BERBASIS PESANTREN
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menggali fakta-fakta kondisi damai yang dialami para
siswa dalam lingkungan sekolah berbasis pesantren, baik positif maupun negatif dan
mengungkapkan mentalitas mereka dihadapkan dengan peraturan sekolah. Penelitian
dilakukan di Madrasah Aliyah (Mualimin) Pesantren Persatuan Islam (PPI) 76 Tarogong
Garut. Metode yang digunakan adalah metode naratif berdasarkan data-data yang
dikumpulkan dengan teknik kuesioner, wawancara, dan studi literatur yang menggunakan
analisis interaktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sinergitas peraturan sekolah, muatan
kurikulum, para pendidik, sarana dan prasarana, serta elemen internal lain dari sekolah
berbasis pesantren tersebut membangun satu keutuhan kondisi atmosfer kehidupan sarat
damai yang cukup signifikan bagi para siswa, baik individual maupun komunal. Fondasi
spiritual dan keagamaan dalam pendidikan memiliki struktur yang kokoh dalam menyusun
pilar kedamaian dalam diri siswa. Internalisasi kesadaran fungsi dan tugas manusia serta
pedoman berkehidupan yang diajarkan agama (Islam) sangat menopang terbentuknya harmoni
sikap siswa terhadap peraturan sekolah yang kokoh, yaitu terhindar dari mental disiplin yang
rapuh dan ragawi semata.
Kata kunci: mentalitas damai, pesantren, peraturan sekolah
Abstract
This study was aimed at eliciting facts of peaceful conditions experienced by students
in the environment of Pesantren-based schools, positively and negatively, and revealing the
students’ mentality in the face of the school rules. The study was done in Madrasah Aliyah
(Mualimin) Pesantren Persatuan Islam (PPI) 76 Tarogong, Garut. The study used the narrative
method based on the data collected by questionnaires, interviews, observation, and literature
study using interactive analyses. Findings show that the synergy of school rules, curriculum
contents, teachers, facilities and infrastructures, and other internal elements of the pesantren-
based school actualized a unified peaceful life atmosphere which is significant for students,
individually or communally. The spiritual and religious foundation of the education has
a solid structure in building pillars of peacefulness within the students. Internalization of
awareness towards human roles and duties and life guidelines taught by Islamic teaching
scaffolds the formation of the strong harmony between students’ attitudes and school rules,
preventing students from discipline mentality that is weak and superficial.
Keywords: peaceful mentality, pesantren, school rules
111
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 1, Nomor 1, Juni 2017, Halaman 111-124
112
Ade H., dkk.: Mentalitas Damai Siswa...
113
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 1, Nomor 1, Juni 2017, Halaman 111-124
Saya berjanji pada ustazku. PPI 76 ini. Pola yang telah diberlakukan
Saya akan menaati ustazku. berpuluh tahun ini memiliki landasan aturan
Saya akan berbuat baik pada kedua yang sangat kuat baik berdasarkan agama
orang tuaku. maupun secara psikologis. Muatan pelajaran
Saya akan bersungguh-sungguh yang memberikan fokus berimbang antara
dengan penuh keikhlasan. pelajaran agama dan pelajaran umum
Saya tidak akan berdusta. memberikan kontribusi positif dalam
Saya tidak akan bertengkar. pembelajaran dan penggemblengan
Saya tidak akan mencela seseorang. diri santri. Semua rangkaian aturan dan
Saya akan membaca Alquran setiap muatan studi yang unik dari pesantren
hari. memberikan satu diferensiasi sentuhan
Saya tidak akan merokok. tertentu pada output pendidikan. Selain
Saya tidak akan menampakkan per- itu, elemen sekolah lainnya seperti tenaga
hiasanku kecuali yang biasa tampak. kependidikan serta sarana dan prasarana
Saya akan meninggalkan kejelekan pun berkontribusi tidak sedikit terhadap
yang tampak dan yang tidak tampak. kondisi kedamaian santri. Dalam hal
Tiada pembicaraan rahasia antara tiga kekurangan, perlu diper-baiki oleh lembaga
orang, melainkan Dialah (Allah) yang demi introspeksi dan perbaikan mutu
keempatnya. pendidikan yang lebih baik.
Dan tiada pembicaraan lima orang Berdasarkan latar belakang di atas,
melainkan Dialah yang keenamnya. penelitian ini difokuskan pada dua hal.
Dan tiada pula pembicaraan antara Pertama, latar belakang pemikiran (mindset)
jumlah yang kurang dari itu atau lebih damai siswa di sekolah berbasis pesantren.
banyak melainkan Dia akan bersama Kedua, mentalitas siswa dihadapkan dengan
mereka di mana pun mereka berada. peraturan sekolah berbasis keagamaan.
(Daerobi, 2010).
METODE
Baiat di atas berfungsi sebagai Penelitian dilaksanakan di Madrasah
dasar dari peraturan pesantren yang lebih Aliyah (Mualimin) Pesantren Persatuan
memberikan penguatan dan penyerapan Islam Nomor 76 Tarogong Garut (MA PPI
ke dalam diri santri dengan diikrarkan 76). Karakteristik MA PPI 76 merupakan
sepekan sekali sebagai bagian Islamic sekolah formal tingkat menengah atas
character building yang bersifat pengikat yang menerapkan dua kurikulum, yaitu
dan pengingat bagi kehidupan keseharian kurikulum sekolah formal dan kurikulum
santri baik di lingkungan sekolah maupun pesantren. Jika menilik karakteristik
di luar sekolah, baik dalam KBM maupun pesantren dari Dhofier (1983, p. 41) MA
di luar KBM. Rangkaian peraturan tersebut PPI 76 termasuk pada kategori pesantren
bagi pesantren merupakan optimalisasi modern. MA PPI 76 adalah sekolah atau
peraturan yang sifatnya tidak hanya madrasah (formal) di dalam lingkungan
otoritatif, namun hendak memberikan pesantren yang menggunakan sistem
internalisasi kesadaran dalam keseharian klasikal dalam proses pembelajaran.
santri secara menyeluruh. Subjek yang diteliti berasal dari kelas
Pola interaksi dengan pemisahan kelas XI (sebelas) sebanyak 58 siswa dari total
berdasarkan jenis kelamin pun merupakan keseluruhan berjumlah 175 siswa kelas XI.
ciri khas pesantren, termasuk di pesantren Responden yang dipilih sebanyak 27 laki-
114
Ade H., dkk.: Mentalitas Damai Siswa...
laki dan 31 perempuan. Subjek penelitian adalah menganalisis data, dimulai dari
dipilih dengan menggunakan nonprobability mengorganisasi dan mentranskripsikan data,
sampling, yakni dengan teknik purposive kemudian dianalisis secara naratif. Tahap
sampling untuk memilih subjek yang pelaporan dilakukan untuk kepentingan
relevan dengan penelitian atau tujuan publikasi.
penelitian dengan memperhatikan ciri-ciri Data yang dikumpulkan adalah
dan karakteristik populasi (Arikunto, 2002). data primer dan data sekunder. Data
Penelitian ini menggunakan pen- primer diperoleh melalui teknik kuesioner
dekatan kualitatif melalui teknik naratif. dan wawancara yang dilakukan dengan
Studi naratif dipilih karena kemampuannya responden penelitian. Data sekunder
untuk memahami identitas dan pandangan diperoleh melalui penelusuran literatur dan
dunia seseorang dengan mengacu pada data-data yang terkait dengan penelitian
cerita-cerita (narasi) yang didengar ataupun ini. Untuk memberikan panduan dalam
dituturkan dalam aktivitas sehari-hari pengumpulan data di lapangan, disusun
(Webster & Mertova, 2007, pp. 14-15). pedoman studi lapangan seperti dalam
Perspektif naratif (narrative perspective) Tabel 1.
mengarahkan individu untuk memaknai Teknik analisis data mengikuti model
hidupnya dengan bercerita (Winslade & analisis interaktif yang terdiri atas tiga
Monk, 2008, p. 4). komponen alur kegiatan yang terjadi
Individu dengan perspektif naratif tidak bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian
diposisikan sebagai masalah. Perspektif data, dan penarikan kesimpulan (Miles
naratif mewujudkan komitmen untuk & Huberman, 1992, pp. 16-18). Ketiga
mendengarkan itikad terbaik individu. Hal komponen tersebut diterapkan secara
ini lebih baik dibandingkan tergesa-gesa interaksi, baik antarkomponen maupun
dalam membuat asumsi sisi buruk dari dengan proses pengumpulan data dalam
individu tersebut, bahkan memosisikan proses siklus.
sebagai agen moral. Perspektif naratif Hasil pengumpulan data dari obser-
menghindari deficit thinking (Winslade & vasi, wawancara, dan dokumen direduksi
Williams, 2012, p. 17) yang memosisikan terlebih dahulu. Reduksi data lebih bersifat
individu dengan pengalaman sempitnya, menyeleksi kumpulan data karena data
padahal setiap orang memiliki deskripsi dan sajian data dilakukan dalam proses
yang kompleks dan tidak tunggal. pengumpulan data. Setelah pengumpulan
Penelitian dilakukan dengan tiga data berakhir, kemudian dilakukan
tahapan utama, yaitu tahap perencanaan, penarikan kesimpulan dari hasil seleksi
pelaksanaan, dan pelaporan. Tahap data dan sajian data (Sutopo, 2002, p. 88).
perencanaan terdiri atas beberapa langkah:
mengidentifikasi dan merumuskan HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
masalah; menetapkan desain penelitian; Hasil penelitian menunjukkan bahwa
menyusun jadwal kegiatan penelitian; secara umum, kondisi damai yang dirasakan
studi pendahuluan; dan menentukan objek siswa di kelas cukup signifikan karena
penelitian. Tahap pelaksanaan melakukan sebagian besar responden menyatakan
dua langkah, yaitu pengumpulan dan merasakan kedamaian di kelas dan di
menganalisis data. Pengumpulan data sekolah mereka. Beberapa faktor yang
menggunakan kuisioner, wawancara, mendukung terwujudnya kondisi damai
dan studi literatur. Langkah selanjutnya yang dirasakan responden adalah pertama,
115
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 1, Nomor 1, Juni 2017, Halaman 111-124
Tabel 1
Pedoman Studi Lapangan
No Aspek Fokus Studi
1 Unit analisis Individu/siswa, dokumen peraturan sekolah
2 Fokus kajian Sekolah/kelas damai (peaceable school/classroom)
3 Teknik Naratif/cerita
4 Prosedur studi - Memilih satu kelas yang ditelah ditentukan
- Meminta siswa menuliskan cerita otentik/riil yang terkait
dengan dengan masalah kedamaian yang mereka alami
selama berada di kelas atau sekolah
- Narasi/cerita yang ditulis oleh siswa memuat unsur waktu,
tempat, dan alur cerita yang bersifat sekuensial dan kronologis
- Panjang narasi sedikitnya 500 kata
- Cek silang cerita dengan observasi dan wawancara
- Observasi dilakukan terhadap situasi pembelajaran untuk
mengekplorasi perilaku otentik siswa dalam konteks indika-
tor kelas yang damai dan pemahaman pada peraturan sekolah
- Untuk mendapatkan pola dan kecenderungan siswa yang
relatif menetap tentang iklim kelas yang damai observasi
dilakukan pada beberapa kegiatan KBM
- Protokol observasi berbentuk time and motion history untuk
merekam perilaku siswa yang merefleksikan indikator kelas
damai
- Wawancara dilakukan dengan lima wakil siswa/santri yang
mengisi kuisioner untuk menggali perspektif siswa tentang
pentingnya kelas yang damai, ciri-ciri kelas yang damai,
tanggung jawab siswa dalam membangun kelas yang damai,
prospek kelas yang damai di masa depan
5 Analisis data - Analisis interaktif
6 Interpretasi data - Refleksi personal, kajian teori, dan riset terdahulu
Sumber: Webster dan Mertova (2007, p. 111)
116
Ade H., dkk.: Mentalitas Damai Siswa...
adanya konflik, namun kemampuan para damai pada diri siswa. Pertama, adanya
individu untuk menekan potensi konflik suatu aturan yang diberlakukan di sekolah.
serta mengatasi konflik yang ada sehingga Jika KBM dimulai atau siswa saling bertemu,
tidak sampai berkepanjangan dan menyulut siswa dianjurkan memberikan gesture dan
dampak yang lebih besar. Potensi konflik sapaan yang bermakna damai, semisal,
ditekan untuk melahirkan kesadaran urgensi saling berjabat tangan, menebar senyum,
memelihara kedamaian. Membangun dan mengucap salam. Dari pertanyaan,
kedamaian di sekolah perlu dipahamkan kegiatan apa yang membantumu merasa
pada siswa bahwa konflik niscaya ada. damai di kelas/sekolah? Responden W3
Siswa perlu menyadari bahwa konflik menjawab, “Kegiatan yang mendukung
adalah kesempatan untuk pendewasaan untuk damai di sekolah, seperti kegiatan
sikap (Lincoln & Amalee, 2008, p. 129). ketika masuk kelas dianjurkan berjabat
Hal penting yang ditekankan adalah tangan, menebar senyum dan saling
siswa mengetahui sikap terbaik dalam mengucapkan salam satu sama lain”.
menghadapi konflik dengan teman, guru, Hal di atas mensinyalir bahwa
dan elemen sekolah yang lain. gesture sangat berkontribusi menambah
Kedua, kondisi kebersihan dan suasana damai antarsiswa. Dalam beberapa
kenyamanan kelas pun menjadi kesadaran lingkup sosial tertentu, kedamaian dapat
masif akan pengaruhnya pada kondisi diupayakan di lingkungannya dalam bentuk
damai yang dirasakan siswa. Kelas yang “gesture damai” yang sangat sederhana
bersih, nyaman, fasilitas memadai, tidak namun memiliki pengaruh psikologis
bising, area sekolah yang luas merupakan yang besar. Gerak pola tangan dan satu
sejumlah indikator kondisi kedamaian. rangkaian wajah tertentu dengan beberapa
Ketiga, kondisi kelas yang kondusif. potongan kata pendek berisi doa salam
Hampir semua responden menyatakan kedamaian, cukup bernilai dan berbobot
kondisi kelas yang dapat membuat damai padat yang mewakili rasa perdamaian yang
pada diri mereka dengan faktor-faktor ingin disampaikan individu tanpa banyak
pendukung seperti, pemisahan santri berumbar kata, namun berkesan mendalam
berdasarkan jenis kelamin, peraturan yang secara interpersonal. Ucapan salam di
dijalankan secara disiplin, jumlah siswa lingkungan pesantren telah menjadi kultur
yang tidak terlalu padat, dan sebagainya. yang kental dan tidak dapat dilepaskan dari
Hubungan harmonis dengan guru sebagian budaya keseharian pesantren.
besar sangat baik. Para guru cukup dinilai Kedua, nilai khas kepesantrenan
kompeten berdasarkan background yang menyentuh pada kondisi inner peace
pendidikan, pola pengajaran, pemahaman responden. Pola penghayatan kedamaian
psikologis peserta didik. Hal penting bagi di lingkungan responden cukup banyak
para responden adalah cara pengajaran dipengaruhi oleh rutinitas dan kedekatan
yang tidak membosankan. Sebagian besar individu membaca kitab suci (Alquran),
responden sangat mendapatkan pengaruh baik sendiri maupun secara bersama-
baik positif ataupun negatif dari pola sama, dalam rangka pembelajaran maupun
pengajaran yang menyenangkan dengan penghayatan pribadi ketika sendiri.
hubungan psikologis yang baik. Beberapa responden mengalami gradasi
Terdapat beberapa hal menarik untuk kedamaian diri yang sangat signifikan yang
diungkap yang menjadi nilai khas pesantren ditopang oleh faktor kedekatan aktivitas
dalam mendukung terciptanya kondisi dengan hal yang berkaitan dengan Alquran
117
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 1, Nomor 1, Juni 2017, Halaman 111-124
khususnya tilawah yakni membaca Alquran. siswa, serta perilaku siswa yang kurang
Jawaban berbeda disampaikan responden menghargai guru. Faktor lain yang cukup
W2 ketika diajukan pertanyaan yang sama memperbesar kondisi ketidakdamaian
di atas, yang menjawab: “…bergabung responden adalah kondisi faktual beberapa
dengan kegiatan UG (OSIS), membaca guru yang kurang melakukan pendekatan
Alquran di tempat sepi, menyibukan diri psikologis kepada siswa dan hanya berfokus
dengan hal-hal yang bermanfaat, berusaha pada materi pelajaran dan kedisiplinan
untuk tidak mengusik rasa damai yang yang kurang diimbangi objektivitas dalam
sedang dirasakan orang lain. Insya Allah menilai siswa secara mendalam. Satu
hati jadi tenang”. misal dari pertanyaan, ceritakan seberapa
Pernyataan di atas menegaskan kon- baik/buruk hubunganmu dengan guru dan
tribusi pendalaman agama dan Alquran yang teman-teman di kelas/sekolah! Responden
berfungsi sebagai peredam atau kontrol W3 menjawab. “Saya lebih (sangat dekat)
internal dalam menekan konflik batin dan dengan teman-teman dibanding dengan
kondisi yang mengganggu kedamaian guru. Padahal sebenarnya saya dan teman-
baik interpersonal maupun intrapersonal. teman butuh rangkulan (perhatian lebih)
Sebagian besar responden menyatakan dari guru”.
sangat merasakan bahwa pendalaman Berdasarkan analisis, kondisi yang
pelajaran agama memberikan kontribusi membuat sebagian besar siswa tidak
positif bagi inner peace responden. Sebagian merasa damai berdasarkan faktor di atas
lainnya menyatakan pemberian pelajaran dapat diimbangi dengan kemampuan
berbasis keagamaan seperti di pesantren efikasi diri. Menilik teori Bandura
tersebut sangat besar manfaatnya untuk (1997) bahwa efikasi diri (self-efficacy)
menata masa depannya. Beberapa di merupakan keyakinan individu mengenai
antaranya pun menyatakan sangat signifikan kemampuan dirinya dalam melakukan
mendapatkan pondasi kesadaran memahami tugas atau tindakan yang diperlukan untuk
realita, fungsi dan kewajibannya sebagai mencapai hasil tertentu. Sejumlah jawaban
siswa dan manusia berdasarkan kontribusi responden dari kuesioner yang diberikan,
pemahaman spiritual agamanya. kendati pun para responden mengalami
Ada juga sejumlah responden me- beberapa faktor yang menyebabkan
nyatakan kurang dan tidak merasakan berkurang atau terganggunya kondisi
kedamaian, yakni kurang lebih sepertiga kedamaian, ketika menjawab para respon-
dari total responden yang disebabkan oleh den menjelaskan adanya kesadaran bahwa
beberapa faktor, yaitu faktor pertemanan, segala sesuatu memiliki sisi positif dan
kondisi kelas, dan pengaruh pribadi, serta negatif, sisi kemudahan dan kesulitan,
pola pengajaran guru. Faktor-faktor yang serta senantiasa terdapat pelajaran dari
lain yaitu individualitas serta egoisme hal negatif sekalipun. Responden W1
beberapa siswa, kelas yang gaduh, fasilitas menyatakan kurang merasakan kedamaian
yang kurang memadai (semisal kantin yang karena ada konflik dengan temannya,
kurang luas), letak sekolah di pinggir jalan namun ketika pada muara pertanyaan,
dan bersebelahan dengan sekolah dasar kamu merasa bahagia di sekolah ini? Coba
(SDIT Persis Tarogong), pelanggaran ceritakan suasana hatimu!” Ia menjawab:
aturan sekolah yang dilakukan siswa, “Bahagia sih, walau banyak (hal) yang
kondisi kelas kotor, kesenjangan sosial kurang damai, namun di baliknya ada
yang menyebabkan rasa minder beberapa hikmah yang membuat saya jadi terdorong
118
Ade H., dkk.: Mentalitas Damai Siswa...
untuk merubah diri saya lebih baik agar diri seseorang tidak ditentukan oleh jenis
terjadinya damai yang saya harapkan”. kelamin. Rendahnya tingkat self control juga
Menimbang hal itu, status tingkat dipengaruhi oleh faktor luar dari masing-
ketidakdamaian siswa tidak begitu masing diri individu. Shekarkhar dan
mengkhawatirkan. Siswa umumnya paham Gibson (2011) menilai bahwa Gottfredson
mengenai tugas, mencapai tujuan, dan dan Hirschi mengabaikan faktor-faktor
mengatasi hambatan. Beragam cara siswa lain yang menyebabkan rendah atau
dalam mengatasi keadaan tidak damai tingginya tingkat kontrol diri yang dimiliki
dalam dirinya, seperti membaca Alquran, oleh individu. Misalnya, ketika individu
jalan-jalan keliling sekolah, membaca buku memiliki akses yang lebih besar untuk
yang dibawa dari rumah, berdiskusi dengan melakukan tindakan negatif, individu
teman, curhat dengan guru, berorganisasi, tersebut cenderung bertindak negatif dan
olahraga yang disukai, dan sebagainya. memiliki self control yang buruk.
Fenomena lain yang terjadi pada Ditinjau dari jenis kelamin, laki-laki
kondisi ketidakdamaian responden adalah mempunyai karakter bersaing (Relawati,
kecenderungan siswa laki-laki yang 2011) dan lebih agresif (Taylor, Peplau,
lebih rentan merasakan ketidakdamaian & Sears, 2005) daripada perempuan.
dibandingkan siswa perempuan, yaitu dari Stereotif menggambarkan perempuan lebih
20 responden yang menyatakan kurang/tidak menerima, pasrah, dan cenderung menerima
merasakan kondisi damai, 15 responden ketimbang laki-laki, juga perempuan lebih
adalah laki-laki padahal sampel yang memerhatikan kerugian akibat perilaku
diambil berdasarkan jenis kelamin cukup agresif (Bettencourt & Miller, 1996).
berimbang secara komposisi. Ada beberapa Berdasarkan pendapat-pendapat
faktor yang menyebabkan hal tersebut di atas dan berdasarkan analisis faktor
memerlukan penelitian lebih lanjut. Merujuk penyebab kerentanan siswa laki-laki dalam
pada hasil penelitian dari Gottfredson perilaku ketidakdamaian dan kekerasan
dan Hirschi (1990) yang menyebutkan didukung beberapa hal. Pola atau cara
terdapat perbedaan tingkat self control antara berkomunikasi siswa laki-laki lebih terbuka
laki-laki dan perempuan, bahwa laki-laki dibandingkan perempuan, akses dalam
memiliki tingkat self control lebih rendah mendapat informasi melalui internet dan
daripada perempuan sehingga banyak kecenderungan remaja laki-laki menyukai
ditemukan laki-laki melakukan tindakan games atau permainan online berbumbu
negatif dan menyimpang terkait dengan kekerasan yang lebih besar dibandingkan
perilaku kriminal dan kenakalan lainnya. remaja perempuan.
Self control yang buruk seringkali dikaitkan Minimnya tingkat ketidakdamaian para
dengan adanya tingkat self control yang responden pun didukung oleh minimnya
rendah. Individu yang memiliki tingkat tingkat perselisihan yang terjadi di antara
kontrol diri rendah cenderung bertindak mereka. Responden di kelas ikhwan
impulsif, memilih tugas yang sederhana, (putra) menuturkan bahwa hanya pernah
berani mengambil risiko, memilih kegiatan sekali konflik berupa perkelahian dan
yang berhubungan dengan fisik, egois, dan segera diselesaikan dengan musyarawah
mudah kehilangan kendali, serta emosi antarsiswa yang berselisih di kelas tanpa
(Gottfredson & Hirschi, 1990). melibatkan guru atau pihak sekolah.
Shekarkhar dan Gibson (2011) Mentalitas adalah keadaan dan
menyatakan tinggi rendahnya kontrol aktivitas jiwa (batin), cara berpikir, dan
119
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 1, Nomor 1, Juni 2017, Halaman 111-124
120
Ade H., dkk.: Mentalitas Damai Siswa...
sekaligus mendukung cita-cita kedamaian karena cara pandang, pola pikir, juga latar
sebagai syarat asasi kehidupan bersosial belakang keluarga yang beragam.
yang harmoni. Dalam proses pendidikan, Contoh lainnya, sebagian responden
hendaknya tidak terjadi kesalahan dalam mengeluhkan ruang kantin yang sangat
mengidentifikasi indikator sebagai tujuan sempit, padahal secara penyediaan lokasi
utama. Upaya menciptakan kedamaian dan dana, pesantren mampu memperluas
d i s e ko l a h s e ba g a i ba g i a n u pa y a ruang kantin sesuai harapan mereka.
pencapaian pendidikan hendaknya tidak Beberapa latar belakang yang mendorong
lantas memosisikan kedamaian secara pesantren tidak mengubahnya adalah karena
membabi buta sebagai arah utama sehingga harapan dan dorongan situasi lingkungan
menerjang/melewati batas koridor-koridor pesantren yang ingin mendukung atmosfer
lain dalam pendidikan. Wacana di atas budaya ilmiah dan Islami. Area yang
menganjurkan adanya pembenahan konsep digalakkan untuk diminati para siswa
kedamaian, dan aplikasinya dalam bidang berkumpul adalah wahana ilmiah seperti
sosial. Sejumlah kecil jawaban responden perpustakaan dan wahana olahraga seperti
yang memiliki persepsi kurang tepat dalam lapangan futsal dan basket. Pihak pesantren
memaknai kedamaian karena bersumber dengan latar belakang aturan agama sangat
dari mentalitas yang perlu diperbaharui. mencegah wahana untuk tempat berkumpul-
Secara fungsional, peraturan sekolah kumpul yang kurang memberikan manfaat
dirancang salah satunya untuk menciptakan dari sisi pendidikan dan rohani. Hal ini
kehidupan siswa secara disiplin, terarah belum dipahami oleh para responden yang
mendukung tujuan pendidikan, dan mengeluhkan kurangnya fasilitas tersebut.
memberikan nilai serta manfaat positif Permasalahan terakhir, beberapa
khususnya bagi siswa. Namun, hal itu tidak responden menyebutkan pernah terjadi
disadari oleh siswa secara keseluruhan protes perwakilan beberapa siswa dan
sehingga siswa hanya merasakan efek pengurus RG-UG (OSIS) yang merasa
permukaan atau bagi siswa tertentu itu keberatan terhadap perubahan jadwal pulang
merupakan efek sampingan bagi kehidupan sekolah dari yang sebelumnya pulang pada
secara pribadi. Bagi sebagian besar siswa, pukul 12.00 wib diganti menjadi pukul
peraturan yang ada dirasakan berfungsi 14.00 WIB. Lagi-lagi, bagi siswa hal itu
menertibkan siswa, namun ada beberapa sempat menjadi permasalahan. Perubahan
siswa dalam beberapa peraturan tertentu tersebut bagi pihak pesantren bukan
yang dirasa membatasi dan mempersulit tanpa tujuan. Efektivitas alokasi jadwal
siswa. Sebagai contoh pemisahan kelas harian siswa dalam kegiatan pendidikan
berdasarkan jenis kelamin diupayakan dan muatan ganda kurikulum pesantren
pihak pesantren dalam rangka pengondisian menuntut alokasi KBM yang lebih leluasa.
interaksi siswa yang menghindari sifat Dari sudut pandang siswa, hal itu memuat
ikhtilat (membaurnya interaksi pergaulan alasan yang lebih egosentris dibandingkan
laki-laki dan perempuan berdasarkan menimbang manfaat-manfaat yang akan
aturan Islam). Tujuan utamanya semata didapat dari peraturan itu. Akan tetapi,
pencegahan kemungki nan dampak protes tidak berkepanjangan karena para
pergaulan remaja yang desktruktif, yang siswa akhirnya menerima aturan tersebut.
pada masa tersebut remaja menginjak Peraturan sekolah dengan perbedaan titik
periode pubertas. Tujuan normatif itu dapat poin kepentingan individual siswa menjadi
dengan mudah dipahami oleh semua siswa akar permasalahan yang umum terjadi di
121
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 1, Nomor 1, Juni 2017, Halaman 111-124
beberapa sekolah. Kiranya perlu ada proses peraturan tersebut dapat tercapai dengan
damai untuk memahami peraturan sekolah tepat. Kedamaian diperoleh melalui proses
yang normatif dengan muatan kepentingan belajar dengan dialog (Wulandari, 2010).
pribadi siswa. Dalam hal ini, antara guru dan siswa
Suatu hal dinilai baik menurut sekolah dalam posisi yang sama dan saling belajar.
namun belum tentu baik menurut siswa. Dialog juga melatih siswa dan guru untuk
Artinya, belum ada proses mensatuarahkan saling menghormati karena di dalam dialog
pemahaman. Sebagian besar siswa terdapat unsur “mendengarkan dengan
menerima peraturan tersebut dengan baik” yang kemudian membuka wawasan
penuh kesadaran bahwa aturan itu demi siswa dan guru untuk dapat menerima ide-
kebaikan diri mereka dan semua pihak ide baru.
sehingga terbangun perilaku disiplin Peraturan pada hakikatnya mengon-
dalam diri siswa. Kesadaran diri, ketaatan, dusifkan jiwa dan raga, menuju satu kondisi
dan kesiapan menerima konsekuensi dari yang saling memberikan kenyamanan hidup
pelanggaran mengantarkan siswa pada bersama. Kedamaian bukanlah sebuah
satu keharmonisan, baik internal maupun proses instan yang dimulai secara masal
eksternal yang berhubungan dengan yang diberlakukan dari arah eksternal,
pihak sekolah. Sebagian kecil siswa namun kedamaian merupakan satu hal yang
belum memahami tujuan peraturan dan akan tumbuh berakar dari kesadaran dan
manfaatnya. Siswa kelas XI dengan kisaran kondisi damai dari diri sendiri.
usia 16-17 tahun, mulai memiliki landasan Penyeragaman perilaku siswa ber-
kemandirian berpikir namun terkadang dasarkan harapan sekolah, baik dan lebih
berada dalam kondisi afektif yang kurang mudah. Esensinya bukan itu, tetapi dengan
stabil, bahkan cenderung konfrontatif menyelami pengalaman hidup bersama
dengan aturan sekolah/pesantren. Mereka dengan komunitas di dalamnya disertai
memiliki argumen beragam berdasarkan adanya aturan yang mengondusifkan
perspektif dan kepentingan sendiri. sehingga siswa berhasil mengambil intisari
Dengan tingkat mentalitas tersebut, siswa makna (pemaknaan) yang tersaring dari
mendefinisikan kondisi damai dan konsep semua pengalaman tersebut, dan akhirnya
kedamaian berdasarkan indikator-indikator siswa selain sangat yakin bahwa damai itu
internal yang ada dalam pikiran dan penting, siswa juga memiliki satu paradigma
perasaannya. dan kerangka pikir dan berkarakter yang
Beberapa poin yang kurang memiliki paten tentang kondisi damai dan kondisi
sudut pandang yang sinkron antara sekolah nyaman bagi semua yang dapat diterapkan
dan siswa, semisal proses sosialisasi dan dalam kehidupan mereka selanjutnya.
pemberian pemahaman mendalam pada Sekolah yang damai adalah sekolah yang
diri siswa akan pentingnya aturan yang mengedukasi kedamaian secara positif,
berefek positif bagi siswa itu sendiri. bukan sekolah yang memberlakukan hal
Dalam hal ketaatan pada peraturan sekolah, normatif semata.
Sudrajat (2008, p. 24) menyatakan bahwa Itikad dan usaha menuju nilai ke-
setiap siswa dituntut dan diharapkan damaian yang seperti itulah yang tersimpul
untuk berperilaku setuju dengan aturan dari pendidikan di sekolah berbasis
dan tata tertib yang berlaku di sekolah, keagamaan, seperti pesantren. Pondasi
namun tetap membutuhkan proses dialog spiritual dan keagamaan dalam muatan
yang baik sehingga tujuan diadakannya pendidikan memiliki struktur yang lebih
122
Ade H., dkk.: Mentalitas Damai Siswa...
kokoh dalam menyusun pilar kedamaian dan siswa. Ada beberapa tahap yang perlu
dalam diri siswa. Ajaran Islam mencita- dilakukan sebelum diberlakukannya aturan
citakan suatu masyarakat yang egaliter, sekolah, semisal ada proses sosialisasi dan
yakni sistem sosial yang didasarkan atas pemberian pemahaman mendalam pada
kesetaraan dan kesederajatan sebagai siswa mengenai pentingnya aturan yang
makhluk Tuhan (Wahab, 2011). berefek positif bagi siswa.
Internalisasi kesadaran fungsi dan Kedua, bagi pendidik (guru/ustaz).
tugas manusia serta pedoman berkehidupan Berdasarkan temuan penelitian bahwa
yang diajarkan agama sangat menopang sebagian faktor permasalahan kedamaian
terbentuknya harmoni sikap siswa pada diri siswa bersumber dari pendidik baik
terhadap peraturan sekolah yang kokoh. dari aspek psikologis maupun akademis.
Spiritualitas yang kuat akan menjadi Pendidik dituntut untuk menciptakan
pondasi pembangunan mentalitas yang kedekatan psikologis. Hal itu sangat
menghindarkan siswa dari kedisiplinan dibutuhkan oleh siswa selain peran pendidik
yang rapuh dan ragawi semata. lainnya sebagai transmitor pengetahuan dan
nilai yang dituntut juga berkapabilitas dan
SIMPULAN profesional.
Problematika pemeliharaan harmoni Ketiga, bagi peneliti lain. Perlu
dalam miniatur kehidupan bersosial penelitian yang diperluas, baik dalam
pesantren senantiasa ada dan menjadi pendekatan penelitian, jumlah dan ragam/
tantangan pesantren dalam rangka karakteristik sekolah, maupun banyaknya
mematangkan diri menjadi model sosial responden, dalam rangka mengembangkan
komunal yang handal di peradaban lebih jauh karakter damai bagi remaja
terkini. Pesantren kokoh dalam pijakan secara keseluruhan.
pada matrik spiritualitas transendennya
berdasarkan Alquran dan Hadis, yang DAFTAR PUSTAKA
cabang-cabang dan rantingnya mampu Arikunto, S. (2002). Prosedur penelitian:
beradaptasi dan mengakrabi beragam Suatu pendekatan praktek. Jakarta:
musim peradaban manusia yang bergilir Rineka Cipta.
tanpa henti. Kedamaian adalah prasyarat, Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The
bukan tujuan kehidupan bersosial. Ketika exercise of control. New York: W. H.
tujuan manusia, yakni menjadi khalifah/ Freeman and Company.
wakil Tuhan dalam menggelar peradaban Bettencourt, B. A. & Miller, N. (1996).
kehidupan yang berkeadilan tercapai, Gender differences in aggression as
kedamaian ada dan terjaga di dalamnya. a function of provocation: A meta-
Hasil penelitian dan pembahasan analysis. Psychological Bulletin, 119,
yang sudah dipaparkan memberikan 422-447.
rekomendasi: pertama, bagi lembaga Bruinessen, M. V. (1995). Kitab kuning,
pesantren. Penting untuk menghadirkan tradisi-tradisi Islam di Indonesia.
lembaga pendidikan yang ramah anak. Bandung: Mizan.
Pesantren patut menjadi garda terdepan Christie, D. J., Wagner, R. V., & Winter,
hadirnya lembaga pendidikan bermoral D. D. (2001). Introduction to peace
sekaligus ramah anak di Indonesia. psychology. Dalam D. J. Christie, R.
Dalam hal aturan sekolah, penting adanya V. Wagner, & D. D. Winter (Eds.),
sinkronisasi sudut pandang antara sekolah Peace, conflict, and violence: Peace
123
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 1, Nomor 1, Juni 2017, Halaman 111-124
psychology for the 21st century (1-14). Relawati, R. (2011). Konsep dan aplikasi
New Jersey: Englewood Cliffs. penelitian gender. Bandung: Muara
Daerobi, A. (2010). Direktori pesantren Indah.
persatuan Islam. Bandung: PP Persis Sarbiran, S. (2004). Kajian artikel: A com-
No 1 & 2. parative study of guru kula and pondok
Dhofier, Z. (1983). Tradisi pesantren pesantren educational system. Jurnal
studi tentang pandangan hidup kyai. Kependidikan, 34(1), 91-102.
Jakarta: LP3S. Shekarkhar, Z., & Gibson, C. L. (2011).
Gottfredson, M. R., & Hirschi, T. (1990). A Gender, self-control, and offending
general theory of crime. Stanford, CA: behaviors among latino youth. Journal
Stanford University Press. of Contemporary Criminal Justice,
Hidayati, N. (2012). Bullying pada anak: 27(1), 63-80.
Analisis dan alternatif solusi. Insan Sudrajat, A. (2008). Perkembangan kognitif.
14(1), 41-48. Jakarta: Bumi Aksara.
Kartadinata, S. (2014). Pendidikan untuk Sutopo, H. B. (2002). Metode penelitian
kedamaian dan pendidikan kedamaian. kualitatif. Surakarta: UNS Press.
Bandung: UPI Press. Taylor, S. E., Peplau, L. A., & Sears, D. O.
Lincoln, E. & Amalee, I. (2008). Peace (2005). Social psychology (12th ed.).
generation: 12 nilai dasar perdamaian. New York: Pearson Education.
Bandung: Pelangi Mizan. Wahab, R. (2011). Pembelajaran pendidikan
Marzuki, Murdiono, M., & Samsuri. agama Islam dalam mewarnai kualitas
(2014). Pembinaan karakter siswa pendidikan di sekolah. Jurnal Ke-
berbasis pendidikan agama. Jurnal pendidikan, 41(2), 144-150.
Kependidikan, 41(1), 45-53. Webel, C. (2007). Toward a philo-
McGregor, I., & Little, B. R. (1998). s ophy a nd m et aps yc holo gy of
Personal projects, happiness, and peace. Handbook of peace and con-
meaning: On doing well and being flict studies, 3-13.
yourself. Journal of Personality and Webster, L., & Mertova, P. (2007). Using
Social Psychology, 74, 494-512. narrative inquiry as a research method:
Miles, M. B., & Huberman, A. M. (1992). An introduction to using critical event
Analisis data kualitatif. Jakarta: narrative analysis in research on
Universitas Indonesia. learning and teaching. New York:
Mujidin. (2005). Garis besar psikologi Routledge.
trans-personal: Pandangan tentang Winslade, J., & Monk, G. (2008). Practicing
manusia dan metode penggalian narrative mediation: loosening the
transpersonal serta aplikasinya grip of conflict. San Francisco, CA:
dalam dunia pendidikan. Humanitas: Jossey-Bass.
Indonesian Psychological Journal, Winslade, J., & Williams, M. (2012). Safe
2(1), 54-64. and peaceful school: Addressing
Munib, A. (2004). Pengantar ilmu pen- conflict and eliminating violence.
didikan. Semarang: UPT MKK Unnes. Thousand Oaks, CA: Corwin.
Notosoedirjo, M. (2001). Kesehatan mental: Wulandari, T. (2010). Menciptakan
konsep dan penerapan. Malang: UMM perdamaian melalui pendidikan
Press. perdamaian di sekolah. Mozaik, 5(1),
68-83.
124