1 November 2022 Edited
1 November 2022 Edited
POLISITEMIA VERA
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................................................3
I. PENDAHULUAN...................................................................................................................4
II. POLISITEMIA VERA...........................................................................................................5
2.1 DEFINISI...............................................................................................................................5
2.2 EPIDEMIOLOGI...................................................................................................................6
2.3 ETIOLOGI.............................................................................................................................6
2.4 PATOFISIOLOGI.................................................................................................................7
2.5 MANIFESTASI KLINIK....................................................................................................10
2.6 PEMERIKSAAN FISIK......................................................................................................12
2.7 KRITERIA DIAGNOSTIK.................................................................................................12
2.8 DIAGNOSIS........................................................................................................................13
2.9 TEMUAN LABORATORIUM...........................................................................................14
2.10 PENATALAKSANAAN...................................................................................................16
2.11 PROGNOSIS.....................................................................................................................19
III. KESIMPULAN.....................................................................................................................20
IV. DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................21
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Kriteria Diagnosis WHO 2008......................................................................................13
Tabel 2 Kriteria Diagnosis WHO 2016......................................................................................13
I. PENDAHULUAN
Polisitemia didefinisikan sebagai peningkatan kadar hemoglobin (Hb), nilai
hematokrit (HT), massa eritrosit, atau jumlah eritrosit sesuai dengan batas atas nilai normal
sesuai umur dan jenis kelamin.
Polisitemia dibedakan menjadi polisitemia absolut dan relatif. Polisitemia absolut
adalah suatu kondisi eritrositosis dengan massa eritrosit meningkat melebihi 125% dari
nilai sesuai dengan massa tubuh dan jenis kelamin, tanpa volume plasma yang berkurang.
Polisitemia relatif adalah suatu kondisi massa eritrosit normal, namun volume plasma yang
berkurang.1
Berdasarkan etiologi polisitemia absolut dibedakan menjadi dua yaitu, polisitemia
primer dan sekunder. Polisitemia primer meliputi polisitemia vera, familial dan kongential.
Polisitemia vera disebabkan karena aktivitas eritropoiesis meningkat dengan eritropoietin
yang rendah, sehingga menyebabkan proliferasi sel progenitor atau prekursor. Polisitemia
familial dan kongenital disebut juga primary familial and congenital polycythemia (PFCP).
PFCP merupakan kelainan yang bersifat autosom dominan, disebabkan oleh
hipersensitivitas reseptor eritropoietin (EPO-R) pada progenitor eritroid sehingga terjadi
peningkatan aktivitas eritropoiesis. Primary familial and congenital polycythemia ditandai
dengan isolated eritrositosis dan kadar eritropoietin (EPO) rendah tanpa kelainan limpa dan
penyakit lain yang mendasari menyebabkan aktivitas eritropoiesis meningkat.
Polisitemia sekunder disebabkan peningkatan eritropoiesis yang dipicu oleh faktor
ekstrinsik seperti hipoksia jaringan, tumor, dan terkait dengan obat-obatan. Polisitemia
yang disebabkan oleh hipoksia, misalnya merokok, ketinggian, keracunan karbon
monoksida, penyakit paru kronik, stenosis arteri renal, hidronefrosis, dan eritrosis pasca
transplantasi ginjal. Polisitemia karena tumor, contohnya hemangioblastoma cerebellum,
hepatokarsinoma, meningioma, kanker ginjal, dan leiomioma uterus. Polisitemia terkait
dengan obat, seperti pada pemberian obat yang mengandung eritropoetin dan sediaan
androgen.1-3
Jumlah eritrosit/ nilai Ht mempengaruhi viskositas dan kecepatan aliran darah.
Peningkatan jumlah eritrosit akan meningkatkan viskositas darah, kemudian menyebabkan
penurunan kecepatan aliran darah, sehingga menyebabkan stasis dan penurunan laju
transport oksigen.4,18
Pada makalah ini akan dibahas mengenai polisitemia vera meliputi definisi,
epidemiologi, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi, kriteria diagnosis, penatalaksanaan,
dan pemantauannya.
Dalam 10 - 15 tahun, 30% pasien PV dapat mengalami fase penyakit paling akhir
yaitu proliferasi dari granulopoiesis & myelofibrosis yang signifikan. Fase ini disebut
metaplasia myeloid post polisitemik atau disebut juga fase spent. Fibrosis retikulin
sumsum tulang bersifat reaktif sehingga terjadi perubahan jaringan yang reversibel. Namun
tidak memengaruhi kesintasan pasien PV.Sebuah studi menunjukan bahwa
tingginya/peningkatan yang cepat dari beban alel gen JAK2 V617F saat terapi sitoreduksi
adalah prediktor terkuat dari transformasi myelofibrosis.
Pada fase akhir dari PV, proses eritropoiesis secara progresif akan menurun.
Hasilnya, massa eritrosit akan menjadi normal lalu berkurang dan limpa akan mengalami
pembesaran. Biasanya perubahan ini berhubungan dengan perubahan pada sumsum tulang.
Pola dari post-PV MF berupa metaplasia myeloid yang ditandai dengan apusan darah tepi
gambaran leukoeritroblast, poikilositosis dengan bentuk sel darah merah seperti teardrop
dan splenomegaly akibat hematopoiesis ekstra-meduler. Tanda morfologis pada tahap ini
adalah adanya fibrosis sumsum tulang dengan peningkatan retikulin & kolagen. Variasi
selular di tahap akhir ini bermacam-macam namun umumnya adalah hiposelular.
Kumpulan megakaryosit umumnya hiperkromasi disertai inti dismorfik . Terdapat
penurunan eritropoiesis & granulopoiesis disertai megakaryosit yang berada pada sinusoid
sumsum tulang yang terdilatasi.
2.2 EPIDEMIOLOGI
Polisitemia vera sering terjadi pada usia 50-70 tahun, rasio antara laki-laki banding
perempuan hampir sama yaitu sebesar (1-2): 1. Insidensi polisitemia vera di Amerika
Serikat, adalah 2,3 per 100.000 populasi dalam setahun.2,3,7
2.3 ETIOLOGI
Pada polisitemia vera sebagain besar sebanyak 95% terjadi mutasi JAK2V617F
pada exon 14 terjadi subtitusi asam amino valin menjadi fenilalani pada rantai asam amino
ke 617. Sisanya adalah mutasi pada ekson 12 JAK2, terjadi substitusi lisin menjadi leusin
pada posisi asam amino ke 539 (K539L). 8,9
JAK2 merupakan enzim sitoplasmik tirosin
kinase non-membran berperan pada jalur transduksi sinyal untuk beberapa growth factor
seperti EPO, trombopoietin (TPO), stem cell factor (SCF), dan granulocyte colony-
stimulating factor (GCSF) sebagai perantara reseptor membran dan molekul sinyal
intraselular ke inti sel.8,10 Mutasi pada gen JAK 2 akan mengganggu jalur transduksi sinyal,
sehingga terjadi ketidakseimbangan antara faktor inhibisi dan faktor stimulasi normal.
Semua turunan sel darah yang berasal dari sumsum tulang dapat meningkat namun
peningkatan eritropoiesis merupakan karakteristik yang paling dominan. Dominasi jalur
eritroid pada PV disebabkan oleh beberapa mekanisme, yaitu proliferasi sel progenitor
neoplastik independen EPO. Sel progenitor eritroid hipersensitif terhadap EPO, faktor
pertumbuhan lain selain EPO (IGF-1, IL-3), dan inhibisi apoptosis. 2-4
2.4 PATOFISIOLOGI
Mutasi JAK2 V617F merupakan penyebab utama PV mengakibatkan fungsi
inhibisi JH2 psuedokinase hilang dan peningkatan aktivitas JH1. Sel punca hematopoietik
yang telah bermutasi hipersensitif terhadap faktor pertumbuhan seperti EPO, TPO, faktor
pertumbuhan seperti insulin-1 (IGF1), stem cell factor (SCF), dan granulocyte colony-
stimulating factor (GCSF), mengakibatkan mieloproliferasi trilinear.21
JAK2 termasuk ke dalam famili janus dari tirosin kinase sitoplasmik non-reseptor,
yang mencakup JAK1, JAK3, dan TYK2. Jak kinase dapat berfungsi secara normal jika
terhubung dengan reseptor sitokin. Ligan akan berikatan dengan reseptor sitokin yang
sesuai, mengakibatkan fosforilasi dan aktivasi Jak kinase, fosforilasi reseptor sitokin,
perekrutan dan fosforilasi stat protein, dan aktivasi protein sinyal downstream. Oleh karena
itu dapat disimpulkan bahwa JAK 2 merupakan Jak kinase satu-satunya yang memegang
peran dalam pengiriman sinyal EPO-R.15
JH1 sebagai domain katalitik kinase, dan JH2 adalah domain katalitik pseudokinase
inaktif yang berperan sebagai autoinhibitor. Saat terjadi mutasi titik JAK2V617F, akan
terjadi substitusi asam amino tunggal didalam domain JH2 dari JAK2, berakibat
autoinhibisi dan peningkatan aktivitas kinase. Selain itu juga, ekspresi dari JAK2V617F ini
dapat mengaktivasi berbagai macam jalur sinyal downstream, termasuk faktor transkripsi
famili Stat, jalur sinyal mitogen activated protein kinase (MAPK), dan
phosphatidylinositol 3-kinase (PI3K)-Akt. Mekanisme tersebut akan mengaktivasi STAT 5
atau gen antiapoptotiknya, BCL-X, pada sel progenitor hematopoietic, berujung pada
pembentukan koloni EPO-independent, yang merupakan hallmark dari PV. 15
Gambar
Gambar 2. 3 1Domain
Domain Struktur
Struktur Protein JAK2
Protein JAK2
Angka mendeskripsikan posisi asam amino di dalam protein JAK2. Tanda panah
menunjukan regio tersering terjadinya mutasi. Efek auto inhibisi JH2 diindikasikan dalam
warna kuning. Domain FERM 5 N-terminal Band 4.1, ezrin, radixin, moesin; domain
homologi JH1 dan JH2 5 Jak 1 dan 2; Domain homologi SH2 5 Src 2. Ilustrasi B
menggambarkan model interaksi antara domain protein JAK2 yang terikat pada reseptor
eritropoietin (EpoR). Domain F 5 FERM adalah dan domain K 5 kinase (JH1) adalah
Domain SH 5 SH2.
Pada keadaan normal aktivasi eritropoiesis diperantarai oleh EPO yang berikatan
dengan EPO-R. Kompleks EPO dengan EPO-R menyebabkan dimerisasi reseptor dan
aktivasi protein JAK2. Protein JAK2 yang teraktivasi, kemudian mengalami fosforilasi
domain reseptor di sitoplasma, selanjutnya mengaktivasi molekul signal tranducers and
activator of transcription (STAT), molekul STAT masuk ke dalam inti sel dan terjadi
proses transkripsi gen yang mengakibatkann survival dan proliferasi sel (Gambar 2.4).
Menurut penelitian Kasper dkk tahun 2018 melaporkan bahwa merokok berkaitan
erat dengan kejadian myeloproliferative neoplasm (MPN), salah satunya adalah polisitemia
vera. Pada perokok terjadi peradangan kronis, dibuktikan dengan peningkatan kadar
beberapa sitokin pro-inflamasi, aktivasi leukosit dan trombosit in vivo, disfungsi endotel,
serta stres oksidatif sistemik. Selain itu, merokok menyebabkan hipoksia kronis persisten
sel myeloid (eritrosit, leukosit dan monosit, serta trombosit). Akhir-akhir ini dikaitkan
antara merokok dan kejadian MPN (Lingkaran Rokok-MPN-Kanker). Pada perokok
terdapat banyak sitokin pro inflamasi antara lain faktor nekrosis tumor alfa yang telah
terbukti memfasilitasi ekspansi klonal pada sel dengan mutasi JAK2-V617F dan berperan
pada pathogenesis MPN.16
Trombosis yang terjadi pada PV berawal dari mutasi JAK2 yang mengakibatkan
terlibatnya berbagai faktor seperti sel darah merah kualitatif dan kuantitatif, trombosit serta
abnormalitas leukosit. Tekanan tinggi pada dinding pembuluh darah akibat hiperviskositas
berpengaruh terhadap disfungsi endotel kronis dan aktivasi leukosit. Peningkatan risiko
trombosis terjadi karena meningkatnya hematokrit yang paralel dengan peningkatan
viskositas darah.2
Gejala-gejala trombosis muncul pada 33% penderita PV, yaitu berupa stroke, infark
miokard, emboli pulmonal, atau deep vein thrombosis. Kejadian trombogenesis erat
kaitannya dengan mutasi pada JAK2; mutasi ini tidak hanya meningkatkan produksi
eritrosit, namun juga meningkatkan produksi dan kinerja trombosit sehingga mudah terjadi
trombosis. Perdarahan dijumpai pada 25% penderita disebabkan disfungsi trombosit.
Disfungsi trombosit tidak hanya terjadi di PV, namun juga pada pasien trombositemia
esensial, dengan mayoritas penderita mengalami sindrom von Willebrand didapat dan
penurunan jumlah reseptor glikoprotein trombosit. Perdarahan juga dapat diperparah
dengan penggunaan aspirin. Dari hasil penelitian Elliot dkk menyatakan bahwa insidensi
trombosis dan perdarahan pada PV sebesar 12-39% dengan perbandingan 1:7. 11 Secara
umum trombosis pada PV dapat mengenai arteri atau vena, namun Landofi dkk
menemukan trombosis arteri jauh lebih sering dibandingkan vena.
Gambar 2. 6 (a) Plethora pada wajah dan sufusi konjungtiva; (b) Hepatosplenomegali
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2008 diperlihatkan pada Tabel 1, dan
2016 Tabel 2.
Tabel 1 Kriteria Diagnosis WHO 2008
Tabel 1. Kriteria Diagnosis WHO 2008
Kriteria mayor
1. Kadar Hb > 18.5 g/dL pada laki-laki, perempuan 16.5 g/dL atau Hb atau Ht>99% rentang
rujukan berdasarkan usia, jenis kelamin, atau ketinggian tempat atau peningkatan massa
eritrosit > 25% baseline atau Hb> 17g/dL pada laki-laki, perempuan 15g/dL, jika terjadi
peningkatan 2 g/dL dari baseline dan tidak disebabkan dari koreksi defisiensi besi
2. Ada JAK2 V617F atau mutasi lain yang serupa secara fungsional seperti mutasi JAK2
ekson 12.
Kriteria minor
1. Kadar eritropoetin serum subnormal
2. Biopsi sumsum tulang menunjukkan hiperselularitas untuk usia dengan pertumbuhan
trilineage (panmyelosis) dengan proliferasi eritroid, granulosit dan megakariosit yang
menonjol.
3. Pertumbuhan koloni eritroid endogen in vitro
Diagnosis polisitemia vera memerlukan 2 kriteria mayor dan 1 kriteria minor atau kriteria
mayor pertama dan 2 kriteria minor
2.8 DIAGNOSIS
Algoritma pemeriksaan polisitemia, dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan
fisik untuk menyingkirkan penyebab yang mendasari polisitemia sekunder. Jika ditemukan
penyebab, maka dilakukan upaya untuk melakukan koreksi penyakit yang mendasari serta
melakukan evaluasi ulang untuk melihat perbaikan setelah pengobatan atau intervensi.
Secara sistematis, algoritma diagnosis polisitemia terlihat pada Gambar 2.7.18
Pada pemeriksaan sumsum tulang biasanya hiposelular, ditemukan serat retikulin dan
fibrosis kolagen dengan selularitas bervariasi. Megakarosit hiperkromatik dan inti
dismorfik. Eritropoiesis dan granulopoiesis menurun.1
Kadar vit B12 serum dan kapasitas daya ikat vitamin B12 meningkat karena terjadi
peningkatan haptocorrin. EPO serum rendah. Sering terdapat hiperurisemia dan LDH
serum yang meningkat.2 Selain hal diatas pada kasus PV dapat terjadi trombositosis
>400.000/µL, leukositosis >Gambar12.000/µL, leukosit alkalin fosfatase >100unit/L saat
tidak demam maupun infeksi. Trombosit bisa meningkat antara 400.000-800.000/µL pada
sekitar 50% kasus. Dapat dijumpai pseudohiperkalemia in vitro akibat peningkatan
trombosit.7
2.10 PENATALAKSANAAN
Tidak terdapat pengobatan definitif untuk polisitemia vera. Prinsip pengobatan pada
polisitemia vera adalah untuk mengurangi peningkatan dari volume darah, kekentalan
darah, massa sel darah merah, dan jumlah platelet dengan menggunakan terapi plebotomi
dan myelosupresif dengan bahan radioaktif phosphorus dan agen kemoterapi, menghindari
pembedahan elektif pada fase eritrositik/polistemia yang belum terkontrol, menghindari
pengobatan yang berlebihan (over treatment), menghindari obat yang mutagenik,
teratogenik, dan berefek sterilisasi pada pasien usia muda, mengontrol panmielosis dengan
dosis tertentu fosfor radioaktif atau kemoterapi sitosstatika pada pasien di atas 40 tahun
bila didapatkan: trombositosis persisten di atas 800.000/mL, leukositosis progresif,
splenomegali simptomatik atau menimbulkan sitopenia problematik, dan adanya gejala
sistemik yang tidak terkontrol.5
Terapi pada polisitemia vera bertujuan untuk memperpanjang angka usia harapan
hidup. Terapi yang dapat dilakukan antara lain berupa:18
1. Flebotomi
a. Menurunkan hematokrit sampai di bawah 45%
b. Mengurangi besi sehingga mengurangi eritropoiesis
c. Mengurangi terjadi komplikasi trombosis
2. Terapi mielosupresif
a. Bertujuan mengurangi sel hematopoiesis
b. Dapat berupa kemoterapi atau radioterapi
c. Komplikasi dapat terjadi insidensi keganasan meningkat
Tujuan utama pengobatan pada polisitemia vera adalah untuk mencegah trombosis.
kejadian trombosis pada kasus PV merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas,
dengan angka kematian kardiovaskular dan kejadian trombotik non-fatal sebanyak 5,5%
per tahun, sehingga menjadi factor krusial untuk menentukan prognosis. Kasus PV
dikelompokkan menjadi kelompok resiko rendah dan resiko tinggi terhadap thrombosis.
Kelompok risiko rendah adalah usia di bawah 60 tahun dan tidak ada riwayat trombosis
sebelumnya, sedangkan kelompok risiko tinggi adalah usia di atas 60 tahun dan/atau
dengan riwayat trombosis sebelumnya.5Alur penatalaksanaan polisitemia vera bisa dilihat
pada Gambar 2.10.18
Terapi awal PV adalah plebotomi dan pemberian aspirin pada semua kasus baik
laki-laki maupun perempuan tanpa memperhatikan klasifikasi factor resiko. Plebotomi
dilakukan hingga hematokrit di bawah angka 45%, dan aspirin diberikan dengan dosis 40-
100mg sehari sekali. Pada kasus PV risiko rendah, aspirin bisa diberikan dua kali sehari
jika ada gejala mikrovaskuler yang tidak terkontrol atau gejala kardiovaskuler seperti
hipertensi, atau terdapat leukositosis.17
Tindakan plebotomi pada PV untuk mengontrol nilai Ht. Pasca tindakan plebotomi
terjadi peningkatan 73% aliran darah, ketika nilai Ht di bawah 45%. Target Ht adalah 45%
pada laki-laki dan 42% pada perempuan. Tindakan plebotomi biasanya dilakukan dua kali
seminggu. Pada kadar Ht >60% dapat dikerjakan tindakan plebotomi selang sehari dengan
memperhatikan hasil laboratorium. Pasien dianjurkan untuk mencegah dehidrasi serta
menghindari aktivitas fisik berat dalam 24 jam sebelum dan sesudah plebotomi.18
Lini pertama
Kelompok kasus risiko tinggi dapat diberikan obat sitoreduktif berupa hidroksiurea
untuk menurunkan insiden thrombosis dengan dosis 500mg dua kali sehari. Obat ini
sitotoksik, merupakan penghambat sintesis DNA dan memicu kerusakan kromosom.17 Jika
resisten terhadap hidroksiurea, maka dapat diberikan interferon alfa (IFN-a). Kriteria reaksi
alergi atau resistensi terhadap hidroksiurea dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Lini kedua
IFN-a memiliki efikasi mirip hidroksiurea, namun efek toksisitas lebih besar. IFN-a
telah terbukti dapat mengontrol jumlah eritrosit. IFN-a memiliki efek antiproliferative,
proapoptosis, antiangogenik, dan imunomodulator. Keuntungan lain adalah ukuran limpa
mengecil dan pruritus hilang. Dosis pemberisan 3juta unit subkutan 3 kali seminggu.17
Ruxolitinib adalah JAK1/JAK2 inhibitor poten yang disediakan oleh FDA untuk
kasus PV yang tidak respon atau inteoleran terhadap hidroksiurea. Ruxolitinib juga
direkomendasikan oleh FDA untuk pengobatan kasus myelofibrosis (MF) risiko sedang
atau tinggi, termasuk MF primer, MF pasca-PV, dan MF pasca trombositemia esensial
(ET).
2.11 PROGNOSIS
Polisitemia vera bila tidak ditatalaksana akan memiliki prognosis yang buruk, yaitu
angka kelangsungan hidupnya kurang dari 2 tahun. Pasien polisitemia vera yang tidak
menjalani tatalaksana yang adekuat, sebanyak 50% di antaranya meninggal dalam 18 bulan
setelah onset dari gejala awal muncul, dengan penyebab utama adalah trombosis yang
banyak terjadi terutama pada pasien usia lanjut dan pasien yang memiliki riwayat
komplikasi penyakit vaskular sebelumnya. Prognosis pada polisitemia vera sendiri
tergantung pada perjalanan penyakit dan tingkat keparahan komplikasi, durasi fase
eritrositosis, dan durasi dari fase leukemia myeloid akut. Tatalaksana pada polisitemia
sangat penting untuk dilakukan sedini mungkin, jika tidak pasien akan sangat berisiko
tinggi mengalami trombosis. Terjadinya trombosis, pendarahan, sindrom myeloroliferatif
sering terjadi pada perjalan penyakit polisitemia vera.5
Umumnya prognosis pasien dengan pengobatan yang tersedia saat ini memiliki
waktu kelangsungan hidup rata-rata 10-15 tahun. Penyebab utama morbiditas dan
mortalitas pada polisitemia vera yaitu:
- Pada 15-60% pasien terjadi trombosis, hal ini tergantung pada pengendalian penyakit
tersebut dan 10-40% diantaranya merupakan penyebab utama kematian
- 15-30% pasien mengalami komplikasi pendarahan dan 6-30% diantaranya
menyebabkan kematian
- Pada 3-10% pasien polisitemia vera berkembang menjadi myelofibrosis dan
pansitopenia
- Perkembangan penyakit polisitemia vera ini akan mengarah ke penyakit lain seperti
splenomegali, anemia, mielodisplasia dan atau leukemia myeloid akut (Acute Myeloid
Leukaemia/AML). 6
Pada laki-laki mempunyai angka harapan hidup yang lebih baik dibandingkan
perempuan. Jika dibandingkan dengan orang berkulit putih, pasien berkulit hitam
mempunyai angka harapan hidup yang sedikit lebih kecil. Penelitian menunjukkan bahwa
semakin tinggi usia, angka harapan hidup semakin kecil, dan sebaliknya.7
III. KESIMPULAN
Polisitemia vera termasuk neoplasma mieloproliferatif, yang secara alami akan
berevolusi menjadi mielofibrosis pasca-polisitemia vera. Penyakit ini disebabkan mutasi
genetik Janus Kinase 2 (JAK2) yang mengakibatkan produksi eritrosit berlebihan.
Diagnosis berdasarkan kriteria WHO. Terapi awal adalah plebotomi dengan aspirin, diikuti
terapi berdasarkan klasifikasi risiko.
Trombosis pada arteri dan/atau vena merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas pada polisitemia vera. Oleh karenanya, pengobatan harus berfokus terutama
pada pengurangan risiko trombotik, kontrol mieloproliferasi, perbaikan beban gejala, dan
pengelolaan komplikasi terkait penyakit. Seperti yang telah terjadi untuk keganasan
hematologis lainnya, serta untuk PV, tujuannya saat ini diwakili oleh terapi yang
disesuaikan dengan pasien. Sementara obat baru baru-baru ini memasuki arena klinis untuk
meningkatkan manajemen pasien secara keseluruhan, bukti pengobatan modifikasi
penyakit sebagian besar hilang. Ada beberapa aspek mengenai PV, bagaimanapun
mewakili langkah yang signifikan untuk strategi pengobatan yang lebih memadai, seperti
penggunaan genetika mutasi yang lebih baik untuk meningkatkan stratifikasi risiko
trombotik pasien PV dan definitif yang lebih tepat dari PV. Kriteria respon/keamanan,
yang harus sesuai dengan petunjuk dokter dalam memilih pengobatan yang paling tepat.