Anda di halaman 1dari 43

TELAAH JURNAL PENYAKIT AKUT DAN KRONIK PADA ANAK

GASTROENTERITIS DAN MENINGITIS

Stase Keperawatan Anak

Disusun Oleh :

Heni Wulandari, S.Kep

NIM 121080072

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS

UNIVERSITAS MEDIKA SUHERMAN

TAHUN 2021/2022
TELAAH JURNAL PENYAKIT AKUT “FAKTOR KEJADIAN DIARE PADA
BALITA DENGAN PENDEKATAN TEORI NOLA J. PENDER DI IGD RSUD
RUTENG

A. Abstraksi

Penyakit diare masih menjadi masalah kesehatan utama pada balita di


Indonesia dan juga merupakan masalah kesehatan paling banyak terjadi pada balita
yang berkunjung di IGD Rumah Sakit Umum Daerah Ruteng setiap tahun. Berbagai
upaya penanganan, seperti penyuluhan tentang kebersihan lingkungan, penyuluhan
tentang pemilahan sampah dan lain-lain yang selalu dilakukan saat jadwal posyandu
serta program kerja bakti dari dinas kesehatan terus dilakukan, namun upaya- upaya
tersebut masih belum memberikan hasil yang memuaskan. Angka kematian yang tinggi
akibat diare akan berdampak negatif pada kualitas pelayanan kesehatan karena angka
kematian anak (AKA) merupakan salah satu indikator untuk menilai derajat kesehatan
yang optimal, kurang berhasilnya usaha dalam proses pencegahan diare merupakan
salah satu faktor yang harus diperhatikan karena jika upaya pencegahan tidak
ditangggulangi dengan baik, maka peningkatan penyakit diare pada balita akan
semakin meningkat (Depkes, 2010).
B. Deskripsi Singkat

Faktor-faktor penyebab diare akut pada balita ini adalah faktor lingkungan,
tingkat pengetahuan ibu, sosial ekonomi masyarakat, dan makanan atau minuman yang
di konsumsi (Rusepno, 2008). Menurut penelitian Hazel ( 2013), faktor-faktor risiko
terjadinya diare persisten yaitu : bayi berusia kurang atau berat badan lahir rendah (bayi
atau anak dengan malnutrisi, anak-anak dengan gangguan imunitas), riwayat infeksi
saluran nafas, ibu berusia muda dengan pengalaman yang terbatas dalam merawat
bayi,tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu mengenai higienis, kesehatan dan gizi, baik
menyangkut ibu sendiri ataupun bayi, pengetahuan, sikap, dan perilaku dalam pemberian
ASI serta makanan pendamping ASI, pengenalan susu non ASI/ penggunaan susu botol
dan pengobatan pada diare akut yang tidak tuntas. Seseorang dapat menjadi sehat atau
sakit akibat dari kebiasaan atau perilaku yang dilakukannya. Kebiasaan yang tidak sehat
dapat menunjang terjadinya penyakit, sedangkan kebiasaan yang sehat dapat membantu
mencegah penyakit.

C. Analisis PICOT
1. P = Populasi
Populasi dalam penelitian ini berdasarkan pengambilan data awal selama bulan
Juli-September diperoleh informasi bahwa rata-rata dalam setiap bulan jumlah pasien balita
yang diare sebanyak 40 orang. Populasi dalam penelitian ini adalah orang tua dari balita
yang pernah menderita diare. Variabel independen dalam penelitian ini adalah faktor yang
mempengaruhi kejadian diare dengan pendekatan teori Nola J. Pender yaitu: pengetahuan
ibu, manfaat tindakan, hambatan yang dirasakan, sikap yang berhubungan dengan aktivitas,
kebersihan lingkungan, kebutuha untuk berkompetisi, komitmen. Variabel dependennya
dalam penelitian ini adalah diare.
2. I = Intervensi
HPM membantu perawat memahami determinan perilaku kesehatan individu, yang
menjadi dasar Intervensi/konseling perilaku untuk meningkatkan gaya hidup sehat (Pender,
2011). Perilaku sebelumnya, faktor personal, manfaat tindakan, hambatan, kemampuan
diri, komitmen, sikap yang berhubungan dengan aktivitas, pengaruh situasi, immediate
competing demands and preferences, health promoting behavior sangat mempengaruhi dan
saling berkaitan terhadap terjadinya diare. Teori Nola J. Pender menjelaskan bahwa semua
faktor di atas mempengaruhi perilaku seseorang dalam mencapai status kesehatan yang
optimal, sehingga diharapkan dengan pendekatan teori Nola J. Pender dapat mencapai atau
terhindarnya balita dari terjadinya diare.

3. C = Comporation
Dalam jurnal ini tidak ada jurnal pembanding antara jurnal satu dengan jurnal yang
lainnya, hanya ada satu jurnal saja

4. O = Outcome
Dari hasil penelitian ini Semakin tinggi pengetahuan ibu tentang diare maka
makin tinggi upaya pencegahan yang akan dilakukan dan sebaliknya makin rendah
pengetahuan ibu tentang diare makin rentan juga balita untuk terkena diare.
Persepsi seorang ibu tentang manfaat tindakan pencegahan diare baik maka akan
berpengaruh pada sikap dan tindakan ibu dalam pencegahan diare dan begitu juga
sebaliknya bila ibu memiliki persepsi tentang manfaat tindakan pencegahan diare yang
rendah maka akan berpengaruh juga dalam pencegahan terjadinya diare.

Persepsi seorang ibu tentang hambatan yang dirasakan dalam pencegahan diare baik
maka akan berpengaruh pada sikap dan tindakan ibu dalam pencegahan diare dan begitu
juga sebaliknya bila ibu memiliki persepsi tentang hambatan yang dirasakan dalam
pencegahan diare yang rendah maka akan berpengaruh juga dalam pencegahan terjadinya
diare.

Persepsi seorang ibu tentang sikap yang berhubungan dengan aktivitas yang
dirasakan dalam pencegahan diare baik maka akan berpengaruh pada sikap dan tindakan ibu
dalam pencegahan diare dan begitu juga sebaliknya bila ibu memiliki persepsi tentang sikap
yang berhubungan dengan aktivitas yang dirasakan dalam pencegahan diare yang rendah
maka akan berpengaruh juga dalam pencegahan terjadinya diare pada balita.
Kebersihan lingkungan pada hakekatnya adalah kondisi atau keadaan lingkungan
yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap status kesehatan yang optimum,
artinya bila ibu tidak menjaga kebersihan lingkungan yang baik maka status kesehatan balita
akan rentan terkena diare.

5. T = Time
Penelitian ini dilakukan pada tahun 2019.
TELAAH JURNAL
1. Analisis Jurnal
No Item Ringkasa Jurnal Analisis
1 Abstrak Diare merupakan - Apakah
penyakit yang abstrak sudah
ditandai dengan
menjelaskan hal
frekuensi yang
lebih dari biasa (> yang melatar belakangi
3 kali/hari) disertai penelitian, metode, hasil dan
perubahan kesimpulan
konsistensi
tinja(menjadi cair) Jawaban :
dengan atau tanpa
Ya, sudah abstrak sesuai dengan
darah dan lendir.
Penelitian ini
metode , hasil serta kesimpulanya
bertujuan untuk yang ada pada jurnal
mengetahui faktor
yang berhubungan
dengan kejadian
diare pada balita di
IGD RSUD
Ruteng.
Metodologi:
Desain yang
digunakan dalam
penelitian ini
adalah analisis
deskriptif dengan
pendekatan cross-
sectional. Populasi
dalam penelitian
adalah orang tua
balita yang
menderita diare
yang berkunjung
ke IGD RSUD
Ruteng dengan
sampel 40 orang.
Tekhnik sampling
menggunakan
purposive
sampling. Variabel
bebas adalah,
pengetahuan,
manfaat tindakan,
hambatan yang
dirasakan,
kemampuan diri,
sikap yang
berhubungan
dengan aktifitas,
kebersihan
lingkungan,
komitmen, dan
variabel terikat
adalah kejadian
dire. Pengumpulan
data dengan
pengisian
kuesioner dan
rekam medis.
Analisis yang
digunakan adalah
regresi linier.
Hasil: Hasil
penelitian
menunjukkan
pengetahuan
(p=0,004),
kebersihan
lingkungan (p =
0,006), manfaat
tindakan
(p=0,009),
hambatan yang
dirasakan
(p=0,430),
komitmen
(p=0,006),
keinginan untuk
berkompetisi
(p=0,007),
kemampuan diri
(p=0,007), sikap
yang berhubungan
dengan aktifitas
(p=0,009)
berhubungan
dengan kejadian
diare. Diskusi:
Hasil penelitian
membuktikan
bahwa variabel
independen dapat
menyebabkan
terjadinya diare
pada balita.
Diharapkan pada
peneliti selanjutnya
dapat melakukan
penelitian pada
orang tua tentang
pemberian oralit
untuk balita
dengan diare.

2 Latar Belakang Penyakit diare masih - Apakah data


menjadi masalah yang disajikan dalam latar
kesehatan utama pada belakang akurat dan relevan
balita di Indonesia
dengan masalah penelitian
dan juga merupakan
Ya,akurat dan relevan
masalah kesehatan
paling banyak terjadi - Apakah
pada balita yang masalah penelitian cukup
berkunjung di IGD jelas dirumuskan :
Rumah Sakit Umum Sangat jelas dan mudah
Daerah Ruteng setiap dipahami
tahun. Berbagai - Apakah
upaya penanganan, masalah penelitian aktual
seperti penyuluhan dan penting untuk diteliti
tentang kebersihan
Ya penting untuk diteliti
lingkungan,
- Apakah
penyuluhan tentang
pemilahan sampah menantang :
dan lain-lain yang Biasa saja/ sederhana
selalu dilakukan saat
jadwal posyandu serta
program kerja bakti
dari dinas kesehatan
terus dilakukan,
namun upaya- upaya
tersebut masih belum
memberikan hasil
yang memuaskan.
Angka kematian yang
tinggi akibat diare
akan berdampak
negatif pada kualitas
pelayanan kesehatan
karena angka
kematian anak (AKA)
merupakan salah satu
indikator untuk
menilai derajat
kesehatan yang
optimal, kurang
berhasilnya usaha
dalam proses
pencegahan diare
merupakan salah satu
faktor yang harus
diperhatikan karena
jika upaya
pencegahan tidak
ditangggulangi
dengan baik, maka
peningkatan penyakit
diare pada balita akan
semakin meningkat
(Depkes, 2010).

3 Metodeologi Desain yang - Apakah metode


digunakan dalam yang digunakan sesuai dengan
penelitian ini adalah masalah penelitian :
analisis deskriptif
Untuk kesesuaian masalah
dengan pendekatan
penelitian sudah sesuai
cross- sectional.
Populasi dalam - Apakah
penelitian adalah instrumen atau perlakuan
orang tua balita yang yang digunakan sesuai
menderita diare yang : sudah sesuai
berkunjung ke IGD - Apakah
RSUD Ruteng dengan sampelnya memadahi/mewakili
sampel 40 orang. : meurut saya sudah
Tekhnik sampling
- Apakah
menggunakan
analisis data yang
purposive sampling.
Variabel bebas
digunakan sesuai
adalah, pengetahuan, : iya sudah sesuai
manfaat tindakan,
hambatan yang
dirasakan,
kemampuan diri,
sikap yang
berhubungan dengan
aktifitas, kebersihan
lingkungan,
komitmen, dan
variabel terikat adalah
kejadian dire.
Pengumpulan data
dengan pengisian
kuesioner dan rekam
medis. Analisis yang
digunakan adalah
regresi linier

4 Hasil Hasil penelitian - Apakah hasil


menunjukkan disajikan dengan menarik dan
pengetahuan mudah dipahami :
(p=0,004), kebersihan
- Ya, Sangat
lingkungan (p =
mudah dipahami
0,006), manfaat
tindakan (p=0,009),
hambatan yang
dirasakan (p=0,430),
komitmen (p=0,006),
keinginan untuk
berkompetisi
(p=0,007),
kemampuan diri
(p=0,007), sikap yang
berhubungan dengan
aktifitas (p=0,009)
berhubungan dengan
kejadian diare.
Diskusi: Hasil
penelitian
membuktikan bahwa
variabel independen
dapat menyebabkan
terjadinya diare pada
balita

5 Pembahasan masyarakat (Subari, - Apakah


2004). konsep/teori yang
Faktor resiko mendasari penelitian ini :
terjadinya diare berdasarkan teori health
persisten adalah usia promotion model Nola J. Pender
penderita, karena
- Apakah
persisten ini
pembahasan sesuai dengan
umumnya terjadi pada
tahun pertama hasil penelitian : sudah sesuai
kehidupan dimana - Apakah
pada saat itu membandingkan dengan hasil
pertumbuhan dan penelitian lain : tidak ada
pertambahan berat perbandingan dengan penelitian
badan bayi yang lain.
berlangsung cepat. - Apakah ada
Berlanjutnya paparan
hasil penelitian sejenis lain
etiologi diare akut
yang Anda ketahui : tidak ada
seperti infeksi
penelitian sejenis
Giardia yang tidak
terdeteksi dan infeksi
shinggella yang
resisten ganda
terhadap antibiotik
dan infeksi sekunder
karena munculnya C.
Defficile akibat terapi
antibiotika. Infeksi
oleh mikro organisme
tertentu dapat
menimbulkan bakteri
tumbuh lampau yang
menyebabkan
kerusakan mukosa
usus karena hasil
metaboliknya yang
bersifak toksik,
sehingga terjadi
gangguan penyerapan
dan bakteri itu sendiri
berkompetisi
mendapatkan
mikronutrien

6 Kesimpulan Semakin tinggi - Apakah


pengetahuan ibu kesimpulan sudah sesuai
tentang diare maka dengan tujuan penelitian:
makin tinggi upaya
Ya sudah sesuai
pencegahan yang
akan dilakukan dan
sebaliknya makin
rendah pengetahuan
ibu tentang diare
makin rentan juga
balita untuk terkena
diare.

Persepsi seorang
ibu tentang
manfaat tindakan
pencegahan diare
baik maka akan
berpengaruh pada
sikap dan tindakan
ibu dalam
pencegahan diare
dan begitu juga
sebaliknya bila ibu
memiliki persepsi
tentang manfaat
tindakan
pencegahan diare
yang rendah maka
akan berpengaruh
juga dalam
pencegahan
terjadinya diare.

Persepsi seorang
ibu tentang
hambatan yang
dirasakan dalam
pencegahan diare
baik maka akan
berpengaruh pada
sikap dan tindakan
ibu dalam
pencegahan diare
dan begitu juga
sebaliknya bila ibu
memiliki persepsi
tentang hambatan
yang dirasakan
dalam pencegahan
diare yang rendah
maka akan
berpengaruh juga
dalam pencegahan
terjadinya diare.

Persepsi seorang ibu


tentang sikap yang
berhubungan dengan
aktivitas yang
dirasakan dalam
pencegahan diare
baik maka akan
berpengaruh pada
sikap dan tindakan
ibu dalam
pencegahan diare dan
begitu juga
sebaliknya bila ibu
memiliki persepsi
tentang sikap yang
berhubungan dengan
aktivitas yang
dirasakan dalam
pencegahan diare
yang rendah maka
akan berpengaruh
juga dalam
pencegahan
terjadinya diare pada
balita.
7 Implikasi - Apakah hasil
penelitian bisa diterapkan
dalam praktek keperawatan
: jika hasil menunjukan hal
yang baik maka wajib
diterapkan
- Apa saran Anda
terhadap hasil penelitian
tersebut bagi penelitian
selanjutnya atau bagi
pelayanan perawatan : untuk
sebagai tenaga kesehatan kita
harus memiliki dasar teori
dalam mengetahui ilmu
keperawatan pada anak.
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN PENYAKIT AKUT
GASTROENTERITIS

A. PENGKAJIAN DATA

1. BIODATA KLIEN

Nama : An. L
Umur : 18 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Kota Baru

2. PENANGGUNG JAWAB

Nama : Ny. s

Umur : 35 tahun Jenis


Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : SLTP Alamat
: Ibu Kandung

3. DATA MEDIK

Tanggal Berobat : 17 Nopember 2003

Tanggal Pengkajian : 17 Nopember 2003

No Induk Puskesmas : 2193

Diagnosa medik : Diare


B. RIWAYAT KESEHATAN

Keluhan Utama : BAB encer lebih dari 3 x


C. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Sejak semalam anak mencret lebih dari 3 x dengan konsistensi cair ada ampas
sehingga anak rewel (suka menangis)
D. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

Ibu klien mengatakan anaknya penah menderita mencret seperti ini, tapi tidak
terlalu parah makan obat dari warung saja sudah sembuh, itu terjadi + 6 bulan
yang lalu
E. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

Dalam keluarga saat ini tidak ada yang menderita sakit dengan penyakit yang
sama.
F. RIWAYAT ALERGI

Ibu klien mengatakan anaknya tidak cocok kalau minum susu kaleng cair (milk) tapi
kalau makanan tidak ada yang membuat alergi (sakit)

G. RIWAYAT PSIKOSOSIAL
Sebelumnya anak lincah suka bermain, namun pada saat ini anak rewel,
gelisah dan suka menangis Saat anaknya sakit, ibunya segea membawanya berobat ke
Puskesmas terdekat .Menurut ibu anak tersebut, ia kurang mengerti tentang penyakit
anaknya.
H. PENGKAJIAN FISIK

Keadaan umum : kesadaran : comphosmenthis


o
- Suhu : 37.5 C
- Nadi : 85x/mnt
- Pulse : 35x/mnt
- BB : 7.8 kg
- TB : 71 cm
Kepala : tidak ada kelainan
Rambut : Distribusi merata, bersih dan tidak rontok

Mata : Bentuk mata simetris, konjungtiva anemis sklera an iktertik, agak


cekung
Hidung : tidak ada kelainan
Telinga : Bersih, simetris dan tidak ada kelainan
Mulut : mulut klien bersih tidak ada pembengkakan gusi
Dada : tidak terdapat kelainan
Abdomen
Inspeksi : simetris, tidak ada pembengkakan
Auskultasi : bising usus 25x/mnt
Perkusi : Timpani
Palpasi : Turgor elastis
Anogenital : terlihat kemerahan
Ekstrimitas:
Atas : tidak ada kelainan
Bawah : tidak ada kelainan
I. PENGKAJIAN KEBUTUHAN DASAR MANUSIA

O2 Tidak ada sesak, kebutuhan O2 terpenuhi

Nutrisi
- Sebelum sakit
Ibu klien mengatakan klien maan 3 x sehari dengan porsi sedang
- Saat sakit
Ibu klien mengatakan klien anaknya tidak nafsu makan
(tidak menghabiskan porsinya) + 4 sendok makan 1 x makan

Cairan dan Elektrolit


- Sebelum sakit
Ibu klien mengatakan klien minum 6 – 7 x setengah gelas serta minum air
3 – 4 x sehari
- Saat sakit
Ibu klien mengatakan klien hanya mau minum ASI saja

Eliminasi

- Sebelumnya BAB 1 x setiap pagi, dengan konsistensi normalBAK 2 – 3 x sehari


- Saat ini klien BAB lebih dari 3 x dengan konsistensi cair

Istirahat Tidur
- Sebelumnya klien tidur siang + 2 jam, malam + 8 jam

- Namun sejak semalam klien tidur + 3 – 4 jam dan sering terbangun

Pengobatan
- Puyer diare 3 x 1 bungkus
- Kotrimoksasol srp. 2 x 1 sendok makan
- Parasetamol 3 x ½ tablet jika panas
- Oralit 5 bungkus diberikan setiap klien mau minum
ANALISA DATA
no DATA Masalah

1 DS Resiko Kerusakan Cairan


- Ibu klien mengatakan
anaknya mencret lebih dari
3x dengan konsistensi cair
- Ibu klien mengatakan klien
hanya minum ASI saja

DO
- Mata agak cekung
- Mukosa kering
- Konjungtiva anemis
- Bibir pucat

2 DS Resiko kerusakan
- Ibu klien mengatakan integritas kulit
anaknya mencret lebih dari
3x cair

DO
- Daeraha anogenital
kemerahan
3 DS Gangguan pola istirahat
- Ibu klien mengatakan tidur
anaknya tidur ± 3-4 jam dan
sering terbangun
- BAB > 3X cair
DO
- Suhu 37,5°C
- Rewel dan suka nangis
- Gelisah

PRIORITAS MASALAH

1. Resiko kekurangan cairan b/d BAB encer > 3 x


2. Resiko kerusakan integritas kulit b/d BAB encer > 3 x
3. Gangguan pola istirahart tidur b/d BAB encer > 3 x
RENCANA KEPERAWATAN

DIAGNOSA TUJUAN DAN INTERVENSI


TGL/Jam RASIONA
KEPERAWATAN KRITERIA HASIL
No

1. 17-11-03 Resiko kekurangan Kekurangan cairan tidak 1. Kaji keadaan umum klien 1. Untuk mengetahui keadaan
cairan b.d terjadi dengan kriteria hasil 2. Anjurkan banyak minum umum klien

09.00 Wib BAB encer lebih dari 1. Mencret berkurang sedikit tapi sering 2. dengan banyak minum
3x 2. Peces tidak cair 3. Kolaborasi dengan dokter kebutuhan cairan terpenuhi
3. Mata tidak cekung dalam pemberian therapy 3. Untuk mencegah agar infeksi
tidak terjadi
CATATAN PERKEMBANGAN
TGL/ Implementasi Evaluasi
jam
17-11- Mengkaji keadaan umum klien hasil : S : ibu klien mengatakan sejak
21 - Compos mentis latarpensi klien belum BAB
- Suhu 37 C
9.15 - Nadi 85x/ mnt O:
- Pulse 35x/ mnt - Klien minum
- BB 7,8 kg - Suhu 37,5 C
- TB 71 cm - Mata agak
Menganjurkan memberi minum sedikit tapi sering cekung

Memberikan terapi obat berkolaborasi dengan dokter A: masalah teratasi sebagian


- 1 bungkus puyer diare
- 1 sendok makan kotrimaksosial P:
- ½ tablet parasetamol - Lanjutkan
- Meminumkan oralit intervensi
- Kaji keadaan
umum klien
- Anjurkan
banyak minum
sdikit tapi
sering
- Lanjutkan
pemberian
terapi
TELAAH JURNAL PENYAKIT KRONIK “KEJADIAN MENINGITIS
BAKTERIAL PADA ANAK USIA 6-18 BULAN YANG MENDERITA
KEJANG DEMAM PERTAMA”

A. Abstrak
Kejang demam sering dijumpai pada anak, sering membuat panik orang tua
sehingga anak dibawa ke rumah sakit, namun jarang sekali berakibat fatal. 1,2 Insidensi
kejang demam bervariasi, yaitu 2%–5% di Amerika Serikat dan Eropa Barat, 5%–10% di
India, 8,8% di Jepang, dan 14% di Guam, sedangkan data dari negara berkembang lainnya
sangat terbatas. Kejang demam umumnya muncul di sekitar usia 6 bulan sampai 3 tahun,
dan insidensi tertinggi pada usia 18 bulan. Kejang pertama jarang disebabkan oleh
meningitis,3-6 namun apabila disebabkan meningitis akan menimbulkan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi, sehingga sangat penting memastikan apakah kejang merupakan
manifestasi infeksi susunan saraf pusat (SSP) atau bukan.

B. Deskripsi singkat
Meningitis bakterial merupakan infeksi SSP, terutama menyerang anak usia <2
tahun, dengan puncak angka kejadian pada usia 6-18 bulan. 8 Dibandingkan dengan
beberapa dekade yang lalu, pemberian antibiotik hanya berhasil menurunkan angka
kematian meningitis bakterial sekitar separuh- nya, sedangkan beberapa infeksi lain dapat
ditekan hingga duaratus kali.9 Penyebab utama meningitis pada anak adalah Haemophilus
influenzae tipe B (Hib) dan Streptococcus pneumoniae (invasive pneumococcal diseases/IPD).
Insidens meningitis bakterialis di negara maju sudah menurun sebagai akibat keberhasilan
imunisasi Hib dan IPD. 10 Kejadian meningitis bakterial oleh Hib menurun 94%, dan
insidensi penyakit invasif oleh S. pneumoniae menurun dari 51,5-98,2 kasus/100.000 anak
usia 1 tahun menjadi 0 kasus setelah 4 tahun program imunisasi nasional PCV7
dilaksanakan.11,12 Di Indonesia, kasus tersangka meningitis bakterialis sekitar 158/100.000
per tahun, dengan etiologi Hib 16/100.000 dan bakteri lain 67/100.000, angka yang tinggi
apabila dibandingkan dengan negara maju.

C. Analisis PICOT

1. P = Populasi
Anak usia 6–18 bulan yang mengalami kejang demam pertama. Semua subyek
dilakukan pungsi lumbal, diagnosis meningitis bakterial ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan likuor cerebrospinal (LCS): yaitu jumlah sel >7/mm3, perbandingan kadar
gula dengan serum <0,4; protein >80 mg/dL, apus LCS Gram ditemukan bakteri atau hasil
kultur positif. Pasien sindrom epilepsi, kelainan neurologis kronik (palsi serebral,
hidrosefalus, tumor otak), serta gangguan metabolik dan elektrolit, tidak diikutsertakan dalam
penelitian.

2. I = Intervensi
Tindakan pungsi lumbal adalah cara yang sangat penting untuk mengetahui apakah
kejang demam me- rupakan tanda dan gejala suatu infeksi SSP,6 namun sejak berbagai
penelitian yang dilaksanakan di negara maju memperlihatkan risiko meningitis pada anak
kejang demam sederhana setara dengan anak demam tanpa kejang, yaitu <1,3%, maka tindakan
invasif tersebut mulai jarang dilakukan di negara maju.14-18 Meningitis bakterial yang
memberikan gejala pertama kejang demam terjadi pada 24% kasus anak, 19 pada anak usia
prasekolah angka kejadian tersebut lebih tinggi.Di Indonesia dengan cakupan imunisasi Hib
dan IPD sangat rendah, perlu dipertimbangkan meningitis bakterial sebagai salah satu penyebab
kejang demam pertama.

3. C = Comparation
Dalam jurnal ini tidak ada jurnal pembanding antara jurnal satu dengan jurnal yang lainnya,
hanya ada satu jurnal saja

4. O = Outcome
Pemberian antibiotik sebelum anak mengalami kejang demam pertama memiliki hubungan
dengan gejala meningitis. Pemberian antibiotik sebelum terjadinya kejang demam pertama baik
sistemik maupun oral tampaknya berhubungan dengan kejadian meningitis. Rosenberg dkk, 26
melakukan review terhadap pasien meningitis yang mendapat antibiotik oral sebelumnya, ternyata
tanda dan gejala meningitis menjadi tidak khas yaitu hanya berupa kejang demam. Penelitian lain
bahkan menunjukkan bahwa profil LCS mendekati normal dan sulit mendapatkan hasil apus Gram
dan kultur apabila pasien telah mendapat antibiotik >12 jam.27

5. T = Time
Penelitian ini dilakukan pada bulain 4 Desember tahun 2011
TELAAH JURNAL

2.
No Item Ringkasa Jurnal Analisis
1 Abstrak Meningitis bakterial - Apakah
merupakan infeksi abstrak sudah menjelaskan
SSP, terutama hal yang melatarbelakangi
menyerang anak usia
penelitian, metode, hasil dan
<2 tahun, dengan
puncak angka kesimpulan : Ya sudah
kejadian pada usia 6-
18 bulan. 8
Dibandingkan dengan
beberapa dekade yang
lalu, pemberian
antibiotik hanya
berhasil menurunkan
angka kematian
meningitis bakterial
sekitar separuh- nya,
sedangkan beberapa
infeksi lain dapat
ditekan hingga
duaratus kali.9
Penyebab utama
meningitis pada anak
adalah Haemophilus
influenzae tipe B (Hib)
dan Streptococcus
pneumoniae (invasive
pneumococcal
diseases/IPD). Insidens
meningitis bakterialis di
negara maju sudah
menurun sebagai
akibat keberhasilan
imunisasi Hib dan
IPD. 10 Kejadian
meningitis bakterial
oleh Hib menurun
94%, dan insidensi
penyakit invasif oleh S.
pneumoniae menurun
dari 51,5-98,2
kasus/100.000 anak
usia 1 tahun menjadi 0
kasus setelah 4 tahun
program imunisasi
nasional PCV7
dilaksanakan.11,12 Di
Indonesia, kasus
tersangka meningitis
bakterialis sekitar
158/100.000 per tahun,
dengan etiologi Hib
16/100.000 dan
bakteri lain
67/100.000, angka
yang tinggi apabila
dibandingkan dengan
negara maju.

2 Latar Insidensi kejang demam - Apakah data


Belakang bervariasi, yaitu 2%–5% di yang disajikan dalam latar
Amerika Serikat dan Eropa belakang akurat dan relevan
Barat, 5%–10% di India, 8,8%
di Jepang, dan 14% di Guam, dengan masalah penelitian :
sedangkan data dari negara data yang disajikan sudah relvan
berkembang lainnya sangat dan akurat Apakah masalah
terbatas. Kejang demam penelitian cukup jelas
umumnya muncul di sekitar
usia 6 bulan sampai 3 tahun, dirumuskan : sangat jelas
dan insidensi tertinggi pada - Apakah
usia 18 bulan. Kejang pertama masalah penelitian aktual dan
jarang disebabkan oleh penting untuk diteliti : menurut
meningitis, 3-6
namun apabila
disebabkan meningitis akan saya penting, karena pada
menimbulkan morbiditas dan penyakit ini yang dialami oleh
mortalitas yang tinggi, anak perlu diwaspadai
sehingga sangat penting
- Apakah
memastikan apakah kejang
merupakan manifestasi infeksi menantang : cukup mennatang
susunan saraf pusat (SSP) atau
bukan.7

3 Metodeolog Penelitian observasional - Apakah metode


i analitik dengan desain yang digunakan sesuai dengan
potong lintang dilaksanakan di masalah penelitian : sudah sesuai
Departemen Ilmu Kesehatan
- Apakah
Anak RSUP Dr. Hasan
Sadikin dari tanggal 1 instrumen atau perlakuan
November 2007 sampai yang digunakan sesuai : ya sudah
dengan 31 Desember 2010. - Apakah
Subyek penelitian adalah anak
sampelnya memadahi/mewakili
usia 6–18 bulan yang
mengalami kejang demam : sudah memadai
pertama. - Apakah analisis
data yang digunakan sesuai :
sudah sesuai
4 Hasil Di antara 183 Apakah hasil disajikan
subyek penelitian, dengan menarik dan mudah
72 (39,3%) pasien - Dipahami : ya
menderita meningitis sangat mudah dipahami
bakterial yang
terutama ditemukan
pada kelompok
umur 6–12. Terdapat
perbedaan bermakna
antara kelompok
meningitis dan
bukan, yaitu lama
kejang 15 menit
(p=0,001), frekuensi
kejang/24 jam
(p=0,001),
penonjolan ubun-
ubun besar
(p=0,001), keluhan
muntah, malas
minum (p=0,001),
serta pernah
mendapat antibiotik
sebelumnya
(p=0,001). Analisis
regresi logistik
menunjukkan bahwa
lama kejang 15
menit merupakan
faktor utama yang
berhubungan secara
bermakna dengan
kejadian meningitis
bakterialis (OR
15,84, IK95% 4,91–
51,11, p=0,001).

5 Pembahasan Subyek dari penelitian ini - Apakah


dipilih anak usia 6–18 bulan konsep/teori yang mendasari
karena memiliki insidens penelitian ini :
meningitis bakterial yang
- Apakah
lebih tinggi dibandingkan
kelompok usia lain. pembahasan sesuai dengan
Disamping memiliki hasil penelitian : sudah sesuai
kesesuaian dengan fokus - Apakah
usia pada rekomendasi AAP
membandingkan dengan hasil
untuk melakukan evaluasi
prosedur neurodiagnostik penelitian lain : tidak terdapat
pada anak dengan kejang perbandingan dengan penelitian
demam.24 lain
Penelitian kami - Apakah ada
memperlihatkan kejadian hasil penelitian sejenis lain
meningitis bakterialis yang yang Anda ketahui : tidak ada
cukup tinggi pada anak
dengan kejang demam
pertama usia 6–18 bulan
yaitu 39,3%. Penelitian di
negara berkembang lain
seperti di Pakistan, Iran, dan
Nigeria, menunjukkan
bahwa kejadian meningitis
ditemukan pada sekitar
25%–30% dari anak yang
mengalami kejang demam.
6 Kesimpulan Prinsip kewaspadaan pada tiap - Apakah
anak usia 6–18 bulan yang kesimpulan sudah sesuai dengan
mengalami kejang demam
pertama harus diterapkan tujuan penelitian : ya sudah
terutama bila mengalami sesuai
kejang 15 menit karena
memiliki risiko tinggi
mengalami meningitis
bakterial. Tindakan pungsi
lumbal perlu dilaksanakan
untuk memastikan
ada/tidaknya meningitis
bakterial atau infeksi SSP lain.
Keterlambatan penegakkan
diagnosis dan tata laksana akan
berbahaya bagi keselamatan
pasien di samping
meningkatkan kemungkinan
kecacatan di kemudian hari.
Penundaan tindakan lumbal
pungsi tidak direkomendasikan
pada anak usia 6–18 bulan
yang mengalami kejang demam
pertama  15 menit.

7 Implikasi . - Apakah hasil


penelitian bisa diterapkan
dalam praktek keperawatan :
bisa diterapkan karena ini
merupakan hal penting bagi
tenaga kesehatan
- Apa saran Anda
terhadap hasil penelitian
tersebut bagi penelitian
selanjutnya atau bagi pelayanan
perawatan : agar bisa lebih
menerapkan asuhan keperawatan
kepada pasien.
ASUHAN KEPERAWTAN

MENINGITIS

1. Pengkajian

Anamnesis pada meningitis meliputi keluhan utama, riwayat penyakit


sekarang, riwayat penyakit dahulu, dan pengkajian psikososial (pada anak perlu
dikaji dampak hospitalisasi) (Arif Muttaqin,2008).
a. Keluhan utama

Hal yang sering menjadi alas an klien atau orang tua membawa anaknya untuk
meminta pertolongan kesehatan adalah suhu badan tinggi, kejang, dan
penurunan tingkat kesadaran.
b. Riwayat penyakit sekarang

Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui untuk mengetahui jenis


kuman penyebab. Disini harus ditanya dengan jelas tentang gejala yang
timbul seperti kapan mulai terjadinya serangan, sembuh atau bertambah
buruk. Pada pengkajian klien dengan meningitis biasanya didapatkan keluhan
yang berhubungan dengan akibat infeksi atau peningkatan tekanan
intrakranial.
Keluhan tersebut di antaranya sakit kepala dan demam adalah gejala awal
yang sering. Sakit kepala dihubungkan dengan meningitis yang selalu berat
dan sebagai akibat iritasi meningen. Keluhan kejang perlu mendapat perhatian
untuk dilakukan pengkajian lebih mendalam, bagaiman sifat timbulnya
kejang, stimulasi apa yang sering menimbulkan kejang dan tindakan apa yang
diberikan dalam upaya menurunkan keluhan kejang.
Adanya penurunan kesadaran dihubungkan dengan meningitis bakteri.
Disorientasi dan gangguan memori biasanya merupakan awal adanya
penyakit.
Pengkajian lainnya yang perlu ditanyakan seperti riwayat selama menjalani
perawatan di RS, pernahkah menjalani tindakan invasive yang memungkinkan
masuknya kuman ke meningen terutama tindakan melalui pembuluh darah.
c. Riwayat penyakit dahulu

Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya


hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah
klien mengalami infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media, mastoiditis,
anemia sel sabit dan hemoglobinopatis lain, tindakan bedah saraf, riwayat
trauma kepala dan adanya pengaruh immunologis pada masa sebelumnya.
Riwayat sakit TB paru perlu ditanyakan kepada klien perlu ditanyakan kepada
klien terutama jika ada keluhan batuk produktif dan pernah mengalami
pengobatan obat anti tuberculosis yang sangat berguna untuk mengidentifikasi
meningitis tuberkulosa.
d. Pengkajian psikososial-spititual

Pengkajian psikologis klien meningitis meliputi beberapa dimensi yang


memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai
status emosi, kognitif dan perilaku klien.
Sebagian besar pengkajian ini didapat diselesaikan melalui interaksi
menyeluruh dengan klien dalam pelaksanaan pengkajian lain dengan member
pertanyaan dan tetap melakukan pengawaan sepanjang waktu untuk
menentukan kelayakan ekspresi emosi dan pikiran. Pengkajian mekanime
koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai respon emosi klien
terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.
e. Pemeriksaan Fisik

 Tanda-tanda vital

Pada klien meningitis biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh


lebih dari normal 38-41oC, dimulai pada fase sistemik, kemerahan,
panas, kulit kering, berkeringat. Keadaan ini biasanya dihubungkan
dengan proes inflamasi dan iritasi meningen yang sudah menggangu
pusat pengatur suhu tubuh. Penurunan denyut nadi berhubungan
dengan tanda-tanda peningkatan TIK.
 B1 (Breathing)

Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak nafas,


penggunaan otot bantu nafas dan peningkatan frekuensi nafas yang
sering didapatkan pada klien meningitis yang disertai adanya
gangguan sistem pernafasan.
Palpasi thorax hanya dilakuan jika terdapat deformitas pada tulang
dada pada klien dengan efusi pleura massif.
Auskultasi bunyi nafas tambahan seperti rochi pada klien meningitis
tuberkulosa dengan penyebaran primer dari paru.
 B2 ( Blood)

Pengkajian pada sistem kardiovaskular terutama dilakukan pada klien


meningitis pada tahap lanjut seperti apabila klien mengalami renjatan
(syok).
 B3 (Brain)

Pengkajian ini merupakan pemeriksaan focus dan lebih lengkap


dibandingkan pengkajian pada sisstem lainnya.
 Pengkajian tingkat kesadaran

Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar


dan parameter yang paling penting yang membutuhkan pengkajian.
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien meningitis biasanya
berkisar pada tingkat letergi, stupor, dan semikomatosa.
Jika klien sudah mengalami koma maka penilaian GCS sangat penting
untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk
pemantauan pemberi asuhan.
 Pengkajian Fungsi Serebral

Status mental : observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara,


ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien. Pada klien meningitis
tahap lanjut biasanya status mental klien mengalami perubahan.
 Pengkajian Saraf Kranial

1. Saraf I : biasanya pada klien meningitis tidak ada kelainan funsi


penciuman.
2. Saraf II : Tes ketajaman penglihatan dalam batas normal

3. Saraf III, IV, dan VI : Pemeriksaan funsi dan reaksi pupil pada
klien meningitis yang tidak disertai penurunan kesadaran biasanya
tanpa kelainan.
4. Saraf V : Pada klien meningitis umumnya tidak didapatkan
paralisis pada otot wajah dan reflek kornea biasanya tidak ada
kelainan.
5. Saraf VII : Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah
simetris.
6. Saraf VIII : Tidak ditemukan adanya tuli konduktif atu tuli
persepsi.
7. Saraf IX dan X : Kemampuan menelan baik

8. Saraf XI : Tidak ada atrofi otot sternokledomastoideus dan


trapezius.
9. Saraf XII : Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan
tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan normal.
 Pengkajian Sistem Motorik

Kekuatan otot menurun, control keseimbangan, dan koordinasi pada


meningitis tahap lanjut mengalami perubahan.
 Pengkajian Reflek

Pemeriksaan reflek profunda, pengetukan pada tendon, ligamentum


atau periosteum derajat reflek pada respon normal.
Reflek patologis akan didapatkan pada klien meningitis dengan tingkat
kesadaran koma. Adanya reflek Babinski (+) merupakan tanda lesi
UMN.
 Pengkajian Sistem Sensorik

Pemeriksaan sensorik pada meningitis biasanya didapatkan sensari


raba, nyeri, suhu yang normal, tidak ada perasaan abnormal di
permukaan tubuh, sensasi propriosefsi, dan diskriminatif normal.
1. Kaku kuduk

2. Tanda Kerniq Positif

3. Tanda Brudzinski

 B4 (Bladder)

Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan


berkurangnya volume pengeluaran urine, hal ini berhubungan dengan
penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
 B5 ( Bowel)

Mual sampai muntah disebabkan peningkatan produksi asam lambung.


Pemenuhan nutrisi pada klien meningitis menurun karena anoreksia
dan adanya kejang.
 B6 (Bone)

Adanya bengkak dan nyeri pada sendi-sendi besar (khususnya lutut


dan pergelangan kaki). Petekia dan lesi purpura yang didahului oleh
ruam. Pada penyakit yang berat dapat ditemukan ekimosis yang berat pada wajah dan ekstremitas.
Klien sering mengalami penurunan kekuatan otot dan kelemahan fisik secara umum sehingga mengganggu
ADL.
f. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostic rutin pada klien meningitis, meliputi laboratorium klinik rutin (Hb, leukosit, LED,
trombosit, retikulosit, glukosa). Pemeriksaan laboratorium yang khas pada meningitis adalah analisa cairan otak.
Analisa cairan otak diperiksa untuk jumlah sel, protein, dan konsentrasi glukosa. Pemeriksaan lainnya diperlukan
sesuai klinis klien, meliputi foto rontgen paru dan CT scan kepala.
g. Pengkajian penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan medis lebih bersifat mengatasi etiologi dan perawat perlu menyesuaikan dengan standar
pengobatan sesuai tempat bekerja yang berguna sebagai bahan kolaborasi dengan tim medis.
2. Diagonosa Keperawatan yang mungkin muncul

1. Perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan infeksi otak


2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang tertahan dibuktikan dengan batuk tidak
efektif, ronchi
3. Pola nafas tidak efektif b.d hambatan upaya nafas dibuktikan dengan pola nafas abnormal.
3. INTERVENSI

No. Diagnosa SLKI SIKI


Keperawatan
1. Perfusi serebral Tujuan : Observasi :
tidak efektif Setelah dilakukan intervensi - Identifikasi penyebab peningkatan TIK (mis.lesi
berhubungan keperawatan selama 3 jam menempati ruang, gangguan metabolism, edema
dengan infeksi maka ekspetasi membaik serebral, peningkatan tekanan vena, obstruksi cairan
otak dengan kriteria hasil : serebrospinalis, hipertensi intrakranial idiopatik.
- Tingkat kesadaran - Monitor peningkatan tekanan darah
meningkat - Monitor pelebaran tekanan nadi(selisih TDS dan TDD)
- Kognitif meningkat - Monitor penurunan frekuensi jantung
- Tekanan intra cranial - Monitor ireguleritas irama nafas
menurun - Monitor penurunan tingkat kesadaran
- Sakit kepala menurun - Monitor perlambatan atau kesimetrisan respon pupil
- Gelisah menurun - Monitor kadar CO2 dan pertahankan dalam rentang
- Agitasi menurun yang diindikasikan
- Demam menurun - Monitor tekanan perfusi serebral
- Tekanan darah - Monitor jumlah, kecepatan dan karakteristik dranase
membaik cairan serebrospinalis
- Reflek saraf membaik - Monitor efek stimulus lingkungan terhadap TIK
- Monitor MAP (Mean Arterial Pressure)
- Monitor CVP (Central Venous Pressure)
- Monitor PAWP, jika perlu
- Monitor PAP, jika perlu
- Monitor ICP (Intra Cranial Pressure), jika tersedia
- Monitor CPP (Cerebral Perfusion Pressure)
- Monitor gelombang ICP
- Monitor status pernafasan
- Monitor intake dan output cairan
- Monitor cairan serebrospinalis
Terapeutik :
- Ambil sampel drainase cairan serebrospinalis
- Kalibrasi transduser
- Pertahankan sterilitas sistem pemantauan
- Pertahankan posisi kepala dan leher netral
- Bila sistem pemantauan, jika perlu
- Atur interval pemantauan sesuai kondisi pasien
- Dokumentasi hasil pemantauan
- Minimalkan stimulus dengan menyediakan
lingkungan yang tenang
- Berikan posisi semi fowler
- Hindari maneuver Valsava
- Cegah terjadinya kejang
- Hindari penggunaan PEEP
- Hindari menggunakan cairan IV hipotonik
- Atur ventilator agar PaCO2 optimal
- Pertahankan suhu tubuh
Edukasi :
- Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
- Informasikan hasil pemantauan, jika perlu .
Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian sedasi dan anti konvulsan
- Kolaborasi pemberian diuretic osmosis
- Kolaborasi pemberian pelunak tinja
2. Bersihan jalan Tujuan : Observasi :
nafas tidak efektif Setelah dilakukan intervensi - Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya nafas
berhubungan keperawatan selama 3 jam - Monitor pola nafas(seperti bradipnea, takipnea,
dengan sekresi maka ekspetasi membaik hiperventilasi, kassmaul, cheyne-stokes, blot, ataksik)
yang tertahan dengan kriteria hasil : - Monitor kemampuan batuk efektif
dibuktikan dengan - Batuk efektif meningkat - Monitor adanya produksi sputum
batuk tidak efektif, - Produksi sputum - Monitor adanya sumbatan jalan nafas
ronchi menurun - Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
- Mengi menurun - Monitor saturasi oksigen
- Wheezing menurun - Auskultasi bunyi nafas
- Dispnea menurun - Monitor nilai AGD
- Ortopnea menurun - Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha nafas)
- Sulit bicara menurun - Monitor bunyi nafas tambahan
- Ronchi menurun - Monitor sputum
- Sianosis menurun - Identifikasi kemampuan batuk
- Gelisah menurun - Monitor adanya retensi sputum
- Frekuensi nafas - Monitor tanda dan gejala infeksi saluran nafas
membaik - Monitor input dan output cairan
- Pola nafas membaik Terapeutik :
- Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi klien
- Dokumentasi pemantauan
- Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan head-tilt dan
chin-lift
- Posisikan semi fowler atau fowler
- Berikan minum hangat
- Lakukan fisioterapi dada
- Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
- Lakukan hipokoksigenasi sebelum penghisapan
endotrakeal
- Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep
McGill
- Berikan oksigen, jika perlu
- Pasang perlak dan bengkok dipangkuan pasien
- Buang sekret pada tempat sputum
Edukasi :
- Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
- Informasikan hasil pemantauan.
- Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak
kontraindikasi
- Ajarkan teknik batuk efektif
- Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
- Anjurkan tarik nafas dalam melalui hidung selama 4
detik, ditahan selama 2 detik, kemudian keluarkan dari
mulut dengan bibir mencucu (dibulatkan) selama 8
detik
- Anjurkan mengulangi tarik nafas dalam hingga 3 kali
- Anjurkan batuk dengan kuat langsung setela tarik nafas
dalam yang ke-3
Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu.
3. Pola nafas tidak Tujuan : Observasi :
efektif b.d Setelah dilakukan intervensi - Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha nafas)
hambatan upaya keperawatan selama 3 jam - Monitor bunyi nafas tambahan (mis. gurgling, mengi,
nafas dibuktikan maka ekspetasi membaik wheezing, ronchi)
dengan pola nafas dengan kriteria hasil : - Monitor sputum
abnormal - Ventilasi semenit - Monitor pola nafas
meningkat - Monitor kemampuan batuk efektif
- Kapasitas vital - Monitor adanya produksi sputum
mambaik - Monitor adanya sumbatan jalan nafas
- Palpasi kesimetrisan ekpansi paru
- Tekanan - Auskultasi bunyi nafas
ekspirasi - Monitor saturasi oksigen
membaik - Monitor nilai AGD
- Dispnea menurun - Monitor hasil x-ray
- Penggunaan otot thoraks Terapeutik :
bantu menurun - Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan head
- Ortopnea menurun tilt dan chin-lift
- Pernafasan - Posisikan semi fowlwr atau fowler
cuping hidung - Berikan minuman hangat
menurun - Lakukan fisioterapi dada
- Frekuensi - Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
nafas - Lakukan hipokoksigenasi sebelum
membaik penghisapan endotrakeal
- Kedalaman - Keluarkan sumbatan benda padat dengan
nafas forsep McGill
membaik - Berikan oksigen, jika perlu
- Atur interval pemantauan respirasi sesuai
kondisi pasien
- Dokumentasi hasil
pemantauan Edukasi :
- Anjurkan asupan cairan 2000ml/hari
- Ajarkan teknik batuk efektif
- Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
- Infformasikan hasil pemantauan,
jika perlu Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian bronkadilator,
ekspektoran, mokolitik, jika perlu
EVALUASI

Evaluasi dapat dibedakan atas evaluasi proses dan evaluasi hasil. Evaluasi proses dievaluasi
setiap selesai melakukan prasat dan evaluasi hasil berdasarkan rumusan tujuan terutama kriteria
hasil. Hasil evaluasi memberikan acuan tentang perencanaan lanjutan terhadap masalah yang
dialami pasien.

Anda mungkin juga menyukai