NIM:180910301056
Secara garis besar ada dua macam persoalan, yaitu masalah atau persoalan praktis, dan
masalah atau persoalan penelitian (akademik). Persoalan praktis adalah persoalan yang sudah
ada dalam kenyataan kehidupan, dan menimbulkan biaya materi, sosial, atau kejiwaan.
Persoalan ini dipecahkan dengan melakukan suatu tindakan untuk mengubah situasi atau
kondisi yang ada. Adapun persoalan akademik adalah persoalan yang muncul dalam benak
peneliti, yang muncul dari ketidaktahuan atau ketidaklengkapan pengetahuannya mengenai
suatu hal. Suatu masalah penelitian dapat diajukan untuk mengatasi masalah praktis,
sedangkan masalah praktis itu tidak dapat di atasi semata-mata melalui penelitian. Masalah
praktis dapat dipecahkan dengan menerapkan pengetahuan yang didapat dari penelitian,
tetapi masalah penelitian akademik bukan dipecahkan dengan mengubah situasi dalam
kenyataan, melainkan dengan menyempurnakan pengetahuan untuk mempelajari atau
memahami masalah itu dengan lebih baik. Penyempurnaan pengetahuan dapat menghasilkan
informasi baru, mengubah kepercayaan (konsep, teori) yang telah ada, atau bahkan mengubah
tindakan (Booth dkk. 1995:48-63).
Tampak bahwa perspektif positivis dan fenomenologi merupakan dua pendekatan yang
berbeda dan mencari jawaban yang berbeda-beda pula mengenai gejala sosial. Akan tetapi
dalam daur pengembangan pengetahuan ilmiah, metode penelitian kualitatif maupun
kuantitatif dengan kegunaannya masing-masing itu sesungguhnya saling melengkapi. Bahkan
pendekatan yang positivistik sekalipun, mengakui adanya dua proses yang berbeda dalam
pembentukan pengetahuan ilmiah (teori) yang saling melengkapi: yang pertama adalah untuk
menciptakan hipotesis atau teori (dengan prosedur induktif), dan yang kedua adalah untuk
menguji keberlakuan hipotesis atau teori (dengan prosedur deduktif). Sering dianggap bahwa
fungsi dan prosedur deduksi lazim dalam kajian kuantitatif atau positivistik; sedangkan
fungsi dan prosedur induksi digunakan dalam penelitian kualitatif. Namun ada juga penelitian
kuantitatif yang menghasilkan pengetahuan dengan prosedur induktif, misalnya sensus.
Sesungguhnya dalam penelitian empirik kedua prosedur tersebut dapat dipakai untuk saling
melengkapi.
Ada definisi formal yang diringkas seperti dari J.J. Pauly (1991): “Kajian kualitatif
menyelidiki proses penciptaan makna” (dalam Potter 1996:16). Menurut W.J. Potter, definisi
yang formal lebih berguna bagi pembaca karena mengemukakan dengan gamblang inti
pengertian konsep kualitatif, fokus atau ruang lingkupnya, sekaligus batas-batasnya.
Beberapa definisi lain yang lebih “informal” di antaranya adalah yang: (1) membandingkan
dengan metode lain, biasanya dengan metode kuantitatif; (2) merinci unsur-unsurnya atau
jenis-jenisnya, seperti “kajian interpretif”, “interaksi simbolik”, “etnografi”,
“etnometodologi”, “telaah wacana”, “sejarah”, “teori grounded”, “fenomenologi”, “teori
kritis”, “kajian budaya”, “penelitian pascapositivistik”, “studi kasus”, “naturalistik”,
“hermeneutika”; (3) membeberkan cara melakukannya, misalnya “peneliti dilarang
memanipulasi data”, dan langkah-langkah penelitiannya; (4) menyebutkan hasil atau
produknya, umpamanya “data deskriptif”, “dokumen yang terinci tentang bentuk-bentuk dan
jenis-jenis gejala sosial”, dan sebagainya (Potter 1996: 14-21).
Rancangan penelitian kualitatif yang disusun dalam tahap perencanaan pun biasanya
bersifat longgar dan luwes, dan dapat senantiasa ditinjau kembali untuk dipertajam selama
masih berlangsung. Adapun prosedur pelaksanaannya lebih bersifat sirkuler (kadang-kadang
disebut recyclic, reiterative). Seorang peneliti kualitatif dapat saja melangkah kembali ke
tahap yang sudah pernah dijalaninya. Adakalanya masalah atau pertanyaan penelitian
dirumuskan ulang setelah peneliti menyusun kerangka pemikirannya, atau bahkan baru
difokuskan setelah ia mendapatkan pengetahuan di lapangan penelitian (Marshall dan
Rossman 1989; Cresswell 1994, 2009; Maxwell 1996; Potter 1996).
Masalah Penelitian
Masalah penelitian dapat diciptakan atau ditemukan bila peneliti mengalami pengetahuan
ilmiah yang memadai seputar gejala atau topik yang hendak ditelitinya. Hal ini antara lain
dikemukakan oleh Maxwell (1996), yang memberikan suatu kerangka perancangan penelitian
kualitatif yang terdiri atas lima unsur, yakni (1) tujuan, (2) konteks konseptual, (3) pertanyaan
penelitian, (4) metode penelitian, dan (5) validitas. Tujuan penelitian perlu disadari oleh
peneliti: persoalan apa yang hendak diliput? Apakah penelitian tentang persoalan itu akan
mempengaruhi praktek? Apa gunanya penelitian? Konteks konseptual adalah semacam peta
pengetahuan ilmiah yang telah ada mengenai atau di seputar gejala yang akan diteliti. Dalam
hal ini, teori, konsep, dan temuan-temuan terdahulu akan sangat berguna untuk menemukan
masalah penelitian. Adapun sumber-sumber pengetahuan teoritik demikian bisa dari
pengalaman sendiri, dari teori dan kajian yang telah ada, hasil kajian pendahuluan yang
pernah kita lakukan sendiri, dan eksperimen gagasan-gagasan kita sendiri (1996:25-48).
Teranglah kajian pustaka memegang peranan penting dalam hal ini. Namun, berbeda dari
penggunaan teori dalam perumusan masalah penelitian kualitatif, di sini teori lebih berperan
sebagai sumber inspirasi, bukan untuk dideduksikan menjadi hipotesis yang kemudian akan
diuji secara empirik.
Pertanyaan untuk penelitian kualitatif biasanya bersifat umum dan terbuka, tidak terinci dan
terstruktur seperti di dalam penelitian kuantitatif. Tidak terstruktur juga berarti bahwa
pertanyaan tidak mengandung pertanyaan-pertanyaan tentang arah hubungan antarkonsep
(seperti: sejauh mana, pengaruh, akibat, dampak, menentukan, menyebabkan, dan
sebangsanya). Sifat pertanyaan yang umum dan terbuka ini mencerminkan tujuan penelitian
kualitatif untuk mendapatkan informasi mengenai pengetahuan dari perspektif para pelaku
yang diteliti, yang bermuatan pandangan-pandangan subyektif para pelaku. Dalam penelitian
kuantitatif hal ini seringkali justru dibatasi karena dianggap sebagai bias dari informasi yang
diberikan sendiri oleh pelaku (self-report). Dengan kata lain, dalam penelitian kualitatif yang
bertujuan memhami pemaknaan, informasi yang subyektif itu menjadi obyektif. Memberi
ruang bagi subyektivitas berarti juga membuka peluang untuk menangkap keragaman
perspektif dan tindakan pelaku. Oleh karenanya, dalam penelitian kualitatif sang tineliti
ditempatkan sebagai subyek alih-alih obyek penelitian belaka.
Kerangka Penelitia
Sejalan dengan perumusan masalah penelitian, tugas peneliti adalah membangun kerangka
penelitian –kerangka konsep atau teori- yang berfungsi sebagai pedoman umum tentang
bagaimana ia akan mencari jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan yang telah diajukannya
sendiri. Maxwell menyebut bagian ini sebagai “konteks konseptual” (1996:25-48), yang
sesungguhnya telah berperan sejak peneliti merumuskan masalah dan pertanyaan-pertanyaan
penelitiannya. Miles dan Huberman (1994) menyatakan bahwa kerangka konseptual
“menjelaskan … hal-hal pokok yang akan diteliti, yakni konsep-konsep atau variabel-variabel
yang terpenting, serta saling hubungannya satu sama lain” (dikutip oleh Maxwell 1996:25).
Kerangka ini harus mengungkapkan pemikiran peneliti mengenai apa yang terjadi dengan
gejala yang ditelitinya dan/atau apa sebabnya. Maka sebutan “kerangka pemikiran” dengan
tepat menggambarkan fungsi bagian ini sebagai hipotesis yang umum atau teori sementara
sang peneliti. Sekali lagi perlu dicatat bahwa hipotesis dalam penelitian kualitatif berperan
sebagai pedoman penelitian, bukan untuk diuji kebenarannya. Artinya hipotesis ini dapat
dikembangkan selama kurun penelitian, sampai dianggap sebagai penjelasan yang
memuaskan tentang gejala yang dipelajari.
Penelitian kualitatif lazimnya berusaha untuk memahami suatu gejala sosial tertentu secara
holistik, dan karenanya berusaha mendapatkan data dari berbagai dimensi. Ada empat
tingkatan data yang perlu diperhatikan, yaitu:
Penelitian antropologi kerap menemukan bahwa antara perkataan dan perbuatan orang
terdapat jarak yang bisa besar. Kesenjangan ini tentu ada alasannya, padahal alasan ini kerap
tidak disadari oleh orang-orang yang bersangkutan, sehingga perlu digali melalui wawancara,
khususnya tentang hal yang telah teramati oleh peneliti. Data pada tingkat ini amat penting,
sebab seringkali kegagalan program-program intervensi dalam berbagai bidang kehidupan,
disebabkan oleh kelemahan pengetahuan mengenai jenis gejala ini. Jadi, setiap jenis
pertanyaan akan memerlukan suatu metode tertentu untuk menemukan jawabnya, dan
jawaban akan menghasilkan pengetahuan tertentu pula.
Akhirnya data pada tingkat keempat, yakni mengenai konteks, tidak kurang pentingnya. Data
pada tingkat pertama, kedua, dan ketiga dapat sangat dipengaruhi oleh konteks penelitian,
yaitu keadaan yang melingkupi satuan sosial (individu, kelompok, komuniti) pada ruang dan
waktu ketika penelitian berlangsung. Keadaan ini dapat berupa lingkungan fisik maupun
sosial, baik yang ada di sekitar latar penelitian maupun dalam skala yang lebih luas.
Keunggulan penelitian kualitatif justru terletak pada perhatiannya terhadap konteks dari
gejala yang ditelitinya. Data tentang konteks ini selain diperoleh dari penelitian lapangan juga
didapat dari sumber-sumber sekunder.
Berkaitan dengan konteks ini, kehadiran peneliti serta kegiatannya pun merupakan unsur
yang perlu diperhatikan. Telah sering dikemukakan dalam penelitian-penelitian antropologi,
bahwa kehadiran peneliti menimbulkan perubahan tingkah laku pada sasaran penelitian.
Kehadiran peneliti dengan segala perlengkapan pengumpulan datanya (kamera, tape
recorder, buku catatan, dan sebagainya) dan pertanyaan-pertanyaannya dapat membuat orang
menghindar, atau sebaliknya, melebih-lebihkan tingkah lakunya. Dengan kesadaran akan
kemungkinan pengaruh peneliti (halo effect atau researcher’s effect) ini, amat dianjurkan
untuk mengulang-ulang pengumpulan data pada berbagai tahap penelitian. Setidaknya, perlu
dibandingkan informasi yang didapat pada awal penelitian dan pada akhir penelitian.
Tampaklah bahwa untuk mendapatkan data yang memadai hanya dimungkinkan bila
penelitian menggunakan berbagai macam metode. Penggunaan berbagai macam metode
dalam satu penelitian –termasuk mempekerjakan lebih dari seorang peneliti—juga lebih
menjamin valisitas penegetahuan yang dihasilkannya. Dalam terminologi metode penelitian,
penggunaan bermcam-maca cara ini disebut triangulasi. Istilah ini diperkenalkan oleh
Norman Denzin, yang meminjamnya dari teknik navigasi yang menggunakan trigonometri
untuk menemukan suatu posisi atau lokasi, dari hubungannya dengan dua titik yang telah
diketahui jaraknya, sehingga informasi posisi itu akurat.
Para informan dapat dipilih berdasarkan berbagai kriteria. Kriteria pertama ialah
keluasan atau kedalaman pengetahuannya tentang kelompok atau komuniti tempat hidupnya.
Kedua, informan hendaknya juga orang yang cukup fasih bicara. Kualitas-kualitas ini tentu
tidak dapat ditemukan begitu saja, melainkan harus ditanyakan oleh peneliti kepada para
informan pangkalnya, yakni orang-orang yang pertama dijumpai dan bisa menunjukkan ke
arah mana atau kepada siapa peneliti dapat meminta keterangan. Selain informan “ahli”
seperti itu, peneliti perlu mendapatkan gambaran menyeluruh tentang warga satuan sosial
yang ditelitinya. Konsep gambaran menyeluruh ini berbeda dari konsep “gambaran rata-rata”
yang lazim dalam penelitian kuantitatif. Tujuan penelitian kualitatif adalah untuk menemukan
keragaman, sehingga setiap varian atau ragaman, penting untuk diperhatikan. Oleh sebab itu
bila dalam penelitian kualitatif ditarik sample atau cuplikan dari populasi yang diteliti, maka
kriterianya tidaklah acak, melainkan harus dapat meliput sebanyak mungkin ragaman yang
ada (bukan jumlah, melainkan jenis). Bila pun hendak dikenakan kriteria “keterwakilan”,
maka yang harus diwakili bukanlah jumlah, melainkan kategori. Misalnya ada 10 kategori
yang penting bagi populasi setempat (secara emik), dari tiap-tiap kategori itu diambil satu.
1. Menghasilkan teori yang dapat dipahami dan dapat dipercaya bagi mereka yang
diteliti maupun bagi orang lain.
2. Dapat digunakan untuk evaluasi formatif yang bertujuan untuk membantu
meningkatkan praktek yang ada, alih-alih hanya sekedar meneliti manfaat suatu
program atau produk yang dievaluasi. Dalam evaluasi formatif, yang lebih penting
adalah memahami proses dari peristiwa atau gejala yang berlangsung dalam situasi-
situasi khusus, daripada sekedar melakukan perbandingan dengan situasi yang lain.
3. Melakukan penelitian kolaboratif atau penelitian-tindak (action research) dengan para
praktisi serta partisipan (1996:17-20)
Akan tetapi salah satu syarat yang berat untuk keberhasilan suatu penelitian yang
menggunakan metode kualitatif adalah waktu yang relatif panjang. Telah kita lihat bagaimana
untuk menjaga validitas informasi, diperlukan mengulang pertanyaan atau pengamatan yang
sama pada sekurang-kurangnya dua titik waktu penelitian. Hal ini akan sukar dipenuhi oleh
penelitian yang merupakan bagian dari program-program intervensi yang biasanya terbatas
kurun waktunya. Di sisi lain, dewasa ini semakin kerap orang memerlukan informasi yang
kualitatif untuk perencanaan maupun pelaksanaan program intervensi. Perkembangan
program-program intervensi berikut segala uji coba pendekatannya, telah memberikan hasil
sampingan berupa metode-metode pengumpulan data kualitatif yang dapat dilakukan dalam
waktu relatif singkat (Mikkelsen, 1999; Helman, 2000:264-271)
Sesungguhnya ada jenis penelitian kualitatif yang tidak perlu dilakukan dengan metode
penelitian lapangan berikut teknik-teknik pengumpulan datanya, tetapi tetap bertujuan
memperoleh data primer dan menggunakan teknik-teknik penafsiran untuk mmenganalisis
datanya. Yang tergolong dalam jenis ini adalah kajian-kajian tentang wacana (discourse
analysis) seperti yang berkembang dalam ilmu-ilmu sastra dan komunikasi. Studi sejarah,
hukum, dan hubungan internasional, misalnya, banyak menggunakan dokumen alih-alih data
dari sumber primer. Bahan atau data utama kajian-kajian serupa itu adalah teks (termasuk
gambar dan artefak) yang telah dikumpulkan dan disusun oleh orang lain.
Ini adalah istilah yang diperkenalkan oleh Kenneth Pike, meminjam dari ilmu linguistik
tentang pembunyian kata (fonologi, phonology). “Emik” (emic) mengkaji gejala bahasa atau
tingkah laku berdasarkan struktur internalnya atau sistemnya, ‘sebagaimana adanya’;
sedangkan “etik” (etic) menelaah gejala bahasa atau tingkah laku berdasarkan konsep-konsep
umum dan baku, yang terlepas dari sistemnya.
Pendapat yang mendukung maupun yang menolak perkembangan ini tidak akan kita
bahas sekarang. Namun demikian, belakangan ini tampak beberapa teknik atau metode
kualitatif yang cepat, khususnya diskusi kelompok terfokus (focus group discussion, FGD)
dicantumkan dalam laporan-laporan penelitian akademik. Hal ini merupakan perkembangan
yang wajar, apalagi bila dikaitkan dengan keterbatasan dana serta waktu yang dimiliki oleh
peneliti dewasa ini. Akan tetapi penggunaan metode kualitatif kilat semacam itu lebih cocok
untuk keperluan pengenalan lapangan secara cepat (reconnaissance research) dan untuk
keperluan verifikasi teman-temuan peneliti kepada para informannya. Demikianlah, misalnya
FGD dapat dilakukan di awal penelitian, sebagai pendahuluan untuk melakukan survey
(kuantitatif), yakni agar kuesioner menggunakan bahasa atau konsep yang cocok dengan
kebudayaan setempat. FGD juga dilakukan di akhir penelitian untuk menguji temuan peneliti.
Perbedaan mendasar penelitian kualitatif dari penelitian kuantitatif adalah bahwa analisis
dilakukan bukan setelah data ‘semua’ terkumpul, melainkan sesegera mungkin. Analisis
dimulai sejak awal pengumpulan data dan berlanjut terus sampai selesai menuliskan
penelitian (ongoing analysis). Ada beberapa cara analisis yang dapat dilakukan:
Memo, yaitu catatan peneliti di samping catatan berupa data, yang berisi pikiran-
pikiran peneliti dari membaca data yang terkumpul dari hari ke hari selama ia berada
di lapangan. Pikiran peneliti bisa berupa konsep atau teori yang telah diketahuinya
dari khasanah pustaka ilmiah yang relevan dengan penelitiannya, atau yang dapat
dibuatnya dari membaca data. Memo akan membantu peneliti menafsirkan datanya.
Kategorisasi, yaitu pemilahan data ke dalam bagian-bagian yang relevan.
Kategorisasi ini dapat dilandasi oleh kerangka konsep atau teori peneliti (etik), dapat
pula bertolak dari kerangka konsep atau teori orang yang diteliti (emik), yang cukup
lazim dalam kajian antropologi. Data yang telah digolong-golongkan dapat
diperbandingkan dan dihubung-hubungkan dalam rangka pengembangan proposisi
atau hipotesis.
Visualisasi, yaitu pembuatan bagan, tabel, dan teknik-teknik visual lain yang pada
hakikatnya mereduksi data namun akan membantu peneliti melihat model hubungan
di antara kategori-kategori datanya.
Interpretasi, yakni penafsiran data menurut perspektif atau kerangka konsep dan teori,
atau berdasarkan konteks yang ditemukan selama penelitian dilakukan
(kontekstualisasi).
Cara-cara analisis di atas bukanlah untuk langsung diterapkan dalam setiap penelitian,
melainkan harus dipilih oleh peneliti sesuai dengan keperluannya, ialah pertanyaan
penelitiannya. Pertanyaan mengenai hubungan di antara berbagai peristiwa atau gejala dalam
sebuah konteks tertentu, tidak dapat dijawab dengan analisis yang hanya mengandalkan
kategorisasi. Sebaliknya, pertanyaan mengenai kesamaan atau perbedaan di antara berbagai
konteks, tidak dapat dijawab hanya dengan melakukan kontekstualisasi.
Setiap langkah analisis akan menghasilkan semacam hipotesis bagi peneliti, yang harus
“diuji”nya kembali pada langkah pengumpulan data berikutnya. Salah satu cara terpenting
untuk ini adalah dengan mencari kasus-kasus kontras, berbeda, senjang, kekecualian,
negative case, dari apa yang telah ditemukan sebelumnya. Prinsip “mencari kontras” ini
sekaligus membuka peluang untuk menemukan keragaman dalam kesatuan sosial (kelompok,
komuniti) yang diteliti.
Tujuan akhir dari analisis tentulah untuk menghasilkan hipotesis atau teori. Hipotesis
atau teori yang dihasilkan oleh penelitian kualitatif, disebut juga teori substantif karena
dibangun secara induktif dari substansi (data) yang ada. Lingkupnya lokal. Teori yang khusus
seperti ini disebut teori idiografik, yang karena menonjolkan keunikan konteks maka menjadi
kurang umum, sehingga sering dinilai sebagai “tidak ilmiah”. Betulkah demikian? Mari kita
perhatikan kembali bagan tentang daur pembentukan pengetahuan ilmiah di awal tulisan ini.
Akan tampak bahwa fungsi penelitian kualitatif memang lebih menonjol untuk menghasilkan
hipotesis atau teori; sedangkan keuniversalan atau generalitas teori seperti itu perlu diuji
melalui penelitian kuantitatif.
Dari pemaparan mengenai langkah analisis di atas, tersirat satu hal penting dalam
penelitian kualitatif, ialah kemampuan sang peneliti, baik secara akademik maupun secara
sosial. Peneliti mutlak perlu menguasai konsep dan teori, yang akan membantunya
mengarahkan proses pengumpulan data selanjutnya selama berada di lapangan. Tanpa bekal
pengetahuan konseptual maupun teoretik yang memadai, akan sulit baginya mengidentifikasi
variabel-variabel yang penting bagi pemahaman atau penjelasannya, sekalipun gejalanya
mungkin bersimpang-siur di depannya. Pengetahuan ilmiah demikian dapat digali dari bacaan
yang relevan, atau didapat melalui diskusi dengan sejawat. Cara yang kedua mungkin
dilakukan bila peneliti memiliki pembimbing atau sejawat atau asisten yang
mendampinginya, dan bila lokasi penelitiannya mudah dijangkau atau memiliki prasarana
dan sarana telekomunikasi. Yang sulit adalah bila tempat penelitiannya berada di daerah yang
relatif terpencil dan sukar dijangkau. Dalam hal ini tidak ada cara lain yang efektif kecuali
membekali diri dengan bacaan yang relevan.
Salah satu sumber ancaman terhadap validitas itu adalah bias atau kecondongan si
peneliti, yang memilih data yang sesuai dengan kerangka penelitian atau yang paling menarik
perhatian peneliti. Namun bias begini sukar dihindarkan. Lagipula penelitian kualitatif
sesungguhnya memang terbuka bagi pengaruh peneliti terhadap pelaksanaan dan hasil
kajiannya. Yang penting adalah menyadari serta menyatakan dengan gamblang bias-bias
pribadi ini (dan kalau mungkin, bagaimana hendak mengatasinya), sehingga dapat menjadi
pertimbangan para pembaca untuk menilai laporan penelitian yang bersangkutan.
Sumber ancaman lainnya adalah reaktivitas, yaitu pengaruh dari keberadaan peneliti
terhadap latar atau orang-orang yang diteliti. Ihwal ini telah disinggung dengan istilah
researcher’s effect atau halo effect di atas. Pada umumnya reaktivitas ini menonjol pada
wawancara, karena bagaimanapun jawaban informan atas pertanyaan peneliti turut
dipengaruhi oleh cara peneliti mengajukan pertanyaannya. Pierre Bourdieu menegaskan
bahwa hubungan antara peneliti-tineliti dalam setiap wawancara merupakan suatu hubungan
atau pertukaran sosial. Hubungan ini dapat mempengaruhi hasi yang dicapai (1966:19 dst.).
Reaktivitas umumnya diatasi dengan metode pengamatan terlibat. Dengan melibatkan diri
dalam kehidupan sehari-hari para informannya, peneliti lambat laun akan diterima sebagai
bagian yang wajar dalam dunia sosial mereka, dan mereka bertindak atau berbicara seperti
lumrahnya situasi sehari-hari bila tidak ada peneliti.
Meski telah tersirat dalam paparan pada bagian 2 di atas, berikut ini dikemukakan garis-
garis besar penyajian usulan dan hasil penelitian kualitatif.
Kerangka penyajian hasil akhir penelitian, sesuai dengan keperluan peneliti, dapat
disiapkan sejak awal sebagai salah satu pesoman pengumpulan data. Hal-hal yang perlu
diperhatikan peneliti untuk melaporkan hasil kajiannya adalah :
Tentukan pembaca
Tentukan kerangka (cerita, tesis)
Buat daftar topik dan garis-garis besar susunan tulisan
Buat draft kasar untuk setiap bagian: menulis seperti berbicara
Revisi terus menerus
Tulis pendahuluan dan kesimpulan
Baca teliti (libatkan pembaca lain)
Tulis ulang seluruh laporan
Struktur dan isi laporan hasil penelitian kualitatif pada dasarnya sama dengan penelitian
akademik pada umumnya. Memang dewasa ini terdapat berbagai cara penyajiannya, terutama
bila penelitian itu berorientasi praktis dan menggunakan pendekatan partisipatorik. Dalam hal
yang terakhir ini, hasil penelitian harus disajikan dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh
warga masyarakat yang berkepentingan, yang telah turut menentukan jalan dan arah
penelitian. Salah satu prinsipnya adalah menghindari penggunaan jargon-jargon teknis yang
berasal dari khasanah pengetahuan pihak peneliti (etik). Secara umum, struktur laporan
penelitian adalah sebagai berikut ini:
Dalam kerangka tersebut di atas tidak disebutkan suatu bagian yang lazim terdapat
dalam format laporan penelitian yang positivistik, yaitu “tinjauan pustaka”. Sesungguhnya
sebagaimana telah dikemukakan dalam bagian tentang penyusunan rencana penelitian di atas,
semua penelitian ilmiah yang berpretensi menyempurnakan pengetahuan konseptual maupun
teoretik, pasti bertolak dari kegiatan menelusuri kepustakaan yang relevan. Dalam khasanah
kajian kualitatif dijumpai berbagai cara penyajian hasil membaca ini. Ada yang mengikuti
format penelitian yang kurang lebih positivistik-deduktif, dengan mencantumkan tinjauan
pustaka di bagian depan (dalam format baku hasil penelitian skripsi, tesis, dan disertasi di
Indonesia, dicantumkan dalam suatu bab tersendiri setelah bagian bagian Pendahuluan). Ada
yang mencantumkan kajian pustakanya hanya secara garis besar di bagian Pendahuluan,
kemudian rujukan-rujukan yang lebih terinci tersebar di seluruh batang tubuh hasil penelitian.
Versi yang lain adalah yang mencantumkan kajian pustaka dalam bagian penutup, sebagai
dikusi yang membandingkan hasil penelitian yang khusus dengan kajian-kajian lain yang
relevan, sebagai upaya menarik generalisasi. Versi terakhir ini menaati asas penalaran
induktif yang menjadi ciri pokok penelitian kualitatif.