Anda di halaman 1dari 14

Abstrak

Diare merupakan penyakit endemis khususnya di negara berkembang seperti


Indonesia dan penyakit yang berpotensi megalami Kejadian Luar Biasa (KLB)
yang sering disertai dengan kematian (Kemenkes RI, 2020). Berdasarkan data
World Health Organization (WHO) pada Tahun 2017 ada sekitar 1,7 miliar kasus
diare dengan angka kematian 525.000 anak balita setiap tahun. Di Indonesia,
prevalensi diare merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan kasus yang
tinggi Berdasarkan data Kemenkes RI prevalensi diare pada tahun 2018 sebanyak
37,88% atau sekitar 1.516.438 kasus pada balita. Tujuan penelitian ini adalah
mengkaji secara mendalam mengenai Pengaruh Lingkungan terhadap Kejadian
Diare pada Balita di Wilayah Pemukiman Pedesaan & Perkotaan, menggunakan
metode penelitian kualitatif studi literature untuk mengkaji perbandingan dan
melihat secara mendalam dengan menggunakan penelitian terdahulu yang
dilakukan peneliti. Berdasarkan hasil dari artikel-artikel dapat disimpulkan bahwa
kejadian diare memiliki hubungan dengan sanitasi dasar baik di rumah maupun
lingkungan sekitar terutama berkaitan dengan air, seperti saluran air, penyediaan
air bersih, ataupun pengolahan air minum.
Kata Kunci: Diare, Anak, Balita, Pemukiman, Penyebab..

Latar Belakan
Menurut World Health Organization (WHO) penyakit diare didefinisikan
sebagai suatu penyakit yang ditandai dengan perubahan bentuk dan konsistensi
tinja yang lembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi buang air besar
yang lebih dari biasanya yaitu 3 kali atau lebih dalam sehari. Diare merupakan
penyakit endemis khususnya di negara berkembang seperti Indonesia dan penyakit
yang berpotensi megalami Kejadian Luar Biasa (KLB) yang sering disertai
dengan kematian (Kemenkes RI, 2020). Penyebab utama kematian akibat diare
adalah dehidrasi akibat kehilangan cairan dan elektrolit melalui tinja. Kondisi
tersebut sering terjadi pada anak-anak, terutama anak dengan kategori gizi kurang,
lebih rentan menderita diare walaupun tergolong ringan. Namun, karena kejadian
diare itu sering disertai dengan berkurangnya nafsu makan sehingga menyebabkan
keadaan tubuh lemah dan keadaan tersebut sangat membahayakan
kesehatan anak (Rahayu, 2021).
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada Tahun 2017 ada
sekitar 1,7 miliar kasus diare dengan angka kematian 525.000 anak balita setiap
tahun.Pada negara berkembang, anak-anak usia di bawah 3 tahun rata-rata
mengalami 3 episode diare pertahun. Setiap episodenya diare akan menyebabkan
kehilangan nutrisi yang di butuhkan anak untuk bertumbuh dan berkembang,
sehingga diare merupakan penyebab utama malnutrisi pada anak.
Di Indonesia, prevalensi diare merupakan masalah kesehatan masyarakat
dengan kasus yang tinggi Berdasarkan data Kemenkes RI prevalensi diare pada
tahun 2018 sebanyak 37,88% atau sekitar 1.516.438 kasus pada balita. Prevalensi
tersebut mengalami kenaikan pada tahun 2019 menjadi 40% atau sekitar
1.591.944 kasus pada balita (Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2020). Selain itu,
Riskesdas melaporkan prevalensi diare lebih banyak terjadi pada kelompok balita
yang terdiri dari 11,4 % atau sekitar 47.764 kasus pada laki-laki dan 10,5% atau
sekitar 45.855 kasus pada perempuan (Nugraha et al., 2022).
Secara umum, penyebab diare pada anak adalah karena infeksi virus atau
bakteri, seperti rotavirus dan bakteri salmonella. Terkadang, diare pada anak bisa
disebabkan oleh parasit, seperti giardia. Namun, kasus ini lebih jarang terjadi.
Kebersihan lingkungan dan sanitasi yang buruk dapat meningkatkan risiko anak
terkena diare. Sebab, anak bisa saja mengonsumsi makanan atau minuman yang
telah terkontaminasi oleh mikroorganisme penyebab diare. Penyebab lain diare
pada anak adalah tidak dapat mencerna makanan tertentu (intoleransi makanan),
alergi makanan tertentu, reaksi obat-obatan tertentu, penyakit saluran pencernaan,
keracunan makanan, masalah di cara kerja saluran pencernaan, dan operasi perut
(Dinkes Provinsi Kalimantan Barat, 2021).
Pada penelitian (Nasika Nurlaila, Susilawati., 2022) menunjukkan hasil
bahwa Keluarga yang memiliki sanitasi lingkungan tidak baik dan yang
mengalami kejadian diare pada balita sebanyak 21 orang (75%) dan yang tidak
mengalami kejadian diare pada balita sebanyak 7 orang (25%). Sedangkan
responden yang memiliki sanitasi lingkungan baik dan tidak mengalami kejadian
diare pada balita sebanyak 5 orang (100%). Dengan demikian hubungan
kebersihan lingkungan dipemukiman yang buruk bisa menjadi penyebab balita
terkena diare.

Metode Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengkaji secara mendalam mengenai
Pengaruh Lingkungan terhadap Kejadian Diare pada Balita di Wilayah
Pemukiman Pedesaan & Perkotaan, menggunakan metode penelitian kualitatif
studi literature untuk mengkaji perbandingan dan melihat secara mendalam
dengan menggunakan penelitian terdahulu yang dilakukan peneliti. Pengumpulan
data dilakukan dengan melakukan studi kepustakaan, yakni mengadakan studi
penelaahan terhadap litertur-literatur,hasil penelitian, jurnal ilmiah, dan sumber-
sumber lain, yang berhubungan dengan masalah yang dipecahkan.

Mencari referensi literature


melalui sumber pencarian
online (n=12)

Judul dan abstrak (n=12)

Analisis keseluruhan isi artikel


(n=12)

Gambar 1: Alur Skrining Artikel

Hasil

Peneliti Judul Sampel Metode Output

Henny Hubungan Sanitasi 83 balita Cross Hasil penelitian ini


Arwina Dasar dengan Sectional menunjukkan bahwa
Bangun, Kejadian Diare pada Study proporsi keluhan diare pada
Donal Balita di Desa Durian balitasebanyak 63,9%.
Nababan, Kecamatan Pantai Ketersediaan jamban sehat
Hestina Labu Kabupaten Deli yang tidak memenuhi syarat
Serdang 41,0%, sarana air bersih
yang tidak memenuhi syarat
84,3%, sarana pengelolaan
sampah yang tidak
memenuhi syarat 100%, dan
SPAL yang tidak memenuhi
syarat 95,2%. Sanitasi dasar
yang berhubungan secara
signifikan dengan kejadian
diare pada anak 0 –  4 tahun
di desa durian adalah
ketersedian jamban sehat,
sarana air bersih, dan
SPAL. 

Nasika Pengaruh kesehatan Systematic Balita yang mengalami


Nurlaila, lingkungan terhadap review diare dalam satu bulan
Susilawati kejadian diare pada terakhir di Puskesmas
balita di Kota Medan Terjun diperoleh 22 balita
(45,8%) sedangkan balita
yang mengalami diare di
Puskesmas Kp. Aur
sebanyak 20 balita (41,7%).
Setelah dilakukan uji
statistik dengan Chi square
didapatkan nilai p<α (0,001
> 0,05), dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa
ada hubungan antara
sanitasi lingkungan
terhadap kejadian diare
pada balita.

Ratna Dian Analisis Sanitasi 93 Case Berdasarkan hasil penelitian


Kurniawati, Dasar Lingkungan Control yang telah dilakukan dapat
Silmi Farhah Dengan Kejadian Study beberapa hal yaitu sebagian
Abiyyah Diare Balita Di besar responden
Kelurahan menggunakan sumber air
Babakansari bersih yang memenuhi
Kecamatan syarat, sebagian besar
Kiaracondong responden menggunakan
Bandung jamban yang tidak
memenuhi syarat, dan
sebagian besar responden
menggunakan sarana
pembuangan sampah yang
tidak memenuhi syarat.
Tidak ada hubungan
signifikan antara sumber air
bersih, jamban sehat dan
sarana pembuangan sampah
dengan kejadian diare pada
balita di kelurahan
Babakansari.

Meri Hubungan Sanitasi 59 balita Simple Hasil penelitian diketahui


Lidiawati Lingkungan dengan random bahwa ada hubungan yang
Angka Kejadian Diare sampling bermakna antara
Pada Balita di penyediaan air bersih,
Wilayah Kerja penggunaan jamban, dan
Puskesmas Meuraxa pembungan sampah dengan
Tahun 2016 angka kejadian diare pada
balita (p value < 0,005).

Nur Hubungan Sanitasi 60 balita Cross Uji statistik menunjukkan


Hamdani Lingkungan dengan Sectional bahwa terdapat hubungan
Nur, Nanang Kejadian Diare pada Study yang signifikan antara
Rahmadani, Balita di Wilayah kualitas fisik air bersih (p
Adi Kerja Puskesmas value = 0,014) dengan
Hermawan Pertiwi Kota kejadian diare pada balita di
Makassar wilayah kerja Puskesmas
Pertiwi Kota Makassar
tahun 2020. Variabel yang
tidak ada hubungan dengan
kejadian diare pada balita
yaitu variabel sumber air
minum (p value = 0,683)
dan variabel jenis lantai
rumah (p value = 0,361).
Sedangkan variabel
kepemilikan jamban, hasil
penelitian menunjukkan
100% responden memiliki
jamban dengan syarat
sanitasi sehingga variabel
kepemilikan jamban tidak
dapat dianalisis dengan uji
bivariat karena data yang
homogen (Constant).

Mawaddah Analisis Spasial 43  Cross Kejadian diare pada balita


Muhajjar, Hubungan Kualitas Sectional di Kecamatan Genuk Kota
Mursid Lingkungan dengan Study Semarang sebanyak 72,1%
Rahardjo, Kejadian Diare Pada balita (31 dari 43 balita)
Nikie Balita di Kecamatan mengalami diare dalam 3
Astorina Genuk Kota bulan terakhir. 
Yunita Semarang
Dewanti Wilayah Genuk yang
beresiko mengalami
kejadian diare karena
kualitas air bersih yang
tidak memenuhi syarat
sebanyak 91,44%, karena
kondisi sarana pembuangan
sampah yang tidak
memenuhi syarat 87,1%,
karena Saluran Pembuangan
Air Limbah yang tidak
memenuhi syarat 82,14%,

I Wayan Hubungan Faktor 70 orang analisis Hasil akhir analisis


Arimbawa, Perilaku dan Faktor multivariat multivariat dengan
Komang Lingkungan terhadap cross- menggunakan regresi
Ayu Trisna Kejadian Diare pada sectional logistik metode enter
Dewi, Balita di Desa menunjukkan bahwa dari
Zakwan bin Sukawati, Kabupaten variabel kebiasaan
Ahmad Gianyar Bali Tahun memasak air minum,
2014 penggunaan filtrasi air
tradisional (topo),
kepemilikan jamban
keluarga, dan akses sumber
air, variabel kebiasaan
memasak air minum
memiliki nilai p < 0.05,
yaitu p = 0.029. Hal
tersebut berarti kebiasaan
memasak air minum
berpengaruh secara
signifikan terhadap kejadian
diare pada balita di Desa
Sukawati, Gianyar.

Yazika Hubungan Sanitasi 81 ibu Cross Ada hubungan kualitas fisik


Rimbawati, Lingkungan Dengan Sectional  air secara parsial dengan
Andre Kejadian Diare Pada kejadian diare pada balita
Surahman Balita dengan nilai p-value 0,000.

Ada hubungan kepemilikan


jamban minum secara
parsial dengan kejadian
diare pada balita dengan
nilai p-value 0,000.

Ada hubungan jenis lantai


rumah secara parsial dengan
kejadian diare pada balita
dengan nilai p-value 0,004.

Sintari Hubungan Sarana 95 ibu cross- Kejadian diare pada balita


Lindayani Sanitasi Dasar Rumah sectional  di Desa Ngunut Kecamatan
dan R. Dengan Kejadian Ngunut Kabupaten
Azizah Diare Pada Balita Di Tulungagung pada 3 bulan
Desa Nguntut terakhir ini masih tinggi
Kabupaten yaitu sebesar 46,3%. Hasil
Tulungagung  analisis statistik dengan uji
chi-square, didapatkan hasil
yang bermakna (p < α)
antara sanitasi dasar rumah
dengan kejadian diare,
kecuali sarana penyediaan
air bersih dengan kejadian
diare tidak terdapat
hubungan yang bermakna
(p > α).

Ismawati, Hubungan Kepadatan 434 kartu cross-


Hariati Lalat, Jarak keluarga sectional
Lestari, Pemukiman dan study
Jafriati  Sasrana Pembuangan
Sampah Dengan
Kejadian Diare Pada
Pemukiman Sekitar
UPTD Rumah
Pemotongan Hewan

(RPH) Kota Kendari


Di Kelurahan
Anggoeya
Kecamatan  Poasia
Tahun 2015

Edi Upaya Pencegahan 30 deskriptif- Dari hasil pertanyaan


Purwanto Diare Pada Anak di responden kuantitatif. menunjukkan sangat
Pemukiman Padat beragam sikap
Penduduk Kota individu/responden
Malang terghadap pencegahan
diare. Hal tesebut
dipengaruhi bebarapa factor
diantaranya tingkat
pendidikan, ekononi dan
pengalaman seseorang.

Khofifah Faktor Air, Sanitasi, 240 Cross Kejadian diare pada balita
Abidin, Dan Higiene balita. Sectional di wilayah permukiman
Ansariadi, Terhadap Kejadian kumuh Kecamatan Tallo
Ida Leida M. Diare Pada Balita Di Kota Makassar dipengaruhi
Thaha Permukiman Kumuh oleh sumber air rumah
Kota Makasar tangga, pengelolaan air
minum, kepemilikan tempat
sampah, kepemilikan
jamban, dan praktik higiene
ibu. Pemilihan sumber air
minum yang terlindung,
pengelolaan air minum,
kepemilikan tempat sampah
dan kepemilikan jamban
yang memenuhi syarat,
serta praktik higiene ibu
khususnya dalam praktik
cuci tangan yang baik dapat
mengurangi risiko kejadian
diare sehingga diperlukan
upaya tersebut untuk
meminimalisir kejadian
diare pada balita, tidak
hanya itu diperlukan upaya
lain untuk mencegah diare
pada balita seperti dalam
pemenuhan nutrisi,
imunisasi, pemberian asi,
pengetahuan ibu mengenai
higiene, serta kondisi rumah
yang memenuhi syarat
kesehatan.

Pembahasan
Diare adalah penyakit yang ditandai bertambahnya frekuensi defekasi
lebih dari biasanya (> 3 kali/hari) disertai perubahan konsistensi tinja (menjadi
cair), dengan atau tanpa darah atau lender. Diare didefinisikan sebagai berak, cair
tiga kali atau lebih dalam sehari semalam. Berdasarkan waktu serangannya terbagi
menjadi dua, yaitu diare akut (< 2 minggu) dan diare kronik (≥ 2 minggu). Diare
pada balita, bila tidak diatasi lebih lanjut dapat menyebabkan dehidrasi yang
mengakibatkan kematian. Salah satu faktor risiko penyebab diare adalah faktor
lingkungan atau sanitasi dasar lingkungan yang meliputi sarana air bersih, jamban
sehat dan sarana pembuangan sampah. Sanitasi mempunyai peranan penting
dalam mewujudkan rumah sehat dan sebagai penunjang untuk mencegah penyakit
berbasis lingkungan.
Hubungan Antara Sanitasi Dasar Dengan Kejadian Diare Pada Balita
Berdasarkan artikel 1 terdapat hubungan antara sanitasi dasar dengan
kejadian diare pada anak 0-4 tahun yang didapatkan dari hasil bivariat p-value
terhadap beberapa variabel, yaitu ketersediaan jamban sehat dengan nilai p-value
sebesar 0,046, sarana air bersih dengan nilai p-value 0,009, ketersediaan SPAL
dengan nilai p-value 0,015, dan sarana pembuangan sampah sementara yang tidak
dianalisis secara statistik karena nilai konstanta 100% tidak memenuhi syarat. Hal
ini dapat menjadi faktor kasus kejadian diare pada anak usia 0-4 tahun di Desa
Durian Kecamatan Pantai Labu yang dalam penelitian ini sebesar 63,9% dari
keseluruhan sampel penelitian yang terdiri dari usia 0 – 12 bulan sebesar 14,5%, 1
tahun sebesar 10,8%, 2 tahun sebesar 20,5%, 3 tahun sebesar 31,3%, dan 4 tahun
sebesar 22,9%. Beberapa perilaku dapat menyebabkan penyebaran kuman enterik
dan meningkatkan risiko terjadinya diare, antara lain menyimpan makanan masak
pada suhu kamar, menggunakan air minum yang tercemar, tidak mencuci tangan
sesudah buang air besar atau sesudah membuang tinja anak atau sebelum makan
atau menyuapi anak, dan tidak membuang tinja dengan benar. Pengelolaan
sampah yang tidak memenuhi syarat juga menyebabkan lebih banyak diare
dikarenakan sampah yang tidak diolah atau dibuang sembarangan dapat menjadi
tempat yang baik bagi perkembangbiakan serangga dan mikroorganisme, serangga
sebagai pembawa mikroorganisme patogen dapat menyebarkan berbagai macam
penyakit.
Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan dan Personal Hygiene Ibu
Berdasarkan artikel 2, terdapat hubungan antara sanitasi lingkungan dan
personal hygiene ibu dengan kejadian diare pada balita. Kasus balita yang
mengalami diare dalam satu bulan terakhir di Puskesmas Terjun diperoleh 22
balita (45,8%) sedangkan balita yang mengalami diare di Puskesmas Kp. Aur
sebanyak 20 balita (41,7%). Hasil analisis chi square untuk variabel hubungan
sanitasi lingkungan didapatkan nilai p<α (0,001 > 0,05) dan untuk variabel
personal hygiene ibu statistik didapatkan nilai p<α (0,002 < 0,05). Kondisi
lingkungan yang buruk adalah salah satu faktor meningkatnya kejadian diare
karena status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup perumahan,
pembuangan kotoran, dan penyediaan air bersih. Hal ini dapat menyebabkan
masalah kesehatan lingkungan yang besar karena dapat menyebabkan
mewabahnya penyakit diare dan mempengaruhi kondisi kesehatan masyarakat.

Berdasarkan artikel 3, tidak ada hubungan signifikan antara sumber air


bersih, jamban sehat, dan sarana pembuangan sampah dengan kejadian diare pada
balita di kelurahan babakansari. Hal ini ditunjukkan dengan hasil analisis chi
square menunjukkan nilai p-value > 0,05 pada masing-masing sanitasi dasar yang
diukur. Sanitasi dasar sumber air bersih memiliki nilai p-value sebesar 0,712,
jamban sehat memiliki nilai p-value sebesar 0,420, dan terakhir adalah sarana
pembuangan sampah memiliki nilai p-value sebesar 1,000. balita. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan Rofiana tahun 2017 yang menyatakan bahwa
sarana air bersih tidak berhubungan mengakibatkan diare pada balita. Hampir
semua responden telah memakai sumber air terlindungi, responden memakai
sumur gali yang sudah ditutup permukaannya dan menggunakan jet pump untuk
mengambil air. Kondisi ini sudah sesuai dengan persyaratan sarana air bersih
menurut kemenkes 2017 tentang baku mutu air untuk higiene sanitasi.
Berdasarkan artikel 4, diketahui distribusi frekuensi penyediaan air bersih
dan pembuangan sampah yang tidak baik memiliki persentase lebih tinggi, yaitu
53,4% dan 66,1% dibandingkan dengan yang baik dengan nilai persentase 46,6%
dan 33,9%. Sedangkan pada distribusi frekuensi penggunaan jamban lebih tinggi
pada kategori baik (55,1%) dibandingkan dengan yang tidak baik (44,9%). Hasil
analisis bivariat pada hubungan penyediaan air bersih, penggunaan jamban, dan
pembuangan sampah dengan kejadian diare pada balita memiliki nilai p-
value<0,005. Oleh karena itu, penyediaan air bersih, penggunaan jamban, dan
pembuangan sampah memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian diare
pada balita. Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian diantaranya yang dilakukan
oleh Bumulo tahun 2012 dan Wulandari tahun 2009. Tingginya kejadian diare di
wilayah Puskesmas meuraxa karena sebagian besar masyarakat menggunakan air
sumur sebagai sumber air utama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Air
permukaan yang meliputi : badan-badan air semacam sungai,danau, telaga,
waduk,rawa,terjun, dan sumur permukaan. Sebagian besar berasal dari air hujan
yang jatuh ke permukaan bumi. Oleh karena keadaan terbuka, maka air
permukaan mudah terkena pengaruh pencemaran, baik oleh tanah, sampah,
maupun lainnya.
Hubungan Antara Kualitas Air Bersih Dengan Kejadian Diare Pada Balita
Berdasarkan artikel 5, faktor sanitasi lingkungan yang dianalisis terbagi
menjadi empat, yaitu sumber air minum, kualitas air bersih, kepemilikan jamban,
dan jenis lantai rumah. Hasil analisis chi-square kualitas air bersih mendapati
adanya hubungan bermakna antara kualitas air bersih dengan kejadian diare pada
balita karena nilai p-value 0,014. Sedangkan sumber air minum dan jenis lantai
rumah tidak terdapat hubungan bermakna dengan kejadian diare pada balita
karena nilai p-value>0,005. Untuk kepemilikan jamban tidak diuji secara statistik
karena datanya homogen (constan) yaitu 100%. Hasil penelitian menunjukkan
balita yang mengalami diare paling banyak dengan tingkat sanitasi yang cukup
baik, mencapai 71,7%. Fakta bahwa banyaknya responden yang menggunakan air
yang tidak memenuhi syarat secara fisik mengalami diare pada balita (45,0%)
dibandingkan responden yang tidak mengalami diare pada balita (6,7%)
menunjukkan bahwa faktor kualitas fisik air seperti keruh, berbau, berwarna, dan
berasa menunjukkan tercemarnya air bersih yang digunakan responden sehingga
memberikan dampak pada kejadian diare balita.
Berdasarkan artikel 6, terdapat empat faktor yang dianalisis sebagai
kualitas lingkungan, yaitu kualitas bakteriologis air bersih, sarana pembuangan
sampah, saluran pembuangan air limbah, perilaku hidup bersih. Faktor kualitas
bakteriologis air bersih, sarana pembuangan masyarakat, dan kondisi saluran
pembuangan air lebih banyak memiliki persentase yang tidak memenuhi syarat
dibandingkan dengan yang memenuhi syarat. Namun, frekuensi perilaku hidup
bersih dan sehat dijalani dengan baik sehingga mencapai 58,1%. Hasil analisis
bivariat pada sarana pembuangan sampah dan saluran pembuangan air limbah
memiliki hubungan bermakna dengan kejadian diare pada balita karena memilik
nilai p-value<0,005. Dua faktor lainnya, yaitu kualitas bakteriologis air bersih dan
kualitas hidup bersih dan sehat tidak memiliki hubungan bermakna dengan
kejadian diare pada balita karena memiliki nilai p-value>0,005. Hasil penelitian
menunjukkan kejadian diare pada balita diperoleh bahwa dari 43 balita, 31 balita
(72,1%) mengalami diare dan sebanyak 12 balita (27,9%) tidak mengalami diare.
Hubungan Faktor Perilaku Terhadap Kejadian Diare Pada Balita
Berdasarkan artikel 7, beberapa variabel yang dianalisis untuk mengetahui
hubungan faktor perilaku terhadap kejadian diare pada balita diantaranya
kebiasaan mencuci tangan, makpakang, memasak air minum, penggunaan filtrasi
air tradisional (topo), kepemilikan jamban keluarga, akses sumber air bersih, dan
tempat pembuangan sampah. Variabel yang memiliki hubungan bermakna dengan
kejadian diare pada balita adalah hanya variabel kebiasaan memasak air dengan
hasil uji bivariat p-value sebesar 0.0018. Untuk variabel kebiasaan mencuci
tangan, makpakang, penggunaan filtrasi air tradisional (topo), kepemilikan
jamban keluarga, akses sumber air bersih, dan tempat pembuangan sampah tidak
memiliki hubungan bermakna dengan kejadian diare pada diare karena memiliki
hasil uji bivariat p-value.0,005. Variabel yang digunakan untuk menganalisis
faktor lingkungan terhadap kejadian diare pada balita adalah, kepemilikan jamban
keluarga, akses sumber air bersih, dan tempat pembuangan sampah. Variabel yang
memiliki hubungan bermakna dengan kejadian diare pada balita adalah
kepemilikan jamban dan tempat pembuangan sampah yang memiliki nilai p-
value<0,005 sedangkan variabel akses air bersih tidak memiliki hubungan
bermakna dengan kejadian diare pada balita karena memiliki nilai p-value sebesar
0,236. Hasil akhir analisis multivariat dengan menggunakan regresi logistik
metode enter menunjukkan bahwa dari variabel kebiasaan memasak air minum,
penggunaan filtrasi air tradisional (topo), kepemilikan jamban keluarga, dan akses
sumber air, variabel kebiasaan memasak air minum memiliki nilai p < 0.05, yaitu
p = 0.029. Hal tersebut berarti kebiasaan memasak air minum berpengaruh secara
signifikan terhadap kejadian diare pada balita di Desa Sukawati, Gianyar.
Hubungan Kebermaknaan Dengan Kejadian Diare Pada Balita
Berdasarkan artikel 8, kualitas fisik air, kepemilikan jamban, dan jenis
lantai rumah diukur dan dianalisis untuk mengetahui hubungan kebermaknaan
dengan kejadian diare pada balita yang terjadi sebanyak 63%. Semua faktor
tersebut memiliki hubungan bermakna dengan kejadian diare pada balita karena
memiliki nilai p-value<0,005. Berdasarkan kejadian diare dari 81 responden yang
mengalami diare berjumlah 30 responden (37,0%) Berdasarkan kejadian kualitas
fisik air yang tidak memenuhi syarat berjumlah 45 responden (55,6%).
Berdasarkan Memiliki jamban yang tidak memiliki jamban berjumlah 50
responden (41,7%). Sedangkan Jenis lantai rumah yang memiliki tidak memiliki
kedap air berjumlah 49 responden (60,5%). Hasil analisa nilai OR didapatkan
7,268 ( CI 95% 2,630-20,082) artinya bahwa responden kualitas fisik air yang
memenuhi syarat berpeluang 7,268 kali untuk melakukan usaha pencegahan diare
dibandingkan dengan kualitas fisik air tidak memenuhi syarat. Sehingga semakin
jelek kualitas fisik air banyak terdapat kuman penyebab penyakit terutama diare
infeksi. Bakteri penyebab diare seperti salmonella, shigella, E. Coli dan yersina.
Kualitas fisik air memang sangat mempengaruhi kejadian diare pada balita.
(Sasmita, 2014)
Berdasarkan artikel 9, sarana sanitasi dasar rumah dapat dianalisis dengan
menggunakan variabel berikut, penyediaan air bersih, pembuangan kotoran
manusia, pembuangan air limbah, dan pembuangan sampah. Sarana pembuangan
kotoran manusia, pembuangan air limbah, dan pembuangan sampah memiliki
hubungan dengan kejadian diare pada balita. Sedangkan penyediaan air bersih
tidak memiliki hubungan dengan kejadian diare pada balita. Selain itu,
berdasarkan artikel ini dapat diketahui pada Desa Ngunut ini sebagian besar
warganya memiliki sanitasi dasar rumah yang tidak memenuhi syarat. Sarana
penyediaan air bersih di Desa Ngunut, Kecamatan Ngunut, Kabupaten
Tulungagung Tahun 2009 yang tidak memenuhi syarat sebesar 48,4%. Sarana
pembuangan kotoran manusia di Desa Ngunut Kecamatan Ngunut Kabupaten
Tulungagung yang tidak memenuhi syarat sebesar 62,1%. Sarana pembuangan air
limbah di Desa Ngunut Kecamatan Ngunut Kabupaten Tulungagung yang tidak
memenuhi syarat sebesar 69,5%. Sarana pembuangan sampah di Desa Ngunut,
Kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulungagung yang tidak memenuhi syarat sebesar
84,2%.
Hubungan Kepadatan Lalat, Jarak Pemukiman, Dan Sarana Pembuangan
Ditinjau Dengan Kejadian Diare
Berdasarkan artikel 10, hubungan kepadatan lalat, jarak pemukiman, dan
sarana pembuangan ditinjau dengan kejadian diare. Hasil uji chi square
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kepadatan lalat dan pengolahan
limbah padat dengan kejadian diare (p<0,005). Jarak rumah tidak memiliki
hubungan dengan kejadian diare (p>0,005). Dalam penelitian ini diproleh proporsi
angka kepadatan lalat yang padat lebih banyak menimbulkan diare dibandingkan
angka kepadatan lalat rendah sehingga sebagian besar masyarakat yang tinggal di
sekitar RPH banyak mengalami kejadian diare. Sanitasi sarana pemukiman yang
tidak memenuhi syarat paling menonjol yaitu pada syarat sarana pembuangan
sampah. Sampah menjadi permasalahan yang paling banyak ditemukan
dilapangan pada saat observasi, karena dari 63 responden yang tempat sampahnya
memenuhi syarat hanya 23 responden, sedangkan yang tidak memenuhi syarat
sebanyak 40 responden. Hasil observasi di lapangan sebagian besar masyarakat
membuang sampah di pekarangan rumah, dibiarkan menumpuk berhari-hari,
bahkan masih ada yang membuang sampah di tepi sungai atau kali sekitar RPH.
Berdasarkan artikel 11, diketahui bahwa pemukiman padat penduduk di
kota Malang sudah cukup mengetahui upaya pencegahan diare pada anak. Hal ini
terlihat dari hasil pengetahuan tentang diare yang mencapai 73% pada kategori
baik, sikap pencegahan diare mencapai 76% pada kategori cukup, dan perilaku
pencegahan diare mencapai 80% pada kategori baik. Walaupun jika dilihat dari
tingkat pendidikan yang paling banyak dari lulusan sekolah dasar, akan tetapi
semangat dan kesadaran masyarakat akan kesehatan anak cukup baik khususnya
tentang diare dan pencegahanya. Informasi yang mereka dapatkan melaui
pendidikan nonformal melalui kegiatan posyandu balita, perkumpulan PKK,
penyuluhan tenaga kesehatan dari Puskesmas, buku bacaan, media cetak/koran
dan media elektronik/televisi/radio. Diare adalah pembunuh anak balita kedua di
Indonesia, maka upaya pencegahan dilakukan dengan berbagai cara. Diantaranya
untuk meningkatkan antara lain: meningkatkan akses masyarakat kepada air
bersih, pengelolaan limbah rumah tangga yang lebih baik untuk kebersihan
lingkungan, akses sanitasi yang lebih baik, meningkatkan pengelolaan daerah
aliran sungai, sebagai upaya untuk bisa menjamin suplai air yang berkualitas,
progam perubahan perilaku untuk mempromosikan perilaku hidup bersih kepada
masyarakat, misalnya cuci tangan pakai sabun sekaligus meningkatkan partisipasi
mereka dalam meningkatkan taraf kesehatan, meningkatkan pemahaman atas
pengelolaan lingkungan hidup serta kesehatan masyarakat secara baik.
Berdasarkan artikel 12, Kejadian diare pada balita di wilayah permukiman
kumuh Kecamatan Tallo Kota Makassar dipengaruhi oleh sumber air rumah
tangga, pengelolaan air minum, kepemilikan tempat sampah, kepemilikan jamban,
dan praktik higiene ibu. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kasus kejadian
diare lebih banyak terjadi pada kelamin laki-laki (58,7%) dengan usia rentang 1-3
tahun (58,9%). Berdasarkan hasil penelitian diketahui proporsi balita yang
menderita diare paling banyak pada rumah tangga yang memiliki sumber air yang
tidak terlindung sehingga menyebabkan tingginya risiko penularan bakteri
penyebab diare dan hasil uji statistik diketahui bahwa terdapat hubungan antara
sumber air rumah tangga dengan kejadian diare pada balita. Berdasarkan hasil
penelitian diketahui proporsi balita yang menderita diare paling banyak pada
rumah tangga yang pengelolaan air minumnya tidak memenuhi syarat sehingga
menyebabkan tingginya risiko konsumsi air minum terkontaminasi bakteri
penyebab diare dan hasil uji statistik diketahui terdapat hubungan antara
pengelolaan air minum dengan kejadian diare pada balita, hal tersebut didapatkan
responden tidak mengelola air sebelum dikonsumsi disebabkan sebagian besar
responden dalam penelitian menggunakan air galon isi ulang untuk dikonsumsi
dan beranggapan bahwa air galon sudah bersih dan tidak perlu dimasak kembali.
Kesimpulan & Saran
Berdasarkan hasil dari artikel-artikel dapat disimpulkan bahwa kejadian
diare memiliki hubungan dengan sanitasi dasar baik di rumah maupun lingkungan
sekitar terutama berkaitan dengan air, seperti saluran air, penyediaan air bersih,
ataupun pengolahan air minum. Hal ini dikarenakan sarana yang berkaitan dengan
air cenderung lebih lembab dimana bakteri atau kuman lebih mudah berkembang
pada tempat yang lembab. Sedangkan kepemilikan jamban tidak terlalu menjadi
faktor yang cukup memiliki hubungan dengan kejadian diare, meskipun diare
dapat terjadi melalui kasus feses-oral.
Saran yang dapat diberikan adalah memberikan sosialisasi tentang
bagaimana mengelola sanitasi rumah dan lingkungan yang baik agar minim
kejadian diare terutama pada balita yang belum memiliki imunitas yang tinggi
serta organ pencernaan yang belum sempurna seiring dengan perkembangannya.

Refrensi
Nugraha, P., Juliansyah, E., & Pratama, R. Y. (2022). Faktor-faktor Yang
Berhubungan dengan Kejadian Diare Pada Balita Di Kelurahan Kapuas
Kanan Hulu Kecamatan Sintang. Kesehatan Masyarakat
Rahayu, N. (2021). Hubungan Praktik Ibu Dengan Kejadian Diare Pada Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Cigeureung Kota Tasikmalaya Pada Tahun 2021.
Paper Knowledge . Toward a Media History of Documents, 7(2), 107–115.

Anda mungkin juga menyukai