Anda di halaman 1dari 19

i

INTERAKSI OBAT
Definisi
Interaksi obat merupakan salah satu kategori masalah terkait obat (drug related problem) yang diidentifikasi sebagai kejadian atau keadaan
terapi obat yang dapat mempengaruhi outcome klinis pasien yang didefinisikan sebagai fenomena yang terjadi ketika efek
farmakodinamik dan farmakokinetik dari suatu obat berubah karena adanya pemberian obat yang lain (Tatro 2006).
Interaksi obat dengan obat merupakan kejadian interaksi obat yang dapat terjadi bila penggunaan bersama dua macam obat atau lebih
(Katzung 2007). Menurut (Bushra et al. 2011) Interaksi obat adalah keadaan dimana suatu zat mempengaruhi aktivitas obat, dimana dapat
menghasilkan efek meningkat, menurun atau menghasilkan efek baru yang tidak dihasilkan obat tersebut. Interaksi ini dapat terjadi dari
penyalahgunaan yang disengaja atau karena kurangnya pengetahuan tentang bahan-bahan aktif yang terdapat dalam zat terkait.

Jenis Interaksi Obat


Menurut (Fradgley 2003) jenis interaksi obat dibagi menjadi 3 macam menurut jenis mekanisme kerjanya , yaitu terdiri dari :
a. Interaksi Farmasetik (Inkompatibilitas)
Inkompatibilitas terjadi di luar tubuh (sebelum obat diberikan) antara obat yang tidak dapat dicampur (inkompatibel).
Pencampuran obat demikian menyebabkan terjadinya interaksi langsung secara fisik atau kimiawi yang hasilnya mungkin terlihat
sebagai pembentukan endapan, perubahan warna dan lain-lain, atau mungkin juga tidak terlihat. Interaksi ini berakibat inaktivasi obat
(Ganiswara 2008).
Interaksi ini terjadi diluar tubuh ( sebelum obat di berikan) antara obat yang tidak bisa di campur (inkompatibel). Pencampuran
obat demekian menyebabkan terjadinya interaksi langsung secara fisika atau kimiawi, yang hasilnya mungkin terlihat sebagai
pembentukan endapan, perubahan warna dan lain-lain, atau mungkin juga tidak terlihat. Interaksi ini biasanya berakibat inaktivasi
obat (Setiawati, 2003).
Beberapa tindakan untuk menghindari interaksi farmasetik yaitu:
1) Jangan memberikan suntikan campuran obat kecuali kalau yakin betul bahwa tidak ada interaksi antar masing-masing obat.
2) Dianjurkan sedapat mungkin juga menghindari pemberian obat bersama-sama lewat infuse.
3) Selalu memperhatikan petunjuk pemberian obat dari pembuatnya (manufacturer leaflet), untuk melihat peringatan-peringatan
pada pencampuran dan cara pemberian obat (terutama untuk obat-obat parenteral misalnya injeksi infus dan lain-lain)
4) Sebelum memakai larutan untuk pemberian infus, intravenosa atau yang lain, diperhatikan bahwa perubahan warna, kekeruhan,
dari larutan.
5) Siapkan larutan hanya kalau diperlukan saja.
6) Botol infus harus selalu diberi label tentang jenis larutannya, obatobatan yang sudah di masukkan, termasuk dosis dan waktunya.
7) Jika harus memberi per infus dua macam obat, berikan 2 jalur infus, kecuali kalau yakin tidak ada interaksi.

b. Interaksi Farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik adalah perubahan yang terjadi pada absorbsi, distribusi, metabolisme atau biotransformasi dan ekskresi
(Interaksi ADME) dari satu obat atau lebih (Kee dan Hayes 1996). Interaksi obat secara farmakokinetik yang terjadi pada suatu obat
tidak dapat di ekstrapolasikan (tidak berlaku) untuk obat lainnya meskipun masih dalam satu kelas terapi, disebabkam karena adanya
perbedaan sifat fisikokimia yang menghasilkan sifat farmakokinetik yang berbeda (Gitawati 2008).
Interaksi farmakokinetik merupakan interaksi yang terjadi apabila satu obat mengubah absorbsi, distribusi, biotransformasi atau
eliminasi obat lain. Absorpsi dapat diubah jika obat pengubah pH atau motilitas diberikan secara bersamaan, seperti yang tampak
pada pengobatan antitukak atau antidiare tertentu (tetrasiklin dan kation divalen, kolestiramin dan obat anion). Perubahan distribusi
dapat disebabkan oleh kompetisi untuk ikatan protein (ikatan obat sulfa dan bilirubin pada albumin) atau pergeseran dari tempat
ikatan-jaringan (digitalis dan pemblok kanal kalsium atau kuinidin). Pada perubahan biotransformasi atau metabolisme, sebagai

3
contoh induksi digambarkan dengan jelas oleh pengobatan antikonvulsan utama, yaitu fenitoin, karbamazepin dan barbiturat,
sedangkan inhibisi dapat ditimbulkan oleh antimikroba kuinolon, makrolida, dan golongan azol. Pada perubahan ekskresi dapat pula
dimodifikasi oleh obat pengubah pH urin, seperti pada inhibitor karbonat anhidrase, atau mengubah jalur sekresi dan reabsorpsi,
seperti yang disebabkan oleh probenesid. Interaksi farmakokinetika secara umum menyebabkan perubahan konsentrasi obat aktif atau
metabolit dalam tubuh, yang memodifikasi respon terapeutik yang diharapkan (Ashraf, 2012).
a) Fase Absorpsi
Apabila menggunakan dua atau lebih obat pada waktu yang bersamaan, maka laju absorbsi dari salah satu atau kedua obat
akan berubah. Obat tersebut dapat menghambat, menurunkan, atau meningkatkan laju absorbsi obat yang lain. Interaksi pada fase
absorbsi dapat terjadi dengan jalan diantaranya memperpendek atau memperpanjang waktu pengosongan lambung yaitu dengan
merubah pH lambung atau membentuk kompleks obat (Kee and Hayes, 1996).
Contoh obat yang dapat meningkatkan kecepatan pengosongan lambung adalah laksatif yaitu bisakodil dengan
meningkatkan motilitas atau pergerakan lambung dan usus sehingga dapat menurunkan absorbsi dari digoksin (Wang et al, 1990).
Obat yang dapat memperpendek waktu pengosongan dan menurunkan motilitas GI adalah obat-obat narkotik dan antikolinergik
(obat-obat mirip atropin), sehingga dapat meningkatkan laju absorbsi. Semakin lama obat berada dalam lambung atau usus halus,
maka semakin banyak pula jumlah obat yang akan diabsorbsi (hanya untuk obat diabsorbsi di lambung). Pada pH lambung yang
asam, maka obat yang bersifat asam seperti aspirin akan lebih mudah diabsorbsi. Lambung dapat menjadi basa bila diberi
antasida seperti Maalox (Alumunium hidroksida, Magnesium hidroksida dan simetikon) dan Amphojel (Alumunium hidroksida)
yang dapat menurunkan absorbsi obat bersifat asam. Selain itu, antasida yang mengandung logam alumunium, magnesium dapat
membentuk kompleks dengan tetrasiklin. Tetrasiklin ini juga dapat membentuk kompleks dengan logam kalsium, besi, susu.
Kompleks ini membuat tetrasiklin tidak dapat diabsorbsi (Kee and Hayes, 1996).
Obat yang diberikan secara oral, absorpsinya disaluran pencernaan kompleks, dan bervariasi sehingga menyebabkan

4
interaksi obat tipe ini sulit diperkirakan. Perlu dibedakan antara interaksi yang mengurangi kecepatan absorpsi dan interaksi yang
mengurangi jumlah obat yang diabsorpsi (Fradgley 2003). Contoh yang termasuk interaksi dalam hal absorpsi adalah Vitamin E
dengan Fero Sulfat, dimana menurunkan pH lambung dan meningkatkan kadar Fe.
b) Fase Distribusi
Interaksi pada fase distribusi dapat terjadi ketika dua obat bersaing untuk mendapatkan tempat pada protein atau albumin di
dalam plasma. Apab ila salah satu obat tergeser dari ikatan protein maka akan banyak obat dalam bentuk bebas yang bersirkulasi
dalam plasma, sehingga dapat meningkatkan kerja obat dan menimbulkan toksik. Interaksi pada fase distribusi hanya terjadi jika
obat tersebut memiliki ikatan kuat dengan protein (> 90%), obat dengan jendela terapi sempit, volume distribusi kecil dan
memiliki onset yang cepat. Derivat sulfonamide, salisilat, fenilbutazon memiliki ikatan kuat dengan protein, obat-obat ini dapat
menggeser obat yang tidak terikat kuat dengan protein (Wang, 2008). Fenilbutazon dapat menggeser posisi warfarin yang
berikatan dengan albumin, hal ini dapat meningkatkan jumlah warfarin dalam bentuk bebas di dalam plasma dan dapat
meningkatkan efek antikoagulan dari warfarin (Banfield et al, 1983). Jika terdapat dua obat yang berikatan tinggi dengan protein
yang harus dipakai bersamaan, dosis salah satu atau kedua obat tersebut perlu dikurangi untuk menghindari toksisitas obat (Kee
and Hayes, 1996).
Penggunaan dua obat atau lebih secara bersamaan dapat mempengaruhi proses distribusi obat dalam tubuh. Dua obat yang
berikatan tinggi pada protein atau albumin akan bersaing untuk mendapatkan tempat pada protein atau albumin dalam plasma
sehingga akan terjadi penurunan pada ikatan protein salah satu atau lebih obat. Akibatnya banyak obat bebas dalam plasma yang
bersirkulasi dan menyebabkan toksisitas serta mempengaruhi respon farmakologik (Stockley 2008).
Contohnya pada penggunaan Fenitoin dan Fenilbutazon, dimana Fenilbutazon meningkatkan toksisitas fenitoin.
c) Fase Metabolisme
Metabolisme atau biotransformasi adalah proses memetabolisme atau merubah senyawa obat yang biasanya bersifat lipofil

5
(non polar) yang sukar dieliminasi menjadi metabolit inaktif (polar) sehingga mudah untuk dieliminasi dari tubuh melalui urin
dan feses. Proses ini dilakukan oleh enzim pemetabolisme yang ada di hati. Interaksi obat pada fase ini dapat meningkatkan atau
menurunkan kadar obat di dalam darah (Wynn et al., 2009). Interaksi fase metabolisme dapat terjadi melalui beberapa cara,
yaitu :
1) Induksi enzim Pada peristiwa ini dapat menurunkan kadar dari salah satu obat di dalam plasma dan mempercepat
eliminasinya. Hal ini dikarenakan enzim pemetabolisme diinduksi sehingga produksi enzim lebih banyak dan lebih aktif
untuk memetabolisme obat. Obat penginduksi enzim ini dapat menurunkan kerja dari obat lain. Contoh obat penginduksi
enzim adalah barbiturat (fenobarbital) yang meningkatkan metabolisme penghambat reseptor beta (propanolol).
2) Inhibisi enzim Obat penginhibisi enzim dapat meningkatkan kadar obat lain di dalam plasma dan memperlama eliminasinya.
Interaksi ini dapat meningkatkan kerja obat, tetapi juga dapat menimbulkan toksisitas. Contohnya adalah obat antitukak
lambung (simetidin) menurunkan metabolisme teofilin (antiasma) dalam plasma. Dosis teofilin harus diturunkan untuk
menghindari toksisitas. Jika simetidin dihentikan, maka dosis teofilin perlu disesuaikan. Contoh - contoh interaksi obat fase
metabolisme Isoenzim Inhibitor Inducer Substrat CYP286 Thiotepa Phenobarbital Cyclophospamid Ifosfamid CYP2C8
Gemfibrozil Rifampicin Trimethoprim Pioglitazon Repaglinid Rosiglitazo CYP2C9 Amiodaron Azol Miconazol Aprepiran
Rifampicin Irbesartan Losartan Nataglinid (Baxter, 2008) d).
Dapat mengubah senyawa aktif yang larut lemak menjadi senyawa larut air yang tidak aktif, yang nantinya akan
diekskresikan terutama melalui ginjal. Suatu obat dapat meningkatkan metabolisme obat lain dengan menginduksi enzim
pemetabolisme di hati. Metabolisme yang meningkat akan mempercepat proses eliminasi obat dan menurunkan konsentrasi obat
dalam plasma sehingga perlu diketahui apakah obat yang digunakan adalah jenis obat aktif atau bukan karena jika obat yang
dikonsumsi adalah jenis obat tidak aktif maka obat akan aktif setelah dimetabolisme sehingga metabolit yang dihasilkan semakin
banyak karena metabolisme meningkat (Kee dan Hayes 1996).

6
Contohnya pada penggunaan Omeprazole dan Diazepam, dimana Omeprazole menghambat Isoenzim 2C19 CYP 450
sehingga metabolism Diazepam menurun. Akibatnya, aktivitas Diazepam meningkat.
d) Fase Ekskresi
Mekanisme interaksi obat dapat terjadi pada fase ekskresi melalui empedu, sirkulasi enterohepatik, sekresi tubuli ginjal dan
perubahan pH urin. Interaksi obat fase ekskresi melalui ekskresi empedu terjadi akibat kompetisi antara obat dan metabolit obat
untuk sistem transport yang sama, contohnya kuinidin dapat menurunkan ekskresi empedu digoksin, probenesid menurunkan
ekskresi empedu dari rifampisin. Obat – obat tersebut memiliki sistem transporter protein yang sama, yaitu P – glikoprotein.
Interaksi obat fase ekskresi pada sirkulasi enterohepatik dapat terjadi akibat supresi flora normal usus yang berfungsi untuk
menghidrolisis konjugat obat, akibat supresi flora normal usus konjugat obat tidak dapat dihidrolisis dan direabsorbsi.
Contohnya adalah antibiotik rifampisin dan neomisin dapat mensupresi flora normal usus dan dapat mengganggu sirkulasi
enterohepatik metabolit konjugat obat kontrasepsi oral atau hormonal, sehingga kontrasepsi oral tidak dapat dihidrolisis,
reabsorbsinya terhambat dan efek kontrasepsi menurun (Gitawati, 2008). Interaksi obat pada sekresi tubuli ginjal terjadi akibat
kompetisi antara obat dan metabolit obat untuk sistem transport yang sama, terutama system transport untuk obat bersifat asam
dan metabolit yang bersifat asam. Contohnya adalah fenilbutazon dan indometasin dapat menghambat sekresi tubuli ginjal obat –
obat diuretik thiazid dan furosemid, sehingga efek diuretiknya menurun.Interaksi obat karena perubahan pH urin dapat
mengakibatkan perubahan klirens ginjal melalui perubahan jumlah reabsorbsi pasif di tubuli ginjal. Interaksi ini akan bermakna
klinik bila fraksi obat yang diekskresi utuh oleh ginjal cukup besar (> 30%) dan obat berupa basa lemah dengan pKa 7,5 – 10 atau
asam lemah dengan pKa 3,0 – 7,5. Contohnya adalah efedrin yang merupakan basa lemah dengan obat yang dapat mengasamkan
urin seperti Ammonium Klorida dapat menyebabkan klirens ginjal efedrin menurun. Fenobarbital yang bersifat asam dengan obat
yang membasakan urin seperti antasida dapat menyebabkan klirens ginjal fenobarbital menurun dan efeknya juga menurun.
(Gitawati, 2008)

7
Pada nilai pH tinggi obat-obat yang bersifat asam lemah (pKa 3– 7,5) sebagian besar ditemukan dalam molekul terionisasi
lipid yang tidak 15 dapat berdifusi dalam sel tubulus sehingga akan tetap berada dalam urin dan dikeluarkan dari tubuh dan
sebaliknya untuk basa lemah dengan pKa 7,5 – 10,5. Perubahan pH dapat meningkatkan atau mengurangi jumlah obat dalam
bentuk terionisasi yang mempengaruhi hilangnya obat dari tubuh (Stockley 2008).
Contohnya pada penggunaan Litium dan Tiazid, dimana meningkatkan toksisitas Litium.

c. Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang dapat mempengaruhi efek dari salah satu obat. Interaksi ini dapat menimbulkan
efek sinergi dan antagonis karena memiliki mekanisme aksi sama (Ismail et al., 2013).
Interaksi farmakodinamik :
1) Sinergisme adalah apabila dua obat atau lebih digunakan secara bersamaan dapat memberikan efek sinergi atau memberikan
efek yang lebih menguntungkan daripada penggunaan tunggal. Sebagai contoh adalah pemberian dua obat yang bersifat
sedatif-hipnotik seperti benzodiazepin dan antihistamin. Efek sedasi dan depresi SSP lebih meningkat daripada penggunaan
tunggal. tetapi, walaupun menguntungkan, tetap dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan, maka penggunaan kombinasi
harus secara tepat, hati-hati, dan terus dikontrol.
2) Antagonis terjadi ketika efek farmakologis dari salah satu obat berkurang karena penggunaan obat secara bersamaan, tanpa
menurunkan kadar obatnya di dalam darah.
Mekanisme interaksi farmakodinamik adalah dengan menempati sisi reseptor antagonis, sehingga tidak akan menimbulkan efek
farmakodinamik, namun menghalangi agonis endogen untuk menempati reseptor dan menimbulkan efek farmakodinamik. Ini dapat
mempengaruhi theraupetic outcome. Contoh interaksi ini adalah kombinasi antara TCA dan guanetidin sebagai antihipertensi yang
dapat berakibat pada penurunan efikasi teraupetik.Mekanisme aksi TCA adalah menghambat reuptake neurotransmitter pada sinapsis

8
noradrenergik. Sisi aksi guanetidin adalah pada presinap adrenergik neuron dimana aksinya adalah mengganti katekolamin yang berisi
gelembung dari native neurotransmitter, sehingga dapat menimbulkan efek antihipetensi. Transporter yang dimediasi oleh reuptake
norepineprin dihambat oleh TCA. Sehingga, guanetidin tidak dapat menjangkau sisi aksi yang membuatnya tidak aktif lagi sebagai
antihipertensi.
Antagonisme Interaksi terjadi bila obat yang berinteraksi memiliki efek farmakologi yang berlawanan sehingga mengakibatkan
pengurangan hasil yang diinginkan dari satu atau lebih obat.
Efek reseptor tidak langsung Kombinasi ini dapat bekerja melalui mekanisme saling mempengaruhi efek reseptor yang meliputi
sirkulasi kendali fisiologi atau biokimia Efek dan keparahan interaksi obat dapat sangat bervariasi antara pasien yang satu dengan
yang lain. Berbagai faktor dapat mempengaruhi kerentanan pasien terhadap interaksi obat.
Pasien yang rentan terhadap interaksi obat antara lain:
a) Pasien lanjut usia
b) Pasien yang minum lebih dari satu macam obat
c) Pasien yang mempunyai ganguan fungsi hati dan ginjal
d) Pasien dengan penyakit akut
e) Pasien dengan penyakit yang tidak stabil
f) Pasien yang mempunyai karakteristik genetik tertentu
g) Pasien yang dirawat lebih dari satu dokter Strategi pelaksanaan interaksi obat meliputi (Fragley, 2003)
Menurut Gitawati (2008) interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja
atau sistem fisiologik yang sama. Interaksi farmakodinamik umumnya dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan
obat yang berinteraksi, karena klasifikasi obat adalah berdasarkan efek farmakodinamiknya. Umumnya kejadian interaksi
farmakodinamik dapat diramalkan sehingga dapat dihindari sebelumnya jika diketahui mekanisme kerja obatnya.

9
Contoh obat antihipertensi yang menyebabkan interaksi farmakodinamik yaitu kaptopril dan furosemid yang dapat
meningkatkan efek hipotensi, mengurangi efek dari furosemid dan meningkatkan resiko hiperkalemia berat (Stockley 2008).Derajat

Keparahan Interaksi
Keparahan interaksi diberi tingkatan dan dapat diklasifikasikan yang dikemukakan oleh Bailie (2004) yaitu sebagai berikut :
1. Keparahan Minor
Sebuah interaksi termasuk kedalam keparahan minor jika interaksi mungkin terjadi tetapi dipertimbangkan signifikan potensial
berbahaya terhadapa pasien jika terjadi kelalaian.
2. Keparahan Moderate
Sebuah interaksi termasuk kedalam keparahan jika satu dari bahaya potensial mungkin terjadi pada pasien dan beberapa tipe
intervensi atau monitoring sering diperlukan. Efek interaksi moderate mungkin menyebabkan perubahan status klinis pasien,
menyebabkan perawatan tambahan, perawatan di rumah sakit atau perpanjangan lama tinggal di rumah sakit.
3. Keparahan Mayor
Sebuah interaksi termasuk dalam keparahan mayor jika terdapat probabilitas yang tinggi kejadian yang membahayakan pasien
termasuk kejadian yang menyangkut nyawa pasien dan terjadinya kerusakan permanen.

Level Signifikan Interaksi Obat


Signifikan klinik interaksi obat dikelompokkan berdasarkan keparahan dan dokumentasi interaksi yang terjadi.
Terdapat 5 macam dokumentasi interaksi, yaitu: establish (interaksi sangat mantap terjadi), probable (interaksi obat dapat terjadi),
suspected (interaksi obat diduga terjadi), possible (interaksi obat belum dapat terjadi), unlikely (kemungkinan besar interaksi obat tidak
terjadi).

10
Derajat keparahan akibat interaksi diklasifikasikan menjadi minor (dapat diatasi dengan baik), moderat (efek sedang, dapat
menyebabkan kerusakan organ), mayor (efek fatal, dapat menyebabkan kematian) (Tatro 2001).
Menurut Tatro (2001), Interaksi obat berdasarkan signifikansiya dapat diklasifikasikan menjadi 5 yaitu :
a. Level Signifikan 1
Interaksi dengan signifikansi ini memiliki keparahan mayor dan terdokumentasi suspected, probable, atau established.
b. Level Signifikan 2
Interaksi dengan signifikansi kedua ini memiliki tingkat keparahan moderat dan terdokumentasi suspected, probable, atau established.
c. Level Signifikan 3
Interaksi ini memiliki tingkat keparahan minor dan terdokumentasi suspected, probable, atau established.
d. Level Signifikan 4
Interaksi ini memiliki keparahan mayor / moderat dan terdokumentasi possible.
e. Level Signifikan 5
Interaksi dalam signifikansi ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tingkat keparahan minor dan terdokumentasi possible serta
keparahan mayor, moderat, minor dan terdokumentasi unlikely (Tatro 2001).

Penatalaksanaan Interaksi Obat


Penatalaksanaan interaksi obat yang pertama yaitu perlu mengetahui adanya kemungkinan interaksi obat-obatan yang dikonsumsi
oleh pasien. Kemudian bila terdapat interaksi pada obat-obatan yang dikonsumsi pasien, sebaiknya memberitahukan ke dokter dan
mendiskusikan dengan dokter bagaimana langkah yang akan diambil untuk meminimalkan efek samping yang terjadi. Menurut jurnal
Ansari (2010), disebutkan beberapa pilihan dalam manajemen interaksi obat pada pasien, yaitu :

11
1. Menghindari kombinasi seluruhnya, untuk beberapa interaksi obat, risiko selalu melebihi efek terapinya, dan kombinasi harus
dihindari.
2. Menyesuaikan dosis obat. Terkadang dalam memberikan dua obat yang berinteraksi kemungkinan aman digunakan selama dosis obat
disesuaikan.
3. Memberikan jarak penggunaan untuk menghindari interaksi. Untuk beberapa interaksi yang melibatkan ikatan dalam saluran
pencernaan, untuk menghindari interaksi dapat diberikan jarak penggunaan antara obat-obat minimal 2 jam sebelumnya atau 4 jam
setelahnya.
Pemantauan untuk deteksi dini. Terkadang dalam beberapa kasus ketika kombinasi antara obat yang berinteraksi diperlukan dalam
penggunaan, pasien harus terus dipantau untuk melihat efek dari interaksi yang mungkin terjadi. Dengan pemantauan ini, perubahan dosis
yang tepat dapat dibuat atau penggunaan obat dihentikan bila perlu. Memberikan informasi kepada pasien kemungkinan efek yang
merugikan dan interaksi antar obat yang digunakan. Terkadang pasien menggunakan kombinasi obat yang berinteraksi tanpa diberikan
informasi tentang konsekuensi dari penggunaan obat yang diberikan. Meningkatkan kegunaan sistem penyaringan (screening)
komputerisasi. Sistem screening interaksi obat komputerisasi belum sesukses sebagai salah satu harapan pengidentifikasi interaksi obat
yang ideal. Sehingga harus lebih ditingkatkan fungsinya (Ansari 2010).

3.1.1 PROFIL PENGOBATAN PASIEN


a) Obat yang dikonsumsi pasien di ruang perawatan (nama obat yg di bold pasien rutin menggunakan dirumah)

12
Tanggal Tanggal Tanggal Tanggal
No Nama obat Dosis 28/10 29/10 30/10 31/10
7 12 18 22 7 12 18 22 7 12 18 22 7 12 18 22
2. Combivent 4x1 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
3. Fosular Inj 1 gram 3x1 √ √ √ - √ √ √ - √ √ √ - √ √ √ -
4. Captopril 12,5 3 3x1 √ √ √ - √ √ √ - √ √ √ - √ √ √ -
5. Betablok 50 1x1 √ - - - √ - - - √ - - - √ - - -
6. Zanidip 10 1x1 √ - - - √ - - √ - - - √ - - -
7. Janumet 50/1000 2x1 √ - √ - Stop
8. Crestor 20 1x1 - - - √ - - - √ - - - √ - - - √
9. Lipantyl Penta 1x1 - - - √ - - - √ - - - √ - - - √
10. Allopurinol 100 1x½ - √ - - - √ - - - √ - - - √ - -
11. Ricovir 300 1x1 √ √ - - - - - - - - - - - - - -
12. Urispas 2x1 √ - √ - √ - √ - √ - √ - √ - √ -
13. Avodart 1x1 - √ - - - √ - - - √ - - - √ - -
14. Plavix 75 1x1 √ - - - √ - - - √ - - - √ - - -
15. Provital Plus 1x1 √ - - - √ - - - √ - - - √ - - -
16. Forxiga 10 1x1 √ - - - √ - - - √ - - - √ - - -
17. Prorenal 3x1 √ √ √ - √ √ √ - √ √ √ - √ √ √ -
18. Xepazym 3x1 √ √ √ - √ √ √ - √ √ √ - √ √ √ -
19. Fartolin Nebu Diberikan extra ketika pasien merasakan sesak
20. Budesma Nebu 13extra ketika pasien merasakan sesak
Diberikan
21. Ativan 1 mg Diberikan extra jika pasien tidak bisa tidur pada malam hari.
b) Obat pasien pada saat pulang
a. Cefspam 200 mg = 2 x 1 untuk 5 hari
b. Lancid 30 mg : 2x 1 untuk 5 hari

14
INTERAKSI OBAT YANG TERJADI

No Nama Obat Mekanisme Interaksi Jenis Interaksi Manajemen Keterangan


Interaksi
1. Captopril + Menyebabkan Farmakodinamik Monitoring untuk Mayor
Allopurinol Sindrom Stevens- setiap tanda-tanda
Johnson dan hipersensitivitas
Peningkatan (mis. reaksi kulit)
Hipersensitivitas dari atau jumlah sel
Allopurinol. Terjadi darah putih yang
anafilaksis dan infark rendah (sakit
miokard tenggorokan,
demam), terutama
Kombinasi ACEi dan jika pasien
Allopurinol dapat memiliki
meningkatkan risiko gangguan ginjal.
leukopenia dan
infeksi serius,
terutama pada
gangguan ginjal.

2. Lancid Lansoprazole Farmakokinetik Hindari Minor


(Lansoprazole) mengurangi efek penggunaan
+ Plavix Clopidogrel dengan secara bersamaan
(Clopidogrel) mempengaruhi enzim
hati CYP2C19. Rata- Bila memang
rata AUC dari perlu agen
metabolit aktif penekan asam
Clopidogrel berkurang lambung, ganti
14% ketika dengan Ranitidin
Lansoprazole atau obat inhibisi
digunakan bersama CYP2C19
dibandingkan dengan terendah
pemberian Clopidogrel
saja pada subyek sehat Jika penggunaan
yang merupakan PPI tidak dapat
metabolizer luas dihindari, maka
CYP2C19 pilihlah PPI
dengan inhibisi
Efikasi klinis CYP2C19
Clopidogrel terhambat terendah, seperti
dan meningkatkan Pantoprazole
resiko serangan
kardiovaskuler
lanjutan setelah infark

15
miokard atau
thrombosis stent
setelah PCI.
3. Urispas Flavoxate Farmakodinamik Diberi jeda saat Minor
(Flavoxate) + meningkatkan efek diminum antara
Betablok Atenolol kedua obat ini
(Atenolol)
4. Liphantyl Fenofibrat Farmakodinamik Diberi jeda saat Minor
Penta meningkatkan kadar diminum antara
(Fenofibrat Tenofovir dengan kedua obat ini
micronized) + mengurangi
Ricovir pembersihan ginjal
( Tenofovir dan meningkatkan
DF) risiko miopati
5. Liphantyl Fenofibrat Farmakodinamik Pantau kadar Minor
Penta meningkatkan risiko ureum kreatinin
(Fenofibrat Rhabdomyolisis bila pasien karena
micronized) ditambahkan rejimen efek samping
+Crestor(Rosu Statin dari kombinasi
vastatin) Fenofibrat dan
Meningkatkan risiko Rosuvastatin
miopati bila diberikan
secara bersamaan
6. Forxiga Dipagliflozin dapat Farmakodinamik Pantau kadar Moderate
(Dapagliflozin) menyebabkan elektrolit dalam
+ Betablok hilangnya garam dan darah
(Atenolol) air, yang dapat
meningkatkan risiko
dehidrasi dan tekanan Sebaiknya diberi
darah rendah ketika jeda waktu
digunakan oleh pemberian, jika
Atenolol atau obat- digunakan secara
obatan serupa bersama-sama

INTERAKSI OBAT YANG TERJADI

No Nama Obat Mekanisme Jenis Interaksi Manajemen Keterangan


Interaksi Interaksi
1. Valsartan + Antagonis reseptor Farmakodinamik Sebaiknya tidak Mayor
Spironolactone angiotensin II diberikan secara
mengurangi kadar bersamaan dan
aldosteron yang perlu peningkatan
menyebabkan retensi dalam

16
kalium. Efek ini pemantauan
bertambah besar kalium serum dan
dengan penggunaan dosis
sprionolakton yang sprionolakton
memiliki efek tidak boleh
samping melebihi 25 mg
hiperkalemia. tiap hari
Akibatnya kalium
yang dikeluarkan
tidak terkontrol.
2. Bisoprolol + Aksi kardiovaskuler Farmakokinetika Monitoring status Moderat
Furosemide dari bisoprolol dapat kardiovaskuler
meningkat. Dapat pasien. Sesuaikan
meningkatkan resiko dosis dari beta
hiperglikemia dan blocker sesuai
hipertrigliseridemia kebutuhan.
pada pasien DM. Pantau juga kadar
kalium serum,
tekanan darah dan
glukosa pasien.

3. Valsartan + Valsartan meningkat Farmakodinamik Monitor serum Moderat


Furosemide dan furosemide kalium pada
mengurangi serum pasien.
kalium.
4. Valsartan + Valsartan dan Farmakodinamik Pantau terus Moderat
Bisoprolol bisoprolol keduanya status klnis pasien
meningkatkan kalium
serum.

5. Spironolakton + Spironolakton Farmakodinamik Modifikasi terapi Moderat


Furosemide meningkat dan atau pemantauan
furosemid secara ketat.
menurunkan kalium
serum.
6. Bisoprolol + Bisoprolol dan Farmakodinamik Perlu Moderat
Spironolactone spironolakton penyesuaian
keduanya dosis atau
meningkatkan kalium kontrol tekanan
serum. Kombinasi ini darah secara
dapat menurunkan rutin. Pantau
tekanan darah dan juga kadar
memperlambat detak kalium serum
jantung. Hal ini dapat pasien.
menyebabkan
pusing, lemas dan

17
detak jantung tidak
teratur.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ayu, C., Umi, A., Mufarrihah dan Yunita, N. 2014. Drug Therapy Problems Pada Pasien
Yang Menerima Resep Polifarmasi (Studi di Apotek Farmasi Airlangga Surabaya). Jurnal
Farmasi Komunitas. Vol 1(1) : 18-23.
2. Ansari, J. 2010. Drug Interaction and Pharmacist. Journal of Young Pharmacist. Vol 2(3) :
326-333.
3. Aslam, M., Tan, C dan Prayitno, A. 2003. Farmasi Klinis (Clinical Pharmacy) Menuju
Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien. Jakarta : PT. elex Media
Komputindo.
4. Departemen Kesehatan RI. 2008. Profil kesehatan Indonesia 2007. Jakarta : Depkes RI
Jakarta.
5. Fradgley, S., 2003, Interaksi Obat dalam Aslam, M., Tan., C., K., dan Prayitno, A., Farmasi
Klinis, 119-130, Penerbit PT. Elex Media Komputindo kelompok Gramedia, Jakarta.
6. Jones RM. 2008. Patient Assesment In Pharmacy Practice.
7. Movva, Ramya., A. Jampani, J. Nathani dan S. Harsha. 2015. A Prospective Study of
Incidence of Medication-Related Problems in General Medicine Ward of A Tertiary Care
Hospital. Journal of Advanced Pharmaceutical Technology and Research. 6(4): 190-194.
8. Mutschler. E. 1991. Dinamika Obat. Edisi ke-5. Bandung: Penerbit ITB.
9. Republik Indonesia, 2016, Peraturan Meteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72
Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, Jakarta.
10. Stocley, 1 H. 1999. Drug Interaction. 5 th Edition. Lomdon: The Pharmaceutical Press.
11. Tatro, D.S. 2006. Drug Interaction Fact, fifth edition, facts and comparisions A California:
Wolter Kluwer Company.
12. Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja, 2007, Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan dan
Efek-Efek Sampingnya, Edisi Keenam, 262, 269-271, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta.

18
19

Anda mungkin juga menyukai