changing Inter Process and Final Disinfection Reagents on Corrosion and Biofilm Growth in Distribution Pipes. Water Science Technology, 32:8:213 (1995). 52. Habibian, A. Effect of Temperature Changes on Water-Main Breaks. Journal of Transportation Engineering, 120:2:312 (1994). 53. Smith, S.E.; Ta, T.; Holt, D.M.; Delanoue, A. & Colbourne, J.S. Minimising Red Water in Drinking Water Distribution Systems. Proc. AWWA Water Quality Technology Conference, Paper 5C-5. San Diego, CA (1998). 54. MacQuarrie, D.M.; Mavinic, D.S. & Neden, D.G. Greater Vancouver Water District Drinking Water Corrosion Inhibitor Testing. Canadian Journal of Civil Engineering, 24:1:34 (1997). 55. Rezania, L.-i.W. & Anderl, W.H. Copper Corrosion and Iron Removal Plants, The Minnesota Experience. Proc. AWWA Water Quality Technology Conference. New Orleans, LA, 1033-1054 (1995). 56. Baylis, J.R. Prevention of Corrosion and "Red Water". Journal AWWA, 15:598 (1926). 57. Schutze, M. Protective Oxide Scales and Their Breakdown. John Wiley and Sons, West Sussex, England (1997). 58. Tylecote, R.F. Factors Influencing the Adherence of Oxides on Metals. Journal of the Iron and Steel Institute, 196:10:135 (1960). 59. Latimer, W.M. Oxidation Potentials. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, N.J. (2nd, 1952). 60. Pankow, J.F. Aquatic Chemistry Concepts. Lewis Publishers, Chelsea, MI (1991). 61. Singer, P.C. & Stumm, W. The Solubility of Ferrous Iron in Carbonate-Bearing Waters. Journal AWWA, 62:3:198 (1970).

Bergulir revisi Pedoman WHO untuk kualitas air minum


1. PENDAHULUAN Komposisi air bervariasi secara luas dengan kondisi geologi setempat. Baik tanah maupun air permukaan pernah kimia H2O murni, karena air mengandung sejumlah kecil gas, mineral dan bahan organik dari alami asal. Konsentrasi total zat terlarut di air tawar dianggap berkualitas baik dapat ratusan mg / l. Berkat kemajuan dalam epidemiologi dan mikrobiologi dan kimia sejak abad ke-19, berbagai agen penyakit penyebab ditularkan melalui air telah diidentifikasi. Pengetahuan bahwa air mungkin mengandung beberapa unsur yang tidak diinginkan adalah titik tolak untuk menetapkan pedoman dan peraturan untuk kualitas air minum. Maksimum diterima konsentrasi anorganik dan zat organik dan mikroorganisme telah ditetapkan secara internasional dan di banyak negara untuk menjamin keamanan air minum. Kesadaran akan pentingnya mineral dan konstituen bermanfaat lainnya diair minum telah ada selama ribuan tahun, yang disebutkan dalam Veda dari kuno dari India. Dalam buku Rig Veda, sifat air minum yang baik adalah digambarkan sebagai berikut: "Sheetham (dingin untuk menyentuh), Sushihi (bersih), Sivam (harus memiliki nilai nutrisi, mineral dan elemen yang diperlukan), Istham (transparan), Vimalam lahu Shadgunam (keseimbangan asam basa yang harus berada dalam batas yang normal) "(Sadgir dan Vamanrao 2003). Air yang mungkin mengandung diinginkan zat telah kurang mendapat perhatian dalam pedoman dan peraturan, tetapi kesadaran yang meningkat dari nilai biologis air telah terjadi di masa lalu beberapa dekade. Diproduksi artifisial terdemineralisasi perairan, air suling pertama dan kemudian juga deionisasi atau reverse osmosis-diperlakukan air, telah digunakan terutama untuk industri, Top of Form teknis dan tujuan laboratorium. Teknologi ini menjadi lebih luas diterapkan dalam pengolahan air minum dalam air minum sebagai terbatas tahun 1960-an sumber-sumber di beberapa daerah pesisir dan pedalaman kering tidak dapat memenuhi peningkatan air akibat tuntutan peningkatan populasi, standar hidup yang lebih tinggi, pengembangan industri,

dan pariwisata massal. Penyediaan air minum juga dari perhatian laut-pergi kapal, dan pesawat ruang angkasa juga. Potensi efek air benar-benar unmineralized tidak umumnya dianggap, karena air ini tidak ditemukan di alam kecuali mungkin bagi air hujan dan es terbentuk secara alami. Meskipun air hujan dan es yang tidak digunakan sebagai sumber air minum di komunitas negara-negara industri di mana peraturan air minum dikembangkan, mereka digunakan oleh individu di beberapa lokasi. Selain itu, perairan alami banyak perairan rendah dalam banyak mineral atau soft (ion divalen rendah), dan keras sering artifisial melunak. Demineralisasi air yang diperlukan di mana primer atau hanya sumber air melimpah yang tersedia sangat mineralisasi air payau atau laut air. Awalnya, metode pengolahan air ini tidak digunakan di tempat lain sejak mereka menuntut teknis dan mahal. Dalam bab ini, air demineral adalah didefinisikan sebagai air hampir atau benar-benar bebas dari mineral terlarut sebagai akibat dari distilasi, deionisasi, membran filtrasi (reverse osmosis atau nanofiltrasi), elektrodialisis atau teknologi lainnya. Total padatan terlarut ini (TDS) dalam air tersebut dapat bervariasi tetapi TDS bisa serendah 1 mg / l. Para listrik konduktivitas umumnya kurang dari 2 mS / m dan bahkan mungkin lebih rendah (<0,1 mS / m). Meskipun teknologi berawal pada 1960-an, demineralisasi tidak banyak digunakan pada waktu itu. Namun, beberapa negara difokuskan pada masyarakat kesehatan penelitian di bidang ini, terutama bekas Uni Soviet di mana desalinasi adalah diperkenalkan untuk menghasilkan air minum di beberapa kota Asia Tengah. Jelas dari awal yang desalinated atau demineralised air tanpa lanjut pengayaan dengan beberapa mineral mungkin tidak sepenuhnya sesuai untuk konsumsi. Ada tiga alasan jelas untuk hal ini: air Demineralised sangat agresif dan jika tidak diobati, distribusi melalui pipa dan tangki penyimpanan tidak akan mungkin. Yang agresif air menyerang pipa distribusi air dan logam larut dan lainnya bahan dari pipa pipa dan bahan-bahan yang terkait. Air suling memiliki karakteristik rasa miskin. Bukti awal yang tersedia bahwa beberapa zat hadir dalam air bisa memiliki efek menguntungkan pada kesehatan manusia serta efek samping. Sebagai contoh, pengalaman dengan air artifisial fluoride menunjukkan penurunan kejadian karies gigi, dan beberapa studi epidemiologi di tahun 1960 melaporkan morbiditas dan mortalitas yang lebih rendah dari beberapa penyakit kardiovaskular di daerah dengan air keras. Oleh karena itu, peneliti berfokus pada dua isu: 1) apa yang mungkin efek kesehatan yang merugikan dari air demineralised, dan

2) apa yang minimum dan yang diinginkan atau optimum isi dari zat yang relevan (misalnya, mineral) dalam air minum yang dibutuhkan untuk memenuhi pertimbangan baik teknis dan kesehatan. Para Pendekatan tradisional peraturan, yang sebelumnya berdasarkan membatasi risiko kesehatan dari konsentrasi berlebihan zat beracun dalam air, sekarang memperhitungkan efek samping yang mungkin karena kekurangan tertentu konstituen. Pada salah satu rapat kerja untuk penyusunan pedoman untuk minum kualitas air, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dianggap sebagai isu diinginkan atau komposisi mineral optimum desalinated air minum oleh berfokus pada efek kesehatan yang mungkin merugikan dari menghapus beberapa zat yang secara alami ada dalam air minum (WHO 1979). Pada tahun 1970-an, WHO juga menugaskan sebuah studi untuk memberikan informasi latar belakang untuk mengeluarkan pedoman untuk air desalinated. Penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti dari A.N. Sysin Institut Umum dan Kebersihan Umum dan Uni Soviet Academy of Medical Sciences di bawah arahan Profesor Sidorenko dan Dr Rakhmanin. Laporan akhir, diterbitkan sebagai kerja internal dokumen (WHO 1980), menyimpulkan bahwa "tidak hanya sepenuhnya air demineralised (distilat) telah properities organoleptik tidak memuaskan, namun juga memiliki pengaruh buruk yang pasti tentang hewan dan organisme manusia. " Setelah mengevaluasi kesehatan yang tersedia, organoleptik, dan informasi lainnya, Tim merekomendasikan bahwa air demineralised mengandung 1) tingkat minimum untuk. garam terlarut (100 mg / l), ion bikarbonat (30 mg / l), dan kalsium (30 mg / l),; 2.) Tingkat optimal untuk garam terlarut total (250-500 mg / l untuk klorida-sulfat air dan 250-500 mg / l untuk air bikarbonat);. 3) tingkat maksimum untuk alkalinitas (6,5 meq / l), natrium (200 mg / l), boron (0,5 mg / l), dan brom (0,01mg / l). Rekomendasi ini dibahas secara lebih rinci dalam bab ini. Selama tiga dekade terakhir, desalinasi telah menjadi secara luas dipraktekkan teknik dalam menyediakan pasokan air baru segar. Ada lebih dari 11 ribu tanaman desalinasi di seluruh dunia dengan produksi keseluruhan lebih dari 6 miliar galon air desalinated per hari. Di beberapa daerah seperti seperti Timur Tengah dan Asia Barat lebih dari setengah dari air minum diproduksi dengan cara ini. Desalinated perairan umumnya lebih diperlakukan oleh menambahkan bahan kimia konstituen seperti kalsium karbonat atau kapur, atau dicampur dengan volume lebih kecil yang kaya mineral air untuk meningkatkan selera mereka dan mengurangi agresivitas mereka ke jaringan distribusi serta pipa bahan. Namun, perairan desalinated dapat sangat bervariasi dalam komposisi karena berbagai fasilitas yang ada

dikembangkan berdasarkan kasus-per kasus tanpa kepatuhan dengan pedoman seragam (terlepas dari WHO Pedoman Kualitas Air Minum) untuk kualitas produk akhir dalam hal TDS minimal konten. Potensi efek kesehatan yang merugikan dari konsumsi jangka panjang dari air demineralised adalah kepentingan tidak hanya di negara-negara kurang segar yang memadai air tetapi juga di negara-negara di mana beberapa jenis sistem pengolahan air rumah secara luas digunakan atau di mana beberapa jenis air kemasan yang dikonsumsi. Banyak merek air kemasan yang diproduksi oleh air tawar demineralising dan kemudian menambahkan mineral untuk rasa yang diinginkan. Orang-orang tertentu jenis mengkonsumsi air mungkin tidak menerima mineral tambahan yang akan hadir di lebih sangat termineralisasi perairan. Akibatnya, eksposur dan resiko harus dipertimbangkan pada tingkat individu atau keluarga serta di tingkat masyarakat. 2. RISIKO KESEHATAN DARI KONSUMSI DARI RENDAH MINERAL AIR Pengetahuan tentang beberapa efek dari konsumsi air demineralised didasarkan pada data eksperimental dan observasional. Percobaan telah dilakukan di laboratorium hewan dan sukarelawan manusia, dan data pengamatan telah diperoleh dari populasi yang disertakan dengan air desalinated, individu minum reverse osmosis diperlakukan air demineralised, dan bayi diberikan minuman disiapkan dengan air suling. Karena informasi yang tersedia terbatas dari studi ini, kita juga harus mempertimbangkan hasil studi epidemiologi di mana efek kesehatan bagi penduduk dibandingkan menggunakan mineral rendah (lunak) air dan lebih kaya mineral air. Demineralised air yang belum remineralised dianggap sebagai kasus ekstrim air rendah mineral atau soft karena hanya berisi sejumlah kecil mineral seperti kalsium terlarut dan magnesium yang merupakan kontributor utama kekerasan. Konsekuensi kesehatan yang mungkin dari kandungan mineral konsumsi air yang rendah dibahas dalam kategori berikut: Langsung efek pada selaput lendir usus, metabolisme dan mineral homeostasis atau fungsi tubuh lainnya. Praktis nol kalsium dan asupan magnesium. Rendahnya asupan unsur-unsur penting lainnya dan microelements. DEMINERALISED ATAU

Hilangnya kalsium, magnesium dan unsur-unsur penting lainnya dalam makanan disiapkan. Kemungkinan peningkatan asupan makanan logam beracun kehabisan dari pipa air. Kemungkinan pertumbuhan kembali bakteri. 2,1 langsung efek dari kandungan mineral air rendah pada usus selaput lendir, metabolisme dan mineral homeostasis atau fungsi tubuh lainnya Distilasi mineral dan rendah kadar air (TDS <50 mg / l) dapat memiliki rasa negatif karakteristik yang konsumen dapat beradaptasi dengan waktu. Air ini juga dilaporkan kurang kehausan quenching (WHO 1980). Meskipun tidak dianggap efek kesehatan, mereka harus diperhitungkan ketika mempertimbangkan kesesuaian air kandungan mineral rendah untuk konsumsi manusia. Miskin organoleptik dan haus karakteristik dapat mempengaruhi jumlah air yang dikonsumsi atau orang lain menyebabkan untuk mencari, air mungkin kurang memuaskan sumber. Sebuah studi oleh Williams (1963) melaporkan bahwa air suling diperkenalkan ke dalam usus menyebabkan perubahan abnormal pada sel-sel epitel tikus, mungkin karena osmotik shock. Namun, kesimpulan yang sama tidak terjangkau oleh Schumann et al. Dalam studi yang lebih baru yang didasarkan pada 14-hari percobaan pada tikus (1993). Histologi tidak mengungkapkan tanda-tanda erosi, ulserasi atau peradangan pada kerongkongan, lambung dan jejunum. Sekretorik diubah fungsi dalam hewan (yaitu, peningkatan sekresi dan keasaman jus lambung) dan nada otot perut diubah dilaporkan dalam studi bagi WHO (1980), bagaimanapun, saat ini tersedia berdasarkan data, efek negatif langsung dari kandungan mineral air rendah pada pencernaan selaput lendir belum jelas ditunjukkan. Ini telah cukup menunjukkan bahwa mengkonsumsi air mineral yang rendah konten memiliki efek negatif pada mekanisme homeostasis, mengorbankan mineral dan air metabolisme di dalam tubuh. Peningkatan output urin (yaitu, peningkatan diuresis) dikaitkan dengan peningkatan ekskresi utama intra dan ion ekstraseluler dari cairan tubuh, keseimbangan negatif mereka, dan perubahan badan air tingkat dan aktivitas fungsional dari beberapa air tubuh managementdependent hormon. Percobaan pada hewan, terutama tikus, sampai satu tahun periode telah berulang kali menunjukkan bahwa asupan air suling atau air dengan TDS 75 mg / l mengarah ke: 1) asupan air meningkat, diuresis, volume cairan ekstraseluler, dan konsentrasi serum sodium (Na) dan klorida (Cl) ion dan meningkatkan mereka eliminasi dari tubuh,

sehingga keseimbangan negatif secara keseluruhan jika tidak memadai kompensasi dari makanan, dan 2) lebih rendah volume sel darah merah dan beberapa lain perubahan hematokrit (WHO 1980). Meskipun baru-baru ini studi (Rakhmaninet al. 1989) tidak menemukan efek mutagenik atau gonadotoxic air suling, mereka tidak menambahkan pengetahuan baru tentang penurunan sekresi tri-iodothyronine dan aldosteron, peningkatan sekresi kortisol, perubahan morfologi pada ginjal termasuk atrofi lebih menonjol dari glomeruli, dan bengkak endotelium vaskular membatasi aliran darah. Osifikasi tulang berkurang adalah juga ditemukan pada janin tikus yang diberi air bendungan suling dalam satu tahun- studi. Rupanya berkurang asupan mineral dari air tidak dikompensasi oleh diet mereka. Hasil percobaan pada sukarelawan manusia dievaluasi oleh peneliti untuk Laporan WHO (1980) berada dalam perjanjian dengan yang dilaporkan dalam percobaan hewan. Air mineral rendah jelas: 1) peningkatan diuresis (hampir sebesar 20%, pada rata-rata), tubuh volume air, dan konsentrasi natrium serum, 2) penurunan konsentrasi serum potasium, dan 3) meningkatkan penghapusan natrium, kalium, klorida, kalsium dan magnesium ion dari tubuh. Dasar mekanisme efek air rendah di TDS (misalnya <100 mg / l) di atas air dan homeostasis mineral disarankan sebagai berikut (WHO 1980). Rendah air mineral bertindak atas osmoreseptor dari saluran pencernaan, yang menyebabkan peningkatan aliran ion natrium ke dalam lumen usus dan sedikit penurunan tekanan osmotik dalam sistem portal vena dengan rilis berikutnya dari natrium ditingkatkan ke darah sebagai respon adaptasi. Perubahan osmotik dalam plasma darah hasil dalam redistribusi cairan tubuh, yaitu, ada peningkatan dalam total cairan ekstraseluler volume dan transfer air dari eritrosit dan interstisial cairan ke dalam plasma dan cairan intraseluler dan antara interstisial. Dalam menanggapi volume plasma berubah, baroreseptor dan reseptor volume yang dalam aliran darah diaktifkan, mendorong penurunan dalam rilis aldosteron dan sehingga peningkatan eliminasi natrium. Reaktivitas dari reseptor volume di kapal dapat mengakibatkan penurunan ADH rilis dan diuresis ditingkatkan. Masyarakat Jerman untuk Gizi mencapai kesimpulan yang sama, peringatan publik terhadap minum air suling (DgfE 1993). Peringatan ini diterbitkan dalam menanggapi edisi Jerman Kebenaran Mengejutkan Tentang Air (Bragg dan Bragg 1993), yang penulis merekomendasikan minum air suling, bukan air "biasa" minum. Masyarakat di

kertas posisi nya menjelaskan bahwa air dalam tubuh manusia selalu mengandung elektrolit (misalnya kalium dan natrium) pada konsentrasi tertentu dikontrol oleh tubuh. Air resorpsi oleh epitel usus juga diaktifkan oleh transportasi natrium. Jika air suling yang tertelan, usus harus menambahkan elektrolit ke air pertama, membawa mereka dari cadangan tubuh. Karena tubuh tidak pernah menghilangkan cairan dalam bentuk "murni" air tetapi selalu bersama-sama dengan garam, asupan elektrolit harus dipastikan. Konsumsi air suling menyebabkan pengenceran elektrolit dilarutkan dalam air tubuh. Badan yang tidak memadai air redistribusi antara kompartemen dapat mengganggu fungsi organ vital. Gejala pada sangat awal kondisi ini meliputi kelelahan, kelemahan dan sakit kepala; gejala yang lebih parah adalah kram otot dan detak jantung terganggu. Bukti tambahan berasal dari percobaan hewan dan klinis pengamatan di beberapa negara. Hewan yang diberikan seng atau magnesium dalam dosis 8 air minum mereka memiliki konsentrasi signifikan lebih tinggi dari unsur-unsur di serum dari hewan diberi elemen yang sama dalam jumlah yang jauh lebih tinggi dengan makanan dan dilengkapi dengan rendah air mineral untuk minum. Berdasarkan hasil percobaan dan pengamatan klinis dari kekurangan mineral pada pasien yang penyerapan usus tidak perlu diperhitungkan dan yang menerima gizi seimbang intravena diencerkan dengan air suling, Robbins dan Sly (1981) menduga bahwa asupan rendah air mineral bertanggung jawab untuk peningkatan penghapusan mineral dari tubuh. Reguler asupan rendah isi air mineral dapat dikaitkan dengan evolusi progresif dari perubahan yang dibahas di atas, mungkin tanpa manifestasi gejala atau gejala kausal selama bertahun-tahun. Namun demikian, kerusakan akut yang parah, seperti kejutan hyponatremic atau mengigau, dapat terjadi berikut upaya fisik yang intens dan menelan beberapa liter rendah-mineral air (Basnyat et al. 2000). Yang disebut "intoksikasi air" (hyponatremic syok) juga dapat terjadi dengan konsumsi yang cepat dalam jumlah yang berlebihan tidak hanya dari air mineral rendah tapi juga air keran. Para "keracunan" risiko meningkat seiring dengan penurunan tingkat TDS. Dalam, masalah kesehatan masa lalu akut dilaporkan dalam gunung pendaki yang telah menyiapkan minuman mereka dengan salju yang meleleh tidak dilengkapi dengan ion yang diperlukan. Sebuah kursus yang lebih parah dari kondisi seperti ditambah dengan otak edema, kejang dan asidosis metabolik dilaporkan di minuman bayi yang telah disiapkan dengan botol suling atau rendah-mineral air (CDC 1994).

2,2 Praktis nol asupan kalsium dan magnesium dari lowmineral air Kalsium dan magnesium kedua elemen penting. Kalsium adalah substansial komponen tulang dan gigi. Selain itu, memainkan peran dalam neuromuskuler rangsangan (yaitu, mengurangi, fungsi yang tepat dari miokard melakukan sistem, jantung dan kontraktilitas otot, transmisi informasi intraseluler dan coagulability darah. Magnesium memainkan peranan penting sebagai kofaktor suatu dan aktivator lebih dari 300 reaksi enzimatik termasuk glikolisis, ATP metabolisme, transportasi elemen seperti natrium, kalium, dan kalsium melalui membran, sintesis protein dan asam nukleat, neuromuskular rangsangan dan kontraksi otot. Meskipun air minum bukan merupakan sumber utama kalsium dan asupan magnesium, pentingnya kesehatan asupan tambahan ini elemen dari air minum mungkin lebih besar daripada kontribusi gizi dinyatakan sebagai proporsi dari total asupan harian unsur-unsur. Bahkan di negara industri, diet tidak kekurangan dalam hal kuantitas kalsium 9 dan magnesium, mungkin tidak dapat sepenuhnya mengkompensasi adanya kalsium dan, khususnya, magnesium, dalam air minum. Sejak awal 1960-an, studi epidemiologi di banyak negara di seluruh dunia telah melaporkan bahwa air lunak (yaitu, air rendah kalsium dan magnesium) dan air yang rendah magnesium dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas akibat penyakit kardiovaskular (CVD) dibandingkan dengan air keras dan air magnesium tinggi. Gambaran bukti epidemiologi disediakan oleh Tinjauan artikel terakhir (Sauvant dan Pepin 2002;. Donato et al 2003; Monarca et al. 2003; Nardi dkk. 2003) dan diringkas dalam bab-bab lain dari ini monografi (Calderon dan Craun, Monarca et al.). Penelitian terbaru juga menunjukkan bahwa asupan air lunak, yakni air rendah kalsium, dapat berhubungan dengan lebih tinggi risiko fraktur pada anak-anak (Verd Vallespir et al. 1992), tertentu penyakit neurodegeneratif (Jacqmin et al. 1994), pra-jangka lahir dan berat badan rendah pada saat kelahiran (Yang et al, 2002.) dan beberapa jenis kanker (Yang et al, 1997;. Yang et al. 1998). Selain peningkatan risiko kematian mendadak (Eisenberg 1992; Bernardi et al. 1995; Garzon dan Eisenberg 1998), asupan air rendah di magnesium tampaknya dikaitkan dengan risiko lebih tinggi penyakit saraf motorik (Iwami et al, 1994.), Gangguan kehamilan (disebut preeklamsia) (Melles & Ciuman 1992), dan beberapa jenis kanker (Yang et al 1999a;.. Yang et al 1999b; Yang et al. 1999c; Yang et al. 2000). Pengetahuan khusus tentang perubahan dalam metabolisme kalsium dalam suatu populasi disertakan dengan air desalinated (yaitu, air suling disaring melalui batu kapur) TDS rendah dan kalsium, diperoleh dari studi yang dilakukan di Uni Soviet kota Shevchenko. Penduduk setempat menunjukkan aktivitas

penurunan alkali fosfatase, konsentrasi plasma berkurang kalsium dan fosfor dan ditingkatkan dekalsifikasi jaringan tulang. Perubahan yang paling ditandai di perempuan, terutama perempuan hamil dan bergantung pada durasi tinggal di Shevchenko. (WHO 1980; Pribytkov 1972; Rakhmanin et al. 1973). Pentingnya kalsium air juga dikonfirmasi dalam studi satu tahun tikus pada diet sepenuhnya memadai dalam hal nutrisi dan garam dan diberi desalinated air dengan ditambahkan padatan terlarut 400 mg / l dan baik 5 mg / l, 25 mg / l, atau 50 mg / l kalsium (WHO 1980;. Rakhmanin et al 1976). Hewan-hewan diberi air dosis dengan 5 mg / l dari kalsium dipamerkan pengurangan thyroidal dan lainnya fungsi yang terkait dibandingkan dengan hewan yang diberi dua dosis yang lebih tinggi kalsium. Sementara efek bahan kimia yang paling sering ditemukan dalam air minum menampakkan diri setelah paparan panjang, efek kalsium dan, di tertentu, orang-orang dari magnesium pada sistem kardiovaskular diyakini mencerminkan eksposur terakhir. Hanya paparan beberapa bulan mungkin cukup Konsumsi time efek dari air yang rendah magnesium dan / atau kalsium. (Rubenowitz et al. 2000). Ilustrasi seperti eksposur jangka pendek kasus-kasus di populasi Ceko dan Slovakia yang mulai menggunakan reverse osmosis berbasis sistem untuk pengolahan akhir air minum PDAM di rumah mereka pada 2000-2002. Dalam beberapa minggu atau bulan berbagai keluhan kesehatan sugestif akut magnesium (dan mungkin kalsium) dilaporkan kekurangan (NIPH 2003). Diantara pengaduan gangguan kardiovaskular, kelelahan, kelemahan atau kram otot. Ini adalah dasarnya gejala yang sama tercantum dalam peringatan Masyarakat Jerman untuk Gizi.

2.3 Rendah asupan beberapa elemen penting dan microelements rendah-air mineral Meskipun air minum, dengan beberapa pengecualian langka, bukan sumber utama unsur esensial bagi manusia, kontribusinya mungkin penting untuk beberapa alasan. Diet modern banyak orang mungkin tidak menjadi sumber yang memadai mineral dan microelements. Dalam kasus kekurangan dari batas yang diberikan elemen, bahkan relatif rendah asupan elemen dengan air minum mungkin memainkan peran protektif yang relevan. Hal ini karena elemen biasanya hadir dalam air sebagai ion bebas dan oleh karenanya, lebih mudah diserap dari air dibandingkan dengan makanan di mana mereka kebanyakan terikat untuk zat lain. Studi hewan juga menggambarkan pentingnya microquantities dari beberapa elemen hadir dalam air. Misalnya,

Kondratyuk (1989) melaporkan bahwa variasi dalam asupan microelements dikaitkan dengan sampai enam kali lipat perbedaan dalam konten mereka dalam jaringan otot. Hasil ini ditemukan dalam 6 - bulan percobaan di mana tikus secara acak menjadi 4 kelompok dan diberikan: a) kran air, b) air mineral rendah, c) rendah ditambah dengan air mineral iodida, kobalt, tembaga, mangan, molibdenum, seng dan fluoride dalam air keran, d) air mineral rendah dilengkapi dengan elemen yang sama tetapi pada sepuluh kali konsentrasi yang lebih tinggi. Selain itu, efek negatif pada pembentukan darah Proses yang ditemukan terkait dengan air demineralised non ditambah. Berarti ulphate dalam konten dari sel darah merah sebanyak 19% lebih rendah pada hewan yang menerima air demineralised non-dilengkapi dibandingkan dengan yang diberikan pada hewan air keran. Perbedaan hemoglobin lebih besar bila dibandingkan dengan hewan diberi air ditambah. Terakhir epidemiologi studi desain ekologis antara Rusia populasi yang disertakan dengan air bervariasi dalam TDS menunjukkan bahwa mineral rendah air minum dapat menjadi faktor risiko hipertensi dan penyakit jantung koroner, ulkus lambung dan duodenum, gastritis kronis, gondok, komplikasi kehamilan dan beberapa komplikasi pada bayi baru lahir dan bayi, termasuk sakit kuning, anemia, patah tulang dan gangguan pertumbuhan (Mudryi 1999). Namun, tidak jelas apakah efek diamati dalam studi ini karena kandungan kalsium yang rendah dan magnesium atau unsurunsur penting lainnya, atau karena faktor lain. Lutai (1992) melakukan studi kohort besar epidemiologi di Ust-Ilim wilayah Rusia. Penelitian difokuskan pada morbiditas dan pembangunan fisik di 7658 orang dewasa, 562 anak-anak dan 1582 wanita hamil dan bayi mereka dalam dua daerah disertakan dengan air yang berbeda di TDS. Salah satu daerah itu dipasok dengan air yang lebih rendah dalam mineral (nilai mean: TDS 134 mg / l, kalsium 18,7 mg /l, magnesium 4,9 mg / l, bikarbonat 86,4 mg / l) dan yang lainnya dipasok dengan air yang lebih tinggi dalam mineral (nilai mean: TDS 385 mg / l, kalsium 29,5 mg / l, magnesium 8,3 mg / l, bikarbonat 243,7 mg / l). Air tingkat ulphate , klorida, natrium, kalium, tembaga, seng, mangan dan molibdenum yang juga ditentukan. Populasi dari dua daerah tidak berbeda dari satu sama lain dalam kebiasaan makan, kualitas udara, kondisi sosial dan waktu tinggal di masing-masing daerah. Penduduk daerah yang disertakan dengan air yang lebih rendah di mineral

menunjukkan tingkat insiden yang lebih tinggi gondok, hipertensi, jantung iskemik penyakit, ulkus lambung dan duodenum, gastritis kronis, kolesistitis dan nefritis. Anakanak yang tinggal di daerah ini dipamerkan pembangunan fisik lebih lambat dan kelainan pertumbuhan yang lebih, wanita hamil lebih sering menderita dari edema dan anemia. Bayi yang baru lahir dari daerah ini menunjukkan morbiditas lebih tinggi. Terendah morbiditas dikaitkan dengan kadar kalsium air memiliki dari 30-90 mg / l, magnesium tingkat 17-35 mg / l, dan TDS sekitar 400 mg / l (untuk bikarbonat mengandung air). Para penulis menyimpulkan bahwa air tersebut dapat dianggap sebagai fisiologis optimal. Air mineral yang lebih tinggi juga relatif tinggi di bikarbonat, dan Lutai menyarankan bahwa isi diinginkan bikarbonat air minum harus antara 250 dan 500 mg / l. Tinggi 2,4 hilangnya kalsium, magnesium dan lainnya penting unsur-unsur dalam makanan disiapkan dalam air mineral rendah Ketika digunakan untuk memasak, air lunak ditemukan menyebabkan kerugian besar semua elemen penting dari makanan (sayuran, daging, sereal). Kerugian tersebut dapat mencapai hingga 60% untuk magnesium dan kalsium atau bahkan lebih untuk beberapa lainnya microelements (misalnya, tembaga 66%, 70% mangan, kobalt 86%). Sebaliknya, ketika air keras yang digunakan untuk memasak, hilangnya elemen ini jauh lebih rendah, dan dalam beberapa kasus, kandungan kalsium lebih tinggi dilaporkan dalam makanan sebagai hasil memasak (WHO 1978; Haring dan Van Delft 1981; Oh et al, 1986.; Durlach 1988). Karena sebagian besar nutrisi tertelan dengan makanan, penggunaan air mineral rendah untuk pemasakan dan pengolahan makanan dapat menyebabkan defisiensi ditandai total asupan beberapa elemen penting yang jauh lebih tinggi dari yang diharapkan dengan menggunakan seperti air untuk minum saja. Diet saat banyak orang biasanya tidak menyediakan semua elemen yang dibutuhkan dalam jumlah yang cukup, dan karena itu, faktor apapun yang mengakibatkan hilangnya unsur-unsur esensial dan nutrisi selama pemrosesan dan persiapan makanan dapat merugikan bagi mereka 2,5 Peningkatan risiko dari logam beracun Rendah-mineralisasi air tidak stabil dan karena itu, sangat agresif untuk bahan yang datang ke dalam kontak. Air seperti lebih mudah menyerap logam dan beberapa zat organik dari pipa, pelapis, tangki penyimpanan dan kontainer, dan alat kelengkapan selang garis, karena tidak mampu membentuk rendah diserap kompleks dengan beberapa zat beracun dan sehingga mengurangi efek negatif mereka. Di antara delapan wabah keracunan kimia dari air

minum yang dilaporkan dalam Amerika Serikat pada 1993-1994, ada tiga kasus keracunan timbal pada bayi yang memiliki darah-lead tingkat 15 mg / dl, 37 mg / dl, dan 42 mg / dl. Tingkat kepedulian adalah 10 mg / dl. Untuk semua tiga kasus, timah telah kehabisan dari fitting kuningan dan leadsoldered jahitan di tangki penyimpanan air minum. Sistem air tiga digunakan minum air mineral yang rendah yang telah mengintensifkan proses pencucian (Kramer et al. 1996). Pertama-menimba air sampel di keran dapur telah mengakibatkan tingkat 495 untuk 1050 mg / l untuk dua bayi dengan timbal dalam darah tertinggi; 66 ug / l ditemukan pada sampel air yang dikumpulkan pada keran dapur bayi ketiga (Anon. 1994). Kalsium dan, pada tingkat lebih rendah, magnesium dalam air dan makanan yang dikenal untuk memiliki aktivitas bersifat antitoksin. Mereka dapat membantu mencegah penyerapan beberapa beracun elemen seperti timbal dan kadmium dari usus ke dalam darah, baik melalui Reaksi langsung yang menyebabkan terbentuknya senyawa unabsorbable atau melalui persaingan untuk situs pengikatan (Thompson 1970; Levander 1977; Oehme 1979; Hopps dan Feder 1986; Nadeenko et al. 1987; Durlach et al. 1989; Plitman et al. 1989). Meskipun ini efek perlindungan terbatas, tidak boleh diberhentikan. Populasi disertakan dengan air mineral rendah mungkin berada pada risiko yang lebih tinggi dalam hal efek samping dari paparan zat-zat beracun dibandingkan dengan populasi disertakan dengan mineralisasi air rata-rata dan kekerasan. 2,6 Kemungkinan kontaminasi bakteri rendah air mineral Semua air rentan terhadap kontaminasi bakteri baik pada sumber atau sebagai hasil dari mikroba pertumbuhan kembali dalam sistem pipa. Pertumbuhan kembali bakteri di dalam pipa sistem didorong oleh suhu awal yang lebih tinggi, suhu yang lebih tinggi dari air dalam sistem distribusi karena beriklim panas, kurangnya sisa disinfektan dan ketersediaan nutrisi yang lebih besar mungkin karena agresif sifat air untuk bahan dalam kontak dengan itu. Dengan tidak adanya suatu disinfektan pertumbuhan kembali sisa mungkin juga terjadi pada air desalinated. Meskipun membran desalinasi utuh harus menghapus semua bakteri, hal itu mungkin tidak 100% efektif (mungkin karena kebocoran) seperti dapat didokumentasikan oleh wabah tipus demam yang disebabkan oleh reverse osmosisdiperlakukan air di Arab Saudi pada tahun 1992 (al- Qarawi et al. 1995). Resiko kontaminasi bakteri dari air yang diolah dengan berbagai jenis perangkat perawatan di rumah air dilaporkan oleh Geldreich et al. (1985) dan Pembayaran et al. (1989, 1991). Ceko Institut Nasional Kesehatan Masyarakat (NIPH, 2003) di Praha telah menguji

keamanan produk yang ditujukan untuk kontak dengan air minum dan menemukan bahwa tank-tank tekanan dari unit reverse osmosis rentan terhadap pertumbuhan kembali bakteri. Mereka berisi kantong karet yang permukaannya tampaknya menguntungkan bagi bakteri pertumbuhan 3. Diinginkan MINERAL ISI Demineral AIR MINUM Sifat korosif air demineralised dan potensi resiko kesehatan yang berhubungan untuk distribusi dan konsumsi air TDS yang rendah telah menyebabkan rekomendasi dari kandungan mineral minimum dan optimum dalam minum air dan kemudian, di beberapa negara, pembentukan nilai-nilai wajib di legislatif atau peraturan teknis masing-masing untuk kualitas air minum. Karakteristik organoleptik dan haus-quenching kapasitas juga dianggap dalam rekomendasi. Sebagai contoh, studi relawan manusia (WHO 1980) menunjukkan bahwa suhu air 15-350 C fisiologis puas terbaik kebutuhan. Air suhu di atas 350 atau di bawah 150 C menghasilkan pengurangan di konsumsi air. Air dengan TDS dari 25-50 mg / l digambarkan hambar (WHO 1980). 3.1 Laporan WHO tahun 1980 Garam yang tercuci dari tubuh di bawah pengaruh air minum dengan TDS rendah. Karena efek samping seperti air garam diubah keseimbangan yang diamati tidak hanya di air benar-benar desalinated tetapi juga dalam air dengan TDS antara 50 dan 75 mg / l, tim yang menyiapkan laporan WHO 1980 merekomendasikan bahwa TDS dalam air minum minimal harus 100 mg / l. Tim juga merekomendasikan bahwa TDS optimal harus sekitar 200-400 mg / l untuk kloridasulfat perairan dan 250-500 mg / l untuk perairan bikarbonat (WHO 1980). Rekomendasi didasarkan pada eksperimen yang luas studi yang dilakukan pada tikus, anjing dan sukarelawan manusia. Eksposur air termasuk Moscow air keran, air desalinated sekitar 10 mg / l TDS, dan laboratorium disiapkan air 50, 100, 250, 300, 500, 750, 1000, dan 1500 mg / l TDS menggunakan konstituen berikut dan proporsi: Cl (40%), HCO3-(32%), SO4 (28%) / Na (50%), Ca (38%), Mg (12%). Sejumlah hasil kesehatan diselidiki termasuk: dinamika berat badan, basal dan nitrogen metabolisme, enzim aktivitas, air-garam homeostasis dan sistem regulasi, mineral isi dari jaringan tubuh dan cairan, hematokrit, dan aktivitas ADH. Para TDS optimal terkait dengan insiden terendah efek samping, negatif perubahan pada manusia, anjing, atau tikus, karakteristik organoleptik yang baik dan haus-quenching sifat, dan corrosivity mengurangi air. Selain tingkat TDS, tim (WHO 1980) merekomendasikan bahwa

kalsium konten minimum air minum harus desalinated 30 mg / l. Tingkat ini didasarkan pada masalah kesehatan dengan efek yang paling kritis yang perubahan hormonal dalam metabolisme kalsium dan fosfor dan mineral berkurang saturasi jaringan tulang. Juga, ketika kalsium meningkat menjadi 30 mg / l, yang Aktivitas korosif air desalinated akan lumayan berkurang dan air akan lebih stabil (WHO 1980). Tim (WHO 1980) juga direkomendasikan kandungan ion bikarbonat dari 30 mg / l sebagai tingkat pokok minimum diperlukan untuk mencapai karakteristik organoleptik dapat diterima, corrosivity berkurang, dan konsentrasi kesetimbangan untuk tingkat minimum yang disarankan dari kalsium. 3.2 Terbaru rekomendasi Penelitian yang lebih baru telah memberikan informasi tambahan tentang minimal dan tingkat optimal mineral yang harus di dalam air demineralised. Untuk Misalnya, efek air minum kekerasan berbeda pada status kesehatan perempuan berusia 20 sampai 49 tahun adalah subjek dari dua kohort studi epidemiologi (460 dan 511 perempuan) di empat kota Siberia Selatan (Levin et al 1981; Novikov et al 1983). Air di Kota air A memiliki terendah kadar kalsium dan magnesium (3,0 mg / l kalsium dan 2,4 mg / l magnesium). Air di kota B memiliki tingkat sedikit lebih tinggi (18,0 mg / l kalsium dan 5,0 mg / l magnesium). Tingkat tertinggi ada di kota C (22,0 mg / l kalsium dan 11,3 mg / l magnesium) dan kota D (45,0 mg / l kalsium dan 26,2 mg / l magnesium). Perempuan yang tinggal di kota A dan B lebih sering menunjukkan perubahan kardiovaskular (yang diukur dengan ECG), tekanan darah tinggi, somatoform disfungsi otonom, sakit kepala, pusing, dan osteoporosis (sebagai diukur dengan sinar-X absoptiometry dibandingkan dengan kotakota C dan D. Ini Hasil penelitian menunjukkan bahwa isi magnesium minimum air minum harus menjadi 10 mg / l dan kandungan kalsium minimum harus 20 mg / l bukan dari 30 mg / l seperti yang direkomendasikan pada tahun 1980 (WHO 1980). Berdasarkan data yang tersedia saat ini, berbagai peneliti telah merekomendasikan bahwa tingkat berikut kalsium, magnesium, dan kesadahan air harus dalam air minum: 15 Untuk magnesium, minimal 10 mg / l (Novikov et al 1983;. Rubenowitz et al. 2000) dan optimum sekitar 20-30 mg / l (Durlach et al, 1989.; Kozisek 1992); Untuk kalsium, minimal 20 mg / l (Novikov et al 1983.) Dan optimal dari sekitar 50 (40-80) mg / l (Rakhmanin et al 1990;. Kozisek 1992);

Untuk kesadahan air total, jumlah kalsium dan magnesium harus 2 sampai 4 mmol / l (Plitman et al, 1989;. Lutai 1992; Muzalevskaya et al, 1993.; Golubev dan Zimin 1994). Pada konsentrasi tersebut, minimum atau tidak ada efek kesehatan yang merugikan yang diamati. Efek kesehatan maksimal pelindung atau manfaat dari meminum air tampaknya terjadi pada konsentrasi yang diinginkan atau optimum diperkirakan.Tingkat magnesium direkomendasikan didasarkan pada sistem kardiovaskular efek, sementara perubahan dalam metabolisme kalsium dan pengerasan digunakan sebagai dasar untuk tingkat kalsium yang direkomendasikan. Batas atas kekerasan kisaran optimal berasal dari data yang menunjukkan risiko yang lebih tinggi batu empedu, batu ginjal, batu kemih, arthrosis dan artropati pada populasi yang disediakan dengan air kekerasan yang lebih tinggi dari 5 mmol / l. Jangka panjang asupan air minum diperhitungkan dalam memperkirakan konsentrasi tersebut. Untuk jangka pendek indikasi terapi beberapa perairan, konsentrasi yang lebih tinggi dari elemen-elemen ini dapat dipertimbangkan. 3.3 Pedoman dan petunjuk untuk kalsium, magnesium, dan tingkat kesadahan dalam air minum WHO dalam edisi-2 Pedoman Kualitas Air Minum (WHO 1996) dievaluasi kalsium dan magnesium dalam hal kekerasan air tetapi tidak merekomendasikan baik tingkat minimum atau batas maksimum untuk kalsium, magnesium, atau kekerasan. Directive Eropa pertama (Uni Eropa 1980) mendirikan persyaratan untuk kekerasan minimum untuk air lunak atau desalinated ( 60 mg / l sebagai kation kalsium atau setara). Persyaratan ini muncul wajib di perundang-undangan nasional dari semua anggota MEE, tapi Instruksi ini berakhir pada Desember 2003 ketika sebuah Directive baru (Uni Eropa 1998) menjadi efektif. Petunjuk baru tidak berisi persyaratan untuk kalsium, magnesium, atau air tingkat kekerasan. Di sisi lain, tidak mencegah negara anggota dari melaksanakan persyaratan tersebut ke nasional mereka undang-undang. Hanya beberapa negara anggota Uni Eropa (misalnya Belanda) telah memasukkan kalsium, magnesium, atau air kesadahan dalam peraturan nasional mereka sebagai persyaratan yang mengikat. Beberapa negara anggota Uni Eropa (misalnya Austria, Jerman) termasuk parameter ini di tingkat bawah sebagai peraturan mengikat, seperti teknis standar (misalnya, tindakan yang berbeda untuk pengurangan corrosivity air). Sebaliknya, keempat negara Eropa Tengah yang menjadi bagian dari Uni Eropa di 2004 mungkin telah memasukkan persyaratan berikut dalam masing-masing peraturan tetapi bervariasi dalam kekuatan mengikat

; Republik Ceko (2004): untuk air lunak 30 mg / l kalsium dan 10mg / l magnesium; pedoman tingkat 40-80 mg / l kalsium dan 20-30 mg / lmagnesium (kekerasan sebagai Ca + Mg =2,0-3,5mmoll). Hungaria (2001): kekerasan 50-350 mg / l (sebagai CaO); minimum yang diperlukan konsentrasi 50 mg / l harus dipenuhi dalam air minum kemasan, baru sumber air, dan melunak dan desalinated air. Polandia(2000):.60-500mg/l(sebagaiCaCO3)kekerasan Slowakia (2002): tingkat pedoman> 30 mg / l kalsium dan 10 - 30 mg / l magnesium. Teknis Astronot Rusia lingkungan standar di angkasa dikemudikan - Persyaratan medis dan teknis umum (Anonim 1995) mendefinisikan persyaratan kualitatif untuk daur ulang air dimaksudkan untuk minum di angkasa. Diantara persyaratan lainnya, TDS harus berkisar antara 100 dan 1000 mg / l dengan tingkat minimum fluorida, kalsium dan magnesium yang ditentukan oleh komisi khusus secara terpisah untuk setiap penerbangan kosmik. Fokusnya adalah pada bagaimana suplemen air daur ulang dengan konsentrat mineral untuk membuatnya "Fisiologis berharga" (Sklyar et al. 2001). 4. KESIMPULAN Minum air harus mengandung tingkat minimum mineral esensial tertentu (Dan komponen lain seperti karbonat). Sayangnya, selama melewati dua dekade, perhatian penelitian kecil telah diberikan kepada bermanfaat atau pelindung efek dari zat air minum. Fokus utama adalah pada kontaminan dan toksikologi sifat mereka. Namun demikian, beberapa studi telah berusaha untuk menentukan isi minimum dari elemen penting atau TDS dalam air minum, dan beberapa negara telah memasukkan persyaratan atau pedoman untuk bahan yang dipilih dalam peraturan air mereka minum. Meskipun kasus-kasus luar biasa, masalah yang relevan tidak hanya di mana air minum diperoleh dengan desalinasi (jika tidak cukup re-mineralisasi) tetapi juga di mana rumah perawatan atau air pusat pengobatan mengurangi isi dari mineral penting dan rendah mineral botolan air yang dikonsumsi. Meskipun air minum yang diproduksi oleh desalinasi distabilkan dengan beberapa mineral, ini biasanya tidak terjadi untuk air demineralised sebagai akibat dari rumah tangga pengobatan. Bahkan ketika stablized, komposisi akhir dari beberapa perairan mungkin tidak memadai dalam hal memberikan manfaat kesehatan. Meskipun desalinated perairan yang dilengkapi terutama dengan

kalsium (kapur) atau karbonat lainnya, mereka mungkin kekurangan magnesium dan microelements lain seperti fluoride dan kalium, seperti perairan paling alami. Selanjutnya, jumlah kalsium yang dilengkapi didasarkan pada pertimbangan teknis (yaitu, mengurangi agresivitas) bukan pada masalah kesehatan. Mungkin tidak ada yang biasa cara menggunakan re-mineralisasi bisa dianggap optimal, karena air tidak mengandung semua komponen yang menguntungkan. Saat ini metode stabilisasi terutama ditujukan untuk mengurangi efek korosif demineralised air. Demineralised air yang belum remineralized, atau rendah-mineral kandungan air - dalam terang dari tidak adanya atau kurangnya substansial penting mineral di dalamnya - tidak dianggap air minum yang ideal, dan karena itu, regulernya konsumsi mungkin tidak memberikan tingkat yang memadai dari beberapa nutrisi yang bermanfaat. Bab ini memberikan alasan untuk kesimpulan ini. Bukti dalam hal efek eksperimental dan temuan pada manusia relawan yang berhubungan dengan air yang sangat demineralised kebanyakan ditemukan di tua studi, beberapa di antaranya mungkin tidak memenuhi kriteria metodologi saat ini. Namun, temuan dan kesimpulan tidak boleh diberhentikan. Beberapa studi ini adalah unik, dan studi intervensi, meskipun tidak diarahkan, tidak akan ilmiah, finansial, atau etis layak untuk tingkat hari yang sama. Para Namun, metode tidak begitu dipertanyakan untuk selalu membatalkan mereka hasil. Hewan yang lebih tua dan studi klinis pada risiko kesehatan dari minum demineralised air mineral atau rendah menghasilkan hasil yang konsisten baik dengan masing-masing lain dan dengan penelitian yang lebih baru, dan penelitian terbaru telah cenderung mendukung. Bukti yang cukup sekarang tersedia untuk mengkonfirmasi risiko kesehatan dari minum kekurangan kalsium atau magnesium air. Banyak penelitian menunjukkan bahwa air yang lebih tinggi magnesium terkait dengan penurunan risiko CVD dan terutama untuk tiba tiba kematian akibat CVD. Hubungan ini telah mandiri dijelaskan dalam studi epidemiologi dengan desain studi yang berbeda, yang dilakukan di berbagai daerah (dengan populasi yang berbeda), dan pada waktu yang berbeda. Yang konsisten pengamatan epidemiologi yang didukung oleh data dari otopsi, klinis, dan studi hewan. Biologis masuk akal untuk efek perlindungan dari magnesium substansial, namun spesifisitas kurang jelas karena multifaktorial etiologi CVD. Selain peningkatan risiko kematian mendadak, telah menyarankan bahwa asupan air rendah magnesium dapat dikaitkan dengan lebih tinggi risiko penyakit saraf motorik, gangguan kehamilan (yang disebut preeklamsia, dan kematian mendadak pada bayi) dan beberapa jenis kanker. Terakhir studi menunjukkan bahwa asupan air lunak, yakni air rendah

kalsium, adalah berhubungan dengan risiko tinggi fraktur pada anak-anak, neurodegenerative tertentu penyakit, lahir prematur dan berat badan rendah saat lahir dan beberapa jenis kanker. Selanjutnya, kemungkinan peran kalsium air dalam pengembangan CVD tidak bisa dikesampingkan. Internasional dan nasional yang bertanggung jawab untuk kualitas air minum berwenang harus mempertimbangkan pedoman untuk perawatan desalinasi air, menetapkan minimal isi dari elemen yang relevan seperti kalsium dan magnesium dan TDS. Jika penelitian tambahan diperlukan untuk menetapkan pedoman, otoritas ini harus mempromosikan penelitian yang ditargetkan dalam bidang ini untuk menguraikan manfaat kesehatan. Jika pedoman yang ditetapkan untuk bahan yang harus di dalam air deminerialized, berwenang harus memastikan bahwa pedoman ini juga berlaku untuk penggunaan rumah tertentuperawatan perangkat dan air botol.

5. REFERENCES Anonymous (1995) GOST R 50804-95 Astronaut environment in piloted spaceships general medical and technical requirements. (In Russian.) Russian Governmental Standard. Gosstandard Rossii, Moscow. Anonymous (1994) Epidemiologic notes and reports lead-contaminated drinking water in bulk-storage tanksArizona and California, 1993. MMWR 43(41), 751; 757-758. Basnyat, B., Sleggs, J. and Spinger, M. (2000) Seizures and delirium in a trekker: the consequences of excessive water drinking? Wilderness Environ. Med. 11, 69-70. Bernardi, D., Dini, F.L., Azzarelli, A., Giaconi, A., Volterrani, C. and Lunardi, M. (1995) Sudden cardiac death rate in an area characterized by high incidence of coronary artery disease and low hardness of drinking water. Angiology 46, 145-149. Bragg, P.C. and Bragg, P. (1993) The Shocking Truth about Water. 27th ed. Health

Science, Santa Barbara, CA. CDC (1994) Hyponatremic seizures among infants fed with commercial bottled drinking water Wisconsin, 1993. MMWR 43, 641-643. DgfE (Deutsche Gesellschaft fr Ernhrung) (1993) Drink distilled water? (In German.) Med. Mo. Pharm. 16, 146. Donato, F., Monarca, S., Premi, S., and Gelatti, U (2003) Drinking water hardness and chronic degenerative diseases. Part III. Tumors, urolithiasis, fetal malformations, deterioration of the cognitive function in the aged and atopic eczema. (In Italian.) Ann. Ig. 15, 57-70. Durlach, J. (1988) The importance of magnesium in water. In Magnesium in Clinical Practice (ed. J.Durlach), pp 221-222, John Libbey & Co Ltd, London. Durlach, J., Bara, M. and Guiet-Bara, A. (1989) Magnesium level in drinking water: its importance in cardiovascular risk. In Magnesium in Health and Disease (ed.Y.Itokawa and J.Durlach), pp. 173-182, J.Libbey & Co Ltd, London. Eisenberg, M.J. (1992) Magnesium deficiency and sudden death. Am. Heart J. 124, 544-549. European Union (1980) Council Directive 80/778/EEC of 15 July 1980 relating to the quality of water intended for human consumption. Off. J. Eur. Commun. L229, 11- 29. European Union (1998) Council Directive 98/83/EC of 3 November 1998 on the quality of water intended for human consumption. Off. J. Eur. Commun. L330, 32-54. Garzon, P. and Eisenberg, M.J. (1998) Variation in the mineral content of commercially available bottled waters: implication for health and disease. Am. J. Med. 105, 125- 130. Geldreich, E.E., Taylor, R.H., Blannon, J.C. and Reasoner, D.J. (1985) Bacterial colonization of point-of-use water treatment devices. Journal AWWA 77, 72-80. Golubev, I.M. and Zimin, V.P. (1994) On the standard of total hardness in drinking water. (In Russian.) Gig. Sanit. No. 3/1994 (volume not given), 22-23. Haring, B.S.A. and Van Delft, W. (1981) Changes in the mineral composition of food as

a result of cooking in hard and soft waters. Arch. Environ. Health 36, 33-35. Hopps, H.C. and Feder, G.L. (1986) Chemical qualities of water that contribute to human health in a positive way. Sci. Total Environ. 54, 207-216. Iwami, O., Watanabe, T., Moon, Ch.S., Nakatsuka, H. and Ikeda, M. (1994) Motor neuron disease on the Kii Peninsula of Japan: excess manganese intake from food coupled with low magnesium in drinking water as a risk factor. Sci. Total Environ. 149, 121-135. Jacqmin, H., Commenges, D., Letenneur, L., Barberger-Gateau, P. and Dartigues, J.F. (1994) Components of drinking water and risk of cognitive impairment in the elderly. Am. J. Epidemiol. 139, 48-57. Kondratyuk, V.A. (1989) On the health significance of microelements in low-mineral water. (In Russian.) Gig. Sanit. No.2/1989 (volume not given), 81-82. Kozisek, F. (1992) Biogenic value of drinking water. (In Czech.) PhD thesis. National Institute of Public Health, Praha. Kramer, M.H., Herwaldt, B.L., Craun, G.F., Calderon, R.L. and Juranek, D.D. (1996) Surveillance for Waterborne-Disease Outbreaks United States, 1993-1994. In: CDC Surveillance Summaries, April 12, 1996. MMWR 45 (No. SS-1), 1-33. Levander, O.A. (1977). Nutritional factors in relation to heavy metal toxicants. Fed. Proc. 36, 1683-1687. Levin, A.I., Novikov, J.V., Plitman, S.I., Noarov, J.A. and Lastochkina, K.O. (1981) Effect of water of varying degrees of hardness on the cardiovascular system. (In Russian.) Gig. Sanit. No. 10/1981 (volume not given), 16-19. Lutai, G.F. (1992) Chemical composition of drinking water and the health of population. (In Russian.) Gig. Sanit. No. 1/1992 (volume not given), 13-15. Melles, Z. and Kiss, S.A. (1992) Influence of the magnesium content of drinking water and of magnesium therapy on the occurrence of preeclampsia. Magnes. Res. 5, 277-279.

Monarca, S., Zerbini, I., Simonati, C. and Gelatti, U. (2003) Drinking water hardness and chronic degenerative diseases. Part II. Cardiovascular diseases. (In Italian.) Ann. Ig.15, 41-56. Mudryi, I.V. (1999) Effects of the mineral composition of drinking water on the populations health (review). (In Russian.) Gig. Sanit. No.1/1999 (volume not given), 15-18. 20 Muzalevskaya, L.S., Lobkovskii, A.G. and Kukarina, N.I. (1993) Incidence of choleand nephrolithiasis, osteoarthrosis, and salt arthropathies and drinking water hardness.(In Russian.) Gig. Sanit. No. 12/1993 (volume not given), 17-20. Nadeenko, V.G., Lenchenko, V.G. and Krasovskii, G.N. (1987) Combined effect of metals during their intake with drinking water. (In Russian.) Gig. Sanit. No.12 /1987 (volume not given), 9-12. Nardi, G., Donato, F., Monarca, S., and Gelatti, U. (2003) Drinking water hardness and chronic degenerative diseases. Part I. Analysis of epidemiological research. (In Italian.) Annali di igiene - medicina preventiva e di comunita 15, 35-40. NIPH (National Institute of Public Health) (2003) Internal data. Prague Novikov, J.V., Plitman, S.I., Levin, A.I. and Noarov, J.A. (1983) Hygienic regulation for he minimum magnesium level in drinking water. (In Russian.) Gig. Sanit. No. 9/1983 (volume not given), 7-11. Oehme, F.W. (ed.) (1979). Toxicity of heavy metals in the environment. Part 1. M.Dekker, New York. Oh, C.K., Lcker, P.W., Wetzelsberger, N. and Kuhlmann, F. (1986) The determination of magnesium, calcium, sodium and potassium in assorted foods with special attention to the loss of electrolytes after various forms of food preparations. Mag.- Bull. 8, 297302. Payment, P. (1989) Bacterial colonization of reverse-osmosis water filtration units. Can.

J. Microbiol. 35, 1065-1067. Payment, P., Franco, E., Richardson, L. and Siemiatycki, J. (1991) Gastrointestinal health effects associated with the consumption of drinking water produced by point-of-use domestic reverse-osmosis filtration units. Appl. Environ. Microbiol. 57, 945-948. Plitman, S.I., Novikov, Yu.V., Tulakina, N.V., Metelskaya, G.N., Kochetkova, T.A. and Khvastunov, R.M. (1989) On the issue of correction of hygenic standards with account of drinking water hardness. (In Russian.) Gig. Sanit. No. 7/1989 (volume not given), 7-10. Pribytkov Yu N. (1972) .(In Russian.) Gig. Sanit. No., 103-105. Rakhmanin Yu A., Lycnikova, T.D., ., Michailova, R.I. (1973) Coll.: Water Hygiene and the Public Health Protection of Water Bodies (In Russian.), Moscow, Acad. Med. Sci. USSR, fasc. 3, 44-51. Rakhmanin, Yu A., Bonasevskaya, T.I., Lestrovoy, A.P., Michailova, R.I., Guscina, L.M. (1976) Coll.: Public Health Aspects of Environmental Protection (In Russian.), Moscow, Acad. Med. Sci. USSR, fasc. 3, 68-71. Rakhmanin, Yu.A., Mikhailova, R.I., Filippova, A.V., Feldt, E.G., Belyaeva, N.N., Lamentova, T.G. and Kumpan, N.B., (1989) On some aspects of biological effects of distilled water. (In Russian.) Gig. Sanit. No. 3/1989 (volume not given), 92-93. Rachmanin, Yu.A., Filippova, A.V., Michailova, R.I., Belyaeva, N.N., Lamentova, T.G., Kumpan, N.B. and Feldt, E.G. 1990 Hygienic assessment of mineralizing lime materials used for the correction of mineral composition of low-mineralized water. (In

Russian.) Gig. Sanit. No. 8/1990 (volume not given), 4-8. Robbins, D.J. and Sly, M.R. (1981) Serum zinc and demineralized water. Am. J. Clin. Nutr. 34, 962-963. Rubenowitz, E., Molin, I., Axelsson, G. and Rylander, R. (2000) Magnesium in drinking water in relation to morbidity and mortality from acute myocardial infarction. Epidemiology 11, 416-421. Sadgir, P. and Vamanrao, A. (2003) Water in Vedic Literature. In Abstract Proceedings of the 3rd International Water History Association Conference, Alexandria 2003, (http://www.iwha.net/a_abstract.htm). Sauvant, M-P. and Pepin, D. (2002) Drinking water and cardiovascular disease. Food Chem. Toxicol. 40, 1311-1325. Schumann, K., Elsenhans, B., Reichl, F.X., Pfob, H. and Wurster, K.H. (1993) Does intake of highly demineralized water damage the rat gastrointestinal tract? Vet. Hum. Toxicol. 35, 28-31. Sklyar, E.F., Amiragov, M.S., Berezkin, S.V., Kurochkin, M.G. and Skuratov, V.M. (2001) Recovered water mineralization technique. (In Russian.) Aviakosm. Ekolog. Med. 35(5), 55-59.Thompson, D.J. (1970) Trace element in animal nutrition. 3rd ed. Int. Minerals and Chem. Corp., Illinois. Verd Vallespir, S., Domingues Sanches, J., Gonzales Quintial, M., Vidal Mas, M., Mariano Soler, A.C., de Roque Company, C. and Sevilla Marcos, J.M. (1992) Association between calcium content of drinking water and fractures in children (in Spanish). An. Esp. Pediatr. 37, 461-465. WHO (1978) How trace elements in water contribute to health. WHO Chronicle 32, 382385. WHO (1979) Health effects of the removal of substances occurring naturally in drinking water, with special reference to demineralized and desalinated water. Report on a working group (Brussels, 20-23 March 1978). EURO Reports and Studies 16.

World Health Organization, Copenhagen. WHO (1980) Guidelines on health aspects of water desalination. ETS/80.4. World Health Organization, Geneva. WHO (1996) Guidelines for Drinking-water Quality. 2nd edn, vol. 2, Health Criteria and Other Supporting Information. pp 237-240. World Health Organization, Geneva. Williams, A.W. (1963) Electron microscopic changes associated with water absorption in the jejunum. Gut 4, 1-7. Yang, Ch.Y., Chiu, H.F., Chiu, J.F., Tsai, S.S. and Cheng, M.F. (1997) Calcium and magnesium in drinking water and risk of death from colon cancer. Jpn. J. Cancer Res. 88, 928-933. Yang, Ch.Y., Cheng, M.F., Tsai, S.S. and Hsieh, Y.L. (1998) Calcium, magnesium, and nitrate in drinking water and gastric cancer mortality. Jpn. J. Cancer Res. 89, 124-130. Yang, Ch.Y., Chiu, H.F., Cheng, M.F., Tsai, S.S., Hung, Ch.F. and Lin, M.Ch. (1999a) Esophageal cancer mortality and total hardness levels in Taiwans drinking water. Environ. Research, Section A 81, 302-308. Yang, Ch.Y., Chiu, H.F., Cheng, M.F., Tsai, S.S., Hung, Ch.F. and Tseng, Y.T. (1999b) Pancreatic cancer mortality and total hardness levels in Taiwans drinking water. J. Toxicol. Environ. Health A 56, 361-369. Yang, Ch.Y., Tsai, S.S., Lai, T.Ch., Hung, Ch.F. and Chiu, H.F. (1999c) Rectal cancer mortality and total hardness levels in Taiwans drinking water. Environ. Research, Section A 80, 311-316. Yang, Ch.Y., Chiu, H.F., Cheng, M.F., Hsu, T.Y., Cheng, M.F. and Wu. T.N. (2000) Calcium and magnesium in drinking water and the risk of death from breast cancer. J. Toxicol. Environ. Health, Part A 60, 231-241. Yang, Ch.Y., Chiu, H.F., Chang, Ch. Ch., Wu, T.N. and Sung, F.Ch. (2002) Association

of very low birth weight with calcium levels in drinking water. Environ. Research, Section A 89, 189-194.

PENETAPAN KADAR Fe DAN Zn DI DALAM TEMPE YANG DI BUNGKUS PLASTIK DAN DAUN YANG DIJUAL DI PASAR KARTASURA DENGAN MENGGUNAKAN METODE PENGAKTIFAN NEUTRON

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Lebih dari 70% makanan yang beredar dan dijual di pasaran diproduksi oleh industri rumah tangga yang dalam proses produksinya kebanyakan masih jauh dari persyaratan kesehatan, keselamatan atau bahkan hampir tidak memenuhipersyaratan sama sekali (Sartono, 2001). Tempe merupakan salah satu produk dari industri rumah tangga karena tempe adalah salah satu makanan yang memiliki kandungan gizi dan protein yang cukup tinggi, selain itu harganya juga terjangkau sehingga tempe merupakan makanan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Saat ini berbagai produsen makanan dan minuman berusaha menarik konsumen dengan meningkatkan kualitas produknya, sebagai contoh peningkatan tampilan produk dengan dilindungi pembungkus. Hal tersebut untuk menjaga kualitas dari produk itu sendiri dan untuk menghindari makanan dari cemaran partikel-partikel di udara. Tetapi terlepas dari itu, timbul pula permasalahan apakah kemungkinan tempe tersebut juga terkontaminasi oleh bakteri, senyawa-senyawa kimia dan logam-logam berat baik logam non esensial maupun logam esensial seperti logam Zn dan Fe. Kemungkinan tempe juga dapat tercemar selama proses pengolahan, serta alat yang digunakan karena sebagian besar peralatan yang digunakan masih tergolong sederhana, seperti aluminium dimana Zn sendiri sering digunakan sebagai campuran produksi logam. Selain itu tidak menutup kemungkinan kontaminasi juga terjadi pada saat proses pendistribusian tempe dari industri ke pasar, kemungkinan tempe yang dijual di Pasar juga bisa tercemar oleh partikelpartikel diudara karena adanya material dari kendaraan bermotor yang sudah tidak layak pakai atau bisa juga disebabkan kerena knalpot yang dipakai telah keropos. Menurut penelitian (Pollizzi et al., 2007) di dalam udara terkandung logam Fe walaupun dalam konsentrasi yang kecil yaitu sebesar 0,95-0,56 g/m3 . Logam esensial seperti Zn dan Fe dalam dosis rendah dapat menyebabkan kenaikan absorpsi Pb dan Cd didalam tubuh

akan tetapi logam Fe dan Zn pada kadar tertentu masih diperlukan bagi tubuh dalam proses biokimia, tetapi dalam jumlah yang berlebih logam tersebut dapat menyebabkan keracunan (Darmono, 1995). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk menentukan seberapa besar kadar logam Fe dan Zn yang terkandung pada tempe yang dibungkus plastik dan daun yang dijual di Pasar Kartasura dengan Analisis Pengaktifan Neutron (APN). Kelebihan dari APN ini adalah mampu menganalisis unsur-unsur kelumit dalam suatu cuplikan bersama-sama, tanpa pemisahan kimia, penyiapan cuplikan yang mudah dan cepat, serta mempunyai kepekaan yang tinggi (Susetyo, 1988). B. Perumusan masalah Rumusan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah : 1. Apakah dalam tempe yang dibungkus plastik dan daun yang dijual di Pasar Kartasura terdapat logam Fe dan Zn? 2. Berapakah kadar logam Fe dan Zn dalam tempe berdasarkan perbedaan pembungkus plastik dan daun yang dijual di Pasar Kartasura?

C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Untuk membuktikan adanya logam Fe dan Zn dalam tempe yang dibungkus plastik dan daun yang dijual di Pasar Kartasura. 2. Untuk menetapkan kadar logam Fe dan Zn dalam tempe yang dibungkus plastik dan daun yang dijual di Pasar Kartasura.

D. Tinjauan Pustaka 1. Pencemaran Akibat Logam Berat Pencemaran adalah peristiwa masuknya zat atau bahan dalam bentuk padat, cair, gas atau partikel tersuspensi dalam kadar tertentu di lingkungan yang dapat menimbulkan gangguan terhadap makhluk hidup, tumbuh-tumbuhan dan atau benda (Anonim, 1998). Salah satu contoh pencemarnya yaitu pencemaran dari hasil penggunaan dan kebutuhan bahan kimia seperti pencemaran logam-logam berat, pencemaran panas, pencemaran limbah industri, pencemaran oleh pestisida dan sebagainya (Palar, 1994). Dapat dikatakan bahwa hampir semua logam berat bersifat toksik yang dapat meracuni tubuh makhluk hidup. Contohnya adalah Cd, Pb, dan Cr. Walaupun demikian beberapa dari

logam berat tersebut tetap dibutuhkan oleh makhluk hidup walau dalam jumlah yang kecil, sehingga apabila kebutuhan dalam jumlah kecil tersebut tidak terpenuhi maka dapat berakibat fatal bagi kelangsungan hidupnya. Logam tersebut disebut logam esensial. Logam esensial bila masuk ke dalam tubuh dalam jumlah yang berlebihan, maka akan berubah fungsi menjadi racun bagi tubuh. Sebagai contoh adalah Cu, Zn, Fe dan nikel (Palar,1994). Menurut Connel dan Miller (1995), mekanisme toksisitas logam adalah sebagai berikut: a. Logam menahan gugus fungsi biologis yang esensial dalam biomolekul . b. Menggantikan ion logam esensial dalam biomolekul. c. Mengubah konformasi aktif biomolekul.

2. Pencemaraan logam Zn Seng (Zn) mempunyai nomor atom 30 dan memiliki berat atom sebesar 65,39. Dalam sistem periodik unsur-unsur kimia Zn termasuk dalam golongan II. Logam ini cukup mudah dikempa dan liat pada 110 150_ C, Zn melebur pada 110_ C dan mendidih pada 906_ C. Logam Zn adalah unsur penting bagi tubuh yang dibutuhkan dalam organ atau jaringan tubuh (Darmono, 1995). a. Sifat-sifat Zn adalah: 1) Di dalam air minum Zn menimbulkan rasa kesat. 2) Menyebabkan warna air menjadi keruh, dan bila dimasak akan timbul endapan seperti pasir. b. Penggunaan Zn Seng (Zn) ditemukan dalam suatu pertambangan logam, sebagai bentuk disulfida. Seng dan beberapa senyawanya digunakan dalam campuran produksi logam misalnya alumunium, perunggu, loyang dan kuningan. Senyawa Zn juga sering digunakan dalam pestisida, lampu, gelas, bahan keramik, pelapisan logam seperti baja, besi yang merupakan produk anti karat (Darmono, 1995). c. Distribusi Zn Seng masuk dalam tubuh dapat terakumulasi dengan konsentrasi tinggi terdapat dalam otot, hati, ginjal, pankreas dan sistem reproduksi yakni epidermis, prostat dan testis.

Seng yang disuntikkan ke dalam tubuh memperlihatkan bahwa pada mulanya disimpan dalam hati kemudian menuju sel-sel darah merah, tulang kemudian terjadi akumulasi (Ganiswara, 1995). Dosis yang tinggi dari seng yang masuk ke perut menyebabkan gejala keracunan berupa demam, muntah, kekejangan pada lambung dan diare. Air minum yang mengandung seng dengan kadar 6-8 ppm dapat menyebabkan konstipasi kronik pada ternak bersamaan dengan penurunan hasil susu pada masa menyusui (Clarke dan Myra, 1975). Seng di distribusikan keseluruh tubuh dan kadar tertinggi di dapatkan pada koroid mata, spermatozoa, rambut, kuku, tulang dan prostat. Di dalam plasma sebagian besar Zn terikat pada protein terutama pada albumin, -2-makroglobulin dan transferin. Di dalam ASI mengandung 3 mg/L Zn pada saat setelah melahirkan, tetapi selanjutnya menurun (Ganiswara, 1995).

3. Besi (Fe) Besi adalah logam dalam kelompok makromineral di dalam kerak bumi, tetapi termasuk kelompok mikro dalam sistem biologi. Logam ini mungkin logam yang pertama ditemukan dan digunakan oleh manusia sebagai alat pertanian. Besi juga sering tersedia dalam preparat obat dan vitamin, termasuk tablet suplemen, sebagai sulfat, glukonat, dan garam fumarat. Zat besi diketahui sangat berperan dalam proses fisiologik dan banyak diketahui kepentingannya dalam proses biokimiawi. Dalam tablet multivitamin mineral biasanya diberikan pada ibu hamil yang menjelang melahirkan untuk mencegah defisiensi Fe (Darmono, 2001). Pada sistem biologi seperti hewan, manusia dan tanaman, logam ini bersifat esensial, kurang stabil, dan secara perlahan berubah menjadi fero (FeII) atau feri (FeIII). Kandungan Fe dalam tubuh hewan sangat bervariasi tergantung pada status kesehatan, nutrisi, umur, jenis kelamin dan spesies. Sumber utama pencemaran udara oleh Fe ialah pabrik besi dan baja. Inhalasi Fe oksida dari asap dan debu yang sering terjadi di lokasi pertambangan, dapat menyebabkan radang paru-paru. Pada waktu pemeriksaan sinar rontgen, terlihat adanya endapan Fe (siderosis) dalam alveoli paru-paru. Kejadian toksisitas Fe ini jarang ditemukan pada peristiwa polusi udara lingkungan (Darmono, 2001). Pada umumnya setiap jaringan tubuh selalu mengandung Fe, yaitu 4 g Fe. Tempat pertama dalam tubuh yang mengontrol pemasukan Fe ialah di dalam usus halus. Bagian usus ini berfungsi untuk absorpsi dan sekaligus juga sebagai ekskresi Fe yang diserap. Besi dalam usus diabsorpsi dalam bentuk feritin, dimana bentuk besi (II) lebih mudah diabsorpsi

daripada bentuk besi (III). Feritin masuk ke dalam darah dan berubah bentuk menjadi senyawa transferin. Dalam darah tersebut besi mempunyai status sebagai besi trivalen yang kemudian ditransfer ke hati yang kemudian disimpan dalam organ tersebut dalam bentuk feritin dan hemolisiderin. Toksisitas terjadi bila mana terjadi kelebihan Fe (kejenuhan) dalam ikatan tersebut (Ganiswara, 1995). Mekanisme toksisitas Fe secara pasti belum begitu jelas, diperkirakan kematian terjadi karena sekunder syok yang disebabkan oleh iritasi gastro intestinal. Bila dilakukan autopsi terhadap korban keracunan ditemukan perdarahan dan nekrosis pada mukosa lambung dan usus. Keracunan Fe ini dapat menyebabkan permeabilitas dinding pembuluh darah kapiler meningkat sehingga plasma darah merembes keluar. Akibatnya, volume darah menurun dan hipoksia jaringan menyebabkan asidosis. Penelitian pada hewan menunjukkan bahwamtoksisitas akut dari Fe ini menyebabkan lamanya proses koagulasi darah (Ganiswara, 1995).

4. Analisis Pengaktifan Neutron (APN) Analisis pengaktifan neutron adalah suatu analisis unsur yang didasarkan pada pengukuran keradioaktifan imbas jika suatu sampel disinari neutron. Teknik analisa ini pertama kali ditemukan oleh seorang ahli berkebangsaan Hungaria bernama Gorge Havesy ketika mencoba menentukan impuritas Disporsium (Dy) dalam sampel Ykrium (Y) dengan jalan menembaki sampel tersebut dengan neutron (Susetyo, 1998). Metode APN mempunyai beberapa keunggulan dibanding metode analisis yang lain adalah: a. Analisis aktivasi neutron memungkinkan analisis langsung untuk sampel berbentuk padat, cair, gas tanpa merusak sampel lebih dahulu (non destruktif). b. Bahaya kontaminasi sebagai sumber kesalahan dapat dikurangi. c. Dengan menggunakan metode relatif, dapat dibandingkan secara mudah dan akurat. d. Mempunyai kepekaan yang tinggi dan limit deteksi rendah sampai orde ppb atau sub ppb. e. Dapat digunakan untuk analisis cuplikan biologi, lingkungan, geologi dan lain-lain. f. Dengan menggunakan metode ini dapat dilakukan analisis kualitatif dan kuantitatif dari banyak unsur secara bersamaan tanpa pemisahaan kimia. Proses ini disebut AAN secara Instrumental (AANI) (Susetyo, 1998). Meskipun APN mempunyai beberapa keunggulan, tetapi ia juga mempunyai beberapa kelemahan diantaranya adalah:

a. Memerlukan fasilitas dan peralatan tradisi yang besar dan mahal yaitu reaktor fisi atau akselerator partikel. b. Laboratorium yang digunakan untuk melakukan analisis ini harus mempunyai perlengkapan khusus untuk penanganan zat radioaktif. c. Untuk analisis radionuklida berumur panjang diperlukan waktu analisis yang relatif lama. (Susetyo, 1988).

5. Prinsip Analisis Pengaktifan Neutron Prinsip dasar APN adalah menembaki suatu cuplikan yang tidak radioaktif dengan neutron sehingga terjadi reaksi tangkapan neutron oleh inti suatu unsure dalam cuplikan. Unsur-unsur tersebut berubah menjadi radioaktif. Setelah paparan radiasi neutron dianggap cukup, cuplikan dikeluarkan dari sumber, cuplikan tersebut sekarang mengandung unsur-unsur yang memancarkan sinar radioaktif. Sinar yang dipancarkan oleh berbagai unsur dalam cuplikan dapat dianalisis secara spektromentri . Analisis kualitatif dilakukan berdasarkan penentuan tenaga sinar , sedangkan analisis kuantitatif dilakukan dengan menentukan intensitasnya. Gambar 1 menjelaskan prinsip Analisis Aktivasi Neutron. Esensi dasar yang dibutuhkan untuk menganalisis sebuah sampel dengan metode APN adalah sebuah sumber neutron, instrumentasi yang sesuai untuk mendeteksi sinar gamma, dan sebuah pengetahuan detail dari reaksi yang dibutuhkan ketika neutron berinteraksi dengan target (Susetyo, 1988). Keterangan : a) Sampel terdiri atas bermacam-macam unsur misalnya unsur-( O ) dan kelumit ( ) dan lain-lain. b) Sampel diiradiasi dengan neutron dan membuat beberapa atom menjadi radioaktif (dan). c) Sinar - yang dipancarkan oleh unsur-unsur radioaktif tersebut menunjukkan data kualitatif unsur-unsur dalam cuplikan. Apabila unsur-unsur stabil dalam cuplikan diiradiasi dengan neutron, maka terjadi macam-macam reaksi inti, namun yang digunakan dalam APN adalah reaksi neutron gamma (n, ) yang artinya suatu unsure jika ditembak dengan neutron maka unsur tersebut akan berubah menjadi unsur lain sambil melepaskan sinar .

Contoh: 58Fe+ 00 + 0n1 59Fe + 0 2 + E (1) Reaksi di atas dapat ditulis sebagai 58Fe (n, ) 59Fe. Pemilihan reaksi pengaktifan yang perlu diikuti dengan pemilihan fasilitas radiasi yang bersesuaian. Ada 3 jenis fasilitas iradiasi neutron yang penting, yaitu: a. Reaktor atom b. Akselerator c. Sumber neutron isokopik (Susetyo, 1988) Penelitian ini menggunakan fasilitas iradiasi neutron yang ada dalam reactor atom. Bahan bakar reaktor atom yang digunakan adalah uranium. Dalam uranium terdapat dua isotop utama yaitu 92U235 dan 92U235 apabila radionuklida menyerap neutron akan mengalami pembelahan menjadi dua inti radionuklida baru dan melepas dua atau tiga neutron. Neutron yang dihasilkan langsung dari pembelahan uranium mempunyai tenaga yang sangat tinggi atau disebut neutron cepat. Neutron cepat tidak dapat dipergunakan secara efektif untuk melakukan pembelahan uranium, oleh sebab itu dalam reaktor jenis tertentu dilakukan penurunan tenaga neutron (Susetyo, 1988) Ditinjau dari tenaga yang dimilikinya, neutron dapat digolongkan menjadi Neutron Cepat mempunyai tenaga diatas 0,1 MeV lebih dari 0,5 MeV, Neutron Epitermal mempunyai tenaga antara 0,2 eV sampai dengan 0,1 MeV, Neutron Termal mempunyai tenaga di bawah 0,2 eV (Susetyo, 1988).

6. Interaksi Sinar dengan Materi Interaksi sinar dengan materi dapat terjadi melalui bermacam-macam proses. Dari bermacam-macam proses tersebut hanya ada tiga macam proses yang penting untuk spektrometri-, yaitu: a. Efek fotolistrik Efek fotolistrik adalah interaksi (tumbukan) antara sinar- dengan elektron dalam atom sehingga menyebabkan elektron terpancar keluar dari atom. Pada peristiwa ini energy sinar- diberikan kepada elektron atom yang ditumbuk. Sebagian dari energi sinar- tersebut digunakan untuk melepaskan ikatan elektron dengan inti atom dan sistemnya

diubah menjadi kinetik. b. Efek Compton Efek Compton adalah peristiwa tumbukan elastis antara sinar- dengan elektron yang terikat lemah. Dalam tumbukan elastis ini, sinar- hanya memberikan sebagian energinya pada elektron yang dibutuhkannya. Akibat dari tumbukan tersebut, elektron terpental dari orbit dengan energi kinetic tertentu, sedangkan sinar- terhambur ini mempunyai energi yang lebih kecil dari keadaan sebelum tumbukan. Elektron Compton terlepas dalam proses ini memiliki energi sebesar selisih antara energi sinar- mulamula dengan energi sinar- terhambur. c. Produksi Pasangan (pair produksi) Produksi pasangan adalah peristiwa terbentuknya pasangan electron positron sebagai akibat adanya interaksi sinar- yang berenergi tinggi dengan medan listrik inti atom yang bermassa besar. Dalam keadaan diam electron dan positron memiliki energi sebesar 0,511 Mev, oleh karena itu syarat terjadinya produksi pasangan adalah hv _ 1,022 Mev. Jika hv _ 1,022 Mev, maka energi sisanya akan berubah menjadi kinetik pasangan elektron dan positron yang terbentuk.

7. Perangkat Spektrum- Spektrometri- didefinisikan sebagai suatu metode pengukuran dan identifikasi unsure unsur radioaktif di dalam suatu cuplikan dengan jalan mengamati spektrum karakteristik yang ditimbulkan oleh interaksi sinar- yang dipancarkan oleh zat-zat radioaktif tersebut dengan detektor (Susetyo,1998). Spektrometri- terdiri dari detektor semikonduktor HpGe, sumber tegangan tinggi (HV), preamplifier dan penganalisa salur ganda dan unit pengolahan data (Susetyo, 1988). a. Detektor Semikonduktor HpGe (High Pure Germanium)) Detektor HpGe adalah detektor semi konduktor yang medium detektornya terbuat dari bahan semi konduktor berupa germanium dengan kemurnian tinggi. Detektor HpGe

diletakkan dalam bejana hampa yang disebut sistem cryostat. Didalam sistem cryostat detektor HpGe didinginkan oleh nitrogen cair yang memiliki suhu -196 _ C (77 K). Selain untuk menjamin daya pisah yang tinggi, nitrogen cair yang diperlukan untuk menjaga kestabilan daerah intrinsik (Susetyo, 1988). Detektor HpGe harus dioperasikan pada suhu yang sangat rendah. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kebocoran arus yang menghasilkan derau danmerusak daya pisah detektor. Nitrogen cair disini juga diperlukan untuk menjaga keberadaan daerah intrinsik. Daya pisah atau resolusi detektor adalah kemampuan detektor untuk memisahkan dua puncak energi sinar- yang tinggi maksimum atau FWHM (Full Width Half Maksimum) (Susetyo, 1988). b. Sumber Tegangan Tinggi Sumber tegangan tinggi (sumber daya) dalam ruang lingkup alat elektronik pembant alat nuklir dibagi dalam dua bagian. Sumber tegangan yang diperlukan untuk alat-alat elektronik dan sumber tegangan tinggi untuk detektor. Peralatan elektronik yang digunakan untuk pengukuran radiasi mengikuti suatu standar tertentu yang disebut NIM (Nuclear Instrument Module). Modul-modul elektronik tersebut mempunyai bentuk, ukuran, serta tegangan kerja standar. Bin merupakan rak sebagai tempat modulmodul yang mengikuti standar NIM tersebut. Bin ini juga yang berfungsi sebagai pencantudayanya. Sumber tegangan tinggi pada perangkat spektrometer- adalah sumber tegangan yang diatur dan disesuaikan dengan tegangan kerja detector yang digunakan. Setiap detektor memerlukan tegangan searah yang cukup tinggi dengan nilai yang berbeda-beda. Pada detektor HpGe tegangan kerja yang digunakan adalah sebesar 3000 Volt (Susetyo, 1988). berdekatan. Ukuran daya pisah detektor dinyatakan dengan lebar setengah

c. Pre-Amplifier dan Amplifier Pre-amplifier terletak diantara detektor dan amplifier. Umumnya alat ini dipasang sedekat mungkin dengan detektor. Alat ini berfungsi sebagai berikut : 1) Untuk melakukan amplifikasi awal terhadap pulsa keluaran detektor. 2) Untuk melakukan pembentukan pulsa pendahuluan. 3) Untuk mencocokkan impedansi keluaran detektor dengan kabel sinyal masuk ke penguat. 4) Untuk mengadakan perubahan muatan menjadi tegangan pada pulsa keluaran detektor. 5) Sebagai penurunan derau.Amplifier berfungsi sebagai alat yang meneruskan pulsa dari preamplifier, dimana memberikan hasil keluaran yang memiliki daya pisah tinggi dan membentuk tampilan lebih baik dan terbaca (Susetyo,1988).

8. Tempe Tempe merupakan sumber zat protein yang baik. Setiap 100 gram tempe mengandung 18-20 gram zat protein, 4 gram zat lemak, vitamin B12 dan 129 miligram zat kalsium. Tempe juga mengandung mineral makro dan mikro dalam jumlah yang cukup. Jumlah mineral besi, tembaga dan seng berturut-turut adalah 9,39; 2,87; dan 8,05 mg setiap 100 gram tempe. Tempe merupakan makanan tradisional yang terkenal tidak hanya didalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Bahkan di Jepang dan Amerika sudah membuat sendiri, setelah mempelajari cara pembuatannya di Indonesia. Tempe merupakan hasil proses fermentasi kedelai yang terikat padat oleh mycellium dari Rhysopus oligoporus (Winarno, 1997). Berbagai sifat tempe yang unggul sebagai berikut : a. Mempunyai nilai biologi tinggi, mengandung 8 asam amino esensial. b. Lemak jenuh rendah. c. Kadar vitamin B12 tinggi. d. Mudah dicerna, jadi baik untuk segala umur. e. Mengandung antibiotik dan berpengaruh baik pada pertumbuhan badan f. Formula tempe untuk makanan bayi mempunyai nilai positif dalam pencegahan diare.

g. Tempe dapat memerangi bakteri E.coli (Winarno, 1997). Sudah diketahui bahwa produsen dalam memproduksi tempe melalui beberapa langkah, langkah pertama biji kedelai yang telah dipilih dibersihkan dari kotoran, dicuci dengan air PDAM (air sumur) selama 1 jam kemudian setelah bersih kedelai direbus dalam air selama 2 jam. Kedelai kemudian direndam 12 jam dalam air panas atau hangat berikutnya kedalai direndam dalam air dingin selama 12 jam. Setelah 12 jam direndam kedelai dicuci dan dikuliti (dikupas). Langkah kedua kedelai yang telah dikupas lalu direbus dalam dandang untuk membunuh bakteri yang kemungkinan tumbuh selama perendaman, kemudian kedelai diambil dari dandang diletakkan diatas tampah dan diratakan tipistipis. Selanjutnya kedelai dibiarkan dingin sampai permukaan keping kedelai kering dan airnya menetes habis. Sesudah itu kedelai dicampur dengan laru (ragi 2%) untuk mempercepat pertumbuhan jamur. Tahap peragian (fermentasi) adalah tahap penentu keberhasilan dalam membuat tempe kedelai. Langkah ketiga bila campuran bahan fermentasi kedelai sudah rata, campuran tersebut dicetak pada loyang (cetakan kayu) dengan lapisan plastic atau daun yang akhirnya dipakai sebagai pembungkus. Plastik yang dipakai sebelumnya dilubangi (ditusuk-tusuk) gunanya untuk memberi udara supaya jamur yang tumbuh berwarna putih. Proses percetakan atau pembungkus memakan waktu 3 jam. Daun yang biasanya dipakai sebagai pembungkus adalah daun pisang (jati). Ada yang berpendapat bahwa rasa tempe yang dibungkus plastik menjadi aneh dan tempe lebih mudah busuk (disbanding tempe yang dibungkus daun). Langkah terakhir campuran kedelai yang telah dicetak dan diratakan permukaanya dihamparkan di atas rak kemudian ditutup selama 24 jam. Setelah 24 jam, tutup dibuka dan campuran kedelai diangin-anginkan selama 24 jam lagi. Setelah itu campuran kedelai telah menjadi tempe siap jual. Supaya tempe dapat bertahan lama, tempe yang misalnya akan menjadi produk ekspor dapat dibekukan dan dikirim ke luar negri dalam peti kemas pendingin (Winarno,1977).

E. Landasan Teori Terjadinya toksisitas logam dapat melalui beberapa jalan, yaitu inhalasi (melalui pernafasan), termakan, dan penetrasi melalui kulit. Hubungan antara lokasi industri dan

inhalasi debu adalah sangat nyata dalam proses keracunan logam (Darmono, 2001). Kandungan Zn dalam tanah secara alamiah adalah sebesar 50 mg/g, jika kandungan Zn dalam tanah melebihi normal maka tanaman yang ditanam di atasnya dapat menyebabkan keracunan (Darmono, 1995). Kedelai merupakan sumber bahan baku tempe dan tahu yang sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Menurut penelitian yang ditelah dilakukan kedelai mengandung logam Fe 3,55 mg dan Zn sebesar 0,99 mg (Ipin, 2007). Pertumbuhan kedelai sering kali terhambat karena keracunan aluminium sehingga dapat mengurangi mutu atau nilai gizi dari kedelai tersebut dan jika kedelai yang keracunan oleh aluminium dikonsumsi dapat menyebabkan keracunan (Danarti, 1996). Semua bahan pangan alami mengandung logam dalam konsentrasi rendah dan selama persiapan makanan kemungkinan kandungan logam akan bertambah (Fardiaz, 1992). Logam kimia yang terlarut dari alat masak atau kontainer yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan makanan dapat menyebabkan keracunan. Logam dan senyawa kimia tersebut dapat terlarut umumnya karena makanan bersifat asam dan juga karena adanya pemanasan sehingga dapat melarutkan logam dari peralatan yang digunakan seperti alatalat yang terbuat dari aluminium, seng atau tembaga (Sartono, 2001). Selama proses pembuatan tempe dimungkinkan terjadinya pelarutan logam dan dikhawatirkan akan didapati cemaran logam tertentu karena adanya proses pemanasan.

F. Hipotesis Dalam penelitian ini tempe mengandung logam Fe dan Zn dengan kadar tertentu yang dibedakan menurut pembungkus (plastik dan daun) yang dijual di Pasar Kartasura.

Ammonium ions prevent methylation of uridine to ribothymidine in Azotobacter vinelandii tRNA

Hal ini menunjukkan bahwa tRNA dari Azotobacter vinelandii tumbuh di hadapan amonium klorida tidak memiliki ribothymidine sementara yang tumbuh tanpa adanya amonium yang garam mengandung nukleosida dimodifikasi ini. [32P] Dicap-tRNA dari organisme ini tumbuh di medium yang mengandung garam amonium dicerna dengan RNase T1 dan pseudouridinecontaining yang tetranucleotide, umum untuk semua tRNA diisolasi dan dianalisis untuk nukleosida yang menggantikan ribothymidine tersebut. Hal itu ditemukan uridin. Sel yang sebelumnya diberi label dengan [32P] - fosfat dalam medium garam amonium dicuci dan diinkubasi dalam saltfree amonium menengah untuk menguji apakah ribothymidine akan terbentuk atas penghapusan amonium yang ion. Metilasi uridin tidak terjadiI. Pengantar Metabolisme proporsi dan Griffiths, 1981; Buu et al, 1981), 2-methylthioribosylzeatin (Ajitkumar dan Cherayil,. 1985a; Buck dan Ames, 1984; Morries et al, 1981), 5-methylaminomethyl-2thiouridine. (Chackalaparampil dan Cherayil, 1981) dan 4-thiouridine (Ajitkumar dan Cherayil, 1985b). Kami telah mengamati bahwa ketika bakteri pengikat nitrogen, Azotobacter vinelandii dan Rizobium meliloti, yang tumbuh di hadapan garam amonium tRNA dari organisme ini tidak memiliki ribothymidine ( ). Di sisi lain, ketika A. vinelandii tumbuh tanpa adanya garam amonium tRNA yang berisi (Ajitkumar dan Cherayil, 1982). salah , yang terjadi pada lengan sejauh 1 mol / mol yC dari tRNA adalah satu dari beberapa nukleosida dimodifikasi dalam tRNA mikroorganisme adalah diketahui sensitif terhadap kondisi budaya. Spesies yang relatif perubahan dengan kondisi pertumbuhan termasuk 2-methylthio-N6-isopentenil-adenosin (Buck

nukleosida dimodifikasi yang unik hadir dalam tRNA kebanyakan, kecuali metionin

inisiator tRNA dari eukariota banyak (Gauss dan Sprinzl, 1983). Ada sistem di mana tRNA alami kekurangan T. tRNA tersebut telah terbukti sebagai baik sebagai orangorang yang mengandung Namun, tampak bahwa telah ditemukan untuk dengan di dalam sintesis protein in vitro (Svensson dkk., 1971). memainkan peran halus dalam sintesis protein, meskipun diganti dengan 2 '-Omethylribothymidine termofilik atau 2-

fungsi yang tepat adalah tidak diketahui (Kersten dkk., 1981). Dalam sistem tertentu thioribothymidine (Gauss dan Sprinzl, 1983). Isi dari yang terakhir telah dilaporkan meningkat temperatur tertentu organisme (Watanabe et al., 1980). Penelitian ini dilakukan dengan tujuan utama untuk mengidentifikasi nukleosida yang menggantikan A. vinelandii ketika dikultur dalam media yang mengandung amonium garam. Arab Bahan dan metode Carrier-bebas H3 32 PO4 diperoleh dari Bhabha Atomic Research Centre, Bombay. RNases T1 dan T2 berasal dari Sigma Chemical Co, St Louis, Missouri, Amerika Serikat. Plastik didukung lapisan tipis piring mikrokristalin selulosa dan DEAE-selulosa kertas yang dibeli dari Macherey-Nagel, dan Schleicher dan Schull, Republik Federal Jerman, masing-masing. Pertumbuhan bakteri dan isolasi tRNA A. vinelandii OP (Wisconsin) ditanam dalam ketidakhadiran dan dalam kehadiran amonium garam. Dalam kasus pertama Burk-dimodifikasi nitrogen bebas menengah (Strandberg dan Wilson, 1967) digunakan dan dalam kasus kedua 2,8 mg N / ml atau 0,49 mg N / ml sebagai NH4 Cl ditambahkan ke dalam media nitrogen bebas. Konsentrasi garam amonium digunakan sudah cukup untuk benar-benar menekan gen nitrogenase (Gordon dan Brill, 1972). Sel ditumbuhkan dalam medium fosfat rendah di hadapan [32P]-fosfat dan tRNA berlabel diisolasi dan dimurnikan seperti yang dijelaskan sebelumnya (Ajitkumar dan Cherayil, 1982). Analisis [32P]-label produk [32P] Dicap-tRNA yang dikonversi menjadi nukleotida oleh pencernaan dengan RNase T2 dan untuk oligonukleotida oleh pencernaan dengan RNase T1 Dua dimensi kromatografi lapis tipis (2-D TLC) dari nukleotida dilakukan pada 10 10 cm pelat selulosa, 0,1 mm ketebalan, menggunakan sistem pelarut asam isobutyric: 0,5 amonium hidroksida , 05:03 (V / v) pada dimensi pertama dan isopropanol: conc. HCl: air, 70:15:15 (v / v / v) dalam kedua dimensi (Nishimura et al., 1967). Piring dikeringkan dan dikenakan autoradiografi. Pemisahan

dari 3 '-fosfat dari T, uridin dan pseudouridine ( ) adalah dipengaruhi oleh turun kromatografi pelarut (Brownlee, 1972). Elektroforesis tegangan tinggi dilakukan pada Whatman 3 mm kertas atau DEAE-selulosa kertas dalam asam asetat-piridin-EDTA buffer, pH 3,5, di 40-60 V / cm menggunakan cyanol xylene dan asam fuchsin sebagai penanda pewarna (Smith, 1967). Sampel radioaktif yang pulih dari kertas Whatman dan DEAE-selulosa kertas dengan elusi dengan air dan 1,0 masing (Sanger dan Brownlee, 1967). Metilasi uridin untuk ribothymidine 269 Hasil Pengaruh garam amonium pada produksi ribothymidine Dalam studi sebelumnya, ditemukan bahwa pada sel A. vinelandii tumbuh dengan kelebihan amonium klorida (2,8 mg N / ml), tRNA benar-benar kekurangan T, sementara sel tumbuh tanpa adanya amonium klorida terkandung sejauh dari 1 mol / mol tRNA (Ajitkurnar dan Cherayil, 1982). Dalam rangka untuk mencari tahu apakah ini adalah karena salah efek dari kelebihan ion amonium, sel-sel tumbuh dengan amonium jauh lebih sedikit garam (0,49 mg N / ml), hanya sedikit lebih tinggi dari yang dibutuhkan untuk menindas nitrogenease yang gen (Gordon dan Brill, 1972). RNase T2 mencerna dari [32P] berlabel tRNA yang diisolasi dari sel tumbuh dengan garam amonium rendah menjadi sasaran 2-D TLC dan selanjutnya autoradiografi. Autoradiogram menunjukkan tidak adanya Tp. Ini ditemukan reversibel, sel-sel tumbuh dengan garam amonium, ketika disubkultur dalam adanya garam amonium diproduksi Tp setelah beberapa generasi. Sebuah tergantung waktu Tp penampilan bisa diperhatikan ketika amonium garam-sel tumbuh dicuci, diinkubasi dengan [32P]-fosfat dalam medium nitrogen bebas dan terisolasi tRNA adalah dianalisis. Butuh waktu sekitar 6 jam inkubasi untuk deteksi Tp bawah eksperimental kondisi yang digunakan. Di sisi lain, dalam kasus sel yang sebelumnya tumbuh di tidak adanya ion amonium kehadiran Tp dalam tRNA dapat dicatat dalam waktu sekitar 2 jam. Escherichia coli diketahui mengandung dalam tRNA nya. Dalam rangka untuk menguji apakah konten akan berubah dengan konsentrasi garam amonium, sel ditumbuhkan dalam sintetik menengah di dua konsentrasi amonium klorida (0,49 mg dan 2,8 mg N / ml) dan tRNA dianalisis. Isi dari tRNA tidak semua terpengaruh oleh konsentrasi ion triethylammonium asetat, pH 10, masingkertas Whatman 1 kertas mm menggunakan isopropanol: air: kerucut, amonia, 70:30:1 (v / v / v) sebagai sistem

amonium (hasil tidak disajikan). Identifikasi Tp menggantikan nukleotida Tidak adanya Tp dalam A. vinelandii tRNA dapat disebabkan kurangnya metilasi dari uridin residu pada posisi ke-54 atau modifikasi lebih lanjut dari baik '-Omethylribothymidine atau untuk 2-thioribothymidine atau untuk setiap spesies yang tidak diketahui lainnya. Dalam untuk mendirikan mana kemungkinan yang berbeda ada dalam kasus ini, Rnase T1 mencerna dari [32P] berlabel tRNA dari sel-sel tumbuh di bawah dua kondisi yang difraksinasi secara terpisah untuk mengisolasi pseudouridine mengandung tetranucleotide yang paling umum untuk tRNA (Zamir et al, 1965;. Gauss dan Sprinzyl, 1983). Para RNase T1 mencerna pada elektroforesis pada selulosa DEAE-kertas pada pH 3,5 menunjukkan adanya 9 band di kedua sampel (gambar 2A). Band 2 dan 3 di wilayah tetranucleotide (Sanger dan Brownlee, 1967) yang dielusi keluar, dicerna untuk mononucleotides dan dianalisis oleh 2-D TLC. Hanya Band 2 dari kedua sampel ditemukan mengandung p (Data tidak ditunjukkan). Kontaminasi dari band 2 oleh spesies lain sudah jelas. Oleh karena itu selanjutnya dimurnikan dengan elektroforesis pada kertas Whatman 3 mm pada pH 3,5. Para autoradiogram memang menunjukkan kontaminasi (2B gambar). Band utama (No 4) adalah dielusi keluar dan dianalisis untuk komposisi nukleotida tersebut. Band dimurnikan itu dicerna dengan RNase T2 dan alikuot menjadi sasaran elektroforesis pada kertas Whatman 3 mm pada pH 3,5. Dua titik intensitas yang sama pada wilayah Cp dan Gp dan yang ketiga dengan intensitas dua kali lipat di wilayah kecil Ap. Radioaktivitas di setiap tempat diukur. Proporsi relatif dari radioaktivitas di tempat yang telah 01:01:02 (tabel 1). Tp dan p bergerak dengan mobilitas 0,98 sehubungan dengan Up pada pH 3,5 (Smith, 1967). Oleh karena itu rasio radioaktivitas dalam bintik-bintik (seperti dalam tabel 1) diharapkan bagi Tp mengandung tetranucleotide. Karena rasio yang mononucleotides di tetranucleotide Tp-kurang juga tampak jelas 01:01:02 bahwa tempat karena mononucleotide yang menggantikan Tp juga bergerak dengan mobilitas mirip dengan Anot alikuot nya dari RNase T2 mencerna dari tetranucleotide Tp-kurang dicampur dengan non-radioaktif tRNA mencerna dan mengalami 2-D TLC. Empat titik hampir intensitas yang sama diamati. Tiga dari mereka, seperti yang diharapkan, berada di posisi p adalah diamati dalam kedua sampel (Gambar 2C). Kedua sampel memiliki kontaminasi

Cp, Gp dan

hal Tanggal 4 bertepatan dengan tempat Up non-radioaktif A minor

tempat di wilayah Tp juga bisa dicatat. Bintik-bintik radioaktif dipotong keluar dari piring dan radioaktivitas dalam masing-masing ditentukan. Jumlah radioaktivitas di tempat itu, Cp 12, 230, GP 13, 120; Up 14, 370 dan p 11, 650, rasio yang 0,93: 1.00: 1.10: 0,89 untuk Cp, GP, Up dan hal Radioaktivitas di wilayah Tp hanya y390 cpm. Hasil ini menetapkan bahwa sampel tRNA dari A. vinelandii tumbuh di garam ofammonium kehadiran telah Up di tempat Tp dan metilasi uridin di posisi ke-54 tidak terjadi. Tes dengan [32P] berlabel sel dicuci bebas dari garam-garam amonium Nonmetilasi residu uridin tRNA menyarankan dua kemungkinan. Baik enzim, uridin-5methyltransferase yang methylates U untuk dihambat atau gen coding untuk enzim tersebut ditekan. Jika inhibisi enzim oleh ion amonium terlibat, penghapusan garam amonium harus menghasilkan metilasi residu U untuk T. Di sisi lain, jika gen telah ditekan, enzim sintesis segar setelah penghapusan ion amonium akan diperlukan untuk pembentukan T. Percobaan berikut ini dilakukan untuk membedakan antara dua kemungkinan. A. vinelandii sel tumbuh hingga pertengahan fase log dengan [32P]fosfat dalam kelebihan garam amonium dicuci dua kali dengan normal saline dan ini prelabelled sel diinkubasi dalam medium nitrogen bebas yang mengandung 100 pg / ml rifampisin untuk periode 2 jam Selain rifampisin adalah untuk mencegah sintesis enzim segar. tRNA diisolasi dan dianalisis untuk Tp, itu tidak bisa terdeteksi (Gambar 4A). Berkepanjangan inkubasi dengan rifampisin mengakibatkan lisis sel. Sel, diinkubasi tanpa rifampisin juga tidak mengandung Tp di tRNA Namun ia melihat sebelumnya bahwa sel-sel yang sebelumnya tumbuh di tidak adanya nitrogen tetap dirawat di serupa cara, diproduksi Tp di tRNA sekitar 2 jam. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak adanya Tp di tRNA dari sel-sel tumbuh dengan adanya garam amonium itu bukan karena penghambatan reversibel dari enzim memodifikasi oleh ion-ion amonium. Diskusi Sangat menarik bahwa tRNA dari A. vinelandii tidak memiliki karena cacat apa pun dalam gen terlibat dalam sintesis menghasilkan simbiosis memperbaiki juga telah ditemukan untuk ketika organisme yang tidak dapat tumbuh di media yang mengandung suatu garam amonium. Kurangnya

sebagai A. vinelandii sel

ketika tumbuh di tidak adanya amonia. R. meliloti, bakteri nitrogen kurangnya dalam tRNA ketika

berbudaya dengan adanya amonium klorida (Ajitkumar dan Cherayil, 1982). Menjadi nitrogen simbiosis fixer R. meliloti tidak dapat dibudidayakan di tidak adanya nitrogen tetap. isi dari E. coli tRNA sekali tidak terpengaruh oleh perubahan konsentrasi ion amonium (hasil tidak disajikan). Hal ini menggoda untuk berspekulasi bahwa fenomena tidak adanya Tp di tRNA ketika organisme ini tumbuh dengan adanya garam amonium adalah karakteristik dari bakteri pengikat nitrogen. Lebih bakteri seperti bagaimanapun, harus dipelajari untuk membangun ini. Kebanyakan spesies tRNA mengandung tetranucleotide, ~ T 'CG (Zamir et al., 1965). Analisis dari tetranucleotide dari A. vinelandii tRNA telah menunjukkan bahwa ia mengandung U bukan ketika organisme tumbuh di hadapan ion amonium (angka 2 dan 3). Sejak jumlah radioaktivitas dalam tetranucleotide itu sebanding dalam kedua kasus (lihat tabel 1) U CG adalah tetranucleotide menonjol dalam tRNA dari sel-sel tumbuh dalam keberadaan ion amonium. 2-D analisis TLC dari mencerna tetranucleotide menunjukkan kehadiran jumlah yang sangat kecil Tp, sekitar 3% dari GP (lihat teks dan gambar 3). Hal ini menunjukkan bahwa bahkan di hadapan garam amonium sejumlah kecil Tp adalah disintesis. Jumlah ini tidak dapat dideteksi pada tRNA total (Gambar 1 A) tetapi bisa dideteksi ketika menjadi diperkaya oleh pemurnian fragmen tetranucleotide (Gambar 3). Jumlah jauh lebih besar dari tRNA berlabel dari itu untuk 2-D TLC (gambar 1) adalah digunakan untuk analisis fragmen tetranucleotide (angka 2 dan 3). Jika enzim yang methylates residu U dihambat oleh ion NH4, penghapusan dengan mencuci akan mencegah hambatan dan alkohol residu U. Sebagai tRNA adalah prelabelled dengan [32P]-fosfat pembentukan akan mengakibatkan penampilan tempat radioaktif karena Tp. Karena ini tidak diamati (Gambar 4) itu adalah untuk disimpulkan bahwa enzim tersebut tidak hadir dalam sel atau itu ireversibel terhambat. Dalam kasus sel yang sebelumnya tumbuh tanpa adanya ion amonium Metilasi uridin untuk ribothymidine diproduksi + 275 akan terbentuk

bawah kondisi yang sama mencuci dan inkubasi dengan [32P]-fosfat (1B gambar). Di bawah kondisi eksperimental yang digunakan dalam penelitian ini hanya jika enzim dapat methylate tRNA diproses. Setiap prekursor tRNA akan berubah menjadi spesies matang pada saat sel-sel yang dipanen dan dicuci (lihat di atas). Sejak pembentukan diamati dalam satu kasus itu harus disimpulkan bahwa A. vinelandii enzim, uridin-5-methyltransferase, dapat methylate tRNA matang. Dalam hal ini

menghormatinya tampaknya mirip dengan enzim E. coli yang dapat methylate matang tRNA1 Gly dari bibit gandum (Marcu et al., 1978). Hal ini jelas dari hasil ini bahwa garam amonium tidak inhibitor reversibel dari uridin-5-methyltransferase dari A. vinelandii. Namun tidak jelas apakah itu merupakan ireversibel inhibitor atau represor. Garam amonium yang dikenal sebagai represor dari jumlah sistem enzim seperti nitrogenase, nitrat sintetase glutamin dan reduktase (Brill, 1980; Shanmugam dan Hennecke, 1979). Mungkin, seperti nitrogenase yang gen uridin-5 methyltransferase gen dari A. vinelandii, ditekan oleh amonium garam. Implikasi dari pengamatan dalam fiksasi nitrogen tidak yang jelas. Nukleotida diubah pada tRNA yang diketahui terlibat dalam ekspresi operon, contoh terkenal yang pseudouridine di histidin tRNA Salmonella typhimurium dalam ekspresi operon histidin (Brenner et al., 1972).

References Ajitkumar, P. and Cherayil, J. D. (1982) Curr. Sci., 51, 970. Ajitkumar, P. and Cherayil, J. D. (1985a) J. Bacteriol., 162, 752. Ajitkumar, P. and Charayil, J. D. (1985b) Curr. Sci., 54, 262. Brenner, M., Lewis, J. Biol. Chem., 247, 4333. Brill, W. J. (1980) Microbiol. Rev., 44, 449. Brownlee, G. G. (1972) in Determination of Sequences in RNA (eds T. S. Work and E. Work) (Laboratory Techniques in Biochemistry and Molecular Biology) p. 204. Buck, M. and Griffiths, . (1981) Nucleic Acids Res., 9, 401. Buck, M. and Ames, B. N. (1984) Cell, 36, 523. Buu, ., Menichi B. and Heyman, T. (1981) J. Bacteriol., 146, 819. Chackalaparampil, I. and Cherayil, J. D. (1981) Biochem. Int., 2, 121. Gauss, D. H. and Sprinzl, M. (1983) Nucleic Acids Res., 11, r1. Gordon, J. . and Brill, W. J. (1972) Proc. Natl. Acad. Sci. USA, 69, 3501. Kersten, ., Albani, ., Mannlein, ., Praisler, R., Wurmbach, P. and Nierhauss, K. H. (1981) Eur. J. Biochem., 114, 451. Marcu, K., Marcu, D. and Dudock, B. (1978) Nucleic Acids Res., 5, 1075. ., Strauss, D. S., de Lorenzo, F. and Ames, B. N. (1972) J.

Morris, R. O., Regier, D. (1981) Biochemistry, 20, 6012.

., Olson, R.

. Jr., Struxness, L. A. and Armstrong, D. J.

Nishimura, S., Harada, F., Narushima, U. and Seno, T. (1967) Biochim. Biophys. Acta, 142, 133. Sanger, F. and Brownlee, G. G. (1967) Methods Enzymol., 12A, 361. Shanmugam, . . and Hennecke, Fixation (ed. . S. S. . (1979) in Recent Advances in Biological Nitrogen

Rao) (Bombay: Oxford and Inter. Book House) p. 227. 276 Ajitkumar and Cherayil Smith, J. D. (1967) Methods Enzymol., 12A, 350. Strandberg, G. W. and Wilson, P. W. (1967) Proc. Natl. Acad. Sci. USA., 58, 1404. Svensson, I., Isaksson, L. and Henningsson, A. (1971) Biochim. Biophys. Acta, 238, 331. Watanabe, K., Oshima, T., Iijima, K., Yamaizumi, Z. and Nishimura, S. (1980) J. Biochem. (Jpn.), 87, 1. Zamir, ., Holley, R. W. and Marquisee, M. (1965) J. Biol. Chem., 240, 1267.

PENGGUNAAN BAKTERI NITRIFIKASI UNTUK BIOREMEDIASI DAN PENGARUHNYA TERHADAP KONSENTRASI AMONIA DAN NITRIT DI TAMBAK UDANG oleh MUHAMMAD BADJOERI DAN TRI WIDIYANTO Pusat Penelitian Limnologi - LIP1 Received 11 March, Accepted 16 July 2008 ABSTRAK Meningkatnya konsentrasi bahan organik pada tambak udang sebagai akibat pemberian pakan buatan (pelet) mempakan ha1 yang sulit dihindari walaupun dengan resiko terjadinya penurunan kualitas air. Bioremediasi dengan memanfaatkan aktivitas bakteri adalah salah satu upaya untuk mengatasi masalah penurunan kualitas air tambak. Telah dilakukan penelitian pengamh pemberian bakteri nitrifikasi sebagai agen bioremediTujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian bakteri nitrifikasi terhadap kondisi kualitas air tambak udang windu. Digunakan 2 tambak uji yang luasnya masing-masing 2000 m', yaitu tambak uji dengan perlakukan bioremediasi dan tambak kontrol (tanpa bioremediasi). Padat tebar benur yang digunakan 30 ekor per mZ. Penelitian dilakukan selama 120 hari dan pengambilan sampel air dilakukan secara berkala setiap 10 hari selama 4 bulan. Perlakuan bioremediasi dengan menebarkan bakteri nitrifikasi ke tambak udang dengan ratio penebaran: bakteri nitrifikasi : bakteri denitrifikasi = 1 : 1, dengan kepadatan populasi bakteri lo9 upWmL. Dosis pemberian bakteri adalah pada tahap persiapan tambak sebanyak 150 L/Ha (tergantung kondisi tambak), bulan ke 1 dan ke 2 sebanyak 50 Lha tiap 10 hari, bulan ke 3 dan ke 4 sebanyak 100 Lha tiap 5 hari. Hasil analisa kualitas air menuniukan oemberian bakteri nitrifikasi seba-ea i a-ee n bioremediasi berpengaruh positif terhadap perbaikan kondisi kualitas air tambak, dan konsentrasi ammonia dan nitrit berada dibawah ambang batas konsentrasi toksik yang membahayakan udang yang dibudidayakan. PENDAHULUAN Budidaya udang windu (Penaeus monodon Fab.) merupakan usaha yang potensial dan bernilai ekonomi tinggi. Indonesia merupakan Negara yang mempunyai peluang besar untuk mengembangkan usaha ini. Pada tahun 1993 Indonesia adalah negara penghasil udang windu terbesar ketiga di dunia setelah Thailand dan Equador (ANONYMOUS 1996), namun sejak tahun 1995 produksi udang di Indonesia sampai saat ini terus mengalami penurunan produksi yang sangat berarti, yang disebabkan oleh pencemaran

liigkungan, akumulasi bahan organik dan penurunan kualitas air. Pencemaran lingkungan perairan oleh bahan organik yang umumnya berasal dari limbah industri dan domestik, yang dalam beberapa tahun terakhiir ini terus meningkat (GUNALAN 1993). Pencemaran pada perairan budidaya selain berasal dari limbah industri clan domestik juga berasal dari sisa pakan buatan (pelet) dan feces hewan yang dibudidayakan. Kandungan protein pelet (pakan udang buatan) cukup tinggi, yaitu sekitar 40 %, sehingga pembusukan (perombakan) pelet akan menghasikan senyawa nitrogen anorganik berupa N-NH3 / N-N&+ (amonidamonium) yang merupakan salah satu senyawa toksik bagi udang (BOYD 1990). Menurut GARNO (2004) sekitar 90% protein yang terdapat pada tambak berasal dari pelet, hanya 22% yang dikonversi menjadi biomassa udang dan 7% dimanfaatkan oleh aktivitas mikroorganisme, sedangkan 14% terakumulasi dalam sedimen dan 57% tersuspensi pada air tambak. Diestimasi terjadi akurnulasi senyawa nitrogen organik di tambak udang jumlahnya sebesar 600 kghdtahun pada tambak yang bcrproduksi 10 ton/ha/th dengan konversi pakan 1,6. Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa semakin banyak penggunaan pelet akan semakii besar terjadinya akumulasi bahan organik yang dapat memacu terjadinya proses terbentuknya senyawa metabolit toksik di dalam perairan tambak, sedangkan pemberian pelet akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan udang. BAKTERI NITRIFIKASI UNTUK BIOREMEDIASI TAMBAK UDANG Tingginya akumulasi bahan organik di tambak udang dapat menimbulkan beberapa dampak yang merugikan yaitu, 1). Memacu pertumbuhan mikroorganisme heteroirofk dan bakteri patogen, 2). eutrofkasi, 3). terbentuknya senyawa toksik (amonia dan nitrit), dan 4). menurunnya konsentrasi oksigen terlarut (WIDIYANTO, 2006). Secara alamiah sistem perairan (tambak udang) mampu melakukan proses selfpurzjkation, namun apabila kandungan senyawa organik sudah melampaui batas kemampuan self purzj?cation, rnaka akumulasi bahan organik dan pembentukan senyawa-senyawa toksik di perairan tidak dapat dikendalikan, sehiigga menyebabkan menurunnya kondisi kualitas air bahkan kematian udang yang dibudidayakan (BADJOERI et al. 2006). Senyawa amonia atau amonium dan nitrit dalam batas-batas konsentrasi tertentu dapat menimbulkan dampak negatif (Tabel 1). Senyawa amonia dan nitrit bersifat toksik bila konsentrasinya sudah melebihi ambang batas, namun demikian mekanisme toksisitasnya bagi udang mash belum banyak diketahui dengan

jelas. Konsentrasi amonia yang aman untuk budidaya udang 5 0,012 mg/L dan konsentrasi maksimumsenyawa nitrit di perairan budidaya 5 4,4 mgIL (SCHWEDLER et al. 1985). Beberapa upaya pengelolaan perairan tambak udang yang umumnya banyak dilakukan para petani tambak, antara lain teknik sedimentasi dengan menggunakan kolam tandon air untuk menyimpan air sebelum air d i u k k a n kedalam tambak, pemakaian kicir air untuk meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut dan penggunaan bahan kimia (antara lam saponin dan antibiotik) untuk mengantisipasi hama dan penyakit. Namun upayaupaya tersebut belum memberikan had yang optimal dalam meningkatkan hasil produksi udang. Salah satu upaya alternatif yang terus dikaji dan dikembangkan ialah teknik bioremediasi, merupakan pendekatan biologis dalam pengelolaan kualitas air tarnbak dengan memanfaatkan aktivitas bakteri dalam rnerombak bahan organik dalam sistem perairan budidaya. Beberapa jenis atau kelompok bakteri diketahui mampu melakukan proses perombakan (dekomposisi) senyawa-senyawa metabolit toksik, dan dapat dikembangkad sebagai bakteri agen bioremediasi untuk pengendalian kualitas air. Jenis atau kelompok bakteri tersebut antara lain bakteri nitrifkasi, bakteri sulfur (pereduksi sulfit), dan bakteri pengoksidasi amonia. Kelompok atau jenis bakteri tersebut perlu dikondisikan agar lebii aktif dalam membantu proses perombakan, sehiigga dapat mengeliminasi senyawa-senyawa toksik tersebut dari dalam sistem perairan tambak. Beberapa produk bakteri agen bioremediasi hasil penelitian telah dikomersilkan dan diaplikasikan di tambak pada saat ini, antara lain EM4, StarBIO, Aquazyme dan Super PS. Beberapa penelitian bakteri agen bioremediasi, antara lain dilakukan oleh MUSTAFA et al. (2001) dengan BADJOERI & WIDIYANTO Sumber : BOYD 1990, CHIN & CHEN (1987), CHEN & CHIN (1988), BOYD & FAST (1992) menggunakan bakteri Bacillus sp. dan Pseudomonas sp. yang dimokulasi secara bersamaan, sehingga mampu m e n d a n kandungan bahan organic sedimen tambak udang sebesar 60% setelah inkubasi selama 56 hari. DEVARAJA ef al. (2002) menggunakankan campuran bakteri Bacillus sp.dan Saccharomyces sp., serta campuran dari Bacillus sp., Nitrosomonas sp. dan Nirrosobacter sp. pada sistem budidaya udang. Pada penelitian ini digunakan bakteri nitrifikasi dan bakteri denitrifikasi sebagai agen bioremediasi senyawa metabolit toksik arnonia dan nitrit di tambak udang. Bakteri yang akan digunakan adalah hasil isolasi dan seleksi dari beberapa perairan tambak di Indonesia. Penggunaan bakteri nitirifikasi dan denitrifikasi

untuk menjaga keseimbangan senyawa nitrogen anorganik (amonia, nitrit dan nitrat) di sistem tambak. Pendekatan bioremediasi ini diharapkan dapat menyeimbangkan kelebihan residu senyawa nitrogen yang berasal dari pakan, dilepaskan bempa gas N2 1 N20 ke atmosfir. Peran bakteri nitrifikasi adalah mengoksidasi amonia menjadi nitrit atau nitrat, sedangkan bakteri denitrifikasi akan mereduksi nitrat atau nitrit menjadi dinitrogen oksida (N20) atau gas nitrogen (Nz). BAKTERI NITRIFIKASI UNTUK BIOREMEDIASI TAMBAK UDANG Pemberian bakteri nitrifkasi dan denitrifkasi sebagai agen bioremediasi ke dalam tambak udang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan bakteri yang berperan dalam proses remineralisasi unsur h a nitrogen dan membantu proses purifhsi alarniah (selfpurification) dalam siklus nitrogen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan bakteri agen bioremediasi menjaga keseimbangan kondisi kualitas air di tambak udang windu. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan pada tambak udang windu di daerah Karawang, Jawa Barat pada bulan Juni s!d September 2005. Tambak yang digunakan berupa 2 kolam uji yang luasnya masing-masing 2000 m2. Kolam pertama sebagai tambak uji dengan perlakukan pemberian bakteri bioremediasi dan kolam kedua sebagai tambak kontrol (tanpa perlakuan bioremediasi). Padat tebar 30 ekor per mZ. Lama penelitian satu siklus pemeliharaan udang windu sekitar 120 hari, pengamatan dilakukan secara berkala setiap 10 hari. Setiap tambak dilengkapi dengan 2 unit kincir air dan 1 unit aerojet. Perlakuan bioremediasi dengan menebarkan bakteri ke dalam tambak udang dengan ratio penebaran bakteri nitrifikasi : bakteri denitrifkasi = 1 : 1. Dosis pemberian bakteri, pada tahap persiapan tambak sebanyak 150 L!ha (tergantung kondisi tambak), bulan ke 1 dan ke 2 sebanyak 50 L!ha tiap 10 hari, bulan ke 3 dan ke 4 sebanyak 100 L/Ha tiap 5 hari, dengan kepadatan p- opulasi lo9 upkfml. Isolat bakteri nitrifkasi dm denitrifkasi yang digunakan hasil isolasi dari perairan tambak udang daerah Tanggerang dan Serang, Jawa Barat dan tambak daerah Moramo-Kendari, Sulawesi Tengara. Hasil uji genetika (PCR dan 16s rRNA), isolat bakteri dengan kodeASLT yang mempunyai kemampuan aktivitas nitrifikasi rnirip (99%) denganPseudomonas stutzeri. Isolat bakteri dengan kode KDTS yang mempunyai kemampuan aktivitas denitrifkasi mirip (99%) dengan Alcaligenes sp (WIDIYANTO 2006). Media pertumbuhan bakteri untuk bakteri nitrifikasi dan denitrifikasi adalah media cair Sea Water Complete (bakto pepton 5g, ekstrak ragi lg, gliserol3g, akuades 250 ml dan air laut 750 mL) dan diinkubasi pada

kondisi aerojZik, pH 7,2 dan suhu ruang. Inkubasi baktri denitrifkasi pada pH dan suhu yang sama dengan kondisi miboaerojZik (LUEKING et al., 1978). Inkubasi bakteri selama 5 - 7 hari. Isolat siap ditebar ke dalam tambak udang pada hari ke 8 - 10 karena masa pertumbuhan eksponensial. Parameter fisika-kimia kualitas air tambak yang diamati meliputi: pH, suhu, oksigen terlarut (DO), salinitas, kecerahan, amonia, nitrit, nitrat dan nitrogen total selama satu siklus pemeliharaan (sekitar 120 h i ) , (Tabel 2). HASIL DAh' PEMBAHASAN Hasil analisis kualitas air tambak menunjukkan pemberian bakteri bioremediasi berpengaruh terhadap kondisi kualitas air tambak, terutama terhadap konsentrasi senyawa amonia, nitrit, nitrat, dan nitrogen total. Secara keseluruhan konsentrasi senyawa-senyawa tersebut di tambak yang diberi perlakuan bakteri bioremediasi (tambak uji) tampak lebi rendah Kondisi kualitas air pada awal pemeliharaan sampai pemeliharaan selama 50 hari konsentrasi amonianya masih rendah baik pada tambak uji (0,041 - 0,157 mg/L) maupun pada tambak kontrol (0,006 - 0,132 mgL) (Gambar 1). Kondisi ini menunjukkan, bahwa konsentrasi senyawa nitrogen organik di tambak udang belum terlalu tinggi, ha1 ini keliiatan dari konsentrasi nitrogen totalnya yang berkisar antara 0,210 - 2,258 mg/L di tambak uji, sedangkan di tambak kontrol0,3 17 2,43 1 mg/L (Gambar 2). Selain itu juga terlihat sampai hari ke 50, konsentrasi amonia dan nitrit di tambak udang rendah Kondisi ini menunjukan proses purifiasi alami di tambak udang dapat berlangsung dan diduga bakteri bioremediasi yang ditambahkan dapat beradaptasi dalam menjaga keseimbangan populasimikroorganisme di tambak udang. Pada pengamatan hari ke 10 konsentrasi amonia di tambak uji 0,142 mg/L dan tejadi peningkatan pada hari ke 20 menjadi 0,157 mgL, akan tetapi selanjutnya konsentrasi amonia tern mengalami penurunan pada hari ke 30 (0,877 m&), hari ke 40 (0,041 mg/L) sampai hari ke 50 (0,043 mg/L). Begitu pula halnya terjadi di tambak kontrol, dimana pada hari ke 10 konsentrasi amonia 0,110 mgL dan mengalami peningkatan pada hari ke 20 menjadi 0,132 mg/L, dan terns menurun menjadi 0,041 mg/L (hari ke 30), 0,006 mg/L (hari ke 40) dan 0,083 mg/L (hari ke 50). Konsentrasi senyawa metabolit toksik di tambak udang, umumnya menunjukkan peningkatan pada hari ke 15 setelah udang ditebar, yaitu amonia (NH3) di sedimen mencapai 8,5 m a , nitrat 0,93 mg/L, nitrit (NOz) 0,69 mg/L. Sedangkan konsentrasi nitrogen total terlamt pada hari ke 3 0,42 mgL (BUFFORD et al., 2002). Setelah 50 - 60 hari pemeliharaan, terjadi peningkatan konsentrasi amonia di tambak kontrol dari 0,083 mg/L menjadi 2,639 mg/L, sedangkan di tambak uji juga te rjadi peningkatan konsentrasi amonia

namun relatif lebih kecil peningkatannya, yaitu dari 0,043 mgL menjadi 0,137mgIL. Hal ini menyerupai hasil penelitian yang diiakukan oleh SABAR & WIDIYANTO (1998) yang menunjukkan adanya peningkatan senyawa organik pada system tambak semi-intensif terjadi mulai hari ke 60. Pada awal operasional tambak, konsentrasi senyawa karbon organik pada sistem sedimen umumnya sebesar 41,O mgL dan pada tambak udang umur 60 hari meningkat menjadi 140 mgL dan selain senyawa karbon organik juga unsur nitrogen, fosfat dm sulfur banyak terkandung di dalam senyawa organik yang berasal dari pakan udang. Memasuki masa pemeliharaan 70 - 80 hari konsentrasi amonia baik pada tambak uji maupun kontrol relatif berfluktuasi, namun cendrung terjadi peningkatan konsentrasi amonia, dimana pada tambak uji pada hari ke 80 konsentrasinya mencapai 0,301 mg/L dan di tambak kontrol 1,210 mgL., namun pada hari ke 80 - 100 terjadi lagi penurunan konsentrasi amonia, dan pada hari ke 120 terlihat konsentrasi a m o ~ ate rliat cendrung terus meningkat, pada tambak uji 0,756 mg/L, sedangkan pada tambak control 0,920 mg/L.Peningkatan konsentrasi amonia ini sebagai akibat proses dekomposisi (amonifkasi) bahan-bahan organik yang berasal dari sisa pakan, feces udang, plankton yang mati oleh bakteri heterotrofik dan apabila proses selanjutnya yaitu nitrifikasi tidak berlangsung baik maka akan terjadi akumulasi amonia di perairan tambak udang. Konsentrasi Ntrit di tambak udang baik di tambak uji rnaupun di tambak kontrol cendemg terus mengalami peningkatan, terutama masa pemeliaraan 10 - 60 hari, bahkan sampai 70 hari di tambak kontrol (Gambar 3). Pada tambak uji konsentrasi nitrit meningkat dari 0,008 mgL (hari ke 10) menjadi 0,127 mg/L (hari ke 60) atau meningkat sebanyak 0,116 mgL selama 50 hari, sedangkan ditambak kontrol konsentrasi nitrit meningkat dari 0,011 mg/L (hi ke 10) menjadi 0,165 mg/L ( h i ke 70) atau meningkat sebanyak 0,154 mg/L selama 60 hari. Hal ini terjadi karena adanya aktivitas bakteri nitrifikasi, yang pada kondisi aerobii bakteri nitritasi (bakteri pembentuk nitrit) akan mengoksidasi amonia menjadi nitrit, dan pada kondisi oksigen yang memadai proses ini akan berlanjut menjadi proses nitratasi, nitrit akan dioksidasi menjadi nitrat oleh bakteri nitratasi (bakteri pembentuk nitrat). Gambar 4. memperlihatkan pada masa pemeliharaan udang 70 - 120 hari konsentrasi nitrat relatif tinggi, (di tambak kontrol berkisar 0,321 - 0,996 mg/L dan di tambak uji berkisar 0,222 - 0,757 mgL) karena hasil perombakan nitrit menjadi nitrat pada proses nitriiasi. Konsentrasi nitrit di tambak udang uji setelah umur 80 - 100 hari berfluktuasi, namun cenderung terns mengalami penurunan. Hal hi diduga karena aktivitas bakteri nitratasi yang mereduksi nitrit menjadi nitrat. Hasil analisis nitrit di

tambak udang uji juga memperlihatkan konsentrasi nitrityang lebii rendah dibandiig tambak kontrol, ha1 ini menunjukan adanya pengaruh pemberim bakteri nitrifikasi untuk bioremediasi perairan tambak udang. Hasil pengukuran parameter kualitas air menunjukan bahwa, pH airpada tambak uii maupun tambak kontrol tidak 4menwiukan konsentrasi yangjauh berbeda, yaitu berkisar antara 8,09 - 8,49 pdatambak uji dan 8,00 - 8,85 pada tambak kontrol (Gambar 5). Menurut AHMAD (1991) dan RHEINHEIMER (1985) bakteri di perairan dapat tumbuh optimal pada kisaran pH antara 6,5 - 8,5 dan fluktuasi pH di perairan Ine~pakatIp roses alami karena aktivitas mikroorganisme (bakteri dan fhgi). Kondisi pH air tambak antara 7 - 9 mempakan kondisi yang mendukung untuk pemeliharaan ikan atau udang (BOYD 1990). Nilai pH >7 rnenunjukkan air tambak teroksidasi dengan baii (RHEINHEIMER 1985), kondiii ini mendukung bakteri nitrifiii untuk mengoksidasi amonia rnenjadi nitrit dan nitrat. Oksigen terlarut (DO) di dalam air mempakan parameter yang sangat penting, karena apabila konsentrasinya rendah (<50 % konsentrasi jenuh) menyebabkan tekanan parsial oksigen di dalarn air menjadi tidak cukup tinggi untuk proses penetrasi oksigen ke dalam lamella insang udang sehingga menyebabkan udang mati lemas. Apabila terlalu lewat jenuh (>I 50 YO), penetrasi oksigen ke dalam insang menjadi terlalu cepat, menyebabkan penyakit "gas bubble disease" (AHMAD 1991) Konsentrasi oksigen terlarut di tambak uji maupun tambak control relatif tinggi yaitu antara 8,55 - 18,49 mg/L di tambak uji dan 7,95 - 18,60 mg/L di tambak kontrol (Gambar 6). Hal ini dikarenakan proses fotosintesis oleh fitoplankton di tambak (BOYD dan CHIANG dalam AHMAD 1991). Tingginya konsentrasi oksigen terlarut di tambak udang diduga juga karena penetrasi oksigen oleh kin& air (2 unit) dan aerojet (1 unit) yang dipasang di tambak. Menurut AHMAD (1991) konsentrasi oksigen terlamt pada waktu fajar (jam 04.00) dapat te rjadidefisk konsentrasi oksGen hingga &t?ncapai 1,54 mg/L, karena itu pemasangan alat pemasok oksigen (aerator)di tambak udang sangat diperlukan untuk menghindari kematian udang akibat kekurangan oksigen. Konsentrasi rata-rata oksigen terlarut di tambak uji (10,93 mg/L) dan di tambak kontrol(12,33 mg/L) layak untuk mendukung kehidupan ikan atau udang yang dibudidayakan dan aktivitas mikroorganisme (bakteri) untuk melakukan vroses biogeokimia di perairan. Menurut ELLIS dalam BOYD (1990) pad'a kondisi &igen dipeiairan rata-rata 3 mgk atau kurang dapat membahayakan ikan atau berbagai jenis fauna air lainnya. Sedangkan menurut WEATON dalam BOYD (1990) pada

konsentrasi oksigen berkisar antara 2,s - 3,s mg/L ikan raibow trout mati dan tidak dapat turnbuh dengan baik pada oksigen 5 mgL. Pemeliharaan ikan pada kondisi oksigen rendah yang term menerus &pat menyebabkan ikan mudah terserang infeksi bakteri patogen (SNIEZKO & PLUMB et al. dalam BOYD 1990). Konsentrasi oksigen terlarut yang baik untuk pemeliharaan ikan yaitu > 5 mg/L (BOYD1990). Konsentrasi oksigen terlarut pada tambak uji, sejak memasuki masa pemeliharaan 30 hari sampai 120 hari lebii rendah konsentrasinya disbanding tambak kontrol, ha1 ini kelihatan menunjukan adanya proses respirasi dan perombakan bahan organik yang terjadi pada tambak uji lebih aktif dibandiig di tambak kontrol. Konsentrasi oksigen terlarut di tambak akan terjadi fluktuasi antara pagi, siang, sore dan malam hari. Konsentrasi oksigen terlarut di tambak pada sore hari (jam 15.00-18.00) dapat mencapai 15 - 16 mg/L di mush kemarau dan mencapai 8 mg/L di mush penghujan. Pada pagi hari (jam 04.00 - 06.00) di musim kemarau konsentrasi oksigen terlarut mencapai 4 - 4,5 mg/L dan di mush hujan < 4 mg/L (BOYD 1990). Proses perombakan senyawa amonia sangat tergantung dengan keberadaan konsentrasi oksigen terlarut di tambak. Menurut WICKINS (1985) udang windu berbobot 1,6 g menghasilkan 0,96 mg N-N~3+/hari sedangkan udang yang berbobot 30 g menghasilkan 0,3 mg N-NH3+/hari, dan apabila pakan yang diberikan 3 % dari berat biomassa udang, maka dalam satu hari akan diproduksi amonia sekitar 0,49 mg/L NNH~' per hari, yang merupakan penjumlahan amonia yang diproduksi udang dan sisa pakan Untuk mengoksidasi amonia 0,49 mg1L per hari diperlukan oksigen sebanyak 1,9 mg/L (AHMAD 1991). Pada malam hari diperlukan oksigen terlarut sebanyak 734 mg/L. Jika konsentrasi oksigen terlarut pada sore hari (jam 17.00) sebanyak 9 mg/L maka konsentrasi oksigen terlarut pada pagi hari (jam 05.00) adalah 9 mglL dikurangi 7,54 mglL = 1,46 mglL (AHMAD 1991). Konsentrasi oksigen terlarut terendah untuk budidaya udang adalah 3 mglL (POERNOMO 1988, CHOLIK 1988, BOYD 1990 dan AHMAD 1991). Oleh karena itu untuk mengatasi kondisi ini diperlukan alat bantu pemasok oksigen ke dalam tambak, yaitu kincir air dan aerojet. Menurut AHMAD (1991) kiicir air dan aerojet mempunyai efisiensi aerasi masing-masing sebesar 2,10 kg 02kW.jam dan 0,97 kg OzkW.jam. Menurut BOYD & AHMAD (1987) untuk menaikan konsentrasi oksigen terlarut dari 1, 46 mglL menjadi 3 mglL diperlukan sekitar 7 kW.jam atau diperlukan sekitar 4 buah aerator (kincir)/ha untuk meningkatkan oksigen terlarut sampai konsentrasi yang aman bagi kehidupan udang pada malam

hari (jam 24.00 - 01.00). Pada penelitian ini, tambak udang dilengkapi dengan 2 unit kincir air dan 1 unit aerojet (pompa penyemprot) di setiap tambak untuk memenuhi kebutuhan oksigen di air tambak. Suhu air selalu berkaitan dengan pH air, konsentrasi oksigen terlarut, salinitas dan kelarutan amonia di perairan (BOYD 1990). Suhu air di tambak uji berkisar antara 30,5 - 31,7 OC dan kontrol 30,2 - 31,5 OC (Gambar 7). Pada kisaran suhu tersebut udang masih dapat hidup normal, bahkan pada suhu sekitar 35 OC udang mash dapat hidup normal seperti pengamatan yang dilakukan oleh AHMAD (1991) di tambak percobaan Maranak-Sulawesi selatan. Suhu optimal untuk pertumbuhan udang adalah berkisar antara 28 - 30 OC (BOYD 1990). Suhu rata-rata di tambak uji 3 1,17 OC dan di tambak kontrol3 1,08 OC, kondisi suhu ini mendukung aktivitas bakteri dalam melakukan proses perombakan bahan organik. Menurut RHEINHEIMER (1985) suhu optimal amonifikasi dan nitrifikasi berkisar antara 30 - 35 OC. Salinitas (kadar garam) di tambak uji berkisar antara 31,O - 33,62 '1, dm tambak kontrol berkisar 29,4 - 33,4 0100 (Gambar 8). Salinitas di tambak udang, di tambak uji maupun tambak kontrol relatif cukup tinggi, karena saliiitas optimal air tambak untuk pertumbuhan udang windu 20 '1, . Menurut AHMAD (1991) udang windu walaupun termasuk hewan euryhaline dan masih dapat hidup normal pada saliitas 35 'I, sebaiknya dibudidayakan pada salinitas normal untuk perkembangannya yaitu 12 20 0100, dan salinitas tertinggi untuk pertumbuhan mikroorganisme halophilic (bakteri dan fungi), yaitu 25 40 '1, dan tumbuh optimal pada salintas 5 -20 '1, (RHEIWRIMER 1995). `Tingginya kadar garam di tambak udang uji rnaupun control dienakan musim kemarau sehingga salinitas di tambak terus meningkat karena proses penguapan air, selain itu di lokasi penelitian relatif sulit untuk mendapatkan air tawar. Pada masa pemeliharaan 70 - 90 h i , salinitas air tambak menurunakibat pengenceran yang disebabkan oleh hujan yang turun. Namun organik KESIMPULAN Bakteri nitrifkasi yang di masukkan ke dalam tambak udang windu mampu beradaptasi dan menjaga kestabilan konsentrasi amonia dan nittit, sehingga konsentrasinya masih berada pada batas aman untuk budidaya udang. Pemberian bakteri n i t r i f h i sebagai agen bioremediasi ke dalam perairan tambak udang dengan dosis 50 L/ha (udang umur 30 -60 hari) dan 100 L h (6 0 - 120 hari) dengan kepadatan demikian kondisi salinitas air tambak diduga masih mendukung aktivitas bakteri dalam melakukan proses perombakan bahan

populasi 10' upk/mL. setiap 10 hari berpengaruh positif terhadap perbaikan kualitas air tambak udang windu.

DAFTAR PUSTAKA ANONYMOUS, 1996. Aqua Farm News. Vol. XIV: No. 4 dan 5. AHMAD, T. 1991. Pengelolaan Peubah Mutu Air Yang Penting dalam Tambak Udang Intensif. Indonesia Fisheries Information System. Infs Manual Seri no. 25. Direktorat Jenderal Perikanan dan International Development Research Centre. 40 hal. BADJOERI. M., G. S. HARYANI, T. WIDIYANTO, W. RIYANTO, I.RUSMANA, N. H. SAD1 dan V. INDARWATI 2006. Pemanfaatan Bakteri NitrzjXmi dun Denitrz3kasi untuk Bioremediasi Senyawa Metabolit Toksik di Tambak Udang. Laporan Tahunan. Program Penelitian dan Pengembangan Iptek - Riset Kompetitif LIPI. DIPA BADJOERI & WIDIYANTO Biro Perencanaan dan Keuangan LIPI dan Puslit Biologi LIPI. Bogor. 46 hal. BOYD, C. E. 1990. Water quality in ponds for Aqua Culture. Alabama agricultural experiment station. Auburn University. 482 pp. BOYD, C.E. and A.W. FAST. 1992. Pond monitoring and management in. FAST, A.W. and LESTER, L.J. (Eds). Marine Shrimp Culture : Principles and Practices: 497 - 5 14. BOYD, C. E. and T. AHMAD. 1987. Evaluation of Aeratorsfor Channel Catfzsh Farming. Ala Agr. Exp. Sta., Auburn Univ., Ala., Bull. 584. 52 p. BUFORD, M. A., N.P. PRESTON, P.M. GILBERT and W.C. DENNISON. 2002. Tracing the fate of "N-enriched feed in an intensive shrimp system. Aquaculture. 206 : 199 - 216.CHIN, T. S. and J. C. CHEN. 1987. Acute Toxicity of Amonia to Larvae of the Tiger Prawn, Penaeus monodon. Acuaculture, 66: 247-253. CHEN, J. C. and CHIN, T.S. 1988. Joint Action of Amonia and nitrite on Tiger Prawn Penaeus monodon Postlarvae. .I Worls Aquaculture. SOC., 19:127-131.

CHOLIK, F. 1988. Dasar-dasar Bertambak Udang Intensij Seminar Budidaya Udang Intensif. Patra Utama, Jakarta, 12-19. DEVARAJA, T.N., F.M. WSOFF and M. SHARIFF. 2002. Changes in bacterial population and shrimp production in pond treated with commercial microbial products. Aquaculture. 206 : 245 - 256. GUNALAN, D. E. A. 1993. Penerapan Bioremediasi untuk Melenyapkan Polutan Organik dari Lingkungan. Makalah Diskusi Panel. Kongres Nasional Perhimpunan Miobiologi Indonesia, Surabaya 2-4 Desember 1993. Univ. Erlangga. 13 hal.

Efektivitas Mengambang Micro-Manik Bio-Filter untuk Ikan Hias dalam Sistem Re-Beredar Akuakultur
Abstrak Bio-filtrasi telah banyak digunakan dalam re-sirkulasi akuakultur sistem untuk menghapus limbah dan untuk mengubah amonia beracun dan nitrit menjadi produk akhir ikan hias yang aman dan organisme air lainnya. Namun, studi mikro-manik penggunaan sebagai media filter belum diperluas dan dikembangkan secara menyeluruh. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk membangun sebuah biologis filter yang terbuat dari polietilen mikro-manik sebagai media filter dan untuk menganalisa efektivitasnya dalam menghapus sampah serta dalam mengkonversi bahan organik beracun menjadi zat stabil. Bio-filter yang dibangun di bawah rotasi molding proses. Tabung, selang, dan pipa yang terbuat dari polivinil klorida (PVC) sementara pengencang yang terbuat dari stainless steel dan non korosif bahan. Efektivitas dari bio-filter yang diukur dengan menggunakan permintaan oksigen biokimia (BOD) dan total padatan tersuspensi (TSS) analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bio-filter efisien cukup untuk menghilangkan padatan tersuspensi dan BOD. Oleh karena itu, mikro ini-manik mengambang bio-filter dapat digunakan dalam budidaya sistem. Keywords: Micro-manik bio-filter, ikan hias, kembali beredar akuakultur sistem; kebutuhan oksigen biokimia, total padatan tersuspensi. 1. Pengantar Re-sirkulasi sistem akuakultur secara perlahan mulai berkembang di Malaysia. Kebanyakan Malaysia akuakultur peternak cenderung untuk beroperasi filtrasi mekanis dan biologis dalam tangki filtrasi filter yang terpisah. Bahkan meskipun penelitian sebelumnya [1-5] telah membuktikan efisiensi filter manik mengambang dalam melakukan baik mekanik dan filtrasi biologis pada satu unit, jenis filter belum banyak digunakan di Malaysia. Oleh karena itu, ini Penelitian dilakukan untuk membangun mikro-manik mengambang bio-filter model pada biaya yang paling masuk akal dan untuk mengembangkan model sehingga filter dapat diterapkan secara praktis, sesuai dan efektif untuk ikan air tawar di air hangat akuakultur aplikasi. Sebagian besar penyaring yang digunakan dalam akuakultur manik aplikasi saat ini menggunakan 3 manik-

manik mm dengan kepadatan hanya beberapa kurang dari persen air. Media ini juga 50-100 kali lebih mahal, satuan luas permukaan per disediakan, dari yang 1 mm mengambang jenis media yang digunakan oleh Greiner dan Timmons [4]. Untuk kejelasan dalam makalah ini, kecil Media manik dan filter (1 mm diameter) yang disebut sebagai filter mikro-manik untuk membedakan dari 3 mm reaktor manik. Istilah mikro-manik juga telah digunakan oleh peneliti lain untuk tipe 1 mm manik media [6]. Sementara ada informasi yang cukup besar dalam literatur tentang karakteristik nitrifikasi untuk sebagian besar media di saat ini menggunakan [7-10], tidak ada informasi kuantitatif mengenai penggunaan 1 mengambang polietilen mm media (mikro-manik-manik) yang saat ini sedang digunakan dalam akuakultur aplikasi. 1.1 Bead filter pada proses perlakuan mekanik Filtrasi mekanik atau klarifikasi adalah proses menghilangkan padatan tersuspensi dari air. Padatan tersuspensi dalam sistem re-sirkulasi umumnya partikel kecil makanan tercerna, bakteri, dan ganggang. Padatan tersebut cenderung mengurangi kejernihan air dan juga mengurangi sejumlah besar oksigen. Filter manik menghapus padatan dari air dengan mekanisme yang berbeda. Mengejan fisik mungkin adalah mekanisme yang paling dominan menghapus lebih besar partikel (> 50 mikron). Partikel yang lebih halus (<20 mikron) dikeluarkan pada tingkat yang lebih rendah dengan proses yang disebut bio-penyerapan. Partikel-partikel ditangkap oleh bakteri biofilm pada permukaan manikmanik. Semakin melewati padatan lebih ditangkap [11, 12]. http://astonjournals.com/faj 2 Riset Pasal 1.2 Bead filter pada proses pengolahan biologis Ada dua metode yang umum digunakan untuk menghilangkan amonia dalam sistem air tawar: pertukaran ion dan biologis filtrasi. Dalam sistem air garam, pertukaran ion bukanlah alternatif karena dalam budaya air cepat jenuh semua situs adsorpsi pada media pertukaran ion. Dengan demikian, filter biologis adalah satu-satunya banyak digunakan metode untuk menghilangkan amonia dan nitrit dari semua jenis sistem akuakultur. Filter biologis terdiri dari beberapa media padat yang berfungsi sebagai permukaan di mana bakteri dapat melampirkan dan berkembang. Filter manik secara khusus dirancang untuk memfasilitasi pertumbuhan yang cepat dari bakteri nitrifikasi dan heterotrofik baik yang dalam sistem air tawar terdiri dari Nitrosomonas dan Nitrobacter spp.

Mikroorganisme tumbuh di ruang pori antara manik-manik, penggalian organik terlarut dari perairan beredar memasuki filter dan menetralkan isi amonia dalam hasil air terlarut dari kolam ikan. Tumbuh lebih lambat nitrifiers, lapisan manik-manik, mengubah amonia beracun dan nitrit menjadi produk akhir yang stabil nitrifikasi [13]. Sebagai padatan dan biomassa bakteri menumpuk, tempat tidur mulai menyumbat, menghambat transfer oksigen dan nutrisi untuk bakteri dalam filter. Dengan demikian, urutan backwash perlu diterapkan [14]. 2. Metode 2.1 Bahan pemilihan 2.1.1 Filter tangki Tangki filter yang terbuat dari polietilen. Untuk tujuan keselamatan ketebalan tangki harus 0,2 m di untuk menahan tekanan hidrolik yang dihasilkan oleh air yang mengalir dari kolam ke dalam tangki. Ketika tangki diisi dengan air, mikro-manik akan mengapung sampai ke tingkat leher tangki. Karena saluran air tabung terletak lebih rendah daripada tingkat leher, sehingga tangki harus menjadi silinder dengan bentuk kerucut di bagian atas dari ruang untuk meminimalkan mikro-manik mengisi daerah. Karena desain untuk filter biologi harus mencegah sinar yang berlebihan untuk bakteri, tangki dicat berwarna biru untuk menyediakan kegelapan lengkap untuk diurnal bersepeda dari rezim cahaya untuk bakteri nitrifikasi. 2.1.2 Filter media Polyethylene bubuk dipilih sebagai media filter. Volume manik harus volume tangki. Para Manik-manik bola di bentuk dengan diameter 1-2 mm. Polietilen mikro manik yang ditunjukkan pada Gambar 1. Gambar 1: Polyethylene mikro-manik. Gambar 2: Struktur kimia dari polietilen. Polietilen adalah satuan berulang dari etilena [C2H4] memiliki struktur kimia seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2. 2.1.3 Pipa dan fitting PVC pipa tekanan jadwal 40 umumnya dinilai ganda untuk sistem tekanan air, serta limbah dan tiriskan aplikasi ventilasi, memenuhi persyaratan dari American Society for Testing dan Material [ASTM] Standar D2665. Alasan untuk memilih PVC adalah bahwa suhu air di bawah 45 C tidak akan mempengaruhi migrasi dari PVC. Tabel 1

berisi daftar properti untuk pipa PVC Jadwal 40. Bubuk Polyethylene memiliki http://astonjournals.com/faj Perikanan dan Budidaya Jurnal, Volume 2011: FAJ-28 3 karakteristik bahwa itu adalah non-berbahaya bagi ikan serta organisme hidup lainnya. Selanjutnya, polietilen telah biaya rendah, memiliki kehidupan rak panjang, dan tersedia di toko-toko ritel.

2.2 mikro-manik Mengambang bio-filter operasi Setelah mikro-manik mengambang bio-filter itu dibuat, fungsi dan operasi yang diuji untuk memastikan nya kemampuan kinerja. Bio-filter yang terhubung ke kolam 10 m2 dengan 20 Koi ikan mas, Cyprinus carpio [rata-rata berat 2 kg] menggunakan pipa PVC dan fitting Jadwal 40. Sebuah pompa submersible setengah tenaga kuda yang digunakan untuk memompa air dari kolam ke dalam bio-filter. Air disaring akan mengalir keluar dari bio-filter oleh hidrostatik tekanan dan kembali ke kolam, membentuk sistem re-sirkulasi akuakultur. Diagram skematik dari tata letak aliran operasi ditunjukkan pada Gambar 3, dan mengambang mikro-manik bio-filter ditunjukkan pada Gambar 4a dan Gambar 4b. Gambar 3: Operasi tata letak dari sistem re-sirkulasi akuakultur menggunakan floating-manik mikro bio-filter. http://astonjournals.com/faj 4 Penelitian Pasal Gambar 4a: Floating mikro-manik bio filter. Gambar 4b: Floating mikro-manik bio-filter di kolam koi. Setelah beroperasi selama beberapa waktu, lumpur dari filtrasi cenderung menumpuk di dalam tempat tidur. Kondisi ini menurunkan laju aliran pada titik keluar dari biofilter. Untuk mengatasi masalah ini, modus backwash diperlukan dalam rangka untuk menghapus akumulasi lumpur di dalam packed bed. Untuk beralih dari modus filtrasi ke modus backwash, aliran inlet terbalik sehingga, itu menjadi titik outlet. Filtrasi modus dimatikan dan air bersih [dari sumber air] dipasok ke dalam pipa outlet. Air bersih akan memasuki tidur tangki dari pipa outlet, dan mengalir melalui packed bed menyebabkan aliran turbulensi. Aliran ini akan menyebabkan dikemas tidur menjadi nakal sehingga menghilangkan akumulasi lumpur terjebak

antara partikel microbead tersebut. Lumpur ini akhirnya akan mengalir keluar dari tangki melalui pipa inlet. Diagram skematik menyajikan filtrasi modus dan modus backwash ditunjukkan pada Gambar 5. Gambar 5a: modus Filtrasi. Gambar 5b: backwash modus. http://astonjournals.com/faj Perikanan dan Budidaya Jurnal, Volume 2011: FAJ-28 5 2.3 Kinerja analisis Operasi bio-filter yang diamati selama tujuh hari. Dalam periode ini, tes dilakukan dalam rangka untuk menguji nya kinerja efisiensi. Tes Biochemical Oxygen Demand [Direksi] dan Total Suspended Solids [TSS] analisis. Sampel diambil selama operasi bio-filter dan dikumpulkan dari pipa outlet untuk tujuh hari berturut-turut di 10:00 Sekitar 1,2 kg pakan diumpankan ke ikan [ikan berat rata-rata individu 2 kg] dua kali sehari, di pagi hari pukul 9 pagi dan di sore hari pukul 3 sore. Perhitungan dosis pakan didasarkan pada 3% dari berat ikan. Para makanan komersial diproduksi oleh Fwusow Industry Co Ltd digunakan. Bahan pakan terdiri dari gandum tepung, tepung ikan, tepung udang, tepung kerang, bibit gandum, tepung krill, bubuk ragi, -karoten, lesitin, L-lisin, DL-metionin, minyak ikan, vitamin A, vitamin D3, vitamin C, vitamin E, riboflavin, biotin, asam folat, kalsium pantothenate, kalsium fosfat, kolin klorida, niasin, para-aminobenzoic acid, besi sulfat, mangan oksida, sulfat tembaga, seng oksida, magnesium sulfat, sulfat kobalt [komposisi gizi, lihat Tabel 2]. Tabel 2: Nutrisi komposisi makanan koi [Fwusow Industry Co Ltd]. Komposisi Gizi Tingkat Minyak mentah protein> 42% Minyak mentah lemak> 5% Serat kasar <4% Minyak mentah abu <12% Moisture <10% 2.3.1 kebutuhan oksigen biokimia [Direksi] tes Direksi analisis dilakukan untuk menentukan tingkat di mana oksigen digunakan oleh mikroorganisme dalam dekomposisi bahan organik. Metode ini terdiri dari mengisi dengan sampel, melimpah, botol kedap udara dari 30 mL kosong botol dan mengerami itu pada suhu tertentu 20 C selama 5 hari. Oksigen terlarut [DO] diukur awalnya dan setelah inkubasi, menggunakan DO meter. Direksi dihitung dari perbedaan antara awal dan akhir DO seperti yang ditunjukkan dalam persamaan berikut [16]. Karena DO awal ditentukan sesaat setelah pengenceran dibuat, uptakes oksigen semua yang terjadi setelah pengukuran ini dimasukkan dalam pengukuran BOD. DOI DOF BOD [mg / L] = ----------------------- [1]

P Mana DOI = DO dari sampel yang diencerkan segera setelah persiapan [mg / L], DOF = DO sampel diencerkan setelah 5 hari inkubasi pada 20 C [mg / L], P = volumetrik fraksi desimal dari sampel yang digunakan. 2.3.2 Jumlah total padatan tersuspensi [TSS] tes TSS dilakukan untuk menentukan efisiensi bio-filter pada perangkap padatan tersuspensi di dalam sistem. Sebuah wellmixed sampel disaring melalui filter standar ditimbang kacaserat dan residu ditahan pada filter dikeringkan hingga berat konstan dari 103 C sampai 105 C. Peningkatan berat filter mewakili total padatan tersuspensi. Jika bahan ditangguhkan menyumbat filter dan memperpanjang filtrasi, mungkin perlu untuk meningkatkan diameter filter atau mengurangi volume sampel. Untuk mendapatkan perkiraan dari total ditangguhkan padatan, perbedaan antara padatan terlarut total dan total padatan dihitung dengan menggunakan persamaan seperti yang ditunjukkan di bawah ini [16]. [A - B] x 1000 Total Suspended Solids [mg / L] = [2] --------------------------------Contoh Volume [ml] Di mana A = berat filter + residu dikeringkan [mg], B = berat filter [mg]. http://astonjournals.com/faj Pasal 6 Penelitian 3. Hasil dan Diskusi 3.1 Direksi Kebutuhan oksigen biokimia [Direksi] penentuan secara umum telah diakui sebagai yang paling sesuai dan sensitif tes untuk deteksi dan pengukuran polusi. Ini telah lama diadopsi sebagai yang paling Indeks kimia yang bisa dipercaya mengenai keadaan sebenarnya dari sungai [17]. Telah ditemukan bahwa jika angka BOD lakukan tidak melebihi 4 mg / L air bebas dari tanda-tanda polusi. Komisi Royal terkenal klasifikasi sungai sesuai dengan nilai-nilai BOD ditemukan dapat diterapkan di perairan di Malaysia [18] observasi. Sebelum instalasi [Hari 0] bio-filter, nilai BOD itu tinggi [90 mg / L] dan ini Kondisi ini diklasifikasikan sebagai sangat tidak tercemar sesuai dengan standar kualitas air untuk akuakultur Hal ini mengakibatkan konsentrasi tinggi senyawa organik di dalam kolam. Kondisi ini akan mendorong mikroorganisme di dalam kolam untuk melakukan pekerjaan mereka dengan menguraikan materi organik menjadi non-berbahaya zat. Kegiatan ini membutuhkan mikroorganisme untuk mengkonsumsi banyak oksigen dengan demikian, menurunkan terlarut oksigen dan meningkatkan tingkat Direksi. Pada hari pertama bio-filter

yang dipasang dan dioperasikan [Hari 1], BOD menurun menjadi 48 mg / L. Pada titik ini, mikroorganisme tumbuh di filter untuk menguraikan bahan organik, mengakibatkan pengurangan konsentrasi bahan organik, serta nilai BOD. Hal ini disebabkan pengurangan organik materi, sehingga aktivitas kurang oleh mikroorganisme dan konsumsi oksigen kurang. Pada hari ketiga dan keempat, fisiensi bio-filter ini terbukti ketika nilai BOD turun dari 9 mg / L untuk 4 mg / L. Pada titik ini, kondisi air diklasifikasikan sebagai moderat dan sedikit tercemar. Kemudian, nilai BOD menurun menjadi 1,5 mg / L pada kelima serta pada hari keenam dan ini diklasifikasikan sebagai bersih. Dengan demikian, bio filter yang terbukti efisien cukup untuk memberikan luas permukaan yang sesuai untuk bakteri nitrifikasi untuk menjajah dan mengisi. 3.2 TSS Para padatan tersuspensi yang sangat pantas dalam air karena berbagai alasan. Mineral dan organik tersuspensi hal dapat menyebabkan pendangkalan dan oleh menyelimuti dasar sungai / laut menyebabkan kerusakan tanaman dan hewan. Selanjutnya, bahan pasir dapat menyebabkan luka fisik untuk ikan [19]. http://astonjournals.com/faj Perikanan dan Budidaya Jurnal, Volume 2011: FAJ-28 7 Data yang dikumpulkan dari tes yang disajikan pada Tabel 4 merupakan hasil dari tes saat TSS diamati selama tujuh hari. Sebelum bio-filter yang mulai beroperasi [Hari 0], nilai TSS itu tinggi [985 mg / L] dan Kondisi ini diklasifikasikan sebagai sangat tidak tercemar sesuai dengan Standar Kualitas Air untuk Budidaya [lihat Tabel 3]. Hal ini karena konsentrasi tinggi zat organik serta padatan tersuspensi di dalam kolam. Pada hari pertama [Hari 1] bio-filter dinyalakan dan mulai beroperasi dan hari kedua [Hari 2], TSS yang menurun menjadi 115 mg / L. Angka ini menunjukkan bahwa banyak padatan tersuspensi telah dihapus dari kolam sehingga memperbaiki kualitas air, yang diklasifikasikan sebagai sedikit tercemar. Kemudian, TSS di dalam kolam terus menurun turun dari 76 mg / L pada hari ketiga sampai 5 mg / L pada keenam hari. Nilai-nilai ini jatuh di bawah penunjukan sangat bersih berdasarkan pada Standar Kualitas Air untuk Akuakultur. Dengan demikian, bio-filter terbukti cukup efisien untuk menghilangkan padatan tersuspensi dalam kolam dan mengubah kondisi air dari 'terlalu tercemar' ke `sangat bersih '. Oleh karena itu, bio-filter berfungsi dengan baik dan memenuhi tujuan yang diinginkan.

4.Kesimpulan Mikro-manik mengambang bio-filter pelabuhan dan mengandung mikroorganisme yang diinginkan yang bisa membusuk organik materi dan mengubahnya menjadi zat tidak berbahaya bagi ikan. Hal ini dapat digunakan untuk menggantikan kebutuhan kembar dari filter filter dan biologi mekanik. Sistem sirkulasi ulang dan backwash yang diusulkan dalam studi ini dapat menyimpan hilangnya air selama backwash. Air kehilangan selama backwash digantikan oleh sekitar 20% dari baru bersih air. Menurut hasil studi [TSS dan BOD], dengan kepadatan tebar ikan ini dan tingkat makan, penerapan bio-filter efektif dalam mengendalikan, mempertahankan dan membela kualitas air. Selain itu, penggunaan bio-filter yang wajar bagi para petani karena harga yang rendah. Polietilen digunakan sebagai media filter bisa memperpanjang umur simpan, media, dibandingkan dengan media lain seperti pasir. Oleh karena itu, filter ini dapat diimplementasikan dalam budidaya untuk trah air tawar di Malaysia dan negara-negara lain. Namun demikian, lebih lanjut penelitian harus menilai efikasi yang lebih intensif di bawah kondisi dan akuakultur dilakukan pada filter ini untuk menyediakan lebih peralatan nyaman untuk pengguna. Untuk indikator misalnya pH, suhu, dan melarutkan oksigen bisa melekat pada filter untuk memungkinkan semua variabel-variabel yang akan dimonitor dan dikendalikan.

DAFTAR PUSTAKA 1. Hall AG, 1999. A Comparative Analysis of Three Bio-filter Types Treating Wastewater Produced in Recirculating Aquaculture Systems. Fisheries and Wildlife Sciences, Virginia Polytechnic Institute and State University, Virginia. 2. Westerman PW, Losordo TM, Wildhaber ML, 1996. Evaluation of various biofilters in an intensive recirculating fish production facility. Transactions of the American Society of Agricultural Engineers, 39: 723-727. 3. Twarowskaa JG, Westermana PW, Losordo TM, 1997. Water treatment and waste characterization evaluation of an intensive recirculating fish production system. Aquacultural Engineering, 16: 133-147.

4. Greiner AD, Timmons MB, 1998. Evaluation of the nitrification rates of microbead and trickling filters in an intensive recirculating tilapia production facility. Aquacultural Engineering, 18: 189-200. 5. Smith M, 2003. Biological filters for aquaculture. In: Technical and Commercial Information, L.S. Enterprises, Fort Myers, Florida. [http://www.biofilters.com/webfilt.htm] http://astonjournals.com/faj8 Research Article 6. Dean RC, Karkare SB, Ray NG, et al., 1988. Large scale culture of hybridoma and mammalian cells in fluidized bed reactors. In: Bioreactor Immobilized Enzymes and Cells: Fundamentals and Applications. p. 128, Elsevier Applied Science, London. 7. Grady CXPL, Lim HC, 1980. Biological wastewater treatment. Marcel Dekker, New York. 8. Tanaka H, Dunn IJ, 1982. Kinetics of biofilm nitrification. Biotechnology and Bioengineering, 24: 669-689. 9. Westerman PW, Losordo TM, Wildhaber ML, 1993. Evaluation of various biofilters in an intensive recirculating fish production facility. In: Proceedings of an Aquacultural Engineering Conference, 21-23 June 1993, pp. 326-334, ASAE Publication 02-93, St. Joseph, MI, Washington. 10. Wheaton FW, Hochheimer JN, Kaiser GE, et al., 1994. Nitrification filter principles. In: Aquaculture Water Reuse Systems: Engineering Design and Management. M.B, T., and Losordo, T. S., (eds), Elsevier, Amsterdam. 11. Selective Koi Sales, 2011. Econobead filters. Hainford, UK. ` [http://www.selectivekoisales.co.uk/shop/index.php?cPath=67_17] 12. Russel Water Gardens, 2011. The HydroBead Vortex. Redmond, WA. [http://www.russellwatergardens.com/Filters/hydrobeadvortex3.php?PHPSESSID=394272e7ca0fa54533fbe7981df4c0a9] 13. Colt JE, Amstrong DA, 1981. Nitrogen toxicity to crustaceans, fish, and molluscs. In: Bioengineering Symposium for Fish Culture [Jallen, L., and Kinney, E. C., eds], Fish Culture Section of the American Fisheries Society, Bethesda, Maryland, USA. 14. Malone RF, Drennan D, Stahl C, et al., 2000. Development rationale for the use of marine recirculating biofilters to simplify management strategies and reduce costs associated with marine aquaculture systems. In: 3rd International Conference on

Recirculating Aquaculture System, Aquaculture Network Information Center [AquaNIC.org], Roanoke, Virginia. 15. Spears Manufacturing Company, 1999. PVC Schedule 40 Fittings, Performance Engineered and Tested. [www.kthsales.com/website/vendors/Spears/PDF/pvc40.pdf] 16. American Public Health Association, American Water Works Association, and Water Pollution Control Federation, 1995. Standard methods for the examination of water and wastewater, 19th Edn, APHA, Washington D.C. 17. Royal Commission on Sewage Disposal, 1912. Standards and tests for sewage and sewage effluents discharging into rivers and streams. Vol. 1. Cmd. 6464, H.M.S.O., London. 18. Jabatan Perikanan, 1984. Water quality for aquaculture in Malaysia. In: Risalah Perikanan Bil.20, Kementerian Pertanian Malaysia, Kuala Lumpur. 19. Alabaster JS, Lloyd R, 1982. Water quality criteria for freshwater fish. 2nd Edition, Food and Agriculture Organization of the United Nations, Butterworth's, London.

STUDI PENENTUAN KOEFISIEN BIODEGRADASI AIR LIMBAH DOMESTIK INFLUEN BOEZEM MOROKREMBANGAN
Abstrak : Boezem Morokrembangan merupakan muara dari saluran drainase yang ada di Kota Surabaya. Boezem ini telah mengalami pencemaran berat oleh limbah domestik sehingga kemampuan self purification-nya berkurang. Potensi self purification suatu badan air dapat dilihat dari nilai koefisien biodegradasi. Pada penelitian ini dilakukan analisis secara batch terhadap sampel air dari influen Boezem Morokrembangan untuk mendapatkan nilai koefisen biodegradasi. Analisis dilakukan dengan melihat hubungan antara perubahan konsentrasi substrat (nilai PV) dan biomassa (MLSS) setiap 3 jam selama 24 jam proses aerasi. Kondisi optimum aerasi dan rasio BOD5/COD didapatkan pada penelitian pendahuluan. Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan rasio BOD5/COD sampel sebesar 0,5 dan kodisi optimum aerasi terjadi pada sampel air dengan konsentrasi BOD5 terendah dengan proses agitasi skala 6 magnetic stirrer. Nilai koefisien biodegradasi sampel air dengan PV awal 23,384 mg/L, 72,048 mg/L dan 293,88 mg/L berturut-turut adalah 0,015/jam, 0,00311/jam dan 0,002/jam. 1. Pendahuluan Boezem Morokrembangan yang merupakan muara dari saluran drainase dan berfungsi sebagai pengendali banjir di Kota Surabaya, saat ini telah tercemar berat oleh limbah domestik. Hal ini mengakibatkan boezem tidak dapat bekerja dengan baik sesuai dengan fungsinya. Secara alamiah boezem memiliki kemampuan self purification dan kemampuan untuk mengolah bahan pencemar yang masuk kedalamnya, namun karena besarnya beban bahan pencemar yang masuk ke boezem menyebabkan kemampuan self purification berkurang. Salah satu parameter yang dapat menunjukkan kemampuan self purification suatu badan air adalah koefisien biodegradasi. Nilai koefisien biodegradasi merupakan parameter penting yang menunjukkan potensi fisik biokimia suatu badan air untuk memurnikan diri (self purification). Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah berapa persentase jumlah

bahan organik biodegradable pada air limbah influen Boezem Morokrembangan, bagaimana kondisi optimum aerasi yang akan digunakan pada penelitian ini, dan berapa nilai koefisien biodegradasi air limbah influen Boezem Morokrembangan. Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mengetahui persentase jumlah bahan organik biodegradable yang terkandung dalam air limbah influen Boezem Morokrembangan dan mengetahui kondisi optimum aerasi yang dapat digunakan dalam penelitian ini. Sedangkan tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan nilai koefisien biodegradasi air limbah domestik influen Boezem Morokrembangan. Nilai koefisien biodegradasi yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu referensi dalam evaluasi kinerja dari Boezem Morokrembangan. Air Boezem Morokrembangan memiliki karakteristik yang berfluktuasi setiap harinya, tergantung kualitas dan kuantitas air yang masuk ke dalamnya. Namun demikian, berdasarkan pada Peraturan Daerah Kota Surabaya No. 02 Tahun 2004, tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, Boezem Morokrembangan diklasifikasikan dalam badan air kelas III yaitu air yang peruntukannya dapat dipergunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar dan air payau, peternakan, air untuk mengairi pertamanan, dan/ atau peruntukan lain. Biodegradasi adalah reaksi biologis, baik aerobik maupun anaerobik, yang mengubah senyawa organik pencemar menjadi karbondioksida ataupun substansi lain yang tidak lagi berbahaya. Proses biodegradasi dapat berlangsung secara efektif jika tersedia lingkungan yang sesuai untuk kehidupan mikroorganisme. Yang dimaksud dengan lingkungan yang sesuai antara lain adalah terpenuhinya kebutuhan nutrisi mikroorganisme dan faktor lingkungan seperti temperatur dan pH yang sesuai, serta terpenuhinya kebutuhan oksigen untuk respirasi (Benefield and Randall, 1980). Kadang-kadang proses degradasi alamiah terjadi di lingkungan tercemar tanpa membutuhkan intervensi manusia, namun terkadang beberapa derajat intervensi dibutuhkan untuk menstimulasi biodegradasi (Alvarez and Illman, 2006). Salah satu

bentuk

intervensi

manusia

dalam menstimulasi biodegradasi adalah dengan

memasukkan udara/ air kaya oksigen (aerasi) ke dalam badan air. Salah satu kegunaan dari aerasi pada pengolahan air limbah adalah memberikan suplai oksigen pada proses pengolahan biologi secara aerobik. Pengaruh lamanya waktu pada proses oksidasi akan mempengaruhi kemampuan mikroorganisme untuk mendegradasikan bahan organic yang terdapat dalam air buangan. Semakin lamanya waktu yang diberikan pada proses oksidasi maka akan memberi kesempatan bagi mikroorganisme untuk tumbuh dan melakukan degradasi bahan organik. (Droste,1997).

Pada t=0, substrat dan nutrien berlimpah, dan keberadaan populasi biomassa sangatlah sedikit. Sebagai akibat dikonsumsinya substrat, empat fase pertumbuhan yang berbeda terjadi, yaitu: fase lamban (lag phase), fase pertumbuhan eksponensial (exponential growth phase), fase stasioner (stationary phase), dan fase kematian (death phase/ endogenous decay phase) (Metcalf and Eddy, 2003). Kinetika pertumbuhan mikroba menentukan oksidasi (penggunaan) substrat dan produksi biomassa, yang menyumbang konsentrasi TSS dalam reaktor biologis. Karena air limbah penduduk dan industri mengandung sejumlah substrat, konsentrasi senyawa organik paling sering ditunjukkan dengan nilai COD biodegradable atau uBOD, yang mana keduanya terdiri atas komponen biodegradable terlarut, koloid, dan partikulat (Metcalf and Eddy, 2003). Zat organik dalam air juga dapat diketahui dengan menentukan angka permangantanya. Yang dimaksud dengan nilai permanganat (KMnO4) adalah jumlah miligram Kalium Permanganat yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat organik yang ada dalam air. Walaupun KMnO4 sebagai oksidator yang dipakai tidak dapat mengoksidasi semua zat organik yang ada, namun cara ini sangat praktis dan tepat pengerjaannya (Sutrisno, 2002). Satu kegunaan utama dari operasi biokimia adalah dalam mengurangi atau menghilangkan bahan organik terlarut yang dapat digunakan sebagai sumber makanan oleh mikroorganisme yang ada. Ketika hal ini terjadi, sebagian dari karbon diubah menjadi karbondioksida dan sisanya diubah menjadi materi sel yang baru. Karbondioksida terlepas sebagai gas dan materi sel dihilangkan dalam operasi fisik menjadikan air limbah terbebas dari bahan organik asli (Grady and Lim, 1980).

Laju keseluruhan dari reaksi biologis tergantung pada aktivitas katalitis enzim dalam reaksi yang jelas. Kinetika enzim telah didefinisikan oleh Michaelis-Menten untuk reaksi tunggal yang meliputi substrat tunggal. Bentuk persamaan yang sama dapat digunakan pada banyak kasus untuk menunjukkan kinetika yang diobservasi dengan banyak substrat dan reaksi kultur campuran yang terjadi di dalam proses pengolahan air limbah. Dalam meninjau ekspresi kinetika yang digunakan untuk menggambarkan penggunaan substrat dan laju pertumbuhan biomassa, sangat penting diingat bahwa ekspresi yang digunakan dalam pemodelan proses biologis semuanya adalah empiris, berdasarkan nilai koefisien yang ditentukan melalui percobaan.

2. Metodologi Untuk mencapai tujuan penelitian ini, kerangka penelitian yang digunakan adalah merumuskan ide studi, melakukan peninjauan pada pustaka yang ada, melaksanakan penelitian pendahuluan dan penelitian utama di laboratorium, mengolah data dan membahas hasil penelitian, serta menarik kesimpulan.

Penelitian Pendahuluan Analisis untuk mengetahui persentase jumlah zat organik biodegradable dalam air limbah yang masuk ke Boezem Morokrembangan Selatan dilakukan di laboratorium dengan cara mengukur rasio konsentrasi BOD5 dan COD dari sampel air. Sampel air diambil dari masing-masing inlet boezem yaitu Saluran Purwodadi dan Saluran Greges. Analisis ini dilakukan selama 3 hari berturutturut. Analisis penentuan kondisi optimum aerasi bertujuan untuk membandingkan proses aerasi secara difusi dengan proses aerasi secara mekanik pada berbagai konsentrasi BOD5. Kondisi optimum ditentukan dengan memilih proses aerasi yang paling efektif dalam menaikkan dan menurunkan konsentrasi DO dalam sampel air dengan konsentrasi BOD5 yang bervariasi.

Penelitian Utama

Analisis penentuan koefisien biodegradasi dilakukan dalam skala laboratorium dengan proses batch dan dilaksanakan pada kondisi optimum aerasi yang telah ditentukan pada analisis sebelumnya. Prosedur analisisnya adalah sebagai berikut : - dimasukkan sampel air dengan tiga konsentrasi PVs awal yang berbeda ke dalam tiga buah reaktor, dimana volume masing-masing reaktor adalah 1 L. Pada reaktor 1 dan reaktor 2 digunakan sampel air limbah asli dengan konsentrasi PVs awal berturut-turut adalah 23,384 mg/L dan 72,048 mg/L . Sedangkan pada reaktor 3 digunakan sampel air limbah asli dengan penambahan glukosa sehingga konsentrasi PVs awal menjadi 293,88 mg/L. - Dilakukan proses aerasi terhadap ketiga reaktor tersebut secara kontinyu selama 24 jam - Disampling pada masing-masing reaktor dan dilakukan analisis terhadap parameter PVs dan MLSS pada t aerasi =.0, 3 jam, 6 jam, 9 jam, 12 jam, dan 24 jam. - Kondisi operasi dalam reaktor dijaga agar volumenya tetap 1 L, pH antara 6-8, dan konsentrasi DO > 2 mg/L.

Dari hasil analisis di atas, dilakukan pengolahan data hingga diperoleh nilai koefisien biodegradasi. Selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan dari keselruhan analisis yang telah dilaksanakan.

3. Hasil dan Pembahasan Penelitian Pendahuluan Rasio BOD5/COD air limbah menunjukkan persentase jumlah bahan organik biodegradable dari jumlah bahan organik total yang terkandung di dalam air limbah tersebut. Menurut Alaerts dan Santika (1984), perbandingan rata-rata antara BOD5 dan COD juga dapat menunjukkan jenis dari air limbah. Perbandingan rata-rata BOD5 dan COD untuk bermacam-macam jenis air dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini.

Rasio BOD5/COD 0.4 sampai 0.6 0.6 0.2 0.1 0.6 sampai 0.65 0.6 sampai 0.62

Jenis Air Air buangan penduduk Air buangan penduduk setelah pengendapan primer Air buangan penduduk sesudah diolah secara biologis Air sungai yang tidak tercemar Air beracun industri organis tanpa keracunan Air buangan industri inorganis atau beracun

Selain itu, jika rasio BOD5/COD untuk air limbah yang tidak terolah adalah 0,5 atau lebih, limbah tersebut dianggap sebagai limbah yang mudah terolah secara biologis. Jika rasionya di bawah kira-kira 0,3 maka ada dua kemungkinan, yaitu bahwa limbah tersebut mengandung komponen toksik atau diperlukan mikroorganisme yang telah diaklimatisasi dalam proses stabilisasinya (Metcalf and Eddy, 2003). Pada penelitian ini pengukuran konsentrasi BOD5 dan COD dilakukan di laboratorium selama tiga hari berturut-turut, dimana pengambilan sampel dilakukan saat kondisi cuaca tidak sedang hujan. Dari penelitian yang dilakukan selama tiga hari berturut-turut terhadap sampel air dari influen Boezem Morokrembangan didapatkan data-data seperti yang tercantum pada Tabel 3.

Lokasi Sampling Saluran Greges

Tanggal Analisis 2 Mei 2010 3 Mei 2010 4 Mei 2010 2 Mei 2010 3 Mei 2010 4 Mei 2010

[BOD5] (mg/L) 12 38 65 23 19 30

[COD] (mg/L) 24 80 136 48 40 64

Rasio BOD5/COD 0.500 0.475 0.478 0.479 0.475 0.469

Rasio ratarata BOD5/COD 0.484

Saluran Purwodadi

0.474

Dari hasil analisis laboratorium di atas diketahui bahwa perbandingan rata-rata BOD5/COD air limbah influen Boezem Morokrembangan, baik di Saluran Greges

maupun Purwodadi menunjukkan nilai yang hampir sama yaitu mendekati 0,5. Data ini menunjukkan bahwa hampir 50% kandungan bahan organic dalam air limbah influen Boezem Morokrembangan bersifat biodegradable. Data ini juga menunjukkan bahwa air limbah yang masuk ke boezem, baik dari Saluran Greges maupun Purwodadi termasuk kategori air buangan penduduk yang belum terolah, dan tidak tercemar oleh air buangan industri baik organik maupun anorganik. Selain itu, dapat disimpulkan bahwa metode pengolahan yang cocok digunakan untuk mengolah air boezem adalah dengan pengolahan biologis (untuk mengolah kandungan bahan organik biodegradable) yang dikombinasikan dengan pengolahan secara fisik. Sedangkan pengolahan secara kimia kurang cocok digunakan untuk mengolah air boezem karena salah satu kerugian signifikan dari pengolahan secara kimia adalah sludge yang dihasilkan besar (Metcalf and Eddy,2003). Hal ini dapat mempercepat terjadinya pendangkalan pada boezem. Kerugian lainnya adalah diperlukannya penanganan lebih lanjut terhadap sludge yang dihasilkan dari pengolahan secara kimia. Penelitian pendahuluan berikutnya adalah penentuan kondisi optimum aerasi. Pada penelitian ini, digunakan aerator tipe diffuser, yaitu menggunakan air pump yang dilengkapi dengan air diffuser dan aerator tipe mekanik (mechanical aerators), yaitu dengan menggunakan magnetic stirrer untuk aerasi dengan cara agitasi (memanfaatkan turbulensi). Aerasi dengan melepaskan gelembung udara dilakukan dengan tiga variasi debit udara yaitu 1,5 ml/menit, 3 ml/menit, dan 4 ml/menit. Sedangkan aerasi dengan cara agitasi menggunakan magnetic stirrer dilakukan dengan dua variasi kecepatan yaitu pada skala 6 dan skala 8. Variasi sistem aerasi ini diterapkan pada air limbah influen boezem dengan tiga variasi konsentrasi BOD5 yaitu 12 mg/L, 18 mg/L dan 37 mg/L. Kondisi optimum aerasi ditentukan dengan cara membandingkan tiap variasi berdasarkan laju kenaikan kadar oksigen terlarut saat aerasi dan laju penurunannya saat aerasi dihentikan. Laju kenaikan kadar DO ditentukan dengan membagi kenaikan kadar DO awal hingga mencapai jenuh dengan waktu tercapainya kadar DO jenuh tersebut. Sedangkan laju penurunan kadar DO dihitung dengan membagi penurunan kadar DO sejak aerasi dihentikan dengan waktu selama aerasi dihentikan.

Kapasitas air dalam menampung DO (konsentrasi DO jenuh) tergantung pada temperatur, salinitas, dan tekanan parsial oksigen saat kontak dengan air. Menurut Metcalf and Eddy (2003), oksigen akan lebih mudah terlarut dalam air dengan temperatur yang lebih rendah. Pada penelitian ini temperatur awal air boezem adalah 30oC, dimana tipikal konsentrasi DO jenuhnya , menurut Benefild and Randall (1980), adalah 7,63 mg/L pada konsentrasi Cl- nol dan tekanan udara 1 atm. Namun demikian, dalam penelitian ini konsentrasi DO jenuh ditentukan berdasarkan pengamatan selama beberapa waktu dimana konsentrasi DO sudah tidak mengalami kenaikan walaupun dilakukan aerasi secara kontinyu. Perbandingan laju kenaikan dan penurunan kadar DO pada berbagai variasi debit aerasi dan kecepatan agitasi serta konsentrasi BOD5 selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4. Perbandingan Laju Kenaikan Kadar Dissolved Oxygen (DO) pada Berbagai Kondisi Aerasi. Konsentrasi BOD5 BOD = 12 mg/L Agitasi 1 Agitasi 2 Jenis aerasi Laju kenaikan DO (mg/L.menit) 1,04 1,08 Laju DO (mg/L.menit) 0,0033 0,0089 penurunan

aerasi 1 Aerasi 2 Aerasi 3 BOD = 18 mg/L agitasi 2 aerasi 1 aerasi 2 aerasi 3 BOD = 37 mg/L agitasi1 Agitasi 2 Aerasi 1 Aerasi 2 Aerasi 3 agitasi1

0,255 0,208 0,004 0,11 0,4267 0,29 0,4 0,31 0.075 0.3 0.076 0.228 0.59

0,0047 3 1,04 0,00625 0,06 0,0614 0,0843 0,1057 0,0857 0.0425 0.036 0.467 0.024 0.0978

Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa laju kenaikan DO yang paling besar terjadi pada kondisi aerasi dengan agitasi 2, dimana kecepatan agitasinya adalah pada skala 8 magnetic stirrer. Laju kenaikan DO tertinggi ini terjadi pada sampel air boezem dengan konsentrasi BOD5 terendah yaitu 12 mg/L. Sedangkan laju penurunan DO terendah yang terjadi setelah penghentian proses aerasi, dialami oleh sampel yang sebelumnya diaerasi pada kondisi aerasi dengan agitasi 1 (yaitu pada kecepatan agitasi skala 6 magnetic stirrer). Laju penurunan DO terendah ini juga terjadi pada kondisi sampel dengan konsentrasi BOD5 terendah yaitu sebesar 12 mg/L. Dengan pertimbangan bahwa dengan kecepatan agitasi skala 6 maka energi yang digunakanuntuk mixing lebih kecil dan laju penurunan kadar DO-nya pun merupakan yang paling kecil, meskipun laju kenaikan kadar DO-nya bukan merupakan yang paling besar (hanya berbeda sedikit dari agitasi skala 8 yang memiliki laju kenaikan oksigen terbesar), maka ditentukan bahwa kondisi optimum proses aerasi adalah pada skala 6 magnetic stirrer.

Dari analisis ini diambil kesimpulan bahwa kondisi optimum aerasi terjadi pada agitasi 1 dimana kecepatan agitasi berada pada skala 6 magnetic stirrer, dan pada konsentrasi BOD5 sampel sebesar 12 mg/L yang merupakan konsentrasi terendah dari sampel yang diuji. Hasil tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi BOD5 berbanding terbalik dengan laju kenaikan DO, dan berbanding lurus dengan laju penurunannya.

Penelitian Utama Penelitian untuk menentukan koefisien biodegradasi air limbah domestik influen Boezem Morokrembangan ini dilakukan di bawah kondisi optimum aerasi yang telah ditentukan pada penelitian pendahuluan, yaitu dengan agitasi sampel pada skala 6 magnetic stirrer dan konsentrasi BOD5 sebesar 12 mg/L, namun sebagai bahan perbandingan maka penentuan koefisien biodegradasi juga dilakukan pada air boezem dengan konsentrasi bahan organik yang lebih tinggi. Pada penelitian ini digunakan tiga buah reaktor, dimana reaktor pertama dan kedua berisi sampel air limbah asli tanpa penambahan glukosa (dengan konsentrasi PVs awal yang berbeda) dan reactor ketiga berisi sampel air limbah asli dengan penambahan glukosa. Penambahan glukosa dilakukan untuk menaikkan konsentrasi bahan organik sampel air. Dalam penentuan koefisien biodegradasi dilakukan proses aerasi terhadap sampel air secara kontinyu selama 24 jam, dengan pengambilan sampel pada reaktor setiap interval waktu 3 jam untuk dianalisa parameter PVs (sebagai subtrat) dan MLSS (sebagai biomassa). Hasil analisisnya dapat dilihat pada Tabel 5, Tabel 6 dan Tabel 7 .Tabel 5. Hasil analisis PVs dan MLSS pada sampel air di reaktor pertama (tanpa penambahan glukosa) dengan proses agitasi selama 24 jam t (jam ke-) PV s (sbg ln St S) dalam mg/L 0 3 6 9 18 24 23.384 18.012 11.692 9.164 8.532 6.952 3.152052028 2.891038202 2.458904847 2.215282765 2.143823801 1.939029388 MLSS (sbgX) dalam mg/L 4 11 12 10 8 2 4 7 8 7 6 3 0 22.5 48 63 72 72 X rerata Xrerata.t

Dari hasil analisis seperti terlihat pada Tabel 5 di atas diketahui bahwa dengan proses agitasi selama 24 jam konsentrasi PVs mengalami penurunan dari 23,384 mg/L hingga mencapai 6,952 mg/L atau turun sekitar 70% dari konsentrasi PVs awal. Sedangkan kadar MLSS mengalami kenaikan pada awal proses agitasi, namun kemudian menurun sampai konsentrasinya lebih kecil dari konsentrasi awalnya. Dari grafik pada gambar diatas dapat dihitung besarnya nilai koefisien biodegradasi (k) yang merupakan slope dari grafik tersebut. Perhitungannya adalah sebagai berikut : Untuk x = 0 Untuk x = 60 y y = (-0,015*0)+3,194 = 3,194 y = (-0,015*60)+3,194 = 2,294

Nilai koefisien biodegradasi ini menunjukkan jumlah substrat yang dapat di biodegradasi oleh biomassa per satuan waktu. Nilai koefisien biodegradasi sebesar 0,015/jam menunjukkan bahwa kemampuan biomassa alamiah yang terkandung dalam sampel air Boezem Morokrembangan dalam mereduksi bahan organik biodegradable pada boezem cukup kecil. Tabel 6. Hasil analisis PV dan MLSS pada sampel air di reaktor kedua (tanpa penambahan glukosa) dengan proses agitasi selama 24 jam

t (Jam ke-)

PVs (sbg S) dalam mg/L

Ln St

MLSS (sbg Xrerata X) dalam mg/L

Xrerata.t

0 3 6 9 18 24

72.048 66.36 62.252 56.564 52.772 39.5

4.277332564 4.195094465 4.131190663 4.03537274 3.965980747 3.676300672

8 11 13 17 12 7

8 9.5 10.5 12.5 10 7.5

0 28.5 63 112.5 120 180

Hasil analisis terhadap sampel air dengan penambahan glukosa menunjukkan bahwa setelah proses agitasi selama 24 jam, konsentrasi PV terlarut sampel mengalami penurunan dari 293,88 mg/L menjadi 31,6 mg/L atau menurun hampir 90% dari

konsentrasi awal. Sedangkan konsentrasiMLSS mengalami proses turun dan naik hingga pada akhir proses aerasi diketahui bahwakonsentrasi MLSS adalah 0 mg/L. Dari hasil analisis terhadap nilai koefisien biodegradasi air limbah domestik yang masuk ke Boezem Morokrembangan dengan konsentrasi PVs awal yang berbedabeda di atas, didapatkan besarnya nilai koefisien biodegradasi yang berbanding terbalik dengan besarnya konsentrasi PVs awal. Hal ini bertolak belakang dengan konsep persamaan Michaelis-Menten yang menggambarkan bahwa semakin besarnya konsentrasi substrat sampai tak terhingga, akan mengakibatkan mikroorganisme tumbuh dengan laju maksimumnya. Perbedaan antara hasil analisis dengan teori tersebut terjadi karena tidak diperhatikannya rasio F/M dalam reaktor, sehingga mikroorganisme alamiah yang terkandung dalam sampel air boezem tidak dapat menguraikan kelebihan substrat tersebut. Hal ini juga menunjukkan bahwa mikroorganisme alamiah yang terkandung dalam air boezem memiliki karakteristik kurang aktif dalam menguraikan pencemar organik.

4. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan dari penelitian ini adalah : - Persentase jumlah bahan organik biodegradable yang terkandung dalam air limbah influen Boezem Morokrembangan, baik di inlet Saluran Greges maupun inlet Saluran Purwodadi adalah sebesar 50%. Hal ini menunjukkan bahwa air limbah yang masuk ke BoezemKondisi optimum proses aerasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah proses aerasi dengan sistem agitasi menggunakan magnetic stirrer dengan kecepatan skala 6, dan konsentrasi BOD5 sebesar 12 mg/L yang merupakan konsentrasi BOD5 sampel yang terendah. - Nilai koefisien biodegradasi air limbah domestik influen Boezem Morokrembangan yang diperoleh dari analisa pada tiga reaktor dengan PVterlarut awal 23,384 mg/L, 72,048 mg/L dan 293,88 mg/L berturut-turut adalah 0,015/jam, 0,00311/jam dan 0,002/jam. Nilai ini menunjukkan bahwa mikroorganisme alami yang terkandung dalam air boezem memilikkarakter kurang aktif dalam mendegradasi bahan pencemar organik.
Daftar Pustaka Alaerts, G., dan Santika, S. S. (1987). Metoda Penelitian Air. Surabaya : Usaha Nasional. Alvarez, P. J. J., and Illman, W. A. (2006). Bioremediation and natural Attenuation : Process Fundamentals and Mathematical Models. New Jersey : John Wiley and Sons, Inc. 19

Benefild, L. D., and Randal, C. W. (1980). Biological Process Design for Wastewater Treatment. New York : Prentice-Hall, Inc. Droste, R. L. (1997). Theory and Practice Of Water and Wastewater Treatment. United State of America : John Wiley & Sons, Inc. Grady, C. P. L., and Lim, H. C. (1980). Biological Wastewater Treatment Theory and Application. New York : Marcel Dekker, Inc. Metcalf and Eddy. (2003). Wastewater Engineering : Treatment and Reuse (Fourth Edition). New York : McGraw-Hill Companies, Inc. Peraturan Pemerintah (PP) No.82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Penemaran Air. Reynolds, T. D., and Richards, P. A. (1996). Unit Operations and Processes in Environmental Engineering (Second Edition). Boston : PWS Publishing Company. Sutrisno, T. 2002. Teknologi Penyediaan Air Bersih. Jakarta: Rineka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai