Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN PENELITIAN

PERILAKU MEROKOK SISWA SMP


DI KECAMATAN PANONGAN
KABUPATEN TANGERANG TAHUN 2015

RINA KHAIRUNNISA FADLI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU_ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF DR HAMKA
2015
ABSTRAK

Fenomena perilaku merokok di kalangan siswa SMP terutama di Kecamatan Panongan sudah
cukup memprihatinkan. Perlu diperhatikan secara detil bagaimana fenomena merokok di
kalangan siswa SMP ini. Penelitian ini bertujuan untuk melihat faktor-faktor yang berhubungan
dengan perilaku merokok siswa SMP dilihat dari pendekatan preceede procede dari Lawrence
Green yang melihat dari tiga faktor utama yaitu Predisposisi, pemungkin dan penguat.
Penelitian ini menggunakan desain Cross Sectional dengan didukung pendekatan kualitatif.
Jumlah sampel sebanyak 230 siswa ditambah 6 orang Informan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa perilaku merokok lebih banyak pada siswa laki-laki yang memiliki sikap negatif
kemudian akses yang mudah terhadap rokok, memiliki keluarga dengan perilaku yang kurang
baik dan teman yang kurang baik pula. Maka variabel yang berhubungan secara signifikan
antara lain variabel jenis kelamin (nilai p=0,000), umur (nilai p=0,001), sikap (nilai p=0,000),
akses (nilai p= 0,000), keluarga (nilai p= 0,006) dan teman sebaya (nilai p=0,000) terhadap
perilaku merokok siswa, sedangkan tingkat pengetahuan dan peraturan sekolah tidak memiliki
hubungan yang signifikan dengan perilaku merokok. Akses menjadi faktor dominan yang
mempengaruhi perilaku merokok siswa di SMP Kecamatan Panongan.Di sekolah belum ada
peraturan khusus mengenai larangan merokok dan belum pernah ada sosialisasi peraturan dari
kabupaten terkait larangan merokok sampai ke tingkat sekolah.

Kata Kunci: perilaku merokok, siswa SMP, peraturan sekolah


BAB I PENDAHULUAN

Dalam kaitan pencapaian tujuan bidang kesehatan, konsumsi rokok


merupakan epidemi yang mengancam kelangsungan generasi di Indonesia.
Konsumsi rokok meningkat secara pesat dari tahun ke tahun dan saat ini, Indonesia
merupakan negara nomor 3 (tiga) dengan jumlah perokok tertinggi di dunia setelah
Cina dan India (Permenkes no 40 tahun 2013).
Proporsi penduduk umur ≥15 tahun yang merokok dan mengunyah
tembakau cenderung meningkat, berdasarkan Riskesdas 2007 sebesar 34,2 persen,
Riskesdas 2010 sebesar 34,7 persen dan Riskesdas 2013 menjadi 36,3 pesen
(Riskesdas 2013).
Berdasarkan hasil survei dari Global Youth Tobacco Survey (GYTS) pada
tahun 2009 yang mencakup lima determinan dari penggunaan rokok yaitu; akses
/ketersediaan dan harga, pajanan Secondhad Smoke (SHS), penghentian, iklan dan
media, serta kurikulum di sekolah, didapatkan beberapa fakta sebagai berikut:
1. 22.5% pelajar saat ini menggunakan beberapa bentuk dari tembakau, 20.3%
saat ini adalah perokok aktif, 6.5% saat ini menggunakan bentuk lain dari
tembakau.
2. Pajanan SHS tergolong tinggi, dua pertiga dari para pelajar terpapar asap rokok
di rumah, lebih dari tiga per empat pelajar terpapar asap rokok di luar rumah.
Hampir tiga per empat dari para pelajar setidaknya memiliki salah satu orang
tua yang merokok.
3. Tujuh dari sepuluh pelajar berpikir bahwa asap rokok dari orang lain berbahaya
bagi mereka.
4. Lebih dari 8 dalam sepuluh pelajar berpikir bahwa merokok di tempat umum
harus dilarang.
5. Delapan dari 10 perokok ingin berhenti merokok.
6. Lebih dari 1 dari 10 pelajar memiliki sebuah benda dengan merek rokok pada
benda tersebut.
7. Hampir sebanyak 9 dari 10 pelajar melihat pesan melalui media mengenai anti
rokok dalam 30 hari terakhir, 9 dari 10 juga melihat iklan pro rokok pada
papan reklame dan lebih dari tiga per empat dari dari sepuluh pelajar tersebut
melihat iklan yang pro rokok dalam Koran dan majalah dalam 30 hari terakhir.
Dari fakta yang didapatkan dari GYTS di atas dapat dilihat bahwa prosentase
perokok pada usia 13-15 tahun mencapai 20,3 %, dimana usia 13-15 tahun
tersebut pada umumnya adalah usia pelajar tingkat Sekolah Menengah
Pertama (SMP) yang juga masih tergolong usia remaja.
Perokok pemula remaja usia 10-14 tahun naik 2 kali lipat dalam 10 tahun
terakhir dari 9,5% pada tahun 2001 menjadi 17,5% pada tahun 2010 Sementara
perokok pemula usia 15-19 tahun menurun dari 58,9% menjadi 43,3%. Keadaan
ini menunjukkan telah terjadi pergeseran perokok pemula ke kelompok usia yang
lebih muda (Susenas 2004, SKRT 2001 dalam Permenkes no 40 tahun 2013).
Beberapa faktor yang mempengaruhi anak–anak usia muda menggunakan
rokok yaitu: sosial dan lingkungan fisik, lingkungan sosial kecilnya, kognitif dan
proses afektifnya, faktor biologi dan genetik, dan faktor lainnya seperti ekonomi
yang rendah, akses, kemudahan serta harga dari rokok sendiri, pendidikan yang
rendah dan keterpaparan terhadap iklan rokok, informasi dll (CDC, 2013) dalam
Pakpahan (2013).
Beberapa penelitian di berbagai kota menjelaskan adanya hubungan antara
pengetahuan dan sikap dengan perilaku merokok para siswa. Salah satunya yaitu
penelitian yang dilakukan Utomo (2013) di Sumedang menyatakan bahwa adanya
hubungan pengetahuan bahaya merokok dengan perilaku siswa dengan P
value=0.025 dan ada pula hubungan sikap tentang rokok dengan perilaku siswa
yang memiliki p value= 0.010.
Menteri Kesehatan dalam suatu artikel menyatakan bahwa Pengendalian
dampak merokok diharapkan mendapat dukungan dari semua elemen masyarakat
agar perokok pemula tidak terus bertambah(www.depkes.go.id). Upaya untuk
menekan jumlah dari perokok pemula juga dilakukan pemerintah dengan
menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dimana salah satu tujuanya yaitu
mengurangi jumlah perokok pemula. Salah satu area yang disebutkan dalam
penerapan KTR adalah di fasilitas pendidikan.
Provinsi banten memiliki 8 kabupaten/ kota yang terdiri dari kabupaten
lebak, kabupaten pandeglang, kabupaten serang, kabupaten tangerang, kota
tangerang, kota serang, kota cilegon dan kota tangerang selatan. Kabupaten
Tangerang merupakan wilayah dengan jumlah penduduk terbanyak (Profil Provinsi
Banten 2011).
Kabupaten Tangerang memiliki kurang lebih sebanyak 29 kecamatan,
menurut hasil statistik daerah tahun 2012 diketahui bahwa wilayah kecamatan yang
memiliki laju pertumbuhan penduduk tertinggi adalah pada wilayah Kecamatan
Panongan. Kecamatan Panongan tergolong kecamatan yang masih baru karena
usianya baru 15 tahun. Namun jika dilihat dari laju pertumbuhan penduduknya
tertinggi di Kabupaten Tangerang.
Sebagaimana pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti, didapatkan
informasi dari beberapa guru dari dua SMP di kecamatan yang memaparkan bahwa
fenomena perilaku merokok pada siswa SMP sudah dapat dikatakan
memprihatinkan, guru lain menyebutkan prosentase siswa SMP yang merokok di
sekolahnya kurang lebih sudah mencapai 20%. Adapun sekolah lainnya
menyatakan bahwa siswanya memang sudah ada yang memiliki kebiasaan
merokok walaupun tidak di lingkungan sekolah.
Berangkat dari penuturan beberapa guru tersebut, peneliti tertarik untuk
mengamati fenomena perilaku merokok di kalangan siswa SMP di Kecamatan
Panongan serta ingin melihat perilaku merokok pada siswa tersebut dengan
pendekatan preceed procede dari Lawrence Green yang melihat dari tiga faktor
utama yaitu faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat. Sehingga
dapat dilihat juga bagaimana upaya yang dilakukan sekolah dalam rangka
mengendalikan perilaku merokok pada siswa. Selama ini belum ada penelitian
yang menjabarkan mengenai Perilaku merokok siswa SMP di Kecamatan
Panongan. Penelitian ini penting dilakukan agar informasi yang didapat oleh
peneliti dapat dijadikan bahan masukan bagi sekolah-sekolah terkait untuk
mencegah para siswanya terus melakukan kebiasaan merokok baik itu di sekolah
maupun di tempat-tempat umum lainnya. Kecamatan Panongan merupakan
wilayah dengan laju pertumbuhan penduduk tertinggi di daerah Kabupaten
Tangerang. Berdasarkan data dari Global
Youth Tobacco Survey (GYTS) pada tahun 2009 menunjukan angka 20,3% pelajar usia SMP
adalah perokok aktif. Seperti yang kita ketahui bahwa lingkungan SMP merupakan tempat
dimana anak usia remaja memasuki tahap pubertas pertama mereka yang mana terdapat
keinginan untuk mencoba hal-hal baru baik itu positif maupun negatif, tidak terkecuali
merokok. Menurut penuturan beberapa orang guru SMP di Kecamatan Panongan diketahui
bahwa fenomena perilaku merokok saat ini sudah mencapai 20%. Apabila fenomena
merokok pada siswa SMP ini tidak mendapatkan penanganan yang serius maka tidak
menutup kemungkinan akan meningkatkan jumlah perokok pemula di lingkungan siswa
SMP terutama di kecamatan Panongan, oleh karena itu perlu adanya penelitian terkait
Perilaku merokok siswa SMP di Kecamatan Panongan Kabupaten Tangerang Tahun 2015.
BAB II
METODE PENELITIAN

Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan desain


cross sectional .Metode kuantitatif digunakan untuk melihat hubungan antara
faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat dengan perilaku merokok
siswa. Kemudian penelitian ini juga didukung dengan metode kualitatif dalam
proses pengumpulan datanya di mana metode tersebut digunakan untuk melihat
lebih mendalam terkait perilaku merokok pada siswa dari perspektif guru dan
kepala sekolah. Pengumpulan data melalui pengisian kuesioner oleh para siswa dan
wawancara mendalam terhadap beberapa guru dan kepala sekolah, selain itu
dilakukan pula observasi, serta telaah dokumen. Dalam penelitian ini diharapkan
dapat menggali secara lebih detil mengenai Perilaku merokok siswa SMP di
Kecamatan Panongan Kabupaten Tangerang Tahun 2015.

Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian mengenai Perilaku merokok siswa SMP di Kecamatan Panongan
Kabupaten Tangerang Tahun 2015 ini dilaksanakan di dua lokasi sekolah yang
berada di wilayah kecamatan Panongan yaitu SMPN 1 Panongan dan SMP Mandiri
yang merupakan SMP swasta. Penelitian dilakukan pada bulan Maret-April 2015.

Populasi , Sampel dan Informan Penelitian


Populasi
Populasi target adalah seluruh siswa-siswi SMP yang berada di Kecamatan
Panongan tahun ajaran 2014-2015. SMP di Kecamatan Panongan terdiri dari 7
sekolah, di mana dari 7 sekolah tersebut terdiri dari 1 Sekolah Negeri dan 6 Sekolah
Swasta. Sekolah swasta pertama yang ada di Kecamatan Panongan adalah SMP
Mandiri sedangkan 5 sekolah lainnya baru beberapa tahun berdiri, sehingga
peneliti memilih satu sekolah negeri yaitu SMPN 1 Panongan dan satu sekolah
swasta yaitu SMP Mandiri sebagai populasi studi yang diharapkan dapat mewakili
populasi siswa SMP di Kecamatan Panongan. Adapun jumlah populasi studi
adalah 1581 orang yang berasal dari dua sekolah tersebut..

Sampel
Besar sampel dalam penelitian ini menggunakan perhitungan estimasi
beda dua proporsi dengan rumus sebagai berikut..

n = [Z1-α/2√2P(1-P) + Z1-β√P1(1-P1)+ P2(1-P2)]2


(P1-P2)2

Keterangan:
n = Besar sampel minimal
Z1-α/2 = Deviasi normal standar untuk a= 0.05, yaitu 1.96
Z1-β = Nilai Z pada kekuatan uji (power test) dengan 1-β sebesar 90% yaitu
1,28
P1 = Proporsi merokok siswa dimana keterpaparan informasi mengenai larangan
merokok berpengaruh terhadap perilaku merokok (Raehana, 2014)
P2 = Proporsi merokok siswa dimana keterpaparan informasi mengenai larangan
merokok tidak berpengaruh terhadap perilaku merokok(Raehana, 2014)
P = Rata-rata proporsi [(P1+P2)/2]

Besar dari P1 dan P2 didapat dari data hasil penelitian sebelumnya terkait
dengan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku merokok.
Tabel 1 Data P1 dan P2 dari Penelitian Terkait perilaku Merokok
No Variabel P1 P2 n Referensi
1. Usia 0.636 0.851 102 Rofiq, 2014
2 Jenis Kelamin 0.637 0.01 13 Nurhayati,
2011
3 Pengetahuan 0.619 0.315 69 Noor, 2005
4 Sikap 0.33 0.01 34 Rofiq, 2014
5 Akses terhadap 0.747 0.043 11 Nurhayati,
rokok 2011
6 Keluarga 0.852 0.148 11 Raehana,
2014
7 Teman Sebaya 0.401 0.067 40 Nurhayati
2011
8 Peraturan Sekolah 0.867 0.133 10 Raehana,
tentang rokok 2014

Berdasarkan tabel di atas, jumlah sampel yang diambil adalah dari yang
terbanyak. Jumlah sampel minimal adalah 102 orang pada masing-masing
kelompok sampel. Dalam perhitungan sampel pada penelitian ini mengambil 2
jenis kelompok data oleh karena itu jumlah sampel minimal tersebut dikalikan 2
sehingga menjadi 204 orang. Untuk mengantisipasi adanya data yang tidak
lengkap, maka sampel ditambahkan dengan 10% dari jumlah minimal yaitu
menjadi 224 orang yang kemudian dibulatkan menjadi 230 orang sampel.
Cara pengambilan sampel yang digunakan yaitu proportional stratified
random sampling .pengumpulan data dilakukan kepada sampel penelitian yang
berjumlah sebanyak 230 orang yang berasal dari dua SMP di kecamatan Panongan.
Tabel 2 Jumlah Sampel Penelitian
No SMP Jumlah Siswa/i Jumlah sampel

Panongan
2 SMP Mandiri 412 60
Total 1581 230

SMPN1 Panongan memiliki 9 kelompok kelas pada kelas 7 dan 8 serta 8


kelompok kelas pada kelas 9. Sehingga dari 170 orang sampel yang diambil dibagi
menjadi 3 terlebih dahulu agar mendapat proporsi merata di setiap tingkatan
kelasnya, yaitu sebanyak 57 orang untuk kelas 7, 57 orang untuk kelas 8 dan 56
orang untuk kelas 9.
Kemudian untuk SMP Mandiri, memiliki 3 kelompok kelas pada kelas 7, 4
kelompok kelas pada kelas 8 dan 5 kelompok kelas pada kelas 9. Dari 60 orang
sampel dibagi menjadi 3 juga agar mendapat proporsi yang merata, sehingga
didapatkan 15 orang pada kelas 7, 20 orang pada kelas 8, dan 25 orang pada kelas
9. Apabila dituliskan dalam tabel akan menjadi seperti berikut.
Tabel 3 Proporsi Sampel Per Kelas
Jumlah
No SMP Kelas 7 Kelas 8 Kelas 9
Sampel

Panongan
2 SMP Mandiri 15 20 25 60
Total 230

Informan Penelitian
Dalam metode penelitian kualitatif sampel dikenal dengan sebutan
informan. Penghitungan sampling pada kualitatif dasarnya adalah purposive,
dengan kata lain siapa sampel yang dipilih sepenuhnya ditentukan oleh peneliti,
(Wibowo , 2014).
Prinsip dari pemilihan informan (Arief, 2012) terdiri dari 2 hal yaitu:
1. Kecukupan (appropriateness)
Informan dipilih berdasarkan pengetahuan yang dimiliki berkaitan
dengan topik penelitian, yaitu mengetahui langsung mengenai perilaku
merokok pada siswa.
2. Kesesuaian (adequacy)
Informan bervariasi dari jabatan di sekolah masing-masing mulai
dari Kepala Sekolah hingga guru yang menangani urusan kesiswaan
sehingga diharapkan informasi yang dikumpulkan akan bervariasi.
Adapun informan dari penelitian ini antara lain:
1. Kepala Sekolah SMPN 1 Panongan
2. Guru BP SMPN1 Panongan
3. Wakil Kepala Sekolah SMPN1 Panongan
4. Kepala Sekolah SMP Mandiri
5. Guru Bagian Kesiswaan SMP Mandiri
6. Guru Bagian Humas SMP Mandiri

Instrumen penelitian
Kuesioner
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang
beberapa pertanyaannya diadopsi dari Global Youth Tobacco Survey dan juga
mengadopsi dari penelitian sebelumnya terkait perilaku merokok pada siswa SMP.
Kuesioner ini akan diisi oleh para siswa. Kemudian untuk data pendukung melalui
metode kualitatif, peneliti juga menggunakan instrumen yaitu peneliti sendiri yang
dilengkapi dengan pedoman wawancara, lembar check list observasi dan lembar
check list dokumen.

Uji Coba Kuesioner


Sebelum melakukan pengumpulan data, peneliti melakukan uji coba
instrumen untuk menguji validitas dan reliabilitas dari kuesioner yang digunakan.
Uji coba instrumen dilakukan kepada 30 orang siswa SMP di luar dari sampel yang
diteliti. Peneliti menguji instrumen di SMP PGRI 276 Curug Tangerang , SMP ini
dipilih karena peneliti mengetahui adanya kesamaan karakter dengan SMP di
Kecamatan Panongan. Uji coba instrumen dilakukan dengan tujuan untk
mengetahui apakah kuesioner yang digunakan sudah dapat dimengerti oleh para
siswa. Kemudian untuk mengetahui juga apakah variabel yang digunakan sudah
valid dan reliabel. Adapun hasil dari uji vailiditas dan reliabilitas dapat dilihat pada
tabel berikut
Tabel 3. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner
Jumlah
Jumlah Cronbach’s
No Variabel Pertanyaan
Pertanyaan Alpha
Valid
1 Perilaku Merokok 12 11 0.965
2 Pengetahuan 14 5 0.688
3 Sikap 13 11 0.875
4 Akses Terhadap Rokok 8 8 0.901
5 Keluarga 5 5 0.883
6 Teman Sebaya 5 4 0.830
7 Peraturan Sekolah 5 5 0.974

Uji validitas dan reliabilitas dilakukan pada 7 variabel yaitu perilaku


merokok, pengetahuan, sikap, akses terhadap rokok, keluarga, teman sebaya, dan
peraturan sekolah. Peneliti melakukan uji reliabilitas berdasarkan nilai Cronbach’s
Alpha dari masing-masing variabel harus lebih besar dari 0,6 (>0,6) agar dianggap
reliabel sedangkan untuk r tabel nya adalah 0.361.
Pada tabel di atas dapat diketahui bahwa pada variabel perilaku merokok
terdapat satu pertanyaan yang tidak valid, variabel pengetahuan hanya lima
pertanyaan yang valid, kemudian untuk sikap terdapat dua variabel yang tidak
valid, pada akses terhadap rokok, keluarga dan peraturan sekolah seluruh
pertanyaannya valid sedangkan untuk teman sebaya ada satu pertanyaan yang tidak
valid. Pada pertanyaan yang tidak valid tersebut peneliti tidak mengeluarkannya
dari kuesioner dan hanya memperbaiki kata-kata dari pertanyaan tersebut agar
lebih mudah dimengerti oleh responden. Kemudian untuk uji reliabel seluruh
variabel menunjukkan nilai Cronbach’s Alpha yang lebih besar dari 0,6 hal itu
berarti bahwa selurh variabel yang digunakan bersifat reliabel.

Pedoman Wawancara, Lembar Checklist, Pedoman Telaah Dokumen


Wawancara dilakukan oleh peneliti untuk mendapatkan gambaran dari
para guru di sekolah terkait perilaku merokok pada siswanya. Adapun pedoman
wawancara yang digunakan mengacu pada penerapan peraturan mengenai larangan
merokok di sekolah yang juga menggali informasi mengenai perilaku merokok
pada siswa tersebut. Pertanyaan-pertanyaan pada pedoman wawancara dibuat
sedemikian rupa dengan harapan dapat memperoleh informasi yang komprehensif
terkait dengan tema penelitian.
Lembar checklist yang digunakan oleh peneliti mengacu pada penelitian
Arief (2012) dengan tema yang masih terkait perilaku merokok. Lembar checklist
berisi keterangan mengenai ketersediaan sumber-sumber yang mendukung
himbauan larangan merokok di sekolah beserta ada tidaknya perilaku merokok itu
sendiri di lingkungan sekolah.
Pada pedoman telaah dokumen peneliti ingin mengetahui apakah di setiap
sekolah tersebut sudah memiliki dokumen tersendiri mengenai peraturan atau tata
tertib terkait larangan merokok dan ketersediaannya di setiap sudut sekolah apakah
sudah mencukupi.

Validitas Data Kualitatif


Untuk menjaga validitas data, dilakukan triangulasi untuk beberapa variabel.
Triangulasi yang dilakukan meliputi triangulasi metode, sumber dan data.
1. Triangulasi metode yaitu menggunakan beberapa metode dalam
pengumpulan data diantaranya dengan cara wawancara mendalam,
observasi melalui lembar checklist dan telaah dokumen.
2. Triangulasi sumber yaitu mencocokan data dengan fakta dari beberapa
informan dengan sumber informan lainnya yang berkaitan.

Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan secara primer dan sekunder. Pengumpulan
data primer melalui pengisian kuesioner, wawancara mendalam, serta observasi.
Sedangkan data sekunder melalui dokumen yang terkait dengan penerapan
peraturan atau tata tertib terkait larangan merokok di sekolah.
Pengisian kuesioner dilakukan oleh para siswa, sedangkan wawancara
mendalam ditujukan untuk kepala sekolah dan beberapa guru dari sekolah terkait.

Manajemen Data
Tahap-tahap yang dilakukan dalam penelitian ini antara lain:
1) Mengumpulkan data-data yang diperoleh dari pengisian kuesioner kemudian
dilakukan editing-coding-entry-cleaning data.
2) Mengumpulkan data – data yang diperoleh dari wawancara mendalam,
observasi dan telaah dokumen.
3) Data primer seperti kuesioner diolah dengan menggunakan program pengolah
data, hasil wawancara diringkas dalam matriks dengan berdasarkan urutan
pertanyaan dan jumlah informan. Sedangkan untuk hasil observasi diringkas
dalam form lembar check list .
4) Data sekunder dikumpulkan dan digunakan sebagai pendukung dari kuesioner,
hasil wawancara dan observasi.
5) Data-data yang sudah diringkas dan diklasifikasikan sesuai dengan variabel
yang ditentukan, maka dapat disajikan dalam bentuk matriks, tabel, kutipan dan
juga narasi

Analisis Data
Analisis Data Kuantitatif
Data-data yang didapat melalui kuesioner akan melalui analisis univariat
dan bivariat untuk mengetahui gambaran serta hubungan dari variabel penelitian.
Analisis univariat bertujuan untuk mendeskripsikan masing-masing variabel
dengan menggunakan distribusi frekuensi. Analisis bivariat bertujuan untuk
mengetahui hubungan dari variabel independen terhadap variabel dependen , uji
yang digunakan adalah uji chi square.
Kemudian peneliti melakukan analisis multivariat untuk melihat hubungan
dari beberapa variabel independen terhadap variabel dependen, adapun uji yang
digunakan adalah uji regresi logistik berganda, karena variabel yang diduga
berhubungan terdiri dari banyak variabel (Rofiq, 2014) . Uji regresi logistik
dilakukan ketika variabel dependen merupakan variabel katagorik dan variabel
indepeden dapat terdiri dari beberapa variabel dan boleh merupakan campuran
antara katagorik dan numerik. Dalam uji regresi logistk berganda di penelitian ini,
peneliti menggunakan pemodelan model prediksi dengan tujuan untuk
memperoleh model yang terdiri dari beberapa variabel independen yang dianggap
terbaik untuk memprediksi kejadian variabel dependen.

Analisis Data Kualitatif


Data dari hasil wawancara mendalam dibahas dengan menggunakan
analisis isi, yaitu analisis dengan menginterpretasikan pembahasan dengan hasil
penelitian yang dikaitkan dengan teori sehingga dapat mendukung serta
menguatkan hasil penelitian terkait dengan Perilaku merokok siswa SMP di
Kecamatan Panongan Tahun 2015.
BAB III
HASIL PENELITIAN

Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan dengan tujuan untuk menjelaskan serta
menggambarkan karakteristik dari setiap variabel, di mana dalam penelitian ini
terdapat variabel dependen yaitu perilaku merokok dan variabel independen yaitu
faktor predisposisi yang terdiri dari umur, jenis kelamin, pengetahuan dan sikap,
faktor pemungkin adalah akses terhadap rokok, dan faktor penguat yang terdiri dari
keluarga, teman sebaya, serta peraturan sekolah.

Gambaran Perilaku Merokok Siswa


Distribusi pada responden antara yang merokok dan tidak merokok masing
– masing adalah 43,5% dan 55,2%. Tabel 5.1 menunjukkan gambaran distribusi
responden antara yang merokok dan tidak merokok.
Tabel 7
Distribusi Perilaku Merokok Responden
Persentase
Perilaku Merokok Jumlah
(%)
Status Merokok Dulu (N=230)
Tidak Merokok 127 55,2
Merokok 100 43,5
Missing 3 1,3
Jumlah 230 100
Status Merokok Sekarang dari yang Dulu
Merokok(N=100)
64 64
Tidak Merokok
36 36
Merokok
100 100
Jumlah
Jumlah Rokok Per Hari pada siswa yang sekarang
merokok (N=36)
< 5 batang 29 80,5
5 – 10 batang 6 16,7
1 2,8
>10 batang
36 100
Jumlah
Keinginan berhenti merokok pada siswa yang
sekarang merokok (N=36)
Ya 34 94,4
Tidak 2 5,6
Jumlah 36 100
Hasil percobaan berhenti merokok pada responden
yang sekarang merokok (N=36)
Berhasil 1 2,8
Tidak berhasil 34 94,4
missing 1 2,8
Jumlah 36 100
Waktu sampai kembali merokok pada responden
yang tidak berhasil berhenti merokok (N=34)
1 hari 8 23,5
3 – 7 hari 18 53
2 – 3 minggu 2 5,9
>1 bulan 6 17,6
Jumlah 34 100
Alasan Kembali Merokok pada responden yang tidak
berhasil berhenti merokok (N=34)
Stress karena tidak merokok 2 5,9
Sulit menghilangkan kebiasaan merokok 16 47,05
Dipengaruhi oleh teman 16 47,05
Melihat iklan rokok 0 0
Jumlah 34 100
Alasan Berhenti Merokok dari responden yang saat
ini sudah tidak lagi merokok (N=64)
Menyadari bahwa rokok tidak baik untuk kesehatan 50 78,1
Dilarang oleh orang tua 2 3,1
Menghemat uang saku 1 1,6
Mematuhi peraturan sekolah 0 0
Dilarang oleh teman 0 0
Lainnya, sebutkan…… 2 3,1
Tidak menjawab 9 14,1
Jumlah 64 100

Dari tabel 5.1 di atas diketahui bahwa total responden yang pernah merokok
sebanyak 100 orang (43,5%), rata - rata responden yang merokok tersebut mulai
merokok pada usia 12 tahun, dan paling banyak memulai merokok pada usia 13
tahun (31,7%). Berikut distribusi usia awal responden tersebut mulai merokok.
Gambar 1
Distribusi Usia Pertama Kali Merokok Responden yang Pernah Merokok
(N=100)

31.7

P
E
23.8
R
S
E
N
13.9
T 12.9
A 9.9
S
E 5.9

1.0 1.0

7 9 10 11 12 13 14 15
Umur

Dari jumlah 100 responden yang sudah pernah merokok tersebut ternyata
36% (36 orang siswa) yang masih merokok sampai saat pengambilan data
dilaksanakan. Dan dari 36 siswa yang masih merokok, sebanyak 29 siswa merokok
kurang dari 5 batang rokok per hari, 6 siswa merokok antara 5-10 batang rokok per
hari, dan 1 siswa merokok lebih dari 10 batang rokok per hari.
Rata – rata uang saku responden yang sudah pernah merokok adalah Rp
8.700,00 per hari, dengan uang saku tertinggi Rp 50.000,00, dan terendah adalah
Rp 2.500,00. Adapun rata – rata pengeluaran siswa untuk membeli rokok adalah
Rp 3.700,00 per hari, dengan pengeluaran tertinggi Rp 16.000,00, dan pengeluaran
terendah Rp 1.000,00 per hari. Berikut distribusi pengeluaran siswa untuk membeli
rokok.
Gambar 5.2
Distribusi Pengeluaran Responden Untuk Membeli Rokok Per Hari ( N=36)

Pengeluaran responden untuk membeli


rokok per hari

Dari jumlah 36 siswa yang masih merokok, 33 diantaranya mengaku ingin


berhenti merokok. Sementara siswa yang mengaku sulit untuk berhenti merokok
berjumlah 24 siswa dari total 36 siswa yang masih merokok. 34 siswa pernah
mencoba untuk berhenti merokok namun tidak berhasil dan akhirnya kembali
merokok lagi dengan alasan paling banyak adalah karena sulit menghilangkan
kebiasaan merokok (16 siswa), dan pengaruh teman (16 siswa).
Dari hasil penelitian diketahui bahwa 53% siswa yang merokok hanya
mampu bertahan 3 - 7 hari untuk tidak merokok dan akhirnya kembali merokok.
23,5% siswa yang merokok hanya mampu bertahan 1 hari, 17,6% mampu bertahan
> 1 bulan dan 6% siswa merokok yang mampu bertahan 2 -3 minggu untuk tidak
merokok dan akhirnya kembali merokok. Sementara itu siswa yang berhenti
merokok paling banyak alasannya karena mereka menyadari bahwa rokok tidak
baik bagi kesehatan yaitu sebesar 91% (50 anak).
Menurut hasil wawancara dengan beberapa orang guru dan kepala sekolah
dari kedua sekolah tersebut, terdapat pernyataan yang mengindikasi bahwa
memang perilaku merokok pada siswa SMP di sekolah mereka sudah ada bahkan
ada yang menyatakan prosentasenya sudah mencapai 20%.. Berikut adalah
cuplikan pernyataan dari informan..

“sudah ,merokok sudah banyak, wong itu baunya anak-anak yang


terlambat , terutama yang bandel-bandel, tapi emang prosentase nya nggak banyak
20-25% lah ya istilahnya kalo di prosentasekan, karena katakanlah laki- laki yang
di kelas itu misalnya 20, sekitar 5 udah ngerokok.(IF1)”

Informan di atas menyatakan bahwa memang yang merokok adalah siswa


yang memiliki kepribadian yang kurang baik di sekolah. Di samping itu dari
sekolah yang berbeda seorang guru menyatakan bahwa memang ada siswanya yang
merokok terkadang di sekolah saat ada jam kosong, namun lebih seringnya
memang di luar sekolah. Berikut cuplikan pernyataannya.

“Rata-rata di luar sekolah, kadang memang ada anak yang tiba tiba ada
jam kosong kemudian juga ada kelas yang kosong, suka juga nyolong-nyolong gitu,
memang pernah ketahuan(IF4)”

5.1.2 Gambaran Faktor Predisposisi


Faktor predisposisi yang ada pada penelitian ini adalah umur responden, jenis
kelamin, pengetahuan dan sikap.
a. Karakteristik Responden
Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Responden Menurut Karakteristik Responden (N=230)
Variabel Frekuensi Presentase (%)
Umur
≤ 13 tahun 79 34,3
14 tahun 71 30,9
>14 tahun 80 34,8
Jumlah 230 100
Jenis Kelamin
Laki – laki 132 57,4
Perempuan 97 42,2
Missing 1 0,4
Jumlah 230 100
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa distribusi responden yang berusia kurang
dari sama dengan 13 sebanyak tahun sebanyak 79 siswa, kemudian responden yang
mimiliki umur 14 tahun sebanyak 71 siswa dan yang paling banyak pada responden
yang berusia diatas 14 tahun. Distribusi rata-rata usia responden adalah 14 tahun,
dengan standar error 0,075. Pada 95 % CI kita mempercayai 95 % bahwa rata-rata
usia pada populasi antara 13,8 sampai 14,09 tahun. Berikut grafik distribusi umur
responden.

Gambar 5.3
Distribusi Umur Responden (N=230)

DIstribusi Umur Responden


35.0

30.0

25.0
Persentase

20.0

15.0

10.0

5.0

0.0
12 13 14 15 16

Distribusi responden antara siswa laki – laki dan perempuan masing –


masing adalah 57,4% dan 42,2%. Dari jumlah responden, pendistribusian kelas
tersebar hampir merata setiap kelasnya, masing – masing 31,2 % kelas 7, 33,3%
kelas 8 dan 35% kelas 9. Rata – rata uang saku dari seluruh responden adalah Rp
8.100,00, dengan uang saku tertinggi Rp 50.000,00 dan terendah Rp 2.000,00.

b. Gambaran Pengetahuan Siswa


Dalam penelitian ini terdapat 14 pertanyaan untuk mengukur pengetahuan
siswa SMP terkait merokok. Dari seluruh pernyataan yang berkaitan dengan
pengetahuan siswa, kemudian dikelompokkan berdasarkan tingkat pengetahuan
siswa. Untuk seluruh pengetahuan tersebut nilai maksimal adalah 14. Hasil
penelitian menunjukkan jawaban responden sebagai berikut.
Tabel 5.3
Variabel Yang Menunjukkan Pengetahuan Siswa
Variabel Pengetahuan Tidak
Benar(%) Salah(%)
Tahu(%)
Zat utama yang terkandung dalam rokok 90,4 0 9,6
adalah nikotin dan tar
Nikotin merupakan zat yang menyebakan 84,8 0,9 14,3
kecanduan
Tar merupakan zat yang menyebabkan 68,7 1,7 29,6
penyakit kanker
Rokok mengandung zat kimia penghilang 22,2 8,3 69,6
cat kuku atau yang dikenal dengan aseton
Merokok merupakan perilaku tidak sehat 98,7 0,4 0,9
Merokok dapat menyebabkan penyakit 99,1 0 0,9
kanker
Merokok dapat merusak otak 62,2 10 27,8
Asap rokok mengandung gas 48,7 7,8 43,5
karbonmonoksida
Asap rokok berbahaya bagi orang yang ada 95,7 1,7 2,6
di sekitar perokok
Asap rokok mengandung lebih dari 4000 54,3 2,2 43,5
macam gas beracun yang berbahaya bagi
kesehatan.
Perokok yang sudah pada tahap 78,7 1,3 20,0
ketergantungan akan lebih mudah terkena
suatu penyakit
Merokok dapat menyebabkan kemiskinan 53 8,7 38,3
karena ketergantungan
Dilarang merokok di lingkungan sekolah 97,4 1,3 1,3
Dilarang merokok di angkutan umum 80,4 5,2 14,3

Dari tabel 5.3 diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar responden sudah
mengetahui bahwa zat utama yang terkandung dalam rokok adalah nikotin dan tar
(90,4%), serta sebagian besar (84,8%) mengetahui bahwa nikotin merupakan zat
yang menyebabkan kecanduan. Hanya sebagian responden (68,7%) yang
mengetahui bahwa tar merupakan zat yang menyebabkan penyakit kanker. Namun
sebagian kecil responden yang mengetahui bahwa rokok mengandung zat kimia
penghilang cat kuku atau yang dikenal dengan aseton (22,2%). Menurut 98,7%
responden menyatakan bahwa merokok merupakan perilaku yang tidak sehat,
99,1% mengungkapkan bahwa rokok menyebabkan penyakit kanker, hanya 62,2%
menyatakan bahwa rokok dapat merusak otak, dan 48,7% yang mengungkapkan
bahwa asap rokok mengandung gas karbonmonoksida.
Sebagian besar responden membenarkan bahwa asap yang dihasilkan oleh
perokok berbahaya untuk orang disekitarnya (95,7%), sedangkan hanya 54,3%
yang membenarkan bahwa asap rokok mengandung lebih dari 4000 macam gas
beracun yang berbahaya bagi kesehatan. Sebanyak 78,7% responden membenarkan
bahwa perokok yang sudah pada tahap ketergantungan akan lebih mudah terkena
suatu penyakit, hanya 53% yang membenarkan bahwa merokok dapat menyebakan
kemiskinan karena ketergantungan. Terdapat 97,4% responden yang setuju bahwa
dilarang merokok di lingkungan sekolah, dan 80,4% yang setuju bahwa dilarang
merokok di angkutan umum.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa skor pengetahuan tertinggi adalah 14
dan skor paling rendah adalah 4. Skor paling banyak yaitu dengan nilai 10 sebanyak
18,6%, sementara paling sedikit adalah skor 4 dengan prosentase 0,4%. Responden
dikelompokkan berdasarkan tingkat pengetahuannya yaitu baik apabila skornya ≥
median (10) dan kurang baik bila < median (10). Distribusi responden siswa SMP
di Kecamatan Panongan tahun 2015 berdasarkan pengetahuan, ternyata terdapat
122 responden (53%) yang memiliki pengetahuan yang baik tentang perilaku
merokok. Sementara ada 108 responden, atau 47% dari seluruh sampel yang
diambil yang memiliki pengetahuan yang kurang baik mengenai perilaku merokok.
Gambar 5.4
Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan Tentang Perilaku Merokok

kurang
47%
baik
53%

c. Gambaran Sikap Responden

Ada 13 pernyataan sikap yang berkaitan dengan perilaku merokok pada


penelitian ini. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden
sangat tidak setuju dan tidak setuju pada pernyataan “Saya menerima jika teman
saya menawarkan saya untuk merokok” yaitu masing – masing 62,6% dan 25,7%.
Untuk pernyataan “Jika seseorang menjadi perokok maka sulit baginya untuk
berhenti merokok” sebagian besar responden juga tidak setuju (47,8%), namun
seimbang untuk responden yang sangat tidak setuju dan setuju yaitu masing –
masing 21,3%. 42,2% responden tidak setuju bahwa merokok membuat orang
merasa lebih nyaman dalam bergaul, dan hanya 7,8% yang sangat setuju.
Sebagian besar responden sangat tidak setuju bahwa perokok memiliki lebih
banyak teman, masing – masing untuk yang tidak setuju dan sangat tidak setuju
berturut – turut adalah 41,7% dan 44,3%. Hanya 4,8% yang sangat setuju dan
10,9% setuju bahwa iklan rokok seharusnya tidak ditayangkan baik melalui media
masa maupun elektronik, sisanya tidak setuju. Sebanyak 63,9% responden sangat
tidak setuju dengan pernyataan “Sebagai seorang remaja, saya seharusnya tidak
merokok”, dan hanya 2,2% yang sangat setuju. 47,4% sangat tidak setuju dan
29,1% tidak setuju dengan pernyataan yang menyatakan bahwa remaja yang tidak
merokok terlihat lebih keren dari remaja yang merokok. Hanya 6,5% responden
yang setuju bahwa menghirup udara yang bebas dari asap rokok merupakan hak
asasi manusia. 44,8% sangat tidak setuju dan 28,7% tidak setuju dengan harga
rokok yang harus segera dinaikkan.
Sebanyak 59,6% responden sangat tidak setuju, dan hanya 3,9% yang sangat
setuju dengan larangan merokok di tempat umum perlu diberlakukan dengan sanksi
yang tegas. Sebagian besar responden tidak setuju untuk menegur jika ada anggota
keluarga yang merokok di dalam rumah (50% tidak setuju, 40% sangat tidak
setuju), jika ada teman yang merokok di lingkungan sekolah (48,3% tidak setuju,
43% sangat tidak setuju), serta jika ada orang yang merokok di angkutan umum
(tidak setuju 49,6%, sangat tidak setuju 37%). Hasil selengkapnya dapat dilihat
pada tabel 5.4 berikut.

Tabel 5.4
Hasil Pernyataan Tentang Sikap Responden
Pernyataan Sangat Tidak
Setuju Sangat Tidak
Setuju Setuju
(%) Setuju(%)
(%) (%)
Saya menerima jika teman saya menawarkan 3,9 7,4 25,7 62,6
saya untuk merokok
Jika seseorang menjadi perokok maka sulit 8,7 21,3 47,8 21,3
baginya untuk berhenti merokok
Merokok membuat seseorang merasa lebih 7,8 14,8 42,2 34,8
nyaman dalam bergaul
Seorang perokok akan memiliki lebih banyak 4,8 9,1 41,7 44,3
teman dibandingkan bukan perokok
Iklan rokok seharusnya tidak ditayangkan baik 4,8 10,9 39,1 45,2
itu di media massa dan media elektronik
Sebagai seorang remaja, saya seharusnya tidak 2,2 8,3 25,7 63,9
merokok
Remaja yang tidak merokok terlihat lebih 8,7 14,8 29,1 47,4
keren dari remaja yang merokok
Menghirup udara yang bebas dari asap rokok 6,5 13 33,9 46,1
merupakan hak asasi manusia
Harga rokok harus segera dinaikkan 10,9 15,7 28,7 44,8
Larangan merokok di tempat umum perlu 3,9 4,8 31,7 59,6
diberlakukan dengan sanksi yang tegas
Saya akan menegur jika ada anggota keluarga 0,4 9,1 50 40
saya yang merokok di dalam rumah
Saya akan menegur jika ada teman saya yang 2,2 6,5 48,3 43
merokok di lingkungan sekolah
Saya akan menegur jika ada orang yang 1,7 10,9 49,6 37
merokok di dalam angkutan umum.
Seluruh komponen sikap mempunyai jumlah nilai 52. Hasil penelitian ini
mempunyai nilai skor paling tinggi adalah 41 dan skor paling rendah adalah 13.
Median dari skor jawaban responden adalah 23.

Gambar 5.5
Distribusi Responden Berdasarkan Sikap Tentang Perilaku Merokok
Missing
2,2%

positif
48,7%
negatif
49,1%

Responden dikategorikan mempunyai sikap positif atau tidak setuju terhadap


perilaku merokok jika skornya < median (23) dan sikap negatif atau setuju terhadap
perilaku merokok jika skor nilainya ≥ median (23). Berdasarkan hasil analisis,
distribusi responden berdasarkan sikap yang dimiliki responden ternyata terdapat
113 responden (49,1%) yang memiliki sikap yang negatif atau setuju terhadap
perilaku merokok. Sementara ada 112 siswa, atau 48,7% responden yang memiliki
sikap yang positif atau tidak setuju terhadap perilaku merokok.

5.1.3 Gambaran Faktor Pemungkin

Pada penelitian ini, yang termasuk kedalam faktor pemungkin adalah akses
terhadap rokok. Ada 8 pertanyaan untuk menggambarkan variabel akses terhadap
rokok. Berikut hasil penelitian terhadap akses merokok. 44,8% responden
menjawab bahwa tidak pernah ada penjual rokok berjualan di sekitar sekolah,
sementara untuk yang selalu sering dan kadang - kadang masing - masing adalah
23%, 15,7% dan 16,5%. Hanya 1,7% siswa yang dapat membeli rokok dalam
bentuk pack/dus, dan 5,2% siswa yang dapat membeli rokok dalam bentuk
batangan. 40,4% responden selalu dapat menemukan penjual rokok dengan mudah
dimanapun, 37% responden menyatakan sering.
Sebanyak 69,1% responden mengaku penjual rokok akan selalu memberikan
rokoknya walaupun responden masih tergolong remaja, dan hanya 3% yang selalu
diberikan rokok oleh temannya.
Sebanyak 63,9% responden menyatakan bahwa rokok tidak pernah dapat
didapatkan dengan harga terjangkau adapun maksudnya adalah sebagian besar
responden tidak pernah membeli rokok. 51,7% mengaku selalu melihat iklan rokok
setiap harinya baik melalui media cetak maupun elektronik. Berikut gambaran
lebih jelasnya dalam tabel.

Tabel 5.5
Gambaran hasil pernyataan akses terhadap rokok
Pernyataan Kadang- Tidak
Sering
Selalu (%) kadang Pernah
(%)
(%) (%)
Penjual rokok berjualan di sekitar 23 15,7 16,5 44,8
sekolah saya
Saya dapat membeli rokok dalam 1,7 2,6 7 88,7
bentuk pack/dus
Saya dapat membeli rokok dalam 5,2 12,2 12,2 70,4
bentuk batangan
Saya dapat menemukan penjual rokok 40,4 37 11,7 10,9
dengan mudah di mana pun
Penjual rokok tidak memberikan rokok 13,5 8,3 9,1 69,1
kepada saya karena saya masih remaja
Teman saya memberikan rokok kepada 3 9,1 21,7 66,1
saya
Rokok dapat saya dapatkan dengan 10,4 10,4 15,2 63,9
harga terjangkau
Saya melihat iklan rokok setiap hari 51,7 33 12,2 3
(televisi/media

cetak/poster/spanduk/baliho)

Seluruh komponen akses terhadap rokok memiliki jumlah skor 32. Hasil
penelitian menunjukkan skor tertinggi untuk akses terhadap rokok adalah 29, dan
skor terendah adalah 10 dengan nilai median 17.
Gambar 5.6
Distribusi Responden Berdasarkan Akses Terhadap Rokok

mudah
46,5% sulit
53,5%

Responden dikatakan memiliki akses yang mudah terhadap rokok jika skornya
> dari median (17), dan dikategorikan memiliki akses yang sulit terhadap rokok
jika skornya ≤ median (17). Dari seluruh responden, siswa yang ,memiliki akses
yang mudah terhadap rokok sebanyak 46,5%, sementara yang memiliki akses sulit
sebesar 53,5%.
Jika dipisahkan berdasarkan jenis sekolah maka akses terhadap rokok pada
siswa menunjukkan bahwa pada sekolah swasta lebih banyak siswa yang memiliki
akses yang mudah terhadap rokok dibandingkan dengan akses yang sulit. Hal
sebaliknya terjadi pada sekolah negeri di mana akses yang sulit lebih banyak
dibandingkan dengan akses yang mudah, data lebih jelasnya dapat dilihat pada
tabel berikut
Tabel 5.6
Klasifikasi Akses Terhadap Rokok Berdasarkan Sekolah
No Variabel Kategori Sekolah Total
Negeri Swasta
1 Akses Terhadap Sulit 101(59%) 22(37%) 123(53%)
Rokok Mudah 69(41%) 38(63%) 107(47%)
Total 170 (100%) 60(100%) 230(100%)
Dari hasil wawancara, memang diketahui bahwa sekolah melarang para
pedagang di kantin untuk menjual rokok sehingga para siswa tidak dapat membeli
rokok di lingkungan sekolah, berikut adalah cuplikan pernyataannya

“yang penting itu di kantin itu yang utama, tidak diperbolehkan jual rokok, nah
itu yang utama itu.(IF1)”

Pedagang di kantin memang dilarang menjual rokok, namun ada beberapa


dari pedagang kantin tersebut yang merokok di area kantin, berikut cuplikan
pernyataannya

“orang-orang di kantin? Kalo di kantin mah emang ngga ada yang ngerokok kan
rata-rata yang dagang mah ibu-ibu, tapi ada juga sih beberapa orang , ada bapak-
bapaknya yang ngerokok(IF3)”

Namun memang tidak hanya dari pedagang di kantin, karena tidak menutup
kemungkinan ada siswa yang membawa dari luar,peristiwa ini pernah terjadi di
salah satu sekolah saat di inspeksi mendadak di kelas terdapat siswa yang
membawa rokok di dalam tas nya, begitu ditanyakan ternyata rokok tersebut
dibelikan oleh orang tuanya.
“rokok darima na ini? Dari bapak Bu” (IF1)

“orang tuanya kalau misalkan anaknya merokok nah itu dibiarkan malah
terkadang dibelikan gitu berapa bungkus misalkan jadi bukan malah
dilarang(IF5)”

Selain dari dukungan orang tua, para siswa di daerah kecamatan Panongan
juga seringkali terpapar denga acara konser musik yang diisi oleh grup musik yang
sedang diidolakan para remaja saat ini, namun memang acara musik tersebut
disponsori sepenuhnya oleh perusahaan rokok. Sehingga para siswa yang ikut
menonton konser musik mudah terpapar dengan iklan rokok melalui acara tersebut,
berikut cuplikan hasil wawancaranya.
“bisa karena iklan, bisa karena pergaulan, bisa karena apa namanya iklan
rokok itu pake pertunjukan musik, yang jadi pengunjungnya kan itu kebanyakan
anak-anak muda(IF4)”

5.1.4 Gambaran Faktor Penguat


Faktor penguat dalam penelitian kali ini antara lain faktor keluarga, teman
sebaya dan peraturan sekolah.
a. Gambaran Perilaku Merokok Keluarga
Ada 5 pertanyaan untuk menggambarkan perilaku merokok keluarga.
Sebanyak 30,9% responden mengaku selalu melihat ayahnya merokok di rumah,
21,3% sering, 21,7% kadang – kadang dan 26,1% tidak pernah. Sementara 100%
responden tidak pernah melihat ibunya merokok di rumah. 72,6% responden tidak
pernah melihat kakak/adiknya merokok di rumah, 4,3% selalu melihat, 11,7%
sering dan 11,3% kadang – kadang. Hanya 20,9% responden tidak pernah melihat
anggota keluarga lain merokok di rumah, sisanya pernah melihat. 35,2% responden
tidak pernah disuruh ayahnya untuk membelikan rokok di warung, 16,1% selalu,
24,8% sering dan 23,9% kadang – kadang. Berikut penjelasan dapat dilihat pada
tabel 5.6.

Tabel 5.7
Hasil Pernyataan Terkait Perilaku Merokok Keluarga
Pernyataan Kadang-
Selalu Sering Tidak
kadang
(%) (%) (%) Pernah(%)
Saya melihat ayah saya merokok di 30,9 21,3 21,7 26,1
rumah
Saya melihat ibu saya merokok di rumah 0 0 0 100
Saya melihat Kakak/adik saya merokok 4,3 11,7 11,3 72,6
di rumah

Saya melihat anggota keluarga lainnya 12,6 28,3 38,3 20,9


merokok di rumah

Ayah menyuruh saya membelikan rokok 16,1 24,8 23,9 35,2


untuknya di warung
Seluruh komponen perilaku merokok keluarga memiliki jumlah skor 20. Skor
tertinggi dari responden adalah 17, sedangkan terendah adalah 5. Untuk median
sendiri adalah 10. Responden dikatakan memiliki keluarga yang perilaku
merokoknya tidak baik jika skor ≥ median (10), sementara memiliki keluarga yang
perilaku merokoknya baik jika skor < median (10). Berikut merupakan diagram
distribusi gambaran perilaku keluarga responden. Hasil menunjukkan responden
memiliki keluarga yang perilaku merokoknya tidak baik dan responden memiliki
keluarga yang perilaku merokoknya baik seimbang, yaitu masing – masing 50%.
Gambar 5.7
Distribusi Responden Berdasarkan Perilaku Merokok Keluarga

baik
kurang baik 50%
50%

Jika dipisahkan berdasarkan sekolah, variabel keluarga menunjukkan bahwa


pada sekolah swasta responden yang memiliki keluarga dengan perilaku merokok
yang tidak baik jumlahnya lebih banyak diibandingkan dengan responden yang
memiliki keluarga dengan perilaku merokok yang baik. Hal sebaliknya terjadi pada
sekolah negeri di mana responden yang memiliki keluarga dengan perilaku
merokok yang baik lebih banyak dibandingkan dengan responden yang memiliki
keluarga dengan perilaku merokok yang tidak baik, data lebih jelasnya dapat dilihat
pada tabel berikut.
Tabel 5.8
Klasifikasi Kategori Keluarga Berdasarkan Sekolah
No Variabel Kategori Sekolah Total
Negeri Swasta
1 Keluarga Kurang 80(47%) 35(58%) 115(50%)
Baik
Baik 90(53%) 25(42%) 115(50%)
Total 170 (100%) 60(100%) 230(100%)

Menurut penuturan seorang guru, dikatakan bahwa rata-rata orang tua


siswa SMP di sekolahnya memang merupakan perokok, jumlah orang tua yang
merokok lebih besar dibandingkan dengan yang bukan perokok.

“hampir rata-rata orang tua siswa itu merokok, mungkin tidak ada sampai
10% wali murid yang tidak merokok(IF3)”

b. Gambaran Perilaku Merokok Teman Sebaya

Terdapat 5 pertanyaan untuk menggambarkan perilaku teman sebaya terhadap


merokok. Sebanyak 95,2% responden mengatakan bahwa temannya tidak pernah
merokok di depan responden. Kemudian 80,4% responden tidak pernah ditawari
oleh temannya untuk merokok, 87,8% responden tidak pernah dijauhi oleh teman
jika tidak tidak mau ikut merokok. Responden yang tidak pernah diingatkan oleh
temannya untuk tidak merokok sebesar 93,9%, dan 64,3% responden tidak pernah
berdiskusi dengan temannya bahwa merokok itu tidak baik untuk kesehatan.
Tabel 5.9
Hasil pernyataan responden terkait perilaku merokok teman sebaya
Pernyataan Selalu Sering Kadang- Tidak
kadang Pernah
Teman saya merokok di depan saya 0,4 2,6 1,7 95,2
Teman saya menawarkan saya untuk 0,4 11,7 7,4 80,4
merokok
Saya dijauhi oleh teman jika tidak mau 0,9 9,1 2,2 87,8
ikut merokok
Teman mengingatkan saya untuk tidak 0 4,8 1,3 93,9
merokok
Seluruh komponen perilaku teman sebaya terhadap perilaku merokok memiliki
jumlah skor 20. Hasil skoring menunjukkan skor tertinggi untuk perilaku teman
sebaya dalam merokok adalah 17, dan terendah adalah 5 dengan median
11. Responden dikategorikan memiliki teman sebaya yang berperilaku baik jika
skornya ≤ median (11), dan memiliki teman sebaya yang berperilaku merokok
tidak baik jika skornya > median (11).

Gambar 5.8
Distribusi Responden Berdasarkan Perilaku Merokok Teman Sebaya

baik
33%

tidak baik
67%

Diagram di atas menunjukkan bahwa responden yang memiliki teman sebaya


yang berperilaku baik hanya sebesar 33%, sisanya 67% memiliki teman sebaya
dengan perilaku merokok yang tidak baik.
Jika dipisahkan berdasarkan sekolah variabel teman sebaya menunjukkan
bahwa pada sekolah swasta maupun sekolah negeri, keduanya memiliki jumlah
teman yang berperilaku merokok tidak baik yang lebih banyak dibandingkan
dengan yang berperilaku merokok baik. Data lengkapnya dapat dilihat pada tabel
berikut
Tabel 5.10
Klasifikasi Kategori Teman Sebaya Berdasarkan Sekolah
No Variabel Kategori Sekolah Total
Negeri Swasta
1 Teman Sebaya Baik 119 (70%) 35(58%) 154 (67,2%)
Kurang 50(29,4%) 25(42%) 75(32,4%)
Baik
Total 169 (99,4%) 60(100%) 229(99,6%)
Missing (1)

c. Gambaran Peraturan sekolah


Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 230 siswa, 53,9% nya (124
siswa) menjawab tidak ada peraturan terkait merokok di sekolahnya. Sementara
46,1% (106) menjawab ada peraturan terkait merokok di sekolahnya. Hasil
tersebut didapatkan melalui jawaban dari 5 pertanyaan yang diberikan kepada
siswa, jika siswa tersebut menjawab kelima pertanyaan tersebut dengan “YA”,
maka peraturan terkait merokok ada, tetapi jika ada satu pernyataan saja yang
tidak dijawab dengan “YA” maka peraturan terkait merokok dikatakan tidak
ada.
Terkait dengan peraturan sekolah para guru dan kepala sekolah
memberikan jawaban yang serempak bahwa memang di sekolah mereka untuk
larangan merokok hanya dituangkan berupa tata tertib, belum ada peraturan
yang khusus mengatur mengenai larangan merokok pada siswa. Berikut
beberapa cuplikan pernyataannya

“secara umum di tata tertib(IF2)”

“masih berupa larangan aja. Belum ada yang spesifik(IF5)”

“sampai sekarang ini nggak ada, hanya di tata tertib, karena masih di level SMP
mah masih belum urgent lah ya(IF6)”
Tata tertib yang ada pada kedua sekolah tersebut telah dibuat sejak lama
bahkan sejak awal berdirinya sekolah. Dalam pelaksanaannya jika ditemukan kasus
siswa yang merokok maka siswa tersebut akan dikenakan sanksi. Sanksi yang
diberikan pun beragam, mulai dari teguran hingga pemanggilan orang tua, menulis
surat pernyataan bahkan ada yang sampai dihukum berdiri di lapangan dengan
dipakaikan tulisan-tulisan.

“Iya..sanksinya berupa teguran, kan ada tingkatannya, mulai dari teguran sampai
pemanggilan orang tua(IF2)”

“Kalau masih sekali dua kali mah ditegur aja, kalau udah tiga kali baru dihukum,
di tengah lapangan.(IF4)”

“mereka buat pernyataan saja, mereka buat pernyataan bahwa tidak akan
mengulang lagi, tidak akan berbuat lagi di sekolah(IF5)”

“kalo ketahuan di kantin kan, di giring sama osis atau sama piket,di bawa ke
tengah lapangan, tulisin disini (menunjuk dada) pake kertas “tidak akan merokok
lagi” pokoknya dibikin dihukum sejera mungkin (IF1)”

Pihak yang bertanggungjawab untuk menangani siswa tersebut adalah guru


BP, bagian kesiswaan, wali kelas, guru piket bahkan sampai kepala sekolah juga
bertanggungjawab menangani apabila ditemukan siswa yang merokok di sekolah.

“yang paling bertanggung jawab itu kan bagian kesiswaan, itu bagian kesiswaan
bersama-sama dengan walikelas dan juga dengan BP(IF5)”

“eh yang paling jelas mah harusnya wali kelas dulu, sebelum masuk ke BP wali
kelas dulu, kepala sekolah mah udah paling akhir(IF6)”
5.1 Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan dan variabel dependen
dan independen yang diduga berhubungan atau memiliki korelasi. Pada penelitian
kali ini dilakukan analisis pada variabel dependen (perilaku merokok) dengan
variabel independen yang terdiri dari faktor predisposisi (umur, jenis kelamin,
pengetahuan dan sikap), faktor pemungkin (akses terhadap rokok) dan faktor
penguat (pengaruh perilaku merokok keluarga, teman sebaya dan peraturan
sekolah).
5.2.1. Hubungan Faktor Predisposisi dengan Perilaku Merokok

Tabel 5.11
Hubungan antara faktor predisposisi dengan perilaku merokok siswa
Perilaku Merokok
Faktor Tidak Total
Merokok OR (95% CI) Nilai P
Predisposisi Merokok
n % n % n %
Umur
≤13 tahun 57 72,2 22 27,8 79 100 0,340(0,176-0,659)
14 tahun 33 47,8 36 52,2 69 100 0,961(0,503-1,835) 0,001
>14 tahun 37 46,8 42 53,2 79 100 -
Jumlah 127 55,9 100 44,1 227 100
Jenis Kelamin
Laki – laki 34 26 97 74 131 100 0,008
0,000
Perempuan 93 97,9 2 2,1 95 100 (0,002 - 0,032)
Jumlah 127 56,2 99 43,8 226 100
Pengetahuan
Baik 62 51,2 59 48,8 121 100 0,663
0,126
Kurang baik 65 61,3 41 38,7 106 100 (0,391 - 1,125)
Jumlah 127 55,9 100 44,1 227 100
Sikap
Positif 81 73,0 30 27,0 95 100 4,436
0,000
Negatif 42 37,8 69 62,2 127 100 (2,514-7,828)
Jumlah 123 55,4 99 44,6 222 100

Pada tabel 5.11 diatas menggambarkan hubungan antara faktor predisposisi


(umur, jenis kelamin, pengetahuan dan sikap) dengan perilaku merokok. Hasil
analisis menunjukkan bahwa pada siswa yang berumur kurang dari sama dengan
14 tahun yang sudah merokok sebesar 39,2%, sementara pada siswa yang berumur
lebih dari 14 tahun yang sudah merokok sebesar 53,2%. Hasil uji statistik
menunjukkan nilai p = 0,044, berarti ada perbedaan proporsi merokok antara
responden yang berumur kurang dari sama dengan 14 tahun dan lebih dari
14 tahun. OR =0,568 menunjukkan bahwa responden yang bermur kurang dari
sama dengan 14 tahun memiliki peluang 0,6 kali lebih besar untuk merokok
dibandingkan dengan siswa yang berumur lebih dari 14 tahun.
Hasil analisis hubungan antara jenis kelamin dan perilaku merokok
menunjukkan bahwa dari semua laki – laki, proporsi kejadian merokok sebesar
74%, dan pada perempuan sebesar 2,1%. Nilai p = 0,000 menunjukkan adanya
perbedaan proporsi antara perempuan dan laki – laki dalam kaitannya dengan
perilaku merokok. OR = 0,008 menunjukkan bahwa laki – laki memiliki peluang
125 kali lebih besar untuk merokok dibandingkan perempuan.
Hasil analisis hubungan antara pengetahuan dan perilaku merokok
menunjukkan bahwa responden yang berpengetahuan baik dan merokok sebesar
48,8%, sementara yang berpengetahuan kurang baik dan merokok sebesar 38,7%.
Nilai p = 0,126 menunjukkan tidak ada perbedaan proporsi antara responden yang
berpengetahuan baik dan kurang baik dalam kaitannya dengan perilaku merokok.
Untuk hasil analisis terhadap variabel sikap, ternyata siswa yang memiliki
sikap positif dan merokok sebesar 27,0%, sedangkan yang memiliki sikap negatif
dan merokok sebesar 62,2%. nilai p = 0,000 menunjukkan adanya perbedaan
proporsi antara siswa yang memiliki sikap positif dan negatif. OR = 4,4
menunjukkan bahwa siswa yang memiliki sikap yang negatif memiliki peluang 4,4
kali lebih besar untuk merokok dibandingkan dengan siswa yang memiliki sikap
positif.

5.2.2. Hubungan antara faktor pemungkin dengan perilaku merokok

Tabel 5.12
Hubungan antara faktor pemungkin dengan perilaku merokok siswa
Perilaku Merokok
Faktor Tidak Total
Merokok OR (95% CI) Nilai P
Pemungkin Merokok
n % n % n %
Akses
Sulit 90 74,4 31 25,6 121 100 1,347
0,000
Mudah 37 34,9 69 65,1 106 100 (1,224 - 1,482)
Jumlah 127 55,9 100 44,1 227 100
Hasil analisis bivariat terhadap faktor pemungkin, yaitu akses terhadap
rokok adalah pada akses yang sulit, jumlah responden yang merokok sebesar
25,6%, sedangakan pada akses yang mudah, jumlah responden yang merokok
sebesar 65,1%. Nilai p = 0,000 menunjukkan adanya perbedaan proporsi antara
responden yang memiliki akses sulit dan responden yang memiliki akses mudah
terhadap rokok. OR = 1,3 menunjukkan siswa yang memiliki akses mudah terhadap
merokok memiliki peluang 1,3 kali lebih besar untuk merokok dibandingkan
dengan siswa yang aksesnya sulit terhadap rokok.

5.3.3. Hubungan antara faktor penguat dengan perilaku merokok

Tabel 5.13
Hubungan antara faktor penguat dengan perilaku merokok siswa
Perilaku Merokok
Tidak Total Nilai
Faktor Penguat Merokok OR (95% CI)
Merokok P
n % n % n %
Keluarga
Tidak Baik 54 47,0 61 53,0 103 100 2,114
0,006
Baik 73 65,2 39 34,8 124 100 (1,240-3,607)
Jumlah 127 55,9 100 44,1 227 100
Teman Sebaya
1,559
Tidak Baik 18 24 57 76 75 100 (1,360 - 1,786) 0,000
Baik 108 71,5 43 28,5 151 100
Jumlah 126 55,8 100 44,2 226 100
Peraturan
Sekolah 1,309
100 0,315
Tidak ada 72 59 50 41 (0,773 - 2,216)
Ada 55 52,4 50 47,6 100
Jumlah 127 55,9 100 44,1 100

Hasil analisis variabel pengaruh keluarga terhadap perilaku merokok siswa


pada tabel 5.13 menunjukkan bahwa keluarga yang memiliki perilaku merokok
yang tidak baik dan siswa tersebut merokok sebesar 53%, sedangkan dari keluarga
yang perilaku merokoknya baik, yang merokok sebesar 34,8%. Nilai p = 0,006
menunjukkan adanya perbedaan proporsi antara perilaku merokok keluarga yang
baik dan tidak baik terhadap perilaku merokok siswanya. OR = 2,1 menunjukkan
bahwa siswa yang perilaku merokok keluarganya tidak baik memiliki peluang 2,1
kali lebih besar untuk merokok dibandingkan siswa yang perilaku merokok
keluarganya baik.
Hasil analisis terhadap pengaruh teman sebaya menunjukkan bahwa teman
sebaya yang memiliki perilaku merokok yang tidak baik dan respondennya
merokok sebesar 76%. Sementara dari teman sebaya yang perilaku merokoknya
baik dan merokok sebesar 28,5%. Nilai p = 0,000 menunjukkan adanya perbedaan
proporsi antara teman sebaya yang memiliki perilaku merokok yang baik dan buruk
dalam mempengaruhi perilaku merokok siswa.OR = 1,6 menunjukkan bahwa siswa
yang memiliki teman sebaya yang tidak baik memiliki peluang 1,6 kali lebih besar
untuk merokok dibandingkan siswa yang teman sebayanya baik.
Pada variabel peraturan sekolah, sekolah yang memiliki peraturan sekolah
dan siswanya merokok sebesar 47,6%, sementara yang tidak memiliki peraturan
sekolah dan siswanya merokok sebesar 41%. Nilai p = 0,315 menunjukkan tidak
adanya perbedaan proporsi antara sekolah yang memiliki peraturan merokok dan
tidak merokok dalam mempengaruhi perilaku merokok siswanya.

5.3. Analisis Multivariat


Untuk mengetahui hubungan lebih dari satu variabel independen dengan
dependen maka perlu dilakukan analisis multivariat. Analisis multivariat pada
penelitian kali ini menggunakan uji regresi logistik berganda yang merupakan
pendekatan yang digunakan untuk menganalisis hubungan satu atau beberapa
variabel independen dengan variabel dependen. Penelitian ini menggunakan model
prediksi dimana semua variabel prediktor sekaligus secara bersama - sama kedalam
pengujian statistik.

5.3.1. Seleksi Bivariat


Tabel 5.14
Seleksi bivariat pada seluruh variabel independen
Variabel Nilai p Keterangan
Umur 0,001 Lolos seleksi
Jenis kelamin 0,000 Lolos seleksi
Pengetahuan 0,126 Lolos seleksi
Sikap 0,000 Lolos seleksi
Akses terhadap rokok 0,000 Lolos seleksi
Keluarga 0,006 Lolos seleksi
Teman sebaya 0,000 Lolos seleksi
Peraturan sekolah 0,315 Tidak lolos seleksi
Dari hasil penjabaran pada tabel 5.14 diatas, variabel yang dapat masuk ke
analisis multivariat adalah variabel dengan nilai p < 0,25, kecuali jika variabel yang
dianggap sangat penting maka tetap dapat dimasukkan ke dalam pemodelan. Dalam
penelitian ini peraturan sekolah tidak masuk dalam pemodelan. Hasil analisis
menunjukkan bahwa variabel – variabel yang masuk ke dalam pemodelan
multivariat adalah variabel umur, jenis kelamin, pengetahuan, sikap, akses,
keluarga dan teman sebaya.

5.3.2. Pemodelan
a. Full model

Tabel 5.15
Tahap 1 Pemodelan Multivariat

Variabel Nilai p OR 95% CI

Umur .084
umur3(1) 0.486 0.157 - 1.500
umur3(2) 1.846 0.547 - 6.228
Jenis
.000 0.006 0.000 - 0.034
Kelamin
Pengetahuan .548 0.744 0.284 - 1.949
Sikap .043 2.676 1.029 - 6.955
Akses .000 7.590 2.697- 21.358
Keluarga .082 2.357 0.896 - 6.203
Teman .034 0.335 0.122 - 0.919

Variabel umur, pengetahuan dan pengaruh keluarga harus dikeluarkan satu


per satu dari pemodelan karena nilai p > 0,05. Variabel yang pertama dikeluarkan
adalah variabel pengetahuan, dengan nilai p tertinggi. Setelah variabel pengetahuan
dikeluarkan hasilnya adalah sebagai berikut.

Tabel 5.16
Pengeluaran Variabel Pengetahuan dari Pemodelan Multivariat

Variabel Nilai p OR 95% CI

Umur .078
umur3(1) .198 0.478 0.155 – 1.472
umur3(2) .319 1.851 0.552 – 6.213
Jenis Kelamin .000 0.006 0.001 – 0.032
Pengetahuan
Sikap .034 2.774 1.078 – 7.141
Akses .000 7.329 2.647 – 20.291
Keluarga .078 2.384 0.907 – 6.267
Teman .038 0.348 0.128 – 0.942

Tabel 5.17
Perubahan OR Setelah Pengeluaran Variabel Pengetahuan
Variabel OR OR Perubahan
sebelum sesudah OR
Umur - -
umur3(1) 0.486 0.478 1,7%
umur3(2) 1.846 1.851 0,2%
Jenis kelamin 0.006 0.006 0%
Pengetahuan 0.744 - -
Sikap 2.676 2.774 3,5%
Akses 7.59 7.329 3,5%
keluarga 2.357 2.384 1,1%
Teman sebaya 0.335 0.348 3,7%

Setelah variabel pengetahuan dikeluarkan, perubahan nilai OR tidak ada


yang lebih dari 10%, oleh karena itu variabel pengetahuan tetap dikeluarkan dari
pemodelan.
Setelah variabel pengetahuan keluar, variabel yang selanjutnya dikeluarkan
dari pemodelan adalah variabel umur. Setelah variabel umur dikeluarkan hasilnya
adalah sebagai berikut.

Tabel 5.18
Pengeluaran Variabel Umur Dari Pemodelan Multivariat

Variabel Nilai p OR 95% CI

Jenis
.007 .001 0.035 -0.007
Kelamin
Sikap 3.101 1.235 7.789 – 3.101
Akses 7.648 2.836 20.622 – 7.648
Keluarga 2.065 .815 5.235 – 2.065
Teman .364 .137 0.967- 0.364
Tabel 5.19
Perubahan OR Setelah Variabel Umur Dikeluarkan dari Pemodelan
Multivariat
Variabel OR OR Perubahan
sebelum sesudah OR
Umur - -
umur3(1) 0.486 - -
umur3(2) 1.846 - -
Jenis kelamin 0.006 .001 500%
Sikap 2.676 1.235 117%
Akses 7.59 2.836 168%
Keluarga 2.357 .815 189%
Teman sebaya 0.335 .137 144%

Setelah variabel umur dikeluarkan dari pemodelan, ternyata


mempengaruhi perubahan OR > 10%, oleh karena itu variabel umur tidak
dikeluarkan dari pemodelan multivariat.
.
Variabel yang selanjutnya dikeluarkan dari pemodelan adalah variabel
keluarga. Setelah variabel keluarga dikeluarkan hasilnya adalah sebagai berikut.

Tabel 5.20
Pengeluaran Variabel Keluarga dari Pemodelan Multivariat

Variabel Nilai p OR 95% CI

Umur .114
umur3(1) .315 0.572 0.193 – 1.700
umur3(2) .272 1.961 0.590 – 6.520
Jenis .000 0.007 0.001 – 0.035
Kelamin
Sikap .019 3.069 1.207 - 7805
Akses .000 6.984 2.580 – 18.903
Teman .024 0.326 0.123 – 0.865

Tabel 5.21
Perubahan OR Setelah Variabel Keluarga Dikeluarkan dari Pemodelan
Multivariat
Variabel OR OR Perubahan
sebelum sesudah OR

Umur - -
umur3(1) 0.486 0.572 15%
umur3(2) 1.846 1.961 5,8%
Jenis kelamin 0.006 0.007 14,3%
Sikap 2.676 3.069 12,8%
Akses 7.59 6.984 8,7%
keluarga 2.357 -
Teman sebaya 0.335 0,326 2,8%

Setelah variabel keluarga dikeluarkan dari pemodelan, ternyata


mempengaruhi perubahan OR > 10%, sehingga variabel keluarga tetap masuk ke
dalam pemodelan multivariat.
Setelah melalui proses pengeluaran satu persatu variabel yang memiliki
nilai P >0.05 didapatkan hasil bahwa ternyata variabel pengetahuan tidak
mempengaruhi nilai OR lebih dari 10%, sedangkan variabel umur dan keluarga
mempengaruhi perubahan OR lebih dari 10%. Oleh karena itu variabel umur dan
keluarga tetap dimasukkan dalam pemodelan multivariat sedangkan variabel
pengetahuan dikeluarkan dari model. Berikut adalah hasil akhir dari pemodelan
multivariat.

Tabel 5.22
Hasil Akhir Pemodelan Multivariat

Variabel Nilai p OR 95% CI

Umur3 .078
umur3(1) .198 .478 .155 – 1.472
umur3(2) .319 1.851 .552 – 6.213
Jenis Kelamin .000 .006 .001 - . 032
Sikap .034 2.774 1.078 – 7.141
Akses .000 7.329 2.647 – 20.291
Keluarga .078 2.384 .907 – 6.267
Teman .038 .348 .128 - .942

b. Interpretasi

Berikut interpretasi nilai OR dari analisis yang dihasilkan:


- Siswa perempuan memiliki peluang 0,06 kali lebih besar untuk merokok
dibandingkan dengan siswa laki – laki, atau siswa laki – laki memiliki
peluang 167 kali lebih besar untuk merokok dibandingkan dengan siswa
perempuan setelah dikontrol oleh variabel umur, sikap, akses terhadap
merokok, perilaku keluarga dan perilaku teman sebaya.

- Siswa yang memiliki sikap yang kurang baik memiliki peluang 2,8 kali
lebih besar untuk merokok dibandingkan dengan siswa yang memiliki sikap
yang kurang baik setelah dikontrol oleh variabel umur, jenis kelamin, akses,
perilaku keluarga dan perilaku teman sebaya

- Siswa yang memiliki akses yang mudah terhadap rokok memiliki peluang
7,3 kali lebih besar untuk merokok dibandingkan dengan siswa yang
memiliki akses yang sulit terhadap rokok, setelah dikontrol oleh variabel
umur, jenis kelamin, sikap, perilaku keluarga dan perilaku teman sebaya.

- Siswa dengan teman sebaya yang memiliki perilaku tidak baik memiliki
peluang 0,34 kali lebih besar dibandingkan dengan siswa dengan teman
sebaya yang memiliki perilaku yang baik, setelah dikontrol oleh variabel
umur, jenis kelamin, sikap, akses terhadap rokok dan perilaku keluarga.

Berdasarkan tabel 5.22 dapat diketahui bahwa variabel yang paling


berpengaruh terhadap perilaku merokok siswa yaitu variabel akses terhadap rokok.
Variabel keluarga dan umur sebagai variabel pengontrol.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Pada penelitian terkait dengan perilaku merokok siswa SMP di Kecamatan
Panongan Tahun 2015 terdapat beberapa kesimpulan yang dapat peneliti jabarkan,
antara lain:
1) Fenomena perilaku merokok pada siswa SMP di Kecamatan Panongan secara
proporsi hampir mencapai setengah dari jumlah siswa dan tergolong
memprihatinkan. Tingkat pengetahuan tentang rokok pada siswa masih
termasuk kategori baik, sedangkan pada sikap siswa terhadap rokok memiliki
proposi yang hampir sama antara yang negatif dengan yang positif .
2) Dalam segi akses terhadap rokok lebih banyak siswa yang tergolong sulit untuk
mendapatkan rokok dan terpapar iklan rokok.
3) Perilaku merokok keluarga seimbang antara keluarga yang baik dengan yang
tidak baik, sedangkan pada teman sebaya proporsinya lebih besar siswa yang
memiliki teman yang baik dibandingkan dengan teman yang tidak baik.
Peraturan sekolah terkait dengan larangan merokok memang belum ada di
kedua sekolah dan hanya berupa tata tertib, namun penerapan tata tertib pun
belum maksimal.
4) Faktor yang mendorong siswa SMP di Kecamatan Panongan antara lain adalah
faktor Umur, Jenis Kelamin, Sikap, Akses, Keluarga dan Teman sebaya.
5) Akses terhadap rokok menjadi faktor yang dominan dalam mempengaruhi
perilaku merokok siswa , karena terjadi dampak langsung dan tidak langsung
dari variabel lainnya melalui variabel akses.
6) Akses terhadap rokok pada siswa diperkuat oleh pengaruh lingkungan yang
masih Pro terhadap rokok terbukti dengan banyaknya tayangan iklan rokok,
acara-acara musik dengan sponsor dari rokok, serta dukungan dari orang tua
siswa tersebut.
Saran
1. Bagi Instansi Pemerintahan Terkait
• Kebijakan Publik berupa peraturan Bupati Tangerang terkait Kawasan
Tanpa Rokok (KTR) sebaiknya disosialisasikan kepada seluruh kelompok
sasaran tidak terkecuali pada tingkat sekolah yang ada di wilayah
Kabupaten Tangerang.
• Memberikan penyuluhan terkait bahaya merokok dan peraturan larangan
merokok ke sekolah-sekolah terutama tingkat SMP di Kecamatan
Panongan.
• Memperbaiki koordinasi antar instansi mulai dari pembuat kebijakan
sampai dengan pelaksana agar terjadi kelancaran dalam mensosialisasikan
dan mendistribusikan kebijakan yang dibuat oleh Bupati Tangerang terkait
larangan merokok.
• Membuat jadwal penyuluhan ke sekolah secara berkala, tidak hanya
setahun sekali mengingat prosentase siswa yang merokok sudah cukup
tinggi.

2. Bagi institusi Pendidikan


• Membuat peraturan sekolah yang spesifik mengatur tentang larangan
merokok di sekolah dengan mengacu kepada peraturan Bupati tangerang
No 16 tahun 2012 yang diperuntukkan untuk seluruh warga sekolah mulai
dari siswa, guru, kepala sekolah, penjaga sekolah dan warga sekolah
lainnya.
• Peraturan mengenai larangan merokok ini harus di komunikasikan secara
baik dan benar kepada seluruh warga sekolah, kemudian dipertimbangkan
dengan sebaik-baiknya orang yang bertanggungjawab terhadap peraturan
tersebut agar dapat terdistribusi dengan baik kepada seluruh warga
sekolah.
• Pihak sekolah memberikan dukungan terhadap peraturan tersebut dengan
memfasilitasi sumber-sumber yang dibutuhkan untuk menjalankan
peraturan, serta menyiapkan Standard Operation Procedure (SOP)
pelaksanaan peraturan agar kedepannya dapat dilakukan evaluasi secara
berkala dalam lingkup sekolah.
• Bekerja sama dengan pihak terkait dalam melakukan sosialisasi
berkelanjutan dan penyuluhan terhadap siswa dan juga terhadap warga
sekolah mengenai larangan merokok dan dampak dari perilaku merokok.
• Meningkatkan sumber-sumber dalam proses implementasi dengan
memasang poster-poster atau himbauan terkait larangan merokok di area
yang mudah terlihat oleh seluruh warga sekolah.
• Lebih sering melakukan inspeksi sebelum masuk lingkungan sekolah
terhadap siswa terutama untuk mencegah meningkatnya perilaku merokok
pada siswa.
• Melarang siswa keluar dari lingkungan sekolah selama jam sekolah
berlangsung untuk menghindari siswa mencari penjual rokok.
• Menerapkan sistem reward and punishment terhadap guru yang memiliki
kebiasaan merokok untuk mengurangi kejadian merokok guru di sekolah.
• Lebih memperkuat komunikasi dengan para orang tua siswa agar lebih
memperhatikan pergaulan pada anak-anak mereka agar tidak melakukan
hal-hal yang negatif seperti merokok.
• Membuat kegiatan-kegiatan seperti perlombaan atau pertunjukan yang
bersifat positif untuk menghindari para siswa menonton acara musik di
luar sekolah yang disponsori oleh rokok.
DAFTAR PUSTAKA

Andrika,Indrayoga.https://www.academia.edu/7335672/Pengaruh_Negatif_Rokok
_bagi_Kesehatan diunduh 14 januari 2015 10.48
anonymous http://www.tcsc-indonesia.org/bupati-tangerang-tetapkan-
kawasan- bebas-rokok/ diakses pada 19 juni 2014 10.50
Arief, Mustafa. (2012). Implementasi Kebijakan Larangan Merokok
Pada kantor Kementrian Kesehatan Tahun 2012. Tesis .FKMUI
Ayuningtyas, Dumilah. (2014). Kebijakan Kesehatan Prinsip dan
Praktik. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Azwar, Azrul. (1996). Pengantar Administrasi Kesehatan Edisi Ketiga.
Jakarta: Binarupa Aksara
Dunn, W.N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi kedua.
Dialihbahasakan oleh Samodra Wibawa dan tim. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
Gunarsa, Singgih. 1991. Psikologi Praktis:Anak, Remaja, Dan
Keluarga. Jakarta: BPK Gunung Mulia
http://www.depkes.go.id/index.php?vw=2&id=NW.201406020002 (Menkes
ungkap dampak rokok bagi kesehatan dan ekonomi di unduh pada 19
Juni 2014 10.42)
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2014). Riskesdas 2013.
Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
___ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _. (2013). Peta Jalan Pengendalian
Dampak Konsumsi Rokok Bagi Kesehatan. Jakarta, Lampiran
Permenkes No.40 Tahun 2013. Kementrian Kesehatan RI.
Mustika, Atik. (2014). Analisis Implementasi Kebijakan Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) di Penyelenggara Pelayanan Kesehatan
(PPK) I Milik Pemerintah Kota Serang Provinsi Banten Tahun 2014.
Tesis. FKMUI
Nurhayati, Tri Nova. 2011. Faktor-faktor yang berhubungan dengan
perilaku merokok pada siswa/I remaja paket B atau setara SMPdi PKBM
Bina Insan Mandiri kota Depok. Skripsi. FKMUI.

Anda mungkin juga menyukai