Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat. Keluarga
didefinisikan dengan istilah kekerabatan dimana individu bersatu dalam suatu
iakatan perkawinan dengan menjadi orang tua. Dalam arti luar anggota keluarga
merupakan mereka yang memiliki hubungan personal dan timbal balik dalam
menjalankan kewajiban dan memberi dukungan yang disebabkan oleh kelahiran,
adopsi, maupun perkawinan (Stuart, 2014). Keluarga merupakan suatu sistem
sosial dan kelompok kecil yang terdiri dari individu-individu yang memiliki
hubungan erat satu sama lain, saling tergantung yang diorganisir dalam satu unit
tunggal dalam rangka mencapai tujuan tertentu (Friedman dalam Hidayat, 2021)
Keluarga memiliki siklus kehidupan yang didalamnya terdapat tahap-
tahap yang dapat diprediksi seperti halnya individu-individu yang mengalami
pertumbuhan dan perkembangan secara terus menerus. Perkembangan keluarga
adalah proses perubahan yang terjadi pada sistem keluarga meliputi keluarga
perubahan pola interaksi dan hubungan antar anggotanya disepanjang waktu,
tahap perkembanagn keluarga dimulai dari tahap keluarga baru sampai dengan
tahap keluarga usia lanjut. Pada tahap perkembangan usia lanjut ini dimulai dari
salah satu pasangan pensiun, dan berlanjut saat salah satu pasangan meninggal
sampai keduanya meninggal. Tugad perkembangan keluarga usia lanjut yaitu
menerima penurunan kemampuan dan keterbatasan, menyesuaikan dengan masa
pensiun, mengatur pola hidup yang terorganisis, menerima kehilangan dan
kematian dengan tentram (nadirawati, 2018).
Masalah yang biasanya terjadi pada keluarga lansia antara lain
menurunnya fungsi dan kekuatan fisik, sumber finansial tidak memadai,
kesepian, dan usia lanjut merupakan usia yang beresiko tinggi terhadap penyakit-
penyakit degeneratif seperti jantung koroner (PJK), hipertensi, diabetes millitus,
rematik, dan kanker. Salah satu penyakit yang sering dialami lansia adalah
hipertensi. Hipertensi sering disebut pembunuh terselubung, hipertensi tidak
memberikan gejala kepada penderita. Namun bukan berarti hal ini tidak
berbahaya. Pada umumnya semua gangguan medis yang timbul biasanya diikuti
dengan tanda dan gejalanya. Hipertensi cenderung meningkat dengan
bertambahnya usia (Santo, 2010).
Hingga saat ini hipertensi masih menjadi masalah kesehatan yang cukup
besar untuk diatasi. World Health Organization (WHO) menjelaskan
bahwa hipertensi terus meningkat setiap tahunnya dan diperkerikan akan ada 1,5
miliar orang akan menderita hipertensi ditahun 2025 dan juga diperkirakan 10,44
juta orang meninggal karena hipertensi dan komplikasi hipertensi setiap tahunnya

(Kemenkes RI, 2019). Badan kesehatan dunia atau WHO menjelaskan bahwa
hipertensi menyerang 22% penduduk dunia (WHO, 2014), sedangkan di Asia
Tenggara kejadian hipertensi mencapai 36% (Tirtasari & Kodim, 2019).
Indonesia memiliki angka prevalensi hipertensi sebesar 34, 11% sedangkan untuk
prevalensi hipertensi di Yogyakarta adalah sebesar 32,86% lebih rendah dari
angka nasional (34,11%). Angka prevalensi tersebut menempatkan Yogyakarta
pada urutan ke-12 sebagai provinsi dengan hipertensi (Kemenkes RI, 2019).
Prevalensi hipertensi tertinggi di Yogyakarta adalah di Gunung Kidul (39,25%),
kedua Kulon Progo (34,70% ), ketiga Sleman (32,01%), keempat Bantul
(29,89%), dan yang terakhir Kota Yogyakarta (29,28%) (Kemenkes RI, 2019).
Menurut data Dinkes Sleman (2020) hipertensi merupakan salah satu penyakit
yang masuk kedalam sepuluh besar penyakit yang ada di Sleman dengan jumlah
kasus 138,702. Salah satu Kecamatan di Sleman dengan penderita hipertensi
terbanyak berada di Kecamatan Kalasan yaitu sebanyak 6.138 orang (Dinkes
Sleman, 2020).
Penderita hipertensi terbanyak adalah lanjut usia atau
lansia. Hipertensi lansia yang ditemukan dikabupaten Bantul menurut
penelitian Yulianto (2016). Berdasarkan data Susenas 2014, Jumlah lansia di
Indonesia mencapai 20,24 juta jiwa, setara dengan 8,03% dari seluruh penduduk
Indonesia tahun 2014. Provinsi dengan jumlah penduduk lanjut usia
yang tinggi yaitu Yogyakarta (13,05%), Jawa Tengah (11,11%), Jawa Timur
(10,96%), Bali (10,05%) (BPS, 2015). Penduduk lansia terbesar di Yogyakarta
berasal dari Kabupaten Sleman, yaitu berkisar 135.644 orang atau 12,95% dari
jumlah penduduk Sleman (Pemkab Sleman, 2015).
Gejala umum yang dialami penderita hipertensi pada umumnya yang
sering kali memiliki kelihan pusing, mudah lelah, jantung berdebar-debar, sulit
bernafas setelah bekerja keras, mudah lelah, mudah marah, tengkuk terasa tegang
atau nyeri akut leher, nyeri dada, sukar tidur, dan sebagainya (Sheps, 2015).
Nyeri kepala hipertensi pada lansia terjadi adanya peningkatan dari hipertensi
atau tekanan darah tinggi, dimana hal itu disebabkan adanya penyumbatan pada
sistem peredaran darah baik jantungnya, dan serangkaian pembuluh darah arteri
vena yang menyangkut darah. Hal ini membuat aliran darah dari sirkulasi
terganggu dan menyebabkan tekanan meningkat. Jaringan yang sudah terganggu
akan terjadi penurunan oksigen dan terjadinya karbondioksida. Lalu, terjadi
metabolisme anaerob dalam tubuh yang meningkatkan asam laktat dan
menstimulasi peka terhadap nyeri kepala pada otak.kiri kepala pada lansia juga
disebabkan oleh pergeseran jaringan intrakanial, dimana nyeri kepala merupakan
cara tubuh memberi alarm bahwa ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi
dengan kesehatan kita ada rasa sakit yang tidak perlu dirisaukan, tapi ada juga
yang merupakan sinyal penting dan tidak boleh diabaikan. Mengalami nyeri
kepala hipertensi yang sangat hebat secara tiba-tiba bisa menjadi salah satu tanda
adanya penyakit serius. Pasien hipertensi jika tidak ditangani sejak dini akan
menimbulkan suatu dampak, Dampak hipertensi sendiri yaitu penyakit jantung,
stroke, masalah periferal dan juga penyakit pada ginjal (sucipto, 2014). Tingginya
angka kejadian hipertensi serta penatalaksanan yang tidak dilakukan dengan baik
dapat menyebabkan komplikasi seperti stroke, infark miokard, gagal jantung,
gagal ginjal kronik, retinopati, bahkan kematian premature (kemenkes RI, 2018).
Upaya untuk melakukan pencegahan komplikasi hipertensi
adalah melaksanakan self-management sebagai salah satu managemen penyakit
dalam kehidupan sehari – hari (Richard & Shea, 2011). Olahraga secara teratur
merupakan bagian dari self-management dalam membantu mengontrol tekanan
darah. Berolahraga secara teratur dapat menurunkan tekanan darah sistolik
sebesar
6-12 mmHg dan diastolik sebesar 3-7 mmHg pada penderita hipertensi yang
resisten (Rahadiyati, 2013). Olahraga yang dimaksud seperti jalan pagi, senam,
renang, dan bersepeda. Upaya dari penanganan manajemen nyeri hipertensi pada
lansia bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa sakit dan
ketidaknyamanan. Penanganan farmakologi sendiri menggunakan obat-obatan
anti hipertensi. Secara farmakologi biasanya dianggap mahal oleh masyarakat
sehingga penanganan non farmakologi menjadi alternatif yang dapat dilakukan
salah satunya dengan senam yoga (Kustiningsih, 2017). Senam yoga bukanlah
satu-satunya senam yang dapat digunakan umtuk menangani hipertensi, terdapat
senam hipertensi lainnya seperti senam aerobik, senam lantai, senam irama,
senam tera.
Senam dapat menstimulasi pengeluaran hormon endorphin. Endorphin
adalah neuropeptide yang dihasilkan tubuh pada saat rileks atau tenang. Hormone
ini dapat berfungsi sebagai obat penenang alami yang di produksi otak yang
membuat rasa nyaman dan meningkatkan kadar endorphin dalam tubuh untuk
mengurangi tekanan darah tinggi. Senam terbukti dapat meningkatkan kadar b-
endorphin sampai 5 kali di dalam darah. Semakin banyak melakukan senam
maka semakin tinggi pula kadar b-endorphin akan keluar dan ditangkap oleh
reseptor di dalam hypothalamus dan sistim limbic, yang berfungsi untuk
mengatur emosi. Peningkatan b-endorphin terbukti berhubungan erat dengan rasa
nyeri, peningkatan daya ingat, penurunan tekanan darah dan pernafasan
(Triyanto, 2014).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Susmawati Ruby (2018)
menunjukkan bahwa pemberian senam yoga dapat menurunkan tekanan darah
sistolik dan diastolik. Berdasarkan hasil uji statistik Wilcoxon untuk mengetahui
pengaruh senam yoga terhadap tekanan darah pada penderita hipertensi di
dapatkan nilai signifikan tekanan darah sistolik 0,000 (p<0,05) dan tekanan darah
diastolik 0,000 (p<0,05).
Yoga terbukti dapat menurunkan kadar b-endhorpin empat sampai lima
kali didalam darah. Latihan yoga dapat menstimulasi pengeluaran hormon
endhorpin. Endhorpin adalah neuropeptide yang menghasilkan tubuh pada
kondisi relak/tenang. Endhorpin dihasilkan di otak dan susunan saraf tulang
belakang. Hormon ini dapat berfungsi sebagai obat penenang alami yang
diproduksi otak yang mengurangi tekanan darah tinggi. Ketika seseorang
melakukan latihan, maka b-endhorpin akan keluar dan ditangkap oleh reseptor
dalam hipothalamus dan sistem limbik yang mengatur emosi. Peningkatan b-
endhorpin terbukti berhubungan erat dengan tekanan darah dan pernafasan
(Sindhu, 2006).
Hasil studi pendahuluan pada bulan April 2022 yang dilakukan di Desa
Ambarketawang masyarakat yang tingggal di desa Ambarketawang rata-rata
adalah kalangan ekonomi yang memiliki pekerjaan sebagai pedagang dan
pensiunan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Tn.M yang berusia 66 tahun
mengatakan memiliki penyakit hipertensi dan mengeluh sering nyeri pada bagian
tengkuk lehernya menjlar sampai ke kepala, dengan skala nyeri 5, nyeri akun
sering hilang timbul sehingga sangan mengganggu aktivitas Tn.M, Tn.M
mengatakan jarang melakukan pemeriksaan dan kontrol kesehatan dan tidak
mengkonsumsi obat anti hipertensi.
Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk mengelola
Asuhan Keperawatan Analisis Senam Tera Sebagai Intervensi Masalah
Keperawatan Nyeri Akut Pada keluarga Lansia Yang Mengalami Hipertensi Di
Desa Ambarketawang.

B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan Umum Karya Tulis Ilmiah Ini Adalah Menganalisis Pelaksanaan
Asuhan Keperawatan Analisis Senam Tera Sebagai Intervensi Masalah
Keperawatan Nyeri Akut Pada keluarga Lansia Yang Mengalami Hipertensi
Di Desa Ambarketawang.
2. Tujuan Khusus
a. Melakukan pengkajian pada keluarga Tn.M dengan hipertensi pada
tahapan keluarga lansia di Desa Ambarketawang.
b. Merumuskan diagnosis keperawatan pada keluarga Tn.M dengan
hipertensi pada tahapan keluarga lansia di Desa Ambarketawang.
c. Merencanakan asuhan keperawatan pada keluarga Tn.M dengan
hipertensi pada tahapan keluarga lansia di Desa Ambarketawang.
d. Melaksanakan tindakan keparawatan pada keluarga Tn.M dengan
hipertensi pada tahapan keluarga lansia di Desa Ambarketawang.
e. Mengevaluasi pada keluarga Tn.M dengan hipertensi pada tahapan
keluarga lansia di Desa Ambarketawang.
f. Memaparkan analisis senam tera untuk menurunkan intensitas nyeri akut
pada keluarga Tn.M dengan hipertensi pada tahapan keluarga lansia di
Desa Ambarketawang.
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Bagi Ilmu Keperawatan Keluarga
Diharapkan dapat mengembangkan ilmu keperawatan keluarga khususnya
keperawatan keluarga dengan upaya penurunan nyeri akut pada pasien
hipertensi.
2. Manfaat Bagi Keluarga Tn.M
Manfaat bagi keluarga adalah sebagai evaluasi yeng diperlukan dalam
pelaksanaan praktek pelayanan keperawatan khususnya pada keluarga
dengan hipertensi
3. Manfat Bagi Mahasiswa Profesi Stikes Surya Global
Dengan adanya informasi dan data yang diperoleh oleh peneliti, diharapkan
mahasiswa mampu memehami tentang asuhan keperawatan keluarga dengan
hipertensi.

4. Manfaat bagi Peneliti selanjutnya


Asuhan keperawatan ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar untuk
melakukan penelitian berikutnya khususnya dalam bidan keperawatan
keluarga dan sebagai pembanding dalam melakukan penelitian serupa.
D. Keaslian Penelitian
Adapun beberapa penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini
antara lain:
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Definisi Hipertensi
Hipertensi merupakan suatu keadaan dimana terjadi peningkatan
pada tekanan darah yang memberi gejala akan berlanjut ke suatu organ
target seperti stroke untuk otak, penyakit jantung koroner untuk pembuluh
darah jantung, dan hipertrofi ventrikel kanan untuk otot jantung (Candra,
2018). Hipertensi merupakan suatu keadaan medis yang cukup serius
dimana secara signifikan dapat meningkatkan risiko penyakit hati, otak,
ginjal, jantung, dan penyakit lainnya. Hipertensi dapat terjadi apabila
tekanan darah lebih besar dari dinding arteri dan pembuluh darah itu
sendiri (WHO, 2019).
Hipertensi merupakan keadaan umum dimana suplai aliran darah pada
dinding arteri lebih besar sehingga dapat menyebabkan beberapa masalah
kesehatan, seperti jantung. Hipertensi pada tahun pertama sangat jarang
dijumpai dengan symptom, hal ini baru disadari apabila terjadi
dalam jangka waktu yang panjang dan terus menerus. Peningkatan
hipertensi secara tidak terkontrol akan menyebabkan masalah hati dan
jantung yang cukup serius (Mayo Clinic, 2018).
2. Klasifikasi Hipertensi
Menurut Mayo Clinic, 2018 Hipertensi memiliki dua jenis :
a. Hipertensi primer (esensial)
Pada usia dewasa, hipertensi terjadi tanpa gejala yang tampak.
Peningkatan tekanan darah secara terus menerus dan telah terjadi lama
baru dikatakan seseorang menderita hipertensi meskipun penyebab
pastinya belum jelas. Pada kasus peningkatan tekanan darah ini disebut
dengan hipertensi primer (esensial).
b. Hipertensi sekunder
Beberapa orang memiliki tekanan darah tinggi yang disebabkan oleh
beberapa factor tidak terkontrol. Pada kejadian ini disebut dengan
hipertensi sekunder dimana peningkatan darah yang terjadi dapat
melebihi tekanan darah pada hipetensi primer.
Selain itu, hipertensi juga dibagi berdasarkan bentuknya, yaitu :
a. Hipertensi diastolic, dimana tekanan diastolic meningkat lebih dari
nilai normal. Hipertensi diastolic terjadi pada anak-anak dan dewasa
muda. Hipertensi jenis ini terjadi apabila pembuluh darah kecil
menyempit secara tidak normal yang berakibat memperbesar tekanan
terhadap aliran darah yang melaluinya dan meningkatkan tekanan
darah diastoliknya. Tekanan diastolic berkaitan dengan tekanan arteri
ketika jantung berada pada kondisi relaksasi.
b. Hipertensi sistolik, dimana tekanan sistolik meningkat lebih dari nilai
normal. Peningkatan tekanan sistolik tanpa diiringi peningkatan
tekanan distolik dan umumnya ditemukan pada usia lanjut. Tekanan
sistolik berkaitan dengan tingginya tekanan darah pada arteri apabila
jantung berkontraksi. Tekanan ini merupakan tekanan maksimal dalam
arteri dan tercermin pada hasil pembacaan tekanan darah sebagai
tekanan atas yang nilainya lebih besar.
c. Hipertensi campuran, dimana tekanan sistolik maupun tekanan
diastolic meningkat melebihi nilai normal. (Kemenkes RI, 2018)
Tabel 2.1 klasifikasi Hipertensi Menurut WHO
Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal <120 <80
Pre-hipertensi 120 – 139 80 – 89
Tingkat 1 (Ringan) 140 – 156 90 – 99
Tingkat 2 (Sedang) 160 – 179 100 – 109
Tingkat 3 (Berat) ≥180 ≥110

3. Etiologi Hipertensi
Menurut Ardiansyah M (2012) penyebab hipertensi dibagi menjadi
dua golongan yaitu :
a. Hipertensi premier (esensial)
Hipertensi primer adalah hipertensi esensial atau hiperetnsi yang 90%
tidak diketahui penyebabnya. Beberapa faktor yang diduga berkaitan
dengan berkembangnya hipertensi esensial diantaranya :
1) Genetik
Individu dengan keluarga hipertensi memiliki potensi lebih tinggi
mendapatkan penyakit hipertensi.
2) Jenis kelamin dan usia
Lelaki berusia 35-50 tahun dan wanita yang telah menopause
berisiko tinggi mengalami penyakit hipertensi.
3) Diit konsumsi tinggi garam atau kandungan lemak
Konsumsi garam yang tinggi atau konsumsi makanan dengan
kandungan lemak yang tinggi secara langsung berkaitan dengan
berkembangnya penyakit hipertensi.
4) Berat badan obesitas
Berat badan yang 25% melebihi berat badan ideal sering dikaitkan
dengan berkembangnya hipertensi.
5) Gaya hidup merokok dan kosumsi alcohol
Merokok dan konsumsi alkohol sering dikaitkan dengan
berkembangnya hipertensi karena reaksi bahan atau zat yang
terkandung dalam keduanya.
b. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder adalah jenis hipertensi yang diketahui
penyebabnya. Hipertensi sekunder disebabkan oleh beberapa penyakit,
yaitu :
1) Coarctationaorta, yaitu penyempitan aorta congenital yang mungkin
terjadi beberapa tingkat pada aorta toraksi atau aorta abdominal.
Penyembitan pada aorta tersebut dapat menghambat aliran darah
sehingga terjadi peningkatan tekanan darah diatas area kontriksi.
2) Penyakit parenkim dan vaskular ginjal. Penyakit ini merupakan
penyakit utama penyebab hipertensi sekunder. Hipertensi
renovaskuler berhubungan dengan penyempitan
3) satu atau lebih arteri besar, yang secara langsung membawa darah ke
ginjal. Sekitar 90% lesi arteri renal pada pasien dengan hipertensi
disebabkan oleh aterosklerosis atau fibrous dyplasia (pertumbuhan
abnormal jaringan fibrous). Penyakit parenkim ginjal terkait dengan
infeksi, inflamasi, serta perubahan struktur serta fungsi ginjal.
4) Penggunanaan kontrasepsi hormonal (esterogen). Kontrasepsi secara
oral yang memiliki kandungan esterogen dapat menyebabkan
terjadinya hipertensi melalui mekanisme renin-aldosteron-mediate
volume expantion. Pada hipertensi ini, tekanan darah akan kembali
normal setelah beberapa bulan penghentian oral kontrasepsi.
5) Gangguan endokrin. Disfungsi medulla adrenal atau korteks adrenal
dapat menyebabkan hipertensi sekunder. Adrenal-mediate
hypertension disebabkan kelebihan primer aldosteron, kortisol, dan
katekolamin.
6) Kegemukan (obesitas) dan malas berolahraga.
7) Stres, yang cenderung menyebabkan peningkatan tekanan darah
untuk sementara waktu.
8) Kehamilan
9) Luka bakar
10) Peningkatan tekanan vaskuler
11) Merokok. Nikotin dalam rokok merangsang pelepasan katekolamin.
Peningkatan katekolamin mengakibatkan iritabilitas miokardial,
peningkatan denyut jantung serta menyebabkan vasokortison yang
kemudian menyebabkan kenaikan tekanan darah.
Penyebab hipertensi pada orang dengan lanjut usia adalah terjadinya
perubahan-perubahan pada (Nurarif A.H., & Kusuma H., 2016):
a. Elastisitas dinding aorta menurun
b. Katub jantung menebal dan menjadi kaku
c. Kemampuan jantung memompa darah menurun menyebabkan
menurunnya kontraksi dan volumenya
d. Kehilangan elastisitas pembuluh darah. Hal ini terjadi karena kurangnya
efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi.
e. Meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer.
4. Patofisiologi Hipertensi
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pumbuluh darah
terletak dipusat vasomotor pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini
bermula jelas saraf simpatis, yang berlanjut kebawah ke korda spinalis dan
keluar dari kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan
abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk implus
yang bergetar ke bawa melalui sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis.
Pada titik ini neouron pre-ganglion ke pumbuluh darah, dimana dengan
dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi pumbuluh darah.
Berbagai farktor seperti kecemasan dan ketakuran dapat mempengaruhi
respon pumbuluh darah terhadap rangsangan vasokonstriktor. Pasien dengan
hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui
dengan jelas mengapa hal tersebut dapat terjadi.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang
pembuluhh darah sebagai respon rangsangan emosi, kelenjar adrenal juga
terangsang, mengakibatkan tambahan aktifitas vasokontriksi. Medula adrenal
mensekresikan efinefrin, yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal
mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respon
vasokonstriktor pumbuluh darah. Vasokontriksi yang mengakibatkan
penurunan aliran darah keginjal, menyebabkan pelepasan renin (Aspiani,
2014).
Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah
menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada akhirnya
merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini
menyebabkan retensi natrum dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan
volume intravaskular. Semua faktor tersebut cenderung mencetuskan
terjadinya hipertensi (Aspiani, 2014).
Peningkatan tekanan darah biasanya tidak teratur serta terjadi
peningkatan secara terus menerus. Hipertensi biasanya dimulai sebagai
penyakit yang ringan lalu perlahan berkembang ke kondisi yang parah atau
berbahaya (Williams & Wilkins, 2011) dalam (Mulyadi, 2016). Gejala yang
sering muncul pada hipertensi salah satunya adalah nyeri kepala. Pada nyeri
kepala yang diderita oleh pasien hipertensi disebabkan karena suplai darah ke
otak mengalami penurunan dan peningkatan spasme pembuluhh darah
(Setyawan & Kusuma, 2014). Perubahan struktur dalam arteri-arteri kecil dan
arteriola menyebabkan penyumbatan pembuluhh darah. Bila pembuluhh
darah menyempit maka aliran arteri akan terganggu (Price dan Wilson,
2006) dalam (Setyawan & Kusuma, 2014). Hal tersebut mengakibatkan
spasme pada pembuluhh darah (arteri) dan penurunan O2 (oksigen) yang
akan berujung pada nyeri kepala atau distensi dari struktur di kepala atau
leher (Kowalak, Welsh, dan Mayer, 2012) dalam (Setyawan & Kusuma,
2014). Nyeri kepala atau sakit kepala merupakan gejala penting dari
berbagai kelainan tubuh organik maupun fugsional. (Ballenger, 2010)
dalam(Mulyadi, 2016). Nyeri kepala ini sering ditandai dengan sensasi
prodromal misal nausea, pengelihatan kabur, auravisual, atau tipe sensorik
halusinasi. Salah satu teori penyebab nyeri kepala migraine ini akibat dari
emosi atau ketegangan yang berlangsung lama yang akan menimbulkan
reflek vasospasme beberapa pembuluhh arteri kepala termasuk pembuluhh
arteri yang memasok ke otak. Secara teoritis, vasospasme yang terjadi akan
menimbulkan iskemik pada sebagian otak sehingga terjadi nyeri kepala (Hall,
2012) dalam (Mulyadi, 2016).

5. Manifestasi Klinis
Pasien yang menderita hipertensi terkadang tidak menampakkan gejala
hingga bertahun-tahun. Gejala jika ada menunjukkan adanya kerusakan
vaskuler, dengan maifestasi yang khas sesuai sistem organ yang
divaskularisasi oleh pumbuluh darah bersangkutan. Perubahan patologis pada
ginjal dapat bermanifestasi sebagai nokturia (peningkatan urinisasi pada
malam hari) dan azetoma (peningkatan nitrogen urea darah dan kreatinin).
Keterlibatan pumbuluh darah otak dapat menimbulkan stroke atau
serangan iskemik transien (transient ischemik attack, TIA) yang
bermanifestasi sebagai paralisis sementara pada satu sisi (hemiplegia) atau
gangguan tajam penglihatan (Smeltzer, 2002) dalam (Aspiani, 2014).
Gejala yang ditimbulkan akibat menderita hipertensi tidak sama pada
setiap orang, bahkan terkadang timbul tanpa gejala. Secara umum gejala yang
dikeluhan oleh penderita hipertensi sebagai berikut:
a. Sakit kepala
b. Rasa pegal dan tidak nyaman pada tengkuk
c. Perasaan berputar seperti tuju keliling serasa ingin jatuh
d. Detak jantung terasa cepat
e. Telinga berdenging
Menurut (Crowin, 2000 dalam Aspiani, 2014) menyebutkan bahwa
sebagian besar gejala klinis timbul setelah mengalami hipertensi bertahun-
tahun berupa:
a. Nyeri kepala saat terjaga, terkadang disertai mual dan muntah, akibat
peningkatan tekanan darah intrakranial. Penglihatan kabur akibat
kerusakan retina akibat hipertensi
b. Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat
c. Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus
d. Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler
Gejala lain yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi, yaitu
pusing, muka merah, sakit kepala, keluar darah dari hidung secara tiba-tiba,
tengkuk terasa pegal (Novianti, 2006) dalam (Aspiani, 2014).
6. Komplikasi
Menurut Ardiansyah, M. (2012) komplikasi dari hipertensi adalah : 1) Stoke
Stroke akibat dari pecahnya pembuluh yang ada di dalam otak atau akibat
embolus yang terlepas dari pembuluh nonotak. Stroke bisa terjadi pada
hipertensi kronis apabila arteri-arteri yang memperdarahi otak mengalami
hipertrofi dan penebalan pembuluh darah sehingga aliran darah pada area
tersebut berkurang. Arteri yang mengalami aterosklerosis dapat melemah dan
meningkatkan terbentuknya aneurisma. 2) Infark Miokardium Infark
miokardium terjadi saat arteri koroner mengalami arterosklerotik tidak pada
menyuplai cukup oksigen ke miokardium apabila terbentuk thrombus yang
dapat menghambat
7. Penatalaksanaan
Menurut (Righo, 2014) penatalaksanaan hipertensi ada 2 yaitu
farmakologi dan non farmakologi
a. Farmakologi (Obat-obatan)
Hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian atau pemilihan obat anti
hipertensi yaitu :
1) Mempunyai efektivitas yang tinggi.
2) Mempunyai toksitas dan efek samping ringan atau minimal.
3) Memungkinkan penggunaan obat secara oral.
4) Tidak menimbulkan intoleransi.
5) Harga obat relative murah sehingga terjangkau oleh klien.
6) Memungkin penggunaan jangka panjang.
Golongan obat-obatan yang diberikan pada klien dengan hipertensi
seperti
golongan diuretik, golongan betabloker, golongan antagonis kalsium, serta
golongan penghambat konversi rennin angiotensin.
b. Non Farmakologi
1) Diet
Pembatasan atau kurangi konsumsi garam. Penurunan berat badan dapat
membantu menurunkan tekanan darah bersama dengan penurunan
aktivitas rennin dalam plasma dan penurunan kadar adosteron dalam
plasma.
2) Aktivitas
Ikut berpartisipasi pada setiap kegiatan yang sudah disesuaikan dengan
batasan medis dan sesuai dengan kemampuan, seperti berjalan, jogging,
bersepeda, atau berenang.
3) Istirahat yang cukup
Istirahat dengan cukup memberikan kebugaran bagi tubuh dan
mengurangi beban kerja tubuh.
4) Menghindari rokok
Kebiasaan merokok pada masyarakat laki-laki terutama
penderita hipertensi memiliki risiko diabetes, serangan jantung,
dan stroke. Jika kebiasaan ini dilanjutkan dalam jangka waktu
yang lama, hal ini akan menjadi kombinasi penyakit yang
sangat berbahaya (Aminuddin,2019).
5) Olahraga secara rutin
Risiko penyakit hipertensi semakin meningkat jika
penderitanya kurang dalam melakukan aktivitas fisik. Jalan
kaki di lingkungan sekitar dapat membantu program gaya
hidup sehat (Aminuddin,2019).
B. Konsep Dasar Masalah Keperawatan
1. Definisi Nyeri Akut
Nyeri akut adalah nyeri yang biasanya berlangsung tidak lebih dari enam
bulan, awitannya gejalanya mendadak dan biasanya penyebab serta lokasi
nyeri sudah diketahui (Mubarak, Indrawati, & Susanto, 2015).
Nyeri akut merupakan pengalaman sensori dan emosional tidak
menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan aktual atau potensial
atau yang digambarkan sebagai kerusakan awitan yang tiba-tiba atau lambat
dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat di antisipasi atau
diprediksi (Nanda International, 2017)
2. Penyebab Nyeri Akut
Nyeri akut dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu trauma, mekanik,
thermos, neoplasma (jinak dan ganas), peradangan (inflamasi), gangguan
sirkulasi darah dan kelainan pembuluh darah serta yang terakhir adalah
trauma psikologis (Handayani, 2015).
Nyeri merupakan suatu keadaan yang kompleks yang dipengaruhi oleh
fisiologi, spiritual, psikologis, dan budaya.Setiap individu mempunyai
pengalaman yang berbeda tentang nyeri. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi nyeri adalah sebagai berikut:
a. Tahap perkembangan
Usia dan tahap perkembangan seseorang merupakan variable penting
yang
akan memengaruhi reaksi dan ekspresi terhadap nyeri. Dalam hal ini,
anak – anak cenderung kurang mampu mengugkapkan nyeri yang mereka
rasakan dibandingkan orang dewasa, dan kondisi ini dapat menghambat
penanganan nyeri untuk mereka. Di sisi lain, prevalensi nyeri ada
individu lansia lebih tinggi karena penyakit akut atau kronis dan
degenerative yang diderita. Walaupun ambang batas nyeri tidak berubah
karena penuaan, efek analgesik yang diberikan menurun karena
perubahan fisiologis yang terjadi (Mubarak et al., 2015).
b. Jenis kelamin
Beberapa kebudayaan yang memengaruhi jenis kelamin misalnya
menganggap bahwa seorang anak laki – laki harus berani dan tidak boleh
menangis, sedangkan anak perempuan boleh menangis dalam situasi
yang sama. Namun, secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara
bermakna dalam berespon terhadap nyeri (Mubarak et al., 2015).
c. Keletihan
Keletihan atau kelelahan dapat meningkatkan persepsi nyeri.Rasa
kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan
kemampuan koping. Hal ini dapat menjadi masalah umum pada setiap
individu yang menderita penyakit dalam jangka waktu lama. Apabila
keletihan disertai kesulitan tidur, maka persepsi nyeri bahkan dapat terasa
lebih berat lagi. Nyeri seringkali lebih berkurang setelah individu
mengalami suatu periode tidur yang lelap dibandingkan pada akhir hari
yang melelahkan (Perry & Potter, 2009).
d. Lingkungan dan dukungan keluarga
Lingkungan yang asing, tingkat kebisingan yang tinggi, pencahayaan dan
aktivitas yang tinggi di lingkungan tersebut dapat memerberat
nyeri.Selain itu, dukungan dari keluarga dan orang terdekat menjadi salah
satu faktor penting yang memengaruhi persepsi nyeri individu. Sebagai
contoh, individu yang sendiriaan, tanpa keluarga atau teman – temang
yang mendukungnya, cenderung merasakan nyeri yang lebih berat
dibandingkan mereka yang mendapat dukungan dari keluarga dan orang
– orang terdekat (Mubarak et al., 2015)
e. Gaya koping
Koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk memperlakukan
nyeri.Seseorang yang mengontrol nyeri dengan lokus internal merasa
bahwa diri mereka sendiri mempunyai kemampuan untuk mengatasi
nyeri.Sebaliknya, seseorang yang mengontrol nyeri dengan lokus
eksternal lebih merasa bahwa faktor-faktor lain di dalam hidupnya seperti
perawat merupakan orang yang bertanggung jawab terhadap nyeri yang
dirasakanya. Oleh karena itu, koping pasien sangat penting untuk
diperhatikan (Perry & Potter, 2009).
f. Makna nyeri
Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi
pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Hal ini
juga dikaitkan secara dekat dengan latar belakang budaya individu
tersebut. Individu akan
mempersepsikan nyeri dengan cara berbeda-beda, apabila nyeri tersebut
memberi kesan ancaman, suatu kehilangan, hukuman, dan tantangan.
Derajat dan kualitas nyeri yang dipersepsikan pasien berhubungan
dengan makna nyeri (Perry & Potter, 2009).
g. Ansietas
Individu yang sehat secara emosional, biasanya lebih mampu
mentoleransi
nyeri sedang hingga berat daripada individu yang memiliki status
emosional yang kurang stabil.Pasien yang mengalami cedera atau
menderita penyakit kritis, seringkali mengalami kesulitan mengontrol
lingkungan perawatan diri dapat menimbulkan tingkat ansietas yang
tinggi. Nyeri yang tidak kunjung hilang sering kali menyebabkan psikosis
dan gangguan kepribadian (Perry & Potter, 2009).
h. Etnik dan nilai budaya
Beberapa kebudayaan uakin bahwa memperlihatkan nyeri adalah sesuatu
yang alamiah. Kebudayaan lain cenderung untuk melatih perilaku yang
tertutup. Sosialisasi nudaya menentukan perilaku psikologis
seseorang.Dengan demikian, hal ini dapat memngaruhi pengeluaran
fisiologis opial endogen sehingga terjadilah persepsi nyeri.Latar belakang
etnik dan budaya merupakan factor yang memengaruhi reaksi terhadap
nyeri dan ekspresi nyeri. Sebagai contoh, individu dari budaya tertentu
cenderung ekspresif dalam mengunngkapkan nyeri, sedangkan indiviidu
dari budaya lain justru lebih memilih menahan perasaan mereka dan tidak
ingin merepotkan orang lain (Mubarak et al., 2015).
3. Manifestasi Nyeri Akut
Tanda dan gejala nyeri akut ada beberapa macam perilaku yang tercermin
dari pasien, namun beberapa hal yang sering terjadi secara umum berupa
menurut (SDKI PPNI, 2017)
a. Gejala mayor
1) Subjektif
a) Mengeluh nyeri akut
2) Objektif
a) Tampak meringis
b) Bersikap protektif (misalnya waspada, posisi menghindari nyeri
akut)
c) Gelisah
d) Frekuensi nadi meningkat
e) Sulit tidur
b. Gejala minor
1) Subjektif : -
2) Objektif
a) Tekanan darah meningkat
b) Pola nafas berubah
c) Nafsu makan berubah
d) Proses berpikir terganggu
e) Menarik diri
f) Berfokus pada diri sendiri
g) Diaphoresis
c. Karakteristik nyeri akut
Laporan tunggal klien tentang nyeri akut yang dirasakan
merupakan indicator tunggal yang paling dapat dipercaya tentang
keberadaan dan intensitas nyeri akut dan apapun yang berhubungan
dengan ketidaknyamanan (NIH, 1986, dalam Potter, 2006). Skala
deskriftif merupakan alat pengukur tingkat keparahan nyeri akut yang
lebih objektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS)
merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata
pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama disepanjang garis.
Pendeskripsi ini dirangking dari tidak terasa nyeri akut sampai nyeri akut
yang tidak tertahankan. Perawat menunjukkan skala tersebuh dan
meminta klien untuk memilih intensitas nyeri akut terbaru yang ia
rasakan. Dalam hal ini klien menilai nyeri akut dengan menggunakan
skala 0-10. Skala paling efektif yang digunakan saat mengkaji intensitas
nyeri akut sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan
skala untuk menilai nyeri akut, maka direkomendasi patokan 10 cm
(AHCPR, 1992 dalam Potter & Perry, 2006).
Ada beberapa skala pengkajian nyeri akut:
1) Baker Faces Scale Wong Pain Rating
Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda
dimulai dari senyuman sampai menangis karena kesakitan. Skala ini
berguna pada pasien dengan gangguan komunikasi, seperti anak-
anak, orang tua, pasien yang kebingungan atau pada pasien yang
tidak mengerti dengan bahasa lokal setempat.
2) Verbal Rating Scale (VRS)
Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri akut yang dirasakan
berdasarkan skala lima poin : tidak nyeri akut, ringan, sedang, berat,
dan sangat berat.
3) Numerikcal Rating Scale (NRS)
Pertama sekali ditemukan oleh Downie dkk, 1978, dimana pasien
ditanyakan tentang derajat nyeri akut yang dirasakan dengan
menunjukkan angka 0-5 atau 0-10, dimana angka 0 menunjukkan
tidak nyeri dan angka 5 menunjukkan nyeri akut yang hebat.
4) Visual Analogue Scale (VAS)
Skala yang pertama kali ditemukan oleh Keele, 1948 yang
merupakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0)
penanda tidak ada nyeri akut dan akhir garis (10) menandakan nyeri
akut hebat. Mengekspresikan nyeri akut yang dirasakan. Penggunaan
skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih mudah dipahami oleh
penderita dibandingkan dengan skala nyeri akut yang lainnya.
Penggunaan VAS telah direkomendasikan oleh Coll karena selain
telah digunakan secara luas, VAS juga secara metologis kualitasnya
lebih baik, dimana juga penggunaannya relative mudah, hanya
dengan menggunakan beberapa kata sehingga kosa kata tidak
menjadi permasalahan.
Menurut Perry & Potter (1993) nyeri akut tidak dapat diukur
secara objektif misalnya dengan X-Ray atau tes darah. Namun tipe nyeri
akut yang muncul dapat diramalkan berdasarkan tanda dan gejala.
Kadang-kadang hanya bisa mengkaji nyeri akut dengan berpatokan pada
ucapan dan perilaku pasien, serta dengan pengkajian nyeri akut:
1) P (Pemacu) : faktor yang mempengaruhi gawat atau ringannya nyeri
akut.
2) Q (Quality) : kualitas nyeri akut dikatakan seperti apa yang dirasakan
pasien misalnya, seperti diiris-iris pisau, dipukul-pukul disayat.
3) R (Region) : Daerah perjalanan nyeri akut
4) S (Severity) : Keparahan atau intensitas nyeri akut
5) T (Time) : Lama/ waktu serangan atau frekuensi nyeri akut
(Hidayat,2008).
4. Kondisi Klinis Terkait
Kondisi klinis nyeri akut adalah sebagai berikut menurut (SDKI PPNI,2017) :
a. Kondisi pembedahan
b. Cedera traumatis
c. Infeksi
d. Sindrom koroner akut
e. Glaukoma
5. Penatalaksanaan
Pada umumnya penatalaksanaan nyeri akut terbagi menjadi dua, yaitu dengan
pendekatan farmakologis dan nonfarmakologis. Pendekatan farmakologis
dapat dilakukan dengan memberikan analgesik. Walaupun analgesik sangat
efektif untuk mengatasi nyeri akut, namun hal tersebut akan berdampak
kecanduan obat dan akan memberikan efek samping obat yang berbahaya
bagi pasien. Secara nonfarmakologi penatalaksanaannya antara lain dengan
menggunakan kompres air hangat

Anda mungkin juga menyukai