Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP DASAR TEORI HIPERTENSI

1. Definisi Hipertensi

Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah sistolik

menunjukkan hasil >140 mmHg dan tekanan darah diastolik menunjukkan

hasil >90 mmHg (Manangkot and Suindrayasa 2020).

Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu peningkatan

tekanan darah di dalam arteri. Dimana Hiper yang artinya berebihan, dan

Tensi yang artinya tekanan/tegangan, jadi hipertensi merupakan

gangguan pada sistem peredaran darah yang menyebabkan kenaikan

tekanan darah diatas nilai normal (Musakkar & Djafar, 2021).

Seseorang dinyatakan hipertensi apabila seseorang memiliki

tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan ≥ 90 untuk tekanan darah

diastolik ketika dilakukan pengulangan (Perhimpunan Dokter Spesialis

Kardiovaskular Indonesia, 2015).

2. Klasifikasi dan Penyebab Hipertensi

Ada 2 macam hipertensi menurut (Musakkar & Djafar, 2021) yaitu

a. Hipertensi esensial adalah hipertensi yang sebagian besar tidak


diketahui penyebabnya. Sekitar 10-16% orang dewasa yang
mengidap penyakit tekanan darah tinggi ini.
b. Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang diketahui penyebabnya.

Sekitar 10 % orang yang menderita hipertensi jenis ini.

Beberapa penyebab hipertensi menurut (Musakkar & Djafar, 2021),

diantaranya :

1) Keturunan

Jika seseorang memiliki orang tua atau saudara yang

mengidap hipertensi maka besar kemungkinan orang

tersebut menderita hipertensi.

2) Usia

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa semakin

bertambah usia seseorang maka tekanan darah pun akan

meningkat.

3) Garam

Garam dapat meningkatkan tekanan darah dengan

cepat pada beberapa orang.

4) Kolesterol

Kandungan lemak yang berlebih dalam darah dapat

menyebabkan timbunan kolesterol pada dinding pembuluh

darah, sehingga mengakibatkan pembuluh darah menyempit

dan tekanan darah pun akan meningkat.

5) Alkohol

Mengonsumsi alkohol yang berlebih dapat

meningkatkan tekanan darah.

6) Kurang olahraga

Kurang berolahraga dan bergerak dapat

meningkatkan tekanan darah, jika menderita hipertensi agar


tidak melakukan olahraga berat.

3. Patofisiologi

Tubuh memiliki metode pengendalian tekanan darah. Pertama

adalah reseptor tekanan di berbagai orang yang dapat mendeteksi

perubahan kekuatan maupun kecepatan kontraksi jantung, serta resistensi

total terhadap tekanan tersebut. Kedua adalah ginjal yang bertanggung

jawab atas penyesuaian tekanan darah dalam jangka panjang melalui

sistem renin-anggiotensin yang melibatkan banyak senyawa kimia.

Kemudian sebagai respons terhadap tingginya kadar kalium atau

angiotensin, steroid aldosteron dilepaskan dari kelenjar adrenal, yang salah

satunya berada di puncak setiap ginjal, dan meningkatkan retensi

(penahanan) natrium dalam tubuh.

Darah yang mengalir ditentukan oleh volume darah yang

dipompakan oleh ventrikel kiri setiap kontraksi dan kecepatan denyut

jantung. Tahanan vaskuler perifer berkaitan dengan besarnya lumen

pembuluh darah perifer. Makin sempit pembuluh darah, makin tinggi

tahanan terhadap aliran darah, makin besar dilatasinya makin tinggi kurang

tahanan terhadap aliran darah. Jadi, semakin menyempit pembuluh darah,

semakin meningkat tekanan darah. Dilatasi dan konstraksi pembuluh –

pembuluh darah dikendalikan oleh sistem saraf simpatis dan sistem renin-

angiotensi. Apabila sistem saraf simpatis dirangsang, ketekolamin, seperti

epinefrin dan norepinefrin akan dikeluarkan. Kedua zat kimia ini

menyebabkan kontraksi pembuluh darah, meningkatnya curah jantung,

dan kekuatan kontraksi ventrikel. Sama halnya pada sistem renin-

angiotensin, yang apabila distimulasi juga menyebabkan vasokontraksi


pada pembulu-pembuluh darah.

Tubuh memiliki sistem yang berfungsi mencegah perubahan

yekanan darah secara akut yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi dan

mempertahankan stabilitas tekanan darah dalam jangka panjang. Sistem

pengendalian pengendalian tekanan darah sangat kompleks. Pengendalian

dimulai dari enam sistem reaksi cepat seperti refleksi kardiovaskuler

melalui sistem saraf, reflex kemoreseptor, respons iskemia, susunan saraf

pusat yang berasal dari atrium, dan arteri pulmonalis otot polos, sedangkan

sistem pengendalian reaksi lambat melalui perpindahan cairan antara

sirkulai kapiler dan rongga intertisial yang dikontrol oleh hormone

angiotensin dan vasopressin. Kemudian dilanjutkan sistem poten dan

berlangsung dalam jangka panjang yang dipertahankan oleh sistem

pengaturan jumlah cairan tubuh yang melibatkan berbagai organ.

Jantung secara terus-menerus bekerja memompakan darah ke

seluruh organ tubuh. Jika tanpa gangguan, porsi tekanan yang dibutuhkan

sesuai dengan mekanisme tubuh. Namun, akan meningkat begitu ada

hambatan. Inilah yang menyebabkan tekanan darah meningkat. Semakin

besar hambatannya, tekanan darah akan semakin tinggi (Alifariki

2018:15).

4. Tanda dan Gejala Hipertensi

Tanda dan gejala Hipertensi Menurut (Salma, 2020), yaitu :

a. Sakit kepala (biasanya pada pagi hari sewaktu bangun tidur)

b. Bising (bunyi “nging”) di telinga

c. Jantung berdebar-debar

d. Pengelihatan kabur

e. Mimisan
f. Tidak ada perbedaan tekanan darah walaupun berubah posisi.

5. Komplikasi

Hipertensi yang tidak teratasi dapat menimbulkan komplikasi yang

berbahaya :

a. Payah Jantung.

Payah jantung (Congestive heart failure) adalah kondisi

jantung tidak mampu lagi memompa darah yang dibutuhkan tubuh.

Kondisi ini terjadi karena kerusakan otot jantung atau sistem listrik

jantung.

b. Stroke.

Hipertensi adalah faktor penyebab utama terjadinya stroke,

karena tekanan darah yang terlalu tinggi dapat menyebabkan

pembuluh darah yang sudah lama menjadi pecah. Bila hal ini terjadi

pada pembuluh darah otak, maka terjadi pendarahan otak yang dapat

berakibat kematian. Stroke juga dapat terjadi akibat sumbatan dari

gumpalan darah yang macet di pembuluh yang sudah menyempit.

c. Kerusakan Ginjal.

Hipertensi dapat menyempitkan dan menebalkan aliran darah

yang menuju ginjal, yang berfungsi sebagai penyaring kotoran tubuh.

Dengan adanya gangguan tersebut, ginjal menyaring lebih sedikit

cairan dan membuangnya kembali ke darah.

d. Kerusakan Pengeliatan.

Hipertensi dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah di

mata, sehingga mengakibatkan pengelihatan menjadi kabur atau buta.

Pendarahan pada retina mengakibatkan pandangan menjadi kabur,


kerusakan organ mata dengan memeriksa fundus mata untuk

menemukan perubahan yang berkaitan dengan hipertensi yaitu

retinopati pada hipertensi. Kerusakan yang terjadi pada bagian otak,

jantung, ginjal dan juga mata yang mengakibatkan penderita

hipertensi mengalami kerusakan organ mata yaitu pandangan menjadi

kabur.

6. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium;

1 ) Hb/Ht: untuk mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap volume

cairan(viskositas) dan dapat mengindikasikan faktor resiko

seperti: hipokoagulabilitas, anemia.

2 ) BUN/ kreatinin: memberikan informasi tentang perfusi/fungsi

ginjal. 3)

3 ) Glukosa: Hiperglikemi (DM adalah pencetus hipertensi) dapat

diakibatkan oleh pengeluaran kadar ketokolamin.

4 ) Urinalisa: darah, protein, glukosa, mengisyaratkan disfungsi

ginjal dan ada DM.

b. CT Scan: mengkaji adanya tumor cerebral, encelopati.

c. EKG: dapat menunjukan pola regangan, di mana luas, peninggian

gelombang a dalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi.

d. IU: mengidentifikasikan penyebab hipertensi seperti: batu ginjal,

perbaikan ginjal.

e. Foto dada: menunjukkan destruksi kalsifikasi pada area katup,

pembesaran jantung (Nisa 2017).


7. Penatalaksanaan Hipertensi

a. Non Farmakologis

Penatalaksanaan non farmakologis dengan mengubah gaya

hidup sangat penting dalam mencegah hipertensi dan merupakan

bagian yang tidak dapat dipisahkan untuk mengobati hipertensi.

Penatalaksanaan non farmakologi hipertensi terdiri dari berbagai

macam cara memodifikasi gaya hidup untuk menurunkan tekanan

darah tinggi yaitu :

1) Mempertahankan berat badan ideal : Berat badan ideal sesuai Body

mass Index (BMI) dengan rentang 18,5-24,9 kg/m2. BMI dpat di

ketahui dengan cara membagi berat badan dengan tinggi badan

yang telah di kuadratkan dalam satuan meter. Mengatasi obesitan

dengan cara melakukan diet rendah kolesterol namunkaya dengan

serat dan protein, jikan berhasil menurunkan berat badan 2.5-5 kg

maka tekana darah dapat diturunkan 5 mmHg.

2) Kurangi asupan natrium (sodium) Dapat dilakukan dengan cara

diet rendah garam yaitu tidak lebih dari 100 mmol/hari (kira-kira 6

gr NaCl atau 2,4 gr garam/hari). Jumlah yang lain dengan

mengurangi asupan garam sampai kurang dari 2300 mg (satu

sendok teh) setiap hari. Tekanan darah sistolik sebanyak 5 mmHg

dan tekanan diastolik ebanyak 2,5 mmHg dapan diturunkan dengan

mengonsumsi garam menjadi 1/2 sendok teh/ hari.

3) Batasi konsumsi alcohol. Peningkatan tekanan darah terjadi karena


konsumsi alkohol yang berlebihan. Peminum alkohol beresiko

empal kali lebih besar mengalami hipertensi dari pada mereka yang

tidak minum minuman alkohol.

4) Makan K dan Ca yang cukup dari diet dengan cara konsumsi diet

tinggi buah dan sayur dan diet rendah lemak dengan cara

mengurangi asupan lemak jenuh dan lemak total dapat

mempertahankan asupan diet potasium (>90 mmol (3500

mg)/hari). Kalium dapat menurunkan tekanan darah dengan dengan

meningkatkan jumlah natrium yang terbuang bersama air kencing.

Dengan mengonsumsi buah-buahan sebanyak 3-5 kali dalam

sehari, seseorang bisa mencapai asupan potasium yang cukup.

5) Menghindari merokok Merokok memang tidak menimbulgan

gejala hipertensi secara langsung, tetpi merokok dapat

meningkatkan resiko komplikasi pada pasien hipertensi seperti

stroke dan penyakit jantung, maka perlu dihindari merokok karena

dapat memperberat hipertensi.

6) Penurunan stress memang tidak menyebabkan hipertensi secara

langsung namun dapat menyebabakan kenaikan yang sangat tinggi

sementara waktu (sheps, 2005). Menghindari stress dengan cara

menciptakan lingkungan yang menyenangkan bagi penderita

hipertensi dan memperkenalkan berbagai metode relaksasi seperti

meditasi atau yoga yang dapat mengontrol sistem saraf yang dapat

menurunkan tekanan darah tinggi.

7) Terapi massage (pijat) Pada prinsipnya pijat untuk penderita


hipertensi ialah pijatan untuk memperlancar aliran darah dalam

tubuh sehingga dapat meminimalisir gangguan hipertensi dan

komplikasinya, resiko hipertensi dapat ditekan dengan ketika

semua jalur energi terbuka dan aliran energi tidak lagi terhalang

oleh ketegangan otot (Wijaya & Putri, 2013).

b. Terapi Farmakologi

Terapi obat pada penderita hipertensi dimulai dengan salah satu

obat berikut (Wijaya, 2013):

1) Diuretik Hidroklorotiazid adalah diuretik yang paling sering

diresepkan untuk mengobati hipertensi ringan. Hidroklorotiazid

dapat diberikan sendiri pada klien dengan hipertensi ringan atau

klien yang baru. Banyak obat antihipertensi dapat menyebabakan

retensi cairan; karena itu, seringkali diuretik diberi bersama

antihipertensi.

2) Simpatolitik Penghambat (adrenergik berkerja disentral

simpatolitik), penghambat adregenik alfa, dan penghambat neuron

adregenik diklasifikasikan sebagai penekan simpatetik, atau

simpatolitik penghambat adregenik beta, dibahas sebelumnya, juga

dianggap sebagai simpatolitik dan menghambat reseptor beta.

3) Penghambat adrenergik-alfa Golongan obat ini memblok reseptor

adregenik-alfa1, menyebabkan vasodilatasi dan penurunan tekanan

darah. Penghambat beta juga menurunkan lippoprotein berdensitas

sangat rendah (veri low-density lipoprotein-VLDL) dan lipoprotein

berdensitas rendah (low-density lipoproteins-LDL) yang


bertanggung jawab dalam penimbunan lemak diarteri (arterios

klerosis)

4) Penghambat neuron adregenik (simpatolitik yang berkerja di

ferifer) Merupakan obat antihipertensi kuat yang menghambat

neropinefrin dari ujung saraf simpatis, sehingga pelepasan

norepinefrin menjadi berkurang dan ini menyebabkan baik curah

jantung maupun tahanan varkular perifer menurun. Reserpin dan

guanetidin (dua obat yang paling kuat) dipakai untuk

mengendalikan hipertensi berat. Hipotensi orostatik merupakan

efek samping yang sering terjadi klien harus dinasehatkan untuk

bangkit perlahan-lahan dari posisi berbaring atau duduk. Obat-obat

dalam kelompok ini dapat menyebabakan retensi natrium dan air.

5) Vasodilator arterior yang berkeja langsung vasodilator yang

berkerja langsung adalah obat tahap III yang berkerja dengan

merelaksasikan otot-otot polos pembulu darah, terutama arteri,

sehingga menyebabkan vasodilatsi. Dengan terjadinya vasodilatasi,

tekanan darah akan turun dan natrium serta air tahanan, sehingga

terjadi edema perifer. Diuretik dapat diberikan bersama-sama

dengan vasodilator yang berkerja langsung untuk mengurangi

edema. Refleks takikardis disebabkan oleh vasodilatasi dan

menurunya tekanan darah.

6) Antagonis angiotensin (ACE Inhibitor) Obat dalam golongan ini

menghambat enzim pengubah angiotensin (ACE), yang nantinya

akan menghambat pembentukan angiotensin II (vasokonstriktor)


dan menghambat pelepasan aldosteron. Aldosteron meningkat

retensi natrium dan ekskresi kalium. Jika aldosteron dihambat,

natrium diekskresikan bersama-sama dengan air. Kaptopril,

enalapril, dan lisinopril adalah ketiga antagonis angiotensin. Obat-

obat ini dipakai pada klien dengan kadar renin serum yang tinggi.

Secara umum terapi farmakologi pada hipertensi dimulai bila pada

pasien hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami penurunan

tekanan darah setelah > 6 bulan menjalani pola hidup sehat dan

pada pasien dengan hipertensi derajat 2.

B. KEPATUHAN PENGOBATAN

1. Defenisi Kepatuhan Pengobatan

Kepatuhan pengobatan adalah tingkat kesediaan serta sejauh

mana upaya dan perilaku seorang pasien dalam mematuhi instruksi,

aturan atau anjuran medis yang diberikan oleh seorang dokter atau

profesional kesehatan lainnya untuk menunjang kesembuhan pasien

tersebut.Kepatuhan merupakan perilaku yang tidak mudah untuk

dijalankan, karena untuk mencapai kesembuhan dari suatu penyakit

diperlukan kepatuhan atau keteraturan berobat bagi setiap pasien. Pasien

dianggap patuh dalam pengobatan adalah yang menyelesaikan proses

pengobatan secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6

bulan sampai dengan 9 bulan (Depkes RI, 2000).

Kepatuhan pengobatan sebagai perilaku pasien secara luas yaitu

termasuk di-dalamnya melaksanakan pengobatan, mengikuti diet dan


mengubah gaya hidup. Agar seseorang patuh diperlukan komitmen dan

partisipasi semua stakeholders di sistem pelayanan kesehatan.

Ketidakpatuhan berobat merupakan problem multidimensional yang

membutuhkan strategi inovatif yang berbeda, tergantung ketersediaan

sumber di lingkungan tersebut dan kerja sama serta dukungan petugas

kesehatan, konselor, masyarakat dan anggota keluarga.

Berikut definisi dan pengertian kepatuhan pengobatan dari beberapa

sumber buku:

a. Menurut Niven (2002), kepatuhan pengobatan adalah tingkat perilaku

penderita dalam mengambil suatu tindakan pengobatan, misalnya

dalam menentukan kebiasaan hidup sehat dan ketetapan berobat.

Dalam pengobatan, seseorang dikatakan tidak patuh apabila orang

tersebut melalaikan kewajibannya berobat, sehingga dapat

mengakibatkan terhalangnya kesembuhan. 

b. Menurut Pratita (2012), kepatuhan pengobatan adalah perilaku untuk

mentaati saran-saran atau prosedur dari dokter tentang penggunaan

obat, yang sebelumnya didahului oleh proses konsultasi antara pasien

dengan dokter sebagai penyedia jasa kesehatan.Menurut Smet (1994),

kepatuhan pengobatan merupakan perilaku pasien yang mentaati

semua nasihat dan petunjuk yang dianjurkan oleh kalangan tenaga

medis. Mengenai segala sesuatu yang harus dilakukan untuk

mencapai tujuan pengobatan, salah satu diantaranya adalah kepatuhan

dalam minum obat.

c. Menurut Taylor (1991), kepatuhan pengobatan adalah perilaku yang


menunjukkan sejauh mana individu mengikuti anjuran yang

berhubungan dengan kesehatan atau penyakit. 

d. Menurut Siregar (2006), kepatuhan pengobatan adalah tingkat

ketepatan perilaku seorang individu dengan nasihat medis atau

kesehatan dan menggambarkan penggunaan obat sesuai dengan

petunjuk pada resep serta mencakup penggunaannya pada waktu

yang benar.

2. Jenis-Jenis Kepatuhan Pengobatan 

Menurut Cramer (1991), kepatuhan pengobatan dibagi menjadi

dua jenis, yaitu:

a. Kepatuhan penuh (Total Compliance). Pada keadaan ini penderita

tidak hanya berobat secara teratur sesuai batas waktu yang ditetapkan

melainkan juga patuh meminum obat secara teratur sesuai petunjuk. 

b. Pasien yang sama sekali tidak patuh (Non Complience). Pada keadaan

ini pasien putus obat atau tidak mengkonsumsi obat sama sekali.

3. Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Pengobatan 

Menurut Brunner dan Suddarth (2002), terdapat beberapa variabel

yang menjadi faktor kepatuhan pengobatan, yaitu:

a. Variabel demografi, seperti usia, jenis kelamin, status sosio ekonomi

dan pendidikan.

b. Variabel penyakit, seperti keparahan penyakit dan hilangnya gejala

akibat terapi.

c. Variabel program teraupetik, seperti kompleksitas program dan efek

samping yang tidak menyenangkan.

d. Variabel psikososial, seperti intelegensia, sikap terhadap tenaga


kesehatan, penerimaan, atau penyangkalan terhadap penyakit,

keyakinan agama atau budaya, dan biaya finansial.

Menurut Niven (2002), terdapat empat faktor yang mempengaruhi

kepatuhan pengobatan, yaitu sebagai berikut:

a. Keyakinan, Sikap dan Kepribadian 

Ahli psikologi telah menyelidiki tentang hubungan antara

pengukuran-pengukuran kepribadian dan kepatuhan. Mereka

menemukan bahwa data kepribadian secara benar dibedakan antara

orang yang patuh dengan orang yang gagal. Orang-orang yang tidak

patuh adalah orang-orang yang lebih mudah mengalami depresi,

ansietas,kurang memperhatikan kesehatannya, memiliki kekuatan ego

yang lebih lemah dan yang kehidupan sosialnya lebih memusatkan

perhatian pada dirinya sendiri.

b. Pemahaman tentang Instruksi 

Tidak seorang pun mematuhi instruksi jika ia salah paham

tentang instruksi yang diberikan padanya. Penelitian menunjukkan

bahwa lebih dari 60% responden yang diwawancarai setelah bertemu

dengan dokter salah mengerti tentang instruksi yang diberikan kepada

mereka. Hal ini disebabkan oleh kegagalan profesional dalam

memberikan informasi lengkap, penggunaan istilah-istilah medis dan

memberikan banyak instruksi yang harus diingat oleh pasien.

c. Kualitas Interaksi

Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan

pasien merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat

kepatuhan. Meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan


pasien adalah suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada

pasien setelah memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien

membutuhkan penjelasan tentang kondisinya saat ini, apa

penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi

seperti itu.

d. Isolasi Sosial dan Keluarga 

Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh

dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat

juga menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka

terima. Keluarga juga memberi dukungan dan membuat keputusan

mengenai perawatan dari anggota keluarga yang sakit.

4. Cara – Cara Mengurangi Ketidakpatuhan

Menurut Dinicola dan Dimatteo ( Neil, 2000) ada berbagai cara

untuk mengatasi ketidakpatuhan pasien antara lain:

a. Mengembangkan tujuan dari kepatuhan itu sendiri, banyak dari

pasien yang tidak patuh yang memiliki tujuan untuk mematuhi

nasihat-nasihat pada awalnya. Pemicu ketidakpatuhan dikarenakan

jangka waktu yang cukup lama serta paksaan dari tenaga kesehatan

yang menghasilkan efek negatif pada penderita sehingga awal mula

pasien mempunyai sikap patuh bisa berubah menjadi tidak patuh. 11

b. Perilaku sehat, hal ini sangat dipengaruhi oleh kebiasaan, sehingga

perlu dikembangkan suatu strategi yang bukan hanya untuk

mengubah perilaku, tetapi juga mempertahankan perubahan tersebut.


Kontrol diri, evaluasi diri dan penghargaan terhadap diri sendiri

harus dilakukan dengan kesadaran diri. Modifikasi perilaku harus

dilakukan antara pasien dengan pemberi pelayanan kesehatan agar

terciptanya perilaku sehat.

c. Dukungan sosial, dukungan sosial dari anggota keluarga dan sahabat

merupakan faktor-faktor penting dalam kepatuhan pasien.

Anda mungkin juga menyukai