Anda di halaman 1dari 51

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengetahuan kesehatan gigi dan mulut merupakan salah satu usaha un

tuk mencegah dan menanggulangi masalah kesehatan gigi melalui pendekata

n pendidikan kesehatan gigi dan mulut. Pendidikan kesehatan gigi yang disa

mpaikan diharapkan mampu mengubah perilaku kesehatan gigi individu atau

masyarakat dari perilaku yang tidak sehat ke arah perilaku sehat . Pengetahua

n tentang kesehatan gigi dan mulut dapat diperoleh melalui berbagai jenis su

mber informasi, salah satunya yaitu penyuluhan kesehatan gigi dan mulut yan

g bertujuan untuk mengurangi angka kehilangan gigi (Ramadhan A, dkk, 201

6).

Gigi yang sehat adalah modal yang sangat berharga oleh karena itu ha

rus dilakukan upaya untuk mempertahankan gigi selama mungkin di dalam ro

ngga mulut agar gigi tetap sehat seumur hidup. Meskipun ada peningkatan ya

ng cukup besar dalam kesehatan mulut anak-anak dalam beberapa dekade ter

akhir, tetapi angka karies gigi (kerusakan gigi) masih tetap salah satu masalah

kesehatan mulut yang paling sering terjadi pada anak di seluruh dunia

(Ramadhan, A dkk, 2016)

Pencabutan gigi merupakan salah satu tindakan yang sering dilakukan di

bidang kedokteran gigi. Pencabutan gigi dilakukan dengan indikasi gigi yang

rusak parah dan tidak bisa dirawat. Sebagian besar masyarakat berkunjung ke

dokter gigi setelah gigi rusak parah, dan akhirnya harus dilakukan tindakan p

encabutan gigi. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya pengetahuan

1
2

masyarakat tentang pentingnya memelihara kesehatan gigi dan mulut (D

andel, J. P., dkk , 2015).

Pada Ruang kesehatan gigi dan mulut di Puskesmas Polowijen kota Mala

ng dari laporan triwulan dalam satu tahun bahwa angka pencabutan lebih ting

gi dari pada angka penambalan. Hal ini tampak pada table di bawah ini:

Tabel 1.1 Data Kunjungan Pasien Di Ruang Kesehatan Gigi Dan


Mulut Puskesmas Polowijen Kota Malang Tahun 2018

Tri- Tri- Tri- Tri-


No Tindakan wulan 1 wulan 2 wulan 3 wulan 4 Jumlah /
kasus
Pencabutan
1 gigi prmanen 19 31 56 44 150
Penambalan
tetap gigi 36 29 16 34 115
2 prmanen
3 Pencabutan
gigi susu 87 72 74 82 315
4 Penambalan
tetap gigi susu 18 28 27 24 97
Penambalan
smentara gigi 45 63 61 74 243
5 prmanen
Penambalan
smentara gigi 72 70 71 68 281
6 susu
7 Konsul 68 68 68 74 278
8 Premedikasi 71 67 87 76 301
9 Pembersihan
karang gigi 68 66 63 67 264
10 Rujukan ke
RS 42 25 53 42 162
Jumlah 732 539 629 733 2206
3

Dari data diatas terdapat angka pencabutan gigi permanen lebih tinggi

dibandingkan angka penambalan pada gigi permanen yaitu 150 : 115 atau 3 : 2.

Hal ini tidak sesuai dengan target rasio penambalan gigi tetap dan pencabutan gigi

tetap yang ditentukan oleh pemerintah yaitu sebesar 1: 1 (Depkes RI, 2000 cit

Oktarina, 2010) . Maka masalah dalam penelitian ini adalah tingginya pencabutan

gigi permanen dari pada penambalan gigi permanen.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan permasalahan yang ada dalam penelitian ini, maka dapat

dijelaskan kemungkinan penyebab masalah yang digambarkan dalam bagan

berikut :

Pasien
1. Pengetahuan
2. Sikap
3. Sosial ekonomi
4. Lingkungan

Petugas kesehatan Tingginya angka


pencabutan gigi permanen
1. Tenaga kesehatan dan frekuensi di Puskesmas Polowijen
penyuluhan Kota Malang

Puskesmas
1. Sarana dan prasarana

Gambar 1.1 Bagan Identifikasi Masalah


4

Keterangan :

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi angka pencabutan dari pa

da penambalan di ruang kesehatan gigi dan mulut Puskesmas Polowijen K

ota Malang antara lain :

1.2.1 Pasien

1.2.1 (a) Pengetahuan Pasien

Berdasarkan uraian di atas bahwa pengetahuan mem

pengaruhi tindakan seseorang. Jika seseorang belum perna

h memperoleh pengetahuan tentang pencabutan yang dapa

t mempengaruhi status kesehatan gigi dan mulut, hal ini da

pat berpengaruh pada perilaku seseorang untuk memilih ti

ndakan pencabutan sehingga akan mempengaruhi tingginy

a kunjungan pencabutan gigi permanen.

1.2.1 (b) Sikap

Berdasarkan uraian diatas bahwa sikap pasien yang t

idak benar untuk mengatasi sakit gigi, menyelesaikan mas

alah sakit gigi dengan cara melakukan pencabutan.

Dianggapnya gigi peyebab sakit yang telah dicabut tidak

akan menimbulkan rasa sakit kembali. Tetapi mereka tidak

berfikir akibat dari pencabutan tersebut. Hal ini menyebab

kan tingginya angka pencabutan gigi.

1.2.1 (c) Sosial ekonomi


5

Sosial ekonomi sangat berpengaruh dalam pola pikir

dan perilaku pasien, karena ketidakmampuan pasien untuk

melakukan perawatan kesehatan gigi secara berkala, sehin

gga pasien memilih tindakan pencabutan gigi permanen. H

al ini menyebabkan tingginya angka pencabutan gigi.

1.2.1 (d) Lingkungan

Lingkungan juga bisa berpengaruh dalam pola pikir

pasien, sehingga masyarakat yang tinggal di lingkungan

dengan waktu yang terbatas, maka bisa menyebabkan

pasien lebih suka memilih dicabut giginya.

1.2.2 Petugas

Penyuluhan yang dilakukan oleh petugas kesehatan gigi

dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat tentang kesehatan g

igi dan mulut.

1.2.3 Faktor Puskesmas

Sarana dan Prasarana Puskesmas tentang pelayanan penam

balan gigi permanen yang disediakan, juga bisa mempengarui ting

kat kunjungan penambalan gigi permanen.

1.3 Batasan Masalah

Oleh karena keterbatasan peneliti dalam melakukan penelitian, maka fakt

or-faktor yang menjadi penyebab masalah dibatasi. Dalam hal ini penelitian h

anya menitik beratkan pada permasalahkan yaitu pada faktor


6

pengetahuan pasien tentang pencabutan gigi permanen di Puskesmas Pol

owijen kota Malang.

1.4 Rumusan Masalah

Dari penelitian ini maka rumusan masalah adalah ‘‘Bagaimanakah p

engetahuan pasien tentang pencabutan gigi permanen di Puskesmas Polowije

n kota Malang tahun 2019?’’

Berdasarkan rumusan masalah diatas dapat diangkat menjadi judul “Gam

baran pengetahuan pasien tentang pencabutan gigi permanen di Puskesmas P

olowijen Kota Malang tahun 2019’’

1.5 Tujuan

1.5.1 Tujuan umum

Diketahuinya Gambaran pengetahuan pasien tentang pencabutan gig

i permanen di Ruang Kesehatan gigi dan mulut Puskesemas Polowij

en kota Malang tahun 2019.

1.5.2 Tujuan Khusus

1.5.2.(a) Mengukur pengetahuan pasien tentang penyebab gigi berlub

ang.

1.5.2.(b) Mengukur pengetahuan pasien tentang alasan pencabutan gi

gi permanen.

1.5.2.(c) Mengukur pengetahuan pasien tentang akibat pencabutan gi

gi.

1.6 Manfaat penelitian

1.6.1 Bagi Politeknik Kesehatan Kemenkes Surabaya Jurusan Keperawatan

Gigi.
7

Dapat digunakan untuk referensi bagi mahasiswa yang akan me

mbuat karya tulis ilmiah.

1.6.2 Bagi Puskesmas Polowijen Kota Malang

Sebagai masukan dan pertimbangan sehubungan dengan pelaks

anaan pelayanan kesehatan gigi dan mulut di puskesmas Polowijen

kota Malang.

1.6.3 Bagi Peneliti

Mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah di peroleh selama kul

iah. Dan menambah wawasan baik secara akademik maupun non ak

ademik
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengetahuan

2.1.1 Pengertian Pengetahuan

Notoatmodjo (2014) menjelaskan bahwa, pengetahuan adalah hal y

ang diketahui oleh orang atau pasien terkait dengan sehat dan sakit atau kes

ehatan, misal: tentang penyakit (penyebab, cara penularan, cara pencegaha

n), gizi, sanitasi, pelayanan kesehatan, kesehatan lingkungan, keluarga bere

ncana, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2014).

2.1.2 Pengukuran Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2014), pengetahuan tentang kesehatan dapa

t diukur berdasarkan jenis penelitiannya, kuantitatif atau kualitatif:

2.1.2.(a) Penelitian Kuantitatif

Pada umumnya mencari jawaban atas kejadian/fenomena yang men

yangkut berapa banyak, berapa sering, berapa lama, dan sebagainya, maka

biasanya menggunakan metode wawancara dan angket.

a. Wawancara tertutup dan wawancara terbuka, dengan menggunakan instr

umen (alat pengukur/ pengumpul data) kuesioner. Wawancara tertutup

adalah wawancara dengan jawaban pasien atas pertanyaan yang diajuk

an telah tersedia dalam opsi jawaban, pasien tinggal memilih jawaban

yang dianggap mereka paling benar atau paling tepat. Sedangkan waw

ancara terbuka, yaitu pertanyaan – pertanyaan yang

8
9

diajukan bersifat terbuka, dan pasien boleh menjawab sesuai dengan p

endapat atau pengetahuan pasien sendiri.

b. Angket tertutup atau terbuka. Seperti halnya wawancara, angket juga dal

am bentuk tertutup dan terbuka. Instrumen atau alat ukurnya seperti wa

wancara, hanya jawaban pasien disampaikan lewat tulisan. Metode pen

gukuran melalui angket ini seriing disebut “self administered” atau met

ode mengisi sendiri.

2.1.2.(b) Penelitian Kualitatif

Penelitian kualitatif bertujuan untuk menjawab bagaimana s

uatu fenomena itu terjadi atau mengapa terjadi. Misalnya penelitian kes

ehatan tentang demam berdarah di suatu komunitas tertentu. Penelitian

kualitatif mencari jawaban mengapa di komunitas ini sering terjadi kasu

s demam berdarah, dan mengapa masyarakat tidak mau melakukan 3M,

dan sebagainya. Metode pengukuran pengetahuan dalam penelitian kual

itatif antara lain:

a. Wawancara mendalam:

Mengukur variabel pengetahuan dengan metode wawancara men

dalam, adalah peneliti mengajukan suatu pertanyaan sebagai pembuka,

yang akan membuat pasien menjawab sebanyak – banyaknya dari perta

nyaan tersebut. Jawaban pasien akan diikuti pertanyaan selanjutnya dan

terus menerus sehingga diperoleh informasi dari pasien dengan sejelas –

jelasnya.

b. Diskusi Kelompok Terfokus (DKT):


10
11

Diskusi kelompok terfokus atau “Focus group discussion” dalam mengg

ali informasi dari beberapa orang pasien sekaligus dalam kelompok. Pe

neliti mengajukan pertanyaan yang akan memperoleh jawaban yang ber

beda dari semua pasien dalam kelompok tersebut. Jumlah kelompok dal

am diskusi kelompok terfokus sebenarnya tidak terlalu banyak tetapi ju

ga tidak terlalu sedikit antar 6 – 10 orang (Notoatmodjo, 2014).

2.1.3 Faktor yang Memengaruhi Pengetahuan

2.1.3.(a) Faktor internal

a. Pendidikan

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang

terhadap perkembangan orang lain menuju kearah cita-cita tertentu

yang menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupan

untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Pendidikan

diperlukan untuk mendapatkan informasi misalnya hal-hal yang

menunjang kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup.

Menurut Notoatmodjo (2014), pendidikan dapat mempengaruhi

seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup

terutama dalam memotivasi untuk berperan serta dalam

pembangunan, pada umumnya makin tinggi pendidikan seseorang

makin mudah menerima informasi.


12

b. Pekerjaan

Menurut Notoatmodjo (2014), pekerjaan adalah

keburukan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang

kehidupannya dan kehidupan keluarga. Pekerjaan bukanlah sumber

kesenangan, tetapi lebih banyak merupakan cara mencari nafkah

yang membosankan, berulang dan banyak tantangan. Sedangkan

bekerja umumnya merupakan kegiatan yang menyita waktu.

Bekerja bagi ibu-ibu akan mempunyai pengaruh terhadap

kehidupan keluarga.

c. Umur

Menurut Notoatmodjo (2014), usia adalah umur individu

yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun.

Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang

akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi

kepercayaan masyarakat seseorang yang lebih dewasa dipercaya

dari orang yang belum tinggi kedewasaannya. Hal ini akan sebagai

dari pengalaman dan kematangan jiwa.

2.1.3.(b) Faktor eksternal

a. Faktor lingkungan

Menurut Notoatmodjo (2014), lingkungan merupakan

seluruh kondisi yang ada disekitar manusia dan pengaruhnya

yang dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku orang

atau kelompok.
13

b. Sosial budaya

Sistem sosial budaya yang ada pada masyarakat dapat

mempengaruhi dari sikap dalam menerima informasi.

2.2 Sikap

2.2.1 Pengertian Sikap

Notoatmodjo (2014) menjelaskan bahwa, sikap adalah bagaimana

pendapat atau penilaian orang atau pasien terhadap hal yang terkait dengan

kesehatan, sehat sakit dan faktor yang terkait dengan faktor resiko kesehat

an. Sikap menurut Campbell (1950) dalam Notoatmodjo (2014) mendefini

sikan sangat sederhana yakni: “An individual’s attitude is syndrome of res

pons consistency with regard to object”. Jadi jelas dikatakan bahwa sikap i

tu suatu sindrom atau kumpulan gejala dalam merespons stimulus atau obj

ek sehingga sikap itu melibatkan pikiran, perasaan, perhatian, dan gejala k

ejiwaan yang lain.

2.2.2 Komponen Sikap

Menurut Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2014) menjelaskan,

sikap terdiri dari 3 komponen pokok, yaitu:

a. Kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek, yang artin

ya bagaimana keyakinan, pendapat atau pemikiran seseorang terhadap ob

jek.
14

b. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek, artinya bagai

mana penilaian (terkandung di dalamnya faktor emosi) orang tersebut te

rhadap objek.

c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave), artinya sikap merupak

an komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka.

d. Sikap adalah ancang – ancang untuk bertindak atau berperilaku terbuka.

Ketiga komponen tersebut bersama – sama membentuk sikap yang utuh

(total attitude). Pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi sangat berpe

ran penting dalam menentukan sikap.

2.3 Sosial Ekonomi

Menurut Mubyarto dalam Basrowi dan Juariyah berpendapat tinjauan

Sosial Ekonomi penduduk meliputi aspek sosial, aspek sosial budaya, dan

aspek Desa yang berkaitan dengan kelembagaan dan aspek peluang kerja.

Aspek ekonomi Desa dan peluang kerja berkaitan erat dengan masalah

kesejahteraan masyarakat Desa. Kecukupan pangan dan keperluan ekonomi

bagi masyarakat baru terjangkau bila pendapatan rumah tangga mereka cukup

untuk menutupi keperluan rumah tangga dan pengembangan usaha –

usahanya. Menurut Sumardi dan Evers dalam Basrowi dan Juariyah keadaan

Sosial Ekonomi yaitu sebagai berikut.

a. Lebih berpendidikan.

b. Mempunyai status sosial yang ditandai dengan tingkat kehidupan,

kesehatan, pekerjaan, pengenalan diri terhadap lingkungan.


15

c. Mempunyai tingkat mobilitas ke atas lebih besar.

d. Mempunyai ladang luas.

e. Lebih berorientasi pada ekonomi komersial produk.

f. Mempunyai sikap yang lebih berkenaan dengan kredit.

g. Pekerjaan lebih spesifik.

Kondisi Sosial Ekonomi menurut Sastropradja dalam Basrowi dan

Juariyah adalah keadaan atau kedudukan seseorang dalam masyarakat

sekelilingnya. Menurut Ahmed dalam Basrowi dan Juariyah manfaat dalam

konteks Sosial Ekonomi bagi masyarakat dari suatu program pendidikan

adalah berupa perbaikan dalam hal penghasilan, produktivitas, kesehatan,

nutrisi, kehidupan keluarga, kebudayaan, rekreasi, dan partisipasi masyarakat.

Perbaikan penghasilan dan sebagian produktivitas adalah merupakan manfaat

ekonomi bagi masyarakat. Perbaikan dari sebagian produktivitas, kesehatan,

makanan, kehidupan keluarga, kebudayaan, rekreasi, dan partisipasi adalah

merupakan manfaat sosial bagi masyarakat. Agar anak dapat memperoleh

pendidikan yang baik maka orang tua harus pandai mengarahkan agar

anaknya tidak terpengaruh apabila kondisi sosial mereka tidak mendukung

tercapainya pendidikan dengan baik. Orang tua juga harus mengusahakan

agar lingkungan sosial di sekitar dapat dijadikan sebagai pendukung

tercapainya pendidikan yang maksimal (Hastuti, 2015).


16

2.4 Lingkungan

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia dan

mempengaruhi perkembangan kehidupan manusia. Lingkungan terdiri dari

komponen Abiotik dan biotik. Komponen abiotik adalah segala yang tidak

bernyawa seperti tanah, udara, air, iklim, kelembaban, cahaya, bunyi.

Sedangkan komponen biotik adalah segala sesuatu yang bernyawa seperti

tumbuhan, hewan, manusia dan mikro-organisme. Lingkungan erat kaitannya

dengan aktivitas yang dilakukan oleh manusia. Aktivitas tersebut tentunya

akan menghasilkan dampak bagi lingkungan hidup, untuk itu dibentuklah

sebuah undang-undang yang mengatur perusahaan dalam perlakuan serta

pengolahannya terhadap lingkungan yaitu Undang-Undang No. 23 Tahun

1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup yang mendefinikan lingkungan

hidup sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan

makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi

kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup

lain (Pontoh, 2015)

2.5 Karies atau Gigi Berlubang

2.5.1 Definisi Karies

Karies gigi merupakan penyakit pada jaringan gigi yang diawali

dengan terjadinya kerusakan jaringan yang dimulai dari permukaan gigi

(pit, fissures dan daerah inter proksimal), kemudian meluas kearah pulpa.

Karies gigi dapat dialami oleh setiap orang dan juga dapat timbul pada satu

permukaan gigi atau lebih, serta dapat meluas ke bagian yang lebih dalam
17

dari gigi, misalnya dari enamel ke dentin atau ke pulpa. Terdapat

beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya karies gigi, diantaranya

adalah karbohidrat, mikroorganisme dan saliva, permukaan dan anatomi

gigi (Tarigan, 2015).

Meningkatnya angka kejadian karies juga dihubungkan dengan

peningkatan konsumsi gula. Karies gigi merupakan penyakit yang paling

umum terjadi pada anak-anak dan prevalensinya meningkat sejalan dengan

pertambahan usia anak tersebut. Survei epidemologi terbaru yang

dilakukan di Negara Timur Tengah menunjukkan bahwa karies pada anak

relatif lebih tinggi dipengaruhi oleh diet (Surya, dkk., 2011).

2.5.2 Etiologi Karies

Karies merupakan salah satu penyakit muktifaktorial yang terdiri

dari empat faktor utama yang saling berinteraksi langsung di dalam rongga

mulut. Empat faktor utama yang berperan dalam pembentukan karies yaitu

host, mikroorganisme, substrat dan waktu (Shafer, 2012). Karies akan

timbul jika keempat faktor tersebut bekerja sama. Selain faktor langsung di

dalam mulut yang berhubungan dengan terjadinya karies, terdapat pula

faktor tidak langsung atau faktor predisposisi yang juga disebut sebagai

risiko luar, antara lain usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat

ekonomi, lingkungan, sikap dan perilaku yang berhubungan dengan

kesehatan gigi dan mulut (Laelia, 2011).

2.5.2.(a) Faktor langsung

a. Host
18

Struktur dan komposisi gigi memiliki peran penting terhadap

perkembangan lesi karies. Permukaan enamel yang terluar diketahui

lebih resisten terhadap karies dibandingan dengan permukaan

enamel di bawahnya. Keadaan morfologi gigi juga berpengaruh

terhadap perkembangan karies, hal ini disebabkan karena adanya pit

dan fissure yang dalam pada permukaan gigi yang dapat menjadi

tempat masuknya sisa-sisa makanan, bakteri dan debris.

Penumpukan sisa-sisa makanan, bakteri dan debris yang tidak

dibersihkan akan menyebabkan karies berkembang dengan cepat.

(Shafer, 2012).

Saliva merupakan salah satu faktor yang memiliki peranan

penting terhadap terjadinya karies. Sejak tahun 1901, Rigolet telah

menemukan bahwa pasien dengan sekresi saliva yang sedikit atau

tidak sama sekali yang biasanya disebabkan oleh adanya

aprialismus, terapi radiasi kanker ganas, dan xerostomia, memiliki

presentase karies gigi yang semakin meninggi. Selain itu juga sering

ditemukan kasus pasien balita berusia 2 tahun dengan kerusakan

atau karies pada seluruh giginya karena aplasia kelenjar parotis

(Tarigan, 2015).

b. Mikroorganisme Bakteri

Streptococcus mutans dan bakteri Laktobacili merupakan

dua bakteri yang berperan penting dalam proses terjadinya karies.

Streptococcus mutans memiliki peran dalam proses awal


19

pembentukan karies, setelah itu bakteri Laktobacili meneruskan


20

peran untuk membentuk kavitas pada enamel. Plak gigi

mengandung bakteri yang memiliki sifat acidogenic (mampu

memproduksi asam) dan aciduric (dapat bertahan pada kondisi

asam). Selama proses pembetukan lesi karies, pH plak turun

menjadi dibawah 5,5 sehingga menciptakan suasana asam dan

terjadi proses demineralisasi enamel gigi (Cameron, 2008). Enamel

gigi dapat mengalami disolusi asam selama proses keseimbangan

kembali dengan proses yang dikenal dengan istilah remineralisasi.

Keseimbangan antara demineralisasi dan remineralisasi dari enamel

menentukan terjadinya karies gigi (Tarigan, 2015).

c. Substrat

Konsumsi karbohidrat seperti sukrosa yang dapat

terfermentasi akan mempengaruhi pembentukan plak gigi dan

membantu perkembangbiakan serta kolonisasi bakteri Streptococcus

mutans pada permukaan gigi. Konsumsi sukrosa secara berlebih

dapat mempengaruhi metabolisme bakteri dalam plak untuk

memproduksi asam sehingga menyebabkan timbulnya karies

(Heymann, 2013; Koch, 2009).

e. Waktu

Proses demineralisasi dan remineralisasi pada rongga mulut

terjadi secara terus menerus, oleh sebab itu maka dapat dikatakan

bahwa seseorang tidak pernah terbebas dari karies. Karies akan

terjadi jika terdapat gangguan keseimbangan antara proses


21

demineralisasi dan remineralisasi. Proses ini ditentukan oleh

komposisi dan jumlah plak yang terdapat pada rongga mulut,

konsumsi gula (frekuensi dan waktu), paparan fluoride, kualitas

enamel dan respon imun. Asam dapat menyebabkan hancurnya

kristal enamel sehingga dapat menyebabkan kerusakan pada

permukaan enamel. Hal ini dapat terjadi dalam kurun waktu bulan

hingga tahun tergantung pada intensitas dan frekuensi suasana asam

terjadi (Cameron, 2008).

2.5.2.(b) Faktor tidak langsung

a. Ras (suku bangsa)

Pengaruh ras terhadap terjadinya karies gigi sangat sulit

ditentukan. Namun demikian, bentuk tulang rahang suatu ras

bangsa mungkin dapat berhubungan dengan presentase terjadinya

karies yang semakin meningkat atau menurun. Misalnya, pada ras

tertentu dengan bentuk rahang yang sempit sehingga gigi-geligi

pada rahang tumbuh berjejal yang menyebabkan seseorang sulit

membersihkan gigi-geligi secara keseluruhan sehingga akan

meningkatkan presentase karies pada ras tersebut (Tarigan, 2015).

Beberapa penelitian menunjukkan adanya perbedaan

pendapat antara hubungan ras (suku bangsa) dengan prevalensi

karies. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan tingkat sosial

ekonomi dan keadaan lingkungan sosial yang dipengaruhi oleh

perbedaan pendidikan, pendapatan dan ketersediaan akses


22

pelayanan kesehatan yang berbeda disetiap ras (suku

bangsa) (Fejerskov, 2008).

b. Usia

Prevalensi karies meningkat seiring dengan bertambahnya

usia. Hal ini disebabkan karena gigi lebih lama terpapar dengan

faktor resiko penyebab karies, oleh karena itu penting untuk

memahami dan mengendalikan faktor risiko untuk mencegah

timbulnya lesi karies baru atau memperlambat perkembangan lesi

karies yang sudah ada (Fejerskov, 2008; Heymann, 2013).

c. Jenis kelamin

Prevalensi karies gigi permanen dan gigi sulung pada

perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Hal ini disebabkan

karena erupsi gigi anak perempuan lebih cepat dibanding anak

laki-laki, sehingga gigi anak perempuan terpapar faktor resiko

karies lebih lama (Fejerskov, 2008).

d. Keturunan

Orang tua dengan karies yang rendah anak-anaknya

cenderung memiliki karies yang rendah, sedangkan orang tua

dengan karies yang tinggi anak-anaknya cenderung memiliki karies

yang tinggi pula. (Shafer, 2012). Namun penelitian ini belum

dipastikan penyebabnya karena murni genetik, transmisi bakteri

atau kebiasaan makan dan perilaku dalam menjaga kesehatan gigi

yang sama dalam suatu keluarga (Fejerskov, 2008).


23

e. Status sosial ekonomi

Anak-anak dari keluarga dengan status sosial ekonomi

rendah memiliki indeks DMF-T lebih tinggi dibandingkan dengan

anak-anak dari keluarga dengan status sosial ekonomi tinggi

(Tulongow, 2013). Hal ini disebabkan karena status sosial ekonomi

akan mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang dalam upaya

pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut (Fejerskov, 2008). Status

sosial ekonomi keluarga dapat dilihat dari tingkat pendidikan,

pekerjaan dan pendapatan orang tua yang dapat mempengaruhi

perubahan sikap dan perilaku seseorang dalam upaya pemeliharaan

kesehatan gigi dan mulut (Susi, 2012; Heymann, 2013).

f. Sikap dan perilaku yang berhubungan dengan kesehatan gigi

1. Perilaku menggosok gigi

Perilaku memegang peranan yang penting dalam

mempengaruhi status kesehatan gigi dan mulut, salah

satunya adalah perilaku menggosok gigi (Anitasari, 2005).

Beberapa penelitian menunjukan bahwa kebiasaan

menggosok gigi, frekuensi menggosok gigi dan

penggunaan pasta gigi yang mengandung fluoride

berpengaruh terhadap kejadian karies (Lakhanpal, 2014).

Menggosok gigi dua kalisehari dengan menggunakan pasta

gigi mengandung fluoride dapat menurunkan angka

kejadian karies (Angela, 2005).


24

2. Penggunaan dental floss

Dental flossatau benang gigi merupakan alat yang

digunakan untuk menghilangkan sisa makanan dan plak

pada daerah yangsulit dijangkau oleh sikat gigi, seperti

pada daerah interproksimal. Pembersihan plak pada daerah

interproksimal dianggap penting untuk memelihara

kesehatan gingiva, pencegahan karies dan penyakit

periodontal. Penggunaan dental floss sebaiknya dilakukan

sebelum menggosok gigi, karena dapat membersihkan

daerah interdental yang tidak bisa dicapai dengan sikat gigi

dan fluor yang terkandung dalam pasta gigi lebih mudah

mencapai bagian interproksimal sehingga dapat membantu

melindungi permukaan gigi dari terbentuknya plak

(Magfirah, 2014).

2.5.3 Patofisiologi Karies

Proses terjadinya karies ditandai dengan adanya proses

demineralisasi dan juga hilangnya struktur gigi. Bakteri Streptococcus

mutans pada plak gigi memetabolisme karbohidrat (gula) sebagai sumber

energi kemudian memproduksi asam sehingga menyebabkan menurunnya

pH plak (<5.5). Penurunan pH menyebabkan terganggunya keseimbangan

ion kalsium dan fosfat sehingga mengakibatkan hilangnya mineral enamel

gigi dan terjadinya proses demineralisasi. Pada keadaaan dimana pH sudah

kembali normal dan terdapat ion kalsium dan fosfat pada gigi maka
25

mineral akan kembali ke enamel gigi, proses ini disebut sebagai

proses remineralisasi. Karies merupakan proses dinamis tergantung pada

keseimbangan antara proses demineralisasi dan remineralisasi. Proses

demineralisasi yang terus berulang akan menyebabkan larut dan hancurnya

jaringan keras gigi yang dapat dilihat dengan adanya lesi karies atau

“kavitas” (Heymann, 2013).

2.5.4 Penatalaksanaan Karies

Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya

karies. Mengenali penyebab terjadinya karies merupakan hal terpenting

agar mengetahui bagaimana tindakan yang dapat dilakukan untuk

mencegah terjadinya karies tersebut. Pencegahan karies gigi dapat

dilakukan dengan cara :

1. Mengurangi pertumbuhan bakteri patogen sehingga hasil

metabolismenya berkurang.

2. Meningkatkan ketahanan permukaan gigi terhadap proses

demineralisasi.

3. Meningkatkan pH plak 5-7

Untuk mengurangi pertumbuhan bakteri patogen dapat dilakukan dengan

membuang struktur gigi yang sudah rusak pada seluruh gigi dengan karies

aktif dan membuat restorasi. Salah satu bahan yang efektif untuk mencegah

karies adalah sealents. Ada tiga keuntungan penggunaan sealents. Pertama,

sealents akan mengisi pits dan fissures dengan resin yang tahan terhadap

asam. Kedua, karena pits dan fissures sudah diisi dengan sealents, maka
26

bakteri kehilangan habitat. Ketiga, sealents yang menutupi pits dan fissures

mempermudah pembersihan gigi (Ritter, 2013). Penatalaksanaan karies

dilakukan dengan cara melakukan identifikasi untuk mengetahui apakah

pasien mempunyai karies aktif, apakah pasien termasuk kelompok yang

beresiko tinggi mengalami karies. Setelah itu dapat dilakukan pencegahan

perkembangan karies lebih luas, serta dilakukan penanganan yang tepat.

Pada ilmu kedokteran gigi modern, terdapat perubahan pola penanganan

karies dimana titik berat dari penanganan karies tersebut adalah pada

proses pencegahan karies itu sendiri. Program pencegahan dan

penatalaksanaan karies adalah proses yang sangat kompleks karena

melibatkan banyak faktor.

Konsep penanganan karies modern lebih dikenal sebagai konsep

intervensi minimal. Konsep intervensi minimal ini menempatkan restorasi

sebagai usaha paling akhir dalam perawatan karies gigi. Restorasi adalah

metode efektif untuk mengontrol proses karies gigi yang aktif, karena

membuang struktur gigi yang rusak dan menghilangkan habitat bakteri,

walaupun tidak untuk mengobati proses terjadinya karies. Restorasi

dilakukan apabila telah terbentuk kavitas.

Tingkat keberhasilan dari pencegahan dan perawatan karies gigi,

tergantung pada kondisi restorasi yang sudah dilakukan sebelumnya.

Permukaan restorasi yang kasar akan menyebabkan terjadinya penumpukan

plak, selain itu juga bentuk yang tidak sesuai dengan anatomi gigi akan

menyebabkan tidak terjadinya kontak proksimal. Kondisi ini harus segera

ditaggulangi atau diganti untuk mencegah terjadinya karies sekunder.


27

Memberikan edukasi kepada pasien tentang penyebab karies dan

mengajarkan pasien untuk bertanggung jawab menjaga kebersihan rongga

mulut juga sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya keries sekunder

dan juga dapat menunjang keberhasilan perawatan karies gigi (Sibarani,

2014).

2.6 Pencabutan gigi

2.6.1 Pengertian pencabutan gigi

Pencabutan gigi merupakan tindakan yang dilakukan bila tidak

ada lagi cara lain untuk mempertahankan gigi tersebut didalam rahang.

Harus disadari bahwa hanya hilangnya atau dicabutnya satu gigi

terutama pada usia muda membuat gigi yang lain bergerak kearah gigi

yang tercabut sehingga dapat menyebabkan gigi tak beraturan lagi, juga

harus disadari bahwa gigi ompong merupakan penyebab penyakit,

dimanapun keompongan tersebut akan mengurangi kesehatan. Kadang-

kadang erjadi keadaan dimana pencabutan sukar dilakukan, hal ini terjadi

kerena keadan gigi yang tidak normal normal sehingga sewaktu dicabut,

akar gigi tidak patah (Tarigan, 1989).

Ektraksi gigi merupakan tindakan pencabutan gigi dari kantung giginya

ditulang. Pencabutan gigi bisa dilakukan dengan anastesi lokal bila

mudah dicabut dalam bentuk utuh. Dengan menggunakan alat elevator

maka gigi dapat dilakukan luksasi dari tempat menempel giginya dan

untuk melonggarkan gigi dan membuat celah diantara gigi dengan tulang

yang merobek jaringan elastis yang mehubungkan gigi dengan

tulangnya. Ketika gigi gigi sudah mengalami luksasi maka gigi dicabut
28

dari tulang
29

dengan menggunakan forseps. Bila ekstraksi mengalami kesulitan, maka

tindakan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan anastesi umum ,

nitrous oxide, atau sediva intravena untuk menghilangkan nyeri.

Tindakan ekstraksi pada gigi yang mengalami implaksi memerkukan

perobekan jaringan gusi yang menutupi gusi, dan terkadang diperlukan

untuk membuang sebagian tulang untuk memberi celah agar gigi

terbebas dari tulang (Extraction Teeth, 2006).

2.6.2 Indikasi pencabutan gigi permanen

a. Gigi yang berlubang besar sehingga tidak dapat ditambal lagi dan

tidak dapat dilakukan perawatan endodontik, misalnya pada gigi

dengan akar bengkok, ataupun saluran akar buntu.

b. Gigi impaksi

c. Untuk kepentingan orthodontik, biasanya hal ini merupakan

perawatan konsul dari bagian orthodontik dengan

mempertimbangkan pencabutan gigi untuk mendapatkan tuangan

yang dibutuhkan dalam perawatanya.

d. Gigi yang merupakan fokus infeksi, dimana keberadaan gigi yang

tidak sehat dapat merupakan sumber infeksi bagi tubuh.

e. Gigi yang menyebabkan trauma jaringan lunak sekitarnya.

f. Penderita yang mendapatkan terapi radiasi pada regio kepala dan

leher dapat dilakukan ekstraksi pada gigi yang terkena radiasi.

Radiasi dapat menyebabkan kerapuhan gigi, karies pada gigi, dan

pada gigi sebelumnya yang sudah rusak bila terkena radiasi dapat

menjadi lebih parah. Komplikasi yang paling sering oleh karena


30

g. ekstraksi gigi setelah terapi radiasi adalah septikemia dan esteo radio

necrosis/ ORN (Koga et al, 2018)

h. Gigi dengan supermumerary, dimana gigi tumbuh berlebih dan tidak

normal.

i. Gigi dengan fraktur/patah pada akar, misalnya karena jatuh. Kondisi

ini dapat menyebabkan rasa sakit berkelanjutan pada penderita

sehingga gigi tersebut menjadi non-vital atau mati.

j. Gigi dengan sisa akar, dimana sisa akar akan menjadi petologis

karena hilangnya pembuluh darah dan jaringan ikat, sehingga

kondisi ini membuat akar gigi tidak vital.

k. Gigi dengan fraktur/patah pada bagian tulang alveolar ataupun pada

garis fraktur tulang alveolar.

l. Gigi yang terletak pada garis yang menggangu reposisi.

2.6.3 Alasan pencabutan gigi

Keinginan pasien untuk dicabut giginya. Beberapa alasan

penderita ingin mencabut giginya antara lain:

a. Ingin terhindar dari rasa sakit yang sering menggangu.

b. Enggan/tidak punya waktu untuk datang berulang-ulang ke dokter

gigi.

c. Faktor ekonomi

d. Faktor ketidaktahuan penderita.

2.6.4 Akibat pencabutan gigi

a. Fungsi pengunyahan berkurang karena hilangnya satu gigi atau lebih.

b. Ompong.
31

c. Terjadi perpindahan tempat gigi-gigi sekitar ruanganyang kosong

karena gigi di depan, di belakang, atau di sampingnya akan cenderung

miring untuk mengisi daerah ompong itu, juga gigi yang tepat berada

di bawah atau di atas nya akan cenderung memanjang.

d. Kesehatan gusi terganggu.

e. Fungsi bicara terganggu.

f. Kehilangan gigi ompong akan mengakibatkan ketidakjelasan saat

mengucapkan huruf-huruf f,v,t,s,n, dan d.

(Purwanditi P, Drg, 2008/ www.pendis.depag.go.id)

2.7 Puskesmas

2.7.1 Pengertian Puskesmas

Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) adalah salah satu sarana

pelayanan kesehatan masyarakat yang amat penting di Indonesia.

Puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kabupaten/kota yang

bertanggungjawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di

suatau wilayah kerja (Depkes, 2011).

2.7.2 Fungsi Puskesmas

Puskesmas diharapkan dapat bertindak sebagai motivator,

fasilitator dan turut serta memantau terselenggaranya proses

pembangunan di wilayah kerjanya agar berdampak positif terhadap

kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya. Hasil yang diharapkan

dalam menjalankan fungsi ini antara lain adalah terselenggaranya

pembangunan di luar bidang kesehatan yang mendukung terciptanya


32

lingkungan dan perilaku sehat. Upaya pelayanan yang

diselenggarakan meliputi :

a. Pelayanan kesehatan masyarakat yang lebih mengutamakan

pelayanan promotif dan preventif, dengan kelompok masyarakat

serta sebagian besar diselenggarakan bersama masyarakat yang

bertempat tinggal di wilayah kerja puskesmas.

b. Pelayanan medik dasar yang lebih mengutamakan pelayanan,kuratif

dan rehabilitatif dengan pendekatan individu dan keluarga pada

umumnya melalui upaya rawat jalan dan rujukan (Depkes RI, 2007).
BAB 3

KERANGKA KONSEP

Internal Eksternal

a. Pendidikan a. Lingkungan

b. Pekerjaan b. Sosial budaya

c. umur

Pengetahuan

Sikap

Perilaku

Status Kesehatan Gigi dan


Mulut

Bagan 3.1 Kerangka konsep

Sumber : Notoatmodjo (2014)

Keterangan:

: Diteliti

:Tidak diteliti

33
34

Narasi:

Pengetahuan pasien dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor

internal antara lain adalah pendidikan, pekerjaan, dan umur pasien. Sedangkan

faktor eksternal antara lain dari lingkungan dan sosial budaya yang terdapat

disekitar pasien. Dengan faktor-faktor tersebutlah sehingga sikap pasien terhadap

kesehatan gigi pun berbeda-beda. Ada pasien yang sadar dengan kesehatan

giginya, adapula pasien yang acuh terhadap kesehatan giginya. Hal ini pun dapat

tergambar dari perilaku masing-masing pasien. Pasien yang sadar terhadap

kesehatan giginya akan mengetahui status kesehatan gigi dan mulutnya dan tahu

saat harus dilakukannya pencabutan gigi permanen.


BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan adalah deskriptif.

4.2 Sasaran Penelitian

Seluruh pasien yang akan mencabutkan gigi permanen mulai bulan Januari

sampai Maret 2019.

4.3 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di ruang kesehatan gigi dan mulut Puskesmas Polowijen

Kota Malang yang bertempat di Jl. Panji Suroso no.9 Malang Jawa Timur.

4.4 Waktu Penelitian

Penelitian dimulai bulan Januari sampai dengan Maret 2019.

4.5 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan data primer

berupa kuesioner untuk mengetahui pasien tentang pencabutan gigi

permanen.

4.6 Instrumen Penelitian

Lembar kuesioner yang diberikan pada pasien di ruang kesehatan gigi dan

mulut Puskesmas Polowijen Kota Malang.

4.7 Teknik Pengumpulan Data

Tehnik pengumpulan data pada penelitian ini dengan menggunakan cara:

1. Memberikan kuesioner kepada seluruh pasien yang akan mencabutkan gigi

permanen.

2. Menjelaskan cara pengisian kuesioner kepada pasien.

35
3. Pengisian jawaban kuesioner oleh pasien

36
37

4. Penarikan kuesioner kembali oleh peneliti.

4.8 Teknik Analisa Data

Secara Manual yaitu data yang sudah diperoleh dirata-rata, dihitung,

dipersentase kemudian ditabulasi.

4.9 Definisi Operasional

Tabel 4.1 Definisi Operasional Variabel

Definisi
No Variabel Operasional Alat Ukur Kriteria Penelitian
Variabel

1 Pengetahuan Segala informasi Kuesioner Baik = 76-100%


pasien tentang yang diketahui Cukup = 50-75%
pencabutan pasien tentang Kurang = <50 %
gigi tetap pencabutan gigi Jawaban benar = 1
tetap yang Jawaban salah = 0
meliputi :
1. Penyebab gigi
berlubang (Nursalam, 2008)
2. Alasan
pencabutan
gigi
3. Akibat
pencabutan
gigi
BAB 5

HASIL PENGUMPULAN DAN ANALISA DATA

5.1 Gambaran Umum

pasien dalam penelitian ini adalah pasien ruang kesehatan gigi dan

mulut di Puskesmas Polowijen Kota Malang yang mempunyai tujuan untuk

dilakukan tindakan pencabutan gigi permanen . Puskesmas Polowijen terletak

di jalan Panji Suroso no.9 Kota Malang, jumlah kunjungan pasien di ruang

kesehatan gigi dan mulut Puskesmas Polowijen pada tahun 2018 adalah 2206

orang.

5.2 Hasil Pengumpulan Data dan Analisa Data

Hasil penelitian diperoleh berdasarkan kuesioner yang disajikan dalam

bentuk tabel.

5.2.1 Pengetahuan pasien tentang penyebab gigi berlubang.

Tabel 5.1 Distribusi frekuensi jawaban pengetahuan pasien tentang penyebab


gigi berlubang di puskesmas Polowijen kota Malang 2019
Jawaban pasien
No Pernyataan Benar Salah Kriteria Penilaian
Ʃ % Ʃ %
1 Penyebab gigi
berlubang 15 50 15 50 Baik = 76-100%
Cukup = 50-75%
2 Jenis makanan yang Kurang = <50 %
menyebabkan gigi 12 40 18 60
berlubang (Nursalam, 2008)
3 Cara membersihkan 15 50 15 50
plak
4 Penyebab gigi
berlubang selain 14 46,7 16 53,3
makanan
Jumlah 56 186,7 64 213,3
Kurang
Rata-rata 14 46,7 16 53,3

38
39

Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa pasien menjawab benar

adalah 46,7%, sehingga dapat disimpulkan bahwa pengetahuan pasien

tentang penyebab gigi berlubang termasuk dalam kriteria Kurang.

5.2.2 Pengetahuan pasien tentang alasan pencabutan gigi permanen.

Tabel 5.2 Distribusi frekuensi jawaban pengetahuan pasien tentang alasan


pencabutan gigi permanen di puskesmas Polowijen kota Malang
tahun 2019

No Jawaban pasien
Pernyataan Kriteria Penilaian
Benar Salah

1 Gigi yang
berlubang harus 8 26,6 22 73,33 Baik = 76-100%
dilakukan Cukup = 50-75%
pencabutan Kurang = <50 %
2 Alasan gigi yang (Nursalam, 2008)
harus dilakukan 10 33,33 20 66,67
pencabutan.
3 Yang dilakukan
bila gigi tinggal 20 66,67 10 33,33
sisa akar
4 Yang harus
dilakukan jika gigi 9 30 21 70
baru berlubang
Jumlah 47 156,6 73 243,3
Kurang
Rata-rata 11,8 39,2 18,3 60,8

Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa pasien yang menjawab

benar adalah 39,2%, sehingga dapat disimpulkan bahwa pengetahuan pasien

tentang alasan pencabutan gigi permanen termasuk dalam kriteria kurang.


40

5.2.3 Pengetahuan pasien tentang akibat pencabutan gigi.

Tabel 5.3 Distribusi frekuensi jawaban pengetahuan pasien tentang akibat


pencabutan gigi di puskesmas Polowijen kota Malang tahun 2019.

Jawaban pasien
Benar Salah
No Pernyataan Kriteria Penilaian

1 Akibat terhadap gigi 14 46,7 16 53,33


sebelahnya apabila
dilakukan pencabutan Baik = 76-100%
Cukup = 50-75%
2 Tindakan yang harus 24 80 6 20 Kurang = <50 %
dilakukan apabila gigi
telah dicabut (Nursalam, 2008)
3 Akibat pencabutan gigi 6 20 24 80
rahang bawah terhadap
gigi rahang atas (gigi
lawannya)
4 Pengaruh pencabutan 17 56,7 13 43,3
gigi depan dengan
proses pengunyahan
5 Akibat jika fungsi 16 53,33 14 46,6
pengunyahan terganggu
6 Pengaruh pencabutan 18 60 12 40
gigi depan terhadap
pengunyahan
95 316,6 85 283,3
Jumlah Cukup
Rata-rata 23,8 52,8 21,3 47,22

Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa pasien menjawab benar

adalah 52,8%, sehingga dapat disimpulkan bahwa pengetahuan pasien tentang

akibat pencabutan gigi termasuk dalam kriteria cukup.


41

5.2.4 Pengetahuan pasien tentang pencabutan gigi permanen.

Tabel 5.4 Rekapitulasi frekuensi jawaban pengetahuan pasien tentang


pencabutan gigi permanen di Puskesmas Polowijen Kota Malang
Tahun 2019

Jawaban pasien
No Pernyataan Benar Salah Kriteria Penilaian
Ʃ % Ʃ %
1 Pengetahuan pasien 56 46,7 64 53,3
tentang penyebab Baik = 76-100%
gigi berlubang Cukup = 50-75%
Kurang = <50 %
2 Pengetahuan pasien 47 39,2 73 60,8
tentang alasan (Nursalam, 2008)
pencabutan gigi
permanen
3 Pengetahuan pasien 95 52,8 85 47,22
tentang akibat
pencabutan gigi
Jumlah 198 138,7 222 161,3
Kurang
Rata-rata 66 46,23 74 53,77

Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa pasien yang menjawab

benar adalah 46,23%. Maka dapat disimpulkan bahwa Tingkat pengetahuan

pasien tentang pencabutan gigi permanen di Puskesmas Polowijen kota Malang

tahun 2019 termasuk dalam kriteria Kurang


BAB 6

PEMBAHASAN

Berdasakan hasil analisa data penelitian yang telah dilakukan dapat

diketahui bahwa Pengetahuan pasien tentang pencabutan gigi permanen di ruang

kesehatan gigi dan mulut puskesmas Polowijen kota Malang tahun 2019 termasuk

dalam kategori kurang. Hal ini dapat dilihat dari uraian sebagai berikut :

6.1 Pengetahuan pasien tentang penyebab gigi berlubang kurang

Berdasarkan hasil analisa penelitian pada pasien yang akan

mencabutkan gigi permanen di Puskesmas Polowijen kota Malang, dapat

diketahui bahwa jawaban pasien tentang pernyataan jenis makanan yang

menyebabkan gigi berlubang yaitu makanan yang manis dan lengket,

sebagian besar dari pasien menjawab salah. Sedangkan pernyataan tentang

penyebab gigi berlubang selain makanan yaitu bakteri atau kuman, sebagian

kecil dari pasien yang menjawab benar,

Hal ini disebabkan pasien belum banyak yang mengetahui bahwa

terdapat beberapa factor yang menyebabkan terjadinya penyebab gigi

berlubang, diantaranya adalah karbohidrat, mikroorganisme dan saliva. Hal

ini sesuai dengan teori bahwa Konsumsi karbohidrat seperti sukrosa yang

dapat terfermentasi akan mempengaruhi pembentukan plak gigi dan

membantu perkembangbiakan serta kolonisasi bakteri Streptococcus mutans

pada permukaan gigi. Konsumsi sukrosa secara berlebih dapat mempengaruhi

metabolisme bakteri dalam plak untuk memproduksi asam sehingga

menyebabkan timbulnya karies (Heymann, 2013; Koch, 2009).

42
43

Minimnya pengetahuan pasien tentang penyebab gigi berlubang

mengakibatkan respon mereka dalam hal pencegahan gigi berlubang menjadi

kurang. Mereka cenderung tidak memperhatikan keadaan giginya sehingga

pasien datang ke puskesmas dengan keadaan gigi yang berlubang dan sakit.

Alhasil, pasien lebih memilih untuk mencabut giginya.

Hal ini tidak sesuai dengan teori bahwa Pencabutan gigi merupakan

tindakan yang dilakukan bila tidak ada lagi cara lain untuk mempertahankan

gigi tersebut di dalam rahang. Harus disadari bahwa hanya hilangnya atau

dicabutnya satu gigi terutama pada usia muda membuat gigi yang lain

bergerak kearah gigi yang dicabut sehingga dapat menyebabkan gigi tak

beraturan lagi, juga harus disadari bahwa gigi ompong merupakan penyebab

penyakit, dimanapun keompongan tersebut akan mengurangi kesehatan.

Kadang kadang terjadi keadaan dimana pencabutan sukar dilakukan, hal ini

terjadi karena keadaan gigi yang tidak normal, sehingga sewaktu dicabut,

akar gigi patah (Tarigan, 1989).

6.2 Pengetahuan pasien tentang alasan pencabutan gigi permanen kurang

Berdasarkan analisa rekapitulasi data pada pasien di Puskesmas

Polowijen kota Malang, dapat diketahui bahwa jawaban pasien tentang

pernyataan gigi yang berlubang harus dilakukan pencabutan dikarenakan

kerusakan gigi yang sudah parah, sebagian kecil dari pasien menjawab benar.

Sedangkan jawaban pasien tentang pernyataan yang harus dilakukan jika gigi

baru berlubang adalah dilakukan penambalan gigi, sebagian kecil pasien

menjawab banar.

Hal ini disebabkan karena pengetahuan pasien tentang alasan


44

pencabutan gigi permanen kurang. Sehingga pasien sering datang dalam

keadaan gigi yang berlubang atau sakit. Akibatnya, pasien sering meminta

untuk dilakukan pencabutan gigi daripada perawatan yang lainnya.

Hal ini tidak sesuai dengan Teori Purwanditi P, Drg, (2008): tentang

Indikasi pencabutan gigi permanen yaitu :

1. Gigi yang berlubang besar sehingga tidak dapat ditambal lagi dan tidak

dapat dilakukan perawatan endodontik, misalnya pada gigi dengan akar

bengkok, ataupun saluran akar buntu.

2. Gigi Impaksi

3. Untuk kepentingan ortodontik, biasanya hal ini merupakan perawatan

konsul dari bagian ortodontik dengan mempertimbangkan pencabutan gigi

untuk mendapatkan tuangan yang dibutuhkan dalam perawatannya.

4. Gigi yang merupakan infeksi, dimana keberadaan gigi yang tidak sehat

dapat merupakan sumber infeksi bagi tubuh.

5. Gigi yang menyebabkan trauma jaringan lunak sekitarnya.

6. Penderita yang mendapat terapi readiasi pada regio kepala dan leher dapat

dilakukan ekstraksi pada gigi yang terkena radiasi. Radiasi dapat

menyebabkan kerapuhan gigi, karies pada gigi, dan pada gigi yang

sebelumnya sudah rusak bila terkena radiasi dapat menjadi lebih parah.

Komplikasi yang paling sering oleh karena ekstraksi gigi setelah terapi

radiasi adalah septikemia dan osteoradionecrosis/ORN .

7. Gigi dengan supernumerary,dimana gigi tumbuh berlebih dan tidak normal

8. Gigi dengan fraktur/patah pada akar, misalnya karena jatuh. Kondisi ini

dapat menyebabkan rasa sakit berkelanjutan pada penderita sehingga gigi


45

tersebut menjadi non-vital atau mati.

9. Gigi dengan sisa akar, dimana sisa akar akan menjadi patologis karena

hilangnya pembuluh darah dan jaringan ikat, sehingga kondisi ini membuat

akar gigi tidak vital.

10. Gigi dengan fraktur/patah pada bagian tulang alveolar ataupun pada garis

fraktur tulang alveolar.

11. Gigi yang terletak pada garis yang mengganggu reposisi.

6.3 Pengetahuan pasien tentang akibat pencabutan gigi cukup

Berdasarkan hasil analisa penelitian pada pasien yang akan

mencabutkan gigi permanen di Puskesmas Polowijen kota Malang, dapat

diketahui bahwa jawaban pasien tentang pernyataan akibat terhadap gigi

sebelahnya apabila dilakukan pencabutan adalah gigi akan bergeser atau

miring, sebagian besar pasien menjawab salah. Dan juga jawaban pasien

pada pernyataan tentang akibat pencabutan gigi rahang bawah terhadap

gigi rahang atas (gigi lawannya) adalah gigi bagian atas akan turun,

sebagian besar pasien menjawab salah. Tetapi ada juga pasien yang hampir

semua menjawab benar yaitu pada pernyataan tentang tindakan yang harus

dilakukan apabila gigi telah dicabut harus dipasang gigi palsu. Hal ini

dikarenakan sebagian besar pasien sudah menyadari bahwa pemasangan

gigi palsu merupakan kebutuhan bagi pasien yang telah dicabut giginya,

tutjuannya agar gigi sebelahnya tidak berpindah tempat ke ruang gigi yang

kosong. Akan tetapi masih ada sebagian pasien yang belum mengetahui

bahwa hilangnya atau dicabutnya satu gigi membuat gigi sebelahnya

cenderung bergerak miring untuk mengisi daerah ompong itu, selain itu
46

gigi yang tepat berada dibawah atau diatasnya cenderung akan memanjang

karena proses pengunyahan. Hal ini mengakibatkan gigi terlihat menjadi

tidak teratur .

Pernyataan diatas telah sesuai dengan teori Purwanditi P, Drg,

(2008), tentang akibat pencabutan gigi, yaitu :

1. Fungsi pengunyahan berkurang karena hilangnya satu gigi atau lebih.

2. Penampilan jelek (ompong)

3. Terjadi perpindahan tempat gigi-gigi sekitar ruangan yang kosong karena

gigi di depan, di belakang, atau disampingnya akan cenderung miring

untuk mengisi daerah ompong itu, juga gigi yang tepat berada dibawah/

diatasnya cenderung akan memanjang.

4. Kesehatan gusi terganggu

5. Fungsi bicara terganggu

Dari teori tersebut, menunjukkan bahwa pengetahuan pasien apabila

sakit gigi harus dicabut adalah keliru. Dengan demikian pasien harus bisa

meningkatkan pengetahuan dan merubah perilaku yang salah menjadi benar.

Mengingat fungsi gigi sangat penting yaitu untuk proses pengunyahan,

membantu pertumbuhan tulang rahang pada anak-anak, serta membantu

seseorang berbicara dengan baik, .Perlu diingat pula gigi yang sehat adalah

modal yang sangat berharga. Oleh karena itu, seharusnya pasien berupaya

untuk mempertahankan gigi selama mungkin dalam rongga mulut, agar gigi

tetap sehat seumur hidup.

6.4 Pengetahuan pasien tentang pencabutan gigi permanen di Puskesmas

Polowijen Kota Malang Tahun 2019


47

Berdasarkan hasil analisa penelitian, tingkat pengetahuan pasien

tentang pencabutan gigi permanen di puskesmas Polowijen kota Malang

tahun 2019 termasuk dalam kategori kurang. Hal ini disebabkan karena

kurangnya pengetahuan pasien terhadap kesehatan gigi dan mulut.

Pernyataan tersebut sesuai dengan teori Notoatmojo (2014) yang

menjelaskan bahwa pengetahuan adalah hal yang diketahui oleh orang atau

responden terkait dengan sehat dan sakit atau kesehatan, misal: tentang

penyakit (penyebab, cara penularan, cara pencegahan), gizi, sanitasi,

pelayanan kesehatan, kesehatan lingkungan, keluarga berencana, dan

sebagainya.

Kurangnya pengetahuan pada pasien dikarenakan faktor internal yang

ada pada diri pasien. Menurut Notoatmojo (2014) faktor internal tersebut

meliputi; pendidikan, pekerjaan, dan umur. Kurangnya pendidikan,

kurangnya waktu untuk mencari informasi kesehatan dikarenakan pekerjaan

yang menyita waktu, dan umur pasien (semakin dewasa pasien semakin

matang pengalamannya). Selain itu, pengetahuan juga dipengaruhi oleh

faktor eksternal. Menurut Notoatmojo (2014) terdapat dua faktor eksternal

yakni, faktor lingkungan dan faktor sosial budaya. Lingkungan merupakan

seluruh kondisi yang ada disekitar manusia dan pengaruhnya yang dapat

mempengaruhi perkembangan dan perilaku orang atau kelompok. Sedangkan

sosisal budaya yang ada pada masyarakat dapat mempengaruhi dari sikap

dalam menerima informasi.


BAB 7

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisa penelitian atas jawaban terhadap pertanyaan

atau kuesioner dapat disimpulkan bahwa:

1. Pengetahuan pasien tentang penyebab gigi berlubang adalah kurang.

2. Pengetahuan pasien tentang alasan pencabutan gigi permanen juga

kurang.

3. Pengetahuan pasien tentang akibat pencabutan gigi termasuk dalam

kategori cukup.

7.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan diatas maka dapat diberikan

saran sebagai berikut:

1. Petugas kesehatan gigi diharapkan lebih meningkatkan frekuensi dan

kualitas penyuluhan tentang penyebab gigi berlubang, alasan dan akibat

dari pencabutan gigi permanen ditambahi dengan pembagian leaflet.

Tujuannya agar pasien lebih memahami dan mau merubah perilaku yang

salah menjadi benar.

2. Kepala Puskesmas diharapkan lebih meningkatkan sarana dan prasarana

baik berupa penambahan alat gigi yang diperlukan untuk perawatan, dan

juga lebih memperhatikan ketersediaan bahan-bahan untuk tindakan

perawatan gigi.

48
49

xxxxxxxxxxxxxxx

Tabel 5.2.4 Rekapitulasi frekuensi pengetahuan pasien tentang pencabutan gigi


permanen di Puskesmas Polowijen Kota Malang Tahun 2019

No. Pengetahuan Jawaban Benar


1 Pengetahuan pasien tentang penyebab gigi 46,7 %
berlubang
50

2 Pengetahuan pasien tentang alasan 39,2 %


pencabutan gigi permanen
3 Pengetahuan pasien tentang akibat 52,8 %
pencabutan gigi
Jumlah rata-rata 46,23 %

Hasil penelitian Pengetahuan pasien tentang penyebab gigi berlubang,

alasan pencabutan gigi permanen, dan akibat pencabutan gigi pada tabel

diatas, pasien yang menjawab benar adalah 46,23 %. Maka dapat disimpulkan

bahwa Tingkat pengetahuan pasien tentang pencabutan gigi permanen di

Puskesmas Polowijen kota Malang tahun 2019 termasuk dalam kategori

Kurang
51

Anda mungkin juga menyukai