Anda di halaman 1dari 15

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2022/23.1 (2022.2)

Nama Mahasiswa : OTAR WELFREDO GULTOM

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 042338546

Tanggal Lahir : 27/ 11/ 1997

Kode/Nama Mata Kuliah : ADPU4332/ HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

Kode/Nama Program Studi : 311/ ILMU HUKUM

Kode/Nama UPBJJ : 13/ BATAM


Hari/Tanggal UAS THE : 31 Desember 2022

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN RISET, DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Surat Pernyataan Mahasiswa Kejujuran Akademik

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : OTAR WELFREDO GULTOM


NIM : 042338546
Kode/Nama Mata Kuliah : ADPU4332/ HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
Fakultas : FAKULTAS HUKUM
Program Studi : 311/ ILMU HUKUM
UPBJJ-UT : 13/ BATAM

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE
pada laman https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam
pengerjaan soal ujian UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya
sebagai pekerjaan saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai
dengan aturan akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan
tidak melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui
media apapun, serta tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan
akademik Universitas Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari
terdapat pelanggaran atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan
menanggung sanksi akademik yang ditetapkan oleh Universitas Terbuka.
……., ………………………

Yang Membuat Pernyataan

OTAR WELFREDO GULTOm


BUKU JAWABAN UJUIAN UNIVERSITAS TERBUKA

1. Diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh
Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam
penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang
memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya
stagnasi pemerintahan. Sehubungan dengan hal tersebut:
a. Anda uraikan syarat-syarat diskresi/keputusan/tindakan tersebut?
Jawab :
Syarat-syarat diskresi/keputusan/tindakan tersebut adalah Penggunaan diskresi oleh pejabat
pemerintahan dalam UUAP juga ditentukan syarat dan prosedurnya. Adapun syarat tersebut
meliputi (1) sesuai dengan tujuan diskresi
(2) tidak bertentangan dengan peraturan per-uu-an
(3) sesuai dengan AUPB
(4) alasan-alasannya objektif
(5) tidak menimbulkan konflik kepentingan
(6) dilakukan dengan itikad baik.
Sedangkan prosedur penggunaan diskresi (kaidah proseduralnya) bagi pejabat pemerintahan
telah ditentukan yaitu :
1. Lingkup diskresi Pejabat Pemerintahan pengambilan keputusan dan/atau tindakan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan
keputusan dan/atau tindakan, karena tidak mengatur, karena tidak lengkap atau tidak jelas :
(a) wajib menguraikan maksud, tujuan, substansi serta dampak administrasi dan keuangan
dalam hal penggunaan diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran serta
menimbulkan akibat hukum yang berpotensi membebani keuangan negara
(b) wajib menyampaikan permohonan persetujuan tertulis kepada atasan pejabat dalam
waktu 5 (lima) hari kerja setelah menerima berkas permohonan tersebut. Atasan
menetapkan persetujuan, petunjuk perbaikan, atau penolakan
(c) Apabila atasan pejabat itu menolak, harus memberikan alas an penolakannya
2. Lingkup diskresi Pejabat Pemerintahan pengambilan keputusan dan/atau tindakan karena
adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas:
(a) wajib menguraikan maksud, tujuan, substansi dan dampak yang ditimbulkan dalam hal
penggunaan diskresi menimbulkan keresahan masyarakat, keadaan darurat, mendesak
dan/atau terjadi bencana alam
(b) kewajiban untuk memberitahukan kepada atasan pejabat 5 (lima) hari kerja sebelum
penggunaannya, dalam kondisi apabila penggunaan diskresi karena adanya stagnasi
pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas (Pasal 23 huruf d) dan yang berpotensi
menimbulkan keresahan masyarakat
(c) kewajiban melaporkan setelah penggunaan diskresi tersebut dalam waktu 5 (lima) hari
kerja dalam kondisi apabila penggunaan diskresi karena adanya stagnasi pemerintahan
guna kepentingan yang lebih luas (Pasal 23 huruf d) dalam keadaan darurat, mendesak
dan/atau terjadi bencana alam. Kemudian, terdapatnya pengecualian melakukan
publikasi (pengumuman/memberitahukan) kepada warga masyarakat atas prosedur
penggunaan diskresi tersebut.
b. Apa akibat hukum dari diskresi/keputusan/tindakan tersebut?
Jawab :
akibat hukum dari diskresi/keputusan/tindakan tersebut mencakup:
1. Penggunaan dikresi melampaui wewenang apabila :
a. Bertindak melampaui batas waktu berlakunya wewenang yang diberikan oleh peraturan
perundang-undangan;
b. Bertindak melampaui batas wilayah berlakunya wewenang yang diberikan oleh
peraturan perundang-undangan dan/atau
c. Bertindak tidak sesuai dengan prosedur diskresi (sebagaimana dalam Pasal 26,Pasal 27
dan Pasal 28) Akibat hukum yang ditimbulkannya penggunaan diskresi menjadi tidak
sah.
2. Penggunaan diskresi dikategorikan mencampuradukkan wewenang apabila :
a. Menggunakan diskresi tidak sesuai dengan tujuan wewenang yang diberikan (asas
spesialitas)
b. tidak sesuai dengan prosedur diskresi (sebagaimana dalam Pasal 26,Pasal 27 dan Pasal
28)
c. bertentangan dengan AUPB19 Akibat hukum yang ditimbulkannya penggunaan diskresi
dapat dibatalkan.
3. Penggunaan diskresi dikategorikan tindakan sewenang- wenang apabila:
a. Dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berwenang; Akibat hukumnya penggunaan
diskresi menjadi tidak sah. Pada keadaan dewasa ini, masih menyisakan problematika
hukum yakni dalam proses penegakkan hukum penyalahgunaan wewenang pada
diskresi (keputusan dan/atau tindakan) yang dilakukan oleh pejabat Pemerintahan yang
berhubungan dengan tindak pidana korupsi dengan jenis/bentuk kerugian keuangan
negara. Hal tersebut dapat dilihat dalam proses penegakan hukum banyak ditemukan
unsur “melawan hukum” dan „menyalahgunakan wewenang” yang dibarengi dengan
menyebutkan jumlah kerugian keuangan negara sebagai dasar untuk mendakwa
seorang pejabat telah melakukan tindak pidana korupsi semata-mata berdasarkan
perspektif hukum pidana tanpa mempertimbangkan bahwa ketika seorang pejabat
melakukan aktifitasnya, pejabat tunduk dan diatur oleh norma hukum administrasi.
Sering kali ditemukan pula unsur “merugikan keuangan negara” dijadikan dugaan
awal untuk mendakwa seorang pejabat tanpa disebutkan terlebih dahulu bentuk
pelanggarannya. Suatu pemikiran yang terbalik, unsur “merugikan keuangan negara”
merupakan akibat adanya pelanggaran hukum yang dilakukan seorang pejabat.
Seorang pejabat yang menggunakan keuangan negara tidak dapat dikategorikan
sebagai tindakan yang “merugikan keuangan negara” jika pejabat yang bersangkutan
bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku.

2. Laporan hasil pemeriksaan dalam rangka pemeriksaan keuangan akan menghasilkan opini
atas penyelenggaraan keuangan negara. Sehubungan dengan hal tersebut:
a. Anda uraikan kriteria-kriteria tingkat kewajaran informasi keuangan yang disajikan
dalam laporan keuangan negara!
Jawab :
Tujuan pemeriksaan atas laporan keuangan adalah untuk memberikan pendapat/opini atas
kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan. Menurut Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara, opini merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran
informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan.
Kriteria pemberian opini, adalah:
(a) kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan
(b) kecukupan pengungkapan (adequate disclosures)
(c) kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan
(d) efektivitas sistem pengendalian intern (SPI).
Keempat jenis opini yang bisa diberikan oleh BPK tersebut dasar pertimbangan utamanya
adalah kewajaran penyajian pos-pos laporan keuangan sesuai dengan SAP. Kewajaran disini
bukan berarti kebenaran atas suatu transaksi. Opini atas laporan keuangan tidak mendasarkan
kepada apakah pada entitas tertentu terdapat korupsi atau tidak.
b. Anda uraikan bentuk-bentuk opini yang dikeluarkan oleh BPK sebagai tanggapan atas
penyelenggaraan keuangan negara tersebut!
Jawab :
BPK dapat memberikan empat jenis opini, yaitu Wajar Tanpa Pengecualian (WTP/unqualified
Opinion), Wajar Dengan Pengecualian (WDP/Qualified Opinion), Tidak Memberikan Pendapat
(TMT/Disclaimer Opinion) dan Tidak Wajar (TW/Adverse Opinion).
Opini WTP diberikan dengan kriteria: sistem pengendalian internal memadai dan tidak ada salah
saji yang material atas pos-pos laporan keuangan. Secara keseluruhan laporan keuangan telah
menyajikan secara wajar sesuai dengan SAP.
Opini WDP diberikan dengan kriteria: sistem pengendalian internal memadai, namun terdapat
salah saji yang material pada beberapa pos laporan keuangan. Laporan keuangan dengan opini
WDP dapat diandalkan, tetapi pemilik kepentingan harus memperhatikan beberapa permasalahan
yang diungkapkan auditor atas pos yang dikecualikan tersebut agar tidak mengalami kekeliruan
dalam pengambilan keputusan.
Opini TMP diberikan apabila terdapat suatu nilai yang secara material tidak dapat diyakini
auditor karena ada pembatasan lingkup pemeriksaan oleh manajemen sehingga auditor tidak
cukup bukti dan atau sistem pengendalian intern yang sangat lemah. Dalam kondisi demikian
auditor tidak dapat menilai kewajaran laporan keuangan. Misalnya, auditor tidak diperbolehkan
meminta data-data terkait penjualan atau aktiva tetap, sehingga tidak dapat mengetahui berapa
jumlah penjualan dan pengadaan aktiva tetapnya, serta apakah sudah dicatat dengan benar sesuai
dengan SAP. Dalam hal ini auditor tidak bisa memberikan penilaian apakah laporan keuangan
WTP, WDP, atau TW.
Opini TW diberikan jika sistem pengendalian internal tidak memadai dan terdapat salah saji pada
banyak pos laporan keuangan yang material. Dengan demikian secara keseluruhan laporan
keuangan tidak disajikan secara wajar sesuai dengan SAP.

3. Sehubungan dengan hal tersebut:


1. Anda uraikan bagaimana hak dan kewajiban masyarakat atas pelayanan publik.
Jawab :
Pelayanan publik yang baik adalah bukti kehadiran negara untuk masyarakat. Oleh karena itu
Undang-Undang Pelayanan Publik memberikan ruang dan porsi yang besar terhadap hak dan
kewajiban masyarakat dalam pelayanan publik.
1. Hak Masyarakat Dalam Pelayanan Publik
Dalam pelayanan publik, hal yang paling mendasar adalah masyarakat berhak
mendapatkan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan azas dan tujuan pelayanan,
mengetahui kebenaran isi standar pelayanan, mengawasi pelaksanaan standar pelayanan,
mendapat tanggapan terhadap pengaduan yang disampaikan, mendapat advokasi,
perlindungan, dan/atau pemenuhan pelayanan.
Apabila masyarakat tidak memperoleh pelayanan yang baik dari pelaksana dan
penyelenggara pelayanan, maka masyarakat berhak memberitahukan kepada pimpinan
penyelenggara dan pelaksana pelayanan publik untuk memperbaiki pelayanan apabila
pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan, mengadukan pelaksana
yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan/atau tidak memperbaiki pelayanan
kepada penyelenggara dan Ombudsman, mengadukan penyelenggara yang melakukan
penyimpangan standar pelayanan dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada pembina
penyelenggara dan Ombudsman.
2. Kewajiban Masyarakat Dalam Pelayanan Publik
Selain memiliki hak, masyarakat juga memiliki kewajiban dalam pelayanan publik.
Kewajiban pertama yaitu mematuhi dan memenuhi ketentuan sebagaimana dipersyaratkan
dalam standar pelayanan. Selain itu, masyarakat juga berkewajiban ikut menjaga
terpeliharanya sarana, prasarana dan/atau fasilitas pelayanan publik dan berpartisipasi aktif
serta mematuhi Peraturan yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik.
3. Urgensi Hak dan Kewajiban Masyarakat Dalam Pelayanan Publik
Hakekat pelayanan publik adalah memberikan kebahagiaan baik bagi pelaksana,
penyelenggara, dan bagi masyarakat pengguna atau penerima manfaat dari pelayanan
publik. Oleh karena itu, masing-masing pihak harus memahami dan peduli terhadap hak
dan kewajibannya dalam pelayanan publik. Hak dan kewajiban dalam pelayanan publik
harus dilaksanakan secara seimbang, proporsional, profesional dan humanis.
Pelayanan publik yang baik, adalah wujud kerja sama yang baik antara pelaksana,
penyelenggara dan masyarakat sebagai pengguna atau penerima manfaat dari pelayanan
publik. Pelayanan publik bukan hanya soal hak dan kewajiban semata, namun juga tentang
hati dan sisi humanis dari sebuah penyelenggaraan pelayanan publik agar semua pihak
bahagia dan nyaman.
2. Bagaimana penyelesaian terhadap terjadinya pelanggaran atau maladministrasi dalam
pelayanan publik.
Jawab :
Upaya Hukum Terhadap Putusan Ajudikasi Ombudsman Dalam Proses Penyelesaian
Sengketa Pelayanan Publik. Kekuatan mengikat putusan ajudikasi Ombudsman dalam
penyelesaian sengketa pelayanan publik memiliki kekuatan hukum hanya sebagai
rekomendasi, maka sudah tentu terhadap putusan tersebut dapat dilakukan upaya hukum lebih
lanjut. Upaya hukum itu dapat dilaksanakan dengan beberapa kemungkinan, yaitu:
1. Mekanisme dalam Undang-undang Pelayanan Publik, karena proses penyelesaian sengketa
pelayanan publik adalah bagian dari pengaduan dan dan pelaporan dari masyarakat
terhadap pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara dan/atau pelaksana
pelayanan publik. Upaya hukum yang dapat dilakukan adalah, bila hasil putusan ajudikasi
Ombudsman tersebut diabaikan/tidak dilaksanakan oleh terlapor, maka terlapor dapat
dilaporkan kepada instansi atasannya, dan terhadap yang bersangkutan dapat dikenai sanksi
administrasi berupa teguran, penuruan gaji, penurunan jabatan, sampai pembebasan dari
jabatan, dengan maksud agar pihak terlapor mau melaksanakan putusan ajudikasi
Ombudsman. Upaya hukum ini serupa dengan bentuk administrateif beroep. Bila ternyata
pada pihak yang mengabaikan putusan ajudikasi itu ditemukan adanya perbuatan melawan
hukum atau tindak pidana, maka fihak tersebut dapat diajukan ke muka Pengadilan Tata
Usaha Negara dan/atau Pengadilan Umum.
2. Mekanisme dalam undang-undang Ombudsman dan Peraturan Ombudsman Republik
Indonesia Nomor: 002 Tahun 2009 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Dan Penyelesaian
Laporan, dalam hal terlapor mengabaikan rekomendasi Ombudsman, berlaku ketentuan
pasal 38 ayat (4) undang-undang Ombudsman, yang berbunyi :
“Dalam hal Terlapor dan atasan Terlapor tidak melaksanakan Rekomendasi atau hanya
melaksanakan sebagian Rekomendasi dengan alasan yang tidak dapat diterima oleh
Ombudsman, Ombudsman dapat mempublikasikan atasan Terlapor yang tidak
melaksanakan Rekomendasi dan menyampaikan laporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
dan Presiden.”
Ketentuan ini diatur lebih lanjut dalam pasal 44 Peraturan Ombudsman Republik Indonesia
Nomor 002 Tahun 2009 Tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Penyelesaian Laporan yang
berbunyi :
(1) Ombudsman memantau pelaksanaan rekomendasi
(2) Pemantauan pelaksanaan rekomendasi dilaksanakan sebelum tengat waktu 60 hari
untuk melaksanakan rekomendasi berakhir
(3) Ombudsman melakukan pendekatan persuasif agar Terlapor melaksanakan
rekomendasi Ombudsman.
(4) Apabila dalam waktu 60 (enam puluh) hari rekomendasi tidak ditindaklanjuti,
Ombudsman menyampaikan rekomendasi kepada atasan Terlapor mengenai sikap
terlapor yang mengabaikan rekomendasi Ombudsman
(5) Apabila dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari Atasan Terlapor tidak menindaklanjuti
rekomendasi, Ombudsman dapat menyampaikan laporan kepada DPR/DPRD dan
Presiden/Kepala Daerah.
(6) Ombudsman dapat melakukan publikasi atas sikap Terlapor dan Atasannya yang tidak
menindaklanjuti rekomendasi Ombudsman Terhadap fihak yang mengabaikan
rekomendasi ini, dapat dikenai sanksi administrasi sebagaimana ketentuan pasal 39 UU
Ombudsman.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas maka, dapat disimpulkan terhadap rekomendasi
Ombudsman upaya hukum lebih lanjutnya adalah mekanisme upaya administratif yang
berujung dengan penjatuhan sanksi administrasi, dan berdasarkan pembahasan di atas, hal
tersebut menguatkan asumsi bahwa penyelesaian sengketa pelayanan publik melalui
mekanisme ajudikasi di Ombudsman masih harus dikaji lebih lanjut.
4. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mempunyai kompetensi menyelesaikan sengketa
tata usaha negara di tingkat pertama. Sedangkan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
(PT TUN) untuk tingkat banding. Sehubungan dengan hal tersebut:
a. Bagaimana kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara dalam Sistem Peradilan
Indonesia.
Jawab :
Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara
Dalam ilmu hukum dikenal adanya kompetensi atau kewenangan dari suatu badan pengadilan
untuk mengadili suatu perkara, yang dapat dibedakan atas:
1. Kompetensi absolut
2. Kompetensi relatif
Kompetensi absolut adalah kewenangan suatu badan pengadilan untuk mengadili suatu
perkara menurut materi (obyek) perkaranya. Sedangkan kompetensi relatif adalah
kewenangan suatu badan pengadilan untuk mengadili suatu perkara sesuai dengan wilayah
hukumnya.
Sama halnya dengan pengadilanpengadilan lainnya, Pengadilan Tata Usaha Negara pun
mempunyai kedua macam kompetensi tersebut. Dimana pengaturan kedua kompetensi
tersebut telah dirumuskan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara. Untuk selanjutnya di bawah ini penulis akan uraikan secara singkat mengenai
kompetensi absolut dan kompetensi relatif dalam Peradilan Tata Usaha Negara tersebut.
Kompetensi Absolut
Mengenai kompetensi absolut untuk Pengadilan Tata Usaha Negara dapat dilihat dari sudut
adanya pangkal sengketa, yaitu berhubung dikeluarkannya ketetapan tertulis oleh Badan atau
Peradilan Tata Usaha Negara, seperti yang diatur dalam pasal 1 butir 3 Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 yang berbunyi: “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan
tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Peradilan Tata Usaha Negara yang berisi tindakan
hukum tata usaha negara berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku”.
Seperti diketahui, dalam melaksanakan tugas-tugasnya sebagai servis publik, maka tindakan
pemerintah itu dapat dinilai oleh pengadilan, artinya setiap Tindakan pemerintah dapat
digugat di depan pengadilan. Akan tetapi tidak semua tindakan pemerintah dapat diadili oleh
Pengadilan Tata Usaha Negara.
Lalu timbul permasalahan tindakan pemerintah yang manakah yang menjadi kompetensi
absolut Peradilan Tata Usaha Negara? Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara adalah sengketa tata usaha negara (sesuai
dengan objeknya). Sedangkan yang dimaksudkan dengan sengketa tata usaha negara adalah
sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata
dengan Badan atau Peradilan Tata Usaha Negara, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan
tata usaha negara.
Disamping adanya ketetapan tertulis yang menjadi pangkal sengketa, ternyata menurut
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 masih terdapat suatu perbuatan yang dianggap
merupakan ketetapan tertulis, seperti yang tercantum dalam pasal 3 ayat 1 yang menyatakan
“Apabila Badan atau Peradilan Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang
dimohonkan kepadanya, sedang hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan
dengan keputusan tatausaha negara”. Disamping itu di dalam pasal 1 butir 3 Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 disinggung tentang syrat keputusan tersebut, yaitu: “Keputusan tata
usaha negara tersebut harus mempunyai sifat kongkrit, individu dan final”.
Mengenai batasan ketiga sifat tersebut, dapat kita lihat seperti yang tercantum di dalam
penjelasan pasal 1 angkat 3 yang menyatakan bahwa, Bersifat kongkrit, artinya objek yang
diputuskan dalam keputusan tata usaha negara itu tidak abstrak, tetapi berwujud tertentu atau
dapat ditentukan. Bersifat individuil, artinya keputusan tata usaha negara itu tidak ditujukan
untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju”. Bersifat final, artinya sudah
definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum”. Adanya persyaratan penetapan
tertulis memang kita akui banyak segi kelemahannya, terutama menyangkut masalah waktu
yang dibutuhkan cukup panjang, atau mingkin hal ini disebabkan karena melalui proses dan
liku-liku yang rumit sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan kelambahanan administrasi
atau makin derasnya keputusan tak tertulis. Yang lebih khawatir lagi adalah adanya keputusan
tertulis atas desakan keputusan tak tertulis. Timbul pertanyaan mengapa Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 membatas kompetensinya hanya pada keputusan tata usaha negara
tertulis saja ?
Artinya keputusan tata usaha negara secara lisan tidak termasuk objek sengketa tata usaha
negara. Alasannya adalah hal ini disebabkan keputusan tata usaha negara tidak tertulis itu
sukar untuk dijadikan pegangan, dan sulit untuk dibuktikan, lagi pula mudah untuk disangkal
oleh salah satu pihak jika timbul sengketa antara mereka.
Persyaratan tertulis terutama menunjuk pada isi bukan pada bentuknya keputusan tersebut
yang dikeluarkan oleh Badan atau Peradilan Tata Usaha Negara. Oleh karena itu sebuah
memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut dan akan merupakan suatu keputusan
1. Badan atau Peradilan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini sudah jelas
2. Badan atau Peradilan Tata Usaha Negara mana yang mengeluarkannya
Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu;
Kepada siapa tulisan itu ditujukan, dan apa yang ditetapkan di dalamnya, Persyaratan tertulis
itu diharuskan hanya untuk memudahkan saja. Seperti apa yang tercantum dalam penjelasan
pasal butir 3 yang menyatakan “Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk kemudahan segi
pembuktian”. Dengan demikian dapat dikatakan kompetensi absolut Peradilan.
Tata Usaha Negara itu mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Yang bersengketa, adalah orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Peradilan
Tata Usaha Negara;
2. Obyek sengketa, adalah keputusan tata usaha negara tertulis yang dikeluarkan oleh Badan
atau Peradilan Tata Usaha Negara;
3. Keputusan yang dijadikan obyek sengketa itu berisi tindakan hukum tata usaha negara;
4. yang dijadikan obyek sengketa itu bersifat kongkrit, individuil dan final yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Kompetensi Relatif.
Dalam pembahasan kompetensi relatif ini, kita dapat kaitkan dengan tempat kedudukan
pengadilannya itu sendiri atau dengan para pihak-pihak yang bersengketa. Kompetensi
relative Peradilan Tata Usaha Negara yang dikaitkan dengan pengadilan itu sendiri diatur
dalam pasal 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 yang selengkapnya menyatakan sebagai
berikut:
Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di tiap Kotamadya atau ibukota Kabupaten, dan
daerah hukumnya meliputi Kotamadya atau Kabupaten. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
berkedudukan di ibukota Propinsi, dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.
Sedangkan kompetensi relatif yang berkaitan dengan para pihak yang bersengketa, dapat
dilihat pengaturannya yang terdapat di dalam pasal 54 ayat 1 sampai dengan 6, yang
menyatakan sebagai berikut:
1. Gugatan sengketa tata usaha negara diajukan kepada pengadilan yang berwenang yang
daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.
2. Apabila tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan
tidak dalam satu daerah hukum pengadilan, gugatan diajukan kepada pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara.
Dalam hal tempat kedudukan tergugat tidak berada dalam daerah hukum pengadilan tempat
kediaman penggugat maka gugatan diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman penggugat untuk selanjutnya diteruskan kepada pengadilan yang
bersangkutan.
Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa tata usaha negara yang bersangkutan yang
diatur dengan peraturan pemerintah, gugatan dapat diajukan kepada pengadilan yang
berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat. Apabila penggugat
dan tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada pengadilan di
Jakarta.
Apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri dan penggugat di luar negeri, gugatan
diajukan kepada pengadilan di tempat kedudukan tergugat.
Selanjutnya di dalam pasal 55 ditegaskan bahwa gugatan sengketa tata usaha negara diajukan
kepada pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan
tergugat dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh (90) hari terhitung sejak
saat diterima atau diumumkannya keputusan tata usaha negara.
Akan tetapi dalam hal tergugat tidak berkedudukan dalam daerah hukum pengadilan tempat
penggugat, maka menurut pasal 54 ayat 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, gugatan
dapat diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat
untuk diteruskan kepada pengadilan yang bersangkutan. Bahkan dalam hal-hal tertentu yang
akan diatur dengan peraturan pemerintah, gugatan dapat diajukan kepada pengadilan yang
berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat penggugat.
Prosedur ini merupakan salah satu kekhususan dari beracara di muka Hakim Pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Di samping untuk memberikan kemudahan
bagi penggugat, tetapi juga untuk menjaga ahar tenggang waktu 90 hari bagi pengajuan
gugatan tidak dilampaui.
b. Anda uraikan kapan suatu perbuatan merupakan suatu perbuatan public dan kapan yang
bukan merupakan kegiatan pemerintahan?
Jawab :
uraian kapan suatu perbuatan merupakan suatu perbuatan public dan kapan yang bukan
merupakan kegiatan pemerintahan adalah Perbuatan atau tindakan pemerintah merupakan tiap-
tiap tindakan atau perbuatan dari suatu alat administrasi negara (bestuur organ), melingkupi juga
perbuatan ataupun hal-hal yang berada di luar lapangan hukum administrasi negara, misalnya
keamanan, peradilan dan yang lainnya. Perbuatan pemerintah merupakan tindakan hukum yang
dilakukan oleh penguasa dalam menjalankan fungsi pemerintahan. Menurut Romijen, perbuatan
pemerintah yang merupakan “ bestuur handling “ yaitu tiap-tiap dari alat perlengkapan
pemerintah.
Sebelum diterapkan dalam konsep hukum publik dan hukum privat, ada sejarah hukum yang
panjang. Jika dilihat dari sisi historisnya, Sunarjati Hartono dalam Capita Selecta Perbandingan
Hukum menerangkan bahwa pembagian hukum ke dalam dua golongan dikenal oleh negara-
negara Eropa Kontinental setelah mereka mengenal hukum Romawi. Sebelumnya, Eropa
Kontinental masih berpegangan pada hukum kebiasaan, di mana pembagian hukum publik dan
hukum perdata tidak dikenal.
Pembagian hukum diinisiasi oleh Ulpianus, ahli hukum Romawi yang menyatakan bahwa hukum
publik adalah hukum yang berhubungan dengan kesejahteraan Romawi. Kemudian, hukum
perdata adalah hukum yang mengatur kepentingan orang secara khusus. Pemisahan terjadi karena
ada hal yang merupakan kepentingan umum dan ada pula hal yang merupakan kepentingan
perdata.
Rahayu Prasetianingsih dalam Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum Volume 1 menyebutkan bahwa
pada tradisi hukum Romawi, konsep hukum publik bermula dari konsep res publica. Konsep ini
dibuat oleh Romawi untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi terkait penguasaan
kawasan Mediterania.
Dalam konsep ini, urusan publik dibedakan dari urusan privat dan keberlangsungannya
bergantung pada pemisahan dari pemisahan tersebut. Rahayu juga menjelaskan bahwa seorang
pakar yang mengkaji Roman Law bernama Peter Birks telah membuat suatu taksonomi hukum
atas pemikiran Gaius. Dalam taksonomi tersebut, diterangkan bahwa pada tradisi hukum
Romawi, hukum privat mengatur orang (persons), benda (things), dan tindakan (actions). Setiap
kategori kemudian terpisah satu sama lain. Kelompok benda terdiri dari kepemilikan,
kewajiban/tanggung jawab (obligation), dan waris (succession).

Anda mungkin juga menyukai