Anda di halaman 1dari 18

NILAI-NILAI SUFISTIK MENURUT PANDANGAN SYEH ABDUL QADIR

JILANI DALAM KEPEMIMPINAN SUFISTIK


Devi Nurlaili zuhdirumilea@gmail.com

ABSTRAK

Tasawuf sebagai ilmu ajaran Islam memberikan pedoman untuk mengarahkan


manusia ke jalan yang mampu mendekatkan seorang hamba dengan Penciptanya. Ajaran
tasawuf beberapa diterapkan dalam aspek kehidupan manusia, salah satunya dalam aspek
kepemimpinan. Walaupun terkadang dalam aspek kepemimpinan tidak menyatakan
karakteristik seorang pemimpin diambil dari nilai tasawuf. Artikel ini membahas tentang
nilai-nilai tasawuf menurut ajaran Syekh Abdul Qadir Jailani dalam menjadi seorang
pemimpin. Untuk menjadi seorang pemimpin berbasis tasawuf harus mampu menerapkan
nilai-nilai tasawuf. Adapun ajaran tasawuf yang digunakan dalam artikel ini merupakan
ajaran dari tokoh termasyur sufi Syekh Abdul Qadir Jilani. Ajaran tasawuf terdapat
beberapa perilaku, yaitu zuhud, sabar, ridho, syukur, dan qona’ah. Dari beberapa perilaku
tersebut mengandung makna yang berbeda sekaligus dalam penerapannya. Nilai-nilai
tersebut yang nantinya membawa dan mengarahkan seorang pemimpin untuk menjadi
pemimpin yang menjunjung tinggi akhlak mulia dan menjadi lebih dekat dengan Tuhan.
Artikel ini bertujuan untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis serta yang
membacanya.

Kata Kunci: Tasawuf, Pemimpin, Nilai Tasawuf

ABSTRACK

Sufism as a science of Islamic teachings provides guidelines to direct humans to a


path that is able to bring a servant closer to his Creator. Some of the teachings of Sufism
are applied in aspects of human life, one of which is in the aspect of leadership. Although
sometimes the leadership aspect does not state the characteristics of a leader taken from
the value of Sufism. This article discusses the values of Sufism according to the teachings
of Sheikh Abdul Qadir Jailani in becoming a leader. To become a Sufism-based leader
one must be able to apply the values of Sufism. The teachings of Sufism used in this
article are the teachings of the famous Sufi figure Sheikh Abdul Qadir Jilani. The
teachings of Sufism contain several behaviors, namely asceticism, patience, pleasure,
gratitude, and qona’ah. From some of these behaviors contain different meanings at the
same time in their application. These values will later lead and direct a leader to become a
leader who upholds noble character and becomes closer to God. This article aims to add
insight and knowledge to the author and those who read it.

Keywords: Tasawuf, Leader, Value of Tasawuf

PENDAHULUAN

Tasawuf secara ilmu dan praktik pada dasarnya adalah mengenal, memahami, dan
merasakan kehadiran Allah SWT dalam setiap denyut kehidupan seorang hamba. Tasawuf
merupakan aspek dalam (esoteris) dari agama wahyu, terikat kepada metode-metode dan
teknik-teknik kerohanian yang bersumber dari wahyu Allah dan hadis Nabi. Dalam kajian
tasawuf terdapat beberapa pembagian ajaran tasawuf, salah satunya yaitu tasawuf akhlaqi.
Dimana tasawuf akhlaqi ini berorientasi pada perbaikan akhlak, sikap, moral dalam
mencari hakikat kebenaran dan mewujudkan manusia yang dapat ma’rifat kepada Allah
SWT, dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan. Tasawuf akhlaki model ini
berusaha untuk mewujudkan akhlak mulia dalam diri si sufi, sekaligus menghindarkan
diri dari akhlak madzmumah (tercela). Tasawuf akhlaki ini menjadi perikehidupan ulama
salaf al-shaleh dan mereka mengembangkannya dengan sebaik-baiknya. Tasawuf akhlaqi
ini sejalan dengan konsep Tazqiyatun Nafs yang menurut Syekh Abdul Qadirj Jilani
merupakan ajaran yang berorientasi pada pembentukan sifat terpuji dan pembersihan diri
darii sifat yang tercela.1

Dalam sebuah negara, pekerjaan, atau organisasi bahkan dalam keluarga pun pasti
tidak lepas dari yang namanya pemimpin. Karena dengan adanya seorang pemimpin,
orang-orang yang berada di dilingkupnya jadi memiliki panutan dan pelindung. Ada
beberapa gaya dalam kepemimpinan, yang sangat umum dan sering kali dibahas dalam

1
Hosen, Abdul Mukit, dan Faisal Amir “Nilai-Nilai Pendidikan Tasawuf Akhlaqi (Studi Analisis Pemikiran
RKH. Muhammad Syamsyu Arifin Dalam Buku Kalam Hikmah)”, Jurnal Pendidikan dan Studi Islam,
Vol. 1, No. 2, 2021. Hal. 86.

2
dunia pendidikan diantaranya gaya kepemimpinan Islami, gaya kepemimpinan spiritual,
gaya kepemimpinan karismatik, gaya kepemimpinan otoktatik, dll, sedangkan yang
masih sedikit dijadikan penelitian yaitu kepemimpinan berbasis tasawuf. Untuk menjadi
seorang pemimpin , nilai-nila tasawuf akhlaqi dapat menjadi indiikator dalam
kepemimpinan yang menjunjung nilai tasawuf. Maka dari itu, untuk menjadi seorang
pemimpin bernuansa tasawuf, sudah seharusnya memiliki nilai-nilai karakter yang ada
dalam ajaran tasawuf, nilai-nila tersebut antara lain tawakal, syukur, zuhud, ridho, dan
sabar. Jika seorang pemimpin menerapkan nilai-nila tasawuf dalam kepemimpinannya,
maka dalam menjalankan tigasnya dengan diiringi niat, Alllah akan selalu dekat
dengannya, karena akhlak terpuji pada tasawuf mampu membantu untuk menjadi lebih
dekat dengan Allah. Dalam artikel ini akan dibahas tentang karakteristik tasawuf akhlaqi
dalam ajaran Syekh Abdul Qadir Jailani untuk menjadi seorang pemimpin berbasis
tasawuf. Beliau merupakan seorang sufi termasyhur yang dilahirkan di Iran dan juga
merupakan tokoh pendiri dan pemimpin tarekat Qodiriyah. Kemampuan yang
dimilikinya mengantarkan beliau menghasilkan karya-karya dan pemikiran tasawufnya.
Ajaran tasawuf dari beliau diantaranya zuhud, sabar, taubat, syukur, tawakal, ikhlas, dan
ridho. Meskipun Syekh Abdul Qadir al-Jailani tidak merumuskan konsep tasawuf secara
rinci dan sistematis, namun beliau lebih menekankan proses sufisme tersebut dengan
langkah-langkah yang substantif yang esensinya tidak bergeser dari inti sari ajaran
tasawuf mulai dari proses pertaubatan, penjernihan hati dan integrasi ilmu dan amal.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani berhasil mengharmonikan syariat dengan tasawuf sama
halnya dengan al-Ghazali. Ia menekankan pada peningkatan amal didunia yang akhirat
oriented atau berorientasi pada akhirat, proses penjernihan hati melalui Tazkiyatan-Nafs
menjadi bagian yang mutlak untuk dilalui oleh pelaku suluk melalui proses mujahadah
yang buahnya adalah mencapai kedudukan makrifat mengenal Allah.2

TOPIK 1

A. Syekh Abdul Qodir Al Jailani


Syekh Abdul Qodīr Al-Jailani memiliki nama lengkap Muhyidin Abu
Muhammad Abdul Qodir Ibn Shalih Zanki Dausat Al-Jaelani. Al-jailani

2
Moh. Ashif Fuadi dan Rustam Ibrahim, “Implementasi Tasawuf Syekh Abdul Qadir al-Jailani Dalam
Majelis Manakib Al Barokah Ponorogo”, Jurnal Kebudayaan Dan Keagamaan, Vol. 15, No. 2, 2020, hal.
223.

3
merupakan penisbatan pada Jil, daerah di belakang Tabaristan. Selain jil, tempat
ini disebut juga Jailan dan Kilan oleh karena itu akhir namanya ditambahkan kata
Al-Jailani atau Al-Kailani. Al-jailani kecil tumbuh sebagai anak yatim. Ia
menghabiskan fase pertama dalam hidupnya bersama ibunya yang sangat di cintai.
Sejak kecil beliau telah ditinggal ayahnya dan diasuh oleh sang kakek dari
pihak ibu, Abdullah As-Sumu‟i. Beliau memiliki adik laki-laki bernama Abdullah,
seorang anak yang shalih dan meninggal ketika masih remaja. Beliau dilahirkan
ibunya berusia 60 tahun. Kewalian sudah tampak di masa ketika beliau masih bayi
yaitu dengan tidak mau menyusui ibunya seperti sedang berpuasa mulai terbitnya
fajar sampai tenggelamnya matahari, sehingga pernah suatu hari masyarakat dalam
menentukan buka puasa mengikuti bayi al-Jailani yang mengutamakan akhirat.
Nasab Syekh Abdul Qodīr Al-Jailānī dari silsilah ayahandanya adalah Abu
Muhammad Muhyiddin Syekh Abdul Qodir Bin Abu Shaleh Musa Janki Dausat
Bin Abdullah Bin Yahya Az-Zahid Bin Muhammad Bin Dawud Bin Musa Bin
Abdullah Abil Makarin Bin Musa Al-Jawan Bin Abdullah Al-Mahdhi Bin Al-
Hasan Al-Mutsanna Bin Al-Hasan Bin Ali Bin Abi Tholib.
Sebagai riwayat menyebutkan bahwa nasabnya adalah Abu Muhammad
Muhyiddin Syekh Abdul Qodir Bin Abu Shaleh Abdullah Bin Yahya Az-Zahid.
Syekh Al-Habibi menjelaskan bahwa Janki Dausat adalah kosa kata non-arab yang
berarti lelaki yang suka berperang. Bibi Syekh Abdul Qodir Al-Jailani yang
bernama Aisyah Binti Abdillah adalah seorang wali wanita yang mashur di Jilan.
Ia memiliki keramatan yang luar biasa sehingga penduduk Jilan kerap memohon
do‟anya manakala mengharapkan turunnya hujan.3
Kesibukannya dalam upaya ruhaniah membuatnya assyik dan hampir lupa
akan kewajiban untuk berumah tangga. Sampai dengan tahun 521 H, yakni pada
usianya yang ke 51 tahun ia tidak pernah berfikir tentang perkawinananya. Bahkan
ia menganggap sebagai penghambat dalam upaya ruhaniah. Sungguhpun
demikian, ia tak sampai meninggalkan sunah rosul. Pada usia lanjut ia pun kawin
dan mempunyai empat istri yang shaleh-shaleh. Dari keempat istri itu ia
mempunyai empat puluh sembilan anak, dua puluh putera dan selebihnya puteri. 4

3
Nina Mar'atus Solikhah, Konsep Tazkiyatun Nafs Menurut Syekh Abdul Qodir Al Jailani, Skripsi Online,
Kudus: 2021.
4
Drs. M. Zainuddin, MA., Syekh Abdul Qadir Al Jailani Tokoh Sufi Kharismatik Dalam Persaudaraan
Tarekat, Jakarta: 2002

4
B. Ajaran pokok tasawuf Syekh Abdul Qodīr Al-Jailānī tentang tazkiyatun nafs
yang patut diterapkan oleh para pemimpin sufistik
An-nafs secara umum jika dikaitkan dengan hakikat manusia menunjukkan
kepada fitrah manusia yang berpotensi baik dan buruk. An-nafs memiliki sifat
lembut (laif) dan rabbānī, ia adalah al-ruh sebelum bersatu dengan jasad (tubuh
kasar manusia). Menurut Al-Ghazali, an-nafs diuraikan menggunakan empat
terminologi, yaitu al-qalb, al-ruh, an-nafs dan al-aql. Yang keempatnya memiliki
kesamaan, namun secara khusus banyak perbedaan, al-qalb menunjukkan hakikat
manusia, karena sifat dan keadaannya yang bisa menerima, berkemauan, berfikir,
mengenal, merasa dan beramal. Al-qalb selain alat untuk merasa juga alat untuk
berpikir, perbedaan qalb dengan aql yaitu aql tidak dapat memperoleh
pengetahuan yang sebenarnya tentang Allah SWT, sedangkan qalb dapat
mengetahui hakikat dari segala yang ada.
Sedangkan makna nafs menurut para filosuf. Diantaranya Al-Farabi, yang
mengartikan jiwa (nafs) merupakan jauhar ruhānī sebagai bentuk dari jasad.
Baginya jiwa (nafs) yang terdapat pada manusia mempunyai daya/kekuatan
seperti, kekuatan gerak: mendorong untuk makan, memelihara dan berkembang,
kekuatan mengetahui, seperti mendorong untuk merasa dan berimajinasi, kekuatan
berpikir, seperti mendorong untuk berpikir secara teoritis dan praktis.
Adapun nafs (nafs) menurut Ibnu Sina yang memiliki pendapat yang sama
seperti Al-Farabi yang menganut paham pancaran. Ibnu Sina membagi jiwa (nafs)
menjadi tiga, yakni: pertama, jiwa tumbuh-tumbuhan (makan, tumbuh,
berkembang biak). Kedua, jiwa binatang (gerak, menangkap). Ketiga, jiwa
manusia dengan dua daya (daya praktis yang berhubungan dengan badan) dan
daya teoritis (yang berhubungan dengan hal-hal abstrak)
Konsep Tazkiyatun nafs menurut Syekh Abdul Qodīr Al-Jailānī adalah
ajaran yang berorientasi pada pembentukan sifat terpuji dan pembersihan diri dari
sifat yang tercela. Semakin tinggi sifat terpuji manusia akan semakin menambah
kesucian jiwanya. Terdapat delapan ajaran tasawuf Syekh Abdul Qodīr Al-Jailānī
dalam kitab Al-Ghunyah Lithālibī Tharīq Al Haq ‘Azza Wa Jalla yang
menekankan pada segi-segi praktis yang berhubungan tentang tazkiyatun nafs
(penyucian jiwa). Penekanan tersebut ada pada peningkatan amal di dunia yang
berorientasi pada akhirat, proses penjernihan hati melalui tazkiyatun Nafs menjadi

5
bagian yang mutlak untuk dilalui oleh seorang hamba melalui proses mujāhadah
yang buahnya adalah mencapai kedudukan makrifat mengenal Allah SWT.
Diantara delapan ajaran pokok tasawuf Syekh Abdul Qodīr Al-Jailānī
tentang tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) dalam kitab Al-Ghunyah Lithālibī Tharīq
Al Haq ‘Azza Wa Jalla sebagai berikut:

1. Zuhud
Syekh Abdul Qadir al-Jilani membagi zuhud menjadi dua macam,
yaitu zuhud haqiqi (mengeluarkan dunia dari hatinya) dan zuhud syuri
(mengeluarkan dunia dari hadapannya, tetapi hatinya tetap menginginkan
dunia). 5Dalam konteks zuhud haqiqi, bukan berarti zahid hakiki menolak
rejeki yang diberikan Allah Swt kepadanya. Ketika zahid hakiki mendapat
rezeki, ia akan menjadikannya sarana unuk mendekatkan diri kepada Allah
dengan cara membagikan rezeki yang diperoleh kepada sesama manusia
diiringi dengan rasa ikhlas karena Allah Ta’ala. Sedangkan zuhud syuhri
bukan merupakan ajaran inti dari tasauf, karena seseorang yang hatinya
masih menginginkan kenikmatan dunia akan menjadi penghalang untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Bagi Syekh Abdul Qadir al-Jilani hal-hal
atau sesuatu yang bersifat duniawi dapat menjauhkan manusia dari hal-hal
yang bersifat ukhrawi yang pada akhirnya akan membuat diri jauh dari
Allah.
Apabila seseorang lebih mementingkan perkara dunia daripada
akhirat,berarti ia telah terpenjara dalam kenikmatan dunia yang bersifat
sementara. Menurut al-Jilani, orang yang zuud tidak harus berpakaian
dengan bulu domba , atau menjadi orang yang fakir miskin. 6 Zuhud tidak
dilihat secara lahir saja, tetapi dilihat secara batin. Seseorang dikatakan
sebagai orang yang zuhud apabila didalam hatinya tidak lagi mencintai hal-
hal yang bersifat duniawi. Syekh Abdul Qadir al-Jilani sendiri merupakan
seorang yang kaya raya, secara lahiriyah, namun berlaku sebagai orang
yang fakir atau miskin dapat melatih seseorang untuk menjadi zuhud.

5
Muhammad Hafiun, “Zuhud Dalam Ajaran Tasawuf”, Jurnal Bimbingan Konseling dan Dakwah Islam,
Vol. 14, No. 1, 2017, hal. 80.
6
Siti Mustaghfiroh, Taufid Hidayat Nazar, dan Badarudin, Safe’I “Etika Keutamaan Dalam Akhlak
Tasawuf Abdul Qadir Al-Jailani: Relvansinya Dengan Pengembangan Karakter Manusia”, Jurnal Islam
Nusantara, Vol. 5, No. 1, 2021. Hal. 33

6
2. Syukur
Hakikat syukur menurut Syekh Abdul Qodīr Al-Jailānī ialah
adanya pengertian dan kesadaran bahwa semua nikmat yang ada pada diri
seseorang hamba, baik lahir maupun batin, baik berkenaan dengan
keduniaan ataupun keakhiratan, adalah dari Allah SWT, sebagai karunia
dan pemberian daripada-Nya.
Lebih lanjut Syekh Abdul Qodīr Al-Jailānī menjelaskan syukur
yakni menyakini nikmat Dzat pemberi nikmat dengan penuh ketundukan.
Syekh Abdul Qodīr Al-Jailānī juga menjelaskan hakikat syukur yaitu
mengakui nikmat Allah SWT karena dia pemilik karunia dan pemberi
sehingga hati mengakui bahwa segala nikmat berasal dari Allah SWT. Dan
Allah SWT akan selalu memberi balasan dengan limpahan pahala bagi
hamba-Nya yang selalu bersyukur. Dalam Al-Qur‟an surat Asy-Syura ayat
40 dikutip Syekh Abdul Qodīr Al-Jailānī untuk menjelaskan syukur
tersebut.
Menurut Syekh Abdul Qodīr Al-Jailānī diantaranya:
 Syukur dengan lisan, yakni mengakui adanya nikmat dan merasakan
ketenangan. Sebagai seseorang yang telah diberi nikmat hendaknya
mengucapkan rasa syukurnya dengan segala ketundukkannya dan
lemah lembut.
 Syukur dengan badan dan anggota badan, dengan menjalankan dan
mematuhi serta melaksanakan perintah untuk beribadah sesuai dengan
apa yang telah ditetapkan-Nya. Dengan kata lain sebagai hamba
hendaknya selalu menjalankan syariat serta meninggalkan segala apa
yang dilarang-Nya.
 Syukur dengan hati, meyakini dari dalam hatinya bahwa segala nikmat
semua berasal dari Allah SWT.
Beberapa wejangan beliau mengenai syukur yaitu:
 Barangsiapa yang tidak bersyukur dengan segala nikmat Allah, maka
hal tersebut menunjukkan telah hilangnya nikmat-nikmat itu. Dan
barangsiapa yang bersyukur dengan nikmat itu, maka ia telah
mengikatnya dengan tali nikmat tersebut.

7
 Dengarlah wejangan ulama : Jadilah kamu didunia ini seperti orang
yang membalut lukanya, yaitu sabar atas pahitnya obat, dan penuh
harap atas lenyapnya cobaan´. Setiap cobaan dan sakit pasti
berhubungan dengan makhluk. Juga penglihatan mereka pada sengsara,
manfaat, pemberian, dan penolakan. Oleh karena itu, obat dan
lenyapnya cobaan itu terletak pada ketidakadaan makhluk dari hatimu
dan tanggapanmu tatkala ketentuan Allah datang padamu.
 Allah Azza wa Jalla telah memberikan berbagai macam nikmat kepada
umat manusia berupa hidayah dan berupa rezeki. Nikmat Allah yang
paling besar adalah nikmat berupa hidayah, petunjuk kepada
kebenaran, nikmat iman dan Islam. Dengan hidayah ini manusia akan
dapat mensyukuri semua nikmat yang telah Allah berikan kepadanya
sehingga adanya nikmat yang berupa rezeki akan selalu disyukuri,
dipergunakan untuk menolong orang-orang fakir, untuk berjuang di
jalan Allah. Sebaliknya jika manusia menelantarkan nikmat hidayah
yang telah diberikan kepadanya, maka nikmat rezeki yang diberikan
kepadanya itu bagaikan siksa bagi dirinya dikarenakan dengan adanya
rezeki itu bukan menambah taatnya kepada Allah, justru menambah
jauh dari Allah.
 “Iman itu ada dua bagian, sebagian berisi sabar dan sebagian berisi
syukur.” (Alhadits)
Apabila kamu tidak sabar tatkala tertimpa suatu penyakit dan musibah,
dan juga tidak bersyukur tatkala memperoleh kenikmatan, berarti kamu
bukan seorang mukmin sejati. Diantara kebenaran Islam seseorang
adalah terletak dalam kepasrahan jiwanya.7

3. Qana’ah
Yang dimaksud qanaah menurut Al Jailani adalah seseorang yang
memenuhi ketentuan Allah dan mampu menyeimbangkan kebutuhan
jasmani dan rohani mereka, seseorang yang qanaah itu ketika berusaha
mereka menyerahkan semua hasilnya kepada Allah dan tidak beranggapan
bahwa kerja keras yang lakukan harus mendapat hasil yang setimpal,
sehingga mereka bisa menerima apa yang diberikan oleh Allah.
7
Zainul M. Anies, Wejangan Syekh Abdul Qodir Jaelani, Halaman 18.

8
Disini menjelaskan bahwa seseorang yang berqanaah itu harus
menyeimbangkan dunia dan akhiratnya. Tidak boleh ada yang lebih dari
salah satunya karna jika kita lebih mementingkan dunia dari pada akhirat
bisa diartikan bahwa kita tidak bersyukur kepada Allah atas nikmat yang
dia berikan, dan jika kita lebih mementingkan akhirat tanpa memedulikan
dunia hal itu juga bentuk tidak bersyukur kita kepada Allah karena telah
diberikannya hidup kepada hambaNya.
Definisi Al Jailani tentang qanaah itu hampir sama dengan
pendapat hamka yang berpendapat bahwa qanaah itu aktif, yaitu menyuruh
percaya yang benar-benar akan adanya kekuasaan yang melebihi
kekuasaan manusia, menyuruh sabar menerima ketentuan illahi jika
ketentuannya itu tidak menyenangkan diri, dan bersyukur jika dipinjami-
Nya nikmat,13 sebab selama nyawa masih dikandung badan, kewajiban
belum berakhir.
Oleh sebab iu salah pemahaman orang yang mengatakan qanaah itu
melemahkan hati, memalaskan pikiran dan mengajak untuk berpangku
tangan. Tetapi qanaah adalah modal yang paling tepat untuk menjalani
kehidupan, menimbulkan kesungguhan hidup dalam mencari rezeki.
Jangan takut, bertawakal kepada Allah, mengharapkan pertolongan-Nya,
serta tidak merasa jengkel jika ada usaha yang tidak berhasil.
Beberapa wejangan beliau mengenai qanaah yaitu:
1. Orang yang tidak mempunyai harta dan membutuhkannya disebut
fakir. Dalam menyikapi kebutuhan harta tersebut, terdapat 5 keadaan :
 Jika diberi harta dia tidak suka, enggan mengambilnya dan
benci karena dia menjaga dirinya dari kejahatan, bahaya serta
gangguan dari harta. Orang fakir golongan ini dinamakan orang
ZUHUD, yaitu orang yang memandang harta sama dengan
memandang batu dan tanah. Ini adalah tingkat tertinggi.
 Tidak gemar kepada harta dan tidak pula membencinya. Dia
zuhud apabila memperoleh harta. Orang seperti ini adalah orang
yang RIDLO.
 Suka kepada harta daripada tidak ada, tetapi kesukaannya itu
tidak sampai kepada rakus, yang selalu kurang dan ingin
bertambah. Dia mau mengambil harta jika harta itu tidak

9
syubhat dan halal secara mutlak. Orang seperti ini dinamakan
QONAAH, yaitu menerima dengan senang apa yang ada
ditangannya sendiri, apa yang telah dimilikinya.
 Tidak punya harta lantaran lemah tidak bisa mencarinya, dan
seandainya masih mampu tentu akan dicarinya meskipun
dengan bersusah payah. Dia akan sibuk mencarinya. Orang
seperti ini meskipun tidak mempunyai harta, tetapi tergolong
orang RAKUS dan tercela.
 Harta yang dibutuhkan itu memang benar-benar sangat
dibutuhkan sebagai kebutuhan pokok, seperti orang yang dalam
keadaan lapar dan tidak punya pakaian. Maka mencari harta
dalam keadaan demikian itu, sekalipun sangat ingin bukanlah
dinamakan cinta harta, karena yang tidak dimiliki sangatlah
dibutuhkan.
2. Wahai hamba Allah, berhentinya keinginan terhadap apa yang sudah
diberikan kepadamu, dan tidak ada lagi keinginan untuk menambah
dari yang sudah ada adalah sifat qonaahmu yang terpuji. Ketahuilah
bahwa qonaah itu adalah menerima dengan rela apa yang telah ada,
memohon kepada Allah tambahan yang pantas disertai usaha karena
mencari keridlaan Allah, menerima dengan sabar akan takdir Allah,
bertawakkal kepada-Nya, dan tidak tertarik oleh tipu daya dunia.
Yakinlah kamu bahwa qonaah adalah suatu sikap hidup yang harus
dimiliki oleh setiap orang muslim, karena dengan ber-qonaah hati
menjadi tenang, bahkan menjadi suatu modal yang tak pernah habis,
dalam situasi dan kondisi apapun.
3. Sikap qonaah adalah suatu sikap yang dituntut oleh orang sufi, karena
dengan sikap qonaah mereka dapat terhindar dari ajakan nafsu terhadap
dunia dan kemewahannya, dan keinginan nafsu kepada dunia ini tidak
akan pernah puas, bahkan akan membawa manusia untuk selalu
disibukkan dengan urusan dunia saja, sehingga lupa untuk
mempersiapkan kehidupan akherat dan lupa kepada Tuhannya. Sifat
qonaah adalah suatu sikap yang dapat mendidik manusia untuk
bersyukur terhadap nikmat Allah, dan dengan bersyukur terhadap
nikmat Allah itulah akhirnya manusia memperbanyak beribadah

10
kepada-Nya. Wahai hamba Allah, sesungguhnya agama menyuruh
qonaah itu adalah qonaah hati, bukan Qonaah ikhtiar, bukan qonaah
usaha dan bukan pula qonaah bekerja. Oleh karena itu sahabat
rasulullah saw adalah orang-orang yang kaya, melakukan perdagangan
keluar negeri, sedang mereka termasuk orang-orang yang qonaah.
Adapun manfaat qonaah adalah amat besar sewaktu harta itu hilang
dengan tiba-tiba.
4. Wahai hamba Allah, maksud qonaah itu sangat luas. Qonaah menyuruh
manusia untuk betul-betul percaya akan adanya kekuasaan yang
melebihi kekuasaan manusia. Qonaah menyuruh sabar menerima
ketentuan Allah jika ketentuan itu tidak menyenangkan, dan menyuruh
bersyukur bila Allah menjamin kenikmatan kepadanya. Dalam hal
yang demikian, manusia masih tetap disuruh berusaha keras, dengan
kekuatan tenaga dan harta benda, dikarenakan selama manusia masih
hidup masih diwajibkan berusaha mencari rezeki. Kamu bekerja bukan
berarti meminta tambahan dari yang telah ada dan tidak merasa cukup
terhadap apa yang telah ada di tangan, tetapi kamu bekerja sebab kamu
masih hidup dimana orang hidup itu wajib bekerja. Inilah maksud
qonaah.

4. Sabar
Menurut Syekh Abdul Qadir Jilani, sabar terbagi ,menjadi 3, yaitu
sabar lillah (sabar menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya),
sabar ma’a Allah (sabar berada dibawah qodho’ Allah yang berupa
kesulitan maupun cobaan-cobaan yang ada), dan sabar ‘ala Allah (sabar
atas janji-janji Allah baik itu yang berhubungan dengan rezeki,
kebahagiaan, kecukupan hidup, pertolongannya maupun pahala di akhirat
nanti).8 Beliau juga menyandarkan pendapat tentang sabar dari pendapat
Khawwash RA, yang memiliki arti sabar adalah teguh bersama Allah
dengan menjalankan hukum-hukum al-Qur’an san sunnah, serta menerima
cobaan maupun ujian yang diberikan Allah dengan ikhlas dan lapang

8
M. Amin Syukur “Terapi Dalam Literatur Tasawuf”, Jurnal Walisongo, Vol. 20, No. 2, 2012, hal. 400.

11
dada.9 Sabar merupakan kekuatan untuk mendorong iman seseorang yang
dihadapkan gejolak hawa nafsu, agar tidak menuruti kemauan hawa nafsu.
Dari konsep sabar Syekh Abdul Qadir Jilani di atas dapat dimaknai
bahwa seseorang yang dikatakan sabar ialah orang yang mampu
menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Jika seseorang
masih melanggar sesuatu yang dilarang Allah Swt, orang tersebut belum
bisa memerangi hawa nafsu dan menuruti dorongan hawa nafsunya, yang
artinya orang tersebut belum mampu bersabar dalam menjauhi larangan
Allah. Disisi lain sabar juga dimaknai dengan kelapangan seseorang dalam
menerima ujian dan cobaan yang diberikan Allah. Setiap manusia dalam
hidupnya pasti akan diuji oleh Allah, dan dalam hal ini jika orang
mempunyai sikap sabar ia akan menerima ujian tersebut dengan lapang
dada.
5. Ridha
Menurut Syekh Abdul Qadir Jilaini, ridho adalah menghilangakn
pilihan diri dalam hatinya. Mereka tidak memilih sesuatu di antara sesuatu
yang diinginkan dirinya dan sesuatu yang diinginkan Allah untuk dirinya,
serta tidak meminta dan mencari suatu hukum sebelum hukum itu turun. 10
Menurut Syekh Abdul Qadir Jilani, ridha dapat menentramkan jiwa
manusia dan memasukkan faktor kebahagiaan dan kelembutan di
dalamnya. Orang yang ridha dan menerima apa yang dipilihkan Allah
untuknya, tahu bahwa apa yang dipilihkan untuknya adalah yang terbaik di
segala macam keadaan. Keridhaan ini akan meringankan hidup manusia,
sehingga dia akan mendapatkan ketenangan jiwa dalam segala hal sebagai
hamba Allah di dunia ini. Sifat keutamaan ridha adalah rela dan ikhlas atas
setiap hal yang telah ditentukan Tuhan kepada manusia. Sikap ridho
berbeda dengan sabar dan pasrah.
Sikap pasrah merupakan sikap menerima ketetapan takdir dengan
tanpa usaha yang dilakukan sebelumnya dan sikap sabar merupakan
menahan diri dari hal-hal yang tidak berkenan dari hati seseorang. 11
9
Aly Mashar dan Nailal Muna “Filsafat etika Tasawuf Syaikh Abdul Qadir Jailani: Kajian Etika Salik
dalam Kitab Ghunyat li Thalibi Thariq al-Haqq”, Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman, Vol. 10, No. 3,
2020, hal. 285.
10
Aviva Firnanda “Konsep Adab Murid Syekh Abdul Qadir Jailani Perkembangan Krakter”. OSF Prepints,
2022, hal. 12.
11
Siti Mustaghfiroh, Taufid Hidayat Nazar, dan Badarudin Safe’I “Etika Keutamaan Dalam Akhlak
Tasawuf Abdul Qadir Al-Jailani: Relvansinya Dengan Pengembangan Karakter Manusia”, Jurnal Islam

12
Intinya, ridho merupakan sifat dimana seseorang yang setelah melakukan
usaha atau upaya, dan hasil yang didapat mungkin tidak sesuai dengan
keinginannya, ia akan ridho menerimanya, karena menganggap bahwa
segala sesuatu yang sudah dikehendaki Allah padanya pasti itu yang
terbaik bagi Allah untuknya.

TOPIK 2 (PANDANGAN SYEH ABDUL QADIR JILANI DALAM


KEPEMIMPINAN SUFISTIK)

Syeikh Abdul Qadir al-Jilani pernah berpesan bahwa untuk menjadi seorang
pemimpin, maka setidaknya harus memiliki tiga kualitas. Yaitu, Ilmul ‘Ulama’, Hikmatul
Hukama’, dan Siyasatul Mulk. Apabila dalam diri seorang pemimpin terdapat tiga
kualitas tersebut, maka akan memudahkan ia dalam memimpin rakyatnya. Dengan
demikian, bukan tidak mungkin rakyat aan hidup bahagia dan sejahtera.

Untuk yang pertama adalah Ilmul ‘Ulama’. Seorang pemimpin bukanlah orang
sembarangan atau biasa-biasa, akan tetapi ia harus memiliki kualitas dan integritas tinggi.
Tanpa ilmu dan pengetahuan yang luas, maka kiranya sangat sulit bagi pemimpin untuk
memimpin rakyatnya. Oleh sebab itu, pemimpin haruslah orang yang berilmu tinggi
layaknya seorang ulama’, sehingga memiliki pengaruh yang besar bagi orang-orang yang
dipimpin. Selain itu, dengan kualitas Ilmul ‘Ulama’, maka pemimpin akan lebih mudah
untuk menghegemoni rakyatnya, sehingga mau melakukan apa yang ia inginkan.

Kita tahu bahwa salah satu sifat yang ada pada diri Rasulullah SAW adalah
fathanah (cerdas). Tentunya, masih banyak sifat terpuji lain yang ada pada diri Rasulullah.
Seperti jujur, amanah, asketis, disiplin, bijaksana, dan lain sebagainya. Dengan segala
kemampuan dan kecerdasan yang dimiliki, Rasulullah mampu mengurusi, mengatur, dan
memimpin rakyatnya dengan baik. Sehingga, beliau mampu membawa negaranya ke arah
yang lebih baik dan maju.

Kemudian yang kedua adalah Hikmatul Hukama’. Kebijaksanaan itu akan sangat
menentukan ketegasan dan keadilan dari pemimpin. Pemimpin yang bijak adalah ia yang
mampu memecahkan masalah dalam berbagai hal secara adil dan tegas, sehingga tidak
ada salah satu pihak yang merasa dirugikan. Ia mampu memberikan keputusan yang
konkrit dan bersifat futuristik, serta memikirkan arah ke depannya agar lebih baik.
Nusantara, Vol. 5, No. 1, 2021. Hal. 34.

13
Selanjutnya yang ketiga adalah Siyasatul Mulk. Kualitas ini juga dianggap sangat
penting, karena hal ini sangat berkaitan erat dengan masalah manajemen. Bisa dikatakan,
tanpa manajemen, maka pemimpin akan kebingungan dalam menghadapi segala
problematika yang ada. Sehingga, negara yang dipimpinnya akan menjadi berantakan dan
amburadul.

Tugas pemimpin adalah mengatur dan mengurusi rakyatnya. Oleh sebab itu, ia
harus mampu mengatur kekuasaannya, sehingga lebih mudah untuk mengurusi dan
melayani kebutuhan yang diinginkan oleh rakyatnya. Memang, dalam memimpin, setiap
orang memiliki cara atau seni sendiri. Akan tetapi, tentu seni kepemimpinan yang ia
jalankan semata-mata hanya untuk menyejahterakan rakyatnya. Untuk itu, pemimpin
harus memiliki seni kepemimpinan yang bisa membuatnya lebih mudah dalam mengatur
kekuasaan yang ada. Dan yang terpenting, kepemimpinannya bisa dijadikan suri teladan
bagi orang-orang yang dipimpinnya.

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas seorang pemimpin menurut Syekh


Abdul Qodir Al Jailani setidaknya memiliki tiga kualitas yakni, Ilmul Ulama’, Hikmatul
Hukama’, dan Siyasatul Mulk. Tentunya bila seorang pemimpin dikatakan memiliki gaya
kepemimpinan sufistik hendaklah seseorang yang bertazkiyatun nafs meskipun tidak
semuanya dijalankan.

Adapun suatu wilayah akan bangkit dari segala permasalahan dan sejahtera
tentunya terletak pada pemimpin suatu wilayah tersebut. Tentunya banyak yang berharap
terhadap pemimpin agar wilayahnya di pimpin oleh pemimpin yang ideal terutama
diiringi dengan amalan sufi. Banyak teori yang mengatakan bahwa pemimpin ideal
merupakan pemimpin yang mempunyai jiwa kepemimpinan yang baik, bertanggung
jawab, berani dalam mengambil risiko, tegas, jujur, adil dan bijaksana berhubung yang
kami bahas adalah pemimpin ideal berbasis sufistik hendaklah jiwa-jiwa kepemimpinan
ini diiringi dengan tazkiyatun nafs.

Adapun pentingnya tazkiyatun nafs bagi pemimpin sufi adalah sebagai berikut:

Dari perilaku zuhud, jika dikaitkan dengan pemimpin sangat penting bagi seorang
pemimpin untuk memiliki sifat zuhud. Karena nilai tasawuf zuhud tersebut dapat
membantu menjauhkan dari gemerlap dunia. Untuk menjadi seorang pemimpin yang
berbasis tasawuf harus mampu menerapkan nilai-nilai tasawuf dalam kepemimpinannya,
agar mengedepankan ukhrawi, dan salah satu nilai tersebut adalah zuhud. Jika seorang

14
pemimpin menerapkan nilai zuhud kepada rakyat maupun pengikutnya, maka mereka
juga ikut meneladani sifatnya. Penting bagi seorang pemimpin untuk memiliki sifat
zuhud, yang nantinya merangkul rakyat dan pengikutnya agar terhindar dari gemerlap
duniawi dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.. Contoh seorang pemimpin yang
zuhud akan menginfakkan atau membagikan harta kekayaan yang dimiliki untuk rakyat
yang membutuhkan dengan rasa ikhlas. Karena dengan demikian pemimpin membantu
mengurangi beban rakyatnya, dan mendapat ridho dari Allah, sehingga membantu untuk
mendekatkan diri kepada Allah.

Wujud syukur menjadi seorang pemimpin yang diberikan oleh Allah SWT yaitu
apa pun harus disyukuri dan melaksanakan apa yang menjadi amanat. Jabatan dan
kedudukan merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabakan dan disadari untuk
menjaganya.

Dalam kaitannya dengan sikap amanah dan qana’ah, kesadaran diri yang kuat
adalah tindakan/perbuatan yang realistis tidak terlalu mengkritik ataupun penuh harapan
yang naif terhadap dirinya sendiri kepada diri sendiri. Pemimpin yang sadar diri juga
mengerti nilai, tujuan, dan impiannya. Misalnya: mereka bisa tegas menolak sebuah
tawaran kerja yang menggoda dari segi keuangannya tetapi tidak cocok dengan prinsip
atau tujuan jangka panjang mereka. Dengan kalimat lain sifat pemimpin yang sadar diri
akan membuat pribadi mereka mampu bertindak dengan keyakinan dan otentikan yang
diperlukan untuk terciptanya resonansi.

Dalam kaitannya qana’ah, pengelolaan diri adalah dorongan terfokus yang


dibutuhkan setiap pemimpin untuk mencapai tujuannya. Yang dimaksud disini adalah
seorang pemimipin yang cerdas tidak boleh dikendalikan oleh segala macam jenis emosi
yang bersifat negatif karena dalam hal ini akan mengakibatkan suatu dampak psikologis
terhadap orang yang dipimpinnya(bisa dengan perubahan sikap dari yang tadinya
mendukung menjadi tidak peduli atau bahkan menyerang pimpinannya), contoh kasus:
ada seorang kepala keluarga di tempat dia bekerja mengalami suatu masalah kegagalan
dalam menyelesaikan tugasnya karena sang kepala keluarga ini terlalu terbebani dan ada
perasaan sangat bersalah baik terhadap kantornya maka dia kembali ke rumah dengan
harapan dapat lebih tenang tetapi sesampainya di rumah melihat anaknya yang sedang
bermain sehingga kondisi rumah menjadi terlihat berantakan sang kepala keluarga tadi
marah-marah kemudian dari ketidak-mampuannya dalam mengelola diri bukan tidak
mungkin akan berdampak pada sang anak yang menjadi ketakutan atau yang lebih parah

15
bisa terjadi pertengkaran antara suami-isteri dan dia tidak bisa mencapai tujuan awal
kembali ke rumah. Juga adanya kesadaran sosial dalam kaitannya dengan qana’ah,
kesadaran sosial adalah cara bagaimana seorang pemimpin dapat membaca, merasakan,
mendengarkan dan berkomunikasi dengan mempertimbangkan perasaan orang lain
kemudian membuat keputusan yang cerdik yang menggeser perasaan-perasaan itu
menjadi respons ke arah yang positif.

Konsep sabar dapat dikaitkan dengan sifat yang harus dimiliki oleh seorang
pemimpin berpedoman pada nilai-nilai tasawuf. Karena sabar merupakan salah satu nilai
dan ajaran yang ada pada tasawuf. Tidak hanya sifat tegas dan berani saja yang harus
dimiliki pemimpin, sangat penting juga bagi seorang pemimpin untuk memiliki sifat sabar
dalam mengayomi pengikut dan rakyatnya. Sifat sabar seorang pemimpin dapat
tercerminkah melalui beberapa perilaku. Perilaku tersebut diantaranya sabar dalam
menahan untuk tidak menggunakan keuangan negara untuk kepentingan dirinya sendiri,
yang jelas itu merupakan tindakan korupsi dan sudah pasti perbuatan tersebut dilarang
Allah Swt. Kemudian contoh yang lain ialah menjalankan perintah yang menjadi
kewajibannya tanpa penyelewengan sabar dalam menghadapi berbagai permasalahan
maupun keluh kesah masyarakatnya dan membantu memberikan solusi terhadap
permasalahan yang dialami rakyatnya. Selain itu pemimpin juga harus bersabar dalam
menghadapi rakyat yang kemungkinan tidak menyukai kinerjanya sebagai seorang
pemimpin. Karena tidak menuntut kemungkinan rakyat yang kirang puas dengan
kepemimpinannya akan berusaha untuk mengganggu seorang pemimpin. Seperti
contohnya pada saat Nabi Muhammad menyebarkan ajaran Islam dengan pengikutnya,
ada kaum yang tidak suka melempari Nabi dengan batu, namun beliau tetap sabar dan
lapang dada. Menghadapinya. Sifat sabar inilah yang mampu membantu seseorang untuk
dekat dengan Tuhannya.

Kaitannya dengan pemimpin bernuansa tasawuf, sifat ridha ini sudah seharusnya
dimiliki seorang pemimpin yang menjunjung nilai-nilai tasawuf. Karena sangat penting
bagi seorang pemimpin memiliki sifat tersebut, agar dalam menjalankan tugas
kepemimpinannya memiliki jiwa yang tenang sehingga bisa mengatasi masalah dengan
kepala dingin. Misalnya saja seorang pemimpin yang mempunyai tujuan untuk
menunjang ekonomi masyarakatnya, sudah berusaha sebaik mungkin, namun hasil yang
didapat ternyata tidak seperti yang diharapkan ia menerima dengan ridho karena itu sudah
menjadi kehendak yang diberikan Allah. Maka dari itu, pemimpin tersebut tidak akan

16
terpancing emosi dengan belum berhasilnya mencapai tujuan dan menganggap bahwa
kehendak yang diberikan Allah kepadanya adalah yang terbaik.

KESIMPULAN

Tugas pemimpin adalah mengatur dan mengurusi rakyatnya terutama sebagai


pemimpin sufistik. Oleh sebab itu, ia harus mampu mengatur kekuasaannya, sehingga
lebih mudah untuk mengurusi dan melayani kebutuhan yang diinginkan oleh rakyatnya.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas seorang pemimpin menurut Syekh Abdul Qodir
Al Jailani setidaknya memiliki tiga kualitas yakni, Ilmul Ulama’, Hikmatul Hukama’, dan
Siyasatul Mulk. Tentunya bila seorang pemimpin dikatakan memiliki gaya
kepemimpinan sufistik hendaklah seseorang yang bertazkiyatun nafs meskipun tidak
semuanya dijalankan. Adapun tazkiyatun nafs menurut Syekh Abdul Qodir Al Jailani
adalah Zuhud, Syukur, Qana’ah, Sabar, dan Ridha.

DAFTAR PUSTAKA

Amir, Hosen, Abdul Mukit, dan Faisal. 2021. Nilai-Nilai Pendidikan Tasawuf Akhlaqi
(Studi Analisis Pemikiran RKH. Muhammad Syamsyu Arifin Dalam Buku Kalam
Hikmah)”, Jurnal Pendidikan dan Studi Islam, Vol. 1, No. 2. Hal. 86.

Ibrahim, Moh. Ashif Fuadi dan Rustam. 2020. “Implementasi Tasawuf Syekh Abdul
Qadir al-Jailani Dalam Majelis Manakib Al Barokah Ponorogo”, Jurnal Kebudayaan Dan
Keagamaan, Vol. 15, No. 2, hal. 223.

17
Solikhah, Nina Mar’atus. 2021. Konsep Tazkiyatun Nafs Menurut Syekh Abdul Qodir Al
Jailani, Skripsi Online, Kudus.

Zainuddin, M. 2002. Syekh Abdul Qadir Al Jailani Tokoh Sufi Kharismatik Dalam
Persaudaraan Tarekat, Jakarta.

Hafiun, Muhammad. 2017. “Zuhud Dalam Ajaran Tasawuf”, Jurnal Bimbingan


Konseling dan Dakwah Islam, Vol. 14, No. 1.

Mustaghfiroh, Siti, Taufid Hidayat Nazar, dan Badarudin. 2021. Safe’I “Etika Keutamaan
Dalam Akhlak Tasawuf Abdul Qadir Al-Jailani: Relvansinya Dengan Pengembangan
Karakter Manusia”, Jurnal Islam Nusantara, Vol. 5, No. 1.

M. Amin Syukur “Terapi Dalam Literatur Tasawuf”, Jurnal Walisongo, Vol. 20, No. 2,
2012, hal. 400.

Mashar, Aly dan Nailal Muna. 2020. “Filsafat etika Tasawuf Syaikh Abdul Qadir Jailani:
Kajian Etika Salik dalam Kitab Ghunyat li Thalibi Thariq al-Haqq”, Jurnal Pendidikan
dan Studi Keislaman, Vol. 10, No. 3, hal. 285.

Firnanda, Aviva. 2022.“Konsep Adab Murid Syekh Abdul Qadir Jailani Perkembangan
Krakter”. OSF Prepints, hal. 12.

18

Anda mungkin juga menyukai