Anda di halaman 1dari 15

ISTORIA: Jurnal Pendidikan dan Sejarah

Volume 16, No 1, Maret 2020


Tersedia Online: https://journal.uny.ac.id/index.php/istoria

KESUSASTRAAN: AJARAN NILAI-NILAI MORAL MASA


HAMENGKUBUWONO V

Oleh:
Gandes Sekar Putri
Email: gandes.sekarputri@gmail.com

ABSTRAK

Kajian mengenai nilai-nilai kepemimpinan Hamengkubuwono V dapat ditemukan


pada karya-karya sastra yang berkembang pada masa itu. Karya sastra pada masa
Hemangkubuwono V berkembang pesat dan mengandung ajaran-ajaran moral yang dapat
menjadi acuan pada zaman sekarang. Salah satu karya sastra yang berkembang, yaitu Serat
Jatipusaka Makutharaja yang berisi keteladanan seorang pemimpin dalam bertindak, nilai-
nilai kepemimpinan sebagai bentuk keteladanan dan nilai-nilai kepemimpinan yang
diimplementasikan dalam kehidupan. Kajian nilai kepemimpinan pada karya sastra dalam
tulisan ini dapat disebut sebagai model kepemimpinan Jawa-Islam.

Kata kunci: karya sastra, nilai-nilai moral, Hamengkubuwono V

ABSTRACT

The study of the values of leadership of Hamengkubuwono V can be found in the


literary works that developed at that time. The literary work of Hemangkubuwono V period
is growing rapidly and contains moral teachings that can be the reference of today. One of
the emerging literary works, namely Serat Jatipusaka Makutharaja which exemplifies a
leader in acting, values leadership as exemplary form and values of leadership that are
implemented in life. The study of the value of leadership on literary works in this paper can
be referred to as the Javanese-Islamic leadership model.

Keywords: literary works, moral values, Hamengkubuwono V

ISTORIA: Jurnal Pendidikan dan Sejarah


p-ISSN: 1858-2621 e-ISSN: 2615-2150
2 – ISTORIA: Jurnal Pendidikan dan Sejarah

PENDAHULUAN ciptaan baru, salinan dan saduran


(Marsono, 2004: 31). Pada karya ciptaan
Berdasarkan Perjanjian Giyanti baru terdiri dari sastra wayang, suluk,
pada 13 Februari 1755, maka terjadi primbon, babad, roman Islam dan bahasa.
pembagian wilayah kerajaan atau lebih Karya salinan, antara lain kitab suci, sastra
dikenal dengan palihan nagari menjadi menak, sastra suluk, babad, silsilah,
wilayah Surakarta Hadiningrat dan wayang, sastra piwulang, pakuwon, cerita
Ngayogyakarta Hadiningrat. Pada masa itu kenabian, bahasa dan tari. Sedangkan pada
seni pertunjukan dan seni karawitan karya saduran terdiri dari wayang, silsilah,
menjadi karya seni yang popular. babad, sastra menak, suluk, cerita kenabian
Kemudian Sultan Hamengkubuwono I dan sastra piwulang (Dwiyanto, 2016: 9).
memberikan kesempatan para pujanggan
untuk berkarya. Hasil karya sastra Keadaan sosial dan politik yang
Kasultanan sebagian besar disimpan di kacau di wilayah kerajaan dapat terobati
Kawedanan Hageng Kridha Mardawa dan dengan peningkatan kualitas kesenian,
di Kawedanan Hageng Panakawan Widya kebudayaan dan kesusastraan. Karya sastra
Budaya (Lindsay, 1994: xi-xii). yang dihasilkan mengandung ajaran
Perkembangan seni sastra mencapai bernilai moral yang dapat digunakan
puncak kejayaan pada masa pemerintahan sebagai acuan seiring terjadinya degradasi
Sultan Hamengkubuwono V (1822-1855 moral pada generasi muda pada zaman
M). sekarang, sehingga karya sastra masa
Hamengkubuwono V menarik untuk
Karya sastra yang tersimpan di dikaji.
Kawedanan Hageng Kridha Mardawa
sebagain besar berkaitan dengan seni tari,
yaitu srimpi, bedhaya, lawung, beksan
pethilan, gendhing karawitan dan wayang. KONDISI SOSIAL DAN POLITIK
Sedangkan yang tersimpan pada MASA HAMENGKUBUWONO V
Kawedanan Hageng Panakawan Widya
Hamengkubuwono V
Budaya terdiri dari sastra, babad, wayang,
menggantikan ayahnya ketika masih
sejarah, silsilah, sasrta ajaran, sastra suluk,
berusia balita (tiga tahun). Pada saat itu
astronomi, primbon, pakuwon, bahasa dan
pemerintah penjajahan Belanda berusaha
tari (Lindsay, 1994: xi).
membangun kembali kekuasaannya setelah
Masa pemerintahan Sultan diambil alih oleh pemerintah Inggris.
Hamengkubuwono V merupakan masa Kepemimpinan Hamengkubuwono V pada
paling sulit sebagai akibat jatuhnya masa kanak-kanak tidak dapat terlepas dari
kerajaan oleh serbuan tentara Inggris. bayang-bayang Dewan Perwakilan dan
Peristiwa penyerbuan disebut dengan tekanan Pemerintahan Belanda. Sultan
geger spehi yang kemudian disusul dengan Hamengkubuwono V memerintah dalam
Perang Diponegoro (Dwiyanto, 2016: 7). dua tahap yaitu pada tahun 1822-1826 dan
Akibat peristiwa tersebut beban politik dan 1828-1855. Lebih dari 120 karya sastra
sosial tidak dapat terelakkan di Kerajaan telah dihasilkan (Purwodinigrat, 2009:
Ngayogyakarta Hadiningrat. Disisi lain 255). Sultan Hamengkubuwono
pada bidang kebudayaan, khususnya memberikan kepedulian berlebih pada
kesusastraan dan kesenian mengalami perkembangan kebudayaan. Hal tersebut
kemajuan pesat. menggugah para seniman dan sastrawan
untuk berkreasi.
Kesenian sastra tumbuh subur di
lingkungan kerajaan, yaitu karya-karya

Volume
KESUSASTRAAN: AJARAN NILAI-NILAI MORAL MASA HAMENGKUBUWONO V 3
Gandes Sekar Putri

Pasca Perang Dipanegara, belakang dan 5). Penggunaan sengkalan


pemerintah kolonial Belanda berhasil tidak hanya berfungsi melambangkan
menguasai dan mengeksploitasi sumber tahun tetapi juga untuk angka-angka
daya di seluruh pulau Jawa (Ricklefs, lainnya (Purwodiningrat, 2009: 255-261).
1995: 182). Dengan menerapkan kebijakan
sistem tanam paksa, pemerintah kolonial Karya sastra masa
Belanda dapat memperoleh keuntungan Hamengkubuwono V dapat
yang sangat besar. Antara tahun 1831-1877 dikelompokkan dalam beberapa jenis
pemerintah kolonial Belanda dapat karya, antara lain kesenian (karawitan dan
melunasi hutang-hutang VOC dan tari), pewayangan, sejarah, agama dan
mengirim uang kepada kerajaan Belanda ajaran. Babad Mentawis merupakan karya
sejumlah 832 juta gulden (Ricklefs, 1995: sejarah yang paling menonjol. Babad
187). Mentawis ditulis sembilan kali, baik yang
berdiri sendiri maupun cerita bersambung.
Adanya kekacauan kondisi sosial Karya ini mencapai 3777 halaman yang
dan politik akibat kebijakan yang terdiri dari cerita bersambung jilid I (364
diterapkan pemerintahan kolonial Belanda, hlm), jilid II (300 hlm), jilid III (362 hlm),
maka para elite kerajaan Jawa mengalihkan jilid IV (358 hlm), jilid V (512 hlm), jilid
perhatian pada bidang seni dan budaya. VI (526 hlm) dan jilid VII (688 hlm),
Para pimpinan kerajaan di wilayah Jawa sedangkan pada Babad Mentawis yang
bagian tengah secara bersama-sama berdiri sendiri berjumlah 361 halaman dan
menjadi pelindung dan pendorong kegiatan Babad Mentawis Ngayogyakarta
dalam bidang kesusastraan. Bagi Sultan berjumlah 306 halaman (Dwiyanto, 2016:
Hamengkubuwono V dengan banyaknya 159).
penulisan karya-karya sastra dapat
memulihkan kembali koleksi perpustakaan Karya sastra masa
Keraton Yogyakarta yang telah dirampok Hamengkubuwono V banyak dihasilkan
oleh pemerintah Inggris (Dwiyanto, 2016: pada tahun 1846 dan 1847 kemudian 1851.
73). Salah satu karya sastra Hamengkubuwono
V yang jarang dijumpai namun digarap
serius yaitu mengenai ajaran (nilai-nilai
kepemimpinan). Karya sastra yang berisi
KARYA-KARYA SASTRA MASA ajaran kepemimpinan, antara lain: Serat
HAMENGKUBUWONO V Makutharaja (1846), Serat Hastabrangta
(1847) dan Serat Jatipusaka Makutharaja
Sultan Hamengkubuwono V
(1852). Karya sastra tersebut merupakan
memiliki keunggulan dalam memprakarsai
persepsi dan idealisasi Hamengkubuwono
karya-karya sastra. Adapun ciri-ciri dari
120 karya sastra yang berhasil diprakarsai, V mengenai kepemimpinan, selain sebagai
reaksi dan kompensasi akibat tekanan
antara lain: 1). Tulisan berbangun persegi,
politik pemerintah kolonial Belanda
tegas dan rapi seperti langgam masa
terhadap Keraton Yogyakarta.
Kartasura; 2). Penggunaan huruf besar
(aksara murda) cukup banyak, seperti Para Wali Kerajaan yang
huruf Ra dan Nya yang tidak dikenal di mendampingi Hamengkubuwono V pada
Surakarta sebelumnya; 3). Halaman, pupuh saat memimpin kerajaan di usia belia
atau bagian-bagian naskah tidak bernomor; mengajarkan pengetahuan mengenai
4) Memiliki manggala (bait pembuka atau manajemen pemerintahan kerajaan.
penutup) yang ditulis pada sepasang Pengetahuan mengenai kepemimpinan
halaman yang berhias di depan maupun di merupakan salah satu materi ajaran yang

ISTORIA: Jurnal Pendidikan dan Sejarah Volume 1


4 – ISTORIA: Jurnal Pendidikan dan Sejarah

mempengaruhi jalan hidupnya. Sehingga yang telah memiliki peradaban tinggi.


pada saat memasuki usia dewasa, Karya sastra mengalami perkembangan
Hamengkubuwono V mendokomentasikan pesat sehingga mendorong tumbuhnya
nilai-nilai kepemimpinan terebut dalam jenis karya sastra baru yang memperkaya
karya sastra. Secara monumental karya khasanah kesusastraan. Puisi dan prosa
sastra tersebut terkumpul dalam Serat merupakan jenis kesusastraan yang telah
Jatipusaka Makutharaja. Intisari nilai dikenal secara umum. Dalam kesusastraan
kepemimpinan yang terdapat dalam Serat Jawa, bentuk puisi lebih dikenal dengan
Jatipusaka Makutharaja adalah kemuliaan tembang atau nyanyian. Cara membaca
hati seorang raja yang memimpin kerajaan puisi didasarkan atas patokan tertentu yang
seperti Raja Yudhistira. disebut guru lagu, guru wilangan dan guru
gatra (Endraswara, 2006: 56).
Sifat-sifat yang harus dimiliki oleh
seorang raja, antara lain: tidak boleh Tembang Jawa banyak
melupakan bukari samsi narendra (asal mengisahkan sejarah seorang tokoh
usul perputaran leluhur raja), sukahar ataupun kerajaan. Salah satu tembang Jawa
retna adi murti (wujud kehendak mulia Kuno adalah Kitab Negarakertagama
dari leluhur) dan mengalir bagaikan aliran karya empu Prapanca yang menceritakan
air sungai. Raja harus memiliki hati yang sejarah Kerajaan Singosari dan Majapahit.
awas terhadap tajali atau penampakan Setelah mendapat pengaruh Islam, dunia
Allah yang menyatu pada kalbu (hatinya) kesusastraan lebih memiliki warna dan
sehingga dapat memimpin dengan benar. misi yang ada di dalamnya. Materi dakwah
Raja hendaknya selalu bergembira dalam yang terdapat dalam tembang Jawa yaitu
mencari nafkah untuk hidup. Raja selalu mengenai kehidupan manusia sejak dari
berusaha meningkatkan pemahaman, dalam kandungan hingga wafat. Tembang-
berlatih dan berikhtiar memahami ajaran, tembang Jawa yang menggambarkan
percaya pada ilmu nyata dan siklus hidup manusia tersebut antara lain
menyimpannya di dalam hati (Dwiyanto, miji dan pocung.
2016: 164).
Secara ringkas Serat
Suryanalendra berisi sanjungan pada PENAFSIRAN KARYA SASTRA
keagungan Raja di Mataram sejak Kanjeng MASA HAMENGKUBUWONO V
Panembahan Senapati. Raja disebut
Dalam sejarah perkembangan
memiliki budi pekerti luhur dan cerdas
peradaban Jawa, kesusastraan banyak
sehingga sangat mempesona. Kemudian
memuat mengenai aspek kepemimpinan
diceritakan secara berturut-turut sanjungan
yang dianut para raja dan kaum bangsawan
kepada Sultan Seda ing Krapyak, Kanjeng
dalam memimpin rakyat. Seorang
Sultan Agung, Sultan Agung Kreta di
pemimpin dipandang dari perbuatan dan
Mentawis, Kanjeng sultan Mangkurat
tutur kata yang mencerminkan keteladanan
Raja, Kanjeng Sunan Pakubuwono,
dan perjuangan. Nilai-nilai keteladanan
Kanjeng Sultan Hamengkubuwono II,
dan perjuangan pemimpin mencerminkan
Kanjeng Sultan Hamengkubuwono III dan
pula budaya masyarakat yang
Kanjeng Sultan Hamengkubuwono IV.
mendukungnya (Setiadi, 2013: 57). Karya
Serat ini juga menguraikan gambaran
sastra pada umumnya berisi ajaran baik dan
kesempurnaan hidup manusia dan mukmin
buruk. Konsep kepemimpinan astha-brata
yang sejati.
merupakan ajaran kepemimpinan yang
Kesusastraan merupakan salah satu terkenal, sebab banyak dicantumkan dalam
penanda bagi sekelompok masyarakat karya sastra Jawa.

Volume
KESUSASTRAAN: AJARAN NILAI-NILAI MORAL MASA HAMENGKUBUWONO V 5
Gandes Sekar Putri

Konsep kepemimpinan astha-brata Pada Sastra Cetha diajarkan bahwa


merupakan hasil penciptaan naskah-naskah tindakan yang baik harus jelas tujuan
dari konsep kepemimpinan dalam paham maupun sasaran, serta dilakukan dengan
Hindu, yang menganggap raja merupakan memperhatikan kesenangan orang lain.
perwujudan dewa. Raja yang ideal harus Beberapa macam perbuatan yang
sakti, berwibawa, mulia dan dapat membahayakan dan menyusahkan yang
menguasai dunia dengan kekuatan dan harus segara ditumpas, yaitu pencuri,
aturan yang dimiliki. Perintah seorang raja penculik, penyamun, penjudi, penjahat dan
merupakan hukum atau undang-undang penjilat (Suyami, 2008: 103). Raja
yang harus dipatuhi dan dilaksanakan. berkewajiban memperhatikan kehidupan
Prinsip kepemimpinan astha-brata terdiri rakyat, baik dalam kesejahteraan maupun
dari astha yang artinya delapan dan brata mengenai penderitaan. Raja juga
yang artinya keutamaan menggunakan berkewajiban memelihara dengan baik
prinsip kepemimpinan yang tercermin para pendeta maupun resi dengan
dalam sifat-sifat dewa lokapala (Susetya, mencukupi segala kebutuhan. Para resi
2007: 28). bertugas mendidik para warga yang berusia
muda mengenai tindakan yang baik dalam
Pada kitab kesusastraan yang mengabdi kepada kerajaan.
dihasilkan saat ajaran Islam semakin kuat,
simbol-simbol yang berasal dari aspek Perilaku budaya Jawa merupakan
dewa-dewa dalam agama Hindu yang perbuatan susila yang memiliki sifat yang
sudah dialihkan dengan simbol-simbol dari melekat pada hubungan dan perbutan
sifat unsur-unsur alam, selanjutnya lebih antara manusia dengan norma budaya
diperhalus lagi dalam karakteristik watak. Jawa. Kitab-kitab suci dan karya sastra
Kedelapan sifat alam diubah menjadi yang berisi ajaran moral, menekankan
delapan watak yang ditampilkan dalam pentingnya seorang pemimpin untuk
wayang Wahyu Makutharama, yaitu: Laku memahami hal-hal yang halal maupun
Hambeging Kisma, Laku Hambeging haram dalam menjalankan pengabdian.
Tirta, Laku Hambeging Dahana, Laku Makna halal dan haram harus dipahami
Hambeging Samirana, Laku Hambeging sebagai tindakan untuk tetap
Samudra, Laku Hambeging Surya, Laku memperhatikan aturan yang ada sehingga
Hambeging Candra dan Laku Hambeging dapat ditentukan tindakan yang
Kartika (Endraswara, 2006: 188). diperkenankan dan tindakan yang dilarang
(Dwiyanto, 2016: 180).
Selain astha-brata, konsep
kepemimpinan Jawa juga termuat dalam Pemimpin harus memiliki
ajaran Sastra Cetha yang menyebutkan kemampuan dalam mengendalikan diri
bahwa seorang raja harus dapat memahami dari emosi yang berlebihan. Seorang
tiga tingkatan nilai perbuatan, yaitu nistha pemimpin harus menjauhi sifat
(hina), madya (sedang) dan utama ketergesaan, ceroboh dan tidak teliti dalam
(terbaik). Perbuatan nistha harus dihindari, pengambilan keputusan. Kualitas dalam
antara lain sikap kekhawatiran, bimbang, pengambilan keputusan ditentukan oleh
hanya ikut-ikutan dan tidak percaya pada seberapa jauh pengendalian diri, sikap hati-
anggota keluarga maupun pejabat kerajaan. hati dan sikap tidak tergesa-gesa dari
Perbuatan madya cukup dengan seorang pemimpin. Berfikir sebelum
dimengerti. Sedangkan perbuatan utama melakukan tindakan merupakan acuan bagi
harus dilaksanakan berkaitan dengan seorang pemimpin. Sikap ceroboh dalam
segala hal. bertindak akan berdampak buruk dalam
pencapaian tujuan.

ISTORIA: Jurnal Pendidikan dan Sejarah Volume 1


6 – ISTORIA: Jurnal Pendidikan dan Sejarah

Seorang pemimpin haruslah dapat dimiliki baik secara struktural maupun


mengelola setiap konflik yang ada menjadi sistematis. Pemimpin yang memiliki nafsu
sebuah keberhasilan dalam mewujudkan berlebihan dalam obsesi sehingga
tujuan yang hendak dicapai. Pemimpin melanggar aturan, maka akan berdampak
harus bijaksana, berwatak sabar dan berani pada ketidakstabilan pada sebuah
bertanggung jawab atas segala keputusan. organisasi/kerajaan yang dipimpinnya.
Seorang pemimpin yang memiliki watak Rasa ikhlas perlu dimiliki oleh seorang
luhur akan berdampak pada rasa hormat pemimpin dalam menjalankan tugas.
bawahan terhdap pemimpin sehingga akan Keikhlasan dapat menumbuhkan rasa
tercipta kewibawaan yang bukan berasal percaya diri seorang pemimpin dalam
dari rasa takut (Dwiyanto, 2016: 81). melaksanakan tugas yang diemban.
Keteladanan Panembahan Senopati Ajaran yang bersifat etis spiritual
dalam menjalankan kepemimpinan terdapat dalam Serat Wedhatama. Nilai-
didokumentasikan dalam Serat nilai kepemimpinan yang terdapat pada
Wedhatama. Sifat-sifat tercela yang bait-bait dalam serat yaitu sembah raga,
dilakukan seorang pemimpin akan sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah
menjauhkannya dari kewibawaan, rasa yang memiliki makna antara lain: 1).
ketauladanan dan sebagai panutan. Dalam Agar segala kegiatan/aktifitas dapat
Serat Wulangreh, kepribadian seorang dilaksanakan dengan baik maka seorang
pemimpin, antara lain: 1). Pemimpin harus pemimpin harus mampu menjaga
memahami halal dan haram; 2). Pemimpin kesehatan dan vitalitas; 2). Dalam
harus bersikap sederhana; 3). Pemimpin menghadapi tantangan seorang pemimpin
harus loyal kepada negara; 4) Pemimpin harus dapat meningkatkan mental; 3).
tidak berwatak pedagang dan 5). Pemimpin Dalam setiap aktifitas pemimpin harus
harus rendah hati dan adil (Supeni, 2011: mampu meningkatkan cita rasa (estetika)
64). dan 4). Pemimpin harus dapat
meningkatkan kemampuan spiritual,
Seorang pemimpin harus menjauhi tunduk dan tawakal kepada Tuhan
watak kesombongan. Kesombongan dapat (Dwiyanto, 2016: 184).
berupa kesombongan fisik dalam
menonjolkan kekuatan dan keberanian. Untuk mengembangkan diri maka
Kesombongan harta yaitu seorang pemimpin diwajibkan menguasai
menyombongkan kekayaan yang dimiliki ilmu pengetahuan. Pencarian ilmu harus
dan kesombongan ilmu berupa terus menerus dilakukan oleh seorang
kesombongan pribadi yang akan pemimpin. Dalam melaksanakan
berdampak negatif terhadap suatu kepemimpinan, seorang pemimpin tidak
komunitas dengan bawahan. Seorang terlepas dari perjuangan yang tiada henti.
pemimpin akan lebih dihormati apabila Tapabrata dimaknai sebagai usaha
dapat merendahkan diri daripada berwatak spiritual yang kental terhadap kepercayaan
sombong. Watak dan pribadi yang baik bahwa apa yang menjadi tujuan dan obsesi
akan menjadi teladan bagi para segalanya tergantung pada Yang Maha
bawahannya. Kuasa.
Nilai-nilai kepemimpinan yang Kepustakaan mistik Islam kejawen
harus dimiliki oleh seorang pemimpin berkembang pesat pada masa kerajaan
yaitu memiliki kemampuan Mataram Islam. Isi dari kepustakaan Jawa
mengendalikaan obsesi-obsesi yang bertujuan untuk mempertemukan ajaran
menguntungkan diri sendiri dan Islam dengan tradisi Jawa yang disebut
memperkaya diri melalui kekuasaan yang dengan primbon, serat suluk dan wirid
Volume
KESUSASTRAAN: AJARAN NILAI-NILAI MORAL MASA HAMENGKUBUWONO V 7
Gandes Sekar Putri

(Simuh, 1988: 9). Pada karya sastra yang gebak toran cendhana minging
terpengaruh tasawuf Islam telah tinrap ing tontro wistha
berkembang sejak zaman kerajaan Demak. prathisthaning sirtu
Pujangga-pujangga mistik Islam yang winangun miruda raras
mewarnai corak sastra Jawa yaitu Al kang winuni marasudaning narpati
Ghazali dan Ibnu Arabi. munggeng surya narendra
Pada masa Hamengkubuwono V Terjemahan:
karya sastra sangat bervariasi mulai dari
moral, suluk, kepemimpinan dan olah seni. Raja yang adil adalah benar dalam
Ajaran yang menonjol di Kasultanan berkuasa,
Yogyakarta adalah ajaran moral. Sultan tidak bersikap mendua,
Hamengkubuwono V memiliki andil tidak melebihkan maupun mengurangi,
dalam menciptakan karya sastra yang tidak berada di depan maupun di belakang,
berisi ajaran kepemimpinan. Karya sastra tidak berada di luar atau di dalam,
berisi ajaran kepemimpinan yang dikenal raja yang agung yaitu
pada masa Hamengkubuwono V salah raja yang senantiasa melihat segala sesuatu
satunya adalah Serat Jatipusaka dengan hati sehingga tahu yang benar dan
Makutharaja. Makna nilai-nilai yang salah
kepemimpinan dalam Serat Jatipusaka anugerah dari Yang Maha Kuasa
Makutharaja diharapkan dapat memberi selalu terlimpah pada sang raja
gambaran mengenai kepemimpinan (Dwiyanto, 2016: 187)
Hamengkubuwono V (Dwiyanto, 2016:
186). Kesusastraan tergantung pada
konvensi sosial budaya yang berlaku pada
Ajaran luhur yang terkandung
masyarakat tertentu (Teeuw, 1982: 9).
dalam Serat Jatipusakan Makutharaja
Adapun yang dinamakan objek
dapat menjadi tuntunan dan dilaksanakan
kesusastraan adalah objek yang
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
dinamikanya ditentukan oleh syarat-syarat
Moral memiliki makna ajaran mengenai
dan norma-norma kemasyarakatan yang
baik buruk suatu perbuatan, kelakuan,
berbeda-beda. Serat Jatipuaka
akhlak dan kewajiban. Moral juga berarti
Makutharaja pupuh Dhandhanggula pada
kesusilaan (Poerwadarminta, 1985: 654).
14 menggambarkan kewibawaan seorang
Adapun kriteria perbuatan susila antara
raja yang memiliki kebijaksanaan,
lain keputusan akal yang baik, kehendak
kemuliaan dan keindahan budi pekerti
baik dan penyesuaian dengan hakikat
yang dihormati oleh seluruh rakyat.
manusia (Fudyartanta, 1974: 18).
Adapun kutipan kalimat tersebut:
Dalam Serat Jatipusakan
Sunan Mangkurat Mas pan winuni
Makutharaja pupuh Dhandhanggula pada
sebak danu tan nawa tiksyana
1 berisi ajaran mengenai keindahan,
endra marhatin arjune
kebenaran dan kebaikan yang harus
tyas murla walu-walu
dipegang oleh seorang pemimpin. Adapun
kyat wara sapata dipati
kutipan kalimat tersebut:
wasis sumbaga kennya
Irika tata kruding pangesthi karem jupiteku
manglunturing arju ginupita patistha ngraras wanodya
taseng iradat wijile ngentha karsa pengpengan wilaya pati
pamerdiningreng masbun destun yoga sumbaga

ISTORIA: Jurnal Pendidikan dan Sejarah Volume 1


8 – ISTORIA: Jurnal Pendidikan dan Sejarah

Terjemahan: raja yang menguasai dunia bagai matahari


menerangi bumi
halus tutur bahasanya dan luhur budinya
Diceritakan tentang Kanjeng Sunan
(Dwiyanto, 2016: 189)
Mangkurat Mas
raja yang dihormati oleh seluruh rakyat
Tuntunan nilai-nilai kepemimpinan
segala sabdanya ditaati rakyat
yang baik telah digariskan dalam agama
raja yang tersohor karena kebijaksanaan
dan terdapat di dalam kitab suci masing-
kemuliaan hati
masing (Suseno, 1997: 83). Moral
dan keindahan budi pekerti
merupakan nilai yang hakiki bagi manusia.
menumpas segala kejahatan
Moral merupakan kesempurnaan manusia
sehingga rakyat dapat hidup tenang dan
sebagai manusia, sedangkan kesusilaan
damai
merupakan tuntutan kodrat manusia
(Dwiyanto, 2016: 188)
(Drijarkara, 1978: 25). Manusia memiliki
pengetahuan adanya baik dan buruk.
Dalam sastra penggambaran sifat-
Kesadaran moral merupakan pengakuan
sifat dan perilaku seorang pemimpin
manusia mengenai baik dan buruk.
didasarkan pada tokoh pewayangan yang
dijadikan teladan (Haryanto, 1992: 157). Pada tembang mijil dalam Serat
Salah satu karya sastra berupa tembang Jatipusaka Makutharaja berisi gambaran
yang berkembang pada masa Sultan mengenai etika kepemimpinan yang harus
Hamengkubuwono V yang berisi dimiliki oleh seorang raja. Sultan
sanjungan terhadap raja sekaligus Hamengkubuwono V sebagai raja
menunjukkan unsur-unsur kepemimpinan Kasultanan Yogyakarta 1822-1855
dalam kesusastraan Jawa terdapat pada memiliki kekuasaan mutlak dalam bidang
Serat Jatipusaka Makutharaja pupuh eksekutif, legislatif dan yudikatif. Karya
Sinom pada 2. Adapun kutipan kalimat sastra baik yang bersifat ciptaan baru,
tersebut: salinan maupun saduran tumbuh pesat pada
masa kepemimpinan Hamengkubuwono
Mulku kang nyakra buwana
V. Karya sastra sebagai panduan dalam
iku tan kina ngendrani
pengembangan seni tari dan karawitan
bukari samsi narendra
telah berhasil mendorong tumbu dan
sukahar retnadi murti
berkembangnya pementasan karya seni
lan sindu upakaji
pertunjukkan (Dwiyanto: 2016, 190).
apiknya masbun amiru
yen jasaning arelala Pada masa kepemimpinan
byakta tan keneng nendraning Hamengkubuwono V pementasan Wayang
netepana asma sang makutharadi Wong gaya Mataram merupakan
pertunjukkan yang paling banyak
Terjemahan: dipentaskan. Kehidupan sosial budaya
pada waktu itu sangat berkembang hingga
Dikisahkan sang raja pada masa akhir pemerintahan. Sesuai
yang menjadi pemimpin dengan peristiwa yang
dimulai pada saat matahari terbit melatarbelakanginya, kondisi sosial,
sang raja berhiaskan permata yang indah politik, ekonomi, budaya, pertahanan dan
dan hatinya merasa senang keamanan masa pemerintahan
raja yang menguasai dunia, raja yang Hamengkubuwono V sangat dinamis.
agung Situasi yang terjadi di lingkungan kerajaan
tidak pilih kasih terhadap rakyat maupun di luar kerajaan menjadi ujian

Volume
KESUSASTRAAN: AJARAN NILAI-NILAI MORAL MASA HAMENGKUBUWONO V 9
Gandes Sekar Putri

tersendiri bagi Sultan Hamengkubuwono mengenai martabat dan kekuasaan raja;


V sebagai seorang pemimpin. Fasal keenam, mengenai keadilan dan
menegakkan keadilan, Fasal ketujuh,
Ajaran dan pesan moral dalam mengenai budi pekerti raja yang adil; Fasal
masyarakat Jawa disampaikan melalui kedelapan mengenai raja yang kafir namun
media seni, tembang, pitutur, piweling dan berlaku adil; Fasal kesembilan, mengenai
tembang oleh para orang tua secara turun kedzaliman dan penindasan; Fasal
temurun. Hal tersebut dapat dibuktikan kesepuluh, mengenai tugas, kewajiban dan
dengan banyaknya sastra piwulang. budi pekerti pembesar kerajaan; Fasal
Eksistensi dan moralitas dalam budaya kesebelas, mengenai tugas dan kewajiban
Jawa dijunjung tinggi dibuktikan dengan penulis kerajaan; Fasal ketujuh belas
ungkapan tradisional seperti becik ketitik mengenai undang-undang kerajaan dan
ala ketara, titenana wong cidra mengsa Fasal kedua puluh mengenai hubungan
langgenga dan sura dira jayaning lebur hamba yang Islam terhadap rajanya
dening pangastuti. Dimensi sosial nilai- (Dipodjojo, 1999: 8-9).
nilai etis memberikan suatu kadar objektif
yang jarang ditemui pada bidang Pada Serat Jatipusaka
kreativitas yang bersifat pribadi Makutharaja pupuh dhandhanggula pada
(Dwiyanto, 2016: 91). 3 menjelaskan mengenai nilai-nilai
kepemimpinan yang harus melekat pada
Dalam naskah Serat Jatipusaka seorang raja yang digambarkan memiliki
Makutharaja memuat kutipan kitab yang hati yang luas, memiliki sifat bijaksana dan
terkenal dalam kesusastraan nusantara tidak menindas rakyat. Sebuah
yaitu Kitab Tajussalatin. Bait-bait kitab negeri/kerajaan akan selalu mendapat
tersebut berada diurutan ketujuh setelah rahmat dari Yang Maha Kuasa apabila raja
Serat Surya Nalendra. Saduran kitab memiliki sifat-sifat tersebut. Adapun
tersebut disajikan dalam pupuh kutipan kalimat dalam tembang tersebut:
Dhandhanggula. Tajussalatin yang berarti
mahkota segala raja merupakan buku yang Lamun mulku ingkang mangrenggani
berisi pedoman seni memegang adil tajem sapernataning rat
pemerintahan berdasarkan ajaran agama angantepi ubadile
Islam. Buku tersebut aslinya berbahasa kinancar masbun tuhu
Persi ditulis oleh Bukhari al-Jauhari. Buku dirga nireng nugraha jati
tersebut disalin dalam bahasa Melayu di mapan tinunggeng baya
Aceh pada tahun 1603 Masehi (Dipodjojo, layaning Hyang Agung
1999: ix). murcita tisning nugraha
ing panjara mimbuhi kusla lokadi
Pada perkembangan selanjutnya tama kadirun kusla
kitab Tajussalatin diterbitkan dalam kajian sinipta kodrattolah
ilmiah seperti tesis, disertasi dan buku
tersendiri dalam tujuh buah versi. Serat Terjemahan:
Tenajulssalatin secara garis besar dikutip
dalam kitab Jatipusaka Makutharaja, Seorang raja yang bertahta
seperti kitab Tajussalatin yaitu uraian Adalah seorang yang adil dalam
mengenai 24 fasal yang berhubungan memimpin
dengan tugas dan tanggung jawab seorang Memihak pada keadilan
raja, menteri, hulubalang dan juga rakyat. Benar-benar memancarkan
Adapun fasal yang terkait dengan Keselamatan bagi semua rakyat
kepemimpinan antara lain: Fasal kelima, Dapat menghindarkan rakyat dari bencana

ISTORIA: Jurnal Pendidikan dan Sejarah Volume 1


10 – ISTORIA: Jurnal Pendidikan dan Sejarah

Atas pertolongan Yang Agung KETERKAITAN KARYA SASTRA


Sehingga mendapat anugerah HEMENGKUBUWONO V DENGAN
Sebab negara bukanlah penjara MASA KINI
Rakyat perlu mendapatkan keselamatan
(Dwiyanto, 2016: 201) Nilai-nilai kepemimpinan yang
tersurat dalam Serat Jatipusaka
Dalam kutipan di atas berisi Makutharaja pada masa
nasehat mengenai kepemimpinan, Hamengkubuwono V menggambarkan
kemasyarakatan dan kesusilaan. Pada serangkaian kegiatan manusia dan pikiran
dasarnya etika tidak dapat menggantikan yang dimiliki untuk digunakan dalam
agama. Disisi lain etika juga tidak berbagai tata cara sehingga menghasilkan
bertentangan dengan agama. Peran agama pengetahuan yang teratur mengenai gejala
dan etika menjadi lebih penting guna alami, kemasyarakatan dan perorangan
mengimbangi perkembangan ilmu demi mencapai kebenaran, pemahaman,
pengetahuan (Jacob, 1993: 30). Manusia memberikan penjelasan ataupun
hidup dalam norma-norma yang melakukan penerapan. Pengetahuan
membatasi tingkah laku. Manusia dapat mengenai etik dan mistik juga terdapat
dipandang baik dari segi kesusilaan apabila dalam Serat Jatipusaka Makutharaja. Nilai
telah memenuhi syarat-syarat dalam etik dan mistik menyadarkan bahwa
kesusilaan. manusia dan alam merupakan kesatuan
dengan hakekat ilahi. Dalam Serat
Moral atau kesusilaan merupakan Jatipusaka Makutharaja kesatuan antara
nilai yang paling hakiki bagi manusia. Tuhan, manusia dan alam disebut dengan
Moral merupakan kesempurnaan manusia manunggaling kawula Gusti.
sebagai manusia, sedangkan kesusilaan
merupakan tuntutan kodrat manusia Dalam kebudayaan Jawa, konsep
(Drijarkara, 1978: 25). Manusia pada kesempurnaan memiliki penafsiran
umumnya memiliki pengetahuan adanya mengerti akan awal dan akhir kehidupan.
baik dan buruk. Pengakuan manusia Kesempurnaan dihayati dengan cipta, rasa
mengenai baik dan buruk dapat disebut dan karsa. Manusia dapat dikatakan
sebagai kesadaran moral atau moralitas sempurna apabila telah dapat mengerti dan
(Dwiyanto, 2016: 202). menghayati awal dan akhir hidupnya.
Apabila manusia telah tiada maka disebut
Seorang raja juga diharapkan telah bersatu dengan Sang Pencipta.
memiliki keterampilan, pandai bertutur Manusia sempurna memiliki
kata, terbiasa dan terampil. Sebagai kebijaksanaan dan kemampuan untuk
bisyara atau utusan Hyang Widi, raja mengetahui peristiwa-peristiwa di luar
selalu dipayungi oleh dzat kemuliaan Gusti jangkauan ruang dan waktu (Ciptoprawiro,
yang menjelma dalam hatinya. Manusia 1986: 82).
dikatakan bermoral apabila tidak hanya
mementingkan kebutuhan jasmani saja, Sebagai karya Widyatama (etis
melainkan juga kebutuhan rohani. filosofis), Serat Jatipusaka Makutharaja
Masyarakat Jawa menyebut ajaran moral mengandung pengetahuan material lahiriah
dengan istilah unggah ungguh, suba sita, dan pengetahuan spiritual rohaniah. Serat
tata karma, tata susila, wulang wuruk, Jatipusaka Makutharaja merupakan salah
pranatan, pituduh, pitutur, wejangan, satu karya sastra yang mengandung nilai
wursita, duga prayoga, wewaler dan etis yang dalam dan dapat memberi
pitungkas. peluang melakukan pengkajian filosofis
dan mistik. Pada dunia filsafat, gejala yang

Volume
KESUSASTRAAN: AJARAN NILAI-NILAI MORAL MASA HAMENGKUBUWONO V 11
Gandes Sekar Putri

tampak menurut versi kejawen berbentuk dan budaya Jawa. Sebagai khalifah di
perlambang pasemon. bumi, manusia tidak boleh berpangku
tangan tanpa berbuat apapun.
Pengertian mengenai ilmu Kelangsungan dan keseimbangan hidup
digambarkan dalam Serat Jatipusaka bumi akan terjadi apabila masyarakat
Makutharaja pupuh Maskumambang pada memiliki pola hidup dan sistem
2-3. Ilmu ketuhanan dalam kepustakaan bermasyarakat yang sesuai.
Islam kejawen disebut ngelmu sangkan
paran. Mengenal Tuhan berarti mengenal Para raja Jawa sejak zaman dahulu
asal kejadian manusia sekaligus tempat selalu mengutamakan ilmu pengetahuan
kembali pada hari kemudian. Dalam dalam menjalankan pemerintahan. Seiring
kejawen, ilmu mengenai Tuhan sebagai perkembangan zaman, ilmu terus
sangkan paraning dumadi disebut dengan mengalami perkembangan. Namun
ngelmu kasampurnaan (Simuh, 1988: demikian ilmu sebagai gejala yang makin
364). Ngelmu kasampurnan berarti nyata dalam kehidupan manusia terus dan
membuat hidup manusia menjadi makin dipersoalkan dan dipelajari. Ilmu
sempurna. Dalam Serat Jatipusaka merupakan pengetahuan yang tersusun
Makutharaja juga ditemukan pengertian sistematis. Ilmu pengetahuan membuat
ilmu dan manusia dalam menuntut ilmu. manusia berupaya untuk mendeskripsikan
alam dan kehidupan sebagaimana adanya
Pada filsafat Islam wejangan dengan tujuan menemukan penjelasan
mengenai ilmu kesampurnaan jiwa yang memungkinkan manusia untuk dapat
termasuk dalam ilmu kebatinan yang meramalkan dan mengontrol objek
disebut sebagai tasawuf atau sufisme, tersebut (Suriasumantri, 1986: 17).
sedangkan masyarakat Jawa menyebutnya
dengan suluk dan mistik. Ajaran kejawen Serat Jatipusaka Maktharaja
bukan termasuk dalam agama, namun menjelaskan mengenai keberadaan
merupakan suatu kepercayaan sebab di manusia secara ontologis-metafisis, yaitu
dalamnya terdapat ajaran-ajaran yang dari tiada menjadi ada, selanjutnya
berdasarkan kepercayaan terhadap Tuhan melaksanakan lakon, manut dan kembali
dan sebagai falsafah hidup masyarakat menjadi tiada. Segala sesuatu telah diatur
Jawa. Dalam kepustakaan Islam kejawen, sebelum manusia dilahirkan. Dalam
Tuhan dilukiskan memiliki sifat-sifat yang menjalankan kehidupan, manusia wajib
sama dengan manusia dan manusia untuk selalu berusaha, namun segala yang
digambarkan sama dengan Tuhan (Simuh, terjadi tetap Tuhan yang menentukan.
1988: 299). Manusia diharapkan dapat berlalu dari
alam ‘nyata’ menuju alam yang sunyata,
Dalam Serat Jatipusaka dari alam realitas ke alam transendetal
Makutharaja pada 21 membahas mengenai demi mencapai perkembangan pada diri
keselarasan sosial yang kemudian menjadi sampurna. Adapun kutipan
melahirkan gelar-gelar yang dianggap kalimat yang menggambarkan kenyataan
memiliki kekuatan magis (Dwiyanto, tersebut terdapat pada Serat Jatipusaka
2016: 211). Ilmu pengetahuan yang Makutharaja, pupuh Sinom, pada 2:
diuraikan dalam bentuk ajaran moral
kepemimpinan telah dapat Iku sakwakun pusaka
menggambarkan arah ideologi rampungena kang tan mindho gaweni
kepemimpinan Hamengkubuwono V. ingkeng memet nyamut-nyamut
Ideologi kepemimpinan tersebut keng tajem dipermana
merupakan perpaduan antara agama Islam ingkeng apik keng jolo ingkang kariun

ISTORIA: Jurnal Pendidikan dan Sejarah Volume 1


12 – ISTORIA: Jurnal Pendidikan dan Sejarah

lejem unining wilapa jika tidak tahu seperti gembring


tasri ngalam adi murti (Dwiyanto, 2016: 205)

Terjemahan: Pada budaya Jawa, konsep keilmuan


tidak hanya hasil pemikiran rasional saja,
Sebuah pusaka itu namun juga dari hasil pikiran (cipta),
harus segera selesai jangan sampai dua kali perasaan (rasa) dan kehendak (karsa).
yang nyata sangat jauh Keilmuan dalam budaya jawa mengenal
yang tajam sempuranakanlah istilah ilmu dan ngelmu. Ilmu memiliki
yang bagus yang jolo serangkaian kegiatan olah otak manusia
bagaikan bunyi syair yang menyedihkan yang merupakan hasil penemuan dari
(Dwiyanto, 2016: 214) berbagai ide/gagasan yang direfleksikan
secara teoritis dan berdasarkan realitas.
Kutipan kalimat tersebut berisi Ngelmu dalam ontologi budaya Jawa
ajakan bagi manusia untuk selalu bertakwa merupakan konsep yang tidak didukung
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Manusia oleh bukti yang rasional dan dapat
merupakan makhluk yang paling mulia. dibuktikan secara rasional.
Manusia memiliki keistimewaan yang Metode yang digunakan dalam
membawanya pada kedudukan sebagai ngelmu yaitu melalui ketajaman
khalifah. Manusia diberi wewenang untuk penghayatan oleh hati dan rasa yang
membangun dunia secara bersama-sama tersimpan di lubuk hati yang terdalam.
(Yafie, 1997: 32). Hasil yang dicapai adalah sumusup ing
Pada Serat Jatipusaka rasa jati untuk menangkap fenomena
Makutharaja pupuh Sinom pada 7 kehidupan dan proses pencapaian
menjelaskan mengenai kepemimpinan memerlukan bekal yang cukup dalam olah
berbasis agama dan budaya, yaitu pengendalian diri. Aspek penting untuk
perpaduan kepemimpinan yang mengacu memperoleh ngelmu antara lain madubasa
pada ajaran Islam dan dikemas dalam (kedewasaan pribadi), madurasa
kerangka budaya Jawa. Adapun kutipan (kedewasaan sosial) dan madubrata
kalimat tersebut: (kedewasaan spiritual).
Nilai-nilai kepemimpinan dalam
Yen tan wruh sampurneng sadat budaya jawa membentuk kepribadian
meksih kumprung kuncung lir bocah kucir pemimpin untuk lebih menonjol yang
sampurneng salat yen tan wruh dibentuk melalui interaksinya dengan
padha meme ting tekad budaya lingkungan, sehingga kepribadian
kudu wagna layan sampurnaning lampus seorang pemimpin tidak terlepas dari nilai
padha meme ting penyipta budaya masyarakatnya. Dalam menjalani
yen tan wruh saparti gembring hidup, manusia akan menjalin kontak
sosial budaya. Setiap manusia harus dapat
Terjemahan: berpartisipasi dalam kehidupan sosial,
politik, ekonomi dan budaya melalui
Apabila belum mengerti sempurnanya proses sosial (Dwiyanto, 2016: 218).
syahadat Penjelasan mengenai seorang pemimpin
masih bodoh seperti kuncung atau anak yang ideal dalam memerintah rakyat
kecil terdapat dalam Serat Kalatidha pupuh
belum sempurna salatnya jika tidak tahu Sinom pada 3:
mesti nyata tekadnya
harus tahu sempurnanya mati Retune ratu utama
mesti nyata dalam mencipta Patihe patih linuwih
Volume
KESUSASTRAAN: AJARAN NILAI-NILAI MORAL MASA HAMENGKUBUWONO V 13
Gandes Sekar Putri

Pra nayaka tyas raharja Teratur dan terarah


Panengkere becik-becik Selalu mencari ilmu
Untuk menambah pengetahuan
Terjemahan: Agar menjadi lebih bijaksana
(Dwiyanto, 2016: 224)
Rajanya raja utama
Patihnya patih mumpuni Raja yang dianggap mulia adalah
Para aparat jujur-jujur yang memiliki sikap kepemimpinan seperti
Pekerjaannya baik-baik tokoh pewayangan Yudhistira. Seorang
(Dwiyanto, 2016: 219) raja tidak boleh melupakan bukari samsi
narendra (asal usul leluhur) dan nilai-nilai
kemuliaan lain. Raja harus awas pada
Pada tembang mijil yang terdapat
tajjali atau penampakan Allah dalam sifat-
dalam Serat Jatipusaka Makutharaja
sifat yang menyatu dalam hatinya,
menggambarkan mengenai etika
sehingga dapat melaksanakan tanggung
kepemimpinan yang harus dimiliki oleh
jawab sebagai seorang pemimpin dengan
seorang raja. Seorang pemimpin harus
benar, bersih dan adil. Sifat lain yang harus
mampu mengendalikan diri dari aktivitas
dimiliki oleh seorang raja yaitu sindu
emosi yang berlebihan. Berfikir sebelum
upaka (air jernih yang mengalir).
bertindak menjadi acuan seorang
Seorang raja/pemimpin yang
pemimpin dalam melakukan suatu
memiliki sikap tercela disebut sebagai raja
tindakan yang akan menghasilkan lebih
yang tanajul makutharaja yang berarti raja
banyak manfaat. Nilai-nilai kepemimpinan
yang tidak paham asal usul kehidupan
akan nampak ketika seorang pemimpin
manusia dan sakwakun kayatin serta asal
harus melakukan sesuatu yang jauh dari
usul penciptaan kehidupan atau asal
sifat-sifat tercela.
usuling dumadi. Seseorang yang memiliki
Sifat-sifat tercela yang dilakukan
sifat eling lan waspada akan mendapatkan
seorang pemimpin akan menjauhkan
keberuntungan. Manusia yang beruntung
kewibawaan, ketauladanan dan sebagai
adalah manusia yang sadar akan posisi dan
panutan bagi bawahan. Keteladanan
perbuatan yang dilakukannya. Manusia
seorang pemimpin dalam menjalankan
harus tetap bersikap etis dan logis,
ibadah dan selalu menuntut ilmu
walaupun dalam situasi kacau (Soetrisno,
dibuktikan dalam Serat Jatipusaka
2004: 38).
Makutharaja pupuh Dhandhanggula pada
9:
PENUTUP
Pada kondisi politik dan sosial yang
Aplalaning salat jati
kacau pada masa pemerintahan
yen ngadeg amermanakna
Hamengkubuwono V akibat serbuan
marang sirolah jatine
tentara Inggris yang berusaha
sumunu neng tuwisika
menanamkan kembali kekuasaannya,
sumunnya lir kumala
karya sastra mulai mengalami kebangkitan
rukuk keng murciteng dulu
dengan adanya ciptaan baru, salinan
mrang napasing jagat jala
maupun saduran. Hamengkubuwono V
memberikan dukungan penuh pada
Terjemahan:
perkembangan seni pada waktu itu. Salah
satu karya yang menonjol pada waktu itu
Sehari-hari menjalankan
adalah karya sastra yang memuat nilai-nilai
Salat lima waktu
dan ajaran yang baik dan dapat dijadikan
Supaya hidupnya

ISTORIA: Jurnal Pendidikan dan Sejarah Volume 1


14 – ISTORIA: Jurnal Pendidikan dan Sejarah

pedoman pada masa sekarang terutama Melayu-Arab beserta Alih Hurufnya


untuk seorang pemimpin.. dalam Huruf Latin. Yogyakarta:
Pada Serat Jatipusaka Lukman Offset.
Makutharaja disebutkan bahwa
kepribadian seorang pemimpin disebut Dwiyanto, D. 2016. Atribut
sebagai tajjali. Seorang pemimpin tidak Kepemimpinan Pada Artefak-
boleh melupakan bukari samsi narendra Artefak Hamengkubuwono V:
(asal usul leluhur) dan sukahar retna Sebuah Kajian Arkeologi Sosial.
adimurti (perwujudan kehendak mulia para Disertasi. Pascasarjana Universitas
leluhur). Kepemimpinan yang ideal juga Gadjah Mada.
ditulis dalam naskah Serat Jatipusaka
Makutharaja. Selain memiliki kemuliaan Endraswara, S. 2006. Falsafah Hidup
hati, seorang pemimpin juga harus Jawa. Yogyakarta: Cakrawala.
menguasai tanajul makutharaja sehingga
hatinya akan disinari. Dalam agama Islam Fudyartanta. 1974. Etika Intisari Filsafat
seorang pemimpin yang ideal adalah yang Kesusilaan dan Moral. Yogyakarta:
dapat awas dan waspada terhadap Allah Warawidyani.
dengan sifat-sifat yang menyatu dalam
hatinya. Haryanto, S. 1992. Pratiwimba Adiluhung
Ajaran-ajaran moral Sejarah dan Perkembangan Wayang.
kepemimpinan yang terdapat pada karya- Jakarta: Jambatan.
karya sastra masa Hamengkubuwono V
dapat menjadi acuan bagi generasi saat ini. Jacob, T. 1993. Manusia Ilmu dan
Sebab di dalamnya mengandung pesan- Teknologi. Yogyakarta: Tiara
pesan moral yang baik terutama untuk para Wacana.
pemimpin pada zaman sekarang, sehingga
diharapkan agar seorang pemimpin tidak Lindsay, J. 1994. Kraton Yogyakarta.
memilih jalan yang salah dalam Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
mengambil suatu keputusan dan dapat
mengendalikan emosi. Dalam Serat Marsono, dalam Djoko Dwiyanto. 2004.
Jatipusaka Makutharaja juga menjelaskan “Sastra Kasultanan Yogyakarta”,
mengenai hubungan seorang Hari Jadi Kota Yogyakarta.
raja/pemimpin dengan bawahan. Yogyakarta: Dinas Pariwisata, Seni
Raja/pemimpin yang memiliki dan Budaya Kota Yogyakarta.
kebijaksanaan, keadilan dan selalu
melakukan hal-hal terpuji, akan memiliki Poerwodarminto. 1985. Kamus Umum
kewibawaan dimata rakyat. Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
DAFTAR PUSTAKA
Purwodiningrat. 2009. “Benda Pusaka dan
Ciptoprawiro, A. 1986. Filsafah Jawa. Alat-Alat Upacara di Keraton
Jakarta: Gramedia. Yogyakarta”, dalam Djoko
Dwiyanto, ed. dkk., Ensiklopedi
Drijarkara. 1978. Percikan Filsafat. Kraton Yogyakarta. Yogyakarta:
Jakarta: Pembangunan. Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Dipodjojo, AS. dan Daruni, E. 1999.
Taju’ssalatin Mahkota Raja-Raja Ricklefs, MC. 1995. A History of Modern
Naskah Lengkap dalam Huruf Indonesia. London: Macmillan
Volume
KESUSASTRAAN: AJARAN NILAI-NILAI MORAL MASA HAMENGKUBUWONO V 15
Gandes Sekar Putri

Education Ltd. Terjemahan oleh Yafie, A. 1997. Teologi Sosial Telaah


Dharmono Hardjowijono. Sejarah Kritis Persoalan Agama dan
Indonesia Modern. Yogyakarta: Kemanusiaan. Yogyakarta: Tiara
Gadjah Mada University Press. Anisa.

Setiadi, B. 2013. Bangsawan di Zaman


Modern. Surakarta: Etnika Pustaka.

Simuh. 1988. Mistik Islam Kejawen Raden


Ngabehi Ronggowarsito. Suatu Studi
Terhadap Serat Wirid Hidayah Jati.
Jakarta: UI Press.

Soetrisno. 2004. “Dimensi Moral dalam


Syair Tembang Wayang Purwa.
Disertasi. Yogyakarta: Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada.

Supeni, S. 2011. Kepemimpinan Sekolah


Berbasis Budaya Jawa. Yogyakarta:
Elmatera.

Suriasumantri, JS. 1986. Ilmu Dalam


Perspektif: Sebuah Kumpulan
Karangan Tentang Hakekat Ilmu.
Jakarta: Gramedia.

Suseno, FM. 1986. Kuasa dan Moral.


Jakarta: Gramedia.

Susetya, W. 2007. Ilmu Dari Hastabrata


sampai Sastra Jendra Hayuningrat:
Menguak Ilmu Makrifat dan
Simbolisasi Perwatakan Dalam
Khasanah Pewayangan.
Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Suyami. 2008. Konsep Kepemimpinan


Jawa Dalam Ajaran Sastra Cetha
dan Astha Brata. Yogyakarta: Kepel
Press.

Teeuw, A. 1982. Khazanah Sastra


Indonesia: Beberapa Masalah
Penelitian dan Penyebarannya.
Jakarta: Balai Pustaka.

ISTORIA: Jurnal Pendidikan dan Sejarah Volume 1

Anda mungkin juga menyukai