Menurut Iprice (2020), Shopee memiliki 281.385.626 kunjungan pada tahun 2020,
lebih dari dua kali lipat jumlah pengunjung gabungan Lazada dan Tokopedia.
Shopee bekerja sama dengan perusahaan pinjaman P2P PT Lentera Dana
Nusantara untuk menyediakan layanan SPayLater (LDN). Pengguna aplikasi
Shopee dapat menggunakan SPayLater, solusi perbankan dan kartu kredit tanpa
jaminan (LDN, 2021). DSResearch (2020) menemukan bahwa SPayLater memiliki
pangsa pasar 54,3% di Indonesia, diikuti oleh GoPay PayLater (50,5%) dan OVO
PayLater (28,1%).
Keuntungan dan kemudahan metode paylater menjadi batal jika pengguna ceroboh
atau tidak mampu membayar komitmennya karena krisis ekonomi yang disebabkan
oleh Covid-19 atau penyebab lainnya. Menurut laporan OJK (2020), gagal bayar
meningkat dengan pertumbuhan pinjaman Fintech karena penurunan 1,17 poin
persentase yoy di TKB90 (Tingkat Keberhasilan Pembayaran 90). Jumlah peminjam
aktif mencapai 16.354.541, meningkat 96,83% year over year, sedangkan jumlah
kumulatif rekening borrower di DKI Jakarta mencapai 16.956.991 rekening,
meningkat 283,35% year over year, menunjukkan adanya minat masyarakat yang
signifikan terhadap fintech lending . Sejauh mana seseorang melaporkan niat untuk
memanfaatkan teknologi di masa depan dikenal sebagai Niat Perilaku mereka
(Krempel & Beyerer, 2014).
Per Januari 2021, PT. Statistik Lentera Dana Nusantara mengungkapkan bahwa
besaran TKW90 adalah 0,3%, yang berarti jumlah Peminjam SPayLater sejak awal
perusahaan adalah 2.710.736. Sekarang ada 1.771.269 akun Peminjam SPayLater
(LDN, 2020). Shopee Paylater akan mendapatkan popularitas sebagai opsi
pembayaran karena banyaknya keuntungan yang ditawarkan kepada pembeli. Tak
pelak, perluasan belanja online dapat menyebabkan munculnya bentuk-bentuk baru
kegiatan kriminal, seperti pencurian akun paylater dan selanjutnya digunakan untuk
pembelian online yang tidak sah (Putri et al., 2020).
Aspek awal dari proyek penelitian ini adalah komponen manfaat yang dirasakan.
Seperti dilansir Padamsari & Cynthia (2021), salah satu Devi Afrianti menggunakan
Shopee Paylater. Untuk mengembangkan perusahaan sate taichannya, dia telah
menggunakan layanan PayLater Shopee. Menurutnya ini adalah alat yang hebat
bagi mereka yang tidak memiliki banyak uang atau situasi keuangan yang aman.
Konsisten dengan penelitian RISED, 92% responden setuju bahwa opsi bayar nanti
meningkatkan fleksibilitas keuangan (Hidayat, 2021).
Pertimbangan kedua adalah seberapa praktis sesuatu dilihat. Dengan 1.544 peserta,
survei RISED menemukan bahwa 77,20 persen orang merasa menggunakan fungsi
paylater lebih nyaman daripada menggunakan kartu kredit. Mengingat bahwa siapa
pun dapat menggunakan opsi paylater, meskipun mereka tidak memenuhi
persyaratan tradisional untuk mendapatkan pinjaman, inilah masalahnya. Menurut
penelitian, konsumen memilih paylater karena syarat dan prosedurnya ramah
pengguna (60,5%), persyaratan minimum transaksi yang rendah (37,15%), tidak
adanya biaya admin jika tidak digunakan (31,6%) , dan kebebasan membatalkan
layanan kapan saja (30,4%). (Rahardyan, 2021).
Arlina di Jakarta Selatan mengalami hal yang sama pada 9 Juli 2020, saat akun
Shopee miliknya dibajak dan limit SPayLater digunakan secara curang. Arlina telah
melaporkan penipuan di akun Shopee-nya, tetapi para penjahat terus melakukan
pembelian dan menagih orang untuk biaya paylater yang tidak mereka keluarkan
(Arlin, 2020).
Shopee Paylater dipilih sebagai variabel utama studi karena diperkirakan akan terus
tumbuh popularitasnya di Indonesia selama tahun 2020, melampaui saingannya
GoPay PayLater dan OVO PayLater. Peneliti penasaran dengan apa yang
memotivasi orang menggunakan Shopee Paylater, sehingga mereka mensurvei
pengguna untuk mencari tahu.Studi tentang berbagai faktor penentu minat
penggunaan bukanlah hal baru.
Ashraf & Thongpapanl (2016) adalah salah satu studi tersebut; temuannya
menunjukkan bahwa orang menilai situs web lebih berdasarkan kegunaan yang
dirasakan dan kemudahan penggunaan ketika mereka konsisten dengan
pengalaman berbelanja, yang pada gilirannya meningkatkan keterlibatan, kegunaan
yang dirasakan, dan kemudahan penggunaan, yang pada gilirannya memediasi efek
kesesuaian pada sikap dan niat untuk membeli dari website. Menurut Rodrigues et
al. (2016), ada hubungan timbal balik positif antara kesenangan pengguna dan
kenyamanan yang dirasakan, dan model konseptual yang disarankan dapat dengan
mudah disesuaikan dengan penelitian lain tentang pembelian online, termasuk e-
commerce dengan kualitas hedonistik. Sementara itu, Sohn (2017) mengklaim
bahwa pandangan individu tentang utilitas toko online untuk melakukan penelitian
sepenuhnya memediasi hubungan antara daya tarik visual toko, kualitas kontennya,
dan kegunaan toko yang dirasakan untuk melakukan pembelian. Meskipun
demikian, kesan pelanggan terhadap nilai pengecer online dipengaruhi oleh kualitas
pengalaman teknologi mereka.
Menurut penelitian yang dilakukan Mentari dan Bendesa (2018), jumlah produk dan
jasa yang dibeli menggunakan uang elektronik berkorelasi dengan tingkat
pendapatan seseorang. Menurut penelitian Jeong dan Kim (2020), jenis makanan
yang dimakan orang berdampak besar pada kemampuan mereka untuk
membayarnya. Ibu dengan sumber daya keuangan yang terbatas sering
memprioritaskan pemenuhan kebutuhan nutrisi sebelum memuaskan selera mereka.
Oleh karena itu, ada korelasi antara stabilitas keuangan dan kecenderungan untuk
berbelanja. Selain itu, pengaruh menguntungkan dan substansial dari pendapatan,
tunjangan, kemudahan, dan keamanan telah ditemukan dalam penelitian Aksami &
Jember (2019). Berlawanan dengan apa yang ditemukan Satryani (2017), temuan
wawancara untuk penelitian ini menunjukkan bahwa individu di DI Yogyakarta tidak
memiliki kebutuhan mendesak akan barang e-money untuk transaksi sehari-hari,
meskipun mereka memiliki gaji yang tinggi. Oleh karena itu, ada korelasi antara
stabilitas keuangan dan kecenderungan untuk berbelanja. Selain itu, pengaruh
menguntungkan dan substansial dari pendapatan, tunjangan, kemudahan, dan
keamanan telah ditemukan dalam penelitian Aksami & Jember (2019). Berlawanan
dengan apa yang ditemukan Satryani (2017), temuan wawancara untuk penelitian ini
menunjukkan bahwa individu di DI Yogyakarta tidak memiliki kebutuhan mendesak
akan barang e-money untuk transaksi sehari-hari, meskipun mereka memiliki gaji
yang tinggi.