Anda di halaman 1dari 16

HANAHAKI

Zara menatap kosong sebuah map cokelat di pangkuannya. Semua perkataan dokter yang baru di
datanginya beberapa jam lalu masih memenuhi benaknya. Dan memaksanya untuk menerima semua hal
baru yang harus dia cerna baik-baik itu.

Dokter bilang dia terkena penyakit langka one sided love atau yang orang-orang sering sebut dengan
hanahaki disease. Awalnya dia tidak percaya. Karena sebenarnya hal itu memang sangat tidak mungkin
terjadi. Dia hanya merasa dadanya sesak dan batuk beberapa kali disertai keluarnya kelopak bunga
anyelir pink dari mulutnya. Itu tidak aneh kan? Mungkin dia hanya salah makan.

Namun ketika melihat hasil rontgen paru-parunya yang berada dalam map cokelat itu, dia mulai
percaya. Di salah satu paru-parunya, tepat di atas hatinya terdapat sebuah tanaman kecil yang mulai
mekar bunganya. Bunga itu adalah bunga yang kelopaknya ikut keluar bersamaan ketika dia batuk.

"Penyakit ini sangat langka, bahkan para dokter sempat berpikir bahwa penyakit ini hanya fiktif belaka.
Namun, melihat Anda benar-benar mengalaminya membuat saya merasa mendapat pengalaman baru.
Saya tidak tahu banyak soal penyakit ini, saya hanya tahu bahwa penyakit ini menyerang organ
pernafasan manusia. Ada bunga yang tumbuh di paru-paru Anda, dan jika bunga itu dibiarkan terus
bertumbuh, saluran pernafasan Anda akan tersumbat dan bisa menyebabkan kematian. Dan dari
sepengetahuan saya, penyakit ini disebabkan oleh cinta bertepuk sebelah tangan atau cinta sepihak."

Begitulah yang Dokter Anne katakan kepadanya. Dia sangat bingung. Penyakit itu disebabkan karena
penderitanya mengalami cinta sepihak, kan? Tapi saat ini dia bahkan sudah bahagia bersama
kekasihnya. Dia tidak merasakan cinta sepihak itu. Dia yakin sekali kekasihnya juga sama mencintainya.
Dia berfikir begitu setidaknya sampai dia teringat apa yang Dokter Anne katakan.

"Apa Anda yakin pasangan Anda benar-benar mencintai Anda? Kita tidak akan tahu perasaan orang lain
kepada kita selain orang itu sendiri yang mengetahuinya. Bukannya saya ingin membuat Anda khawatir,
saya hanya ingin mengingatkan. Dalam sebuah hubungan perasaan bosan itu pasti ada. Dan mungkin
saja pasangan Anda sedang berada dalam fase itu sekarang sehingga menyebabkan Anda terkena
penyakit ini. Jadi, saya sarankan agar Anda lebih mempererat lagi hubungan Anda dengan pasangan
Anda. Karena jika dibiarkan merenggang begitu saja, semuanya akan berdampak pada kesehatan
Anda."

Apa benar Wildan bosan dengannya? Atau lebih parahnya lagi apa benar Wildan sudah tidak
mencintainya? Tapi pria itu bilang dia akan terus mencintainya sampai akhir hayat yang memisahkan
mereka. Bisakah Zara mempercayai semua itu? Lebih tepatnya bisakah Zara tetap mempercayai semua
itu meski dia tahu dia mengidap penyakit langka ini?

Beberapa hari kemudian...

Sedikit banyak, Zara memikirkan saran Dokter Anne untuk mempererat hubungannya dengan Wildan.
Dia pun memutuskan untuk mendatangi apartemen Wildan namun tidak mengatakan apapun pada
lelaki itu agar kedatangannya bisa menjadi kejutan.

Dia dan Wildan sudah menjalin hubungan ini 6 bulan lebih. Meski belum genap setahun hubungan
mereka, dia tahu dan yakin kalau Wildan benar-benar serius dengannya. Tak jarang juga pria itu
membicarakan soal pernikahan bersamanya. Wildan janji akan menikahinya di umurnya yang genap 25
tahun. Dan sampai saat ini, Zara masih memegang teguh janji Wildan itu dan berharap pria itu bisa
menepati janjinya suatu saat nanti.

Meski begitu, Wildan tidak pernah melakukan sesuatu yang benar-benar membuatnya kecewa. Zara
berfikir dialah wanita yang paling beruntung karena bertemu pria sebaik Wildan. Yah setidaknya sampai
akhir-akhir ini. Karena disibukkan oleh pekerjaan masing-masing, hubungan mereka jadi merenggang.
Bahkan mereka sudah jarang bertemu dan hanya mengobrol lewat chat atau telepon.

Namun, meski jarang bertemu, Zara percaya bahwa Wildan tidak akan mengkhianatinya. Dia tahu pria
itu sangat mencintainya dan masih sering mengatakan hal itu di chat maupun telepon. Meski
kepercayaannya sempat goyah karena perkataan Dokter Anne, dia masih memilih untuk mempercayai
Wildan dan berpikir bahwa semua akan baik-baik saja. Sampai hari ini...
Wildan masih belum pulang kerja. Namun, karena sudah sering berkunjung ke apartemen milik pria itu,
Zara jadi hafal sandi apartemennya. Dia mengetikkan sederet nomor di pintu lalu masuk ke apartemen
dan menunggu Wildan datang.

Tak berapa lama, Wildan pun datang. Dia terkejut melihat Zara yang menyambutnya ketika membuka
pintu apartemennya. Wajahnya yang terlihat lelah sepulang kerja pun langsung tersenyum dan
memeluk wanita itu erat-erat. Menyalurkan rasa rindunya karena sudah jarang sekali bertemu
belakangan ini.

"Aku rindu kamu," bisiknya lembut sambil menciumi leher Zara.

Zara terkekeh dan balas memeluk pria itu. Omong-omong, dia juga sangat merindukannya. Merindukan
semuanya tentang Wildan.

Dan mereka berakhir berpelukan di sofa sambil menceritakan hal-hal menarik yang mereka alami
belakangan ini. Bahkan Wildan belum sempat berganti baju atau mencuci tangan. Tapi, siapa peduli?
Yang penting mereka merasa lega bisa bertemu satu sama lain.

"Aku lelah sekali akhir-akhir ini. Bosku memberiku banyak pekerjaan tambahan. Jadi seminggu aku bisa
lembur sampai 3 kali," keluh Wildan sambil membenamkan wajahnya di ceruk leher Zara.

"Aku juga, akhir-akhir ini karena musim hujan rumah sakit jadi ramai. Bahkan sampai lembur 3 hari
berturut-turut. Aku dan Mbak Shofi sampai kewalahan. Dan baru hari ini aku bisa pulang tanpa lembur.
Lalu mampir ke sini." Zara mengelus rambut hitam Wildan yang sudah agak panjang itu dan tak bosan-
bosan menghirup wangi shampoo yang pria itu pakai. Menenangkan.

Sudah lama sekali mereka tidak sedekat ini. Jika dihitung, sudah hampir sebulan lamanya mereka hanya
berkomunikasi lewat ponsel. Dan Zara sangat merindukan hal-hal seperti ini.

Tiba-tiba, ponsel Wildan berbunyi tanda ada pesan masuk. Namun, lelaki itu mengabaikannya begitu
saja dan masih sibuk menciumi leher atau pipi kekasihnya.
Zara mendorong wajah Wildan pelan, "Mas, ada pesan masuk. Periksa dulu. Siapa tahu penting."

Wildan menggeleng. "Tak ada yang lebih penting dari kamu." Dia kembali menciumi seluruh wajah Zara
yang sangat dia rindukan itu. Semuanya terlihat baik-baik saja kan? Yah, setidaknya sampai ketika
Wildan pergi ke kamar mandi untuk buang air kecil dan meninggalkan ponselnya di atas meja.

Secara tiba-tiba ponsel itu berdering namun ketika Zara akan mengangkatnya, panggilan itu sudah mati
dan berganti dengan bunyi dering pesan masuk yang berulang-ulang. Zara mengintip dari tempatnya
duduk. Siapa agaknya yang mengirim serentetan pesan itu kepada kekasihnya?

Dia melihat dari layar ponsel Wildan, ada sebuah nama yang tak asing terpampang di sana. Via. Juga
sederet pesan yang isinya :

Mas, aku rindu kamu!

Kapan kita bisa ketemu lagi?

Kamu bilang kamu pindah ke apartemen, boleh aku datang ke sana?

Mas, aku ingin dengar suaramu!

Sepertinya, kamu sedang sibuk. Telfon aku jika kamu sudah tak sibuk lagi. Aku menunggu telfonmu! >.<

Zara terkejut bukan main melihat rentetan pesan itu. Jelas sekali itu bukan pesan biasa. Apa benar
Wildan selingkuh darinya? Tapi Wildan masih sangat mencintainya kan? Lalu kenapa wanita bernama
Via itu mengirim pesan yang seperti ini? Siapa dia sebenarnya?

Via. Nama itu tak asing bagi Zara. Dia seperti pernah mendengar nama itu tapi lupa di mana. Dan ketika
hatinya mengucapkan nama itu berkali-kali akhirnya dia mengingatnya disertai dengan perasaan campur
aduk yang memenuhi hatinya. Via adalah mantan kekasih Wildan. Dulu, Wildan pernah bercerita
padanya bahwa dia pernah sangat mencintai seorang wanita namun wanita itu malah meninggalkannya
pergi entah ke mana tanpa alasan yang jelas.
Wildan bilang, dia sangat menyesal putus dengan wanita itu dan masih berharap jika mereka berdua
bisa mengulang kembali dari awal. Namun, itu sudah lama sekali. Dan Wildan juga sudah sangat
mencintainya saat ini. Bahkan mungkin Wildan sudah melupakan wanita itu. Tapi apa benar begitu?
Bagaimana kalau sebenarnya Wildan malah masih berharap pada wanita itu? Apalagi secara tiba-tiba
wanita itu kembali lagi ke hidupnya. Apa karena inilah perasaan Wildan padanya menjadi goyah hingga
membuatnya terkena penyakit ini?

Zara tidak ingin berpikiran buruk tentang orang yang dicintainya. Namun, seketika perasaan sesak tak
tertahankan seperti meremas dadanya. Dia batuk dan beberapa helai kelopak bunga anyelir pink keluar
berjatuhan dari mulutnya. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Zara mengumpulkan kelopak bunga itu
satu persatu di telapak tangannya. Beberapa kelopak bunga itu ternoda darah segar.

Zara menahan sekuat tenaga supaya air matanya tidak tumpah. Perasaan sesak dan sakit ini seperti
membenarkan apa yang dipikirkannya. Bahkan kelopak bunga anyelir pink itu yang seharusnya terlihat
indah malah semakin membuat hatinya hancur ketika menyadari bahwa perasaan Wildan padanya
sudah berubah saat ini.

"Sayang, kamu kenapa?"

Zara segera memperbaiki ekspresi wajahnya. Dia tersenyum lalu menggeleng pelan dan meremas kuat
kelopak bunga anyelir pink yang ada di genggaman tangannya supaya Wildan tidak curiga. Secara diam-
diam dia memasukkan kelopak bunga itu ke dalam tas tangannya. Dan berusaha menahan air matanya
yang sudah menggenang di kelopak matanya agar tak jatuh. Dia menunduk. Takut jika Wildan menyadari
matanya yang sudah memerah dan penuh air mata.

Dengan suara yang sedikit bergetar, dia bertanya, "Mas, kamu masih sayang aku kan?"

Wildan merasa aneh mendengar pertanyaan itu, "Tentu saja aku sayang kamu. Kenapa tanya begitu?"

Zara tidak menjawab dan memilih untuk berpamitan pergi dari apartemen Wildan dengan alasan ada
panggilan mendadak dari rumah sakit tempat ia bekerja. Sebenarnya, dia hanya sudah tidak kuat lagi
untuk menahan air matanya agar tidak tumpah.
~

"Jadi begitu ya? Kamu yakin Wildan benar-benar selingkuh darimu? Bisa saja kamu hanya salah paham
padanya."

Zara menatap Dokter Anne yang sekarang sudah lebih santai ketika berbicara dengannya. Melihat sudah
cukup sering Zara _check up_ rutin soal penyakitnya membuat mereka jadi lebih akrab sekarang. Bahkan
wanita itu mengizinkannya untuk memanggilnya dengan sebutan Mbak dan bukannya Dok lagi.

"Aku tidak tahu, Mbak. Tapi ketika aku membaca semua pesan itu, aku merasa dadaku sesak dan sakit
sekali. Lalu aku batuk dan kelopak bunga ini ikut keluar dari mulutku ketika aku batuk." Zara merogoh
tas tangannya lalu mengeluarkan beberapa kelopak bunga anyelir pink yang sudah layu itu.

Anne mengambil sehelai kelopak yang di permukaannya ternoda darah. Dia mengamatinya sebentar lalu
menghela nafas, "Zara, coba tanyakan soal ini kepada Wildan terlebih dahulu. Mbak sudah baca-baca
soal penyakit yang kamu derita ini di internet. Dan sepertinya apa yang kamu alami saat ini masih gejala
awal dan masih bisa disembuhkan."

"Caranya?"

Anne melanjutkan, "Kamu hanya perlu memastikan perasaan Wildan padamu. Kamu harus
membicarakan ini padanya dan kamu harus bisa membuatnya yakin bahwa dia juga mencintaimu. Lalu
soal penyakit ini kamu juga harus memberitahu dia. Agar dia tidak menyakiti kamu seperti ini lagi secara
tidak sengaja. Jika kamu melakukan semua itu dengan benar, maka ada kemungkinan bunga yang
sekarang sedang tumbuh di paru-parumu akan hilang."

Zara terus-terusan memikirkan apa kata Anne. Dia merasa ragu. Apakah dia memang harus memberi
tahu Wildan soal penyakit ini? Dan apa benar Wildan sudah tidak mencintainya lagi hingga Anne
menyuruhnya untuk memastikan perasaan pria itu padanya? Lalu apa dia akan mati jika perasaan
Wildan sudah benar-benar berubah padanya?

Berpuluh-puluh pertanyaan terus memenuhi benaknya. Bahkan karena pertanyaan-pertanyaan itu


dirinya jadi tidak nafsu makan dan hanya diam menatap kosong lorong rumah sakit yang sepi.

"Hei, Zar, kamu kenapa? Diam saja dari tadi. Sedang ada masalah ya?" tanya Shofi, partner kerjanya
yang merasa tidak biasa melihat dirinya yang biasanya cerewet jadi pendiam seperti ini.

Zara menggeleng lesu, "Tidak apa-apa, Mbak. Hanya kepikiran soal Mas Wildan."

"Mas Wildan kenapa?"

Zara terdiam sebentar. Merasa ragu haruskah dia membahas hal ini bersama Shofi atau tidak. Pada
akhirnya, dia pun berkata, "Akhir-akhir ini kami berdua sama-sama sibuk. Aku agak khawatir kalau
perasaannya padaku mulai berubah."

Shofi terkekeh, suaranya terdengar menenangkan, "Mbak kira kamu kenapa. Hal-hal seperti itu pasti
terjadi pada setiap hubungan. Mbak sendiri juga pernah merasakannya. Tapi kamu jangan khawatir.
Kalau memang saling mencintai, meski jarang bertemu yang namanya perasaan berubah itu tidak
mungkin terjadi. Mungkin malah semakin sayang karena dipicu rasa rindu yang sudah lama dipendam
lantaran jarang bertemu."

Andai semua yang dikatakan Shofi itu benar adanya, Zara tidak perlu repot-repot khawatir soal perasaan
Wildan. Tapi penyakit yang sedang bersemayam di paru-parunya ini memaksanya untuk berbicara
dengan pria itu. Zara jelas tidak ingin mati muda hanya karena penyakit ini. Karena itulah dia tengah
berdiri di depan pintu apartemen Wildan sekarang.

Memencet bel sebanyak 3 kali namun tidak ada sahutan dari dalam. Mungkin Wildan belum pulang
kerja. Sama seperti sebelumnya, Zara memutuskan untuk menunggu Wildan di dalam. Namun, sialnya
dia malah menemukan sesuatu yang benar-benar membuatnya terkejut.
Di meja dekat sofa, ada sebuah map cokelat dengan logo sebuah rumah sakit di pojok bawahnya. Map
itu terlihat masih baru dan tersegel rapi. Zara tidak bisa menahan diri untuk tidak membuka map itu dan
melihat apa isinya. Isinya adalah sebuah kertas putih. Di atas kertas itu ada tulisan tebal yang berbunyi :

Laporan Kesehatan Wildan Saputra

Wildan melakukan pemeriksaan kesehatan? Kenapa dia tidak tahu soal ini? Apa kekasihnya itu sakit?
Zara membaca tulisan di atas kertas putih itu dengan terburu-buru. Ada dua kata bercetak miring yang
mampu membuat detak jantungnya berhenti, hanahaki disease.

Wildan mengidap penyakit langka itu juga?! Zara menatap kertas itu tak percaya. Mengulangi membaca
dua kata itu berkali-kali berharap dia salah baca bahkan sampai mengejanya pun namun kata-kata itu
masih menjadi kata yang sama dan tidak berubah. Tubuhnya terhuyung ke samping dan dia jatuh
terduduk di lantai.

Air mata mengalir dengan sendirinya dari kedua mata cantiknya. Hatinya terasa sangat sakit mengetahui
fakta tersebut. Bagaimana mungkin Wildan juga terkena penyakit itu? Semenderita apa pria itu selama
ini? Kenapa Wildan bahkan tidak bercerita apapun padanya? Dan bagaimana mungkin dia memberitahu
Wildan soal penyakitnya juga sekarang?

Hanahaki disease. Penyakit langka yang disebabkan oleh cinta sepihak. Jadi selama ini Wildan
mengalami cinta sepihak? Tapi kenapa? Dia sangat mencintai Wildan, lalu apanya yang cinta sepihak?
Kecuali, kecuali orang yang Wildan cintai itu bukan dirinya. Air mata Zara semakin tak tertahankan ketika
menyadari fakta itu. Wildan memang tidak mencintainya lagi. Dan jika semua itu dihubungkan dengan
penyakitnya, semuanya jadi masuk akal.

Wildan mencintai wanita lain, karena itulah dia mengalami cinta sepihak ini. Lalu di saat bersamaan,
Wildan juga mengalami cinta sepihak dengan wanita itu dan karena itulah Wildan didiagnosis mengidap
hanahaki disease sama sepertinya.
Zara bertanya-tanya siapa gerangan wanita yang dicintai Wildan itu. Bukannya dia ingin marah. Dia
malah ingin menyatukan keduanya agar Wildan bisa sembuh. Biarkan saja dirinya yang mati. Setidaknya
dia sudah berjuang sejauh ini.

Tiba-tiba, pintu apartemen Wildan terbuka dan pria itupun masuk dengan wajah terkejut. "Lho, kamu
kenapa menangis?"

Dengan terburu-buru Wildan segera menghampirinya yang terlihat menyedihkan terduduk lesu di lantai.
Wajah pria itu terlihat khawatir. Zara semakin menangis ketika melihatnya. Dia menyerahkan map
cokelat di tangannya kepada Wildan dan pria itu pun langsung mengerti apa yang terjadi.

Dengan lembut, dia mengangkat tubuh Zara dan memapahnya untuk duduk di sofa. Dia mengelus
rambut hitam milik wanita itu dan mengusap air matanya yang tak henti-hentinya mengalir. "Maaf, ya.
Mas tidak pernah menceritakan soal ini ke kamu. Karena sejujurnya, mas sendiri juga tidak percaya pada
apa yang tertulis di sini. Ini semua pasti hanya akal-akalan dokter sialan itu. Kamu tidak perlu khawatir
soal ini ya. Mas baik-baik saja kok. Mas sehat dan tidak sakit."

Zara menggeleng. "Mas, penyakit ini benar-benar ada! Meski penyakit ini langka, tapi penyakit ini nyata!
Temanku pernah menangani pasien yang mengidap penyakit ini. Dan aku tahu kalau penyakit ini nyata,
Mas!"

Karena aku juga mengidap penyakit ini!

Zara berteriak keras-keras di dalam hatinya berharap Wildan mendengarnya. Namun pria itu malah
memeluknya. Suaranya halus, "Zara, mungkin kamu hanya kelelahan. Aku yakin aku baik-baik saja. Aku
tidak sedang sakit."

Zara menarik diri dari pelukan Wildan. Suaranya parau dan agak bergetar, "Mas, kamu sudah foto
rontgen? Jika kamu melakukan foto rontgen maka akan terlihat bunga apa yang tumbuh di paru-
parumu. Dan ada kemungkinan kamu bisa sembuh."
Wildan menatap sedih ke arah kekasihnya itu, sepertinya kabar ini mengguncang mentalnya, "Zara,
bunga apa? Tidak ada bunga. Mas baik-baik saja."

Zara terdiam sejenak, dia lalu kembali bersuara, "Waktu mas batuk tidak ada bunga yang keluar?"

Wildan menggeleng, "Tidak ada bunga. Hanya beberapa daun kering dan sedikit darah. Itu bukan hal
yang penting. Ayo, lupakan soal ini."

Zara terdiam memikirkan sesuatu. Daun kering? Kenapa daun kering dan bukannya bunga? Apa benar
Wildan menderita hanahaki disease?

"Mas, kamu harus ke dokter. Temanku bilang, jika penyakit ini dibiarkan maka bisa menyebabkan
kematian."

Setelah semua paksaan Zara yang cukup menguras energi, Wildan pun akhirnya mau untuk diajak pergi
ke dokter bersama wanita itu. Meski dengan wajah yang bersungut-sungut pria itu tetap melangkahkan
kakinya dengan langkah yang berat.

Zara tidak membawa Wildan untuk menemui Anne. Dia membawa Wildan ke rumah sakit tempat pria
itu periksa sebelumnya.

"Sebenarnya, ini pertama kalinya saya menangani kasus ini. Saya sendiri juga merasa aneh dengan
semua ini. Umumnya penyakit hanahaki disease sangat identik dengan batuk yang disertai dengan
keluarnya bunga dari mulut. Namun melihat yang keluar malah daun kering saya benar-benar tidak tahu
harus bilang apa. Dan hasil rontgen ini pun membuktikan bahwa memang ada tanaman yang tumbuh di
paru-paru kekasih Anda. Namun anehnya, tanaman itu tak berbunga."
Dokter itu melanjutkan, "Dan sepertinya Pak Wildan ini sudah mengidap penyakit ini cukup lama dilihat
dari tanamannya yang semakin membesar di paru-parunya. Jika dibiarkan begitu saja, maka bisa
menyebabkan kematian."

Zara menatap Wildan dalam. Dia menggenggam erat tangan pria itu, berharap bahwa pria itu bisa
merasakan kekhawatiran yang membuncah di dalam hatinya. Dia jelas tidak ingin Wildan mati. Dia
sangat menyayangi pria itu. Namun, dia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.

"Apa kalian sepasang kekasih?" tanya Dokter itu tiba-tiba.

Wildan segera mengangguk. "Iya, kami sepasang kekasih."

Dokter itu mengernyit ragu. "Kalian berdua saling mencintai?"

Tidak seperti sebelumnya, Wildan terdiam ketika mendengar pertanyaan itu. Wajahnya terlihat penuh
keraguan namun berusaha ia tutupi karena takut menyakiti perasaan Zara.

"Memangnya kenapa, Dok?"

Dokter itu menggeleng. "Tidak apa-apa. Hanya saja, saya dengar penyakit ini juga bisa sembuh jika
perasaan cinta orang yang mengidapnya dibalas oleh orang yang dicintainya. Jadi karena itulah saya
bertanya. Apa kalian berdua benar-benar saling mencintai? Jika kalian tidak ingin menjawabnya, saya
pun tidak masalah. Namun, saya sarankan, jika tidak ingin mengambil jalan operasi pengangkatan
tanaman itu, sebaiknya Anda berusaha untuk membuat orang yang mencintai Anda supaya membalas
perasaan Anda. Memang tidak mudah, tapi itulah cara yang paling mudah diambil daripada mengambil
langkah untuk melakukan operasi yang bahkan nyawanya pun bisa jadi taruhannya."

"Mas, kita putus saja ya."


Wildan terkejut bukan main mendengar pernyataan itu keluar begitu saja dari mulut Zara. Mereka baru
saja kembali dari rumah sakit dan sekarang sedang duduk bersebelahan di sofa apartemen Wildan.

"Kamu sadar kamu bicara apa?"

Zara menghela nafas panjang lalu mengangguk. "Aku sadar. Sepertinya memang kita tidak ditakdirkan
untuk bersama. Aku tahu perasaanmu kepadaku sudah berubah. Dan aku tahu juga itu semua karena
Via kembali lagi ke hidupmu. Aku tidak ingin kamu mati karena penyakit ini. Karena itu sebaiknya kita
akhiri saja hubungan ini dan berbahagialah bersama orang yang kamu cintai."

Wildan menatap Zara ragu, "Kamu tahu soal Via?"

Zara tersenyum menimpali, "Aku tahu, Mas. Dia mantan kekasihmu yang paling kamu cintai. Dan
sekarang, ketika dia kembali lagi ke hidupmu, kamu masih tetap memilihnya. Kenapa, Mas? Aku belum
cukup baik bagimu? Aku yang menemanimu ketika dia pergi begitu saja darimu. Tapi bahkan sampai
sekarang kamu masih memiliki rasa padanya. Apa selama ini aku hanya pelarianmu?"

Wildan berlutut di hadapan Zara, dia berusaha menggenggam tangan wanita itu namun Zara
menepisnya. "Aku hanya ingin kamu bahagia karena aku sangat mencintaimu. Maafkan aku jika aku
belum bisa menjadi wanita sempurna seperti yang kamu inginkan."

Wildan mengelus wajah wanita itu dengan tangan bergetar. Pipi putihnya sudah basah oleh air matanya
sendiri yang turun melalu mata indahnya. Ah, Wildan benci sekali melihat Zara menangis. Apalagi jika itu
karena dirinya.

"Maafkan aku. Aku sendiri juga tidak tahu kenapa perasaanku padamu bisa goyah. Aku sangat
menyesalinya. Aku tidak tahu kenapa ketika dia kembali aku merasa sangat bahagia bahkan hampir lupa
jika aku sudah memilikimu. Aku hanya terlalu rindu dengannya. Aku sudah terlalu menyakitimu, aku
benar-benar minta maaf. Tapi perasaanku padanya semakin hari semakin tidak bisa dijelaskan, aku—"
Zara menutup mulut Wildan dengan jari telunjuknya. Dia tidak kuat lagi mendengar semua pengakuan
itu. Hatinya serasa diremas dan dicabik-cabik hingga berdarah. Rasanya perih dan sakit sekali. Bahkan
rasa sesak mulai menjalari dadanya yang semakin lama semakin menghebat nyaris membuatnya susah
bernafas.

"Mas, aku tidak ingin menjadi halangan untuk kebahagiaanmu. Semoga kamu bahagia setelah
kepergianku ini. Kamu harus janji padaku bahwa kamu akan bahagia bersamanya. Aku akan pergi jauh
sekali dari hidupmu dan tak akan pernah kembali lagi. Aku minta maaf untuk semua kesalahan yang
pernah aku lakukan kepadamu. Aku mencintaimu. Selamat tinggal, Mas Wildan."

Saat itu juga Zara menghembuskan nafas terakhirnya. Dia sudah tidak kuat menahan rasa sakit yang
teramat sangat seakan menghantam kuat dadanya. Dia merasakan sesuatu yang keras menjalari paru-
parunya hingga naik ke tenggorokannya. Sesuatu itu keras dan menyakitkan karena membuatnya jadi
susah menghirup oksigen. Dan perlahan-lahan, matanya kabur entah karena air mata atau karena rasa
pusing hebat yang ia rasakan di kepalanya.

Zara menikmati semua rasa sakit itu. Ia pikir setelah ini dia tidak perlu merasakan semua rasa sakit ini
lagi. Jadi dia akan menikmatinya secara perlahan-lahan. Membiarkan tanaman itu semakin tumbuh dan
menggerogoti paru-parunya hingga naik ke atas menjulur keluar dari mulutnya. Darah segar mengalir
dari ujung bibirnya yang pucat disertai dengan kelopak bunga anyelir pink yang seakan menertawakan
Wildan yang sedang menangis pilu menyaksikan semua itu.

Setahun setelahnya

Wildan menatap sendu gundukan tanah di hadapannya. Dia berjongkok, membersihkan gundukan itu
dari daun-daun kering yang berserakan di permukaannya. Lalu menyiram gundukan tanah yang kering
itu dengan sebotol air dan menaburinya dengan kelopak bunga anyelir pink yang ia bawa.

Wildan mengusap batu nisan berwarna hitam itu dengan lembut. Dia meraba tulisan nama di
permukaan batu nisan itu. Merasakan teksturnya dan perlahan air mata menuruni kedua matanya. Batu
itu bertuliskan nama orang yang sangat berarti baginya. Orang yang benar-benar menyayanginya namun
juga orang yang disia-siakannya.

Zara Magritha

Wanita cantik yang sangat mencintainya dengan sepenuh hati. Bahkan wanita itu bersedia merelakan
nyawanya sendiri hanya untuk jaminan agar Wildan bisa tetap sehat dan hidup bahagia. Namun Wildan
terlambat menyadari semua itu.

Sebulan setelah kematian Zara, Wildan benar-benar menjalin hubungan kembali dengan Via. Dia
bahagia meski harus kehilangan orang yang juga sangat disayanginya kala itu. Dia masih mengingat
bagaimana pesan Zara sebelum wanita itu menghembuskan nafas terakhirnya. Zara ingin Wildan
bahagia.

Dan dia bahagia bersama Via. Setidaknya itulah yang dia fikirkan saat itu. Sampai pada suatu hari, ketika
dia sedang mendiskusikan pernikahannya dengan Via, secara tiba-tiba perasaan sesak tak tertahankan
serasa seperti menghantam dadanya dengan batu besar. Membuatnya kesusahan untuk bernafas.
Bahkan lehernya serasa seperti dicekik kuat sekali sampai suara sekecil apapun tidak bisa keluar dari
bibirnya.

Tak ada suara yang keluar dan malah darah segar yang mengalir keluar dari ujung bibir pucat itu. Via
yang melihat hal itu pun panik bukan main. Dia tidak tahu harus melakukan apa. Dia hanya sibuk
meneriakkan nama Wildan sambil mengguncang tubuh lelaki itu yang sudah terkulai lemas di atas sofa.

Kala itu, Wildan tidak tahu apa yang terjadi. Dia sudah lama sekali tidak merasakan hal seperti itu sejak
kematian Zara. Dan dia fikir penyakit langka itu sudah sembuh dan hilang dari dirinya. Namun, ketika dia
melihat hasil foto rontgen paru-parunya, dia tidak tahu harus merasa bagaimana.

Di dalam paru-parunya ada sebuah pohon kecil tanpa daun dan juga bunga yang tumbuh. Hanya batang
kayu hitam dengan ranting pohon tajam yang menjalar kemana-mana memenuhi paru-parunya. Bahkan
beberapa ranting sampai menembus dagingnya sendiri hingga membuatnya merasakan rasa perih yang
tidak bisa dijelaskan di bagian dadanya.
Wildan benar-benar bingung saat itu. Seharusnya dia sudah sembuh kan? Dia sekarang sudah bersama
dengan Via. Orang yang dicintainya, mungkin. Tapi dokter bilang penyakitnya malah bertambah semakin
parah sejak terakhir kali dia periksa. Dan jika tidak segera melakukan tindakan, Wildan bisa saja
kehilangan nyawanya.

Tepat ketika dia merasa bingung harus melakukan apa, secara tiba-tiba Anne datang menemuinya.
Awalnya Wildan tidak tahu siapa wanita itu. Namun ketika Anne menceritakan semuanya tentang Zara,
Wildan tidak bisa menahan rasa sakit dan air mata yang mengalir deras dari kedua matanya. Bahkan Via
yang saat itu ada di sampingnya pun tak bisa menahan diri hingga mata wanita itu pun ikut berkaca-
kaca.

Anne menceritakan semua hal yang Zara alami. Masa-masa ketika wanita itu sangat menderita dengan
penyakitnya. Bahkan ketika wanita itu dengan antusias menceritakan soal Wildan kepada Anne meski
dengan wajah dan bibir yang pucat menahan rasa sakitnya. Anne menyadari cinta Zara pada Wildan itu
sangat besar. Belum tentu ada wanita yang mau mengorbankan nyawanya sendiri hanya untuk seorang
lelaki yang bahkan tidak bisa menepati janjinya sendiri untuk terus mencintai wanita itu. Namun, Zara
sanggup.

Wildan merasa sangat bersalah saat itu. Dia merasa menjadi orang terbodoh di dunia karena tidak
mengetahui apapun soal kekasihnya sendiri. Namun, memang Zara juga pandai menyembunyikan
semuanya. Dia sengaja tidak ingin Wildan tahu soal ini. Bahkan sampai sebulan setelah kematiannya pun
Wildan baru mengetahui fakta itu dari Anne.

Dan setelah setahun lamanya, Wildan masih tetap dihantui perasaan bersalah itu. Seminggu sekali dia
selalu datang ke makam Zara hanya untuk menaburkan bunga di atas makam itu atau hanya untuk
menangis dan menggumamkan kata maaf berkali-kali. Dia tidak akan pernah lelah melakukannya. Sama
seperti penyakit ini yang terus bersemayam di dalam dadanya dan menggerogotinya secara perlahan.

Penyakit yang awalnya dia anggap sepele. Penyakit yang mana sebenarnya adalah sebuah kutukan dari
tuhan karena cintanya yang goyah kepada Zara. Penyakit yang tidak akan pernah bisa hilang dari dirinya
karena itu adalah sebuah hukuman yang harus ia terima. Itulah mengapa tanaman yang tumbuh di
dalam dadanya tidak berbunga dan memang tidak akan berbunga sampai kapanpun itu. Menunjukkan
seberapa busuk hatinya sendiri karena tidak bisa mencintai hanya satu wanita saja.
Samar-samar Wildan mendengar sebuah suara yang sangat akrab di telinganya, "Mas Wildan, aku
kangen kamu."

Itu suara Zara. Suara yang selalu terdengar manis di telinga Wildan dan menjadi suara favoritnya selama
ini. Wildan menatap sekitar. Di area pemakaman itu hanya ada dirinya. Tidak ada siapapun, bahkan Zara.
Karena wanita itu mungkin sekarang sudah berada di surga dan sedang sibuk menertawakannya.

"Aku juga kangen kamu." Wildan mengusap sekali lagi nisan hitam itu dan mengecupnya lembut. Seolah-
olah nisan itu adalah orang yang sangat dikasihinya.

Wildan berusaha bangkit namun tubuhnya terasa sangat lemas. Wajahnya berubaht pucat. Kepalanya
berdenyut hebat hingga membuat penglihatannya berkunang-kunang. Secara tiba-tiba dia terbatuk
hebat beberapa kali. Dan setiap dia batuk, darah merah segar muncrat keluar membasahi batu nisan
Zara.

Wildan merasakan sesuatu yang semakin membesar di paru-parunya. Seakan-akan bisa meledak kapan
saja. Namun hal itu tidak membuatnya takut. Dia harus menerima semua ini. Dengan tersenyum lembut
dia membaringkan tubuhnya sendiri di samping gundukan makam itu dan mulai memejamkan matanya.
Menikmati semua rasa sakit yang tuhan berikan kepadanya sebelum berbisik lembut, "Zara, kita akan
segera bertemu."

END

By Siti Fatimatuz Zahroh (19)


XII - FKK

Anda mungkin juga menyukai