Disusun Oleh :
NIM 121080072
TAHUN 2021/2022
TELAAH JURNAL PENYAKIT AKUT “FAKTOR KEJADIAN DIARE PADA
BALITA DENGAN PENDEKATAN TEORI NOLA J. PENDER DI IGD RSUD
RUTENG
A. Abstraksi
Faktor-faktor penyebab diare akut pada balita ini adalah faktor lingkungan,
tingkat pengetahuan ibu, sosial ekonomi masyarakat, dan makanan atau minuman yang
di konsumsi (Rusepno, 2008). Menurut penelitian Hazel ( 2013), faktor-faktor risiko
terjadinya diare persisten yaitu : bayi berusia kurang atau berat badan lahir rendah (bayi
atau anak dengan malnutrisi, anak-anak dengan gangguan imunitas), riwayat infeksi
saluran nafas, ibu berusia muda dengan pengalaman yang terbatas dalam merawat
bayi,tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu mengenai higienis, kesehatan dan gizi, baik
menyangkut ibu sendiri ataupun bayi, pengetahuan, sikap, dan perilaku dalam pemberian
ASI serta makanan pendamping ASI, pengenalan susu non ASI/ penggunaan susu botol
dan pengobatan pada diare akut yang tidak tuntas. Seseorang dapat menjadi sehat atau
sakit akibat dari kebiasaan atau perilaku yang dilakukannya. Kebiasaan yang tidak sehat
dapat menunjang terjadinya penyakit, sedangkan kebiasaan yang sehat dapat membantu
mencegah penyakit.
C. Analisis PICOT
1. P = Populasi
Populasi dalam penelitian ini berdasarkan pengambilan data awal selama bulan
Juli-September diperoleh informasi bahwa rata-rata dalam setiap bulan jumlah pasien balita
yang diare sebanyak 40 orang. Populasi dalam penelitian ini adalah orang tua dari balita
yang pernah menderita diare. Variabel independen dalam penelitian ini adalah faktor yang
mempengaruhi kejadian diare dengan pendekatan teori Nola J. Pender yaitu: pengetahuan
ibu, manfaat tindakan, hambatan yang dirasakan, sikap yang berhubungan dengan aktivitas,
kebersihan lingkungan, kebutuha untuk berkompetisi, komitmen. Variabel dependennya
dalam penelitian ini adalah diare.
2. I = Intervensi
HPM membantu perawat memahami determinan perilaku kesehatan individu, yang
menjadi dasar Intervensi/konseling perilaku untuk meningkatkan gaya hidup sehat (Pender,
2011). Perilaku sebelumnya, faktor personal, manfaat tindakan, hambatan, kemampuan
diri, komitmen, sikap yang berhubungan dengan aktivitas, pengaruh situasi, immediate
competing demands and preferences, health promoting behavior sangat mempengaruhi dan
saling berkaitan terhadap terjadinya diare. Teori Nola J. Pender menjelaskan bahwa semua
faktor di atas mempengaruhi perilaku seseorang dalam mencapai status kesehatan yang
optimal, sehingga diharapkan dengan pendekatan teori Nola J. Pender dapat mencapai atau
terhindarnya balita dari terjadinya diare.
3. C = Comporation
Dalam jurnal ini tidak ada jurnal pembanding antara jurnal satu dengan jurnal yang
lainnya, hanya ada satu jurnal saja
4. O = Outcome
Dari hasil penelitian ini Semakin tinggi pengetahuan ibu tentang diare maka
makin tinggi upaya pencegahan yang akan dilakukan dan sebaliknya makin rendah
pengetahuan ibu tentang diare makin rentan juga balita untuk terkena diare.
Persepsi seorang ibu tentang manfaat tindakan pencegahan diare baik maka akan
berpengaruh pada sikap dan tindakan ibu dalam pencegahan diare dan begitu juga
sebaliknya bila ibu memiliki persepsi tentang manfaat tindakan pencegahan diare yang
rendah maka akan berpengaruh juga dalam pencegahan terjadinya diare.
Persepsi seorang ibu tentang hambatan yang dirasakan dalam pencegahan diare baik
maka akan berpengaruh pada sikap dan tindakan ibu dalam pencegahan diare dan begitu
juga sebaliknya bila ibu memiliki persepsi tentang hambatan yang dirasakan dalam
pencegahan diare yang rendah maka akan berpengaruh juga dalam pencegahan terjadinya
diare.
Persepsi seorang ibu tentang sikap yang berhubungan dengan aktivitas yang
dirasakan dalam pencegahan diare baik maka akan berpengaruh pada sikap dan tindakan ibu
dalam pencegahan diare dan begitu juga sebaliknya bila ibu memiliki persepsi tentang sikap
yang berhubungan dengan aktivitas yang dirasakan dalam pencegahan diare yang rendah
maka akan berpengaruh juga dalam pencegahan terjadinya diare pada balita.
Kebersihan lingkungan pada hakekatnya adalah kondisi atau keadaan lingkungan
yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap status kesehatan yang optimum,
artinya bila ibu tidak menjaga kebersihan lingkungan yang baik maka status kesehatan balita
akan rentan terkena diare.
5. T = Time
Penelitian ini dilakukan pada tahun 2019.
TELAAH JURNAL
1. Analisis Jurnal
No Item Ringkasa Jurnal Analisis
1 Abstrak Diare merupakan - Apakah
penyakit yang abstrak sudah
ditandai dengan
menjelaskan hal
frekuensi yang
lebih dari biasa (> yang melatar belakangi
3 kali/hari) disertai penelitian, metode, hasil dan
perubahan kesimpulan
konsistensi
tinja(menjadi cair) Jawaban :
dengan atau tanpa
Ya, sudah abstrak sesuai dengan
darah dan lendir.
Penelitian ini
metode , hasil serta kesimpulanya
bertujuan untuk yang ada pada jurnal
mengetahui faktor
yang berhubungan
dengan kejadian
diare pada balita di
IGD RSUD
Ruteng.
Metodologi:
Desain yang
digunakan dalam
penelitian ini
adalah analisis
deskriptif dengan
pendekatan cross-
sectional. Populasi
dalam penelitian
adalah orang tua
balita yang
menderita diare
yang berkunjung
ke IGD RSUD
Ruteng dengan
sampel 40 orang.
Tekhnik sampling
menggunakan
purposive
sampling. Variabel
bebas adalah,
pengetahuan,
manfaat tindakan,
hambatan yang
dirasakan,
kemampuan diri,
sikap yang
berhubungan
dengan aktifitas,
kebersihan
lingkungan,
komitmen, dan
variabel terikat
adalah kejadian
dire. Pengumpulan
data dengan
pengisian
kuesioner dan
rekam medis.
Analisis yang
digunakan adalah
regresi linier.
Hasil: Hasil
penelitian
menunjukkan
pengetahuan
(p=0,004),
kebersihan
lingkungan (p =
0,006), manfaat
tindakan
(p=0,009),
hambatan yang
dirasakan
(p=0,430),
komitmen
(p=0,006),
keinginan untuk
berkompetisi
(p=0,007),
kemampuan diri
(p=0,007), sikap
yang berhubungan
dengan aktifitas
(p=0,009)
berhubungan
dengan kejadian
diare. Diskusi:
Hasil penelitian
membuktikan
bahwa variabel
independen dapat
menyebabkan
terjadinya diare
pada balita.
Diharapkan pada
peneliti selanjutnya
dapat melakukan
penelitian pada
orang tua tentang
pemberian oralit
untuk balita
dengan diare.
Persepsi seorang
ibu tentang
manfaat tindakan
pencegahan diare
baik maka akan
berpengaruh pada
sikap dan tindakan
ibu dalam
pencegahan diare
dan begitu juga
sebaliknya bila ibu
memiliki persepsi
tentang manfaat
tindakan
pencegahan diare
yang rendah maka
akan berpengaruh
juga dalam
pencegahan
terjadinya diare.
Persepsi seorang
ibu tentang
hambatan yang
dirasakan dalam
pencegahan diare
baik maka akan
berpengaruh pada
sikap dan tindakan
ibu dalam
pencegahan diare
dan begitu juga
sebaliknya bila ibu
memiliki persepsi
tentang hambatan
yang dirasakan
dalam pencegahan
diare yang rendah
maka akan
berpengaruh juga
dalam pencegahan
terjadinya diare.
A. PENGKAJIAN DATA
1. BIODATA KLIEN
Nama : An. L
Umur : 18 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Kota Baru
2. PENANGGUNG JAWAB
Nama : Ny. s
3. DATA MEDIK
Sejak semalam anak mencret lebih dari 3 x dengan konsistensi cair ada ampas
sehingga anak rewel (suka menangis)
D. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Ibu klien mengatakan anaknya penah menderita mencret seperti ini, tapi tidak
terlalu parah makan obat dari warung saja sudah sembuh, itu terjadi + 6 bulan
yang lalu
E. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Dalam keluarga saat ini tidak ada yang menderita sakit dengan penyakit yang
sama.
F. RIWAYAT ALERGI
Ibu klien mengatakan anaknya tidak cocok kalau minum susu kaleng cair (milk) tapi
kalau makanan tidak ada yang membuat alergi (sakit)
G. RIWAYAT PSIKOSOSIAL
Sebelumnya anak lincah suka bermain, namun pada saat ini anak rewel,
gelisah dan suka menangis Saat anaknya sakit, ibunya segea membawanya berobat ke
Puskesmas terdekat .Menurut ibu anak tersebut, ia kurang mengerti tentang penyakit
anaknya.
H. PENGKAJIAN FISIK
Nutrisi
- Sebelum sakit
Ibu klien mengatakan klien maan 3 x sehari dengan porsi sedang
- Saat sakit
Ibu klien mengatakan klien anaknya tidak nafsu makan
(tidak menghabiskan porsinya) + 4 sendok makan 1 x makan
Eliminasi
Istirahat Tidur
- Sebelumnya klien tidur siang + 2 jam, malam + 8 jam
Pengobatan
- Puyer diare 3 x 1 bungkus
- Kotrimoksasol srp. 2 x 1 sendok makan
- Parasetamol 3 x ½ tablet jika panas
- Oralit 5 bungkus diberikan setiap klien mau minum
ANALISA DATA
no DATA Masalah
DO
- Mata agak cekung
- Mukosa kering
- Konjungtiva anemis
- Bibir pucat
2 DS Resiko kerusakan
- Ibu klien mengatakan integritas kulit
anaknya mencret lebih dari
3x cair
DO
- Daeraha anogenital
kemerahan
3 DS Gangguan pola istirahat
- Ibu klien mengatakan tidur
anaknya tidur ± 3-4 jam dan
sering terbangun
- BAB > 3X cair
DO
- Suhu 37,5°C
- Rewel dan suka nangis
- Gelisah
PRIORITAS MASALAH
1. 17-11-03 Resiko kekurangan Kekurangan cairan tidak 1. Kaji keadaan umum klien 1. Untuk mengetahui keadaan
cairan b.d terjadi dengan kriteria hasil 2. Anjurkan banyak minum umum klien
09.00 Wib BAB encer lebih dari 1. Mencret berkurang sedikit tapi sering 2. dengan banyak minum
3x 2. Peces tidak cair 3. Kolaborasi dengan dokter kebutuhan cairan terpenuhi
3. Mata tidak cekung dalam pemberian therapy 3. Untuk mencegah agar infeksi
tidak terjadi
CATATAN PERKEMBANGAN
TGL/ Implementasi Evaluasi
jam
17-11- Mengkaji keadaan umum klien hasil : S : ibu klien mengatakan sejak
21 - Compos mentis latarpensi klien belum BAB
- Suhu 37 C
9.15 - Nadi 85x/ mnt O:
- Pulse 35x/ mnt - Klien minum
- BB 7,8 kg - Suhu 37,5 C
- TB 71 cm - Mata agak
Menganjurkan memberi minum sedikit tapi sering cekung
A. Abstrak
Kejang demam sering dijumpai pada anak, sering membuat panik orang tua
sehingga anak dibawa ke rumah sakit, namun jarang sekali berakibat fatal. 1,2 Insidensi
kejang demam bervariasi, yaitu 2%–5% di Amerika Serikat dan Eropa Barat, 5%–10% di
India, 8,8% di Jepang, dan 14% di Guam, sedangkan data dari negara berkembang lainnya
sangat terbatas. Kejang demam umumnya muncul di sekitar usia 6 bulan sampai 3 tahun,
dan insidensi tertinggi pada usia 18 bulan. Kejang pertama jarang disebabkan oleh
meningitis,3-6 namun apabila disebabkan meningitis akan menimbulkan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi, sehingga sangat penting memastikan apakah kejang merupakan
manifestasi infeksi susunan saraf pusat (SSP) atau bukan.
B. Deskripsi singkat
Meningitis bakterial merupakan infeksi SSP, terutama menyerang anak usia <2
tahun, dengan puncak angka kejadian pada usia 6-18 bulan. 8 Dibandingkan dengan
beberapa dekade yang lalu, pemberian antibiotik hanya berhasil menurunkan angka
kematian meningitis bakterial sekitar separuh- nya, sedangkan beberapa infeksi lain dapat
ditekan hingga duaratus kali.9 Penyebab utama meningitis pada anak adalah Haemophilus
influenzae tipe B (Hib) dan Streptococcus pneumoniae (invasive pneumococcal diseases/IPD).
Insidens meningitis bakterialis di negara maju sudah menurun sebagai akibat keberhasilan
imunisasi Hib dan IPD. 10 Kejadian meningitis bakterial oleh Hib menurun 94%, dan
insidensi penyakit invasif oleh S. pneumoniae menurun dari 51,5-98,2 kasus/100.000 anak
usia 1 tahun menjadi 0 kasus setelah 4 tahun program imunisasi nasional PCV7
dilaksanakan.11,12 Di Indonesia, kasus tersangka meningitis bakterialis sekitar 158/100.000
per tahun, dengan etiologi Hib 16/100.000 dan bakteri lain 67/100.000, angka yang tinggi
apabila dibandingkan dengan negara maju.
C. Analisis PICOT
1. P = Populasi
Anak usia 6–18 bulan yang mengalami kejang demam pertama. Semua subyek
dilakukan pungsi lumbal, diagnosis meningitis bakterial ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan likuor cerebrospinal (LCS): yaitu jumlah sel >7/mm3, perbandingan kadar
gula dengan serum <0,4; protein >80 mg/dL, apus LCS Gram ditemukan bakteri atau hasil
kultur positif. Pasien sindrom epilepsi, kelainan neurologis kronik (palsi serebral,
hidrosefalus, tumor otak), serta gangguan metabolik dan elektrolit, tidak diikutsertakan dalam
penelitian.
2. I = Intervensi
Tindakan pungsi lumbal adalah cara yang sangat penting untuk mengetahui apakah
kejang demam me- rupakan tanda dan gejala suatu infeksi SSP,6 namun sejak berbagai
penelitian yang dilaksanakan di negara maju memperlihatkan risiko meningitis pada anak
kejang demam sederhana setara dengan anak demam tanpa kejang, yaitu <1,3%, maka tindakan
invasif tersebut mulai jarang dilakukan di negara maju.14-18 Meningitis bakterial yang
memberikan gejala pertama kejang demam terjadi pada 24% kasus anak, 19 pada anak usia
prasekolah angka kejadian tersebut lebih tinggi.Di Indonesia dengan cakupan imunisasi Hib
dan IPD sangat rendah, perlu dipertimbangkan meningitis bakterial sebagai salah satu penyebab
kejang demam pertama.
3. C = Comparation
Dalam jurnal ini tidak ada jurnal pembanding antara jurnal satu dengan jurnal yang lainnya,
hanya ada satu jurnal saja
4. O = Outcome
Pemberian antibiotik sebelum anak mengalami kejang demam pertama memiliki hubungan
dengan gejala meningitis. Pemberian antibiotik sebelum terjadinya kejang demam pertama baik
sistemik maupun oral tampaknya berhubungan dengan kejadian meningitis. Rosenberg dkk, 26
melakukan review terhadap pasien meningitis yang mendapat antibiotik oral sebelumnya, ternyata
tanda dan gejala meningitis menjadi tidak khas yaitu hanya berupa kejang demam. Penelitian lain
bahkan menunjukkan bahwa profil LCS mendekati normal dan sulit mendapatkan hasil apus Gram
dan kultur apabila pasien telah mendapat antibiotik >12 jam.27
5. T = Time
Penelitian ini dilakukan pada bulain 4 Desember tahun 2011
TELAAH JURNAL
2.
No Item Ringkasa Jurnal Analisis
1 Abstrak Meningitis bakterial - Apakah
merupakan infeksi abstrak sudah menjelaskan
SSP, terutama hal yang melatarbelakangi
menyerang anak usia
penelitian, metode, hasil dan
<2 tahun, dengan
puncak angka kesimpulan : Ya sudah
kejadian pada usia 6-
18 bulan. 8
Dibandingkan dengan
beberapa dekade yang
lalu, pemberian
antibiotik hanya
berhasil menurunkan
angka kematian
meningitis bakterial
sekitar separuh- nya,
sedangkan beberapa
infeksi lain dapat
ditekan hingga
duaratus kali.9
Penyebab utama
meningitis pada anak
adalah Haemophilus
influenzae tipe B (Hib)
dan Streptococcus
pneumoniae (invasive
pneumococcal
diseases/IPD). Insidens
meningitis bakterialis di
negara maju sudah
menurun sebagai
akibat keberhasilan
imunisasi Hib dan
IPD. 10 Kejadian
meningitis bakterial
oleh Hib menurun
94%, dan insidensi
penyakit invasif oleh S.
pneumoniae menurun
dari 51,5-98,2
kasus/100.000 anak
usia 1 tahun menjadi 0
kasus setelah 4 tahun
program imunisasi
nasional PCV7
dilaksanakan.11,12 Di
Indonesia, kasus
tersangka meningitis
bakterialis sekitar
158/100.000 per tahun,
dengan etiologi Hib
16/100.000 dan
bakteri lain
67/100.000, angka
yang tinggi apabila
dibandingkan dengan
negara maju.
MENINGITIS
1. Pengkajian
Hal yang sering menjadi alas an klien atau orang tua membawa anaknya untuk
meminta pertolongan kesehatan adalah suhu badan tinggi, kejang, dan
penurunan tingkat kesadaran.
b. Riwayat penyakit sekarang
Tanda-tanda vital
3. Saraf III, IV, dan VI : Pemeriksaan funsi dan reaksi pupil pada
klien meningitis yang tidak disertai penurunan kesadaran biasanya
tanpa kelainan.
4. Saraf V : Pada klien meningitis umumnya tidak didapatkan
paralisis pada otot wajah dan reflek kornea biasanya tidak ada
kelainan.
5. Saraf VII : Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah
simetris.
6. Saraf VIII : Tidak ditemukan adanya tuli konduktif atu tuli
persepsi.
7. Saraf IX dan X : Kemampuan menelan baik
3. Tanda Brudzinski
B4 (Bladder)
Pemeriksaan diagnostic rutin pada klien meningitis, meliputi laboratorium klinik rutin (Hb, leukosit, LED,
trombosit, retikulosit, glukosa). Pemeriksaan laboratorium yang khas pada meningitis adalah analisa cairan otak.
Analisa cairan otak diperiksa untuk jumlah sel, protein, dan konsentrasi glukosa. Pemeriksaan lainnya diperlukan
sesuai klinis klien, meliputi foto rontgen paru dan CT scan kepala.
g. Pengkajian penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan medis lebih bersifat mengatasi etiologi dan perawat perlu menyesuaikan dengan standar
pengobatan sesuai tempat bekerja yang berguna sebagai bahan kolaborasi dengan tim medis.
2. Diagonosa Keperawatan yang mungkin muncul
Evaluasi dapat dibedakan atas evaluasi proses dan evaluasi hasil. Evaluasi proses dievaluasi
setiap selesai melakukan prasat dan evaluasi hasil berdasarkan rumusan tujuan terutama kriteria
hasil. Hasil evaluasi memberikan acuan tentang perencanaan lanjutan terhadap masalah yang
dialami pasien.