Anda di halaman 1dari 116

GERAKAN HAK ATAS LINGKUNGAN (HAL) NELAYAN JEPARA

UTARA TERHADAP DAMPAK PEMBANGUNAN PLTU PT. BHUMI


JATI POWER

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosiologi Pada


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya dengan Minat
Utama Sosiologi Lingkungan

Oleh:
Zoey Mienhaj Fadhillah
185120101111003

JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMUSOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
LEMBAR PENGESAHAN

GERAKAN HAK ATAS LINGKUNGAN (HAL) NELAYAN JEPARA

UTARA TERHADAP DAMPAK PEMBANGUNAN PLTU PT. BHUMI

JATI POWER

SKRIPSI

Disusun Oleh:
Zoey Mienhaj Fadhillah
185120101111003

Pembimbing,

Lutfi Amiruddin, S.Sos., M.Sc.


NIK. 20130486 09091 001

Malang, 24 November 2021


Mengetahui,
Ketua Jurusan Soisologi

Dr. Ali Maksum, M.Ag., M.Si.


NIK. 19700304 19950 31002
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Zoey Mienhaj Fadhillah

NIM : 185120101111003

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Gerakan Hak Atas


Lingkungan (HAL) Nelayan Jepara Utara Terhadap Dampak Pembangunan
PLTU PT. Bhumi Jati Power adalah benar merupakan karya sendiri. Hal-Hal
yang bukan karya saya, dalam skripsi tersebut diberikan tanda sitasi dan
dicantumkan dalam daftar pustaka.

Apabiladikemudian hari terbukti bahwa pernyataan saya tidak benar dan


ditemukan pelanggaran atas karya ini, saya bersedia menerima sanksi akademik
berupa pencabutan skripsi maupun gelar yang saya peroleh dari skripsi tersebut.

Jepara, 4 Febuari 2022


Yang membuat pernyataan

Zoey Mienhaj Fadhillah


NIM. 185120101111003
ABSTRAK
Zoey Mienhaj Fadhillah, (2022). Gerakan Hak Atas Lingkungan Nelayan
Terhadap Dampak Pembangunan PLTU PT. Bhumi Jati Power. Pembimbing
Lutfi Amiruddin

Pembangungan PLTU itu menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan berupa


pengerukan yang berupa lumpur, pasir, batuan yang berpengaruh penting terhadap
ekosistem pesisir, dan terumbu karang juga termasuk salah satu bagian elemen
terpenting dalam ekosistem pesisir, sebagai tempat hidup ikan, juga berperan
sebagai pemecah gelombang. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis gerakan
nelayan terhadap hak atas lingkungan (HAL) akibat dampak pembangunan PLTU.
penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studikasus
intrinsik Robert K Yin. Untuk menganalisis fenomena secara mendalam, maka
penelitian ini menggunakan teori gerakan sosial baru Rajendra Sigh dan 4 ciri
karakteristik diantaranya dikemukakan oleh Picardo dan Sigh yakni: (1) Ideologi
dan tujuan; (2) Taktik; (3)Struktur; (4) Partisipan atau aktor;. Hasil dari penelitian
ini dapat digambarkan bahwa gerakan sosial yang dilakukan oleh nelayan
merupakan bagian dari gerakan lingkungan sebab yang dilakukan kelompok FL
kepada nelayan untuk menuntut hak atas lingkungan nelayan terhadap
pembangunan PLTU agar wilayah mereka bekerja tidak hilang dikarenakan
semakin melebarnya pembangunan di area tempat bekerja nelayan untuk mencari
ikan. Sebab manusia tidak bisa hidup adanya pengaruh lingkungan seperti nelayan
membutuhkan ekosistem yang mendukung mata pencahariannya, berupa air laut
yang tidak tercemar, habitat yang tidak terganggu, luasan area tangkapan yang
luas. hal ini lingkungan memiliki posisi penting bagi kehidupan manusia dan tidak
dapat dilepaskan. Upaya yang dilakukan nelayan diantaranya; melindungi nelayan
pada persoalan yang membuat tekanan kepada mereka dari adanya konflik sumber
daya di perairan pesisir dan laut dangkal atas terjadinya kerusakan; Perwakilan
dari kelompok nelayan mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga
berbadan hukum seperti LBH (Lembaga Bantuan Hukum); pihak FL mengajukan
tuntutan kepada perusahaan atas kerusakan lingkungan.

Kata kunci: Pembangunan PLTU, Hak Atas Lingkungan, Nelayan, Gerakan,


Lingkungan
KATA PENGANTAR
Assalamu’aaikum Warohmatullahi Wabarakatu

Puji syukur atas kehadirat ilahi rabbi yakni Allah SWT, karena atas rahmat
dan ridho-Nya sematlah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Gerakan Hak Atas Lingkungan (HAL) Nelayan Jepara Utara Terhadap Dampak
Pembangunan PLTU PT. Bhumi Jati Power”. Penyusunan skripsi ini
dimaksudkan untuk memenuhi persyarakat memperoleh gelar sarjana Sosiologi
pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya dengan
peminatan Sosiologi Lingkungan.
Terselesaikannya penyususnan skripsi ini tidak terlepas dari masukan dan
arahan dari Bapak Lutfi Amiruddin, S.Sos., M.Sc. sebagai dosen pembimbing
penulis. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih sebesar besarnya
kepada beliau yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan telaten.
Sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas akhir skripsi ini dengan baik.
Selain ucapan terimakasih untuk Dosen Pembimbing, penulis juga menyampaikan
terimakasih kepada orang orang yang sudah menemani dan mengisi kegiatan
bersama penulis selama masa perkuliahan di Universitas Brawijaya, diantaranya
meliputi:
1. Terima kasih kepada orang tua, Ayah Drs. Dwi Wahyono, Mama
Muryanah dan Maulidiya Fadhillah Tsaniah sebagai adik kandung atas
dukungan moril dan materil
2. Terima kasih kepada Bapak Ali Maksum, M.Ag., M.Si. selaku Ketua
Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Brawijaya atas pelayananan akademik dan pembelajaran yang diterima
penulis selama menempuh pembelajaran di Jurusan Sosiologi.
3. Terima kasih kepada Dano Purba selaku dosen Sosiologi atas ilmu dan
wawasan, informasi dengan penulis selama mengikuti mata kuliah Kajian
Masyarakat Peisisr.
4. Terima kasih kepada jajaran Bapak Ibu Dosen Jurusan Sosiologi FISIP UB
Khususnya Mbak Genta, Pak Arief, Mbak Uca, Pak Selamet Thohari, Pak
Wayan, Mas Dano dan lainnya atas ilmu yang telah diberikan untuk
penulis selama perkuliahan jenjang S-1 Jurusan Sosiologi FISIP UB
5. Terima kasih kepada Pak Wagisri atas bantuannya untuk waktu dan
kesempatannya, serta relasi untuk penulis saat turun lapang dan
pengambilan data
6. Terima kasih kepada pak Sholikul atas bantuannya untuk waktu dan
kesempatannya serta relasi untuk penulis saat turun lapang dan
pengambilan data
7. Terima kasi kepada Pak Eko, Bu Yayuk, Pak Nanang, Pak Wawan sebagai
informan yang telah meluangkan waktunya dan memberikan informasi
serta pengetahuan kepada penulis mengenai penelitian Gerakan Hak Atas
Lingkungan Nelayan Tehadap Dampak Pembangunan PLTU.
Daftar Isi

LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................................... 2

PERNYATAAN....................................................................................................................... 3

ABSTRAK............................................................................................................................... 4

KATA PENGANTAR............................................................................................................. 5

DAFTAR ISI........................................................................................................................... 7

BAB I...................................................................................................................................... 9

PENDAHULUAN.................................................................................................................... 9

1.1 LATAR BELAKANG...................................................................................................................9


1.2 RUMUSAN MASALAH....................................................................................................15
1.3 TUJUAN PENELITIAN.....................................................................................................15
1.4 MANFAAT PENELITIAN.........................................................................................................15
1.4.1 Manfaat akademis...........................................................................................................15
1.4.2 Manfaat Praktis..........................................................................................................16

BAB II................................................................................................................................... 17

TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................................... 17

2.1 PENELITIAN TERDAHULU.....................................................................................................17


2.2 LANDASAN KONSEPTUAL.....................................................................................................21
2.2.1 Kelompok Nelayan..........................................................................................................21
2.2.2 Hak Atas Lingkungan.....................................................................................................26
2.2.3 Pembangunan PLTU......................................................................................................27
2.3 LANDSAN TEORI: GERAKAN SOSIAL BARU MENURUT RAJENDRA SINGH............................29
2.4 ALUR BERFIKIR....................................................................................................................33
...................................................................................................................................................34

BAB III.................................................................................................................................. 35

METODE PENELITIAN...................................................................................................... 35

3.1 JENIS DAN PENDEKATAN PENELITIAN..................................................................................35


3.2 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN........................................................................................37
3.3 TEKNIK PEMILIHAN INFORMAN............................................................................................38
3.4 TEKNIK PENGUMPULAN DATA.............................................................................................38
3.4.1 Observasi........................................................................................................................38
3.4.2 Wawancara.....................................................................................................................39
3.4.3 Dokumentasi...................................................................................................................39
3.5 JENIS SUMBER DATA.......................................................................................................39
3.5.1 Data Primer................................................................................................................40
3.5.2 Data Sekunder............................................................................................................40
3.6 UJI KEABSAHAN DATA.................................................................................................41
3.6.1 Credibility.......................................................................................................................41
3.7 TEKNIK ANALISIS DATA......................................................................................................42

BAB IV.................................................................................................................................. 43

GAMBARAN UMUM........................................................................................................... 43

4.1 DEGRADASI PESISIR UTARA JAWA.......................................................................................43


4.2 DINAMIKA KELOMPOK NELAYAN........................................................................................48
4.3 KERUSAKAN PERUSAHAAN PENGHASIL ENERGI...................................................................55
4.3.1 AMDAL ( Analisis Mengenai Dampak Lingkungan)..............................................................58

BAB V................................................................................................................................... 60

PEMBAHASAN DAN HASIL............................................................................................... 60

5.1 GERAKAN SOSIAL BARU NELAYAN MEMPERJUANGKAN HAK ATAS LINGKUNGAN.............60

BAB VI.................................................................................................................................. 91

PENUTUP............................................................................................................................. 91

6.1 KESIMPULAN........................................................................................................................91
6.2 SARAN..................................................................................................................................92

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................ 93
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan PLTU di Kabupaten J yang dijalankan PT. BJP memberikan

dampak pada kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan tercermin dari

aktivitas pengerukan dasar laut dan pembuangan material keruk untuk

perluasan pembangunan. Dampak yang ditimbulkan dari aktivitas pengerukan

dasar laut dan pembuangan material keruk, memberikan kerusakan dan

jatuhnya batu bara di laut sehingga terjadi abrasi pantai. Berdasarkan data

yang ditunjukan Walhi Jateng, bahwa terdapat aktivitas pengerukan dasar laut,

pengerukan terumbu karang sepanjang 4 km yang dilakukan PLTU TJB untuk

jalan transportasi yang menghubungkan dermaga kapal tongkang pengangkut

batu bara dengan industrial PLTU berpengaruh penting terhadap ekosistem

pesisir dan terumbu karang yang termasuk elemen penting ekosistem pesisir,

sebagai tempat hidup ikan, dan juga berperan sebagai pemecah gelombang

(Nazaruddin, 2018).

Pembangungan PLTU itu menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan

berupa pengerukan yang berupa lumpur, pasir, batuan yang berpengaruh

penting terhadap ekosistem pesisir, dan terumbu karang juga termasuk salah

satu bagian elemen terpenting dalam ekosistem pesisir, sebagai tempat hidup

ikan, juga berperan sebagai pemecah gelombang. Hal ini didukung oleh data

yang diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Angga at.al (2015)

bahwa pembangunan PLTU Tanjung Jati B Jepara menunjukkan suhu air laut

yang diakibatkan limbah bahan PLTU meningkat sampai 34 derajad selsius


dan menyebar sampai 4.709 meter. Sumber kegiatan berupa Flue Gas

Desulfurization (FGD) pada sistem sea water wetscrubber, tidak ditetapkan

parameter logam berat sama sekali, minimnya parameter logam berat dari

pada PLTU Tanjung Jati B unit 5 dan 6 dan peraturan yang ada menyebabkan

logam berat masuk ke laut dalam jumlah yang tidak terkontrol. Sehingga

memberikan ancaman pada kualitas air laut, ikan, dan juga kesehatan manusia

(Angga, 2015).

Kerusakan lingkungan merupakan dampak dari pembangunan PLTU PT.

Bhumi Jati Power, sehingga wilayah tempat nelayan bekerja terdampak akibat

adanya pembangunan PLTU. Berdasarkan hasil wawancara menunjukkan

bahwa dampak yang diterima menyasar pada bidang lingkungan. Adapun

dampak yang ditimbulkan yaitu kualitas habitat laut yang ada didalamnya

seperti menurun produksi ikan-ikan akibat tersedot kedalam wather intake,

rusaknya jaring-jaring akibat kapal tongkang yang melintas di kawasan

penebaran jaring nelayan, pengerukan dan pembuangan material keruk pasir

laut dan rusaknya terumbu karang akibat pengerukan dan pembuangan

material pasir laut (Sh, 2021). Berdasarkan kerusakan lingkungan yang

diperoleh nelayan mendorong mereka untuk memperjuangkan Hak Atas

Lingkungan (HAL). Fakta temuan pada dokumen AMDAL yaitu

ketidaksesuaian penulisan batas lokasi pembangunan di lapangan, tidak

dimasukkan keberadaan wilayah terumbu karang di Perairan Pantai Bayuran.

Jumlah perahu yang dimiliki oleh nelayan, dan letak pangkalan nelayan yang

tidak dicantumkan dalam dokumen. Pada uji kelayakan AMDAL, forum

nelayan meminta perusahaan agar membenahi AMDAL agar dilakukan


penanganan untuk memperbaiki kerusakan lingkungan di Perairan Pantai

Bayuran.

Kelompok nelayan FL merupakan organisasi masyarakat sejak tahun 1995

dan telah diformalkan oleh pemerintah sejak tahun 2015. Kelompok ini

bersifat profesi, non politik dan independen yang beranggotakan 1800 nelayan

yang tersebar pada berbagai kecamatan di Kabupaten J. Kelompok nelayan FL

berperan sebagai wadah bagi para nelayan untuk berkoordinasi serta

menyampaikan aspirasi nelayan, dan bertanggung jawab untuk mengurus

permasalahan nelayan ketika terjadi kendala di lapangan. Eksistensi kelompok

nelayan FL difokuskan pada pendampingan yang bergerak untuk melindungi

kesejahteraan nelayan, perlindungan lingkungan di seluruh perairan

Kabupaten J. Forum tersebut juga berupaya melakukan perbaharuan

komitmen dan cita-cita, serta meletakkan dasar tujuan perjuangan

organisasinya. Organisasi FL merupakan kelompok nelayan yang tergolong ke

dalam jenis nelayan kecil, mereka bekerja dan mencari ikan di sepanjang

perairan Kabupaten J

Respon perusahaan atas tuntutan yang telah diusulkan oleh Kelompok

nelayan FL mendapatkan respon baik dari perusahaan untuk merencanakan

salah satu tuntutan pembuatan pemecah gelombang Pantai B agar tidak terjadi

abrasi akibat pengerukan (Driging) dan pembuangan material (Dumping).

Berdasarkan hasil wawancara, belum ada alasan yang jelas dari perusahaan

mengenai realisasi pembangunan pemecah gelombang untuk pencegahan

abrasi di Pantai B. Menurutnya, kelompok nelayan FL akan terus mengawal

hingga tuntutan yang diajukan terealisasi, serta pembenahan dokumen


Analisis Dampak Lingkungan yang hingga saat ini belum dilakukan

pembenahan agar dapat dilakukan pebenahan serta terus memperjuangkan hak

nelayan untuk mendapatkan keadilan atas kerusakan yang terjadi (Sh, 2021).

Pemulihan kerusakan lingkungan termaktub dalam Peraturan Menteri

Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 tentang

pemulihan lingkungan hidup sebagai upaya untuk memperbaiki kualitas

lingkungan hidup yang tercemar atau rusak agar kembali pada keadaan semula

sesuai daya dukung, daya tampung dan produkivitas lingkungan atau alih

fungsi pemanfaatan dan relokasi kegiatan sumber pencemaran atau perusakan

lingkungan hidup yang merupakan tanggung jawab penanggung usaha.

Pihak penanggung jawab apabila tidak melaksanakan pemulihan, maka

pemerintah menunjuk pihak ketiga untuk melaksanakan pemulihan

lingkungan dengan beban biaya penanggung jawab usaha tau kegiatan melalui

dana penjaminan pemulihan lingkungan (MENLHK, 2011). Kelompok

nelayan FL menginginkan perusahaan melakukan pemulihan kerusakan

lingkungan yang terjadi akibat pencemaran lingkungan di Perairan Pantai B

oleh PLTU. Hak nelayan yang dirugikan diantaranya secara umum yaitu; a).

Keberlanjutan lingkungan hidup laut dan pesisir; b). Perubahan kebijakan

yang menjamin kesejahteraan Nelayan Tradisonal; c). Kekuatan sosial,

budaya, ekonomi dan kesehatan dalam memperjuangkan hak-haknya.

Banyak penelitian yang dilakukan terkait dengan hak atas lingkungan

terhadap pembangunan PLTU. Akan tetapi masing-masing penelitian

memiliki karakteristik tersendiri terkait dengan objek penelitian baik dari


penyebab kerusakan lingkungan, para pihak yang terlibat, kendala yang

terjadi, kewenangan masing masing para pihak yang terlibat dan langkah

langakah penyelesaian yang ditempuh oleh para pihak terhadap pembangunan

PLTU.

Penelitian terdahulu mengenai fenomena dampak pembangunan telah

dilakukan oleh Bayu Aji Prakoso, Dkk (2020). Penelitian membahas

mengenai permasalahan tentang Evaluasi Dampak Pembangunan Pembangkit

Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tanjung Jati B di Desa Tubanan Kecamatan

Kembang Kabupaten Jepara, yang yang memiliki tujuan penelitian untuk

mengevaluasi dampak yang ditimbulkan dari pembangunan PLTU Tanjung

Jati B di Desa Tubanan tersebut dengan model evaluasi bebas tujuan, model

evaluasi tersebut digunakan untuk mengevaluasi dampak terhaodap aspek–

aspek yang telah ditentukan yaitu individu, organisasional, masyarakat serta

lembaga dan sistem sosial yang terjadi di Desa Tubanan (Prakoso et al., 2016).

Penelitian ini lebih memfokuskan terhadap hak atas lingkungan nelayan

berupa kebijakan yang menjamin kesejahteraan nelayan akibat adanya

pembangunan PLTU, upaya yang dilakukan para pihak baik nelayan,

pemerintah, dan PLTU terhadap kerusakan lingkungan, dan upaya Kelompok

Nelayan memperjuangkan hak atas lingkungan.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan

pendekatan studi kasus untuk mengidentifikasi serta menganalisis tentang

bagaimana upaya nelayan dalam memperjuangkan hak atas lingkungan akibat

dampak pembangunan PLTU di Ds. T, Kecamatan K, Kabupaten J. Upaya

nelayan memperjuangkan hak atas lingkungannya dalam organisasi sosial


yang sederhana dan sistem stratifikasi sederhana setiap individu akan mencoba

menunjukkan nilai bagi kelompok karena kontribusi dalam individu kelompok

berbeda maka mulai berkembanglah perbedaan status. Teori Gerakan Sosial

Baru menurut Rajendra Singh (Oman Sukmana, 2016) memetakan teori

gerakan sosial baru sebagai landasan analisis dengan menggunakan tiga ciri

yang dikemukakan oleh Picardo dan Sigh yakni: (1) Ideologi dan tujuan; (2)

Taktik; (3)Struktur; (4) Partisipan atau aktor;.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan pada latar belakang, maka permasalahan

penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

Bagaimana proses gerakan kelompok nelayan terhadap hak atas lingkungan

(HAL) akibat dampak pembangunan PLTU BJP di Desa T, Kecamatan K,

Kabupaten J?.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dijabarkan

sebelumnya, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis

gerakan nelayan terhadap hak atas lingkungan (HAL) akibat dampak

pembangunan PLTU BJP di Desa T, Kecamatan K, Kabupaten J.


1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat akademis

a) Menambah pustaka ilmu pengetahuan sosiologi terkait dengan hak

atas lingkungan nelayan akibat dampak pembangunan PLTU BJP

Jati Power di Desa T, Kecamatan K, Kabupaten J.

b) Penelitian ini diharapkan mampu mengembangkan ilmu

pengetahuan sosiologi secara umum dan hak atas lingkungan

nelayan akibat dampak pembangunan PLTU BJP di Desa T,

Kecamatan K, Kabupaten J secara khusus.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan deskripsi

informasi mengenai hak atas lingkungan nelayan akibat dampak

pembangunan PLTU BJP di Desa T, Kecamatan K, Kabupaten J.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Berdasarkan penelitian terdahulu mengenai fenomena dampak pembangunan

telah dilakukan oleh Bayu Aji Prakoso, Dkk (2016). Penelitian membahas

mengenai evaluasi dampak pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap

(PLTU) Tanjung Jati B di Desa Tubanan Kecamatan Kembang Kabupaten Jepara,

yang yang memiliki tujuan untuk mengevaluasi dampak yang ditimbulkan dari

pembangunan PLTU Tanjung Jati B di Desa Tubanan tersebut dengan model

evaluasi bebas tujuan, model evaluasi tersebut digunakan untuk mengevaluasi

dampak terhadap aspek–aspek yang telah ditentukan yaitu individu,

organisasional, masyarakat serta lembaga dan sistem sosial yang terjadi di Desa

Tubanan. Keberadaan PLTU Tanjung Jati B memberikan dampak terhadap aspek-

aspek tersebut. Dampak terhadap aspek Individu, dampak yang dirasakan adalah

masyarakat merasakan banyak perubahan seperti perekonomian yang meningkat

dan pendapatan bertambah namum ada yang menjadi keluhan masyarakat seperti

menimbulkan kecemburuan sosial antar warga. Dampak organisasional

memuaskan dan menambah pengalaman setiap kelompok atau organisasi, namun

masih terdapat kecemburuan sosial, seperti yang dirasakan oleh kelompok nelayan

pantai Bayuran. Dampak masyarakat mengalami peningkatan yang baik dalam hal

perekonomian, pendidikan dan keagamaan namun masih terdapat keresahan

dalam aspek lingkungan. Dampak lembaga dan sistem sosial memberikan

pengaruh yang baik kepada lembaga yang ada, namun permasalahan sosial

semakin banyak dan meresahkan masyarakat. Berdasarkan permasalahan yang


terjadi, langkah yang ditempuh adalah penghijauan dan pembuatan peraturan.

(Prakoso et al., 2016).

Terkait relasi nelayan dengan proses pembangunan PLTU juga diteliti oleh

Hapsari dan Ayunita tentang presepsi dan aspirasi nelayan dalam perencanaan

pembangunan PLTU. Penelitian ini membahas tentang presepsi dan aspirasi

nelayan persepsi dan aspirasi nelayan terhadap rencana pembangunan pltu di

Kawasan Konservasi Laut Daerah (Taman Pesisir) Ujungnegoro Kabupaten

Batang. Tujuan penelitian Hapsari dan Ayunita untuk mengkaji peraturan

mengenai pengelolaan KKLD, mengkaji persepsi dan aspirasi nelayan terhadap

rencana pembangunan PLTU di Kawasan KKLD serta menganalisis hubungan

antara partisipasi masyarakat nelayan dalam pengelolaan KKLD dengan persepsi

masyarakat nelayan terhadap rencana pembangunan PLTU. Hapsari dan Ayunita

menemukan bahwa wilayah pesisir Kabupaten Batang terdapat program

pengelolaan wilayah pesisir yang dikenal dengan nama Kawasan Konservasi Laut

Daerah Ujungnegoro. Pada tahun 2015 sedang direncanakan akan dibangun PLTU

di pantai Ujungnegoro Kabupaten Batang, yang merupakan PLTU terbesar di

Indonesia bahkan Asia Tenggara. Munculnya rencana pembangunan PLTU di

wilayah KKLD Ujungnegoro-Roban menimbulkan polemik di kalangan

masyarakat. Hasil temuan Hapsari dan Ayunita bahwa peraturan KKLD yang

mengalami 3 kali perubahan mulai dari penetapan Kawasan Konservasi Laut

Daerah Ujungnegoro-Roban Kabupaten Batang yang ditetapkan melalui SK

Bupati Batang Nomor 523/283/2005 dan diperbaharui menjadi Nomor

523/306/2011 kemudian terakhir ditetapkan sebagai pencadangan kawasan taman

pesisir Ujungnegoro – Roban dan sekitarnya di Kabupaten Batang melalui SK


Bupati Batang Nomor 523/194/2012 diduga sebagai upaya untuk melancarkan

proyek PLTU, karena dengan SK tahun 2012 tersebut, maka kawasan yang akan

dibangun PLTU bukan lagi kawasan konservasi laut. Mayoritas responden

nelayan Ujungnegoro dan Roban (98%) menyatakan pembangunan PLTU tidak

mungkin diimplementasikan dengan baik dan akan berdampak negatif bagi

nelayan. Lebih lanjut partisipasi nelayan dalam pengelolaan KKLD tidak

berpengaruh pada persepsi nelayan terhadap rencana pembangunan PLTU.

Nelayan yang cukup aktif maupun yang tidak berpartisipasi aktif dalam

pengelolaan KKLD mempunyai persepsi negatif terhadap rencana pembangunan

PLTU (98% responden) (T.D. Hapsari, 2015).

Sementara itu terdapat hubungan antara pengelolaan sumberdaya laut dengan

kemiskinan nelayan. Mengenai hal ini temuan Royandi menggambarkan bahwa

sumber daya yang berkelanjutan sangat penting bagi kepentingan semua

masyarakat di Indonesia terutama nelayan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

kemiskinan nelayan dan masalah keberlanjutan sumber daya di Pelabuhanratu,

pertama, masyarakat nelayan di Pelabuhanratu masih memiliki ikatan

ketergantungan pada tengkulak dengan sistem ekonomi moral, sehingga proses

pembelian hasil tangkapan nelayan masih ditentukan oleh tengkulak untuk

harganya. Kedua, adanya aktor di luar nelayan seperti aktor pengelola Pembangkit

Listrik Tenaga Uap (PLTU) Pelabuhanratu yang memberikan pengaruh kepada

proses pengelolaan sumber daya laut di Pelabuhanratu (Royandi, 2019).

Pramanik. Dkk juga menemukan bahwa terdapat keterkaitan antara dampak

perizinan PLTU Batang dengan kemajuan ekonomi (Pramanik et al., 2020).

Parmanik menemukan bahwa pembangunan PLTU Batang memberikan dampak


positif bagi perkembangan masyarakat sekitar, namun berbeda jika dampak

tersebut dilihat dari aspek lingkungan. Aspek lingkungan adanya pembangunan

PLTU tersebut dapat menyebabkan dampak buruk dalam aspek lingkungan.

Pembangunan PLTU Batang yang dapat membuka lapangan pekerjaan

masyarakat yang mana efektifitas dan tingkatan pendapatan meningkat secara

signifikan tetapi adanya pembangunan PLTU tersebut dapat menyebabkan

dampak buruk alam aspek lingkungan. Dampak yang ditimbulkan meliputi

terjadinya polusi udara akibat dari penggunaan batu bara yang digunakan sebagai

bahan bakar utama. Selain itu limbah dreadging menjadi permasalahan utama

bagi para nelayan yang berdampak pada hasil mata pencaharian nelayan sehari-

hari yang semakin berkurang akibat dari pembangunan PLTU Batang.

Peningkatan perekonomian yang dihasilkan oleh pembangunan PLTU tersebut

tidak serta merata dihasilkan oleh seluruh masyarakat setempat.

Keempat penelitian terdahulu yang menjelaskan mengenai pembangunan

PLTU memberikan dampak kepada masyarakat khususnya nelayan, hadirnya

pembangunan PLTU membuat nelayan merasakan dampak degradasi lingkungan

yang ditimbulkan oleh pembangunan PLTU. Kerugian lingkungan diantaranya

dari adanya pembuangan limbah, ekosistem nelayan yang rusak hingga luasan

area pekerjaan yang hilang menjadi salah satu pembahasan penelitian terdahulu

diatas. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti ini kemudian menghadirkan

keterbaruan berupa analisis sosiologis gerakan hak atas lingkungan nelayan

terdahap dampak pembangunan PLTU menggunakan empat ciri karakteristik

gerakan sosial baru diantaranya; (a) Ideologi; (b) Taktik dan Pengorgasasian; (c)

Struktur; (d) Partisipan atau aktor yang dikemukakan oleh Rajendra Singh.
2.2 Landasan Konseptual

2.2.1 Kelompok Nelayan

Menurut departemen Kelautan dan Perikanan (2002), nelayan

adalah orang yang punyai profesi yang hidupnya bergantung dengan

sumber daya alam laut untuk aktifitas menangkap ikan. berkaitan profesi

yang dimiliki oleh nelayan untuk melakukan aktivitas menangkap ikan di

laut yakni, nelayan memiliki kebebasan menangkap ikan di wilayah

perairan Indonesia, nelayan mendapatkan kebebasan dalam mengolah hasil

tangkapannya, serta nelayan juga mempunyai hak perlindungan dari

pemerintah dan lembaga hukum ketika terjadi masalah pada profesi

ataupun pada tempat mereka dalam menjalankan profesinya. Kebebasan

dalam mengolah hasil diwilayah perairan perlu adanya memperhatikan

daya dukung dan keberlanjutan untuk mengasimilasi wilayah laut, pesisir,

dan daratan dalam segi lingkungan, ekonomi, dan sosial.

Adapun hak perlindungan yang dimiliki oleh nelayan tertuang

dalam definisi hak nelayan. Hak merupakan sesuatu yang dimiliki pada

setiap individu yang berasal dari lahir, tanpanya manusia akan sulit hidup

sebagaimana manusia pada umumnya. Jika dirumuskan hak nelayan

merupakan sesuatu yang dimiliki seorang nelayan yang bergantung dengan

sumber daya laut untuk memenuhi kebutuhannya dan mengelola hasil

diwilayah perairan dengan memperhatikan daya dukung dan keberlanjutan

untuk mengasimilasi wilayah laut, pasir, dan daratan dalam segi

lingkungan, ekonomi, dan sosial dengan mengeksplorasi sumber daya laut

yang menjadi komoditas bagi nelayan untuk mensejahterakan ekonomi


yang sangat menguntungkan untuk dikelola. Hak nelayan juga berhak

untuk mendapatkan perlindungan hukum jika terjadi sesuatu hal yang

berkaitan dengan individu atau komunitas yang berkaitan dengan masalah

pada profesi ataupun pada tempat mereka dalam menjalankan profesinya

(Yono, 2017). Hak nelayan diberikan kepada komunitas atau organisasi

yang bergerak dalam bidang nelayan, dimana komunitas ini menghimpun

para nelayan untuk membentuk sebuah kelompok.

Kelompok memiliki ciri diantaranya terdiri dari dua orang atau

lebih, terdapat interaksi diantara anggotanya, memiliki tujuan, dan

merupakan satu kesatuan, yang berarti memiliki struktur serta pola

hubungan diantara anggotanya dalam mencapai tujuan. Terbentuknya

kelompok, baik formal maupun informal dilatari oleh berbagai alasan,

diantaranya kebutuhan, kedekatan (proximity), ketertarikan, tujuan, dan

ekonomi (Hariadi, 2011). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa

terbentuknya kelompok nelayan didorong oleh kesamaan latar belakang

sosial-ekonomi sebagai nelayan.

Kesadaran kolektif ini sering kali diperteguh dengan kesamaan

latar belakang kehidupan, sikap hidup, perasaan senasib dan sistem nilai

yang dianut, sehingga mendorong hampir keseluruhan anggota komunitas

nelayan merespon berbagai perubahan program pembangunan dan

tekanan-tekanan lain (seperti ketidakpastian hasil tangkapan, jeratan

tengkulak, hutang piutang, dan lainlain) melalui pembentukan

kelembagaan atau kelompok. Menurut Charles (Widodo, 2006) membagi

kelompok nelayan dalam empat kelompok yaitu: a). Nelayan subsisten


(subsistence fishers), yaitu nelayan yang menangkap ikan hanya untuk

memenuhi kebutuhan sendiri. b). Nelayan asli

(native/indigenous/aboriginal fishers), yaitu nelayan yang sedikit banyak

memiliki karakter yang sama dengan kelompok pertama, namun memiliki

juga hak untuk melakukan aktivitas secara komersial walaupun dalam

skala yang sangat kecil. c). Nelayan rekreasi (recreational/sport fishers),

yaitu orang-orang yang secara prinsip melakukan kegiatan penangkapan

hanya sekedar untuk kesenangan atau berolahraga, dan d). Nelayan

komersial (commercial fishers), yaitu mereka yang menangkap ikan untuk

tujuan komersial atau dipasarkan baik untuk pasar domestik maupun pasar

ekspor. Kelompok nelayan ini dibagi dua, yaitu nelayan skala kecil dan

skala besar. Di samping pengelompokkan tersebut, terdapat beberapa

terminologi yang sering digunakan untuk menggambarkan kelompok

nelayan, seperti nelayan penuh untuk mereka yang menggantungkan

keseluruhan hidupnya dari menangkap ikan; nelayan sambilan untuk

mereka yang hanya sebagian dari hidupnya tergantung dari menangkap

ikan (lainnya dari aktivitas seperti pertanian, buruh dan tukang); juragan

untuk mereka yang memiliki sumberdaya ekonomi untuk usaha perikanan

seperti kapal dan alat tangkap; dan anak buah kapal (ABK) untuk mereka

yang mengalokasikan waktunya dan memperoleh pendapatan dari hasil

pengoperasian alat tangkap ikan, seperti kapal milik juragan.

Menurut Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (2020)

kemnuculan organisasi nelayan tingkat lokal, adanya nelayan tingkat lokal

yang berdiri ditinjau dari ,munculnya organisasi nelayan tingkat lokal,


disebabkan adanya kebutuhan pentingnya persatuan di kalangan nelayan

tradisional akibat konflik yang terjadi dengan nelayan besar, perusahaan

perusak lingkungan, maupun pengguna jaring trawl. Hal ini muncul akibat

dari kosongnya kepemimpinan secara organisasi di kalangan nelayan

tradisional karena tidak berfungsinya organisasi nelayan yang sudah ada

maupun tidak sampainya fungsi dan tugas nelayan sepperti KTNA

maupun HSNI (KNTI, 2020).

Dibentuknya organisasi nelayan yang telah terbentuk dari jaman

orde baru yang dikenal sebagai organisasi yang sealu uncul ketika terdapat

“proyek-proyek” bantuan pemerintah khususnya dari Departemen

Kelautan dan Perikanan. Namun, jika nelayan mengalami persoalan dan

tekanan mereka lari jauh menghindar. Adanya konflik sumber daya di

perairan pesisir dan laut dangkal atas terjadinya kerusakan perairan (trawl,

bom, racun), adanya perusahaan tambang (pengeboran, pembuangan

tailing ke laut) sering kali terjadi kepada para nelayan tradisional atas

kegiatan perikanan yang telah merusaknya. Hal ini sedikit peran dari

negara yang memberikan perlindungan dalam membela kepentingan

nelayan tradisional. Dalam hal ini nelayan berharap negara memberikan

perlindungan untuk mereka dalam bentuk regulasi.

Menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang

Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengatur apa yang disebut

dengan HP3 ( Hak Pengusahaan Perairan Pesisir). Pada pasal 16 sampai

dengan pasal 22, HP3 menjadi acuan dalam politik penguasaan pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil. HP3 menjadi “subjek hukum” yang dapat memberikan

bagian dan kolom tertentu dari laut dan pulau kecil disekitarnya. Hal ini

juga menjadi serupa dalam menjalankan organisasi yang dilakukan oleh

Forum Nelayan Jepara Utara yang dibentuk oleh kelompok nelayan Jepara

dengan sejarah terbentuknya Forum Nelayan Jepara Utara (Fornel) yang

dilansir oleh Antara Jateng News yakni organisasi masyarakat sejak tahun

1995 dan telah diformalkan oleh pemerintah sejak tahun 2015

(Nazaruddin, 2018).

Fornel ini bersifat profesi, non politik dan independen yang

beranggotakan 1800 nelayan yang tersebar pada berbagai kecamatan di

Kabupaten J. FL berperan sebagai wadah bagi para nelayan untuk

berkoordinasi serta menyampaikan aspirasi nelayan, dan bertanggung

jawab untuk mengurus permasalahan nelayan ketika terjadi kendala di

lapangan. Eksistensi Kelompok Nelayan FL difokuskan pada

pendampingan yang bergerak untuk melindungi kesejahteraan nelayan,

perlindungan lingkungan di seluruh perairan Kabupaten J. Forum Tersebut

juga berupaya melakukan perbaharuan komitmen dan cita-cita, serta

meletakkan dasar tujuan perjuangan organisasinya. Fornel merupakan

kelompok nelayan yang tergolong ke dalam jenis nelayan kecil, mereka

bekerja dan mencari ikan di sepanjang perairan Kabupaten Jepara

(Nazaruddin, 2018).

Untuk melindungi nelayan pada persoalan yang membuat tekanan

kepada mereka dari adanya konflik sumber daya di perairan pesisir dan
laut dangkal atas terjadinya kerusakan perairan (trawl, bom, racun),

adanya perusahaan tambang (pengeboran, pembuangan tailing ke laut)

sering kali terjadi kepada para nelayan tradisional atas kegiatan perikanan

yang telah merusaknya. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 dapat

menjadi landasan bagi para nelayan untuk melakukan gerakan sosial yang

dapat digunakan oleh kelompok nelayan tersebut.

2.2.2 Hak Atas Lingkungan

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

menyebutkan bahwa seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan

keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan

menupakan anugerah yang wajib dihormati,dijunjung tinggi ,dan

dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi

kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Manusia

sebagai makhluk hidup yang mempunyai hak kebebasan dan tanggung

jawab terhadap lingkungan hidup .

Sedangkan pengertian Lingkungan Hidup menurut Otto

Soemarwoto (I. Ventyrina, 2020) menjelaskan lingkungan hidup

merupakan jumlah semua benda dan kondisi yang ada dalam ruang dan

berpengaruh pada kehidupan manusia. Keberadaan lingkungan

berpengaruh terhadap kehidupan manusia yang saling berhubungan untuk

memberikan timbal balik yang baik dan perlindungan atas kerusakan

yang terjadi.

Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UPPLH termaktub


peraturan yang mengatur ketentuan dan peraturan yang disebut sebagai

hukum lingkungan. Pada ayat 1 sampai dengan 5 pasal 65 dapat

ditentukan bahwa hak-hak yang terkandung di bidang lingkungan hidup

adalah: a) hak untuk menikmati lingkungan hidup yang baik; b) hak untuk

berpartisipasi, dan hak untuk mengakses keadilan guna mewujudkan

lingkungan hidup yang baik; d) hak untuk mengusulkan dan/atau

menentang rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan akan

berdampak terhadap lingkungan hidup; e) memainkan hak atas

perlindungan dan peran pengelolaan lingkungan hidup f) hak untuk

mengajukan pengaduan atas dugaan pencemaran dan/atau perusakan

lingkungan hidup.

2.2.3 Pembangunan PLTU

Menurut Bintoro Tjokroamidjojo (P. Ratnasari, 2020),

pembangunan merupakan suatu proses perubahan sosial berencana,

karena meliputi berbagai dimensi untuk mengusahakan kemajuan

kesejahteraan ekonomi, modernisasi, pembangunan bangsa, kualitas

lingkungan dan bahkan peningkatan kualitas manusia untuk memperbaiki

kualitas hidupnya. Pembangunan memberikan kontribusi bagi masyarakat

dalam memajukan kualitas kesejahteraan ekonomi maupun lingkungan

salah satunya PLTU.

PLTU merupakan Pembangkit Listrik Tenaga Uap yang bertenaga

listrik bersekala besar dengan tenaga penggerak utama adalah uap. Sistem

ini diperoleh dari panas pembakaran dari berbagai sumber bahan bakar,

yang paling umum adalah batubara. Oleh karena itu, PLTU sering disebut
sebagai pembangit listrik termal. Menurut Undang-Undang Republik

Indonesia No. 30 Tahun 2007 dan Undang-Undang Republik Indonesia

No. 30 Tahun 2009 merupakan landasan dasar hukum pembangunan

PLTU pada penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik serta usaha

penunjang tenaga listrik. Pada ayat 9 sampai dengan 11 Pasal 1 Undang-

Undang No. 30 Tahun 2009 bahwa pembangunan menjelaskan

diantaranya yaitu; a) Rencana umum kelistrikan adalah rencana

pengembangan sistem penyediaan tenaga listrik yang meliputi bidang

pembangkitan, transmisi, dan distribusi tenaga listrik yang diperlukan

untuk memnuhi kebutuhan tenaga listrik; b) izin usaha penyediaan tenaga

listrik adalah izin untuk melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk

kepentingan umum c) izin opeasi adalah izin untuk melakukan

penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri.

Rencana pembangunan PLTU tertuang dalam dokumen yang

digunakan untuk memberikan ilmu dan informasi terkait rencana atau

kegiatan yang akan dilaksanakan lingkungan masyarakat yaitu AMDAL.

Menurut UUPLH Nomor 23 Tahun 1997 memberikan pengertian Amdal

sebgai berikut;

“Analisis Mengenai Dampak Lingkungan adalah kajian mengenai

dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang

direncanakan pada lingkungan hidup, yang diperlukan bagi proses

pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau

kegiatan”
Berkenaan dengan AMDAL, pembangunan PLTU mempunyai

dampak tersendiri bagi lingkungan hidup masyarakat. Pembangunan

PLTU memberikan dampak yang terbagi menjadi dua yaitu dampak

positif dan negatif. Keberadaan pembangkit memberikan pengaruh positif

bagi masyarakat, termasuk penyerapan tenaga kerja, peningkatan

ekonomi, bertambahnya penghasilan yang didapatkan oleh mayarakat.

Dampak negatif keberadaan pembangkit kepada masyarakat yaitu

terganggunya kondisi lingkungan hidup sekitar pembangkit PLTU.

2.3 Landsan Teori: Gerakan Sosial Baru Menurut Rajendra Singh

Gerakan sosial dipandang sebagai gerakan yang lahir dari sebuah inisiatif

masyarakat membutuhkan perubahan dalam sistem, kebijakan atau struktur

pemerintah. Gerakan sosial lahir sebagai bentuk respon terhadap masalah orang

tidak ingin dan ingin membuat perubahan dalam semua bidang kehidupan

masyarakat (sosial, politik, lingkungan dan dan masih banyak lagi). Dalam hal ini,

sering ada permintaan perubahan karena melihat kebijakan yang ada tidak sejalan

dengan lingkungan masyarakat yang ada dan bertentangan dengan kepentingan

seluruh masyarakat (Oman Sukmana, 2016).

Menurut Gerakan sosial diklasifikasikan dalam tradisi teoritik studi

tentang gerakan sosial dan dipetakan menjadi tiga yaitu:

1. Klasik

Penelitian tentang massa, kerusuhan, perilaku kolektif, dan

pemberontakan yang dilakukan oleh banyak ahli teori barat tentang

ajaran psikologi sosial klasik dan sejarawan sebelum tahun 1950-

an. Beberapa contoh karya dari aliran ini antara lain "Law of
Imitation" karya G. Tarde (1903), "The Crowd" oleh Gustave Le

Bon (1909), "Group Thinking" oleh William McDougall (1920)

dan E.D. Martin tentang perilaku Claude (1929) berdasarkan studi

tentang perilaku kolektif.

2. Neo-Klasik

Berterkaitan dengan tradisi utama studi gerakan sosial

lama, sebagian besar dirilis setelah tahun 1950-an. Tradisi ini

dibagi lagi menjadi dua model gerakan sosial lama yang berbeda,

yaitu: Fungsionalisme dan model dialektis Marxisme.

3. Gerakan Sosial Baru (New Social Movement)

Gerakan sosial baru tidak sama dengan gerakan sosial lama

(klasik dan neo klasik). Berbeda dengan gerakan sosial lama

(klasik dan neoklasik). Arah gerakan sosial baru dalam dirkursus

ideology yang tidak mempertanyakan kapitalisme, revolusi kelas

dan perjuangan kelas. Pada dasarnya gerakan sosial baru tidak

tertarik untuk mempertanyakan ide-ide revolusioner. Paradigma

ideologis dan orientasi gerakan sosial baru menekankan pada

plurarisme, yaitu melalui anti- Rasisme, anti-nuklir, perlucutan

senjata, feminisme, lingkungan, regionalisme dan Ras, kebebasan

sipil, kebebasan pribadi, dan perdamaian.

Dalam konteksnya, Gerakan Sosial Baru mengajukan

konsep ideologis yang dianggap bahwa masyarakat sipil sedang

menurun dan ruang sosialnya telah dikurangi dan dilemahkan oleh

kontrol negara. Sebuah gerakan sosial baru telah mengubah


paradigma untuk menjelaskan marxisme konflik dan kontradiksi

antara kelas dan konflik kelas. Sehingga gerakan sosial baru

didefinisikan sebagai kinerja gerakan yang non-kelas dan terpusat

kekhawatiran tentang non-materialisme, karena tidak ada definisi

gerakan sosial baru menurut latar belakang kelas, sehingga

mengabaikan organisasi serikat pekerja dan model politik partai,

tetapi melibatkan politik dan tindakan akar rumput. Struktur

gerakan sosial baru didefinisikan oleh beberapa cita-cita, Tujuan,

keinginan, dan orientasi landasan sosial yang beragam (Singh,

2010).

Menurut (Singh, 2010) teori gerakan sosial baru dapat

dicirikan melalui empat bagian yakni;

1) Ideology dan tujuan gerakan sosial baru yang

meninggalkan orientasi ideology gerakan sosial lama.

Gerakan sosial baru menolak asumsi Marxian atas

perjuangan dan pengelompokan yang didasari oleh konsep

kelas. Gerakan sosial lama bertujuan untuk menjatuhkan

posisi negara dan menggantikan dengan kekuatan kaum

ploretar. Sedangkan, gerakan sosial baru merupakan

gerakan yang memposisiskan sebagai patner pemerintah

atau negara untuk menciptakan kehidupan baru yang lebih

baik.

2) Taktik dan pengorganisasian, gerakan sosial baru tidak

mengikuti pengorganisasian seperti serikat pekerja buruh,


atau model politik kepartaian. Namun gerakan sosial baru

lebih memilih sakuran yang berada diluar politik normal

dan menerapkan taktik yakan akan menggangu laju politik

untuk mendapatkan daya tawar politik yang lebih condong

untuk menggunakan demonstrasi yang dramatis.

3) Struktur, gerakan sosial memiliki struktur yang tidak kaku

untuk menghindari bahaya oligarki. Hal ini diwujudkan

dengan adanya upaya rotasi kepemimpinan, voting pada

semua isu, dengan mandat ad hoc yang tidak tetap. gerakan

sosial baru menciptakan struktur yang lebih responsif

terhadap kebutuhan individu, dalam bentuk yang terbuka

dan terdesentralisasi. dan tidak hierarkis.

4) Partisipan atau aktor, munculnya partisipan gerakan sosial

baru berasal dari kelas menengah yang bekerja di sector

ekonomi non produktif yang umumnya adalah kaum

terdidik.

2.4 Alur Berfikir

Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah mengenai Pembangunan PLTU

memberikan kerugian diantaranya; a) menurunnya habitat laut; b) ikan

tersedot kedalam water intake; c) rusaknya jaring dikarenakan kapal

tongkang; d) rusaknya terumbu karang. Dampak yang disebabkan

pembangunan PLTU merugikan hak atas lingkungan nelayan diantaranya; a)

hak menikmati lingkungan yang baik; b) hak partisipasi; c) hak akses keadilan

lingkungan; d) hak usul menentang; e) hak atas pengelolaan lingkungan hidup.


Perspektif Teori Gerakan Sosial Baru menurut Rajendra Singh memetakan

teori gerakan sosial baru sebagai landasan analisis dengan menggunakan tiga

ciri yang dikemukakan oleh Picardo dan Sigh yakni: (1) Ideologi dan tujuan;

(2) Taktik; (3) Struktur; (4) Partisipan atau aktor;. Sudut pandang teori

gerakan sosial baru yang tidak memandang adanya kelas sosial dalam

memperjuangkan dan pengorganisasian serta ideology yang memposisiskan

sebagai patner pemerintah atau negara untuk menciptakan kehidupan baru

yang lebih baik. Serta aktor yang berpartisipasi memahami akan permasalahan

yang terjadi. Kebijakan yang dibuat pemerintah terkait dengan pembangunan

PLTU memberikan kerugian lingkungan dan nelayan baik dari aspek

ekonomi, kesehatan dan moralitas. Adanya kebijakan tersebut kelompok

nelayan memastikan bahwa tanggung jawab perusahaan dan pemerintah dalam

menangani kerugian lingkungan teratasi dengan baik.


Pembangunan PLTU PT.
Kebijakan
Bhumi Jati Power

Dampak Pembangunan

a. kualitas habitat laut


menurun
b. ikan-ikan akibat tersedot
kedalam wather intake,
c. rusaknya jaring-jaring
akibat kapal tongkang
d. rusaknya terumbu
karang akibat
pengerukan dan
pembuangan material
pasir laut

Evaluasi
Hak Atas Lingkungan Nelayan

a) Hak untuk menikmati lingkungan hidup


yang baik
b) Hak partisipasi
c) Hak akses keadilan lingkungan hidup
yang baik
d) Hak usul dan menentang rencana uaha
pada lingkungan hidup
e) Hak atas pengelolaan lingkungan hidup
f) Hak aduan terhadap kerusakan
lingkungan

Perusahaan dan Pemerintah

Kelompok Nelayan

Teori Gerakan Sosial Baru Rajendra Singh


Bentuk gerakan sosial yang Dengan tiga ciri yang dikemukakan yakni
dilakukan oleh kelompok (1) Ideologi dan tujuan; (2) Taktik;
nelayan
(3) Struktur; (4) Partisipan atau aktor.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif suatu aktivitas yang

menempatkan situasi pengamat di dunia yang terdiri dari seperangkat praktik

mengitepretasikan suatu fenomena dan material yang menyebabkan fenomena

tersebut terlihat. Menurut Denzin dan Lincoln dalam (Rusdiana, 2020) Penelitian

kualitatif ini merupakan suatu pendekatan yang membutuhkan intepretatif dan

naturalist dalam mengamati sebuah fenomena dan dituliskan secara apa adanya

dalam konteks kepenulisan. Hal ini berupaya untuk memahami, menafsirkan

fenomena yang diamati yang dibawa orang kedalam sebuah fenomena tersebut.

Penelitian kualitatif menggunakan instrumen yang mana intrumen itu adalah

peneliti itu sendiri dalam memahami situasi sosial yang terjadi secara mendalam,

maka teknik pengumpulan data dilakukan secara induktif berdasarkan fakta yang

ditemukan di lapangan dan kemudian dikonstruksikan menjadi hipotesis atau

teori. Peran peneliti menjadi sangat penting dalam mengitepretasikan fenomena

yang didapat pada lokasi penelitian dengan menjelaskan fenomena tersebut. hal

ini menjadi moral tulisan, kepercayaan, dan kredibilitas dalam memberikan

informasi penelitiannya (Dr. J. R Raco, 2010)

Alasan peneliti menggunakan metode kualitatif dikarenakan peneliti inin

mengetahui dan menganalisis upaya Kelompok Nelayan Jepara Utara dalam

memperjuangkan hak atas lingkungan terhadap dampak pembangunan PLTU

dalam kebijakan yang menjamin kesejahteraan nelayan akibat adanya

pembangunan PLTU,upaya yang dilakukan para pihak baik nelayan, pemerintah,


dan PLTU terhadap kerusakan lingkungan. Fenomena yang menjadi focus

penelitian ini akan dianalisis melaui proses wawancara dengan informan yang

dipilih. Penelitian kualitatif dirasa tepat untuk menguraikan fenomena tersebut

dikarenakan penelitian ini mengedepankan penjabaran yang komprehensif dan

tidak hanya melihat fenomena dari sisi permukaan saja. Selain itu penelitian kali

ini juga berangkat dari realitas yang ada dilapangan. Data yang nantinya diperoleh

akan dianalisis secara induktif seperti dalam logika berfikir penelitian kualitatif.

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi

kasus oleh (Sugiyono, 2016), studi kasus merupakan jenis penelitian kualitatif

secara mendalam tentang individu, kelompok, institusi dan sebagainya dalam

waktu tertentu. Tujuan studi kasus adalah berusaha menemukan makna, meneliti

proses, serta memperoleh pengertian dan pemahaman yang mendalam serta utuh

dari individu, kelompok, atau situasi tertentu. Data studi kasus diperoleh dengan

wawancara, observasi dan mempelajari berbagai dokumen yang terkait dengan

topik yang diteliti. Terkait dengan peristiwa dampak pembangunan PLTU yang

diterima oleh Kelompok Nelayan terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi.

Upaya dan peran pemerintah dan perusahaan sebagai aktivitas dan proses dalam

tanggung jawab kepada nelayan menjadikan pendekatan studi kasus ini dirasa

cocok untuk penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Dengan demikian, akan

diperoleh pemahaman mengenai upaya pemerintah dan perusahaan dalam

menerapkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk menjadi evaluasi lebih lanjut, yang

kemudian dianalisa kembali menggunakan teori yang ada.


3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian yang sedang dilakukan adalah di Rt x Rw x Pantai

Bayuran, Desa Tubanan, Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.

Rt x Rw x Pantai Bayuran dipilih menjadi lokasi penelitian karena dukuh tersebut

berada perbatasan langsung dengan berdirinya pembangunan Pembangkit Listrik

Tenaga Uap PT. BJP. Di mana Dukuh tersebut merupakan dukuh yang juga

terdampak adanya pembangunan PLTU yang mana dampak ini seperti lingkungan

meliputi pencemaran polusi udara yang disebabkan uap pengeluaran dari

cerobong PLTU, pencemaran perairan ketika kapal tongkang memuat batu bara

yang jatuh dan melintasi kawasan perairan, serta rusaknya terumbu karang dan

biota laut. Sehingga, dampak pembangunan tersebut memberikan dampak

terhadap kelompok nelayan atas berkurangnya hasil tangkapan ikan yang mereka

peroleh dari kawasan menjaring mereka, sebab pipa pompa aliran dari Pembangkit

Listrik Tenaga Uap milik PT. BJP ini telah menyedot ikan ikan kecil yang berada

di sekitarnya serta kapal tongkang yang melintasi jalur yang biasa nelayan lewati

untuk menangkap ikan dialami oleh Kelompok nelayan yang ada disana.

Penelitian ini membutuhkan waktu dalam beberapa tahapan, sebagai berikut:

a) Tahap pertama dimulai sejak bulan Oktober 2020 dalam rangka

observasi awal.

b) Tahap kedua adalah pengumpulan data sekunder, terhitung bulan

Februari 2021

c) Tahap ketiga turun lapang penggalian data, dilakukan secara

periodik di bulan April-Mei 2020


3.3 Teknik Pemilihan Informan

Purposive sampling merupakan teknik pengambilan sampel sumber

data dengan pertimbangan tertentu. Informan menjadi sumber informasi

yang mengetahui tentang penelitian yang sedang diteliti, dengan

pertimbangan bahwa merekalah yang paling mengetahui informasi

penelitian. Pemilihan informan dilakukan dengan teknik purposive

sampling atau pemilihan secara sengaja dengan beberapa pertimbangan

(Sugiyono, 2016). Informan yang dimaksud adalah informan yang terlibat

langsung atau informan yang dianggap mempunyai kemampuan dan

mengerti permasalahan terkait hak atas lingkungan terhadap pembangunan

PLTU. Pemilihan informan dalam penelitian ini, diperoleh dengan

melakukan kegiatan wawancara yang dilakukan terhadap tujuh informan

sebagai perwakilan.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

3.4.1 Observasi

Menurut Sugiyono (2016:64) observasi merupakan suatu

cara pengumpulan data dengan melakukan pengamatan langsung dan

pencatatan secara sistematis terhadap objek yang akan diteliti (Sugiyono,

2016). Observasi dilakukan oleh peneliti terkait hak atas lingkungan

nelayan terhadap pembangunan PLTU. Peneliti melakukan observasi

untuk mengumpulkan data pendukung diantaranya wawancara,

dokumentasi, jurnal, penelitian terdahulu yang berkaitan tentang hak atas

lingkungan
3.4.2 Wawancara

Metode wawancara merupakan suatu alat pengumpulan

data yang digunakan dengan instrument lainnya. Tetapi sebagai metode,

wawancara merupakan satu-satunya alat yang diperlukan berpusat pada

informan (responden). Wawancara dalam penelitian kualitatif bersifat

mendalam (in depth interview) (Fuad, 2014). Adapun jenis wawancara

yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu wawancara tidak terstruktur,

dimana pertanyaan yang telah disusun disesuaikan dengan keadaan dan

ciri yang unik dari pemilihan ketujuh informan terkait penelitian hak atas

lingkungan nelayan terhadap dampak pembangunan PLTU.

3.4.3 Dokumentasi

Studi dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data

melalui bahan-bahan tertulis yang diterbitkan oleh lembaga-lembaga yang

menjadi objek penelitian (Fuad, 2014). Baik berupa prosedur, peraturan-

peraturan, gambar, laporan hasil pekerjaan serta berupa foto ataupun

dokumen elektronik. Dalam penelitian ini peneliti akan menggali

dokumen-dokumen terkait hak atas lingkungan nelayan terhadap

pembangunan PLTU.

3.5 Jenis Sumber Data


Teknik pengumpulan data di atas menghasilkan jenis sumber data,

yaitu data primer dan sekunder. Dalam penelitian kali ini terdapat 2 jenis

data yang digunakan oleh peneliti, yaitu data primer dan sekunder. Secara

lebih rincinya peneliti jelaskan sebagai berikut:


3.5.1 Data Primer
Data primer dalam penelitian kali ini diperoleh melalui

proses observasi dan wawancara. Melalui observasi peneliti

memperoleh data dengan melakukan pengamatan terkait kondisi

sekitar pembangunan PLTU dan mengetahui bagaimana tanggapan

masyarakat sekitar pembangunan PLTU. selain itu, hasil observasi

juga bisa dijadikan sebagai alat pembanding untuk mengetahui

keakuratan hasil wawancara yang nantinya akan dilakukan. Melalui

wawancara peneliti dapat menggali informasi secara lebih

mendalam dan mencari kebenaran akan hasil observasi yang telah

dilakukan dengan cara melakukan proses Tanya jawab terkait focus

penelitian dengan informan yang telah dipilih sebelumnya. Peneliti

akan melakukan wawancara kepa pihak terkait hak atas lingkungan

nelayan terhadap pembangunan PLTU.

3.5.2 Data Sekunder

Peneliti menggunakan data sekunder berupa jurnal, buku,

profil desa, dokumentasi foto, dan data statistik, dan dokumen

arsip. Peneliti memanfaatkan dokumen arsip analisis dampak

lingkungan perusahaan PLTU, profil desa, regulasi pemerintah

dinas lingkungan,. Data tersebut dijadikan sebagai data tambahan

untuk mendukung dan memperkuat data primer yang peneliti

kumpulkan sebelumnya.
3.6 Uji Keabsahan Data

Keabsahan data pada dasarnya merupakan unsur yang tidak

terpisahkan dari penelitian kualitatif. Keabsahan data digunakan untuk

membuktikan atau menguji data yang diperoleh merupakan penelitian

yang ilmiah(Sugiyono, 2016). Uji keabsahan data dalam penelitian

kualitatif diantaranya yaitu:

3.6.1 Credibility
Uji Credibility (kredibilitas) merupakan uji kepercayaan

terhadap data hasil penelitian yang disajikan oleh peneliti dengan

tujuan hasil penelitian yang dilakukan tidak diragukan sebagai

karya ilmiah (Sugiyono, 2016). Dalam menguji hasil penelitian

peneliti menggunakan Triangulasi untuk menguji kredibilitas

penelitian guna pengecekan data dari berbagai sumber dengan

berbagai cara dan berbagai waktu. Peneliti menggunakan tiga

jenis triangulasi sumber, teknik, dan waktu. Dalam triangulasi

sumber peneliti akan melakukan pengecekan terhadap data

sumber yang berbeda, yaitu membandingkan jawaban antar

informan yang berbeda, buku, dokumen, arsip. Sementara itu

yang dimaksud triangulasi teknik adalah pengujian data

terhadap sumber yang sama akan tetapu menggunakan teknik

yang berbeda. Misalnya observasi dan wawancara. Dalam

triangulasi teknik apabila terjadi ketidaksesuaian maka peneliti

akan melakukan konfirmasi kepada informan untuk

mendapatkan hasil yang yang paling akurat. Peneliti akan


menemui narasumber dan instansi terkait apabila data yang

dikumpulkan tidak sesuai dan rancu, yang selanjutnya hasil

penelitian menjadi valid.

3.7 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data merupakan proses mencari dan menyusun

secara sistematis data yang diperoleh dari wawancara, catatan lapangan,

dan bahan-bahan lain sehingga mudah dipahami dan dapat diinformasikan

kepada orang lain. Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan

data, menjabarkan data dalam unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam

pola, memilih yang penting dan dipelajari, serta membuat

kesimpulan(Sugiyono, 2016). Tenkik analisis penjodohan pola studi kasus

Robert K Yin dilakukan dengan cara menyiapkan dan mengorganisasikan

data yang telah terkumpul. Penjodohan pola menggunakan logika dengan

membandingkan pola yang didasarkan pada data empiric dan pola yang

dideskripsikan. Menurut Yin apabila kedua pola ini ada persamaan, maka

hasilnya dapat menguatkan validitas internal studi kasus yang sedang

diteliti. Untuk dapat menjelaskan penjodohan pola tersebut, maka peneliti

menggunakan proporsisi empat ciri karakteristik gerakan sosial baru

Rajendra Sigh dengan kenyataan empiris terkait hak atas lingkungan

nelayan terhadap pembangunan PLTU.


BAB IV

GAMBARAN UMUM

4.1 Degradasi Pesisir Utara Jawa

Desa T, Kecamatan K,mKabupaten J secara geografis memiliki luas ±

1.924,23 ha dan berada di 22 kilometer dari Kota J. Desa T merupakan desa yang

memiliki potensi di bidang sumber daya alam meliputi; sungai, laut, sawah atau

bidang pertanian dengan luas 368 hektar dan kawasan industri. Lokasi yang

strategis salah satunya didukung oleh kawasan industri yang berdiri dapat

dimanfaatkan untuk mengembangkan potensi desa yaitu dibidang perekonomian.

Dikutip dari profil Desa T bahwa desa ini merupakan desa energi di wilayah

Kecamatan K, Kabupaten J.

Gambar 1. Peta Desa T


Sumber : Profil Desa T
Secara topografi Desa T terletak di dataran rendah, dan pantai yang dilalui

oleh 2 (dua) sungai. Desa T merupakan kawasan industri seluas bangunan dan

halaman PLTU yang menempati lahan seluas 161,8 ha. Dari total kebutuhan yang

masi memerlukan lahan sebanyak 17 ha (BJP, 2016). Secara alami, ancaman

dampak lingkungan yang diberikan yaitu adanya perubahan iklim yang

disebabkan dari pembangunan industri yaitu dibangunnya Pembangkit Listrik

Tenaga Uap. Di samping itu, aktifitas pembangunan pada tahun 2021, kapasitas

pembangunan PLTU semakin ditingkatkan untuk memenuhi pasokan listrik se-

Jawa dan Bali. Hal ini dapat meningkatkan risiko terjadinya permasalahan

lingkungan seperti pencemaran air laut akibat pembuangan air bahang, dan

jatuhnya batu bara dari kapal tongkang yang melintas; kemudian, dampak

kesehatan yang terjadi ditunjukkan pada penelitian (Shahid et al., 2018).

Hasil penelitan yang dilakukan peneliti menunjukkan pada gambar berikut

bahwa terdapat lalulintas kapal tongkang yang diambil dari pemukiman warga

dapat dijelaskan seperti gambar dibawah ini:

Gambar 2 Lalulintas Kapal Tongkang


Dokumentasi Penulis

Dampak kesehatan diakibatkan dari sebaran Krom Logam dari PLTU pada

pembakaran batu bara yaitu paparan krom dengan kadar (Krom+6) pada fly ash

hasil pembakaran yang berkisar 3-5% di udara ambien terhadap masyarakat

menjadi sumber gangguan penyakit seperti iritasi pernafasan, gangguan pada hati

dan ginjal dengan paparan waktu jangka panjang; dan dampak ekonomi seperti

bergesernya mata pencaharian masyarakat nelayan yang dipengaruhi oleh

pembangunan industri tersebut (BJP, 2016).

Diantaranya penggunaan lahan hutan sebagai pelebaran wilayah

pembangunan industri (alih fungsi lahan), terganggunya kesehatan masyarakat

dari adanya banyaknya debu proyek yang terbawa oleh kendaraan berat ketika

melintasi permukiman warga, terlebih lagi dampak proyek terhadap kualitas air

laut yang menurun. Turunnya kualitas air laut ditunjukkan melalui penelitian dari

(Hutomo et al., 2021) bahwa diperlukannya air laut sebagai bahan pendingin yang

kemudian dialirkan kembali ke laut. Air laut yang digunakan sebagai pendingin

dan kemudian dialirkan kembali ke laut dinamakan limbah air panas yang disebut

dengan air bahang. Air bahang ini memiliki suhu relatif lebih tinggi dari pada

perairan sekitar. Sedangkan dalam penelitian ini menyebutkan bahwa pada

umumnya suhu air buangan tersebut dapat mencapai 400 C.


Hasil penelitan yang dilakukan peneliti mengenai kerusakan ekosistem air

laut meningkatnya suhu air laut yang diakibatkan limbah air panas dijelaskan

seperti gambar dibawah ini:

Gambar 3 Temuan Ikan Mati Di Pinggir


Pantai
Dokumentasi Penulis

Ikan pada gambar 3 ditemukan pada tanggal 18 maret 2021 di lokasi

penelitian, ikan dalam kondisi sudah menjadi bangkai dan tidak dapat dikonsumsi

dan menimbulkan bau yang menyengat di sekitaran pantai dikarenakan ikan yang

sudah membusuk. Menurut salah seorang penjala ikan bahwa ikan banyak yang

mati, diantaranya ikan sembilang.

Merujuk pada peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 8 Tahun 2009

tentang baku mutu air limbah bagi usaha dan kegiatan listrik menyatakan kadar

maksimum suhu buangan dari sumber pendingin adalah 400C. Pembangunan

PLTU yang telah beroperasi sejak tahun 2006 ini telah melakukan penambahan

unit baru yaitu 5 & 6 dengan kapasitas 2 x 1070 MW, hal ini akan menambah

luasan kegiatan operasional dan membutuhkan air laut sebagai pendingin yang
akan dibuang langsung ke badan perairan dengan suhu yang relatif tinggi,

sehingga akan bertambah lagi dampak pembuangan limbah panas akan semakin

meluas (Hutomo et al., 2021).

Sedangkan, kondisi ekonomi yang terjadi berbanding terbalik dengan

kondisi lingkungan. Dimana terdapat dampak positif bagi masyarakat sekitar

kawasan industri yang mendapatkan peluang pekerjaan. Dilansir dalam penelitian

(Regina Lulufani, 2020) bahwa pembangunan PLTU memberikan dampak bagi

masyarakat desa, khususnya Desa T dengan terbentuknya lapangan pekerjaan.

Selain adanya pembangunan PLTU memberikan manfaat bagi masyarakat untuk

menambah pendapatan dari pekerjaan sebelumnya yaitu; sebagai petani dengan

berwirausaha seperti mendirikan rumah makan, menyewakan rumah, atau

mendirikan tempat penginapan (kost) untuk karyawan PLTU dan masyarakat juga

termasuk jadi bagian dari pekerja proyek yang hanya menjadi pekerja kasaran.

Hal ini ditunjukkan dalam data jenis pekerjaan yang terdapat pada profil Desa T

sebagai berikut:
Tabel 1 Jenis Pekerjaan Masyarakat Desa T

Jenis Pekerjaan

1%
Petani
11% Buruh Tani
14%
Nelayan
Peternak
Karyawan Perusahaan Swasta
Buruh Harian Lepas

4%
2%
0
%

Sumber: Profil Desa T (diolah oleh penulis)

Masyarakat Desa T pada tipologi desa T merupakan daerah pesisir atau

nelayan. Berdasarkan data diatas perekonomian berubah dan bergeser menjadi

berbagai jenis pekerjaan yang dapat menambah pendapatan masyarakat dari jenis

pekerjaan atau tipologi sebelumnya.

“... ini tak jelasin, jadikan aku paham. Karena perubahan nelayan
menjadi sangat menipis ditahun ini dikarenakan semenjak ada PLTU yang
pertama, yang kedua karena kedua karena semejak ada PLTU nelayan
yang termasuk nelayan kecil, yang pekerjaannya hanya di wilayah pantai
pantai tersebut, akhirnya kan hasil pendapatnnya mengurang, karena
mengurang dan mengurang akhirnya mereka berfikir,ada PLTU kok engga
ikut kerja di PLTU bagaimana? Soalnya hasilnya sendiri semakin
berkurang kan begitu? akhirnya mereka terakhir bergelut walaupun itu
secara pekerjaan lokal maupun didalam aturan, mereka sesuai dengan
kemampuan masing masing mereka berbondong bondong untuk masuk
bekerja di wilayah PLTU, perubahannya disana, awalnya jumlah nelayan
luar biasa banyak malah sebelum ada PLTU, karena perubahan sangat
menurun itu dari semenjak berdirinya PLTU berjalan karena hasil tangkap
nelayan semua yang kapasitas 2-3 groston kapal mereka itu hasil
tangkapnya mengurang dan mengurang, tidak bisa mencukupi semua
kebutuhan keluarga masing masing, mungkin dalam untuk mendidik anak
kurang mampu akhirnya mereka bergelut untuk msuk PLTU yang uangnya
mudah, perubahannya disana, kalau pegawai desa yang sekarang tidak
bisa menceritakan detil dari awal karena mereka dulunya tidak memegang
pekerjaan di pemerintahan mereka masuk kan baru baru aja kan ngoten,
mungkin kalo ada sesepuh yang masih berdiri kalo pun itu tahu di
pemerintahan desa mungkin bisa cerita, mungkin kan dokumen lama lama
kan sudah hangus”(wawancara dengan Pak W pada tanggal 16 Oktober
2021).

Berdasarkan maksud data dari tabel 1 jumlah nelayan dalam presentase

hanya sebanyak 2 persen perbandingan data yang telah didapatkan dari

Pemerintah Desa dengan jumlah nelayan sebesar 201 orang terhitung hanya laki

laki saja data tercatat pada tahun 2020. Setelah data didalami dengan hasil

wawancara bahwa menurut bapak W

“...perubahannya disana, awalnya jumlah nelayan luar biasa


banyak malah sebelum ada PLTU, karena perubahan sangat menurun itu
dari semenjak berdirinya PLTU berjalan….”
“…kalau pegawai desa yang sekarang tidak bisa menceritakan
detil dari awal karena mereka dulunya tidak memegang pekerjaan di
pemerintahan mereka masuk kan baru baru aja kan begitu, mungkin kalo
ada sesepuh yang masih berdiri kalo pun itu tahu di pemerintahan desa
mungkin bisa cerita, mungkin kan dokumen lama lama kan sudah hangus..”

Artinya sebelum adanya PLTU jumlah nelayan sangat banyak, namun hal ini

jumlah data kelompok nelayan tidak tercatat pada tahun sebelum PLTU itu berdiri.

Menurut bapak W sebagai tokoh masyarakat yang dituakan bahwa pihak pemerintah desa

tidak dapat menjelaskan hal tersebut karena mereka adalah orang orang baru didesa

tersebut.

Karena Desa T merupakan wilayah dibangunnya pembangunanan PLTU,

hal ini disatu sisi pembangunan PLTU memberikan dampak positif terbukanya

lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat masyarakat sekitar, namun disisi lain

menyebabkan beberapa masyarakat beralih profesi. Jika disbanding kan dengan

Berdasarkan data HNSI Tercatat sebanyak 416 Orang nelayan di Desa T pada
tahun 2020, data tersebut diambil dari data pemberian bantuan paceklik tahun

2020. Menurut sekretaris HNSI berdasarkan hasil wawancara bahwa;

“…kami tekan kan bahwa teman teman nelayan itu supaya


percaya diri jadi saat ini itu acapkali tidak percaya diri aku tetep
misuh misuh sebagai yang ada didepan contoh yang paling sering
berhubungan adalah profesi yang ada didalam kartu identitas
njenengan cek kalau ndak percaya sama saya, dari kecil bekerja jadi
nelayan tapi pekerjaan di KTP Wiraswasta ngangelno tarak
pengkhianat itu kalau menurut saya jadi tidak bangga menjadi
profesi sebagai nelayan harusnya kamu bangga yng bisa mencukupi
ikan dilaut didarat itu kamu kenapa kamu nggak bangga jadi
nelayan mindset ini sudah saya bangun sudah dari lama karena
bagaimanapun biasane gengsi profesi membela itu gengsi padahal
profesi mulia menurut saya kan seperti itu…”(EK, 21 Oktober 2021)

Berdasarkan hasil wawancara diatas bahwa nelayan masih mementingkan

gengsi atau tidak percaya diri terhadap profesi yang mereka emban atau yang

tercatat di Katu Tanda Penduduknya bahwa dari kecil mereka sudah melakukan

aktivitas mencari ikan yang berarti sudah dari kecil mereka menjadi nelayan.

Namun ternyata yang tercatat di Kartu Tanda Penduduknya adalah Wiraswasta.

Hal ini juga menjadi salah satu alasan mengapa data yang tercatat di administrasi

desa setempat jumlah nelayan juga menjadi sedikit.

4.2 Dinamika Kelompok Nelayan


Konflik yang terjadi pembangunan PLTU dengan kelompok nelayan yaitu

dampak dari pada pembangunan PLTU diantaranya adalah rusaknya terumbu

karang dikarenakan kapal kerusakan sering beroperasi. Pada tahun 2000 an

terjadi pembangunan unit 1 dan 2, ketika unit 1 dan 2 dibentuk kelompok

nelayan FL sudah berdiri. Akan tetapi walaupun sudah berdiri untuk wakil

atau lembaga, diwakili oleh lembaga nelayan terpusat yaitu HNSI. Saat
proses pembangunan unit 1 dan 2 di awal tahun 2000an itu melibatkan TPI,

namun tidak melibatkan nelayan, peserta juga dengan KUD (Sh, 2 april

2021).

Dalam pembahasan itu terdapat ketentuan apabila terjadi sesuatu terhadap

lingkungan, maka tidak disosialisasikan kepada nelayan, sementara dampak

dari pada PLTU itu cukup besar baik didarat, di laut, maupun di udara.

Dampak yang ditimbulkan dari PLTU tersebut tidak pernah disampaikan baik

dari pihak pengelola, instansi terkait, maupun orang tua sekitar. Akhir tahun

2009 terdapat 60 kasus yang melibatkan tersangkutnya jaring-jaring yang

tidak ramah lingkungan dari kapal-kapal milik nelayan (Sh, 2 april 2021).

Secara sosiologis, masyarakat pesisir berbeda dengan masyarakat agraris

karena perbedaan karakteristik sumber daya yang mereka hadapi. Masyarakat

agraris seperti petani dihadapkan pada sumber daya yang terkendali, yaitu

pengolahan lahan produksi komoditas dengan hasil yang dapat diprediksi.

Sifat produksi ini memungkinkan lokasi produksi secara tetap. Akan tetapi,

karakteristik ini sangat berbeda dengan nelayan. sumber daya yang dihadapi

nelayan masih bersifat open accsess. Karakteristik sumber daya tersebut

harus berpindah-pindah untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar

besarnya, jika terjadi pencemaran pada sumber daya utama masyarakat

nelayan maka pekerjaan mereka akan tergeser sehingga hal ini akan

mematikan mata pencaharian utama sebagai nelayan (Satria, 2015).

Hal ini terjadi pada masyarakat nelayan di Desa T khususnya nelayan di

pantai B yang tergabung dalam Kelompok FL, Kelompok FL dibentuk oleh

para nelayan dengan sejarah berdirinya organisasi masyarakat sejak tahun


1995 dan telah diformalkan oleh pemerintah sejak tahun 2015. FL ini bersifat

profesi, non politik dan independen yang beranggotakan 1800 nelayan yang

tersebar pada berbagai kecamatan di Kabupaten Jepara. FL berperan sebagai

wadah bagi para nelayan untuk berkoordinasi serta menyampaikan aspirasi

nelayan, dan bertanggung jawab untuk mengurus permasalahan nelayan

ketika terjadi kendala di lapangan. Eksistensi Kelompok Nelayan FL

difokuskan pada pendampingan yang bergerak untuk melindungi

kesejahteraan nelayan, perlindungan lingkungan diseluruh perairan

Kabupaten J khususnya pantai bayuran di Desa T. Forum Tersebut berupaya

melakukan perbaharuan komitmen dan cita-cita, serta meletakkan dasar

tujuan perjuangan organisasinya. FL merupakan kelompok nelayan yang

tergolong ke dalam jenis nelayan kecil, mereka bekerja dan mencari ikan

disepanjang perairan Kabupaten J.

FL merupakan kelompok nelayan yang telah terverifikasi melalui

beberapa pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga berbadan hukum

seperti LBH (Lembaga Bantuan Hukum), Pusat Penelitian Lingkungan Hidup

Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas

Diponegoro mengenai pelatihan teknis penilaian analisis mengenai dampak

lingkungan hidup atau AMDAL dari Febuari 2016 hingga 2021 terbitan

amdal yang baru belum terselesaikan. Adanya pelatihan tersebut mereka

dapat memberikan kontribusi terhadap masyarakat nelayan untuk

berkoordinasi serta menyampaikan aspirasi nelayan, dan bertanggung jawab

untuk mengurus permasalahan nelayan ketika terjadi kendala di lapangan.


Adapun kegiatan yang dilakukan FL sendiri menurut susunan organisasi

mempunyai tupoksi masing- masing dalam melaksanakan kegiatan yang

menyangkut kesejahteraan dan memberikan informasi mengenai kerjasama

hingga bantuan yang didapat oleh masyarakat nelayan khususnya FL dari

pemerintah hingga swasta. FL berdiri karena adanya sebuah ancaman

lingkungan yang berasal dari wilayah mereka bekerja atau melaut.

Menurut ketua Fornel yaitu Sholikul menjelaskan bahwa FL bergerak

memperjuangkan hak nelayan ketika terbangunnya pembangunan Pembangkit

Listrik Tenaga Uap Unit 1 dan 2 pada tahun 2006 hingga saat ini tahun 2021

telah melakukan penambahan Unit 5 dan 6. hal ini menjadikan konsen bagi

fornel agar pekerjaan sebagai nelayan yang menjadi mata pencaharian utama

mereka tidak mati khususnya nelayan di Desa T, karena dampak adanya

pembangunan PLTU.

Adanya pembangunan PLTU memberikan dampak terhadap nelayan

seperti rusaknya jaring ikan, tercemarnya air laut akibat tumpahan batu bara,

suhu air laut yang naik akibat pembuangan air bahang yang berpengaruh

terhadap produksi ikan dan biota laut yang ada di dalamnya. Hal ini dapat

ditunjukkan melalui temuan data dari penulis tumpahnya batu bara dan kapal

tongkang yang melintas.


Gambar 4 Kapal Tongkang dan Tumpahan Batu Bara
Dokumentasi Penulis

Pembangunan PLTU yang telah beroperasi sejak tahun 2006 ini telah

melakukan penambahan unit baru yaitu 5 & 6 dengan kapasitas 2 x 1070 MW, hal

ini akan menambah luasan kegiatan operasional dan membutuhkan air laut

sebagai pendingin yang akan dibuang langsung ke badan perairan dengan suhu

yang relatif tinggi, sehingga akan bertambah lagi dampak pembuangan limbah

panas akan semakin meluas dan mengakibatkan dampak bagi biota laut yang ada

di dalamnya. Terlebih produksi ikan yang menurun akibat kualitas air yang

menurun (Hutomo et al., 2021).


Tabel 2: Jumlah Produksi Ikan Laut basah dan Nilainya per Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di
Kabupaten Jepara 2018
Jumlah Produksi Ikan Laut Basah dan Nilainya per
Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Kabupaten Jepara ,
Tabel 5.5. 2018
3
Table Number of Fresh Marine Fishes Production and its
value by Fish Auction Place in Jepara Regency, 2018

Jumlah Produksi Nilai Produksi Ikan


Ikan Value of fishes
TEMPAT PELELANGAN IKAN
Total of fishes production
Fish Auction Place
production (Rp)
(Kg)
(1) (2) (3)

1 Kedungmalang 22 106 760 290 000

2 Panggung 0 0

3 Demaan 40 152 389 320 000

4 Bulu 0 0

5 Ujungbatu/Jobokuto 729 284 9 460 860 000

6 Mlonggo 1 960 29 571 000

7 Bondo 4 812 82 300 000

8 Tubanan 5 621 72 980 000

9 Bandungharjo 0 0

10 Ujungwatu I 0 0

11 Ujungwatu II 2 817 119 850 000

12 Karimunjawa 0 0

2018 806 752 10 915 171 000


1, 10,152,7
2017
420,059 48,000
2, 10,561,3
2016
637,528 72,000
Jumlah / Total
2, 13,631,2
2015
885,420 26,990
1, 10,144,8
2014
921,313 45,080
1, 8,719,0
2013
673,988 42,000

Sumber: Dinas Perikanan Kab.Jepara


Source: Fisheries Service of Jepara Regency

Sumber: BPS Kabupaten Jepara (https://jeparakab.bps.go.id/statictable/2020/03/19/682/jumlah-


produksi-ikan-laut-basah-dan-nilainya-per-tempat-pelelangan-ikan-tpi-di-kabupaten-jepara-
2018.html )

Produksi ikan yang mengalami penurunan yang dapat dilihat dari tahun

2016 hingga tahun 2018 mengalami penurunan produksi ikan. Penurunan ini
berpengaruh pada nilai produksi yang dihasilkan karena adanya kelangkaan atau

turunnya produksi ikan tersebut. Pada tahun 2021 tepatnya juga mengalami

penurunan. Nelayan tidak dapat melaut untuk mencari ikan khususnya nelayan di

pantai B akan sulit melakukan penangkapan ikan disekitar pantai karena perairan

yang biasa mereka tempati untuk mencari ikan telah mengalami perubahan suhu

air laut berasal dari limbah air bahang yang ditunjukkan oleh penelitian dari

(Hutomo et al., 2021).

Hasil wawancara yang dilakukan kepada perwakilan kelompok nelayan

bahwa terdapat sebuah lembaga utama yang membawahi lembaga lain terkait

dengan kepentingan nelayan lembaga tersebut merupakan DPR nelayan. Lembaga

tersebut berfungsi sebagai pihak yang melakukan pengadministrasian nelayan

terkait pendanaan, laporan masalah dilapangan, maupun ide-ide dari pemerintah

terkait, baik pusat maupun daerah. pihak PLTU pernah memberikan anggaran

dana perkelompok berjumlah 100 juta. Tujuan dari pemberian dana tersebut untuk

mengangkat perekonomian nelayan (Sh, 2021).

Pihak DPR nelayan menyampaikan bahwa anggaran tersebut digunakan

pengembangan fasilitas nelayan, yang mana dalam realisasinya membutuhkan

dana tambahan dari para pemakai atau nelayan. terjadi problematika terhadap

dana yang diberikan PLTU tersebut bahwa pihak nelayan beranggapan pemberian

dana tersebut merupakan dana hibah yang sepenuhnya diberikan kepada pihak

nelayan, bukan digunakan untuk pengembangan fasilitas (Sh, 2021).

4.3 Profil Singkat Perusahaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap


PLTU adalah pembangkit dengan tata kelola yang excellent (baik) secara

aman, ramah, dan peduli lingkungan. Dengan bahan bakar batubara


pembangkit listrik tenaga uap ini menghasilkan kapasitas listrik dengan daya

4 x 710 MW Gross 4 x 660 MW Nett. Total kapasitas saat ini menyumbang

sekitar 12 persen dari total kebutuhan listrik Jawa hingga Bali dan merupakan

salah satu objek vital nasional (PLN, 2017).

PLTU T J B merupakan teknologi dalam menangani emisi pembakaran

batubara yaitu dengan FGD (Flue Gas Desulfuration) teknologi ini

menjadikan PLTU T J B mampu memanfaatkan keunggulan keekonomian

batu bara sebagai bahan bakar yang murah namun raman lingkungan,

sehingga PLTU menjadi salah satu PLTU terbaik dunia versi majalah Power

Megazine.

PLTU T J B berhasil mengoptimalisasi pemanfaatan fly ash dan bottom

ash sebesar 90 persen serta pengurangan 126.252 meter persegi konsumsi air

demin setiap tahun. Dengan upaya PLN T J B dapat meraih predikat Proper

Emas dari Kementrian Lingkungan Hidup pada periode 2019. Membuktikan

PLTU dapat dikelola dengan ramah lingkungan dan menjadi standart

pengelola pembangkit bagi PLN (PLN, 2017).

Hasil implementasi program E-Green PLTU T J B yang dicanangkan pada

tahun 2012 dalam mencapai world class service di tahun 2017 melalui

program 5E (Efficient Process, Exellent Performmance, Elegant Atmosphere,

Empowering Community, Estabiling High Trust Culture). PLTU T J B

memiliki 6 unit pembangkit yaitu; PLTU T J B unit 1 dan 2 pengoperasian

dan memelihara unit pembangkit dilakukan oleh PT. TJB Power Service

(TJBS), sedangkan PLTU T J B unit 2 dan 4 pengoperasian dan


memeliharanya dilakukan oleh PT. Komipo Pembangkitan Jawa Bali (KPJB),

dan saat ini telah dibangun PLTU T J B Unit 5 dan 6 yang merupakan

expension dari empat Unit PLTU T J B yang sudah ada, yang membedakan

PLTU T J B unit 5 dan 6 dengan unit 4 unit yang sudah ada adalah

pengelolaannya (BJP, 2021).

Jika PLTU T J B unit 1 dan 2 dan 3 dan 4 dikelola oleh PLN (Persero)

Pembangkitan T J B dengan sistem leasing sedangkan PLTU T J B unit 5 dan

6 dikelola langsung oleh swasta atau dikenal dengan istilah IPP (Independent

Power Producer) perusahaan produsen listik swasta yang dibentuk oleh

konsosium untuk melakukan perjanjian PPA dengan PLN. PPA (Power

Purchase Agreement) adalah perjanjian jual beli tenaga listrik antara

perusahaan produsen listrik swasta (IPP) dan PLN (PLN, 2017).

Menurut Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang

disiapkan oleh PT.Perusahaan Listrik Negara (Persero) (PLN), perusahaan

listrik milik negara Indonesia dan disahkan oleh Kementrian Energi dan

Sumber Daya Mineral (ESDM), kebutuhan listrik di Indonesia pada periode

2015 hingga 2024 yang diperkirakan akan meningkat dari 219,1 TWh pada

tahun 2015 menjadi 464,2 TWh pada tahun 2024, atau tumbuh rata-rata 8,7

persen pertahun. Permintaan di wilayah Jawa hingga Bali sendiri diperkirakan

tumbuh rata-rata 7,8 pertahun untuk periode yang sama (165,4 TWh pada

2015 menjadi 324,4 TWh pada 2024. Tren pertumbuhan serupa juga terlihat

di Sumatera dan Indonesia Timur (BJP, 2021).


Peningkatan kebutuhan listrik di wilayah tersebut didorong oleh tiga faktor

utama, yaitu (i) pertumbuhan ekonomi, (ii) program elektrifikasi dan (iii)

transfer captive power ke jaringan PLN. Pertama, pertumbuhan ekonomi

secara sederhana adalah proses peningkatan output barang dan jasa. Proses

tersebut membutuhkan listrik sebagai salah satu input untuk mendukungnya,

selain input barang dan jasa lainnya. Penggerak pertumbuhan ekonomi ini

adalah peningkatan pendapatan masyarakat yang mendorong peningkatan

permintaan barang/peralatan listrik seperti televisi, AC, lemari es, dll.

Akibatnya, permintaan listrik akan meningkat. Faktor kedua adalah program

elektrifikasi yang sedang diupayakan oleh Pemerintah Indonesia. Dalam

upaya mendukung Pemerintah dalam meningkatkan rasio elektrifikasi, perlu

dilakukan peningkatan pasokan listrik bagi seluruh masyarakat di Indonesia.

Faktor ketiga yang mendorong pertumbuhan permintaan listrik adalah

pergeseran dari captive power akibat tingginya harga BBM (penggunaan

PLTU itu sendiri) (BJP, 2021).

Penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara untuk memenuhi

kebutuhan listrik jangka pendek dengan efektivitas biaya merupakan hal yang

mendasar. Langkah lebih lanjut telah diambil dalam hal legislasi: PLN telah

diminta dalam “Perpres No. 45 Tahun 2014 tentang Penugasan kepada PLN”

untuk mempercepat pembangunan pembangkit listrik menggunakan batu

bara. Dalam konteks ini, keberhasilan pembangunan dan pengoperasian

PLTU Unit 1-4, proyek ini bertujuan untuk memperluas fasilitas yang ada

untuk membangun dua unit baru (“TJB 5&6” atau "Proyek"). Proyek ini

diharapkan dapat memasok listrik tambahan ke jaringan listrik Jawa-Bali


dengan kapasitas 2 x 1000 MW dan dilengkapi dengan teknologi ultra-

supercritical (“USC”) untuk mendapatkan efisiensi yang lebih baik dan emisi

CO2 yang lebih rendah (BJP, 2021).

A. AMDAL ( Analisis Mengenai Dampak Lingkungan)

Izin lingkungan terhadap proyek pembangunan beserta fasilitasnya

dimulai pada tanggal 31 Maret 2017. Izin lingkungan terhadap

proyek lingkungan berupa Laporan Analisis Mengenai Dampak

Lingkungan dan Sosial (“ESIA”, atau “ANDAL” di Indonesia)

dibuat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tujuannya adalah untuk indentifikasi dan penilaian dampak yang

ditinjau dari aspek biologis, fisik sosial dan ekonomi, serta

mengembangkan langkah langakah mitigasi untuk mengurangi

besarnya resiko (BJP, 2016).

Pembangunan PLTU PT. BJP merujuk pada Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2012 tentang izin Lingkungan

pasal 5 angka 1, penyusunan Amdal dituangkan ke dalam dokumen

Amdal yang terdiri atas Kerangka Acuan (KA), Andal, dan RKL-

RPL. Dokumen RKL-RPL mencakup upaya pengelolaan dan

pemantauan komponen lingkungan yang mungkin terkena dampak

yang sama, termasuk tidak hanya dampak yang dapat disimpulkan

secara andal sebagai dampak penting dari hasil proses penilaian yang

komprehensif, tetapi juga untuk berbagai dampak yang disimpulkan.

sebagai dampak tidak penting tetap memerlukan pengelolaan dan


pemantauan dampak lingkungan yang disajikan sebagai dampak

RK/RPL (BJP, 2016).

Pedoman dan standar internasional dari International Finance

Corporation (“IFC”) juga digunakan sebagai patokan untuk

memastikan penerapan praktik terbaik untuk proyek baru. TJB 5 & 6

akan dibangun berdekatan dengan unit eksisting 1 sampai 4, di desa

T, Kecamatan K, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah bagian utara.

Setelah investigasi berbagai alternatif, alternatif perluasan dipilih

karena karakteristik kedalaman laut dan stabilitas arus laut,

ketersediaan batubara dengan harga yang kompetitif, infrastruktur

yang berkembang dengan baik dan relatif mudahnya penyediaan

struktur pengambilan air laut (BJP, 2016).

Untuk proyek perluasan ini, sponsor Proyek, Sumitomo

Corporation, The Kansai Electric Power Co., Inc. dan PT United

Tractors, Tbk, telah mendirikan Perusahaan Proyek, PT Bhumi Jati

Power, yang akan memiliki pabrik tersebut. Perjanjian Jual Beli

Listrik telah ditandatangani antara PT B J P dan PLN, perusahaan

listrik milik negara di Indonesia (BJP, 2021).


BAB V

PEMBAHASAN DAN HASIL

Gerakan Sosial Baru Nelayan Memperjuangkan Hak Atas

Lingkungan

Menurut Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (2020)

kemnuculan organisasi nelayan tingkat lokal, adanya nelayan tingkat

lokal yang berdiri ditinjau dari ,munculnya organisasi nelayan tingkat

lokal, disebabkan adanya kebutuhan pentingnya persatuan di kalangan

nelayan tradisional akibat konflik yang terjadi dengan nelayan besar,

perusahaan perusak lingkungan, maupun pengguna jaring trawl. Hal ini

muncul akibat dari kosongnya kepemimpinan secara organisasi di

kalangan nelayan tradisional karena tidak berfungsinya organisasi

nelayan yang sudah ada maupun tidak sampainya fungsi dan tugas

nelayan sepperti KTNA maupun HSNI (KNTI, 2020).

Kelompok FL memiliki satus badan hukum pada tahun 2015,

status tersebut diperoleh bersamaan dengan penolakan pembangunan

PLTU. Kelompok ini dibentuk oleh para nelayan dengan sejarah

berdirinya organisasi masyarakat sejak tahun 1995 dan telah diformalkan

oleh pemerintah sejak tahun 2015 (Nazaruddin, 2018). Kelompok FL ini

bersifat profesi, non politik dan independen yang beranggotakan 1800

nelayan yang tersebar pada berbagai kecamatan di Kabupaten JA.

Kelompok FL berperan sebagai wadah bagi para nelayan untuk

berkoordinasi serta menyampaikan aspirasi nelayan, dan bertanggung

jawab untuk mengurus permasalahan nelayan ketika terjadi kendala di


lapangan. Eksistensi Kelompok FL difokuskan pada pendampingan yang

bergerak untuk melindungi kesejahteraan nelayan, perlindungan

lingkungan di seluruh perairan Kabupaten J. Forum Tersebut juga

berupaya melakukan perbaharuan komitmen dan cita-cita, serta

meletakkan dasar tujuan perjuangan organisasinya. FL merupakan

kelompok nelayan yang tergolong ke dalam jenis nelayan kecil

(tradisional), mereka bekerja dan mencari ikan di sepanjang perairan

Kabupaten J (Nazaruddin, 2018). Pihak nelayan mendapatkan bantuan

dari Yayasan Pelindungan Indonesia (YAPI), para nelayan medapat

pembinaan mengenai pencegahan dan penyelesaian konflik dari yayasan

tersebut. Selain itu juga para nelayan mendapatkan sertifikat-sertifikat

lokal maupun nasional dari pelatihan yang dilakukan oleh yayasan

tersebut.

Kelompok memiliki ciri diantaranya terdiri dari dua orang atau

lebih, terdapat interaksi diantara anggotanya, memiliki tujuan, dan

merupakan satu kesatuan, yang berarti memiliki struktur serta pola

hubungan diantara anggotanya dalam mencapai tujuan. Terbentuknya

kelompok, baik formal maupun informal dilatari oleh berbagai alasan,

diantaranya kebutuhan, kedekatan (proximity), ketertarikan, tujuan, dan

ekonomi (Hariadi, 2011). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa

terbentuknya kelompok nelayan didorong oleh perbedaan latar belakang

sosial-ekonomi sebagai nelayan atas hadirnya pembangunan PLTU.

Pada penelitian terdahulu yang terakhir yakni penelitian yang

membahas fenomena dampak perizinan pembangunan PLTU Batang bagi


kemajuan ekonomi masyarakat yang mengakibatkan kerusakan

lingkungan oleh (Pramanik et al., 2020) yang membahas tentang adanya

pembangunan PLTU Batang yang memberikan dampak positif bagi

perkembangan masyarakat sekitar, namun berbeda jika dampak tersebut

dilihat dari aspek lingkungan. Penelitian ini bertujuan supaya pemerintah

dapat memberikan solusi supaya dampak positif yang dihasilkan dari

pembangunan PLTU Batang dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat

diwilayah tersebut serta dapat meminimalisir dampak buruk yang

dihasilkan dari pembangunan PLTU tersebut. Pembangunan PLTU

Batang yang dapat membuka lapangan pekerjaan masyarakat yang mana

efektifitas dan tingkatan pendapatan meningkat secara signifikan tetapi

adanya pembangunan PLTU tersebut dapat menyebabkan dampak buruk

alam aspek lingkungan. Dampak yang ditimbulkan meliputi terjadinya

polusi udara akibat dari penggunaan batu bara yang digunakan sebagai

bahan bakar utama. Selain itu limbah dreadging menjadi permasalahan

utama bagi para nelayan yang berdampak pada hasil mata pencaharian

nelayan sehari-hari yang semakin berkurang akibat dari pembangunan

PLTU Batang. Peningkatan perekonomian yang dihasilkan oleh

pembangunan PLTU tersebut tidak serta merata dihasilkan oleh seluruh

masyarakat setempat.

Menurut hasil wawancara terhadap salah satu warga lokal Desa T,

Pantai B, yaitu pak W menyebutkan;

“semenjak awal dua ribu eh 1970 awal proses pltu mau


berdiri mau awal bangun kan seingatku, wong aku di sini, waktu aku
punya anak dari pertama kali unit 1 dan 2 itu, dulu saya belum
mendapatkan kepercayaan masyarakat, masih menekuni menjadi
nelayan lah intinya hanya untuk keluarga, belum ngerti
pemerintahan, karo masyarakat a b c aku belum ngerti, sebab aku
belum ada kepercayaan masyarakat, jadi aku belum begitu paham
banget waktu itu, singatku pekerja swasta masuk lebih banyak di
desa tubanan ikukan semenjak operasi 1 2 kalau tidak salah tahun
2007 awal, jadi kan mulai pekerja datang melamar dan melamar
sesuai kapasitas masing-masing, makanya pekerja pltu masyarakat
tubanan lebih banyak masuk di bidang pekerjaan swasta karena
semejak pltu berdiri, didalam amanat undang undang kan yang selalu
diutamakan kan orang wilayah, umpane kan ngeten contoh, pltu unit
56 semua pekerja karyawan yang didalam naungan surat terkait
bahasane amdal iku mau, ikukan, 10.000 semua pekerja, nek mboten
salah 75% untuk pekerja lokal, yang 25% untuk pekerja kantoran,
lah niku seingate kulo ngioten didalam surat dokumen didalam
RKUPL nek kono kan ono rencana rencana pekerja trus tanggung
jawab perusahaan” (Pak W, 16 Oktober 2021)

Semenjak awal tahun 1970 proses PLTU awal dibangun unit 1

dan 2, hanya saja saat itu belum mendapatakan kepercayaan masyarakat.

Pekerja swasta masuk lebih banyak di Desa T sejak operasi 1 dan 2 pada

awal tahun 2007. Pekerja datang melamar sesuai kapasitasnya masing-

masing, hal ini menjadi sebab masyarakat T lebih banyak masuk pada

bidang swasta. Amanat undang-undang memberikan kesempatan pada

warga yang berdomisili di wilayah tersebut. Contohnya, PLTU unit 5 dan

6 semua pekerja karyawan yang didalam naungan surat terkait atau

AMDAL tertulis 10.000 pekerja, kurang lebih 75 % untuk pekerja lokal,

25 % untuk pekerja kantoran. Dalam surat dokumen RKUPL terdapat

rencana pekerja dan tanggung jawab perusahaan. Tim KPA memiliki

dokumen dan mendapatkan sertifikat menjadi tim penilai AMDAL

jumlahnya 5 orang yang mewakili dari nelayan, tim KPA AMDAL

terdiri 19 orang perwakilan semua masyarakat di wilayah masing masing

yang meliputi; 11 Desa, 3 Kecamatan pada unit 5 dan 6. misinya hanya


mendampingi masyarakat, dan juga terkadang pada karyawan swasta

PLTU

Pihak FL mengajukan tuntutan kepada perusahaan atas kerusakan

lingkungan berupa terumbu karang buatan, hal ini merupakan bagian

daripada program CSR apabila terjadi sengketa lingkungan, selain itu

pihak FL mengajukan tuntutan berupa alat pemecah gelombang. Pihak

FL terus melakukan upaya perlindungan terhadap lingkungan baik

kepada pemerintah daerah maupun kepada pihak perusahaan.

Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tanjung

Jati B di Desa Tubanan Kecamatan Kembang Kabupaten Jepara, hasil

penelitian Prakoso, Dkk menemukan bahwa keberadaan PLTU Tanjung

Jati B memberikan dampak terhadap aspek-aspek tersebut. Dampak

terhadap aspek Individu, dampak yang dirasakan adalah masyarakat

merasakan banyak perubahan seperti perekonomian yang meningkat dan

pendapatan bertambah namum ada yang menjadi keluhan masyarakat

seperti menimbulkan kecemburuan sosial antar warga. Dampak

organisasional memuaskan dan menambah pengalaman setiap kelompok

atau organisasi, namun masih terdapat kecemburuan sosial, seperti yang

dirasakan oleh kelompok nelayan pantai Bayuran. Dampak masyarakat

mengalami peningkatan yang baik dalam hal perekonomian, pendidikan

dan keagamaan namun masih terdapat keresahan dalam aspek

lingkungan. Dampak lembaga dan sistem sosial memberikan pengaruh

yang baik kepada lembaga yang ada, namun permasalahan sosial

semakin banyak dan meresahkan masyarakat. Berdasarkan permasalahan


yang terjadi, langkah yang ditempuh adalah penghijauan dan pembuatan

peraturan.(Prakoso et al., 2016).

Berdasarkan penelitian terdahulu diatas menjadi kontribusi

penelitian yang dilakukan oleh peneliti yaitu gerakan hak atas lingkungan

nelayan terdahap dampak pembangunan PLTU membuat nelayan

merasakan dampak degradasi lingkungan yang ditimbulkan oleh

pembangunan PLTU. Kerugian lingkungan diantaranya dari adanya

pembuangan limbah, ekosistem nelayan yang rusak hingga luasan area

pekerjaan yang hilang.

Dibentuknya organisasi nelayan yang telah terbentuk dari jaman

orde baru yang dikenal sebagai organisasi yang sealu uncul ketika

terdapat “proyek-proyek” bantuan pemerintah khususnya dari

Departemen Kelautan dan Perikanan. Namun, jika nelayan mengalami

persoalan dan tekanan mereka lari jauh menghindar. Adanya konflik

sumber daya di perairan pesisir dan laut dangkal atas terjadinya

kerusakan perairan (trawl, bom, racun), adanya perusahaan tambang

(pengeboran menggunakan Crane Vassel (Kapal Derek), pembuangan

tailing ke laut) sering kali terjadi kepada para nelayan tradisional atas

kegiatan perikanan yang telah merusaknya. Hal ini sedikit peran dari

negara yang memberikan perlindungan dalam membela kepentingan

nelayan tradisional. Dalam hal ini nelayan berharap negara memberikan

perlindungan untuk mereka dalam bentuk regulasi. Kegiatan dapat

ditunjukan seperti gambar berikut;


N

Gambar 5: Kegiatan Kapal Crane Vassel (Kapal Derek) PLTU


Dokumentasi Penulis

Menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang

Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengatur apa yang disebut

dengan HP3 ( Hak Pengusahaan Perairan Pesisir). Pada pasal 16 sampai

dengan pasal 22, HP3 menjadi acuan dalam politik penguasaan pesisir

dan Pulau-Pulau Kecil. HP3 menjadi “subjek hukum” yang dapat

memberikan bagian dan kolom tertentu dari laut dan pulau kecil

disekitarnya. Hal ini juga menjadi serupa dalam menjalankan organisasi

yang dilakukan oleh FL yang dibentuk oleh kelompok nelayan JA

dengan sejarah terbentuknya FL yang dilansir oleh Antara Jateng News

yakni organisasi masyarakat sejak tahun 1995 dan telah diformalkan oleh

pemerintah sejak tahun 2015 (Nazaruddin, 2018).

“Tahun 2019 ketua nelayan dipilih sebagai Komisi Penilaian


Amdal (KPA) pada unit 5 dan 6. Ketua nelayan diberikan tanggung
jawab untuk menjalankan CSR dari kedua perusahaan tersebut.
Realisasi daripada CSR tersebut adalah pada objek penerangan
diberikan kepada seluruh wilayah pangkalan nelayan yang masuk
wilayah kerja fornel dari Kecamatan Mlonggo hingga Donorojo.
Realisasi daripada CSR selain penerangan yaitu Dokking, hal ini
dikarenakan apabila terjadi musim penghujan para nelayan akan
susah untuk membuat perahu, oleh sebab itu ketua nelayan
mengajukan program kepada CSR”(Sh, 2 April 2021).

Menurut hasil wawancara oleh peneliti diatas bahwa Tahun 2016

perwakilan dari fornel dipanggil oleh pihak PLN yang merupakan bentuk

tanggung jawab sosial dari perusahaan atau yang biasa disebut CSR

(Corporate Social Responsibility). PLTU membuat sebuah program yang

disebut Nelayan Bersinar, hal ini merupakan usaha yang ditempuh oleh

FL dalam beberapa tahun terakhir. Program tersebut menjelaskan bahwa

unit 1 dan 2 dibawah pengelolaan PLN yang bekerja sama PT. CJP yang

bertanggung jawab pada unit 3 dan 4. Untuk melindungi nelayan pada

persoalan yang membuat tekanan kepada mereka dari adanya konflik

sumber daya di perairan pesisir dan laut dangkal atas terjadinya

kerusakan perairan (trawl, bom, racun), adanya perusahaan tambang

(pengeboran, pembuangan tailing ke laut) sering kali terjadi kepada para

nelayan tradisional atas kegiatan perikanan yang telah merusaknya (Sh,

2021). Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 dapat menjadi landasan

bagi para nelayan untuk melakukan permintaan pertanggung jawaban

atas berkurangnya wilayah pesisir akibat dampak pembangunan PLTU

yang dapat digunakan oleh kelompok nelayan tersebut.

Pada fenomena diatas dapat dikaitkan dengan ciri dari teori

gerakan sosial baru yaitu Taktik menurut (Singh, 2010) Taktik dan

pengorganisasian, gerakan sosial baru tidak mengikuti pengorganisasian

seperti serikat pekerja buruh, atau model politik kepartaian. Namun

gerakan sosial baru lebih memilih saluran yang berada diluar politik
normal dan menerapkan taktik yang akan menggangu laju politik untuk

mendapatkan daya tawar politik dan lebih condong untuk menggunakan

demonstrasi yang dramatis. Artinya jika pada Tahun 2016 perwakilan

dari kelompok FL dipanggil oleh pihak PLN yang merupakan bentuk

tanggung jawab sosial dari perusahaan atau yang biasa disebut CSR

(Corporate Social Responsibility). PLTU membuat sebuah program yang

disebut Nelayan Bersinar, hal ini merupakan usaha yang ditempuh oleh

FL dalam beberapa tahun terakhir. Program tersebut menjelaskan bahwa

unit 1 dan 2 dibawah pengelolaan PLN yang bekerja sama PT. Central

Jawa Power yang bertanggung jawab pada unit 3 dan 4. Dimana hal ini

merupakan bentuk taktik dari Kelompok FL karena mereka

menggunakan cara tersebut untuk membantu hak dan kewajiban

kepentingan masyarakat nelayan sebagai bentuk tanggung jawab

perusahaan kepada masyarakat terdampak.

Kelompok Fl bersifat profesi, non politik dan independen yang

beranggotakan 1800 nelayan yang tersebar pada berbagai kecamatan di

Kabupaten J. Kelompok ini berperan sebagai wadah bagi para nelayan

untuk berkoordinasi serta menyampaikan aspirasi nelayan, dan

bertanggung jawab untuk mengurus permasalahan nelayan ketika terjadi

kendala di lapangan. Eksistensi kelompok FL difokuskan pada

pendampingan yang bergerak untuk melindungi kesejahteraan nelayan,

perlindungan lingkungan di seluruh perairan Kabupaten J. Forum

Tersebut juga berupaya melakukan perbaharuan komitmen dan cita-cita,

serta meletakkan dasar tujuan perjuangan organisasinya. Kelompok


nelayan FL merupakan kelompok nelayan yang tergolong ke dalam jenis

nelayan kecil, mereka bekerja dan mencari ikan di sepanjang perairan

Kabupaten J (Nazaruddin, 2018). Untuk melindungi nelayan pada

persoalan yang membuat tekanan kepada mereka dari adanya konflik

sumber daya di perairan pesisir dan laut dangkal atas terjadinya

kerusakan perairan (trawl, bom, racun), adanya perusahaan tambang

(pengeboran, pembuangan tailing ke laut) sering kali terjadi kepada para

nelayan tradisional atas kegiatan perikanan yang telah merusaknya.

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 dapat menjadi landasan bagi

para nelayan untuk melakukan permintaan pertanggung jawaban atas

berkurangnya wilayah pesisir akibat dampak pembangunan PLTU yang

dapat digunakan oleh kelompok nelayan tersebut.

Pada fenomena diatas dapat dikaitkan dengan ciri dari teori

gerakan sosial baru yaitu Ideologi dan tujuan menurut (Singh, 2010)

bahwa Ideology dan tujuan gerakan sosial baru yang meninggalkan

orientasi ideology gerakan sosial lama. Gerakan sosial baru menolak

asumsi Marxian atas perjuangan dan pengelompokan yang didasari oleh

konsep kelas. Gerakan sosial lama bertujuan untuk menjatuhkan posisi

negara dan menggantikan dengan kekuatan kaum ploretar.

Sebaliknya, gerakan sosial baru merupakan gerakan yang

memposisiskan sebagai patner pemerintah atau negara untuk

menciptakan kehidupan baru yang lebih baik. Artinya hal ini dapat

menaruh konsepsi ideologis mereka pada asumsi bahwa masyarakat sipil

telah meluruh, ruang sosialnya menyempit, dan aspek masyarakat sipil


telah digerogoti negara. Untuk itu gerakan sosial baru membangkitkan

isu pertahanan diri untuk melawan ekspansi aparatur negara. Oleh karena

itu, untuk melindungi nelayan pada persoalan yang membuat tekanan

kepada mereka dari adanya konflik sumber daya di perairan pesisir dan

laut dangkal atas terjadinya kerusakan perairan (trawl, bom, racun),

adanya perusahaan tambang (pengeboran, pembuangan tailing ke laut)

sering kali terjadi kepada para nelayan tradisional atas kegiatan perikanan

yang telah merusaknya. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 dapat

menjadi landasan bagi para nelayan untuk melakukan permintaan

pertanggung jawaban atas berkurangnya wilayah pesisir akibat dampak

pembangunan PLTU yang dapat digunakan oleh kelompok nelayan

tersebut.

Menurut data yang tersaji bahwa dari 250 resoonden terdapat

78 ,4 % menyatakan setuju terhadap keberadaan PLTU, sedangkan 32%

responden menyatakan tidak setuju terhadap keberadaan PLTU (BJP,

2016). Pengetahuan dan informasi yang didapatkan okeh masyarakat

terhadap rencana pembangunan PLTU masih belum jelas dan masih

simpang siur. Hal tersebut dibuktikan bahwa informasi yang diperoleh

masyarakat hanya pembangunan New Ash Yard. Berdasarkan data

dokumen amdal terdapat paparan pandangan masyarakat terhadap

pembangunan yang terbagi menjadi sembilan desa yang terdampak

sebagai berikut:

1) Desa T, Kecamatan K
Desa yang terdekat dari pembangunan PLTU dan memiliki

topografi pesisir atau tepi laut dengan ketinggian <500m . Menurut

masyarakat, bahwa terdapat dampak positif dan negatif akibat adanya

rencana pembangunana PLTU. Dampak positif adanya pembangunan

PLTU diantaranya: a) terciptanya lapangan pekerjaan baru untuk

masyarakat, sehingga dapat mengurangi pengangguran; b)

Berkembangnya usaha warga lokal seperti warung, kios, warung

hingga persewaan rumah untuk tenaga kerja.

Dampak negatif yang muncul dengan adanya perencanaan

pembangunan PLTU sampai dengan kegiatan operasi PLTU

diantaranya; a) adanya dampak debu dari cerobong yang dapat

menganggu kesehatan masyarakat; b) Adanya dampak peningkatan

suhu lokal; c) Adanya dampak kebisingan dari kegiatan

pembangunan; d) Terganggunya aktivitas nelayan serta hasil

tangkapan yang menurun, khususnya bagi nelayan bayuran.

Harapan yang diinginkan masyarakat kepada PLTU bila

pembangunanan PLTU sudah beroperasi yaitu: a) Dana Kompensasi

untuk kesehatan masyarakat sebagai dampak dari aktivitas

pembangunan PLTU; b) Perapan tenaga kerja lokal sebanyak

mungkin dengan memperhatikan kualifikasi pendidikan dan

keahliannya, dan tetap sebisa mungkin menampung tenaga kerja lokal

(terdapat kuota tenaga kerja lokal); c) Dana kompensasi

pembangunan yang tepat sasaran hingga ke masyarakat lapisan

bawah; d) Masyarakat berharap adanya program pemeriksaan gratis


bagi warga masyarakat desa, serta pemerataan bantuan kambing

kurban yang selama ini telah dilakukan (BJP, 2016).

2) Desa K, Kecamatan K

Desa yang terletak di sebelah barat daya lokasi PLTU terdiri

dari 27 RT dan 6 RW. Letak topografi Desa K yaitu pesisir /tepi laut.

Tanggapan atas rencana pembangunan PLTU diantaranya;

Masyarakat setempat tidak mempersoalkan mengenai rencana

pembangunan PLTU. PLTU hanya perlu memberikan informasi

kepada forum masyarakat dan menjalin huhungan yang baik dengan

masyarakat. Dapat melibatkan masyarakat dilibatkan secara aktif

dalam berbagai kegiatan perusahaaan sehingga dapat memeberikan

manfaat bagi warga setempat diantaranya yaitu, meningkatkan

perekonomian masyarakat desa secara merata, terciptanya lapangan

pekerjaan baru untuk warga, sehingga dapat mengurangi

pengangguran (BJP, 2016).

3) Desa Kn, Kecamatan K

Secara administratif Desa K terdiri dari 44 wilayah RT dan 9

wilayah RW. Letak topografi desa merupakan wilayah dataran,

dengan ketinggian <500m. Secara keseluruhan masyarakat tidak

mempermasalahkan kehadiran pembangunan PLTU karena desa

tersebut berada di sebelah tenggara lokasi PLTU dan jarak yang

cukup jauh dari wilayah pembangunan, namun sebagai gambaran

kekhawatiran masyatakat diantaranya; a) dampak debu cerobong

PLTU yang sangat mungkin terbawa angin kenwilayah Desa; b)


Terjadinya kerusakan jalan yang dilewati oleh kendaraan pengangkut

sisa pembakaran batu bara serta gipsum yang melewati wilayah Desa;

c) Pada saat beroperasinya PLTU, hanya sebagian kecil warga yang

dapat mengakses pekerjaan di PLTU dikarenakan persyaratan yang

belum dapat terpenuhi oleh warga; d) Masyarakat berharap program

pemeriksaan gratis bagi warga masyarakat Desa, serta pemerataan

bantuan kambing kurban yang selama ini terlaksanakan.

Harapan masyarakat atas dibangunnya PLTU yaitu

terserapnya angkatan kerja dan memberikan kesempatan kerja bagi

masyarakat agar nantinya dapat berpartisipasi dan terlibat dalam

proses pembangunan PLTU (BJP, 2016).

4) Desa B, Kecamatan K

Merupakan desa yang terdampak di sisi sebelah selatan.

Topografi Desa B merupakan wilayah pesisir/tepi laut, dengab

ketinggian <500m. Secara administrasi desa terbagi menjadi 28

wilayah Rt dan 6 wilayah Rw. Kehawatiran masyarakat terhadap

rencana pembangunan PLTU diantaranya: a) terjadinya polusi udara

akibat aktivitas operasi PLTU. selain kehawatiran, terdapat beberapa

hal positif dengan adanya rencana pembangunan PLTU yang

diberikan oleh masyarakat diantaranya; b) adanya investasi besar yang

masuk ke wilayah mereka yang akan mempengaruhi perekonomian

secara umum, berkembangnya sektor perekonomian desa khususnya

disekitar wilayah pembangunan PLTU; c) Tenaga kerja lokal dapat

terserap dalam kegaitan konstruksi dengan jumlah yang banyak


Harapan yang diminta masyarakat terkait kemungkinan terjadi

adanya dampak aktivitas PLTU diantaranya; a) PLTU dapat bekerja

sama dengab pihak desa untuk memberikan kesempatan untuk warga

desa yang memiliki potensi dan minat bekerja di PLTU pada saat

kegiatan konstruksi. Memberikan itikad baik PLTU untuk menampung

tenaga kerja yang berasal dari desa sekitar dalam proses membangun

konstruksi yang sangat dinantikan masyarakat. Sehingga dapat

menghilangkan kurangnya pemerataan kerempataan kerja yang

selaama ini pemerintah desa masih dirasa minim; b) Apabila dampak

yang dirasakan masyarakat sebagai akibat adanya aktivitas

pembangunan dan operasi PLTU, hendaknya perusahaan memberikan

kompensasi kepada masyarakat yang terdampak berupa dana

kompensasi yang diberikan masyarakat khususnya untuk

pemeliharaan jalan dilalui sebagai lalu lintas kendaraan proyek; c)

Masyarakat berharap adanya program pemerikasaan gratis bagi warga

desa, serta pemerataan bantuan kambing kurban yang selama ini telah

dilakukan (BJP, 2016).

5) Desa W, Kecamatan B

Merupakan desa dengan wilayah administrasi yang terdapat 29

RT dan 11 RW. Letak topografi desa merupakan wilayah dataran,

dengan ketinggian <500 m terletak di sebelah barat lokasi

pembangunan PLTU. Secara unum warga tidak keberatan akan

hadirnya pembangunan PLTU diwilayah desa tersebut, namun terdapat

beberapa hal yang harus diperhatikan adar realisasi pembangunan


PLTU dapat berjalan sesuai dengan rencana dan tidak berdampak

munculnya resistensi masyarakat diantaranya: a) Dampak cerobong

agar diperhatikan supaya tidak berdampak pada masyarakat sekitar; b)

Pemerataan tenaga kerja baik tahap konstruksi maupun operasi

diharapkan dapat mencakup tenaga kerja dari desa.

Harapan masyarakat terkait kemungkinan dampak yang

ditimbulkan dari adanya aktivitas pembangunan PLTU diantaranya: a)

Perekrutan tenaga kerja baik tahap konstruksi maupun operasi

diharapkan dapat mencakup tenaga kerja desa; b) Tidak terjadi

pencemaran udara akibat dari cerobong PLTU; c) Masyarakat berharap

adanya program pemeriksan gratis bagi warga masyarakat desa, serta

pemerataanbantuan kambing kurban yang selama ini terlaksanakan

(BJP, 2016).

6) Desa J, Kecamatan B.

Letak desa yang berada disisi selatan PLTU yang dilewati jalur

distribusi aliran listrik berupa SUTET dari PLTU ke jalur distribusi

utama Listrik Jawa-Bali. Memiliki 33 RT dan 20 RW dengan letak

topografi desa yang merupakan wilayah dataran. Adanya wacana

pembangunan PLTU ini memberikan pandangan dan harapan pada

masyarakat diantaranya; a) Pemerataan recruitment tenaga kerja baik

sat konstruksi dan operasional PLTU nantinya; b) Pemerataan bantuan

yang selama ini telah dilakukan oleh PLN/PLTU terutama saat

bantuan hewan kurban harap lebih tetap sasaran dan merata untuk

setiap desa yang berdampak; c) Kontruksi pelaksanaan diharapkan


dapat menampung sebanyak mungkin tenaga kerja, dikarenakan

pemerintah desa menyadari bahwa kualitas pendidikan SDM desaya

yang masih relatif rendah (BJP, 2016).


7) Desa KD, Kecamatan B.

Secara administratif desa memilki 21 wilayah RT dan 6

wilayah dan memiliki topografi desa yaitu wilayah dataran, dengan

ketinggian kurang lebih 500m wilayah desa berada di sisi barat PLTU,

menurut masyarakat adanya pembangunan PLTU sevara tidak

langsung memenrikan dampak dari rencana pembangunan. Adapun

kekhawatiran dan harapandari masyarakat terhadap dibangunnya

pembangunan PLTU diantaranya: a) Kemunkinan akan terjadinya

polusi udara, karena posisi sebagian wilayah desa berada di sisi barat,

sedangkan pada siang hari angina bertiup ke barat dan barat daya,

sehingga debu dapat dipastikan terbawa angina ke wilayah des; b)

Pemerataan bantuan yang dilakukan PLN/PLTU yaitu bantuan hewan

kurbang yang selama ini terlaksanakan; c) Adanya pemerikasaan gratis

secraa berkala bagi lansia maupun balita di wilayah desa (BJP, 2016).

8) Desa Bn, Kecamatan B

Letak topografi desa yang merupakan wilayah pesisir/atau tepi

laut, dengan ketinggian <500m. rencana pembangunan PLTU yang

sudah diketahui oleh sebagian masyarakat desa, meskipun informasi

yang diperoleh masyarakat belum secara jelas dan masih simpang siur

dengan informasi yang diperoleh. Informasi tentang rencana

pembangunan PLTU umumnya diperoleh masyarakat dari mulut

kemulut sehingga masyarakat tidak mengetahui secara jelas informasi

yang lebih detail tentang jenis dan intensitas aktifitas yang dilakukan,.

Maka kehawatiran masyarakat terhadap perencanaan PLTU


diantaranya; a) Bila pembangunan PLTU beroperasi, kemungkinan

terjadi pencemaran udara dari cerobong di wilayah desa; b) Sebagian

angkatan kerja kemungkinan akan terlibat dan bekerja dalam proses

pembangunannya sebagai pekerja kasar atau keamanana. Hal ini

dikarenakan potensi SDM yang memiliki tingkat keahlian dan

pengetahuan yang masih terbatas. Kekhawatiran yang lainya adalah

akan terganggunya aktivitas nelayan pantai bondo pada saat tertenu

serta berkurangnya hasil tangkapan.

Pihak yang bersangkutan harus diakui dan terhormat untuk

mencapai sebuah keselarasan. Konflik akan sering muncul setiap hari di

masyarakat, sebab konflik adalah bagian dari proses sosial dan

mempunyai tempat tertentu di kehidupan bermasyarakat (BJP, 2016).

Tabel 5.1
Penyelesaian Konflik di Wilayah Studi
Penyelesaian Frekuensi Presentase

Konflik

Organisasi Adat 117 46,8

Hukum 4 1,6

Kekeluargaan 72 28,8

Lainnya 57 22,8

Total 250 100,0

Sumber: Pt. CJP, 2015

Menurut data yang tersaji dalam dokumen amdal perusahaan

bahwa penyelesaian konflik lebih banyak dilakukan melalui organisasi

adat dengan jumlah 117 dan nilai paling rendah menggunakan jalur
hukum sebanyak 4. Hal ini dikarenakan struktur lapisan masyarakat lebih

memilih menyelesaikan konflik melalui musyawarah dengan proses

penyelesaian melalui kekeluargaan, baik melalui perantara RT, RW,

maupun Desa. Jika konflik tidak dapat diselesaikan . Maka,

penyelesaiaan dilakukan melalui proses hukum.

Pandangan masyarakat mengenai pembangunan PLTU

dipengaruhi adanya budaya yang masih melekat pada masyarakat adat

jawa dalam menanggapi atau memberi makna serta nilai terhadap

sesuatu. Namun, terdapat sebagaian masyarakat yang mulai

meninggalkan adat budaya yang dipengaruhi oleh adanya pola

modernitas yang berkembang pada saati ini. Sikap yang ditunjukan dari

masyarakat yang telah dipengaruhi oleh pola era kemajuan zaman yang

berkembang terutama pada kaum usia muda dan dewasa yang sudah

cukup terbuka dan paham adanya gejolak politik yang muncul. Namun,

bagi masyarakat pada usia renta mereka tidak memahami kasus politik

yang terjadi terhadap pembangunan PLTU yang memiliki perbedaan

pendapat proses keberadaan pembangunan tersebut.


Tabel 5.2
Tangapan masyarakat Terhadap Keberadaan PLTU
Tanggapan

Jumlah Masyarakat/Reaspons
N
Nama Desa Ring Responde Tidak Kuran Setuju Sanga
o
n Setuj g t

u Setuju Setuju

1 Tubanan I 50 5 5 38 2
2 Kaliaman I 30 1 1 27 1
3 Bondo I 30 4 1 25 0
4 Kancilan II 25 3 0 22 0
5 Balong II 25 6 0 19 0
6 Jerukwangi II 25 4 4 16 1
7 Karanggondan II 25 6 7 12 0
g
8 Wedelan II 25 3 0 22 0
9 Jinggotan III 15 0 0 15 0
Jumlah 250 32 18 196 4
Presentase 12,80 7,20 78,40 1,60
(%)
Sumber: Pt. CJP, 2015

Dalam kaitanya, partisipasi menjadi salah satu ciri yang menjadi

keterkaitan dalam fenomena yang ada, bahwa menurut (Singh, 2010)

Partisipan atau aktor, munculnya partisipan gerakan sosial baru berasal

dari kelas menengah yang bekerja di sector ekonomi non produktif yang

umumnya adalah kaum terdidik. Artinya pengurus Kelompok Nelayan

FL, Nelayan, serta masyarakat sekitar pembangunan PLTU, dan Dinas

Lingkungan menjadi partisipasi atau aktor yang mengklaim dampak

aktivitas pembangunan PLTU. Partisipasi dan aktor ini berbeda dengan

gerakan sosial lama, partisipasi atau aktor dari gerakan sosial baru

berasal dari kelas menengah baru (New Middle Class), dimana sebuah
strata sosial pekerja baru yang muncul dalam sector ekonomi non

produktif. Kategori yang masuk dalam golongan ini diantanranya adalah

seperti mahasiswa, pelaku seni, penjaga took, ibu rumah tangga, petani.

Dan nelayan, masyarakat sekitar pembangunan, serta dinas lingkungan

terkait merupakan salah satu yang termasuk dalam golongan ini.

“perusahaan itu punya air limbah maka pengelolaanya air


limbahnya harus dia sudah harus punya IPAL apakah sekedar IPAL
oh tentunya tidak setidaknya ada sistim yang bisa menurunkan
kulitasnya sampai memenuhi baku mutu, itu upayanya ya mungkin
bagaimana cara tau bahwa itu sesuai dengan baku mutu tidak
mencemari lingkungan? Maka ada pemantauan pemantauan,
pemantauannya apa? Ada ditetapkan titik titik pemetaan, misal titik
outlitenya disini ni harusnya dipriksa sample tiap berapa periode
pemantauan titiknya mana aja ditetapkan dokumen kan juga ada,
berarti kalau sudah dipenuhi nantikan bisa minimalkan kana da
ibaratny itu ada rambu rambunya itu boleh membuang air limbah
setelah ada pengolahan setelah kualitasnya memenuhi baku mutu”
(Yk, 4 Oktober 2021).

Hasil wawancara yang dilakukan peneliti pada DLH mengenai

perusahaan adalah misal perusahaan punya air limbah maka

pengelolaanya harus sudah punya IPAL. Sekedar IPAL tentunya tidak

ada sistem yang bisa menurunkan kulitas sampai memenuhi baku mutu.

Hal Tersebut merupakan upaya mengetahui baku mutu tidak mencemari

lingkungan. Maka ada pemantauan dengan menetapkan titik-titik

pemetaan, seperti titik outlitenya harus diperiksa samplenya pada tiap

periode pemantauan berdasarkan dokumen. Hal ini berarti apabila sudah

memenuhi rambu-rambunya dibolehkan membuang air limbah setelah

ada pengolahan kualitas memenuhi baku mutu. Pihak DLH menjelaskan

bahwa standar baku mutu air limbah mengikuti peraturan yang berbeda,

DLH mengacu pada Peraturan Daerah Provinsi, dan yang bersifat


nasional. Hal ini berarti mengacu pada Kementrian Lingkungan Hidup.

Pihak kepala bidang PPLH menjelaskan bahwa dalam 6 bulan sekali

dilakukan evaluasi oleh aktivitas perusahaan mengenai pembangunan

PLTU terkait dengan dampak lingkungan, sosial, aktivitas perusahaan

PLTU, limbah, dan lainya. Sebuah hasil evaluasi tersebut disusun dalam

bentuk dokumen yang diberikan kepada DLH (Yk, 4 Oktober 2021).

Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UPPLH termaktub

peraturan yang mengatur ketentuan dan peraturan yang disebut sebagai

hukum lingkungan. Pada ayat 1 sampai dengan 5 pasal 65 dapat

ditentukan bahwa hak-hak yang terkandung di bidang lingkungan hidup

adalah: a) hak untuk menikmati lingkungan hidup yang baik; b) hak

untuk berpartisipasi, dan hak untuk mengakses keadilan guna

mewujudkan lingkungan hidup yang baik; d) hak untuk mengusulkan

dan/atau menentang rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan

akan berdampak terhadap lingkungan hidup; e) memainkan hak atas

perlindungan dan peran pengelolaan lingkungan hidup f) hak untuk

mengajukan pengaduan atas dugaan pencemaran dan/atau perusakan

lingkungan hidup.

“.. kita menemukan fakta yang sebenarnya apa dilapangan


yaitu dari pada terjadi dilapangan misalanya ada, kadangkan
memang dia tidak melanggar lingkungan asalkan pengelola
lingkukan pun sudah dilakukan tapi kurang pas, kurang pas itu bisa
berarti mungkin dia kemampuannya memang segitu atau dia taunya
seperti itu, kan gitu si, walaupun memang ini kita bicara yang punya
dokumen nggeh , dokumen itukan sudah jelas tapi kan kenyataannya
mereka tidak membaca secara benar dah punya dokumen lah kaya
gitu aja jadi ya ketidak tahuan atau memang kemampuannya baru
segitu, atau memang dia memang tidak melakukan, masa bodoh gitu,
ya terus kemudian kita melakukan pembinaan dipelaku usaha
tersebut, kita lihat progressnya, dia ada itikad baik ndak, istilahnya
ada upaya untuk memperbaiki, meningkatkan . kita juga minta
pengertian sama pengadu misalnya, misal kok nggak langsung 100
persen teratasi kemarin kan udah di proses. Yang penting ada
progress ada itikad baik dari pelaku usaha tersebut untuk
memperbaiki kinerjanya, tentunya kita kasih jangka waktu ya,
kadang kadangn juga perbaikan lingkungannya memang perlu dana
juga kan kita juga sifat kita kan juga pembinaan mana yang ng
belum, apalagi yang masih kmjm ya, mebel gitu kan dimasyarakat
kita sendiri.” (Yk, 4 Oktober 2021).

Pihak DLH menjelaskan bahwa tahapan terhadap keluhan itu

dapat diatasi atau tidak berdasarkan informasi dari satu pihak akan tetapi

dilakukan keterkaitan fakta yang sebenarnya dilapangan yaitu yang

terjadi dilapangan misalanya terkadang memang tidak melanggar

lingkungan apabila pengelola lingkukan sudah dilakukan tetapi tidak

tepat, hal ini berarti mungkin keterbatasan pada kemampuannya yang

punya dokumen. Walaupun dokumen sudah jelas akan tetapi

kenyataannya mereka tidak membaca secara benar. ketidaktahuan pelaku

usaha pada dokumen maka dilakukan pembinaan dan dilihat progressnya

dari aspek itikad, upaya untuk memperbaiki, meningkatkan. Pihak DLH

juga meminta pengertian kepada pengadu apabila tidak teratasi langsung

100 persen, dikarenakan membutuhkan proses dan progres dari pelaku

usaha. Hal ini tentunya membutuhkan jangka waktu, terkadang perbaikan

lingkungan membutuhkan dana dan juga proses pembinaan (Yk, 4

Oktober 2021).

Gerakan Sosial Baru mengajukan konsep ideologis yang dianggap

bahwa masyarakat sipil sedang menurun dan ruang sosialnya telah

dikurangi dan dilemahkan oleh kontrol negara. Sebuah gerakan sosial


baru telah mengubah paradigma untuk menjelaskan marxisme konflik

dan kontradiksi antara kelas dan konflik kelas. Sehingga gerakan sosial

baru didefinisikan sebagai kinerja gerakan yang non-kelas dan terpusat

kekhawatiran tentang non-materialisme, karena tidak ada definisi

gerakan sosial baru menurut latar belakang kelas, sehingga mengabaikan

organisasi serikat pekerja dan model politik partai, tetapi melibatkan

politik dan tindakan akar rumput. Struktur gerakan sosial baru

didefinisikan oleh beberapa cita-cita, Tujuan, keinginan, dan orientasi

landasan sosial yang beragam (Singh, 2010). Hak perlindungan yang

dimiliki oleh nelayan tertuang dalam definisi hak nelayan. Hak

merupakan sesuatu yang dimiliki pada setiap individu yang berasal dari

lahir, tanpanya manusia akan sulit hidup sebagaimana manusia pada

umumnya. Jika dirumuskan hak nelayan merupakan sesuatu yang

dimiliki seorang nelayan yang bergantung dengan sumber daya laut

untuk memenuhi kebutuhannya dan mengelola hasil diwilayah perairan

dengan memperhatikan daya dukung dan keberlanjutan untuk

mengasimilasi wilayah laut, pasir, dan daratan dalam segi lingkungan,

ekonomi, dan sosial dengan mengeksplorasi sumber daya laut yang

menjadi komoditas bagi nelayan untuk mensejahterakan ekonomi yang

sangat menguntungkan untuk dikelola.

Menurut data yang terdapat dalam dokumen amdal bahwa proses

disosiatif yang dilakukan antara masyarakat dengan pihak yang berkaitan

yaitu melalui dua prinsip yang menuntut bahwa dalam segala bentuk

interaksi konflik yang terbuka harus dicegah dengan melihat situasi


pangkat dan kedududkan.Berkenaan dengan AMDAL, pembangunan

PLTU mempunyai dampak tersendiri bagi lingkungan hidup masyarakat.

Pembangunan PLTU memberikan dampak yang terbagi menjadi dua

yaitu dampak positif dan negatif. Keberadaan pembangkit memberikan

pengaruh positif bagi masyarakat, termasuk penyerapan tenaga kerja,

peningkatan ekonomi, bertambahnya penghasilan yang didapatkan oleh

mayarakat. Dampak negatif keberadaan pembangkit kepada masyarakat

yaitu terganggunya kondisi lingkungan hidup sekitar pembangkit PLTU.

“…pelaku usaha biar bisa melakukan usahanya karena


namanya pelaku usaha itu ada ee apa namanya adaa dia membantu
membuka lapangan pekerja, berartikan mengurangi pengangguran,
kemudian PAD karena kan kita juga perlu adanya usaha usaha itu
meningkatkan ekonomi lah kaya gitu bagaimana ini bisa seiring
berjalan dengan disini kita melihat lingkungan secara umum nggeh,
masayakat itu kn bagian dari lingkungan entah itu sebenarnya
masyarakat itu kadang kadang kan saya lebih suka ngomong
lingkungan karenamsyarakat itu kadang pengaduan itu diakui enggak
kadang ada tendensi tendensi tertentu, misalnyaada perselisihan atau
kurang klop masyarakat ini yang mewakili o ada pencemaran ini kan
kita lihat itu tadi urgensinya kalau ini misalnya sudah melakukan
rambu rambu dan melakukan pemantauan disitu ada domkumennya
yang di temukan kemudian masyarakat diberikan sesuatu yang lebih
dari itu itu kita mediasi dimana perusahaan masih bisa nggak? Ini
misalnya ada intinya tepo sliro lah gimanasih masyarakat ini
kepinginnya seperti ini kaarena dari suatu daerah dengan daerah
yang lain itu kadang-kadang beda tidak bisa disamakan, disana
misalanya jejeran sama finsishing aja diem diem aja disana itu
banyak yang diem aja kenapa saya direcokin katanya itu karena
memang karakternya yang beda beda, karakter msyarakatnya yang
juga beda, itu yang kita jembatani gitu. Ta kadang ya lancer, kadang
juga, sekarang gini kalau kita kepengennya itu sesuai dengan SOP
itu pengaduan itu hendaknya semua itu tidak semua masuk langsung
ke kabupaten atau lanjut ke provinsi atau lanjut ke presiden. Kalau
maslahnya masi dengan satu rt misalnya lewatlah RT dulu wong
namanya masyarakat, bermasyarakat itu mbok sedulur gitu ya ada
jenjangnya rt nggak bisa, baru ke kepala desa, karena kadang kadang
kita itu terima pengaduan sedangkan pemerintah setempat tidak
mengetahui” (Yk, 4 Oktober 2021).
Pihak DLH menjelaskan bahwa mereka hanya menjembatani

pelaku usaha untuk melakukan usahanya karena membantu membuka

lapangan pekerja. Hal ini berarti mengurangi pengangguran, kemudian

memerlukan adanya usaha meningkatkan ekonomi dengan melihat

lingkungan secara umum. masyarakat merupakan bagian dari lingkungan

dikarenakan masyarakat memberikan pengaduan baik diterima atu tidak

diterima dengan tendensi tertentu. Misalkan terjadi perselisihan dengan

masyarakat terkait dengan pencemaran dilihat urgensinya, apabila sudah

sesuai dengan rambu-rambu dan melakukan pemantauan maka harus

disertai dokumen. kemudian masyarakat diberikan sesuatu pilihan

mediasi dengan perusahaan ataukah tidak. Biasanya masyarakat

melakukan (tepo sliro) mengenai keinginannya, hal ini jelas berbeda

dengan daerah yang lain dan tidak bisa disamakan. SOP terkait dengan

pengaduan hendaknya tidak semua masuk ke kabupaten atau lanjut ke

provinsi maupun ke presiden. Apabila problermatika bisa diselesaikan

melalui RT maka diselesaikan lewat RT. Terdapat jenjang yang harus

ditempuh untuk menyelesaikan masalah diantaranya RT, Kepala Desa,

dikarenakan terkadang adanya pengaduan sedangkan pemerintah

setempat tidak mengetahui. Nelayan juga berhak untuk mendapatkan

perlindungan hukum jika terjadi sesuatu hal yang berkaitan dengan

individu yang berkaitan dengan masalah pada profesi ataupun pada

tempat mereka dalam menjalankan profesinya (Yk, 4 Oktober 2021)

Menurut (Singh, 2010) terdapat salah satu ciri dari gerakan sosial

baru yaitu struktur. Gerakan sosial memiliki struktur yang tidak kaku
untuk menghindari bahaya oligarki (kekuasaan yang terdiri dari beberapa

individu elit, keluarga, atau perusahaan yang diizinkan untuk mengontrol

sesuatu). Hal ini diwujudkan dengan adanya upaya rotasi kepemimpinan,

voting pada semua isu, dengan mandat ad hoc yang tidak tetap. gerakan

sosial baru menciptakan struktur yang lebih responsif terhadap kebutuhan

individu, dalam bentuk yang terbuka dan terdesentralisasi. dan tidak

hierarkis. Artinya gerakan sosial baru berupaya untuk membangun

struktur yang merefleksikan bentuk pemerintahan representative yang

mereka inginkan. Singkatnya mereka menyerukan dan menciptakan

struktur yang lebih responsif kepada kebutuhan individu, yakni struktur

yangterbuka, terdesentralisasi, dan non-hierarkis.

Dapat dikaitkan dengan fenomena yang ada bahwa adanya sebuah

peraturan yang menjadi landasan hukum adanya pembangnan PLTU

seperti peraturan berdirinya PLTU , Peraturan Pemerintah, serta Amdal

yang mendorong kempok nelayan FL untuk mengklaim kerugian yang

dialami oleh nelayan untuk mampu memberikan kritik atau mengubah

mekanisme hukum terkait pembangunan PLTU dalam bentuk evaluasi

yang diberikan kepada pihak terkait atas kerugian yang dialaminya.

Karena hal ini termuat dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2009.

Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UPPLH termaktub

peraturan yang mengatur ketentuan dan peraturan yang disebut sebagai

hukum lingkungan. Pada ayat 1 sampai dengan 5 pasal 65 dapat

ditentukan bahwa hak-hak yang terkandung di bidang lingkungan hidup


adalah: a) hak untuk menikmati lingkungan hidup yang baik; b) hak

untuk berpartisipasi, dan hak untuk mengakses keadilan guna

mewujudkan lingkungan hidup yang baik; d) hak untuk mengusulkan

dan/atau menentang rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan

akan berdampak terhadap lingkungan hidup; e) memainkan hak atas

perlindungan dan peran pengelolaan lingkungan hidup f) hak untuk

mengajukan pengaduan atas dugaan pencemaran dan/atau perusakan

lingkungan hidup.

Dalam konteksnya, Gerakan Sosial Baru mengajukan konsep

ideologis yang dianggap bahwa masyarakat sipil sedang menurun dan

ruang sosialnya telah dikurangi dan dilemahkan oleh kontrol negara.

Sebuah gerakan sosial baru telah mengubah paradigma untuk

menjelaskan marxisme konflik dan kontradiksi antara kelas dan konflik

kelas. Sehingga gerakan sosial baru didefinisikan sebagai kinerja gerakan

yang non-kelas dan terpusat kekhawatiran tentang non-materialisme,

karena tidak ada definisi gerakan sosial baru menurut latar belakang

kelas, sehingga mengabaikan organisasi serikat pekerja dan model politik

partai, tetapi melibatkan politik dan tindakan akar rumput. Struktur

gerakan sosial baru didefinisikan oleh beberapa cita-cita, Tujuan,

keinginan, dan orientasi landasan sosial yang beragam (Singh, 2010).

Karena yang dituntut oleh kelompok FL adalah hak atas Sumber

Daya Alam, maka gerakan yang dilakukan dapat dikategorikan sebagai

gerakan lingkungan. Gerakan lingkungan merupakan bagian gerakan

sosial baru karena manusia dan lingkungan mempunyai keterkaitan satu


sama lain. Gidden menyatakan bahwa gerakan sosial adalah suatu upaya

kolektif untuk mengejar suatu kepentingan bersama melalui tindakan

kolektif (collective action) diluar lingkup lembaga-lembaga yang mapan

(Suharko, 2006). Seperti yang dilakukan oleh kelompok FL kepada

nelayan untuk menuntut hak atas lingkungan nelayan terhadap

pembangunan PLTU agar wilayah mereka bekerja tidak hilang

dikarenakan semakin melebarnya pembangunan di area tempat bekerja

nelayan untuk mencari ikan. Sebab manusia tidak bisa hidup adanya

pengaruh lingkungan seperti nelayan membutuhkan ekosistem yang

mendukung mata pencahariannya, berupa air laut yang tidak tercemar,

habitat yang tidak terganggu, luasan area tangkapan yang luas. hal ini

lingkungan memiliki posisi penting bagi kehidupan manusia dan tidak

dapat dilepaskan.

Secara sosiologis, masyarakat pesisir berbeda dengan masyarakat

agraris karena perbedaan karakteristik sumber daya yang mereka miliki.

Masyarakat agraris seperti petani dihadapkan pada sumber daya yang

terkendali, yaitu pengolahan lahan produksi komoditas dengan hasil yang

dapat diprediksi. Sifat produksi ini memungkinkan lokasi produksi secara

tetap. Akan tetapi, karakteristik ini sangat berbeda dengan nelayan.

sumber daya yang dihadapi nelayan masih bersifat open accsess.

Karakteristik sumber daya tersebut harus berpindah-pindah untuk

mendapatkan keuntungan yang sebesar besarnya, jika terjadi pencemaran

pada sumber daya utama masyarakat nelayan maka pekerjaan mereka


akan tergeser sehingga hal ini akan mematikan mata pencaharian utama

sebagai nelayan (Satria, 2015).

Adapun upaya gerakan lingkungan yang dilakukan nelayan untuk

mendapatkan hak atas lingkungan terhadap dampak pembangunan PLTU

diantaranya adalah; melindungi nelayan pada persoalan yang membuat

tekanan kepada mereka dari adanya konflik sumber daya di perairan

pesisir dan laut dangkal atas terjadinya kerusakan perairan (trawl, bom,

racun), adanya perusahaan tambang (pengeboran, pembuangan tailing ke

laut) sering kali terjadi kepada para nelayan tradisional atas kegiatan

perikanan yang telah merusaknya. Undang-Undang Nomor 27 Tahun

2007 dapat menjadi landasan bagi para nelayan untuk melakukan

permintaan pertanggung jawaban atas berkurangnya wilayah pesisir

akibat dampak pembangunan PLTU yang dapat digunakan oleh

kelompok nelayan tersebut.; Perwakilan dari kelompok nelayan

mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga berbadan hukum

seperti LBH (Lembaga Bantuan Hukum), Pusat Penelitian Lingkungan

Hidup Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat

Universitas Diponegoro mengenai pelatihan teknis penilaian analisis

mengenai dampak lingkungan hidup atau AMDAL dari Febuari 2016

hingga 2021 terbitan amdal yang baru belum terselesaikan. Adanya

pelatihan tersebut mereka dapat memberikan kontribusi terhadap

masyarakat nelayan untuk berkoordinasi serta menyampaikan aspirasi

nelayan, dan bertanggung jawab untuk mengurus permasalahan nelayan

ketika terjadi kendala di lapangan; serta pihak FL telah mengajukan


tuntutan kepada perusahaan atas kerusakan lingkungan berupa terumbu

karang buatan, hal ini merupakan bagian daripada program CSR apabila

terjadi sengketa lingkungan, selain itu pihak FL mengajukan tuntutan

berupa alat pemecah gelombang. Pihak FL terus melakukan upaya

perlindungan terhadap lingkungan baik kepada pemerintah daerah

maupun kepada pihak perusahaan.

Hal ini terjadi pada masyarakat nelayan di Desa T khususnya

nelayan di pantai B yang tergabung dalam Kelompok FL, Kelompok FL

dibentuk oleh para nelayan dengan sejarah berdirinya organisasi

masyarakat sejak tahun 1995 dan telah diformalkan oleh pemerintah

sejak tahun 2015. Kelompok ini bersifat profesi, non politik dan

independen yang beranggotakan 1800 nelayan yang tersebar pada

berbagai kecamatan di Kabupaten J. Kelompok FL berperan sebagai

wadah bagi para nelayan untuk berkoordinasi serta menyampaikan

aspirasi nelayan, dan bertanggung jawab untuk mengurus permasalahan

nelayan ketika terjadi kendala di lapangan. Eksistensi kelompok nelayan

FL difokuskan pada pendampingan yang bergerak untuk melindungi

kesejahteraan nelayan, perlindungan lingkungan diseluruh perairan

Kabupaten J khususnya pantai bayuran di Desa T. Forum Tersebut

berupaya melakukan perbaharuan komitmen dan cita-cita, serta

meletakkan dasar tujuan perjuangan organisasinya. FL merupakan

kelompok nelayan yang tergolong ke dalam jenis nelayan kecil, mereka

bekerja dan mencari ikan disepanjang perairan Kabupaten J (Sh, 2 April

2021).
BAB VI

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Kesimpulan mengenai proses gerakan kelompok nelayan terhadap hak atas

lingkungan (HAL) akibat dampak pembangunan PLTU BJP di Desa T,

Kecamatan K, Kabupaten J diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Pemerintah daerah yang memiliki peran dan tanggung jawab untuk

pemenuhan hak atas lingkungan yang baik sebaiknya melakukan

pembenahan mulai dari norma hukum yang ada. Dari segi substansi

hukum yang sebelumnya disebutkan bahwa sebenarnya seluruh pengaturan

PLTU telah memberi jaminan terhadap perlindungan dan pemenuhan hak

atas lingkungan yang baik.

2. Adanya sebuah peraturan yang menjadi landasan hukum adanya

pembangnan PLTU seperti peraturan berdirinya PLTU, Peraturan

Pemerintah, serta Amdal yang mendorong kempok nelayan FL untuk

mengklaim kerugian yang dialami oleh nelayan untuk mampu memberikan

kritik atau mengubah mekanisme hukum terkait pembangunan PLTU

dalam bentuk evaluasi yang diberikan kepada pihak terkait atas kerugian

yang dialaminya.

3. Gerakan hak atas lingkungan nelayan terhadap dampak pembangunan

PLTU menjadi bentuk gerakan sosial yang dilakukan oleh kelompok

nelayan yang dianalisis menggunakan empat ciri karakteristik gerakan

sosial baru oleh Rajendra Sigh diantaranya; ; (a) Ideologi; (b) Taktik dan

Pengorgasasian; (c) Struktur; (d) Partisipan atau aktor.


6.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas, adapun saran dari

peneliti sebagai berikut:

1. Memberikan masukan terhadap pemerintah dan perusahaan terkait

mekanisme, sistem hukum pembangunan yang ramah lingkungan. Hal ini

menjadi penting bagi masyarakat pembangunan PLTU untuk

mengupayakan pembangunan yang ramah lingkungan. Sehingga

masyarakat melalui pembangunan ramah lingkungan ini menjadi tidak

terganggu adanya permasalahan dampak pembangunan PLTU yang

mengakibatkan setiap terjadi kendala terhadap masyarakat nelayan sekitar

pembangunan PLTU tidak terus melakukan penggantian rugi yang

berlebihan.

2. Diharapkan pemberian ganti kerugian oleh pihak perusahaan kepada

nelayan yang terdampak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan

keadilan. Hal ini menjadi penting supaya masyarakat nelayan tidak

kehilangan pekerjaannya atas terjadinya dampak pembangunan PLTU

yang tejadi di sumber tempat mata pencaharian utamanya dan supaya

keberadaan nelayan terus tetap ada untuk memenuhi kebutuhan

masyarakat terhadap gizi terutama kebutuhan ikan.

3. Diharapkan pemerintah memberikan sosialisasi terhaap perusahaan

mengenai dampak kerusakan lingkungan.


Daftar Pustaka

Arikunto, S. (2010). Metode Penelitian. Jakarata: Rineka Cipta.


Bayu Aji Prakoso, D. R. (2020). Evaluasi Dampak Pembangunan Pembangkit
Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tanjung Jati B di Desa Tubanan Kecamatan
Kembang Kabupaten Jepara. Fisip Undip, -.
Bayu Aji Prakoso, D. R. (2020). Evaluasi Dampak Pembangunan Pembangkit
Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tanjung Jati B di Desa Tubanan Kecamatan
Kembang Kabupaten Jepara. Fisip Undip, -.
Budiman, Y. A. (2019). Perlibatan Masyarakat Program Corporate Social
Responsibility pada Program Dewi Harmoni oleh PT. Pembangkitan Jawa
Bali Unit Pembangkitan Paiton (PT PJB UP Paiton). 4-5.
DLHK. (2007, Desember -). Kementrian Lingkungan Hidup. Dipetik Maret 27,
2021, dari perpustakaan.menlhk.go.id:
http://perpustakaan.menlhk.go.id/pustaka/images/docs/LAPORAN
%20SLHD%20JEPARA%202007_OK.pdf
Dr. J. R Raco, M. M. (2010). Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Grasindo.
Efendi. (2020). Upaya Kelompok Nelayan Welas Asih Dalam Pemberdayaan
Ekonomi Anggota di Pilau Pasaran Kelurahan Kota Karang Kecamatan
Teluk Belitung Timur Kota Bandar Lampung. Bandar Lampung:
repository.rdenintan.ac.id.
Indonesia, K. P. (2010, - -). peraturan.bkpm.go.id. Dipetik Maret 29, 2021, dari
peraturan.bkpm.go.id:
https://peraturan.bkpm.go.id/jdih/userfiles/batang/permen_deprin_35_201
0.pdf
Khoirunnisa, L. (2014). Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam
Pemberdayaan Masyarakat di Desa Tubanan Kecamatan Kembang
Pascapembangunan PLTU Tanjung Jati B. Politik dan Lingkungan, -.
Lasabuda, R. (2013). Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan dalam Prespektif
Negara Kepulauan Republik Indonesia. Jurnal Ilmiah Platax, 93.
MENLHK. (2011). JDIH Mentri Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Dipetik
April 4, 2021, dari http://jdih.menlhk.co.id/:
http://jdih.menlhk.co.id/uploads/files/1.pdf
Nazarudin, A. (2018, April 22). Antara Jateng. Dipetik April 1, 2021, dari
jateng.antaranews.com:
https://jateng.antaranews.com/berita/192689/nelayan-ancam-blokade-
aktivitas-perluasan-pltu-tanjung-jati
Ning Fitri, M. A. (2015). Terang Bagi Jawa Bali, Debu Bagi Warga Jepara dan
Paiton. Jepara: Walhi Jateng.
Rabi'atun Hasanah, S. (2020). Pengaruh Metode PRA(Partisipatory Rapid
Appraisal Terhadap Implementasi Pembangunan Masyarakat Kelompok
Tani Mekar Sari Tahun 2019. Jurnal Transformasi, 50.
Rohmah, I. Y. (2020). Social Return On Investment atas Industri Minyak dan Gas
Bumi di Kabupaten Bojonegoro. 2.
Rusdiana, A. (2020). Desain Penelitian Studi Kualitatif Creswell. Pandeglang:
digilib.uinsgd.ac.id.
SARAGIH, D. (2018). STRATEGI PERJUANGAN KELOMPOK TANI DAN
NELAYAN LESTARI MANGROVE DALAM MEMPERJUANGKAN
KELESTARIAN LINGKUNGAN DI DESA LUBUK KERTANG,
KABUPATEN LANGKAT. Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara.
SIFAK, M. (2006). Dampak Proyek Pembangunan PLTU Tanjung Jati B
Terhadap Peluang Kerja. Semarang: Universitas Semarang.
Susan, N. (2009). Pengantar Sosiologi Konflik. Jakarta: Karisma Putra Utama.
Tumbol, M. P. (2015). Dampak Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap
(PLTU) Banten 2 Labuan Pada Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Di
Desa Cigondong Kecamatan Labuan Banten. Serang: Universitas Sultan
Ageng tirtayasa.
Wahyuni, W. T. (2016). Dampak Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap
(PLTU) Terhadap Keidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Nelayan Di Desa
Buton Kecamatan Adipala Kabupaten Cilacap. Semarang: Universitas
Negeri Semarang.
BJP. (2016). Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Rencana
Pembangunan dan Pengoperasian PLTU Tanjung Jati B Unit 5 & 6 (2 x
1070 MW) Di Kabupaten Jepara. PT.Central Java Power.
Dwi Angga, R. & S. (2015). Analisa Sebaran Suhu Permukaan Laut Akibat Air
Bahang PLTU Tanjung Jati B di Perairan Jepara. JURNAL OSEANOGRAFI,
4, 393–399.
EK. (2021). Personal Interview.
Fuad, et. all. (2014). Panduan Praktis Penelitian Kualitatif. Graha Ilmu.
Hariadi, S. . (2011). Dinamika Kelompok: Teori dan Aplikasinya untuk Analisis
Keberhasilan Kelompok Tani sebagai Unit Belajar, Kerjasama, Produksi,
dan Bisnis. Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada.
Hutomo, F. S., Ismanto, A., Setiyono, H., & Maslukah, L. (2021). Model Sebaran
Limbah Bahang Di PLTU Tanjung Jati B Jepara. 03.
I. Ventyrina, S. K. (2020). Pengantar Perlindungan & Pengelolaan Lingkungan
Hidup. In Pustaka Ilmu: Vol. Lingkar Media.
KNTI. (2020). Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia ( KNTI ) merupakan
Ormas Nelayan Tradisional yang dideklarasikan pada tanggal 11 mei 2009
di Manado Sulawesi Utara berbarengan dengan Forum Internasional
Kelautan dan Keadilan Perikanan (FIKKP). Knti.or.Id.
https://knti.or.id/sejarah/
Nazaruddin, A. (2018, April 22). Nelayan ancam blokade aktivitas perluasan
PLTU Tanjung Jati. Antara News Jateng.
https://jateng.antaranews.com/berita/192689/nelayan-ancam-blokade-
aktivitas-perluasan-pltu-tanjung-jati)
Oman Sukmana. (2016). KONSEP DAN TEORI GERAKAN SOSIAL. Intrans
Publishing.
P. Ratnasari. (2020). Politik Pembangunan Di Kota Palangkaraya Menuju Smart
City Kota Palangkaraya. 6(12), 1–10.
PLN, T. J. B. (2017). Profil Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tanjung Jati
B Jepara. PLTU Tanjung Jati B. https://pltutanjungjatib.co.id/
Prakoso, B. A., Rostyaningsih, D., Marom, A., Publik, J. A., Diponegoro, U.,
Profesor, J., Soedarto, H., & Dampak, E. (2016). EVALUASI DAMPAK
PEMBANGUNAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP ( PLTU )
TANJUNG JATI B di DESA TUBANAN KECAMATAN KEMBANG
KABUPATEN JEPARA. Juournal of Public Policy and Management
Review, 5(2), 1–14.
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jppmr/article/view/10898
Pramanik, R. A., Purnomo, E. P., & Kasiwi, A. N. (2020). Dampak perizinan
pembangunan pltu batang bagi kemajuan perekonomian masyarakat serta
pada kerusakan lingkungan. Kinerja, 17(2), 248–256.
https://www.researchgate.net/publication/346677250_Dampak_perizinan_pe
mbangunan_PLTU_batang_bagi_kemajuan_perekonomian_masyarakat_sert
a_pada_kerusakan_lingkungan
PT. Bhumi Jati Power. (2021). Profile PT. Bhumi Jati Power. Bhumi Jati Power.
https://www.bhumi-jati.co.id/project-profile/background-and-
introduction.html
Regina Lulufani, A. S. (2020). Dampak Ekonomi dan Lingkungan Keberadaan
PLTU Tanjung Jati B Terhadap Masyarakat. 3(3), 983–993.
Royandi, E. (2019). FISHERMEN POVERTY AND MARINE RESOURCES
SUSTAINABILITY IN PELABUHANRATU , WEST JAVA , INDONESIA
KEMISKINAN NELAYAN DAN KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA
LAUT. Jurnal CIC Lembaga Riset Dan Konsultan Sosial, 28–35.
Satria, A. (2015). Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Yayasan Pustaka
Obor Indonesia.
Sh. (2021). Personal Interview.
Shahid, M., Huboyo, H. S., & Samadikun, B. P. (2018). Pemodelan Sebaran
Emisi Suspended Particullate Matter ukuran ≤ 10 µm dari Cerobong PLTU
Tanjung Jati B Jepara dengan Software AERMOD VIEW (pp. 1–8).
Singh, R. (2010). Gerakan Sosial Baru. Resist Book.
Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kualitatif, Kualitatif dan R&D. PT Alfabet.
Suharko. (2006). Gerakan Sosial Baru di Indonesia: Repertoar Gerakan Petani.
Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 10(1), 1–34.
https://doi.org/10.22146/JSP.11020
T.D. Hapsari, D. A. N. N. . (2015). PERSEPSI DAN ASPIRASI NELAYAN
TERHADAP RENCANA PEMBANGUNAN PLTU DI KAWASAN
KONSERVASI LAUT DAERAH UJUNGNEGORO KABUPATEN
BATANG (Perception and Aspiration of the Fishermen Concerning to
Project Planning of Vapor Electricity Power Plant). Saintek Perikanan :
Indonesian Journal of Fisheries Science and Technology, 10(2), 98–106.
https://doi.org/10.14710/ijfst.10.2.98-106
Wahyuni, W. T. (2016). Dampak Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap
(Pltu) Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Nelayan Di Desa
Bunton Kecamatan Adipala Kabupaten Cilacap. In skripsi Pendidikan
Sosiologi Dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Semarang. https://lib.unnes.ac.id/27750/
Widodo, J. dan S. (2006). Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Gajah Mada
Uversity Press.
Yk. (2021). Personal Interview.
Yono, R. S. D. (2017). PENGABAIAN HAK NELAYAN TRADISIONAL
MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM POLITIK PERUNDANG-
UNDANGAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA PESISIR. ARENA
HUKUM, 10, 40–60.
Transkrip wawancara
Narasumber : Pak Wagisri (Bendahara Kelompok Nelayan Jepara Utara) 31
Januari 2021

Nembe napa pak ndek wau

Nembe toto-toto alat perahu nelayan, perbaikan

Sedaya ten mriku niku ndek wau

Nggeh, kalih abk niku wau

Nelayane tiyang mkriki sedoyo nggeh pak nggih?

Lek peilik mriki, rata rata ten mriki tapi nelayane tebih tebih, yo teko jeh wilayah
kecamatan kembang, dereng sek tebih tekonan a, nelayan e kecamatan mriki,
wonten sing darat darat mriko, tapi sing roto iku wilayah tubanan, kancilan,
kaliaman,singkatah. Lek pemilik e si mriki,

Pemilik kapale?, nyewaaken

Pemilik kapale mriki, nelayan e, sing diarani nelayan kan coro nok darat nopo
nggeh termasuk buruh, ha nggeh buruh, atau pendamping pekerja

Sisteme ngoten niku pripun nggeh pak maksutnya tenmriki yang punya pemilik
kapale terus nelayane tiyang

Termasuk katah coro nelayan gede nggeh ABK nikua abk niku kan dari semua
pemilik niku kan pasti ada agenda kalau nggak ada agenda kan mboten enten sing
ngelampahke, kategori nelayan itu tidak pemilik tapi pemilik itu bukan harus
orang nelayan

Ngoten

Semua pebisnis kan bukan kategori kita harus punya bisnis tapi kita harus
memperkerjakan sendiri kan bisa, kita kan sistem mungkin ada managemen atau
direktur atau apalah bahasannya, kan ngoten si mbak,tidak harus orang pemilik
harus bergelut sendiri kan tidak, ya ada tapikan ya tidak pasti, kalau sudah ada
kepercayaan dari termasuk ee apa ya sistem pekerja pasti kan kita serahkan pada
pekerja, niki wau bahas di dalam grub dari perikanan provinsi , perikanan jateng,
mau mendirikan DPR nelayan

Dpr nelayan, nikupripun pak?

Katagorine DPR nelayan kan selama ini kan kita sudah punya wakil a, dpr menit
3.45 pak wagisri awal
16 oktober 2021

Narasumber Pak Wagisri Warga Lokal dan Pengurus Kelompok Nelayan

Maaf pak sebelumnya mau Tanya terkait jumlah nelayan yang tahun ini di data
desa hanya sekitar 210, karena dalam profil karakter masyarakat desa atau
topografiya itu nelayan atau pesisir apakah pada zaman dulu itu populasi nelayan
lebih banyak ya pak? Mengapa jumlah nelayan sekarang semakin menurutn?

Sing masuk desa sing tergabung di kelompok dimasing-masing desa mungkin


hanya sebatas 210

Kelompok nelayan kan punya kelompok organisasi masing ngono lo maksute ku,

Ngelo ntok mawon niku hamper 200 nelayan, dereng mriki, data setiap penerima
beras paceklik niku sing masuk ten pemerintahan desa tubanan niku ada 450
pinten ngoten lo, wong sebab e kan lek setiap ada bantuan paceklik pertahun
handelnya ten mriki, ditampung tenmriki, niku datane wonten 450 pinten ngoten
kulo supe kok, itu yang laki laki aja pak? Enggeh, dadi paceklik setahun kan 1
kali, beras paceklik niku lo, niku untuk nelayan? untuk nelayan, lah nampunge ing
gawe nampung niku mriki gone kulo, dados lek wayahe maringke nggeh kebak
ten mriki kaya wong sugeh,

Lah niku kan kulo kurang matep to pak kulo tanglet kalih pelayanan desa, ndek
winginane niku mboten ketemu kalih petinggine radi susah ngoten kaleh beliau,

Jeneng e petinggi kan memang wong duwe ,ungkin sambian disisi lain, aku
ketemu ya jajian disik, isane sore ya sore, paling ning omahe, ning kantor rak
mesti petinggi iku, petinggi iku ora mesti nek kantor, biasane petinggi melayani
pelayanan masyarakat basane ning omahe,nok omahe tah rak iso, lek esok yo esok
lek sore yo sore awan rak iso, berarti harus janjian gitu ya pak? Ha, sakdurunge
iku awake dewe iku harus janjian dulu, gitu setiap mbuh jalok tandatangane
kanggo nelayan ya harus janjian dulu

Kemari itu saya bingung kan pak, kemarin itu yang saya tanyakan ke pemerintah
desa, dulu itu desa tubanan niku nopo? Terus pelayanan yang saya tanyakan itu
menjawab, dulunya desa tubanan itu sawah a mbak,

Ya lek miturut dari awal cerita dari apapun alasannya kan petani dan nelayan
itukan tidak bisa pisa, dari awal sebelum kita juga hadir di tengah tengah
masyarakat iku mamulo dari jaman disik ya tetep mamulo ono, wong ono
pemerintahan kan mesti ana masyarakat, lha intine ten mriku dalam filinge kulo
nggeh ngoten, ono pemerintahan mesti ono masyarakat, mosok ono pemerintah
rak ono masyarakat terus pie sing di handle iku desa ndung apa

Maksute ngeten pak, data yang diinput pemerintah desa niku ngga sesuai dengan
jenis pekerjaan, apakah nelayan nelayan itu banyak, kenapa lebih banyak
karyawan perusahaan itu apakah pergeseran? Hak sementara si mbak iku,
semenjak awal duaribu eh 1970 awal proses pltu mau berdiri mau awal bangun
kan iku elengku, wong aku mamulo ning kene aku due anak kok pertama kali unit
1 dan 2 iku, cumak ndek emben kan aku durng pernah mendapatkan kepercayaan
masyarakat, ijeh khusus nekuni nelayan lah intine untuk keluarga, durung ngertin
pemerintahan, karo masyarakat a b c aku gak reti, sebabe aku gung ana
kepercayaan masyarakat, dadi aku gung sek terlalu paham lah intine, elengku
pekerja swasta masuk lebih banyak di desa tubanan ikukan semenjak operasi 1 2
nek mboten klintun iku 2007 awal, jadi kan mulai pekerja datang melamar dan
melamar sesuai kapasitas masing-masing, mulane mpamane pekerja pltu
masyarakat tubanan lebih banyak masuk di bidang pekerjaan swasta karena
semejak pltu berdiri, didalam amanat undang undang kan yang selalu diutamakan
kan orang wilayah, umpane kan ngeten contoh, pltu unit 56 semua pekerja
karyawan yang didalam naungan surat terkait bahasane amdal iku mau, ikukan,
sepuluh ribu semua pekerja, nek mboten salah tujupuluh lima persen untuk
pekerja lokal, yang duapuluh lima persen untuk pekerja kantoran, lah niku
seingate kulo ngioten didalam surat dokumen didalam RKUPL nek kono kan ono
rencana rencana pekerja trus tanggung jawab perusahaan, niku ten dokumen nopo
pak, RKL-PL di desa, mboten, kami sebagai tim penilai amdal kan menjadi tim
KPA kan dadi punya dokumen hal terkait niku awale, njenengan gadah dokumen
e pak, mbuh mba, aku lek mungkin ono lek gelem dudahi buku, mungkin awale
ana sek entuk sertifikat dadi tim penilai amdal iku mau, kan kita berlima dari kita
mewakili semua nelayan itu kita berlima, menjadi tim KPA amdal itu ada 19
orang perwakilan semua masyarakat di wilayah masing masing meliputi 11 desa
ilinge kulo, mewakili 3 kecamatan ada 11 desa waktu kita mendampingi unit 5
dan 6, ya ngunu kui aku ya bar yo bar radue misi apa apa, misine ya hanya
mendampingi masyarakat, ya mungkin lebih banyak pekerjaan karyawan swasta
pltu ya masuk akal mbak, termasuk wes berapa puluh tahun awal 2007 sampai
sekarang, mungkin petani juga memang banyak lah memang wong se desa
tubanan niku nek mboten salah niku ada perwakilan 7 rw cuman aku mewakili
bendahara rt ku ya aku sebagai bendahara ne

Kira kira apa sing ditanyake meneh sing kira kira aku iso jawab,

Mungkin nek RKLPL nek pak sholikul ngono makno disimpen, ngunu kuin kan
wonge sek jelimet kan di simpen, sek guepeng ngunu nek pak sholikul, nek kono
kan ono opo ya kewajiban perusahaan sing harus dipenuhi, rklpl bahasane aku
dewe kan aku ora paham rkpl iku apa tah aku ya, sebener e dokumen nok kono
iku pertanggung jawaban perusahaan sing wes pemecahan dari amdaliku lo, lha
pemecahan dari amdal coro pakange kan rkupl, niku tahun 2007 no pak, yo ga iku
sing soko unit 5 6 iki 2016, he’eh 2016-2015, awal proses mau sosialiasi kan 15-
16 ilingku nok kecamatan keeling, kita mendapatkan undangan kita masuk tamu
tidak di undang tapi menyeleaikan semua keputusan kita menolak dengan harga
mati sebelum kita tau tujuannya untuk apa, awale ngunu mba, dadi ning kono iku
wakeh semua wong iku she hadir , awet dar pemerintahan kabupaten, kecamatan,
desa, dan tokoh masyarakat, semua itu rata rata mendukung, yang menolak hanya
fornel, kita menolak ingin tahu sejauh mana perusahaan ini mensejahterakan
masyarakat kan ngono, engko nek angger mendukung lah terus awak iku trus
ndung pie dadi apa ndung masyarakat iki engko dadi akhire kan ora ono bedane
karo tahun tahun lalu yang sudah berjalan yang dimanfaatke orang orang yang
tidak bertanggung jawab, yaiku mau tanda tangan dige golek duet padahal iku hak
e masyarakat, lha iki harus diwaspadai nek coro wong bodo iku mau, berarti
nelaya itu dulu masi banyak ya pak sebelum ada perusahaan ini tu berdiri, wes
mamulo akeh, jaman cerito ya mabak naliko proses awal nelayan awal kan tidak
pake mesin tekniknya kan pake onthel, lah prahunya pake layar, awal iku wes
termasuk sesepuh yang sudah gugur, iku termasuk nelayan yang luar biasa, karena
tidak pake mesin bisa kemana mana, iku perjuangan nelayan sesepuh kita yang
sudah itu tak anggep luar biasa, lek nelayan saiki penak mbak angger nglenger
ngedengkerng, jaman mau perjuangan e nelayan ya luar biasa, wong ora nganggo
mesin, nelayan mamulo ada, cuman mungkin data awal nelayan sesepuh kita tidak
pernah dimasukkan dalam pemerintahan maupun didalam dinas dinas terkait,
ketok e ngono, lek jaman ndek emben kan peraturan masih amburadul
pemerintahan kita, kan ngono, iku wes iku seingat e aku lo ya, masyarakat ndek
emben iku ora patek diperdulekke karo pemerintahan kita, dadi wes embuh
amburadul ga ono sing ngurusi lah wes penak ngono wae, suwene ono ketegasan
kan pemerintah pemimpin yang baru iki kan memang lueh tegas, kekayan negara
kita itu milik masyarakat lah iku ya baru baru betul, dari kita kembali ke kita, iku
masuk akal.

Mungkin di RKPLnya Pak sholikul pasti disimpan, kalau paksolikul orangnya


teliti disimpen, didalam RKPL kewajiban perusahaan yang harus dipenuhi,
didalam RKPL bahsanyanya saja aku kurang paham, sebenarnya dokumen itu
adalah petanggung jawaban perusahaan yang sudah dipecah dari madal itu,
pemecahan amdal ibarat kata RKUPL itu rantingnya. Yang tahun 7007 itu pak?
Ndak yang itu dari unit 5 dan 6 ini 2016, 2015 ke 2016, awal proses sosialisasi
kan tahun 2015 -2016 seingatku di Kecamatan Keling, kita mendapatkan
undangan kita masuk tamu tidak di undang tapi menyeleaikan semua keputusan
kita menolak dengan harga mati sebelum kita tau tujuannya untuk apa, awalnya
begitu. Semua orang banyak yang hadir, dari pemerintahan kabupaten, kecamatan,
desa, dan tokoh masyarakat. Semua rata-ratamendukung, yang menolah hanya
kelompok nelayan, kita menolak ingin tahu sejauh mana perusahaan ini
mensejahterakan masyarakat kan begitu, nanti kalau hanya mendukung terus kita
bagaimana? Jadi masyarakat ini nanti akhirnya kan tidak ada bedanya dari tahun
lalu yang sudah berjalan yang dimanfaatkan orang orang yang tidak bertanggung
jawab, ya tadi tanda tangan dibuatn untuk mencari uang padahal itu haknya
masyarakat. Ini yang harus diwaspadai dengan cara yang seperti tadi.

Berarti nelayan itu masih banyak ya pak seelum adanya pelaku usaha ini berdiri.
Masih tetap banyak mbak, ceerita saja ya mba, dulu proses awal nelayan yang
awalnya masih jaman pakai mesin manual, prahu yang masih pakai layar, itu
sudah termasuk sesepuh yang sudah gugur, dulu nelayan itu luar biasa. Karena
tidak pakai mesin bisa kemana ama. Itu perjuangan nelayan jaman dahulu yang
sudah dianggap luar biasa. Kalu nelayan sekarang mudah hanya santai saja, dulu
perjuangan e nelayan ya luar biasa, soalnya tidak memakai mesin, nelayan tetap
ada, cuman mungkin data awal nelayan sesepuh kita tidak pernah dimasukkan
dalam pemerintahan maupun didalam dinas dinas terkait, kelihatnnya seperti itu,
jaman dulu kann peraturan masih amburadul pemerintahan kita, seingat saya ,
masyarakat jaman dulu itu tidak terlalu memperdulikan dengan pemerintahan kita,
jadi sudah kececer tidak ada yang mengurusi setelah ada ketegasan kan
pemerintah pemimpin yang baru ini kan memang lebih tegas, kekayan negara kita
itu milik masyarakat lah iku ya baru baru betul, dari kita kembali ke kita, iku
masuk akal

Lah sing kira kira sing ning deso itu mau apa ceritakan aku,ya itu pak. Tapi yang
ditulis di tipologi itu pesisir atau nelayan jadi kan nggak singkron gitu lo pak,
dengan jenis pekerjaan yang lainnya salah satunya petani dan karyawan
perusahaan swasta, apakah dulu itu nelayan populasinya itu lebih banyak atau
karena adanya hadirnya pembangunan itu bergeser.

Ini tak jelaskan kan jadi aku paham , karena perubahannya nelayan menjadi sangat
menipis tahun tahun ini karenakan semenjak ada PLTU pertama, yang kedua
karena semejak ada PLTU nelayan yang termasuk nelayan kecil, yang
pekerjaannya hanya di wilayah pantai pantai tersebut, akhirnya kan hasil
pendapatnnya mengurang, karena mengurang dan mengurang akhirnya mereka
berfikir, ada pltu kok enggak ikut kerja di pltu aja ngapain, karena penghasilan
nelayan saja sudah semakin mengurang, akhirnya mereka terakhir bergelut
walaupun iku secara pekerjaan lokal maupun didalam aturan mereka sesuai
dengan kemampuan masing masing mereka berbondong bondong untuk masuk
bekerja di wilayah PLTU, perrubahannya disana. Awalnya semua nelayan
buanyak luar biasa malah sebelum ada pltu, karena perubahan sangat menurun itu
dari semenjak berdirinya PLTU berjalan karena hasil tangkap nelayan semua yang
kapasitas 2-3 groston kapal mereka itu hasil tangkapnya mengurang dan
mengurang, tidak bisa mencukupi semua kebutuhan keluarga masing masing,
mungkin dalam untuk mendidik anak kurang mampu akhirnya mereka bergelut
untuk msuk PLTU yang uangnya mudah, perubahannya disana, kalau pegawai
desa yang sekarang tidak bisa menceritakan detil dri awal karena merekan
dulunya tidak memegang pekerjaan di pemerintahan mereka masuk kan baru baru
aja, mungkin kalo ada sesepuh yang masih berdiri kalo pun itu tahu di
pemerintahan desa mungkin bisa cerita, mungkin kan dokumen lama lama kan
sudah hangus, selama aku bisa jawab mbak ta jawab. Khususnya didesa tubanan
ya penduduk sini itu ada syarat atau kualifikasi tertentu dalam menerima pekerja
di PLTU. ini yang mengganjal secara aku pribadi menurut prosedur aturan kan
mereka sesuai dengan dalam aturan manat udang undang itu tidak boleh
membayar, itu kan tidak boleh lewat itu, sampe sekarang itu jalan terus ya tapi
bukan orang dalam, tapi oknum oknom didalam Pltu menjadi kesulitan didalam
PLTU. karena itu menyalahi aturan, walaupun aku ga tau pendidikan tapi aku sing
ta pegang kan amanat undang undang didalam aturan amanat undang undang
undang kan tidk boleh melakukan seperti itu, namanya pemerasan pada rakyat,
nah itu ndak baik, semua orang kepinging kerja supaya dapat hasil supaya untuk
meghidupi keluarga kok disuruh bayar ini logikannya apa ndak baik itu, terlalu
berlebihan. Tak dengerin berulang ulang kok masih gitu aja,kepingin bekerja
untuk satpam itu aja bayar, itu kalau diteruskan ya rusak, pungli tah opo mbak
iku, lhaaa..

La itu ndak baik, karena orang iitukan menyatakan bahasane wani piro bahasa
keren e, sekarang setiap naik punglinnya dulu 3 juta sekarang jadi 15 juta tah 12
juta, itu isu isu yang saya dengarkan untuk pekerja kasar atau pekerja kantorannya
semua pake itu, berarti ndak ada istilah minimal pendidikan apa untuk memenuhi
syaratnya, walaupun sesuai syarakat dengan kapasitas pendidikan iku mumpuni,
tapi memang aturannya begitu apa dari sananya, Dari orang yang tidak
bertanggung jawab, atau oknum itu, Padahal kalau diselidiki perusahaannya nanti
bisa kena mbak,jika dilaporkan kepemerintah, dengan bukti ya bakal kena.

Nama Narasumber: Bu Yayuk

Jabatan: Kepala Staff Divisi PPLH

4 Oktober 2021

A: bagaimana penanganan pemerintah dinas lingkungan apabila terjadi sengketa


atau permasalahan lingkugan itu sendiri?

B: kalau sengketa itu ada dua yang sudah ke ranah pengadilan kalau sengketa
belum pernah, hanya sebatas pengaduan biasa pengaduan luar atau pengaduan
masyarakat biasa misalnya yah didaerah saya ni missal ada limbah kalau sengketa
belum pernah, jadi sengketa belum pernah, hanya perantara doing, keluarnya ya
itu missal memang ee ada kecenderungan memang melakukan ee pengelolaan
lingkukngan yang belum pas kurang sesuai ya kita bina pelaku usahanya,
kemudian kalau perlu mediasi misal kadang kadang kan memang tidak ada titik
temu missal pokoknya, misal ni ada juga yang kasus pokoknya ditempat saya
tidak ada usaha ini kaya gitu kan memang harus perlu mediasi gitu atau misal
usaha selama 24 jam kita juga berisik itu juga perlu dengan mediasi manasih
pelaku usaha yang tetap bisa berjalan, masyarakan juga tidak terganggu, peraturan
jalur kerja kah, peraturan mesin kah yang gantian .

A: dari penanganannya sendiri apakah itu termasuk bagian dari mediasi


pemerintah dinas lingkungan terhadap masyarakat terdampak ya bu?

B: iya, ada yang sampai mediasi ada yang tidak, mana yang boleh dimediasi mana
yang tidak.

A: terkait regulasi dan implementasi mengenai perlindungan maupun pemetaan


lingkungan yang dilakukan pemerintah DLH itu bagaimana ya bu?

B: ini pementaan implementasi apa ya?

A: misal ada permasalahan lingkungan sendiri

B: perlindungan terhadap lingkungan?

A: iya bu

B: itu kan ini kalo kita lihatnya ke adanya pelaku usaha nggeh, pelaku usaha kan
sebelum lakukan usaha diwajibkan untuk menyusun dokumen lingkungan, itukan
satu upaya biar seandainya nanti ada dampak dampak yang muncul itu bisa di
minimalkan dan tidak menyebabkan kerusakan lingkungan, makanya ada
dokumen itu disitu ada upaya pengelolaan ada upaya pemanfaatanya seperti apa,
diharapkan dari situ maka dampak dampak negative bisa diminimalkan,

A: Contoh pengelolaan itu sendiri seperti apa ya bu?

B: misal perusahaan itu punya air limbah maka pengelolaanya air limbahnya harus
dia sudah harus punya IPAL apakah sekedar IPAL oh tentunya tidak setidaknya
ada sistim yang bisa menurunkan kulitasnya sampai memenuhi baku mutu, itu
upayanya ya mungkin bagaimana cara tau bahwa itu sesuai dengan baku mutu
tidak mencemari lingkungan? Maka ada pemantauan pemantauan, pemantauannya
apa? Ada ditetapkan titik titik pemetaan, misal titik outlitenya disini ni harusnya
dipriksa sample tiap berapa periode pemantauan titiknya mana aja ditetapkan
dokumen kan juga ada, berarti kalau sudah dipenuhi nantikan bisa minimalkan
kana da ibaratny itu ada rambu rambunya itu boleh membuang air limbah setelah
ada pengolahan setelah kualitasnya memenuhi baku mutu
A: berarti dari pemerintah sendiri sudah ada standart baku mutu air limbah itu
sendiri ya bu?

B: kalau baku mutu itu kita dari pem kabupaten beda, kita mengacu ke atas perda
provinsi ada, yang nasional juga ada. Berarti mengacu pada mentri lingkungan
hidup, kalau air perda ada kalau udara masih kementrian Lingkungan Hidup

A: balik lagi kepertanyaan sebelumnya tentang mediasi tersebut, bahwa apakah


pemerintah itu juga menjadi mediator bagi pelaku usaha itu sendiri atau
bagaimana?

B: tadi kan sebenernya sudah diterangkan sedikit bahwa kita itu menjembatani
bagaimana pellaku usaha biar bisa melakukan usahanya karena namanya pelaku
usaha itu ada ee apa namanya adaa dia membantu membuka lapangan pekerja,
berartikan mengurangi pengangguran, kemudian PAD karena kan kita juga perlu
adanya usaha usaha itu meningkatkan ekonomi lah kaya gitu bagaimana ini bisa
seiring berjalan dengan disini kita melihat lingkungan secara umum nggeh,
masayakat itu kn bagian dari lingkungan entah itu sebenarnya masyarakat itu
kadang kadang kan saya lebih suka ngomong lingkungan karenamsyarakat itu
kadang pengaduan itu diakui enggak kadang ada tendensi tendensi tertentu,
misalnyaada perselisihan atau kurang klop masyarakat ini yang mewakili o ada
pencemaran ini kan kita lihat itu tadi urgensinya kalau ini misalnya sudah
melakukan rambu rambu dan melakukan pemantauan disitu ada domkumennya
yang di temukan kemudian masyarakat diberikan sesuatu yang lebih dari itu itu
kita mediasi dimana perusahaan masih bisa nggak? Ini misalnya ada intinya tepo
sliro lah gimanasih masyarakat ini kepinginnya seperti ini kaarena dari suatu
daerah dengan daerah yang lain itu kadang-kadang beda tidak bisa disamakan,
disana misalanya jejeran sama finsishing aja diem diem aja disana itu banyak
yang diem aja kenapa saya direcokin katanya itu karena memang karakternya
yang beda beda, karakter msyarakatnya yang juga beda, itu yang kita jembatani
gitu. Ta kadang ya lancer, kadang juga, sekarang gini kalau kita kepengennya itu
sesuai dengan SOP itu pengaduan itu hendaknya semua itu tidak semua masuk
langsung ke kabupaten atau lanjut ke provinsi atau lanjut ke presiden. Kalau
maslahnya masi dengan satu rt misalnya lewatlah RT dulu wong namanya
masyarakat, bermasyarakat itu mbok sedulur gitu ya ada jenjangnya rt nggak bisa,
baru ke kepala desa, karena kadang kadang kita itu terima pengaduan sedangkan
pemerintah setempat tidak mengetahui.

Berarti itu masuk ke pertanyaan selanjutnya bu, bagaimana langkah dan tahapan
yang ditempuh dari pihak yang terdampak apabila terjadi permasalahan tersebut?
Berarti itu masuk dari tahap tahapan yang harus dilakukan dari mereka ya?

Iya betul,
Berarti harus melalui rt rw..

Kalau hal hal yang seperti itukan cuman ringan si kadang itu kan pembauangan
limbah ke selokan itu lo jadi hanya dua misal dua atau empat keluar rumah itu kan
sebenarnya itu kan nggak harus sampai ranah ke kabupaten kan? Gitu lo, ada apa
namanya ee mereka liat liat lah yang kira kira sudah sekala mana memang itu
misalnya kita malah pinginnya seperti itu meskipun itu perusahaan pun
seandainya masih bisa dibicarakan dengan baik kekeluargaan oke tingkat rt nggak
bisa ya misal rt kan bisa nembusi ke kepala desa, nah baru kalo memang nggak
bisa naik ke atas seperti itu misalnya, kalau ada pengaduan yang memang udah
kelas berat kita bisa minta bantuan ke kementrian,

A: berarti tahap tahap itu, bagaimana kita melihat sekala keluhan itu dapat diatasi
dari bawah atau tidak

Kalau memang tidak bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan sudah parah,
bahkan sampai sudah terbukti ada pencemaran itukan memang beda pencemaran
itukan bisa masuk ke pidana atau ke sengketa lingkungan selama ini kan belum
sampai kesana kadang kadang ada yang yang ditanyakan itu ada ijinnya ndak
sebenernya kita itu melaksanakan secara SOP nya kita yang di DLH itu bagi
pelaku usaha yang sudah punya ijin lingkungan tadi nah itu kan binaan kita kalau
ada pengaduan oh iya itu binaan saya. Saya berkewajiban untuk lihat ni punya
saya, tapi kalau untuk belum memiliki ijin sebenarnya itukan bukan ranah dari
DLH, yang memberi ijin biasanya satpol pp meskipun ya itu tadi didahului dari
bawah dulu,

A:Berarti tahapannya yang dari dlh itu tadi berarti tahapannya apa aja bu selain
mungkin dari skala yang uda besar ya bu apabila terjadi permasalahan lingkungan
ini tadi.

B: Kita akan melakukan verifikasi lapangan, klarifikasi, kadang kan pengaduan


itu misal satu sumber A cari juga sumber yang lain,

A: Mencari ketitik satu ke titik yang lain,

B: He,em iyaa, informasinya tidak dari satu pihak, kita cocokan fakta, kita
menemukan fakta yang sebenarnya apa dilapangan yaitu dari pada terjadi
dilapangan misalanya ada, kadangkan memang dia tidak melanggar lingkungan
asalkan pengelola lingkukan pun sudah dilakukan tapi kurang pas, kurang pas itu
bisa berarti mungkin dia kemampuannya memang segitu atau dia taunya seperti
itu, kan gitu si, walaupun memang ini kita bicara yang punya dokumen nggeh ,
dokumen itukan sudah jelas tapi kan kenyataannya mereka tidak membaca secara
benar dah punya dokumen lah kaya gitu aja jadi ya ketidak tahuan atau memang
kemampuannya baru segitu, atau memang dia memang tidak melakukan, masa
bodoh gitu, ya terus kemudian kita melakukan pembinaan dipelaku usaha tersebut,
kita lihat progressnya, dia ada itikad baik ndak, istilahnya ada upaya untuk
memperbaiki, meningkatkan . kita juga minta pengertian sama pengadu misalnya,
misal kok nggak langsung 100 persen teratasi kemarin kan udah di proses. Yang
penting ada progress ada itikad baik dari pelaku usaha tersebut untuk
memperbaiki kinerjanya, tentunya kita kasih jangka waktu ya, kadang kadangn
juga perbaikan lingkungannya memang perlu dana juga kan kita juga sifat kita kan
juga pembinaan mana yang ng belum, apalagi yang masih kmjm ya, mebel gitu
kan dimasyarakat kita sendiri,

A: Berarti harus ada bukti bukti dokumen juga yang harus dimasukkan kesini ya
bu,

B: Ya kita kan

A: Untuk pelaporan,

B: He’e kita cocokin dokume lingkungan dia itu bunyinya apa, dia komitmennya
apa, sudah dilakukan belum, karena itu sebenarnya juga termasuk meminimalkan
pengaduan itu, pencemaran kan kita juga ada kewajiban pelaporan UKL UPL tadi
yang tadi selama 6 bulan sekali disitu, darisitu sebenernya bisa kita lihat
perusahaan itu melakukan pemantauan upaya pengelolaannya setiap tahunnya itu
kita bisa lihat itu secara pasif, secara aktif ya kita datangi, benernggak,

A: Berarti langsung sumber permasalahannya,

B: Iyaa, kalau sudah pengaduan si pasti kita harus datengin, kita datengin ngga
lama ngga kurang dari 3 hari kalau memang kadang kadang kan kita keterbatasan
personel misalnya ya hari itu sudah terjadwalkan udah janjian sama orang kan
nggak bisa di cancel otomatis oh besoknya lagi tapi kalau memang tidak ada
pekerjaan yang terikat waktu, hari ini pengaduan hari ini berangkat atau besoknya
berangkat seperti itu,

A: Berarti sudah ada standartnya ya, soalnya biasanya kan mereka ndak tahu harus
kemana si pengadunya harus gimana dulu terus nanti gimana gimana gimana, jadi
atau mungkin mereka nggak tau dan awam gitu lo bu ini saya harus lapornya
kemana dan kemana,

B: Namanya masyarakat itu kan puny bapak ya punya pemerintah desa setempat
pasti akan mengarahkan misal saya akan petinggi, petinggi kalau sudah bilang itu
ke LH aja ya nggak papa ke LH berarti dia petinggi itu kan udah menyarankan ke
LH jadi sebenarnya kita pun berharap mewadahi desa pun aktif gitu, misal dalam
rangka apa, jadi ada yang beda beda si ada yang jangan ke atas dulu kita
selesaikan , biar peran pemerintah desa itu untuk mengatasi sebenrnya mereka itu
kan kaya pelaku usaha itu juga sebenernya sama sama anak, bertengkar ya
selesaikan dulu lah,
A: Terkait ee semisal ini kemungkinan yang terjadi dari mungkin dari penemuan
dari pemerintah sendiri ada yang melenceng gitu lo bu ada yang melanggar hal itu
mungkin dari pencemaran lingkungan sendiri, nah dari sikap pemerintah sendiri
pemerintah dinas lingkugan dalam menerapkan peraturan itu dari sanksinya
sendiri itu seperti apa? Apakah itu akan di ajukan ke pemerintahan pusat atau
seperti apa?

B: Kalau yang kita tangani itu kalau sebatas sudah selesai biasanya kalu yang
kelas kelasnya, misalnya nih ini ada pengaduan yang kelasnya kerusakan
terumbukarang misalnya ada kampal tengker yang sudah yang ngerusak terumbu
karang itu udah masuknya ke kementrian, karena apa SDMnya kita nggak ada
karena kalu sudah seperti itu kan nanti ada ganti rugi materi kana da kebutuhan
perikanan sendiri nggak langsung ada misalnya seratus kan nggak gitu harus ada,
kerugian apa si kerugian biaya terumbu karang apasi biaya apa yang harus di
ganti biaya konservasinya, berapa luasan yang rusak itu pun kelas kerusakannya
ada tingkat tingkatannya kerusakan satu, dua, menurut istilah orang terumbu
karang lah seperti itu, nah ahli ahli yang seperti itu kan harus didatangkan dari
skala nasional, sementara ini itu banyak kandasnya kapal kapal itu, kemarin yang
batu bara yang tumpah itukan juga kita pendampingnya ke pusat,

A: Berarti itu tergantung sumberdaya yang ada disini itu utuk menangani ya bu?

B: He’em itu tadi apa namanya liat bersar kecilnya itu lah permasalahan, apbd kan
terbatas untuk mengundang tenaga ahli aja kalo survey itu lama lo mbak, dilaut itu
butuh 1 minggu atau 10 hari tenaga ahli biayanya berapa, berapa orang yang
hingga belasan orang entah itu sosecnya entah itu dari ahli karang, ahli apanya
planktonnya sendiri, juga ada, mikro biologinya ApBN apbd kan memang
terbatas, tenaga ahli aja belum tentu tiap tahun ada kan gitu, pusat kan kadang
diluar bidang ya engga sampai ke ranah hukum diharapkan seperti itu,

A: Misal kalau seperti itu langsung ke pelaku usaha tanpa melalui dlh apakah
misal masalah pengaduan tadi misal diadukan ke pelaku usaha

B: Ngga papa, itukan sebenarnya dari pada ngomong sendiri kan kadang kan kita
gak sadar salah kita pak tulung dong kalau buang sampah jangan disana misalnya
ya, buang sampahnya itu cepet jangan ampe 2 hari, sebenernya enak, tahapanya
seperti itu kalu memang bisa dibicarakan dengan baik masih bisa, kadang kan
masih bandel pak rt itu tolong dong dikasih arahan miasal ad apertemuan rt kan
bisa dirapatkan, tapi memang kalo ada perusahaan yang tidak bisa tersentuh
kadang memang kan, tidak tersentuh secara kekeluargaan misalnya harus secara
komunikasi oh berarti harus formal dengan surta rt atau surat petinggi nggak
maslah, memang beda karakter kan kita jejer sama perusahaan itu direkturnya
kadang cuman kelihatan mukanya aja manajemennya juga kaya gitu , kita
kenalnya sama buruh buruhnya ajakan memang mungkin agak susah, ya fleksible
lah mbak, kadang kadang mungkin kita lihat permasalahannya itu sama tapi beda
tempat itu beda waktu penyelesaiannya itu beda beda, susahnya penyelesaiannya
itu juga beda beda, karena itu tadi pengaduan itu kan tidak terlepas dari factor
sosial dan budaya itu tadi, karakter masyarakatnya itu beda beda.

Pak Eko sekretaris HNSI 21 Oktober 2021

Sebelumnya maaf pak saya zoey dari mahasiswa sosiologi ingin bertanya
mengenai data jumlah nelayan di desa Tubanan, yang berguna untuk memenuhi
tugas akhir skripsi saya, yang sudah diberi izin oleh bangkesbangpol kabupaten
jepara

Lha mungkin saya ambilkan dari data itu, njenengan nanti bisa mempelajari dari
data itu, dan itu kemarin itu kita sudah melakukan update data, ternyata update
data ini belum juga kembali, wi jaluk e podo kaya wingi mas, jadi konteksnya
SDA atau SDM daripada teman teman itu disuruh administrasi walaupun liba
baris ngunu iku rasane kuesel ngono ngitungi berdowo dowo rak maslah itu
konteksnya seperti itu, nanti njenengan saya beri data itu kalo njenengan itu bisa
memberikan informasi langkah yang paling bijak pada junjungan kan
bagaimanapun kan tetep saya mohon pada njenengan ke dinas perikanan disana
datanya seperti apa, nah seperti kita kan NGO mbak, sehingga kitakan hanya
penyeimbang sebenernya, yang punya kan negara lha seperti itu, lha mana kala
disana pun ada apa tidak saling membantu saling bisa setidaknya ada
keseimbangan itu seperti itu kalo menurut saya, tapi kalo njenengan langsung ke
HNSI ya, saya terima. Nah datanya yang pegang itu ya mereka,

Boleh ndak saya memberi gambaran kepada njenengan? Boleh bolehpak, jadi gini
lingkungan tubanan kebetulan lingkungan tempat dibangunan pembangunan
proyek nasional, proyek nasional ini kan bagaimanapun tetep terdapat nilai positif
dan negative itu monggo njenengan cari, walau bagaimanapu tetep ada
pergolakan yang ada disana selain untuk wilayah daratan juga wilayah lautnya,
perlu saya sampaikan panjenengan bahwa dinegara kita tercinta ini apa yang tidak
diatur tetep diatur ada aturannya semua, orang bicara ada cara aturannya, orang
diam ada aturannya, orang melakukan sesuatu juga ada caranya inilah indahnya
NKRI, perlu saya sampaikan yang sangat utama tentang kewenangan kewenagan
laut berada di tingkat satu nelayannya kewenangannya berada di tingkat dua dari
sini penyelesaian masalah tentunya akan banyak jalan banyak waktu yang
dibutuhkan, bila permasalahan dilaut dipinggir harus diselesaikan lewat tingkat
satu,begitu juga dengan perizinan, kebetulan kabupaten jepara armadanya tidak
ada dulu belum ada tapi sekarang ada 30 grosston keatas kebanyakan kebawa,
sehingga untu PP 8 5 saat ini tidak termasuk kisruh tapi kita tau aturannya gitu
tidak termasuk kisruh karena berhubungan dengan kenaikan biaya, yang paling
urgensialnya adalah topografi mbak, jadi wilayah PLTU itu adalah lumbung ikan
bagi kabupaten jepara karena disana pantainya masih bagus potensinya, lumbung
ikan ini trus tiba tiba ada pembangunan PLTU dari sini saja sudah ada nilai positif
dan nilai negative tapi semua itu kembali pada keseimbangan masyarakat,
masyarakat juga kita sampaikan ndak ada masalah asal ada seperti ini seperti ini
dan sebagaianya masalah ekonomi kami melakukan suatu riset tersendiri ini riset
tanpa satu bahasa ilmiah rumah rumah yang ada disekitar pembangunan PLTU
sebelum dan sekarang ada pembangunan pltu beda rumah nelayan ya yang saya
sampaikan sebelum ada PLTU ya seperti rumah nelayan pada umumnya setelah
ada PLTU rumah nelayan rata rata sudah berlantai kramik, rata rata seperti ini
mungkin jadi pemikiran yang lain saya sampaikan juga potensi produksi hasil TPI
tubanan ini mewakili TPI Jepara Utara karena yang lelang disana aja padahal
diwilayah jepara ada TPI sekitar 6 tempat, jadi Mlonggo, bondo, tubanan,
bandung harjo, ujung watu 1 ujungwatu 2, ada 6 yang aktif cuman tubanan yang
disana kalo mengitung produksi lewat itu juga bisa berapa produksi perhari,
berapa produksi perbulan, ini menjadi analisis tersendiri walau bagaimanapun
dampaak ini kan berpengaruh dari hasil produksi.

Jadi seperti itu intine wilayah sana itu PLTU sangat membantu sekali dari
kelompok, trus yang menjadi fenomena setelah ada pembangunan PLTU itu
mungkin menjadi perbandingan, sebelum ada PLTU kelompoknya hanya satu atau
dua setelah ada PLTU kelompoknya kuranglebih 8 kelompok, maksute tumbuh,
PLTU udah berapa tahun, intinya pembangunan PLTU kuranglebih 15 tahun ya,
jadi dua kelompok ini sudah mengasilkan anak 6 kelompok lain setelah adanya
pembangunan PLTU,

Menyampaikan perundang undangan yang ada itu kan harus ketemu si mbak?, nah
mereka pada saat kumpul kelompok saya memberikan sepatah dua patah kata
tentang bebrapa hal yang berhubungan dengan peraturan dan alat tangkap
permasalahan, terutama permasalahan, terutama permasalahan dilaut dengan
atmosfer seperti ini sangat luar biasa perlu saya sampaikan sebagai gambaran
umum juga secara keseruluhan, kabupaten jepara itu garispanainya ada sekitar 281
Kilo tahun 2015 dengan kondisi cuaca yang seperti ini bisa bertambah, walau
bagaimana pun disana ada yang tenggelam, hilang ada yang tumbuh ada yang
reklamasi ada yang abrasi ada yang reklamasi artinya adanya green belt juga perlu
jadi pada saat ini green belt juga perlu, wilayah tangkap yang terbaik wilayah kita
pualing baik itu ada di utara dengan prodaline dan sebagainya kalau kita menanjak
padakarimun jawa itu juga baik, namun ada zona zona yang tidak boleh dipaparan
contok di pesisir jepara ya, dipelsus tidak boleh ngapa ngaoain jadi ada suara tidak
boleh masuk nelayan karena untuk kepentingan PLTU kalau njenengan
melangkah ke karimun jawa ngga piknik lo ini njenengan dibatasi dengan BKSD,
Balai Taman Nasional Karimunjawa, dimana ada zona putih, zona pemanfaatan
dan zona pemberdayaan, tidak boleh diapa apain sehingga kalu saya
menyampaikan bagaikan ayam mati dilumbung padi ana iwak wakeh tapi gak
entuk dijipuk cara ngapusi balai kan untuk pengembangbiakan daripada biota
biota dan lain sebagainya gambaran umumnya seperti itu. Aturan juga, dinamis
juga, jadi permen perjalanan permen untuk alat tangkap yang ramah lingkungan
dan tidak ramah lingkungan terakhir kan permen nomer 71 ya leyeknya alat
tangkap yang ramah lingkungan dantidak ramah lingkungan kebetulan alat ini
juga banyak dijepara tidak ramah lingkungan tapi tidak diapa apain ndak ada
tindakan apa apa lah ini kan simpulan seperti ini kalau ada pembiaran seperti ini
bom waktu menurut saya, jadi bom waktu, jadi hasil produksi tangkapan ikan dari
temen temen nelayan ini juga semakin menurun juga sebabnya juga banyak sekali
salah satu sistem ya juga dari alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, jadi alat
tangkap yang tidak ramah lingkunngan juga disebutkan dalam permen no 71 itu
kan bisa njenengan pelajari dulu trus masalah perijinan, perijinan untuk kapal
kapal mayang, untuk panjenengan untuk kapal 7 grosston kebawah jadi ngga
begitu sek detail dengan persyaratan, itu hanya administrasi pas kapal sama sumbi
aja, terus kontribusi negate pada teman teman nelayan, acapkali kita nggak,
kadang kadang itu sedih tapi itu benar, gimana gak gitu, kita ngomong update ya
covid kemarin, dinas perikana dan lain sebagainya itu menyampaikan untuk
membantu teman teman nelayan tentang hutang mencukupi hutang nelayan yang
dari bankitu lo mbak, saya kan Tanya negara punya uang berapa apa bijaksana
seperti itu si pak pak, mbok ya tepat sasaran, apa mas tepat sasaran saya
sampaikan ada beberapa pilihan pak tapi yang terbaik kontribusi bantuan solar itu
ge playu pak solar untuk teman teman itu sangat sangat membantu akhirnya juga
goal kan itu biaya yang diambilkan tetapi manakala goal kita nggak ikut ngapa
ngapain program turun, iki program dari dinas bukan kamu maksut kita itu tidak
pingin apa apa kita hanya mendampingi o teman teman mendapat ini, mendapat
ini. Kan tetep ada regulasi regulasinya tetep ada itu meang seperti itu lah saya
sampaikan seperti ini sebagai untuk memberitahu anda pesannya kan ginisaya
dulu idealis tapi sekarang saya tidak idealis saya mohon pada panjenengan ambil
yang baik orang idealis itu bagus lebih bagus itu lentuh lentuk kekanan jangan
kekirian lentuk yang memang bener benr menunjukkan sebuah idealis,
kesempurnaan tidak milik kita oke kalau njenengan paham ini mongg.

Di era dulu makala mendapatkan hasil tangkapan yang banyak pengeluaran


nelayan tetap banyak tapi manakala tidak bisa menyelesaikan apa yang telah
dibeli dijual sebagai cara untuk bertahan hidup kan seperti itu logikanya seperti itu
dan sekarang ada yang sudah baik ada yang menabung yang membuat kelompok
membuat arisan dan sebagainya dan itu semuanya kembalinya ke manfaat ke
mereka si mbak kadang pas masih alom sedino mangkat entuk 2 juta tuku lemari
es tanggane peda motor melu tuku sepeda motor misale lah pada saat lagen anu
carane pas hasil menurun, peda motor e didol mestinya harga jualnya tidak seperti
pas membeli missal tukune sakjuta ngedole 500 walaupun setengah pakai di engge
sediluk hera itu seperti itu memang pola pola dadi mulai lingkaran lingkaran itu
masih ada gengsi masih ada kami tekan kan bahwa teman teman nelayan itu
supaya percaya diri jadi saat ini itu acapkali tidak percaya diri aku tetep misuh
misuh sebagai yang ada didepan contoh yang paling sering berhubungan adalah
profesi yang ada didalam kartu identitas njenengan cek kalau ndak percaya sama
saya, dari kecil bekerja jadi nelayan tapi pekerjaan di KTP Wiraswasta ngangelno
tarak pengkhianat itu kalau menurut saya jadi tidak bangga menjadi profesi
sebagai nelayan harusnya kamu bangga yng bisa mencukupi ikan dilaut didarat itu
kamu kenapa kamu nggak bangga jadi nelayan mindset ini sudah saya bangun
sudah dari lama karena bagaimanapun biasane gengsi profesi membela itu gengsi
padahal profesi mulia menurut saya kan sepertiitu banyak itu tadi sudah sayang
omong sudah saya singgung sedikit masalah sosial masalah ekonomi masalah
topografi dan geografi dan sebagainya ini njenengan tinggal melanjutkan
lingkungan PLTU sama lingkungan masyarakat sekitar saya ngomong lingkungan
tidak tempat PLTU njenegan pahami ini ya, karena bagaimanapun saya dulu juga
pernah diajari pernah dapat ijazah sehimgga saya tahu arti manipulasi daripada
kata kata gitu seperti it, lingkungan kerja pltu seperti apa, lingkungan kerja
masyarakat nelayan seperti apa pahami saya kira sudah penuh njenengan saya
kasih breakout tinggal mengembangkan saja bekal saya ini total lo ini ngga main
main, kalonjenengan buat buku lebih dari ini lo masalahe apa gambaran umum
saja yang saya sampaikan, njenengan perlu lebih ngulik lebih dalem.

Anda mungkin juga menyukai