Anda di halaman 1dari 25

P E N C E G A H A N P E N YA K I T PA D A L A N S I A

OLEH:

AISYAH NOVITA,A.Md.Kep
K O N S E P P E N C E G A H A N P E N YA K I T PA D A
LANSIA

I. Pencegahan penyakit pada lansia

Berdasarkan Levell dan Clark tingkatan pencegahan digunakan pada tahap


sebelum terjadinya suatu penyakit disebut dengan 5 tingkatan pencegahan
atau Five Level of Prevention. Leavell dan Clark (1965) dalam bukunya
Preventive medicine for the doctors in his community menjelaskan bahwa
tingkatan pencegahan ini berkelanjutan, yaitu melalui periode
prepatogenesis penyakit sampai ke periode rehabilitasi yaitu setelah
penyakitnya sendiri sudah hilang (Widyaloka, 2017)
Pertama ada fase prepatogenesis pada tahapan ini yang dapat digunakan
melalui kegiatan primary prevention atau pencehan primer. Pencegahan
primer ini melibatkan tindakan yang diambil sebelum terjadinya masalah
kesehatan dan mencakup aspek promosi kesehatan dan perlindungan.
Dalam aspek promosi kesehatan, pencegahan primer berfokus pada
peningkatan kesehatan secara keseluruhan dari mulai individu, keluarga,
dan kelompok masyarakat. perlindungan kesehatan ini ditujukan untuk
mencegah terjadinya masalah kesehatan yang spesifik (Widyaloka,2017).
Menurut Rubenstein (1998) pencegahan primer pada lansia dapat berupa menghindari
merokok untuk menghindari penyakit pernafasan dan kardiovaskular, pengendalian tekanan
darah untuk mencegah penyakit stroke dan penyakit jantung, dan menjaga keaktivan fisik
untuk menhindari penurunan kebugaran serta simtomatis yang berhubungan dengan stres
dan depresi. Fase pathogenesis pada tahap ini dilakukan pencegahan sekunder yang dapat
dilakukan dengan kegiatan yaitu Early diagnose (deteksi dini) dimana pada lansia deteksi
dini penyakit dapat dilakukan pada saat pelaksanaan 12 posyandu lansia. menurut
Rubenstein (1998), pencegahan sekunder pada lansia dapat berupa deteksi dini depresi,
skrining untuk beberapa penyakit darah tinggi, kanker, kardiovaskular, dan diabetes.
1 . 1 P E N C E G A H A N P E N YA K I T PA D A
KRONIS LANSIA

Menurut teri H.L. Bloom, status kesehatan seseoran dipengaruhi oleh empat faktor
yaitu faktor lingkungan, faktor perilaku, faktor pelayanan kesehatan, dan faktor
keturunan. Gunawan (2007) menemukan ada beberapa faktor yang sering
menyebabkan terjadinya penyakit kronis atau regeneratif pada seseorang . faktor
faktor tersebut Antara lain adalah kebidanan hidup (perilaku), ciri perseorangan, dan
keturunan. Pada bebagai kajian serta penelitian, penyakit kronis biasanya tidak
disebabkan oleh satu faktor saja. Oleh karena itu penyakit kronis dikatakan bersifat
multifaktorial. Namun penyebab utama penyakit kronis adalah pola atau kebiasaan
hidup yang tidak sehat (Handajani et al. 2010)
Penelitian lainnya juga menyebutkan bahwa kebiasaan hidup juga
berpengaruh besar pada kejadian kematian akibat penyakit degeneratif/kronis.
The Un 13 High-Level Meeting on Non-communicable Disease Tahun 2001
menyebutkan bahwa salah satu intervensi utama untuk mengendalikan PTM
adalah memperbaiki kebiasaan hidup seperti kebiasaan merokok, kebisasan
berolah raga, konsumsi garam, lemak, gula, alkohol, serta aktivitas fisik yang
baik (Kemenkes, 2011). Pencegahan penyakit kronis dapat dilakukan dengan
melakukan pengendalian terhadap faktor risikonya (Depkes RI, 2006).
Pengendalian faktor risiko penyakit kronis merupakan tindak
pencegahan penyakit kronis. Dimana pada lansia tindakan
pengendalian faktor risiko penyakit kronis dapat berupa
pengendalian kebiasaan hidup lansia sebagai pencegahan primer
yang meliputi kebiasaan merokok, kebiasaan mengonsumsi
garam, kebiasaan berolahraga, serta kebiasaan memanfaatkan
waktu luang (Tirtayasa, 2008).
1. KEBIASAAN
MEROKOK

Awosan et al. (2014) menyatakan, kebiasaan merokok merupakan faktor


risiko utama penyakit jantung, PPOK, serta penyakit tidak menular
lainnya. Menurut WHO (2008) faktor risiko penyebab penyakit regeneratif
yang dapat dikontrol salah satunya adalah merokok. Merokok dapat
menikkan tekanan darah khususnya bila dikombinasikan dengan alkohol
dan kafein. Karena nikotin yang terdapat pada tembakau dapat
memperburuk feokromositoma dan merangsang sistem adrenergik yang
dapat meningkatkan tekanan darah (Wibowo,1998).
Hasil analisis faktor risiko studi morbiditas tahun 2001 di Jawa dan
Bali oleh Badan Litbang Kes, diperoleh bahwa responden dengan
perilaku merokok mempunyai risiko 1,53 kali terkena penyakit
kronis seperti PJK, hipertensi, stroke dan PPOK dibandingkan
dengan yang tidak merokok. Selain itu responden yang merokok
lebih dari 30 tahun mempunyai risiko 2.98 kali dibandingkan yang
merokok kurang atau sama dengan 10 tahun (Pradono, 2003)
2. POLA KONSUMSI GARAM

Menurut Jason et al. (2004) pada penelitiannya, secara nyata seseorang


yang memiki penghasilan rendah akan lebih banyak mengonsumsi fast
Food dan makanan yang tidak sehat lainnya. Kelompok dengan sosial
ekonomi rendah cenderung mengonsumsi sedikit sayur buah, serta lebih
banyak mengonsumsi makanan berlemak, asin, dan manis dibandingkan
dengan kelompok yang memiliki sosial ekonomi tinggi. Selain itu Aziz dik
(2014) menyatakan, kelompok yang memiliki pendapatan rendah lebih
banyak mengonsumsi makanan asin
Rasa asin mengindikasikan adanya kandungan natrium yang
tinggi dalam satu makanan. Natrium memegang peranan penting
terhadap timbulnya penyakit kronis pada lansia seperti hipertensi.
Konsumsi natrium yang berlebihan menyebabkan konsentrasi
natrium dalam cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya
cairan ekstraseluler menyebabkan meningkatnya valume darah
sehingga berdampak pada timbulnya hipertensi (Astawan, 2007).
3. KEBIASAAN BEROLAHRAGA

Menurut penelitian, olahraga secara teratur dapat menyerap


atau menghilangkan endapan kolesterol pada pembuluh nadi,
selain itu olahraga juga dapat bermaanfat untuk menguatkan otot
– otot jantung, mengindari stres baik karena pekerjaan, maupun
berasal dari keluarga. Dengan berolahraga secara teratur seperti
jalan santai, senam, berenang, bersepeda, dapat memberikan
kesehatan dan kesegaran jasmani (Oswari, 1997).
Dalam penelitiannya Fakihan (2016) menyatakan bahwa
kurangnya olahraga atau aktivitas fisik dapat 15 menyebabkan
lansia mendapatkan kualitas tidur yang buruk. Olahraga yang
cukup dapat mengendalikan berbagai risiko penyakit kronis
seperti DM, Hipertensi, Arthritis, serta penyakit tidak menular
lainnya.
Lara dan Choirul (2016) menyatakan bahwa pada individu
yang berisiko terkene DM, pengendalian kadar glukosa darah
dapat dilakukan dengan olahraga. Hal serupa juga dikemukakan
oleh Arief (2008) orang yang tidak berlahraga secara terartur
mempunyai risiko mengalami tekanan darah tinggi atau hipertensi
meningkat 20 -50% dibandingkan mereka yang aktif berolah raga
secara teratur.
4 . K E B I A S A A N M E M A N FA AT K A N WA K T U
LUANG

Selain melakukan olahraga atau latuhan kesegaran jasmani lainnya,


perawatan kesehatan pada lansia juga dapat dilakukan dengan kegiatan
santai untuk mengisi memanfaatkan waktu luang seperti berkebun,
Mamasa, manari, menjahit, membaca, serta ikut aktif dalam kegiatan sosial
dimasyarakat sehingga terhindar dari situasi yang memungkinkan lansia
mengalami rasa jenuh dan stres. stress pada lansia sebagian besar berasal
dari keluarga, seperti perselisihan, perasaan saling acuh, perbedaan
tujuan/pandangan, dan adanya perubahan status (Bart, 1994).
Nurhidayah (2016) menyatakan bahwa memanfaatkan waktu luang untuk
melakukan hobi dapat membantu lansia terhindar dari stres. stres yang terjadi
dalam waktu lama akan menyebabkan berbagai masalah pada kehidupan
lansia seperti aspek intelektual yaitu lansia susah berkonsentrasi, serta lebih
mudah lupa, aspek interpersonal yaitu mudah menyalahkan, aspek emosional
seperti cemas, sedih, depresi, dan aspek fisik seperti tekanan darah
meningkat, pusing, susah tidur (insomnia) dan mudah 16 lelah. Maka dari itu
memanfaatkan luang dapat mencegah terjadinya penyakit kronis pada lansia.
II. DUKUNGAN KELUARGA

2.1 Pengaruh dukungan keluarga pada lansia

Dukungan keluarga adalah suatu bentuk hubungan interpersonal yang melindungi


seseorang dari efek stress yang buruk (Kaplan dan Sadock, 2002). Dukungan keluarga
menurut Friedman (2010) adalah sikap, tindakan penerimaan keluarga terhadap anggota
keluarganya, berupa dukungan informasional, dukungan penghargaan, dukungan
instrumental dan dukungan emosional. Jadi dukungan keluarga adalah suatu bentuk
hubungan interpersonal yang meliputi sikap, tindakan dan penerimaan terhadap anggota
keluarga, sehingga anggota keluarga merasa ada yang memperhatikan. Dukungan keluaraga
pada lansia sangat besar pengaruhnya pada keadaan lansia baik secara fisik maupun psikis
Dalam Penelitian Nurmalasari (2010) disebutkan bahwa
dukungan keluarga memiliki peran penting dalam
mengintensifkan kualitas hidup lansia. Orang yang hidup dalam
lingkungan yang bersikap suportif, kondisinya jauh 17 lebih baik
dari pada mereka yang tidak memilikinya. Penelitian yang
dilakukan oleh Juliana dan Sukmawati (2008) menunjukkan
bahwa 67,5% lansia mendapat dukungan keluarga yang baik.
Dari hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa dukungan keluarga yang
tinggi menurunkan risiko lansia umtuk terkena depresi, Penelitian lainnya
yang dilakukan oleh Yenni (2011) yang mencari hubungan dukungan
keluarga dengan kejadian stroke pada lansia hipertensi. Dari penelitian yang
dilakukan, didapat 57,3% lansia sudah mendapatkan dukungan instrumental
yang efektif dari keluarga, 54,8% lansia sudah mendapatkan dukungan
emosional yang efektif, 53,6% lansia sudah mendapatkan dukungan
penghargaan, dan 52,4% lansia sudah mendapatkan dukungan informasi
Hasil tersebut menunjukkan bahwa dukungan keluarga yang efektif dapat
mencegah serta menurunkan kejadian stroke pada lansia yang menderita
hipertensi. Menurut Kuntjoro (2002), untuk menjaga kesehatan baik fisik maupun
kejiwaannya lansia justru tetap harus melakukan aktivitas-aktivitas yang berguna
bagi kehidupannya. Ini termasuk jenis dukungan sosial yang berupa integrasi
sosial yang memungkinkan lansia untuk memperoleh perasaan memiliki suatu
kelompok yang memungkinkannya untuk membagi minat, perhatian, serta
melakukan kegiatan yang sifatnya kreatif secara bersama - sama (Fitria,2011).
Lansia dengan keadaanya yang serba terbatas baik fisik
maupun psikis lansia memerlukan perhatian dari keluarga dalam
bentuk peran aktif membantu lansia dalam menjaga kesehatannya.
Karena kehadiran kelurga untuk lansia akan memberikan perasaan
aman dan nyaman, serta motivasi bagi lansia untuk tetap menjaga
kesehatannya sehingga lansia mampu menikmati kehidupannya di
usia tua.
Menurut hasil penelitian Kaur, Kaur, Venkateashan (2015)
didapatkan hasil lansia yang secara 18 medis sehat memiliki
dukungan keluarga yang baik, karena orang-orang lansia yang
sehat melakukan kegiatan mereka sehari - hari dibantu oleh
keluarga dan juga secara mandiri. Ditemukan hasil yang
signifikan secara statistik hubungan skor Apgar keluarga dan
keberadaan penyakit kronis pada lansia yang mempengaruhi
kualitas hidup lansia (p <0,001).
Hal serupa juga ditemukan oleh Sutikno, menurut hasil
penelitian Sutikno (2007) didapatkan hasil analisis regresi logistik
menemukan lansia yang berasal dari keluarga dengan dukungan
keluarga baik memiliki kemungkinan untuk memiliki derajat
kesehatan baik 25 kali lebih besar daripada lansia dengan
dukungan keluarga tidak baik (OR = 24.9, p = 0.040 ; CI 95%
1.16 hingga 53.04).
Dukungan keluarga menjadi penting karena lansia dalam
mengalami proses penuaan, lansia akan mengalami berbagai
penurunan fungsi fisik, mental, serta psikis. Maka dari itu
diperlukan dukungan dari keluarga untuk menjaga kesehatan
lansia.
SEKIAN DAN TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai