Anda di halaman 1dari 22

hipertensi

Hipertensi

Hipertensi merupakan masalah kesehatan global yang membutuhkan perhatian karena


dapat menyebabkan kematian utama di Negara-negara maju maupun Negara
berkembang. Data WHO tahun 2000 menunjukkan, di seluruh dunia, sekitar 972 juta
orang atau 26,4% penghuni bumi mengidap hipertensi dengan perbandingan 26,6%
pria dan 26,1% wanita. Angka ini kemungkinan akan meningkat menjadi 29,2% di tahun
2025. Dari 972 juta pengidap hipertensi, 333 juta berada di negara maju dan 639
sisanya berada di negara sedang berkembang, temasuk Indonesia
Prevalensi penderita hipertensi di Indonesia terus terjadi peningkatan. Hasil
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 2000 sebesar 21% menjadi
26,4% dan 27,5% pada tahun 2001 dan 2004. Selanjutnya, diperkirakan meningkat lagi
menjadi 37% pada tahun 2015 dan menjadi 42% pada tahun 2025. Menurut data
Kementrian Kesehatan RI tahun 2009 menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi
sebesar 29,6% dan meningkat menjadi 34,1% tahun 2010. Data Dinas Kesehatan kota
Semarang tahun 2009 menyebutkan prevalensi hipertensi sebesar 12,85 % dengan
jumlah kasus sebanyak 2063 (Apriany, 2012)
Prevalensi Penyakit Hipertensi pada tahun 2008 hingga tahun 2010
menunjukkan adanya penurunan kasus yang cukup tinggi, pada tahun 2008 sebesar
865204 jiwa, pada tahun 2009 sebesar 698816 jiwa, pada tahun 2010 sebesar 562117
jiwa. Namun, pada tahun 2011 terjadi peningkatan jumlah kasus yaitu sebesar 634860
jiwa (Dinkesprov, 2011).
Salah satu komplikasi utama dari hipertensi adalah stroke. Zat-zat yang terlarut
seperti kolesterol, kalsium dan lain sebagainya akan mengendap pada dinding
pembuluh yang dikenal dengan istilah penyempitan pembuluh darah. Bila penyempitan
pembuluh darah terjadi dalam waktu yang lama dengan tekanan darah yang sangat
tinggi, maka pembuluh darah akan pecah yang akan mengakibatkan suplai darah ke
otak berkurang dan tidak adekuat lagi, bahkan terhenti yang selanjutnya menimbulkan
stroke (Pudiastuti, 2011)
B.   Rumusan Masalah
1.  Untuk mengetahui pengertian penyakit hipertensi
2.  Untuk mengetahui tanda dan gejala penyakit Hipertensi
3.  Untuk mengetahui penyebab hipertensi, baik hipertensi primer maupun sekunder
4.  Untuk mengetahui klasifikasi penyakit hipertensi
5.  Untuk mengetahui diagnosis penyakit hipertensi
6.  Untuk mengetahui pencegahan dari penyakit hipertensi

C.   Tujuan
Untuk mengetahui penyakit hipertensi pada pekerja, dan apa-apa saja kasus yang
terjadi di Indonesia maupun di luar indonesia

BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Hipertensi
Hipertensi (HTN) atau tekanan darah tinggi, kadang-kadang disebut juga
dengan hipertensi arteri, adalah kondisi medis kronis dengan tekanan
darah diarteri meningkat. Peningkatan ini menyebabkan jantung harus bekerja lebih
keras dari biasanya untuk mengedarkan darah melalui pembuluh darah. Tekanan darah
melibatkan dua pengukuran, sistolik dan diastolik, tergantung apakah otot jantung
berkontraksi (sistole) atau berelaksasi di antara denyut (diastole). Tekanan darah
normal pada saat istirahat adalah dalam kisaran sistolik (bacaan atas) 100–140 mmHg
dan diastolik (bacaan bawah) 60–90 mmHg. Tekanan darah tinggi terjadi bila terus-
menerus berada pada 140/90 mmHg atau lebih.
Hipertensi terbagi menjadi hipertensi primer (esensial) atau hipertensi sekunder.
Sekitar 90–95% kasus tergolong "hipertensi primer", yang berarti tekanan darah tinggi
tanpa penyebab medis yang jelas. [1] Kondisi lain yang mempengaruhi ginjal, arteri,
jantung, atau sistem endokrin menyebabkan 5-10% kasus lainnya (hipertensi
sekunder).
Hipertensi adalah faktor resiko utama untuk stroke,infark miokard (serangan
jantung), gagal jantung,aneurisma arteri (misalnya aneurisma aorta), penyakit arteri
perifer, dan penyebab penyakit ginjal kronik. Bahkan peningkatan sedang tekanan
darah arteri terkait denganharapan hidup yang lebih pendek. Perubahan pola makan
dan gaya hidup dapat memperbaiki kontrol tekanan darah dan mengurangi resiko
terkait komplikasi kesehatan. Meskipun demikian, obat seringkali diperlukan pada
sebagian orang bila perubahan gaya hidup saja terbukti tidak efektif atau tidak cukup.

B.   Anatomi dan Fisiologi Hipertensi


a.    Anatomi
1) Jantung
Berukuran sekitar satu kepalan tangan dan terletak di dalam dada, batas
kanannya terdapat pada sternum kanan dan apeksnya pada ruang intercosta kelima kiri
pada linea midclavikula.
    Hubungan jantung adalah:
a)      atas: pembuluh darah besar
b)      bawah: diafragma
c)      setiap sisi: paru-paru
d)     belakang: aorta dessendens, oesopagus, columna vertebralis
2)  Arteri
      Adalah tabung yang dilalui darah yang dialirkan pada jaringan dan organ. Arteri
terdiri dari lapisan dalam: lapisan yang licin, lapisan tengah jaringan elastin/otot: aorta
dan cabang-cabangnya besar memiliki lapisan tengah yang terdiri dari jaringan elastin
(untuk menghantarkan darah untuk organ), arteri yang lebih kecil memiliki lapisan
tengah otot (mengatur jumlah darah yang disampaikan pada suatu organ).
Meningkatnya tekanan darah di dalam arteri bisa terjadi melalui beberapa cara:
a) Jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan lebih   banyak cairan pada setiap
detiknya
b) Arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku, sehingga mereka tidak dapat
mengembang pada saat jantung memompa darah melalui arteri tersebut. Karena itu
darah pada setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh yang sempit
daripada biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan. Inilah yang terjadi pada usia
lanjut, dimana dinding arterinya telah menebal dan kaku karena arterosklerosis. Dengan
cara yang sama, tekanan darah juga meningkat pada saat terjadi “vasokonstriksi”, yaitu
jika arteri kecil (arteriola) untuk sementara waktu mengkerut karena perangsangan
saraf atau hormon di dalam darah.
c) Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan meningkatnya tekanan darah.
Hal ini terjadi jika terdapat kelainan fungsi ginjal sehingga tidak mampu membuang
sejumlah garam danair dari dalam tubuh. Volume darah dalam tubuh meningkat,
sehingga tekanan darah juga meningkat, Sebaliknya,  jika:
a)  Aktivitas memompa jantung berkurang,
b)  arteri mengalami pelebaran,
c) banyak cairan keluar dari sirkulasi, Maka tekanan darah  akan menurun atau menjadi
lebih kecil.
Penyesuaian terhadap faktor-faktor tersebut dilaksanakan oleh perubahan di dalam
fungsi ginjal dan sistem saraf otonom (bagian dari sistem saraf yang mengatur berbagai
fungsi tubuh secara otomatis).
3)   Perubahan fungsi ginjal
Ginjal mengendalikan tekanan darah melalui beberapa cara:
a) Jika tekanan darah meningkat, ginjal akan menambah pengeluaran garam dan air, yang
akan menyebabkan berkurangnya volume darah dan mengembalikan tekanan darah ke
normal.
b) Jika tekanan darah menurun, ginjal akan mengurangi pembuangan garam dan air,
sehingga volume darah bertambah dan tekanan darah kembali ke normal
c) Ginjal juga bisa meningkatkan tekanan darah dengan menghasilkan enzim yang disebut
renin, yang memicu pembentukan hormon angiotensin, yang selanjutnya akan memicu
pelepasan hormon aldosteron. Ginjal merupakan organ penting dalam mengendalikan
tekanan darah, karena itu berbagai penyakit dan kelainan pada ginjal bisa
menyebabkan terjadinya tekanan darah tinggi. Misalnya penyempitan arteri yang
menuju ke salah satu ginjal (stenosis arteri renalis) bisa menyebabkan hipertensi.
Peradangan dan cedera pada salah satu atau kedua ginjal juga bisa menyebabkan
naiknya tekanan darah.
4)   Arteriol
Adalah pembuluh darah dengan dinding otot polos yang relatif tebal. Otot dinding
arteriol dapat berkontraksi. Kontraksi menyebabkan kontriksi diameter pembuluh darah.
Bila kontriksi bersifat lokal, suplai darah pada jaringan/organ berkurang. Bila terdapat
kontriksi umum, tekanan darah akan meningkat.
5)   Pembuluh darah utama dan kapiler
Pembuluh darah utama adalah pembuluh berdinding tipis yang berjalan langsung
dari arteriol ke venul. Kapiler adalah jaringan pembuluh darah kecil yang membuka
pembuluh darah utama
6)   Sinusoid
Terdapat limpa, hepar, sumsum tulang dan kelenjar endokrin. Sinusoid tiga sampai
empat kali lebih besar dari pada kapiler dan sebagian dilapisi dengan sel sistem
retikulo-endotelial. Pada tempat adanya sinusoid, darah mengalami kontak langsung
dengan sel-sel dan pertukaran tidak terjadi melalui ruang jaringan
7)   Vena dan venul
Venul adalah vena kecil yang dibentuk gabungan kapiler. Vena dibentuk oleh
gabungan venul. Vena memiliki tiga dinding yang tidak berbatasan secara sempurna
satu sama lain.
b. Fisiologi
Jantung mempunyai fungsi sebagai pemompa darah yang mengandung oksigen
dalam sistem arteri, yang dibawa ke sel dan seluruh tubuh untuk mengumpulkan darah
deoksigenasi (darah yang kadar oksigennya kurang) dari sistem vena yang dikirim ke
dalam paru-paru untuk reoksigenasi (Black, 2010).
C.   Tanda dan Gejala Hipertensi
Hipertensi jarang menunjukkan gejala, dan pengenalannya biasanya
melalui skrining, atau saat mencari penanganan medis untuk masalah kesehatan yang
tidak berkaitan. Beberapa orang dengan tekanan darah tinggi melaporkan sakit
kepala (terutama di bagian belakang kepala dan pada pagi hari),
serta pusing,vertigo, tinitus (dengung atau desis di dalam telinga), gangguan
penglihatan atau pingsan. Sedangkan gejala umum yang mungkin terjadi pada orang
dengan tekanan darah tinggi meliputi: 
1.    Sakit kepala saat bangun tidur yang kemudian menghilang setelah beberapa jam.
2.    Rasa pegal dan tidak nyaman pada tengkuk.
3.    Mudah lelah, lesu, Impoten.
4.    Telinga berdenging.
5.    Detak jantung berdebar cepat. 
6.    Pandangan agak kabur, susah tidur, sakit pinggang, dan mudah menjadi marah.
Apabila Anda merasakan beberapa gejala di atas, segera cari bantuan untuk mengatasi
tekanan darah tinggi Anda mengingat banyaknya komplikasi serius yang bisa jadi Anda
alami diantaranya:
1.   Kerusakan otak Tekanan darah yang terlalu tinggi menyebabkan pecahnya pembuluh
darah otak (stroke) akibatnya, darah tercecer dari daerah tertentu otak sedangkan
bagian lain otak tidak teraliri cukup sehingga bagian otak menjadi rusak.
2.   Kerusakan jantung Tekanan darah yang tinggi menyebabkan pembesaran otot
jantung kiri sehingga jantung mengalami gagal fungsi. Pembesaran otot jantung kiri
disebabkan jantung bekerja keras untuk memompa darah.
3.   Kerusakan ginjal  Tingginya tekanan darah akan membuat pembuluh darah dalam
ginjal tertekan. Akhirnya, pembuluh darah menjadi rusak dan menyebabkan fungsi
ginjal menurun hingga mengalami kegagalan ginjal.
4.   Kerusakan mata  Tekanan darah yang tinggi menyebabkan tertekannya pembuluh
darah dan syaraf pada mata sehingga penglihatan terganggu.
Pada pemeriksaan fisik, hipertensi juga dicurigai ketika terdeteksi
adanya retinopati hipertensi pada pemeriksaan fundus optik di belakang mata dengan
menggunakan oftalmoskop. Biasanya beratnya perubahan retinopati hipertensi dibagi
atas tingkat I-IV, walaupun jenis yang lebih ringan mungkin sulit dibedakan antara satu
dan lainnya. Hasil oftalmoskopi juga dapat memberi petunjuk berapa lama seseorang
telah mengalami hipertensi.
1.    Hipertensi sekunder
Beberapa tanda dan gejala tambahan dapat menunjukkan hipertensi sekunder,
yaitu hipertensi akibat penyebab yang jelas seperti penyakit ginjal ataupenyakit
endokrin. Contohnya, obesitas pada dada dan perut, intoleransi glukosa, wajah bulat
seperti bulan (moon facies), "punuk kerbau" (buffalo hump), dan striae ungu
menandakan Sindrom Cushing.Penyakit tiroid dan akromegali juga dapat menyebabkan
hipertensi dan mempunyai gejala dan tanda yang khas. Bising perut mungkin
mengindikasikan stenosis arteri renalis (penyempitan arteri yang mengedarkan darah
ke ginjal). Berkurangnya tekanan darah di kaki atau lambatnya atau hilangnya denyut
arteri femoralis mungkin menandakan koarktasio aorta (penyempitan aorta sesaat
setelah meninggalkan jantung). Hipertensi yang sangat bervariasi dengan sakit kepala,
palpitasi, pucat, dan berkeringat harus segera menimbulkan kecurigaan ke
arah feokromositoma.

2.    Krisis hipertensi
Peningkatan tekanan darah yang sangat tinggi (sistolik lebih atau sama dengan
180 atau diastolik lebih atau sama dengan 110, kadang disebut hipertensi maligna atau
akselerasi) sering disebut sebagai "krisis hipertensi." Tekanan darah di atas tingkat ini
memiliki risiko yang tinggi untuk terjadinya komplikasi. Orang dengan tekanan darah
pada kisaran ini mungkin tidak memiliki gejala, tetapi lebih cenderung melaporkan sakit
kepala (22% dari kasus)[12] dan pusing dibandingkan dengan populasi umum. Gejala
lain krisis hipertensi mencakup berkurangnya penglihatan atau sesak napas karena
gagal jantung atau rasa lesu karena gagal ginjal. Kebanyakan orang dengan krisis
hipertensi diketahui memiliki tekanan darah tinggi, tetapi pemicu tambahan mungkin
menyebabkan peningkatan secara tiba-tiba.
 "Hipertensi emergensi", sebelumnya disebut sebagai "hipertensi maligna",
terjadi saat terdapat bukti kerusakan langsung pada satu organ atau lebih sebagai
akibat meningkatnya tekanan darah. Kerusakan ini bisa mencakup ensefalopati
hipertensi, disebabkan oleh pembengkakan dan gangguan fungsi otak, dan ditandai
oleh sakit kepala dan gangguan kesadaran (kebingungan atau rasa
kantuk).Papiledema retina dan perdarahan fundus sertaeksudat adalah tanda lain
kerusakan organ target.Nyeri dada dapat merupakan tanda kerusakan otot jantung
(yang bisa berlanjut menjadi serangan jantung) atau kadang diseksi aorta, robeknya
dinding dalam aorta. Sesak napas, batuk, dan ekspektorasi dahak bernoda darah
adalah ciri khas edema paru. Kondisi ini adalah pembengkakan jaringan paru
akibatgagal ventrikel kiri, ketidakmampuan ventrikel kirijantung untuk memompa cukup
darah dari paru-paru ke sistem arteri. Penurunan fungsi ginjal secara cepat (cedera
ginjal akut/acute kidney injury) dan anemia hemolitik mikroangiopati (penghancuran sel-
sel darah) juga mungkin terjadi. Pada situasi ini, harus dilakukan penurunan tekanan
darah secara cepat untuk menghentikan kerusakan organ yang sedang terjadi.
Sebaliknya, tidak ada bukti bahwa tekanan darah perlu diturunkan secara cepat dalam
keadaan hipertensi emergensi bila tidak ada bukti kerusakan organ target. Penurunan
tekanan darah yang terlalu agresif bukan berarti tidak ada risiko. Penggunaan obat-
obatan oral untuk menurunkan tekanan darah secara bertahap selama 24 sampai 48
jam dianjurkan dalam kedaruratan hipertensi.

3.  Kehamilan
Hipertensi atau tekanan darah tinggi terjadi pada sekitar 8-10% kehamilan.
Kebanyakan wanita hamil yang mengalami hipertensi memiliki kondisi hipertensi primer
yang sudah ada sebelumnya. Tekanan darah tinggi dalam kehamilan dapat merupakan
tanda awal dari pre-eklampsia, suatu kondisi serius yang muncul setelah melewati
pertengahan masa kehamilan, dan dalam beberapa minggu setelah melahirkan.
Diagnosa preeklampsia termasuk peningkatan tekanan darah dan adanya protein di
dalam urin. Preeklampsia muncul pada sekitar 5% kehamilan dan bertanggung jawab
atas sekitar 16% dari semua kematian ibu secara global. Preeklampsia juga
menyebabkan risiko kematian bayi meningkat hingga dua kali lipat. Biasanya
preeklampsia tidak menunjukkan gejala dan keadaan ini terdeteksi pada pemeriksaan
rutin. Bila terjadi preeklampsia, gejala yang paling umum adalah sakit kepala, gangguan
penglihatan (sering dalam bentuk “kilatan cahaya”), muntah, nyeri epigastrium,
dan edema(bengkak). Terkadang preeklampsia bisa berkembang menjadi kondisi yang
mengancam nyawa yang disebuteklampsia. Eklampsia adalah suatu hipertensi
emergensi dan menyebabkan beberapa komplikasi berat, seperti hilangnya
penglihatan, pembengkakan otak, kejang tonik-klonik atau konvulsi, gagal ginjal,edema
paru, dan koagulasi intravaskular diseminata(gangguan pembekuan darah).
4.  Bayi dan anak
Gagal tumbuh, kejang, iritabilitas, kurang energi, dan kesulitan bernafas bisa
dikaitkan dengan hipertensi pada bayi baru lahir dan bayi usia muda. Pada bayi yang
lebih besar dan anak, hipertensi bisa menyebabkan sakit kepala, iritabilitas tanpa
penyebab yang jelas, lesu, gagal tumbuh, pandangan kabur,mimisan, dan kelumpuhan
wajah.
D.   Penyebab Hipertensi
Tekanan darah tinggi adalah salah satu faktor resiko untuk stroke, serangan
jantung, gagal jantung dan aneurisma arterial, dan merupakan penyebab utama gagal
jantung kronis. Selain faktor genetika, usia, dan jenis kelamin, ada beberapa faktor
penyebab lain, antara lain:
1.    Stres atau perasaan tertekan.
2.    Kegemukan (Obesitas).
3.    Kebiasaan merokok.
4.    Kurang berolahraga.
5.    Kelainan kadar lemak dalam darah (Dislipidemia).
6.    Konsumsi yang berlebihan atas garam, alkohol, dan makanan yang berlemak tinggi.
7.    Kurang mengonsumsi makanan yang berserat dan diet yang tidak seimbang.
1.  Hipertensi primer
Hipertensi primer (esensial) adalah jenis hipertensi yang paling umum,
meliputi sebanyak 90–95% dari seluruh kasus hipertensi. Dalam hampir semua
masyarakat kontemporer, tekanan darah meningkat seiring penuaan dan risiko untuk
menjadi hipertensi di kemudian hari cukup tinggi. Hipertensi diakibatkan oleh
interaksi gen yang kompleks dan faktor lingkungan. Berbagai gen yang sering
ditemukan sedikit berpengaruh pada tekanan darah, sudah diidentifikasi, demikian
juga beberapa gen yang jarang yang berpengaruh besar pada tekanan darah  tetapi
dasar genetik dari hipertensi masih belum sepenuhnya dimengerti. Beberapa faktor
lingkungan mempengaruhi tekanan darah. Faktor gaya hidup yang menurunkan
tekanan darah di antaranya mengurangi asupan garamdalam makanan,
meningkatkan konsumsi buah-buahan dan produk rendah lemak (Pendekatan Diet
untuk Menghentikan Hipertensi (diet DASH)). Olah Raga, penurunan berat
badan dan menurunkan asupan alkohol juga membantu menurunkan tekanan darah.
Kemungkinan peranan faktor lain seperti stres, konsumsi kafein, dan defisiensi
Vitamin D kurang begitu jelas. Resistensi insulin, yang umum ditemukan pada
obesitas dan merupakan komponen dari sindrom X(atau sindrom metabolik), juga
diduga ikut berperan dalam mengakibatkan hipertensi.   Studi terbaru juga
memasukkan kejadian-kejadian pada awal kehidupan (contohnya, berat lahir rendah,
ibu merokok, dan kurangnya air susu ibu) sebagai faktor risiko bagi hipertensi
esensial dewasa.  Namun, mekanisme yang menghubungkan paparan ini dengan
hipertensi dewasa tetap tidak jelas.
2.  Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder terjadi akibat suatu penyebab yang diketahui. Penyakit ginjal adalah penyebab
sekunder tersering dari hipertensi. Hipertensi juga bisa disebabkan oleh kondisi endokrin, seperti sindrom
Cushing, hipertiroidisme, hipotiroidisme, akromegali, sindrom Conn atau hiperaldosteronisme, hiperparatiroidisme,
dan feokromositoma. Penyebab lain dari hipertensi sekunder di antaranya obesitas, henti nafas saat
tidur, kehamilan, koarktasio aorta, konsumsi akar manis (licorice)yang berlebihan, serta obat resep, obat herbal, dan
obat-obat terlarang. Adapun lagi penyebab dari hipertensi sekunder yaitu :
a.  Stenosis arteri renalis
Stenosis arteri renalis ini memerangi aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus (LFG), menstimulasi pelepasan
rennin dan produksi angiotensin II. Angiotensin II menyebabkan hipertensi melalui fase konstriksi dan stimulasi
pelepasan aldosteron dan retensi natrium. Jika kedua ginjal terkena, hipervolemia dan hipertensi akhirnya
mengembalikan perfusi ginjal dan kadar rennin sedikit turun. Jika salah satu ginjal normal, hipertensi akan
meningkatkan LFG. Hal ini memacu eksresi natrium oleh ginjal yang sehat, namun perfusi pada ginjal yang
mengalami stenosis tetap kurang dan terus menghasilkan kadar rennin yang sangat tinggi.
b.  Hiperaldosteronisme primer
Hiperaldosteronisme primer mencakup satu sampai dua persen dari semua kasus hipertensi. Kelebihan aldosteron
meningkatkan retensi natrium dan sekresi kalium oleh ginjal. Hipervolemia yang terjadi menyebabkan hipertensi.
Produksi rennin disupresi karna tekanan perfusi ginjal dan penyampaian nantrium klorida ke macula densal
meningkat.
c.    Penyakit ginjal interinsik
Setiap penyakit ginjal dapat menyebabkan hipertensi. Gangguan ginjal berat mengurangi eksresi natrium
serta menyebaban hipervolemia dan hipertensi, yang bersifat ‘sensitif terhadap garam’ karna hipertensi meningkat
seiring dengan asupan garam. Pada gangguan ginjal ringan hipoperfusi ginjal yang dipersepsi memacu sekresi
rennin dan vasokontriksi yang di mediasi oleh angiotensin II. Hipertensi ini tidak sensitive terhadap garam dan
disebut resisten garam.
E.   Mekanisme Garam Menyebabkan Hipertensi
garam menyebabkan tekanan darah seseorang. Jika kadar garam dalam tubuh kita
tinggi, maka otomatis tubuh akan berusaha menetralkan, yaitu dengan cara
mengencerkannya. Caranya adalah dengan air, melalui dua proses mekanisme:
1. Kadar garam yang tinggi akan merangsang pusat haus di otak, sehingga seseorang
akan minum air dengan kadar lebih banyak. (cepat haus)
2. Kadar garam yang tinggi juga menyebabkan pelepasan hormon antidiuretik, yaitu
hormon yang menyebabkan ginjal menyerap kembali sebagian besar air yang telah
disaring, sebelum dikeluarkan menjadi air kemih. Sehingga menjadikan sejumlah besar
air masuk kembali ke dalam pembuluh darah. Kedua mekanisme diatas menyebabkan
volume darah di dalam tubuh bertambah. Itulah yang menyebabkan tekanan darah
dalam tubuh kita meningkat.
Salah satu cara bagaimana menjaga agar tekanan darah dalam tubuh stabil, yaitu
dengan mengkonsumsi makanan yang menandung potassium, karena potassium
dalam tubuh akan bereaksi untuk membuang sodium (yang ada dalam garam),
sehingga dapat menurunkan kadar garam dalam tubuh. Potasium banyak terdapat
pada buah-buahan dan sayur-sayuran.
F.    EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia banyaknya penderita Hipertensi diperkirakan 15 juta orang tetapi hanya 4% yang merupakan
hipertensi terkontrol. Prevalensi 6-15% pada orang dewasa, 50% diantaranya tidak menyadari sebagai penderita
hipertensi sehingga mereka cenderung untuk menjadi hipertensi berat karena tidak menghindari dan tidak
mengetahui factor risikonya, dan 90% merupakan hipertensi esensial. Saat ini penyakit degeneratif dan
kardiovaskuler sudah merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
Diperkirakan sekitar 80 % kenaikan kasus hipertensi terutama di negara berkembang dari sejumlah 639 juta
kasus di tahun 2000, di perkirakan menjadi 1,15 milyar kasus di tahun 2025. Prediksi ini didasarkan pada angka
penderita hipertensi saat ini dan pertambahan penduduk saat ini. Angka-angka prevalensi hipertensi di Indonesia
telah banyak dikumpulkan dan menunjukkan di daerah pedesaan masih banyak penderita yang belum terjangkau
oleh pelayanan kesehatan. Baik dari segi case-finding maupun penatalaksanaan pengobatannya jangkauan masih
sangat terbatas dan sebagian besar penderita hipertensi tidak mempunyai keluhan. Prevalensi terbanyak berkisar
antara 6 sampai dengan 15% tetapi angka-angka ekstrim rendah seperti di Ungaran, Jawa Tengah 1,8%; Lembah
Balim Pegunungan Jaya Wijaya, Irian Jaya 0,6%; dan Talang Sumatera Barat 17,8%. Nyata di sini, dua angka yang
dilaporkan oleh kelompok yang sama pada 2 daerah pedesaan di Sumatera Barat menunjukkan angka yang tinggi.
Oleh sebab itu perlu diteliti lebih lanjut, demikian juga angka yang relatif sangat rendah.
Survei penyakit jantung pada usia lanjut yang dilaksanakan Boedhi Darmojo, menemukan prevalensi
hipertensi tanpa atau dengan tanda penyakit jantung hipertensi sebesar 33,3% (81 orang dari 243 orang tua 50
tahun ke atas). Wanita mempunyai prevalensi lebih tinggi dari pada pria (p¬0,05). Dari kasus-kasus tadi, ternyata
68,4% termasuk hipertensi ringan (diastolik 95¬104 mmHg), 28,1% hipertensi sedang (diastolik 105¬129 mmHg) dan
hanya 3,5% dengan hipertensi berat (diastolik sama atau lebih besar dengan 130 mmHg).
G.   Klasifikasi Hipertensi
Klasifikasi (JNC7)[2] Tekanan sistolik Tekanan diastolik
mmHg kPa mmHg kPa
Normal 90–119 12–15,9 60–79 8,0–10,5
16,0–
Pra-hipertensi 120–139 80–89 10,7–11,9
18,5
18,7–
Hipertensi Derajat 1 140–159 90–99 12,0–13,2
21,2
Hipertensi Derajat 2 ≥160 ≥21,3 ≥100 ≥13,3
Hipertensi sistolik
≥140 ≥18,7 <90 <12,0
tersendiri
 
1.    Dewasa
Pada orang berusia 18 tahun ke atas, hipertensi didefinisikan sebagai
pengukuran tekanan darah sistolik dan/atau diastolik yang terus-menerus melebihi
nilai normal yang dapat diterima (saat ini sistolik 139 mmHg, diastolik 89 mmHg: lihat
tabel — Klasifikasi (JNC7)). Bila  pengukuran diperoleh dari pemantauan ambulatori
24 jam atau pemantauan di rumah, digunakan batasan yang lebih rendah (sistolik
135 mmHg atau diastolik 85 mmHg).[3] Beberapa pedoman internasional terbaru
tentang hipertensi juga telah membuat kategori di bawah kisaran hipertensi untuk
menunjukkan risiko yang berkelanjutan pada tekanan darah yang lebih tinggi dari
kisaran normal. JNC7 (2003)[2] menggunakan istilah pra-hipertensi untuk tekanan
darah dalam kisaran sistolik 120–139 mmHg dan/atau diastolik 80–89 mmHg,
sedangkan Pedoman ESH-ESC (2007) [4] dan BHS IV (2004)[5] menggunakan
kategori optimal, normal, dan normal tinggi untuk membagi tekanan sistolik di bawah
140 mmHg dan diastolik di bawah 90 mmHg. Hipertensi juga digolongkan lagi
sebagai berikut: JNC7 membedakan hipertensi derajat I, hipertensi derajat II, dan
hipertensi sistolik terisolasi. Hipertensi sistolik terisolasi mengacu pada peningkatan
tekanan sistolik dengan tekanan diastolik normal dan umumnya terjadi pada
kelompok usia lanjut.[2]Pedoman ESH-ESC (2007)[4] dan BHS IV (2004),
[5]
mendefinisikan hipertensi derajat ketiga (derajat III) untuk orang dengan tekanan
darah sistolik di atas 179 mmHg atau tekanan diastolik di atas 109 mmHg. Hipertensi
tergolong “resisten” bila [[Obat farmasi|obat-obatan] tidak mengurangi tekanan darah
menjadi normal.[2]
2.    Neonatus dan bayi
Hipertensi pada neonatus jarang terjadi, dan hanya terjadi pada sekitar 0,2 sampai 3% neonatus. Tekanan
darah tidak diukur secara rutin pada bayi baru lahir yang sehat. [6] Hipertensi lebih umum terjadi pada bayi baru lahir
berisiko tinggi. Berbagai faktor, seperti usia gestasi, usia pascakonsepsi, dan berat badan lahir perlu
dipertimbangkan ketika memutuskan apakah tekanan darah termasuk normal pada neonatus.
3.    Anak dan remaja
Hipertensi cukup umum terjadi pada anak dan remaja (2–9% bergantung pada usia, jenis kelamin, dan
etnisitas)[7] dan dikaitkan dengan risiko jangka panjang mengalami kesehatan yang buruk.[8]Rekomendasi saat ini
adalah agar anak di atas usia tiga tahun diperiksa tekanan darahnya kapanpun mereka melakukan kunjungan atau
pemeriksaan rutin. Tekanan darah tinggi baru dipastikan setelah kunjungan berulang sebelum menyatakan seorang
anak mengalami hipertensi.[8] Tekanan darah meningkat seiring usia pada masa kanak-kanak, dan pada anak,
hipertensi didefinisikan sebagai rerata tekanan darah sistolik dan diastolik yang pada tiga atau lebih waktu yang
berbeda, sama dengan atau lebih tinggi dari persentil ke-95 yang sesuai untuk jenis kelamin, usia, dan tinggi badan
anak. Pra-hipertensi pada anak didefinisikan sebagai rerata tekanan darah sistolik dan diastolik yang lebih besar atau
sama dengan persentil ke-90, tapi lebih kecil dari persentil ke-95.[8] Pada remaja, diusulkan bahwa hipertensi dan
pra-hipertensi didiagnosis dan digolongkan dengan menggunakan kriteria dewasa.
H.   Patofisiologi
Bagi kebanyakan orang dengan hipertensi esensial (primer), peningkatan resistensi terhadap aliran darah
(resistensi perifer total) bertanggung jawab atas tekanan yang tinggi itu sementara curah jantungtetap normal. Ada
bukti bahwa beberapa orang muda yang menderita prahipertensi atau “hipertensi perbatasan” memiliki curah jantung
yang tinggi, denyut jantung meningkat, dan resistensi perifer yang normal. Kondisi ini disebut sebagai hipertensi
perbatasan hiperkinetik. Para penderita ini mengembangkan fitur yang khas dari hipertensi esensial tetap di
kemudian hari saat curah jantung menurun dan resistensi perifer meningkat seiring bertambahnya usia. Masih
diperdebatkan apakah pola ini biasa dialami oleh semua orang yang pada akhirnya mengalami hipertensi.
Peningkatan resistensi perifer pada hipertensi tetap terutama disebabkan oleh penyempitan struktur arteri dan
arteriol kecil. Penurunan jumlah atau kepadatan pembuluh kapiler juga bisa ikut berperan dalam resistensi perifer.
Hipertensi juga dikaitkan dengan penurunan kelenturan vena perifer, yang bisa meningkatkan venous return (volume
darah yang kembali ke jantung), meningkatkan preload jantung, dan akhirnya menyebabkan disfungsi diastolik.
Masih belum jelas apakah peningkatan konstriksi aktif pembuluh darah memegang peranan dalam hipertensi
esensial.
Tekanan nadi (perbedaan antara tekanan darah sistolik dan diastolik) sering meningkat pada orang lanjut
usia dengan hipertensi. Pada keadaan ini dapat terjadi tekanan sistolik sangat tinggi di atas normal, tetapi tekanan
diastolik mungkin normal atau rendah. Kondisi ini disebut hipertensi sistolik terisolasi.[40] Tekanan nadi yang tinggi
pada orang lanjut usia dengan hipertensi atau hipertensi sistolik terisolasi disebabkan karena peningkatan kekakuan
arteri, yang biasanya menyertai penuaan dan dapat diperberat oleh tekanan darah tinggi.[41]Banyak mekanisme yang
sudah diajukan sebagai penyebab peningkatan resistensi yang ditemukan dalam sistem arteri pada hipertensi.
Sebagian besar bukti menunjukkan keterlibatan salah satu atau kedua penyebab beriku:
      Gangguan dalam penanganan garam dan air pada ginjal, khususnya gangguan sistem
renin-angiotensinintrarenal[42]
      Abnormalitas sistem saraf simpatis[43]
Mekanisme tersebut tidak berdiri sendiri dan tampaknya keduanya ikut berperan sampai batas tertentu
dalam kebanyakan kasus hipertensi esensial. Juga diduga bahwa disfungsi endotel (gangguan fungsi dinding
pembuluh darah) dan peradangan vaskular juga ikut berperan dalam meningkatkan resistensi perifer dan kerusakan
pembuluh darah pada hipertensi.[44][45]
I.      Diagnosis
Pemeriksaan yang dilakukan pada hipertensi
Sistem Pemeriksaan
Renal Urinalisis mikroskopik, proteinuria, darah BUN(ureum) dan/atau kreatinin
Endokrin Darah natrium, kalium, kalsium, TSH (thyroid-stimulating hormone).
Metaboli Glukosa darah puasa, kolesterol total,
k kolesterol HDL dan LDL, trigliserida
Lain-lain Hematokrit, elektrokardiogram, dan foto Röntgen dada
Sources: Harrison's principles of internal medicineothers

Diagnosis hipertensi ditegakkan saat pasien menderita tekanan darah tinggi secara persisten. Biasanya,
[3]
 untuk menegakkan diagnosis diperlukan tiga kali pengukuran sfigmomanometer yang berbeda dengan interval satu
bulan. Pemeriksaan awal pasien dengan hipertensi mencakup anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap. Dengan
tersedianya pemantauan tekanan darah ambulatori 24 jam dan alat pengukur tekanan darah di rumah, demi
menghindari kekeliruan diagnosis pada pasien dengan hipertensi white coat
(jenis hipertensi yang disebabkan oleh stres saat bertemu dokter atau berada dalam suasana medis) telah dihasilkan
suatu perubahan protokol. Di Inggris, praktik terbaik yang dianjurkan saat ini adalah dengan melakukan follow-up
satu kali hasil pengukuran tekanan darah yang tinggi di klinik dengan pengukuran ambulatori. Follow-up juga dapat
dilakukan, walaupun kurang ideal, dengan memonitor tekanan darah di rumah selama kurun waktu tujuh hari.
Sekali diagnosis telah ditegakkan, dokter berusaha mengindentifikasi penyebabnya berdasarkan faktor
risiko dan gejala lainnya, bila ada. Hipertensi sekunder lebih sering ditemukan pada anak usia prapubertas dan
sebagian besar kasus disebabkan oleh penyakit ginjal. Hipertensi primer atau esensial lebih umum pada orang
dewasa dan memiliki berbagai faktor risiko, di antaranya obesitas dan riwayat hipertensi dalam keluarga.
[53]
Pemeriksaan laboratorium juga dapat dilakukan untuk mengidentifikasi kemungkinan penyebab hipertensi
sekunder, dan untuk menentukan apakah hipertensi menyebabkan kerusakan pada jantung, mata, dan ginjal.
Pemeriksaan tambahan untuk diabetes dan kadar kolesterol tinggidilakukan karena kondisi ini merupakan faktor
risiko terjadinya penyakit jantung dan mungkin memerlukan penanganan.
Kadar kreatinin darah diukur untuk menilai adanya gangguan ginjal, yang mungkin merupakan penyebab
atau akibat dari hipertensi. Kadar kreatinin darah saja dapat memberikan dugaan yang terlalu tinggi untuk laju filtrasi
glomerulus. Panduan terkini menganjurkan penggunaan rumus prediktif seperti formula Modification of Diet in Renal
Disease (MDRD) untuk memperkirakan laju filtrasi glomerulus (eGFR).[54] eGFR juga dapat memberikan nilai
awal/dasar fungsi ginjal yang dapat digunakan untuk memonitor efek samping obat antihipertensi tertentu pada
fungsi ginjal. Pemeriksaan protein pada sampel urin digunakan juga sebagai indikator sekunder penyakit ginjal.
Pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG/ECG) dilakukan untuk memeriksa tanda-tanda adanya beban yang berlebihan
pada jantung akibat tekanan darah tinggi.
Pemeriksaan ini juga dapat menunjukkan adanya penebalan dinding jantung (hipertrofi ventrikel kiri) atau
tanda bahwa jantung pernah mengalami gangguan ringan seperti serangan jantung tanpa gejala (silent heart attack).
Pemeriksaan foto Röntgen dada atau ekokardiogram juga dapat dilakukan untuk melihat tanda pembesaran atau
kerusakan pada jantung.
J.    KOMPLIKASI
a. Komplikasi ginjal
Mikroalbuminuria dan proteinuria dipstick merupakan tanda awal nefropati hipertensif. Pengendalian
tekanan darah memperlambat laju kerusakan ginjal. Dampak primernya adalah kerusakan pada pembuluh darah
ginjal akibat tekanan yang mengingkat. Kerusakan pada pembuluh resisten ini membuat endotel kapiler glomerulus
terkena hipertensi yang merusak.
b. Komplikasi kardiovaskular
Resistensi vascular yang tinggi membuat jantung teregang dan menyebabkan hipertopi ventrikel kiri.
Hipertensi juga meningkatkan aterosklerosis arteri.
c. Hipertensi maligna
 Ini merupakan hipertensi berat dengan perubahan retina dan kerusakan ginjal. Keadaan ini bisa baru terjadi
atau merupakan komplikasi dari hipertensi esensial atau sekunder. Gambaran utamanya adalah kerusakan
pembuluh darah ginjal, biasanya disebabkan oleh hipertensi. Kerusakan ini mengurangi aliran darah ginjal, memicu
sekresi rennin, yang semakin memacu hipertensi dan retensi natrium. Pembuluh yang rusak dapat menganggu sel
darah merah, meyebabkan anemia hemolitik mikro angiopatik.
K.   Pencegahan
Cukup banyak orang yang mengalami hipertensi tetapi tidak menyadarinya. Diperlukan tindakan yang
mencakup seluruh populasi untuk mengurangi akibat tekanan darah tinggi dan meminimalkan kebutuhan terapi
dengan obat antihipertensi. Dianjurkan perubahan gaya hidup untuk menurunkan tekanan darah, sebelum memulai
terapi obat. Pedoman British Hypertension Society 2004 mengajukan perubahan gaya hidup yang konsisten dengan
pedoman dari US National High BP Education Program tahun 2002  untuk pencegahan utama bagi hipertensi sebagai
berikut:
1.    Menjaga berat badan normal (misalnya, indeks massa tubuh 20–25 kg/m2).
2.    Mengurangi asupan diet yang mengandung natrium sampai <100 mmol/ hari (<6 g
natrium klorida atau <2,4 g natrium per hari). Banyak yang tidak menyadari
bahwa makanan ringan dan juga mie instan banyak mengandung garam, demikian
juga vetsin yang sebenarnya adalah monosodium glutamate,
karenasodium sebenarnya adalah nama lain dari natrium.
3.    Melakukan aktivitas fisik aerobik secara teratur, misalnya jalan cepat (≥30 menit per
hari, pada hampir setiap hari dalam seminggu).
4.    Batasi konsumsi alkohol tidak lebih dari 3 unit/hari pada laki-laki dan tidak lebih dari 2
unit/hari pada perempuan.
5.    Mengonsumsi makanan yang kaya buah dan sayuran (misalnya, sedikitnya lima porsi
per hari).
6.    Lakukan pengecekan tekanan darah secara rutin.
Beberapa orang yang memiliki sistem metabolisme tubuh yang buruk, biasanya
tidak akan mengalami perubahan yang signifikan bahkan setelah menjalankan hal-hal
di atas. Perubahan gaya hidup yang efektif dapat menurunkan tekanan darah setara
dengan masing-masing obat antihipertensi. Kombinasi dari dua atau lebih perubahan
gaya hidup dapat memberikan hasil lebih baik.
Golongan obat

Golongan obat antihipertensi yang banyak digunakan adalah diuretik tiazid (misalnya
bendroflumetiazid), beta‐bloker, (misalnya propanolol, atenolol,) penghambat angiotensin converting
enzymes (misalnya captopril, enalapril), antagonis angiotensin II (misalnya candesartan, losartan),
calcium channel blocker (misalnya amlodipin, nifedipin) dan alpha‐ blocker (misalnya doksasozin). Yang
lebih jarang digunakan adalah vasodilator dan antihipertensi kerja sentral dan yang jarang dipakai,
guanetidin, yang diindikasikan untuk keadaan krisis hipertensi.

Diuretik tiazid Diuretik tiazid adalah diuretic dengan potensi menengah yang menurunkan tekanan darah
dengan cara menghambat reabsorpsi sodium pada daerah awal tubulus distal ginjal, meningkatkan
ekskresi sodium dan volume urin. Tiazid juga mempunyai efek vasodilatasi langsung pada arteriol,
sehingga dapat mempertahankan efek antihipertensi lebih lama. Tiazid diabsorpsi baik pada pemberian
oral, terdistribusi luas dan dimetabolisme di hati. Efek diuretik tiazid terjadi dalam waktu 1‐2 jam setelah
pemberian dan bertahan sampai 12‐24 jam, sehingga obat ini cukup diberikan sekali sehari. Efek
antihipertensi terjadi pada dosis rendah dan peningkatan dosis tidak memberikan manfaat pada tekanan
darah, walaupun diuresis meningkat pada dosis tinggi.

Efek tiazid pada tubulus ginjal tergantung pada tingkat ekskresinya, oleh karena itu tiazid kurang
bermanfaat untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal.

Efek samping Peningkatan eksresi urin oleh diuretik tiazid dapat mengakibatkan hipokalemia, hipo‐
natriemi, dan hipomagnesiemi. Hiperkalsemia dapat terjadi karena penurunan ekskresi kalsium.
Interferensi dengan ekskresi asam urat dapat mengakibatkan hiperurisemia, sehingga pewnggunaan
tiazid pada pasien gout harus hati‐hati. Diuretik tiazid juga dapat mengganggu toleransi glukosa (resisten
terhadap insulin) yang mengakibatkan peningkatan resiko diabetes mellitus tipe 2. Efek samping yang
umum lainnya adalah hiperlipidemia, menyebabkan peningkatan LDL dan trigliserida dan penurunan
HDL. 25% pria yang mendapat diuretic tiazid mengalami impotensi, tetapi efek ini akan hilang jika
pemberian tiazid dihentikan.

Beta-blocker

Beta blocker memblok beta‐adrenoseptor. Reseptor ini diklasifikasikan menjadi reseptor beta‐1 dan
beta‐2. Reseptor beta‐1 terutama terdapat pada jantung sedangkan reseptor beta‐2 banyak ditemukan
di paru‐paru, pembuluh darah perifer, dan otot lurik. Reseptor beta‐2 juga dapat ditemukan di jantung,
sedangkan reseptor beta‐1 juga dapat dijumpai pada ginjal. Reseptor beta juga dapat ditemukan di otak.
Stimulasi reseptor beta pada otak dan perifer akan memacu penglepasan neurotransmitter yang
meningkatkan aktivitas system saraf simpatis. Stimulasi reseptor beta‐1 pada nodus sino‐atrial dan
miokardiak meningkatkan heart rate dan kekuatan kontraksi. Stimulasi reseptor beta pada ginjal akan
menyebabkan penglepasan rennin, meningkatkan aktivitas system rennin‐ angiotensin‐aldosteron. Efek
akhirnya adalah peningkatan cardiac output, peningkatan tahanan perifer dan peningkatan sodium yang
diperantarai aldosteron dan retensi air. Terapi menggunakan beta‐blocker akan mengantagonis semua
efek tersebut sehingga terjadi penurunan tekanan darah. Beta‐blocker yang selektif (dikenal juga
sebagai cardioselective beta‐blockers), misalnya bisoprolol, bekerja pada reseptor beta‐1, tetapi tidak
spesifik untuk reseptor beta‐1 saja oleh karena itu penggunaannya pada pasien dengan riwayat asma
dan bronkhospasma harus hati‐ hati. Beta‐blocker yang non‐selektif (misalnya propanolol) memblok
reseptor beta‐1 dan beta‐ 2. Beta‐blocker yang mempunyai aktivitas agonis parsial (dikenal sebagai
aktivita

ACE inhibitor

Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEi) menghambat secara kompetitif pembentukan


angiotensin II dari prekursor angiotensin I yang inaktif, yang terdapat pada darah, pembuluh darah,
ginjal, jantung, kelenjar adrenal dan otak. Angitensin II merupakan vaso‐konstriktor kuat yang memacu
penglepasan aldosteron dan aktivitas simpatis sentral dan perifer. Penghambatan pembentukan
angiotensin iI ini akan menurunkan tekanan darah. Jika sistem angiotensin‐renin‐aldosteron teraktivasi
(misalnya pada keadaan penurunan sodium, atau pada terapi diuretik) efek antihipertensi ACEi akan
lebih besar. ACE juga bertanggungjawab terhadap degradasi kinin, termasuk bradikinin, yang
mempunyai efek vasodilatasi. Penghambatan degradasi ini akan menghasilkan efek antihipertensi yang
lebih kuat. Beberapa perbedaan pada parameter farmakokinetik obat ACEi. Captopril cepat diabsorpsi
tetapi mempunyai durasi kerja yang pendek, sehingga bermanfaat untuk menentukan apakah seorang
pasien akan berespon baik pada pemberian ACEi. Dosis pertama ACEii harus diberikan pada malam hari
karena penurunan tekanan darah mendadak mungkin terjadi; efek ini akan meningkat jika pasien
mempunyai kadar sodium rendah.

Antagonis Angiotensin II

Reseptor angiotensin II ditemukan pada pembuluh darah dan target lainnya. Disubklasifikasikan menjadi
reseptor AT1 dan AT2. Reseptor AT1 memperantarai respon farmakologis angiotensin II, seperti
vasokonstriksi dan penglepasan aldosteron. Dan oleh karenanya menjadi target untuk terapi obat.
Fungsi reseptor AT2 masih belum begitu jelas. Banyak jaringan mampu mengkonversi angiotensin I
menjadi angiotensin II tanpa melalui ACE. Oleh karena itu memblok sistem renin‐angitensin melalui jalur
antagonis reseptor AT1 dengan pemberianantagonis reseptor angiotensin II mungkin bermanfaat.

Antagonis reseptor

angiotensin II (AIIRA)mempunyai banyak kemiripan dengan ACEi, tetapi AIIRA tidak mendegradasi kinin.
Karena efeknya pada ginjal, ACEi dan AIIRA dikontraindikasikan pada stenosis arteri ginjal bilateral dan
pada stenosis arteri yang berat yang mensuplai ginjal yang hanya berfungsi satu.
Efek samping ACEi dan AIIRA Sebelum mulai memberikan terapi dengan ACEi atau AIIRA fungsi ginjal dan
kadar elektrolit pasien harus dicek. Monitoring ini harus terus dilakukan selama terapi karena kedua
golongan obat ini dapat mengganggu fungsi ginjal. Baik ACEi dan AIIRA dapat menyebabkan
hiperkalemia karena menurun‐kan produksi aldosteron, sehingga suplementasi kalium dan penggunaan
diuretik hemat kalium harus dihindari jika pasien mendapat terapiACEI atau AIIRA. Perbedaan anatar
ACEi dan AIIRA adalah batuk kering yang merupakan efek samping yang dijumpai pada 15% pasien yang
mendapat terapi ACEi. AIIRA tidak menyebabkan batuk karena tidak mendegaradasi bradikinin.

Calcium channel

blocker Calcium channel blockers (CCB) menurunkan influks ion kalsium ke dalam sel miokard, sel‐sel
dalam sistem konduksi jantung, dan sel‐sel otot polos pembuluh darah. Efek ini akan menurunkan
kontraktilitas jantung, menekan pembentukan dan propagasi impuls elektrik dalam jantung dan
memacu aktivitas vasodilatasi, interferensi dengan konstriksi otot polos pembuluh darah. Semua hal di
atas adalah proses yang bergantung pada ion kalsium. Terdapat tiga kelas CCB: dihidropiridin (misalnya
nifedipin dan amlodipin); fenilalkalamin (verapamil) dan benzotiazipin (diltiazem). Dihidropiridin
mempunyai sifat vasodilator perifer yang merupakan kerja antihipertensinya, sedangkan verapamil dan
diltiazem mempunyai efek kardiak dan dugunakan untuk menurunkan heart rate dan mencegah angina.
Semua CCB dimetabolisme di hati.

Efek samping Pemerahan pada wajah, pusing dan pembengkakan pergelangan kaki sering dijumpai,
karena efek vasodilatasi CCB dihidropiridin. Nyeri abdomendan mual juga sering terjadi. Saluran cerna
juga sering terpengaruh oleh influks ion kalsium, oleh karena itu CCB sering mengakibatkan gangguan
gastro‐intestinal, termasuk konstipasi

Alpha-blocker Alpha‐blocker (penghambat adreno‐septor alfa‐1) memblok adrenoseptor alfa‐1 perifer,


mengakibatkan efek vasodilatasi karena merelaksaasi otot polos pembuluh darah. Diindikasikan untuk
hipertensi yang resisten.

Efek samping Alpha‐blocker dapat menyebabkan hipotensi postural, yang sering terjadi pada pemberian
dosis pertama kali. Alpha‐blocker bermanfaat untuk pasien laki‐laki lanjut usia karena memperbaiki
gejala pembesaran prostat.

Golongan lain Antihipertensi vasodilator (misalnya hidralazin, minoksidil) menurunkan tekanan darah
dengan cara merelaksasi otot polos pembuluh darah. Antihipertensi kerj a sentral (misalnya klonidin,
metildopa, monoksidin) bekerja pada adrenoseptor alpha‐2 atau reseptor lain pada batang otak,
menurunkan aliran simpatetik ke jantung, pembuluh darah dan ginjal, sehingga efek ahirnya
menurunkan tekanan darah. Efek samping Antihipertensi vasodilator dapat menyebabkan retensi cairan.
Tes fungsi hati harus dipantau selama terapi dengan hidralazin karena ekskresinya melalui hati.
Hidralazin juga diasosiakan dengan sistemiklupus eritematosus. Minoksidil diasosiasikan dengan
hipertrikosis (hirsutism) sehingga kkurang sesuai untuk pasien wanita.

Obat‐obat kerja sentral tidak spesifik atau tidak cukup selektif untuk menghindari efek samping sistem
saraf pusat seperti sedasi, mulut kering dan mengantuk, yang sering terjadi. Metildopa mempunyai
mekanisme kerja yang mirip dengan konidin tetapi dapat memnyebabkan efek samping pada sistem
imun, termasuk pireksia, hepatitis dan anemia hemolitik. Pemilihan terapi Update dari NICE dapat dilihat
pada Tabel 2. Perubahan utama pada pedoman NICE adalah beta‐blocker tidak lagi direkomendasikan
sebagai terapi lini pertama pada semua pasien. Beta blocker kurang efektif mengurangi kejadian
kardiovaskular mayor, terutama stroke, dibanding antihipertensi lainnya. Beta‐blocker juga kurang
efektif dibanding ACEi atau CCB dihidropiridin untuk mengurangi resiko diabetes, terutama pada pasien
yang mendapat terapi diuretik tiazid. Jika pasien yang menggunakan beta‐blocker memerlukan
antihipertensi lain, maka pilihan yang lebih dianjurkan diberikan adalah ACEi atau CCB, daripada tiazid.

Valsartan ditarik

Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) RI menarik obat
antihipertensi (darah tinggi) dan gagal jantung yang mengandung bahan aktif valsartan. 

Kandungan bahan aktif valsartan dalam obat antihipertensi atau penurun tekanan darah tinggi ini
dianggap berbahaya dan berpotensi menyebabkan kanker. 

"Dalam rangka perlindungan terhadap kesehatan masyarakat, BPOM RI telah meminta industri
farmasi terkait untuk melakukan penghentian produksi dan distribusi obat yang mengandung bahan
baku valsartan produksi Zhejiang Huahai Pharmaceuticals, Linhai, China," tulis BPOM dalam
keterangan di laman resminya.

Lihat juga:
Waktu Tepat Mulai Periksa Kesehatan Jantung

"Produk Valsartan yang tidak menggunakan bahan baku dari produsen tersebut di atas, masih dapat
dikonsumsi oleh masyarakat."

Valsartan adalah obat keras atau obat yang harus dikonsumsi dengan resep dokter. Obat ini
digunakan untuk pasien dengan tekanan darah tinggi, baik dikonsumsi tunggal maupun kombinasi
dengan obat antihipertensi lainnya. 

"Valsartan indikasikan untuk mengurangi risiko komplikasi stroke dan serangan jantung. Selain itu
juga digunakan pada penderita gagal jantung atau yang baru mengalami serangan jantung," tulis
BPOM.

Mengutip berbagai sumber, valsartan sendiri tergolong dalam obat angiotensin reseptor


blockers (ARBs). Obat ini akan bekerja dengan cara menenangkan pembuluh darah sehingga darah
mengalir lebih mudah. 

Obat antihipertensi dengan bahan baku valsartan buatan pabrik China ini juga sudah ditarik di
beberapa negara di Uni Eropa menemukan adanya pengotor Nitrosodimethylamine (NDMA). 

Nitrosodimethylamine sendiri bersifat racun, khususnya untuk liver manusia. Senyawa kimia ini
dikenal juga sebagai karsinogen manusia. 

Dalam dosis tinggi yang diujikan pada tikus laboratorium, NDMA merupakan hepatotoksin yang
potensial dan bisa menyebabkan fibrosis di liver. Timbulnya tumor pada liver setelah paparan kronis
sampai dosis rendah juga muncul dalam penelitian tersebut. 

Hanya saja penarikan obat antihipertensi ini hanya dilakukan terhadap obat antihipertensi yang
mengandung valsartan produksi pabrik China tersebut.

Dalam pernyataan resminya Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI telah meminta
industri untuk berhenti mendistribusikan obat hipertensi mengandung valsartan produksi
Zhejiang Huahai Pharmaceuticals, Linhai, China. Hal tersebut bermula dari temuan zat
pengotor Nitrosodimethylamine (NDMA) oleh Badan Pengawas Obat Eropa (EMA) pada awal
Juli lalu.

Menurut Reuters sejak itu Zhejiang Huahai meminta distributor dan konsumen mengembalikan
produk-produknya.

Disebutkan oleh BPOM bahwa di Indonesia produk ditarik sukarela oleh produsen. Beberapa
obat yang ditarik meliputi Varten Tablet 80 mg dan 160 mg buatan PT Actavis Indonesia serta
Valesco Kaplet Salut Selaput 40 mg, 80 mg dan 160 mg buatan PT Dipa Pharmalab Intersains.
Belakangan ini, nama valsartan sebagai obat untuk mengatasi tekanan darah tinggi
(hipertensi) dan gagal jantung sedang ramai diperbincangkan setelah adanya
penarikan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Apa itu valsartan dan mengapa sampai ditarik oleh BPOM?

Menurut keterangan BPOM, sebagai obat untuk mengatasi tekanan darah tinggi


dan gagal jantung, valsartan masuk dalam obat keras atau dikonsumsi dengan
resep dokter.
Obat ini bisa dikonsumsi untuk mengobati pasien dengan tekanan darah tinggi,
baik dalam bentuk tunggal maupun kombinasi dengan antihipertensi lain.

Valsartan diindikasikan untuk mengurangi risiko komplikasi strok dan serangan


jantung. Selain itu, juga digunakan pada penderita gagal jantung atau yang baru
mengalami serangan jantung.

Valsartan masuk dalam golongan angiotensin receptor blocker (ARB). Cara kerjanya


adalah menghambat efek angiotensin II yang menyebabkan pembuluh darah
menyempit. Efeknya, pembuluh darah dapat melebar dan menjadi rileks, sehingga
tekanan darah turun dan jantung akan lebih mudah memompa darah ke seluruh
tubuh.
BPOM dan beberapa negara Uni Eropa menarik produk yang menggunakan bahan
baku valsartan produksi Zhejiang Huahai Pharmaceuticals, Linhai, Tiongkok.

Hal tersebut dilakukan karena ditemukan adanya pengotor Nitrosodimethylamine


(NDMA). Oleh karena itu, BPOM meminta industri farmasi terkait untuk
melakukan penghentian produksi dan distribusi obat yang mengandung bahan
baku valsartan produksi Zhejiang Huahai Pharmaceuticals.

Industri farmasi pun telah menyatakan bersedia menarik seluruh obat yang
mengandung bahan baku valsartan produksi Zhejiang Huahai Pharmaceuticals
secara sukarela.

Ini termasuk Varten Tablet 80 mg dan 160 mg dari produsen PT. Actavis
Indonesia dan Valesco Kaplet Salut Selaput 40 mg, 80 mg dan 160 mg dari
produsen PT. Dipa Pharmalab Intersains.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (BPOM AS) pun menarik
beberapa obat yang mengandung valsartan karena adanya ketidakmurnian dalam
obat yang berpotensi menimbulkan risiko kanker.
Tindakan BPOM AS ini dilakukan setelah 22 negara lainnya mengeluarkan
penarikan yang melibatkan 2.300 valsartan yang dikirim ke Jerman, Norwegia,
Finlandia, Swedia, Hongaria, Belanda, Austria, Irlandia, Bulgaria, Italia, Spanyol,
Portugal, Belgia, Prancis, Polandia, Kroasia, Lithuania , Yunani, Kanada, Bosnia dan
Herzegovina, Bahrain dan Malta.

Secara umum, tidak semua obat yang mengandung valsartan termasuk dalam
penarikan kembali. Sebab, tak semua obat yang mengandung valsartan memiliki
keterkaitan dengan NDMA.

Bila valsartan tidak menggunakan bahan baku dari produsen Zhejiang Huahai
Pharmaceuticals, maka masih dapat dikonsumsi sesuai petunjuk dokter atau
apoteker. 
Dr. Gregory Prokopowicz, direktur Pusat Hipertensi Johns Hopkins, mengatakan
ada obat lain yang mengandung valsartan, beberapa dalam kombinasi dengan
amlodipine, dan mereka tampaknya tidak menjadi bagian dari penarikan kembali.
Amlodipine dapat digunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan obat lain untuk
mengobati tekanan darah tinggi dan nyeri dada.

Dr. Suzanne Steinbaum, juru bicara American Heart Association, mengatakan


bahwa pasien yang mengonsumsi valsartan yang telah ditarik kembali harus
berkonsultasi dengan dokter atau apoteker dan terus mengambil obat mereka
sampai mereka memiliki produk pengganti.

Suzanne berkata, kondisi pengobatan hipertensi dan gagal jantung ini serius.
Pasien bisa dirugikan jika mereka tiba-tiba berhenti mengonsumsi obat tersebut
tanpa resep pengganti.

Menurut Gregory, pasien bisa beralih ke produsen generik yang berbeda atau
mengambil obat lain dalam kelas obat yang sama. Kata Gregory, ada sejumlah obat
yang dapat dikonsumsi untuk beralih dari valsartan, misalnya losartan, irbesartan,
dan olmesartan.
Bila sudah mengganti obat, pasien harus memantau tekanan darah secara ketat.
Hal ini dilakukan karena tekanan darah mungkin merespons secara berbeda
terhadap obat baru dan dosis mungkin perlu disesuaikan. Rutin berkonsultasi
dengan dokter sangat penting selama masa penyesuaian

PENJELASAN BPOM RI

TENTANG

PENARIKAN OBAT ANTIHIPERTENSI GOLONGAN ANGIOTENSIN RECEPTOR


BLOCKER

Sehubungan dengan penarikan obat antihipertensi golongan angiotensin receptor


blocker (ARB) yaitu Irbesartan, Losartan dan Valsartan di Eropa dan Amerika Serikat,
serta menindaklanjuti penjelasan BPOM RI sebelumnya tanggal 12 Juli 2018 mengenai
Penarikan Obat Antihipertensi yang Mengandung Zat Aktif Valsartan, BPOM RI
memandang perlu memberikan penjelasan sebagai berikut:

1. Irbesartan, Losartan dan Valsartan adalah obat keras (dikonsumsi dengan resep
dokter) untuk mengobati pasien dengan tekanan darah tinggi, baik dalam bentuk
tunggal maupun kombinasi dengan antihipertensi lain.
2. Di beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat, telah dilakukan penarikan obat
antihipertensi golongan ARB yaitu Irbesartan, Losartan dan Valsartan dalam
bentuk tunggal dan kombinasi secara sukarela, karena ditemukan adanya
pengotor / impurities N-Nitrosodimethylamine (NDMA) dan N-
Nitrosodiethylamine (NDEA). Saat ini baik EMA (European Medicines Agency),
US FDA (Food and Drug Administration), MHRA (Medicines and Healthcare
products Regulatory Agency) maupun BPOM RI terus menerus melakukan
pengkajian lebih lanjut terhadap bahan baku tersebut.
3. Berdasarkan penelusuran BPOM RI, obat antihipertensi golongan ARB yang
beredar di Indonesia dan terdampak impurities NDMA dan NDEA adalah
Losartan dan Valsartan dengan bahan baku produksi Zhejiang Huahai
Pharmaceuticals, Linhai, China. Sedangkan Irbesartan yang ditarik oleh US FDA,
sumber bahan bakunya tidak digunakan untuk produk obat yang terdaftar di
Indonesia.                     Untuk pasien yang sudah mengonsumsi obat
antihipertensi dengan bahan baku yang terdampak impurities NDMA dan NDEA
tersebut di atas, dapat berkonsultasi dengan dokter/apoteker di fasilitas
pelayanan kesehatan/kefarmasian.
4. Dalam rangka perlindungan terhadap kesehatan masyarakat, BPOM RI telah
meminta industri farmasi terkait untuk melakukan penghentian produksi dan
distribusi obat yang mengandung bahan baku yang  terdampak impurities NDMA
dan NDEA. Industri farmasi telah menyatakan bersedia menarik seluruh obat
yang mengandung bahan baku Losartan tersebut secara sukarela/voluntary
recall (terlampir).     
5. Sesuai dengan prinsip utama dalam pemberian obat, BPOM RI mengimbau
kepada Sejawat Kesehatan Profesional dan semua pihak yang terkait, agar
mengedepankan kehati-hatian dan mengutamakan keselamatan pasien dalam
mempertimbangkan pemberian obat ini kepada pasien.
6. BPOM RI akan terus memantau dan menindaklanjuti permasalahan ini. Jika
masyarakat memerlukan informasi lebih lanjut dapat menghubungi contact
center HALO BPOM RI di nomor telepon 1-500-533 atau sms 0-8121-9999-533
atau email halobpom@pom.go.id atau Unit Layanan Pengaduan Konsumen
(ULPK) di seluruh Indonesia

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengumumkan valsartan yang merupakan
obat hipertensi ditarik secara sukarela oleh produsen. Varten Tablet 80 mg dan 160 mg buatan
PT Actavis Indonesia serta Valesco Kaplet Salut Selaput 40 mg, 80 mg dan 160 mg buatan PT
Dipa Pharmalab Intersains menjadi daftar yang ditarik.

Dalam rilis yang dikeluarkan secara resmi oleh BPOM, ini dikarenakan ditemukan adanya
pengotor Nitrosodimethylamine (NDMA). Badan Pengawas Obat Eropa (EMA)
dan BPOM hingga kini tengah menelusur terkait hal ini lebih lanjut.

Dihubungi oleh detikHealth, dr Hari Nugroho dari Institute of Mental Health Addiction And
Neurosience (IMAN) menjelaskan NDMA atau yang dikenal juga sebagai dimethylnitrosamine
(DMN).
Dokter yang kini sedang menempuh pendidikan di King's College London ini menuturkan,
NDMA merupakan zat yang dihasilkan dari proses industri yang menggunakan nitrat dan atau
nitrit dan amine di bawah batas kondisi pH. 

Zat ini banyak ditemukan diindustri seperti karet atau ban, penyamakan kulit, pembuatan
pestisida, industri pewarna dan juga pengolahan limbah, namun, dalam industri lain seperti
pengelolahan air minum pun dapat terjadi.

"Kayak di industri pengolahan air minum misalnya dimethyltriptamines (DMA) yang muncul
disitu ternyata dari air yang tercemar feses unggas dari pertanian atau karena cemaran
pestisida/disinfektan," jelasnya.

"Intinya selama industri tersebut menggunakan zat-zat yang menggunakan dimethylamine atau
trimethylamines yang kemudian zat tersebut berkontak dan bereaksi secara kimia dengan
garam nitrit, nitrous acid, NDMA bisa terbentuk," tutup dr Hari.

Anda mungkin juga menyukai