Jalan Malabar No. 60 RT 01 RW 02, Kelurahan Guntur, Setia Budi, Jakarta Selatan 12980, Indonesia
Phone: (62-21) 8302088, E: office@leip.or.id, www.leip.or.id
No : 004/LeIP/I/2023
Hal : Undangan Konsolidasi Masyarakat Sipil
Lampiran : Kerangka Acuan dan Rancangan Peraturan Mahkamah Agung tentang
Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif
Kepada
Peserta Konsolidasi Masyarakat Sipil
(daftar terlampir)
di tempat
Dengan hormat,
Saat ini RAPERMA Keadilan Restoratif sudah dibahas dalam beberapa kali Rapat Pleno
POKJA di Mahkamah Agung. Selanjutnya, Mahkamah Agung berencana mengadakan
konsultasi publik untuk menerima masukan atas RAPERMA, yang mana masyarakat sipil
adalah salah satu pihak yang akan diundang. Konsultasi publik terhadap RAPERMA
Keadilan Restoratif akan diadakan pada 8-9 Februari 2023. Menuju konsultasi publik
tersebut, Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) sebagai bagian
Konsorsium Masyarakat Sipil untuk Keadilan Restoratif memandang perlu untuk
mengadakan konsolidasi masyarakat sipil sebelum dilaksanakannya konsultasi publik
oleh Mahkamah Agung. Konsolidasi ini bertujuan untuk membahas dan menyusun
catatan-catatan kritis terhadap RAPERMA Keadilan Restoratif dari perspektif masyarakat
sipil. Oleh karena itu, LeIP hendak mengundang Bapak/Ibu/Sdr/i untuk hadir pada
pertemuan hybrid yang dilaksanakan pada:
Demikian undangan ini kami sampaikan, atas perhatian dan kesediaan Bapak/Ibu/Sdr/i
kami sampaikan terima kasih.
Hormat kami,
Liza Farihah
Direktur Eksekutif LeIP
Lampiran 1
Kerangka Acuan
Konsolidasi Masyarakat Sipil
A. Latar Belakang
Hukum pidana di Indonesia belum menempatkan korban pada posisi yang “memadai”
dalam penyelesaian perkara pidana. Hak-hak korban seringkali tidak diperhatikan atau
bahkan diabaikan. Pengabaian tersebut pada dasarnya berakar dari minimnya peran dan
pelibatan korban dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Dalam konsep yang diatur
dalam KUHAP misalnya, korban tindak pidana diposisikan sebatas sebagai saksi yang
posisinya membantu penuntut umum untuk membuktikan tuntutannya. 1 Oleh karenanya,
penting untuk melakukan reorientasi hukum di Indonesia. Sistem pemidanaan harus
ditumpukan pada pemulihan terhadap korban dan/atau masyarakat.
Secara praktis, keadilan restoratif memang lebih dikenal sebagai prinsip yang
menyeimbangkan posisi korban dan pelaku dalam sistem peradilan pidana. Lebih jauh,
keadilan restoratif seharusnya dimaknai dan diterapkan tidak sebatas pada tindak pidana
yang menimbulkan korban, tetapi termasuk pula pada tindak pidana tanpa korban
(victimless crime). Salah satu jenis tindak pidana tanpa korban yang dapat diterapkan
prinsip keadilan restoratif ini adalah penggunaan zat narkotika.
Dalam tataran normatif, hukum di Indonesia telah mengadopsi prinsip keadilan restoratif,
salah satunya melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak yang merupakan peraturan perundang-undangan pertama yang memuat
ketentuan mengenai keadilan restoratif. Terdapat pula Peraturan Kejaksaan Nomor 15
Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dan
Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana
Berdasarkan Keadilan Restoratif. Meskipun, terhadap peraturan-peraturan tersebut,
masih terdapat pula beberapa celah hukum dan catatan.
1
Maidina Rahmawati, dkk., “Peluang dan Tantangan Penerapan Restorative Justice dalam Sistem
Peradilan Pidana di Indonesia”, Institute for Criminal Justice Reform, Jakarta, 2022, h. 36.
Pada tataran lingkungan peradilan, belum terdapat peraturan khusus yang mengatur
mengenai penerapan prinsip keadilan restoratif. Oleh karenanya, Mahkamah Agung
Republik Indonesia melalui Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor
238/KMA/SK/XI/2021 tanggal 23 November 2021 membentuk Kelompok Kerja
Penyusunan Pedoman Penanganan Perkara Berdasarkan Prinsip Keadilan Restoratif. 2
Kelompok kerja tersebut telah menyusun dan membahas norma-norma Rancangan
Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan
Keadilan Restoratif. Peraturan tersebut pada dasarnya berisi mengenai pedoman bagi
hakim untuk menerapkan prinsip-prinsip keadilan restoratif dalam memeriksa dan
mengadili perkara pidana yang masuk ke pengadilan. Berikut merupakan beberapa
ketentuan-ketentuan dasar yang diatur dalam Rancangan Peraturan Mahkamah Agung
tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif:
Mengingat diskursus keadilan restoratif masih cukup baru bagi aparat penegak hukum,
penting untuk mendengar dan mempertimbangkan perspektif, masukan, dan peran
masyarakat sipil dalam pembentukan dan penerapan Peraturan Mahkamah Agung
tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Dalam
2
Lihat: Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 238/KMA/SK/XI/2021 tentang Kelompok Kerja
Penyusunan Pedoman Penanganan Perkara Berdasarkan Prinsip Keadilan Restoratif,
https://jdih.mahkamahagung.go.id/legal-product/sk-kma-nomor-238kmaskxi2021/detail.
konteks peraturan ini, setidak-tidaknya ada 2 (dua) alasan mengapa keberadaan
peraturan ini penting bagi diskusi masyarakat sipil. Pertama, masyarakat adalah “subjek”
diterapkannya keadilan restoratif oleh pengadilan. Kedua, masyarakat nantinya
diharapkan menjadi “watchdog” dalam penerapan keadilan restoratif dalam perkara-
perkara pidana. Tentu diharapkan terdapat pemahaman memadai mengenai keadilan
restoratif pada aparat penegak hukum—juga kesamaan persepsi dengan masyarakat
sipil.3 Hal yang juga penting, tidak diharapkan adanya penyalahgunaan prinsip keadilan
restoratif oleh aparat penegak hukum, khususnya hakim. 4
Berangkat dari situasi di atas, Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan
(LeIP) hendak menyelenggarakan konsolidasi masyarakat sipil yang akan membahas
dan memberi catatan untuk “Rancangan Peraturan Mahkamah Agung tentang
Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif”.
B. Tujuan Kegiatan
3
Lihat: Kemitraan, “Menghadapi Tantangan Implementasi Keadilan Restoratif di Indonesia”,
Kemitraan, 8 Juli 2022, https://www.kemitraan.or.id/kabar/menghadapi-tantangan-implementasi-keadilan-
restoratif-di-indonesia diakses pada 25 Januari 2023.
4
Lihat: Norbertus Arya Dwiangga Martiar dan Susana Rita Kumalasanti, “Salah Kaprah Penerapan
Keadilan Restoratif”, kompas.id, 22 Februari 2022, https://www.kompas.id/baca/hukum/2022/02/16/salah-
kaprah-penerapan-restorative-justice diakses pada 25 Januari 2023.
a. Apa saja jenis-jenis tindak pidana yang dapat diterapkan prinsip-prinsip keadilan
restoratif?
b. Sejauh mana keadilan restoratif dapat diterapkan dalam perkara pidana?
c. Apakah pengulangan tindak pidana perlu dimasukkan dalam pengecualian
penerapan prinsip-prinsip keadilan restoratif?
d. Apakah terdapat syarat lainnya yang perlu dijadikan pembatasan penerapan
keadilan restoratif oleh pengadilan?
3. Tindak pidana anak
a. Apakah tindak pidana anak perlu diatur dalam RAPERMA Keadilan Restoratif?
Bagaimana pengaturannya?
b. Bagaimana harmonisasi RAPERMA Keadilan Restoratif dengan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak? Apakah
dimungkinkan ada tumpang-tindih pengaturan?
4. Tindak pidana yang melibatkan orang dengan disabilitas
a. Apakah ketentuan mengenai pelaku/korban disabilitas perlu diatur dalam
RAPERMA Keadilan Restoratif?
5. Tindak pidana tanpa korban
a. Apakah tindak pidana tanpa korban perlu diatur dalam RAPERMA Keadilan
Restoratif? Bagaimana pengaturannya?
Kegiatan ini akan diselenggarakan secara hybrid dengan waktu dan tempat sebagai
berikut:
RANCANGAN
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR …. TAHUN 2023
TENTANG
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MAHKAMAH AGUNG TENTANG
PEDOMAN MENGADILI PERKARA PIDANA
BERDASARKAN KEADILAN RESTORATIF
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Mahkamah Agung ini yang dimaksud dengan:
1. Keadilan Restoratif adalah pendekatan dalam penanganan perkara tindak
pidana yang dilakukan dengan melibatkan para pihak baik Korban,
Terdakwa, dan/atau Pihak Lain yang Terkait, dengan proses dan tujuan
yang mengupayakan pemulihan, dan bukan hanya pembalasan.
2. Korban adalah setiap orang yang mengalami secara langsung penderitaan
fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu
tindak pidana.
3. Terdakwa adalah setiap orang yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang
Pengadilan karena diduga melakukan tindak pidana.
4. Pihak Lain yang Terkait adalah perwakilan masyarakat, pemuka adat,
pemuka agama, guru, atau pihak lain yang oleh Hakim dipandang perlu
untuk dihadirkan di persidangan.
5. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
6. Pengadilan adalah pengadilan tingkat pertama dalam lingkungan peradilan
umum, Mahkamah Syar’iyah dalam lingkungan peradilan agama, dan
peradilan militer.
7. Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-
undang untuk mengadili.
8. Penuntut Umum adalah Jaksa/Oditur Militer/Oditur Militer Tinggi yang
diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan
melaksanakan penetapan Hakim.
9. Relasi Kuasa adalah relasi yang bersifat hierarkis, ketidaksetaraan dan/atau
ketergantungan status sosial, budaya, pengetahuan/pendidikan dan/atau
ekonomi yang menimbulkan kekuasaan pada satu pihak terhadap pihak
lainnya sehingga merugikan pihak yang memiliki posisi lebih rendah.
10. Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau
keluarganya oleh Terdakwa atau pihak ketiga.
11. Hari adalah hari kalender.
BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP
Pasal 2
Hakim mengadili perkara pidana dengan Keadilan Restoratif yang dilaksanakan
berdasarkan asas:
a. Pemulihan keadaan;
b. Penguatan hak, kebutuhan dan kepentingan Korban;
c. Tanggung jawab Terdakwa;
d. Pidana sebagai upaya terakhir;
e. Konsensualitas; dan
f. Transparansi dan akuntabilitas.
Pasal 3
(1) Tujuan mengadili perkara pidana berdasarkan Keadilan Restoratif adalah
untuk:
a. Memulihkan kerugian Korban tindak pidana;
b. Memulihkan hubungan antara Terdakwa, Korban, dan/atau masyarakat;
c. Menganjurkan pertanggungjawaban Terdakwa;
d. Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan sehingga dapat
melanjutkan aktivitas untuk menata masa depannya.
(2) Penerapan prinsip Keadilan Restoratif tidak serta merta bertujuan untuk
menghapuskan pertanggungjawaban pidana.
Pasal 4
(1) Pedoman mengadili perkara pidana berdasarkan Keadilan Restoratif diatur
dalam Peraturan Mahkamah Agung ini.
(2) Peraturan Mahkamah Agung ini berlaku untuk perkara pidana, termasuk
dalam lingkup pidana jinayat dan militer.
(3) Pedoman mengadili perkara pidana berdasarkan Keadilan Restoratif ini
berlaku dan wajib diterapkan oleh seluruh Pengadilan, berdasarkan hukum
acara pidana yang berlaku.
Pasal 5
Hakim menerapkan pedoman mengadili perkara pidana berdasarkan Keadilan
Restoratif melalui pemulihan kerugian Korban dan/atau pemulihan hubungan
antara Terdakwa, Korban, dan masyarakat melalui putusan.
BAB III
PEDOMAN MENGADILI PERKARA PIDANA BERDASARKAN KEADILAN
RESTORATIF
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 6
(1) Pelaksanaan pedoman mengadili perkara pidana berdasarkan Keadilan
Restoratif berlaku untuk tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa.
(2) Hakim harus menerapkan pedoman mengadili perkara pidana berdasarkan
Keadilan Restoratif apabila terpenuhi salah satu dari tindak pidana di bawah
ini:
a. Tindak pidana yang dilakukan merupakan tindak pidana ringan atau
kerugian Korban bernilai tidak lebih dari Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima
ratus ribu rupiah);
b. Tindak pidana merupakan delik aduan;
c. Tindak pidana dengan ancaman hukuman maksimal 5 (lima) tahun
penjara dalam salah satu dakwaan;
d. Tindak pidana dengan Pelaku Anak yang Diversinya tidak berhasil atau
yang ancaman hukuman maksimalnya adalah 14 (empat belas) tahun
penjara; atau
e. Tindak pidana lalu lintas yang berupa kejahatan.
(3) Hakim tidak berwenang menerapkan pedoman mengadili perkara pidana
berdasarkan Keadilan Restoratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
hal:
a. Korban atau Terdakwa menolak untuk melakukan perdamaian;
b. Terdapat Relasi Kuasa; atau
c. Terdakwa mengulangi tindak pidana sejenis.
Bagian Kedua
Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif
dalam Tindak Pidana yang Menimbulkan Korban
Pasal 7
(1) Pada hari sidang pertama, setelah Penuntut Umum membacakan surat
dakwaan dan Terdakwa menyatakan mengerti isi surat dakwaan Penuntut
Umum, Hakim memberikan kesempatan kepada Terdakwa untuk
membenarkan atau tidak membenarkan perbuatan yang didakwakan
kepadanya.
(2) Dalam hal Terdakwa tidak membenarkan perbuatan yang didakwakan,
membenarkan hanya sebagian, dan/atau mengajukan keberatan atas
dakwaan yang diajukan, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan sesuai
dengan hukum acara yang berlaku.
(3) Pernyataan Terdakwa yang membenarkan seluruh perbuatan yang
didakwakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai juga dengan tidak
diajukannya nota keberatan oleh Terdakwa, proses persidangan dapat
langsung dilanjutkan.
Pasal 8
(1) Hakim menanyakan kepada Penuntut Umum perihal kehadiran Korban
dalam persidangan.
(2) Dalam hal Korban hadir dalam persidangan, Hakim memulai pemeriksaan
keterangan Korban dengan terlebih dahulu menanyakan kepada Korban
perihal:
a. Kronologis tindak pidana yang dialami oleh Korban;
b. Kerugian yang timbul dan/atau kebutuhan Korban sebagai akibat tindak
pidana;
c. Ada atau tidak perdamaian antara Terdakwa dan Korban sebelum
persidangan; dan
d. Pelaksanaan kesepakatan atau perjanjian yang timbul dari perdamaian
tersebut, dalam hal telah ada perdamaian.
(3) Apabila Korban tidak hadir di persidangan, maka Hakim menunda
persidangan selama paling lama 7 (tujuh) hari dan memerintahkan Penuntut
Umum untuk menghadirkan Korban serta alat bukti lain pada persidangan
berikutnya.
(4) Dalam hal Korban meninggal dunia, maka kepentingan Korban dalam
persidangan diwakili oleh ahli waris Korban.
Pasal 9
(1) Dalam hal Korban menerangkan dalam persidangan telah terjadi perdamaian
sebelum persidangan, Hakim berwenang memeriksa kesepakatan yang telah
dibuat antara Terdakwa dan Korban.
(2) Apabila telah terjadi perdamaian antara Terdakwa dan Korban atau ahli
warisnya sebelum persidangan dan seluruh kesepakatan sudah
dilaksanakan, maka Hakim menjadikan hal tersebut pertimbangan dalam
putusannya dan melanjutkan proses pemeriksaan.
Pasal 10
(1) Dalam hal Korban menerangkan bahwa telah terjadi perdamaian antara
Terdakwa dan Korban sebelum persidangan namun sebagian atau seluruh
kesepakatan tersebut belum dilaksanakan oleh Terdakwa, Hakim
menanyakan kepada Terdakwa alasan tidak dilaksanakannya kesepakatan
tersebut.
(2) Apabila Terdakwa menerangkan bahwa ia tidak sanggup melaksanakan
kesepakatan, maka Hakim menanyakan kesediaan Korban untuk membuat
kesepakatan baru yang sanggup dilaksanakan oleh Terdakwa.
(3) Dalam hal Korban bersedia membuat kesepakatan baru dengan Terdakwa,
maka Hakim mengupayakan tercapainya kesepakatan baru yang disanggupi
oleh Terdakwa dan Korban.
Pasal 11
(1) Dalam mengupayakan tercapainya kesepakatan baru sebagaimana
dimaksud pada Pasal 10 ayat (3), Hakim menggali informasi sebagai berikut:
a. dampak tindak pidana terhadap Korban;
b. kerugian ekonomi yang timbul sebagai akibat tindak pidana;
c. biaya perawatan medis dan/atau psikologis yang sudah dan akan
dikeluarkan Korban;
d. kerugian lain yang diderita Korban sebagai akibat tindak pidana;
e. kemampuan ekonomi Terdakwa; atau
f. informasi lain yang menurut hakim perlu untuk diperiksa dan
dipertimbangkan.
(2) Hakim dalam mengupayakan tercapainya kesepakatan baru sebagaimana
dimaksud pada Pasal 10 ayat (3), berwenang:
a. Memberikan kesempatan kepada Terdakwa dan Korban untuk
menyampaikan permasalahan dan kebutuhan masing-masing;
b. Menganjurkan komunikasi yang konstruktif antara Terdakwa dan Korban
sebagai upaya memulihkan hubungan Terdakwa dan Korban;
c. Memberikan saran kepada Terdakwa dan Korban;
d. Melakukan upaya persuasi kepada Terdakwa dan Korban untuk
mencapai kesepakatan yang sanggup dilaksanakan oleh Terdakwa dalam
rangka pemenuhan tanggung jawab Terdakwa dan memenuhi
kepentingan dan/atau kebutuhan Korban dalam rangka pemulihan
Korban;
e. Memerintahkan segala keterangan Terdakwa dan Korban untuk dicatat
dalam Berita Acara Persidangan;
f. Memerintahkan Korban dan Terdakwa untuk menyerahkan salinan
kesepakatan perdamaian kepada Penuntut Umum dan/atau Penasihat
Hukum;
g. Menyarankan Penuntut Umum untuk mempertimbangkan kesepakatan
antara Terdakwa dan Korban sebagai pertimbangan dalam surat
tuntutan;
h. Menyarankan Penasihat Hukum untuk mempertimbangkan kesepakatan
antara Terdakwa dan Korban sebagai pertimbangan dalam nota
pembelaan.
(3) Dalam hal kesepakatan baru tercapai, maka kesepakatan baru tersebut
menjadi pertimbangan dalam putusan Hakim.
Pasal 12
(1) Dalam hal perkara adalah delik aduan, maka kesepakatan dapat berupa
Terdakwa melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan dan Korban
menarik kembali pengaduannya sepanjang masih dalam tenggang waktu
yang ditentukan undang-undang.
(2) Kesepakatan penarikan kembali pengaduan sebagaimana yang dirumuskan
dalam perjanjian perdamaian secara hukum telah dianggap terlaksana saat
perjanjian tersebut ditandatangani di depan Hakim, sehingga Hakim
berwenang menyatakan penuntutan tidak dapat diterima.
Pasal 13
(1) Dalam hal Korban menerangkan bahwa belum pernah melakukan
perdamaian antara Terdakwa dan Korban, Hakim menganjurkan kepada
Terdakwa dan Korban untuk menempuh atau membuat kesepakatan
perdamaian.
(2) Apabila Terdakwa dan Korban bersedia membuat kesepakatan perdamaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Hakim melaksanakan
kewenangannya sebagaimana dimaksud pada Pasal 11.
Pasal 14
Hakim dengan penetapan berwenang memerintahkan Penuntut Umum untuk
memanggil Pihak Lain yang Terkait ke persidangan untuk dimintai
keterangannya.
Pasal 15
(1) Pelaksanaan Pasal 7 sampai Pasal 14 peraturan ini dilakukan dalam proses
pemeriksaan perkara paling lama sebelum tuntutan pidana diajukan.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 sampai Pasal 14
peraturan ini harus tetap memperhatikan masa penahanan Terdakwa dan
jangka waktu penyelesaian perkara pidana.
Pasal 16
(1) Kesepakatan perdamaian sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat (3) dan
Pasal 13 dapat berupa:
a. Mengganti kerugian
b. Melaksanakan suatu perbuatan; dan/atau
c. Tidak melaksanakan suatu perbuatan
(2) Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat (3) dan Pasal 13
dilarang memuat ketentuan yang:
a. Bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan;
b. Melanggar hak asasi manusia;
c. Merugikan pihak ketiga;
d. Tidak dapat dilaksanakan; atau
e. Mengurangi kemerdekaan beragama atau kemerdekaan berpolitik
Terdakwa.
Pasal 17
(1) Kesepakatan perdamaian dan/ atau kesediaan Terdakwa untuk bertanggung
jawab atas kerugian dan/atau kebutuhan Korban sebagai akibat tindak
pidana menjadi alasan yang meringankan hukuman dan/atau menjadi
pertimbangan untuk menjatuhkan pidana bersyarat/pengawasan sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam menjatuhkan pidana bersyarat/pengawasan, Hakim dapat
menerapkan dengan syarat umum dan/atau syarat khusus untuk:
a. menjatuhkan alternatif pemidanaan selain pidana penjara terhadap
Terdakwa; dan/atau
b. menjamin pelaksanaan kesepakatan antara Terdakwa dan Korban serta
memulihkan kerugian Korban.
(3) Syarat umum dalam penjatuhan pidana bersyarat/pengawasan oleh Hakim
dalam hal:
a. Tindak pidana yang dilakukan dapat diberikan pidana
bersyarat/pengawasan;
b. Terdakwa layak untuk dipidana dengan pidana bersyarat/pengawasan;
c. Terdakwa sudah mencapai kesepakatan dengan Korban;
d. Terdakwa telah melaksanakan seluruh kesepakatan tersebut.
(4) Syarat khusus dalam penjatuhan pidana bersyarat/pengawasan dapat
dijatuhkan oleh Hakim dalam hal Terdakwa telah mencapai kesepakatan
dengan Korban namun belum melaksanakan seluruh atau sebagian isi
kesepakatan tersebut.
(5) Syarat umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dijatuhkan untuk paling
lama 3 (tiga) tahun.
(6) Dalam penjatuhan syarat khusus sebagai bagian dari pidana
bersyarat/pengawasan yang dimaksud pada ayat (4), Hakim dapat mengacu
kepada sebagian atau seluruh isi kesepakatan yang belum dilaksanakan oleh
Terdakwa.
Pasal 18
Dalam hal Terdakwa dan Korban tidak dapat mencapai kesepakatan
perdamaian, Hakim dapat mengadili dengan menjatuhkan putusan yang
memulihkan kerugian Korban dan/atau memenuhi kebutuhan Korban sebagai
akibat tindak pidana.
Pasal 19
Penjatuhan putusan yang memulihkan kerugian Korban dan/atau memenuhi
kebutuhan Korban sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 diberlakukan
terhadap Terdakwa.
BAB IV
TATA KELOLA ADMINISTRASI PERKARA PIDANA YANG DIADILI
BERDASARKAN KEADILAN RESTORATIF
Pasal 20
Dalam hal mekanisme Keadilan Restoratif yang terdapat dalam Peraturan
Mahkamah Agung ini diterapkan, hakim mencantumkan ketentuan peraturan
ini dalam putusannya.
Pasal 21
Ketua pengadilan tingkat banding berwenang melakukan pembinaan,
pemantauan, dan pengawasan atas pelaksanaan Pedoman Mengadili Perkara
Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif di wilayah hukum pengadilan tingkat
banding bersangkutan.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 22
Peraturan Mahkamah Agung ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal …. 2023