Anda di halaman 1dari 24

RS.

CANTIA
Tompasobaru

Jaga II, desa Pinaesaan Kecamatan Tompasobaru Kabupaten


Minahasa Selatan - Kode Post : 95357 Sulawesi Utara
rscantia2014@gmail.com

KEPUTUSAN DIREKTUR
TENTANG
PENINGKATAN MUTU, KESELAMATAN PASIEN
DAN MANAJEMEN RISIKO

TAHUN 2022
KEPUTUSAN DIREKTUR
RUMAH SAKIT CANTIA TOMPASOBARU
NOMOR: 499/RSC/DIR-SK/XII/2022
TENTANG
PENINGKATAN MUTU, KESELAMATAN PASIEN DAN
MANAJEMEN RISIKO
RUMAH SAKIT CANTIA TOMPASOBARU

DIREKTUR RS. CANTIA TOMPASOBARU

MENIMBANG: 1. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan


Rumah Sakit Cantia Tompasobaru, diperlukan
adanya Pedoman Mutu dan Keselamatan Pasien
2. Bahwa mutu dan keselamatan pasien serta managemen
risiko merupakan kewajiban berdasarkan Peraturan
Menteri Kesehatan;
3. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan
Rumah Sakit maka diperlukan penyelenggaraan mutu
dan keselamatan pasien serta managemen risiko
4. Bahwa agar pelaksanaan pelayanan keselamatan pasien di
Rumah Sakit dapat terlaksana dengan baik perlu adanya
Pedoman Mutu, Keselamatan Pasien dan Managemen
Risiko sebagai landasan bagi
penyelenggaraan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit
5. Bahwa Sasaran Keselamatan Pasien (SKP) wajib
diterapkan dirumah sakit untuk mencegah terjadinya
insiden keselamatan pasien serta peningkatan mutu
pelayanan kesehatan sesuai standar WHO Patient Safety
yang digunakan juga oleh pemerintah
a. Bahwa untuk menunjang tercapainya keselamatan
pasien dirumah sakit perlu focus dalam melakukan
perbaikan – perbaikan sesuai dengan 6 sasaran
keselamatan pasien
b. Bahwa berdasarkan pertimbangan PeraturanDirektur
RS Cantia Tompasobaru tentang Sasaran
Keselamatan Pasien (SKP) di Rumah Sakit Cantia
Tompasobaru

MENGINGAT : 1. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun


2009 Tentang Kesehatan
2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan;
3 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit ;
4 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1691/MENKES/PER/VIII/2011 Tentang Keselamatan
Pasien Rumah Sakit di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
5 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 11 Tahun 2017
tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit
6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2020
tentang Akreditasi Rumah Sakit
7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 80 Tahun 2020
tentang Komite Mutu Rumah Sakit

MEMUTUSKAN
MENETAPKAN : KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT
CANTIA TENTANG PENINGKATAN MUTU,
KESELAMATAN PASIEN DAN MANAJEMEN
RISIKO DI RUMAH SAKIT
CANTIA TOMPASOBARU
PERTAMA : Keputusan direktur rumah sakit Cantia Tompasobaru
tentang pemberlakuan pedoman peningkatan mutu dan
keselamatan pasien, panduan sasaran keselamatan
pasien serta pedoman managemen risiko di Rumah
Sakit Cantia Tompasobaru
KEDUA : Pedoman Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien,
Panduan Sasaran Keselamatan Pasien serta Pedoman
Managemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat
pertama tersebut diatas tercantum dalam lampiran surat
keputusan ini.
KETIGA : Pedoman Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien,
Panduan Sasaran Keselamatan Pasien serta Pedoman
Managemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam
lampiran surat keputusan ini harus digunakan sebagai
acuan dalam melaksanakan Peningkatan Mutu,
Keselamatan Pasien dan Managemen Risiko
KEEMPAT : Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
Peningkatan Mutu , Sasaran Keselamatan Pasien dan
Managemen Risiko Rumah Sakit Cantia Tompasobaru
dilaksanakan oleh Direktur.
KELIMA : Keputusan ini berlaku sejak tanggal 01 Oktober 2022
sampai 01 Oktober 2025 dan akan diperbaiki
sebagaimana mestinya apabila dikemudian hari terdapat
kekeliruan dan atau perubahan dalam penetapannya.

Ditetapkan di: Tompasobaru


Pada tanggal: 01 November 2022

Direktur
RS. Cantia Tompasobaru

dr. James Komaling


Lampiran Keputusan Direktur RS. Cantia Tompasobaru
Nomor 499/RSC/DIR-SK/XII/2022
Tanggal 01 November 2022
Tentang Peningkatan Mutu

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
(1) Komite Mutu Rumah Sakit yang selanjutnya disebut Komite Mutu adalah
unsur organisasi non struktural yang membantu kepala atau direktur rumah
sakit dalam mengelola dan memandu program peningkatan mutu dan
keselamatan pasien, serta mempertahankan standar pelayanan rumah sakit.
(2) Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan
pelayanan rawat inap, rawat jalan,dan gawat darurat.
(3) Direktur Rumah Sakit adalah pimpinan tertinggi di Rumah Sakit yang bertugas
memimpin penyelenggaraan Rumah Sakit

Pasal 2
(1) Setiap Rumah Sakit wajib menyelenggarakan tata kelola mutu
(2) Tata kelola mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk
meningkatkan mutu Rumah Sakit dan mempertahankan standar pelayanan
Rumah Sakit
Pasal 3

Penyelenggaraan tata kelola mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat


dilakukan melalui pembentukan Komite Mutu sesuai dengan kebutuhan,
ketersediaan sumber daya dan beban kerja Rumah Sakit.
BAB II
PENGELOLAAN KEGIATAN PENINGKATAN MUTU, KESELAMATAN
PASIEN, DAN MANAJEMEN RISIKO

Pasal 4
Organisasi

(1) Komite Mutu dibentuk oleh Direktur Rumah Sakit dan ditetapkan dengan
surat keputusan.
(2) Komite Mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada dibawah dan
bertanggung jawab kepada Kepala atau Direktur Rumah Sakit.

Pasal 5
(1) Susunan organisasi Komite Mutu paling sedikit terdiri atas:
a. ketua;
b. sekretaris;dan
c. anggota.
(2) Ketua dan sekretaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b
merangkap sebagai anggota.
(3) Ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak boleh merangkap
sebagai pejabat struktural di Rumah Sakit.
(4) Ketua, sekretaris, dan anggota Komite Mutu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dipilih dan diangkat oleh Direktur Rumah Sakit.
(5) Keanggotaan Komite Mutu paling sedikit terdiri atas: tenaga medis; tenaga
keperawatan; tenaga kesehatan lain; dan tenaga non kesehatan.

BAB III
PEMILIHAN DAN PENGUMPULAN DATA INDIKATOR MUTU

Pasal 6
(1) Komite Mutu mendukung proses pemilihan indikator dan melaksanakan
koordinasi serta integrasi kegiatan pengukuran data indikator mutu
keselamatan pasien di rumah sakit
(2) Pengumpulan data indikator mutu berdasarkan peraturan yang berlaku yaitu
pengukuran Indikator Nasional Mutu (INM) dan perbaikan tingkat rumah sakit
meliputi:
a. Indikator nasional mutu (INM) yaitu indikator mutu nasional yang wajib
dilakukan pengukuran dan digunakan sebagai informasi mutu secara
nasional;
b. Indikator mutu prioritas rumah sakit (IMP-RS) mencakup;
1) Indikator sasaran keselamatan pasien minimal 1 indikator setiap sasaran
2) Indikator pelayanan klinis prioritas minimal 1 indikator
3) Indikator sesuai tujuan strategis rumah sakit (KPI) minimal 1 indikator
4) Indikator terkait perbaikan system minimal 1 indikator
5) Indikator terkait manejemen risiko minimal 1 indikator
6) Indikator terkait penelitian klinis dan program Pendidikan kedokteran
minimal 1 indikator (apabila ada)
c. Indikator mutu prioritas unit (IMP-Unit) adalah indikator prioritas yang
khusus dipilih kepala unit terdiri minimal 1 indikator

Pasal 7
Setiap indikator mutu prioritas rumah sakit (IMPRS) maupun indikator mutu
prioritas unit (IMP-Unit) sebagaimana dimaksud pada pasal 6 ayat 2 agar
dilengkapi dengan profil indikator

BAB IV
ANALISIS DAN VALIDASI DATA INDIKATOR MUTU

Pasal 8
(1) Agregasi dan analisis data dilakukan untuk mendukung program peningkatan
mutu dan keselamatan pasien serta mendukung partisipasi dalam pengumpulan
database eksternal;
(2) Rumah sakit harus melaporkan data mutu dan keselamatan pasien ke eksternal
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan meliputi:
a. Pelaporan indikator nasional mutu (INM) ke Kementrian Kesehatan melalui
aplikasi mutu fasilitas pelayanan Kesehatan
b. Pelaporan insiden keselamatan pasien (IKP) ke KNKP melalui aplikasi e-
report.

Pasal 9
(1) Staf dengan pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan yang bertugas
mengumpulkan dan menganalisis data rumah sakit secara sistematis
(2) Rumah sakit melakukan proses validasi data terhadap indikator mutu yang
diukur
(3) Kebijakan data yang harus divalidasi yaitu:
a. Pengukuran indikator mutu baru
b. Bila data akan dipublikasi ke masyarakat baik melalui website rumah sakit
atau media lain
c. Ada perubahan pada pengukuran yang selama ini sudah dilakukan, misalnya
perubahan profil indikator, instrumen pengumpulan data, proses agresi data,
atau perubahan staf pengumpul data atau validator
d. Bila terdapat perubahan hasil pengukuran tanpa diketahui sebabnya
e. Bila terdapat perubahan sumber data, misalnya terdapat perubahan sistem
pencatatan pasien dari manual ke elektronik
f. Bila terdapat perubahan subyek data seperti perubahan umur rata rata
pasien, perubahan protokol riset, panduan praktik klinik baru diberlakukan,
serta adanya teknologi dan metodologi pengobatan baru.

BAB V
PENCAPAIAN DAN UPAYA MEMPERTAHANKAN PERBAIKAN MUTU

Pasal 10
(1) Rumah sakit mencapai perbaikan mutu dan dipertahankan
(2) Dilakukan evaluasi proses pelaksanaan standar pelayanan kedokteran di
rumah sakit untuk menunjang pengukuran mutu pelayanan klinis prioritas
(3) Evaluasi perbaikan pelayanan klinis berupa standar pelayanan kedokterandapat
dilakukan melalui audit medis dan audit klinis serta dapat menggunakan
indikator mutu.

Pasal 11
(1) Sebagaimana disebutkan dalam pasal 10 ayat (3) bahwa tujuan dari evaluasi
perbaikan pelayanan klinis yaitu:
a. Dalam PPK disebutkan bahwa tata laksana stroke non-hemoragik harus
dilakukan secara multidisiplin dan dengan pemeriksaan serta intervensi dari
hari ke hari dengan urutan tertentu. Karakteristik penyakit stroke non-
hemoragik sesuai untuk dibuat alur klinis (clinical pathway/CP); sehingga
perlu dibuat CP untuk stroke non-hemoragik
b. Dalam PPK disebutkan bahwa pada pasien gagal ginjal kronik perlu
dilakukan hemodialisis. Uraian rinci tentang hemodialisis dimuat dalam
protokol hemodialisis pada dokumen terpisah
c. Dalam PPK disebutkan bahwa pada anak dengan kejang demam kompleks
perlu dilakukan pungsi lumbal. Uraian pelaksanaan pungsi lumbal tidak
dimuat dalam PPK melainkan dalam prosedur pungsi lumbal dan dokumen
terpisah
d. Dalam tatalaksana kejang demam diperlukan pemberian diazepam rektal
dengan dosis tertentu yang harus diberikan oleh perawat bila dokter tidak
ada, ini diatur dalam standing order.

BAB VI
SISTEM PELAPORAN DAN PEMBELAJARAN KESELAMATAN
PASIEN RUMAH SAKIT

Pasal 12
(1) Rumah sakit mengembangkan Sistem Pelaporan dan pembelajaran
Keselamatan pasien di rumah sakit
(2) Definisi kejadian yang tidak diharapkan (KTD), kejadian tidak cedera (KTC),
kejadian nyaris cedera (KNC), dan kondisi potensial cedera signifikan (KPCS)
yang didefinisikan sebagai berikut:
a. Kejadian tidak diharapkan (KTD) adalah insiden keselamatan pasien yang
menyebabkan cedera pada pasien
b. Kejadian tidak cedera (KTC) adalah insiden kelamatan pasien yang sudah
terpapar pada pasien namun tidak menyebabkan cedera
c. Kejadian nyaris cedera (KNC) adanya suatu insiden keselamatan pasien
yang belum terpapar pada pasien
d. Suatu kondisi potensial cedera signifikan (KPCS) adalah suatu kondisi
(selain dari proses penyakit atau kondisi pasien itu sendiri) yang berpotensi
menyebabkan kejadian sentinel
e. Kejadian sentinel adalah suatu kejadian yang tidak berhubungan dengan
perjalanan penyakit pasien atau penyakit yang mendasarinya yang terjadi
pada pasien.
(3) Kejadian sentinel merupakan salah satu jenis insiden keselamatan pasien yang
harus dilaporkan yang menyebabkan terjadinya hal-hal berikut ini:
a. Kematian
b. Cedera permanen
c. Cedera berat yang bersifat sementara/reversible
(4) Kejadian juga dapat digolongkan sebagai kejadian sentinel jika terjadi salah
satu dari berikut ini:
a. Bunuh diri oleh pasien yang sedang dirawat, ditatalaksana, menerima
pelayanan di unit yang selalu memiliki staf sepanjang hari atau dalam waktu
72 jam setelah pemulangan pasien, termasuk dari unit gawat darurat (UGD)
rumah sakit;
b. Kematian bayi cukup bulan yang tidak diantisipasi;
c. Bayi dipulangkan kepada orang tua yang salah;
d. Penculikan pasien yang sedang menerima perawatan, tata laksana, dan
pelayanan;
e. Kaburnya pasien (atau pulang tanpa izin) dari unit perawatan yang selalu
dijaga oleh staf sepanjang hari (termasuk UGD), yang menyebabkan
kematian, cedera permanen, atau cedera sementara derajat berat bagi pasien
tersebut;
f. Reaksi tranfusi hemolitik yang melibatkan pemberian darah atau produk
darah dengan inkompatibilitas golongan darah mayor (ABO, Rh, kelompok
darah lainnya);
g. Pemerkosaan, kekerasan (yang menyebabkan kematian, cedera permanen)
atau pembunuhan pasien yang sedang menerima perawatan, tata laksana,
dan layanan ketika berada dalam lingkungan rumah sakit;
h. Pemerkosaan, kekerasan (yang menyebabkan kematian, cedera permanen,
atau cedera sementara derajat berat) atau pembunuhan anggota staf, praktisi
mandiri berizin,pengunjung, atau vendor ketika berada dalam lingkungan
rumah sakit;
i. Tindakan invasif, termasuk operasi yang dilakukan pada pasien yang salah,
pada sisi yang salah, atau menggunakan prosedur yang salah (secara tidak
sengaja)
j. Tertinggalnya benda asing dalam tubuh pasien secara tidak sengaja setelah
suatu tindakan invasif, termasuk operasi;
k. Hiperbilirubinemia neonatal berat (bilirubin >30 mg/dL);
l. Fluoroskopi berkepanjangan dengan dosis kumulatif >1.500 rad pada suatu
medan tunggal atau pemberian radioterapi ke area tubuh yang salah atau
pemberian radioterapi >25% melebihi dosis radioterapi yang direncanakan;
m. Kebakaran, lidah api, atau asap, uap panas, atau pijaran yang tidak
diantisipasi selama satu episode perawatan pasien;
n. Semua kematian ibu intrapartum (terkait dengan proses persalinan); atau
o. Morbiditas ibu derajat berat (terutama tidak berhubungan dengan perjalanan
alamiah penyakit pasien atau kondisi lain yang mendasari) terjadi pada
pasien dan menyebabkan cedera permanen atau cedera sementara derajat
berat.

Pasal 13
(1) Data laporan insiden keselamatan pasien selalu dianalisis setiap 3 (tiga) bulan
untuk memantau ketika muncul tren atau variasi yang tidak diinginkan.
(2) Laporan insiden dan hasil investigasi baik diinvestigasi komprehensif (RCA)
maupun investigasi sederhana (simple RCA) harus dilakukan.

Pasal 14
(1) Rumah sakit melakukan pengukuran dan evaluasi budaya keselamatan pasien
(2) Direktur rumah sakit melakukan evaluasi rutin terhadap hasil survei budaya
keselamatan pasien dengan melakukan analisa dan tindak lanjutnya.

BAB VII
PENYELENGGARAAN

Pasal 15
Direktur Rumah Sakit menetapkan kebijakan, prosedur, dan sumber daya yang
diperlukan untuk menjalankan tugas dan fungsi Komite Mutu.

Pasal 16
(1) Komite Mutu dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, dapat berkoordinasi
dengan unsur komite medis, komite keperawatan, komite pencegahan dan
pengendalian infeksi, komite etik dan hukum, dan unsur organisasi atau unit
kerja terkait lainnya.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tata
hubungan kerja penyelenggaraan mutu di Rumah Sakit yang ditetapkan oleh
Direktur Rumah Sakit.
(3) Tata hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. Tata hubungan kerja dalam penerapan peningkatan mutu Rumah Sakit;
b. Tata hubungan kerja dalam penerapan keselamatan pasien, dan;
c. Tata hubungan kerja dalam penerapan manajemen risiko
BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 17
(1) Pembinaan dan pengawasan penyelengaraan keselamatan pasien dilakukan
oleh Direktur, Komite Mutu Rumah Sakit
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
melalui: advokasi, sosialisasi, supervisi, konsultasi, dan bimbingan teknis;

Pasal 18
Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Lampiran Keputusan Direktur RS. Cantia Tompasobaru
Nomor 499/RSC/DIR-SK/XII/2022
Tanggal 01 November 2022
Tentang Sasaran Keselamatan Pasien

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Definisi
(1) Keselamatan pasien adalah suatu sistem yang membuat asuhan pasien lebih
aman, meliputi assessmen risiko, identifikasi dan pengelolaan risiko pasien,
pelaporan dan analisa insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak
lanjutnya, serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko
serta untuk mencegah terjadinya cidera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya
diambil.
(2) Sasaran Keselamatan Pasien (SKP) adalah upaya rumah sakit dalam menjamin
keamanan dan keselamatan pasien. Keselamatan pasien adalah unsur yang
paling penting dalam pelayanan kesehatan.
(3) Identifikasi pasien adalah suatu proses untuk menentukan kesesuaian antara
individu yang akan menerima pelayanan atau pengobatan dengan pelayanan
atau pengobatan yang diterimanya.
(4) Komunikasi efektif adalah komunikasi yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas
dan dipahami oleh penerima pesan.
(5) Obat – obatan yang perlu diwaspadai atau (High Alert Medication) adalah obat
– obatan yang memiliki risiko menyebabkan cedera serius pada pasien jika
digunakan dengan tidak tepat.
(6) Memastikan sisi yang benar, prosedur yang benar, pasien yang benar pada
pembedahan / tindakan invasive adalah upaya dalam mengamankan pasien
selama menjalani tindakan operasi, agar tidak terjadi salah lokasi, salah
prosedur, dan salah pasien.
(7) Pengurangan infeksi melalui 6 langkah cuci tangan adalah upaya mencegah
agar tidak terjadinya infeksi pada pasien yang dirawat dan pertugas kesehatan
pada saat melakukan tindakan perawatan serta upaya mengendalikan guna
menurunkan angka kejadian infeksi yang terjadi dirumah sakit dengan
menerapkan kegiatan kebersihan tangan atau cuci tangan.
(8) Pencegahan risiko cedera akibat pasien jatuh adalah upaya yang dilakukan oleh
rumah sakit untuk menjamin keamanan dan keselamatan pasien dari kejadian
jatuh.

Pasal 2
Tujuan
(1) Mencegah terjadinya insiden keselamatan pasien
(2) Meningkatan mutu pelayanan kesehatan melalui penerapan manajemen risiko
dalam seluruh aspek pelayanan
(3) Mendorong rumah sakit melakukan perbaikan yang menunjang tercapainya
keselamatan pasien

Pasal 3
Penerapan Sasaran Keselamatan Pasien (SKP) dalam pelayanan di rumah sakit
(1) Mengidentifikasi pasien dengan benar
(2) Meningkatkan komunikasi yang efektif
(3) Meningkatkan keamanan obat – obatan yang harus diwaspadai (High Alert
Medication)
(4) Memastikan sisi yang benar, prosedur yang benar, pasien yang benar pada
pembedahan / tindakan invasive
(5) Mengurangi risiko infeksi akibat perawatan kesehatan
(6) Menguragi risiko cedera pasien akibat jatuh
BAB II
MENGIDENTIFIKASI PASIEN DENGAN BENAR

Pasal 4
(1) Rumah sakit menetapkan identifikasi pasien dengan menggunakan minimal 2
(dua) dari 4 (empat) identitas pasien yaitu nama dan tanggal lahir, dan tidak
menggunakan nomor kamar, tempat tidur, atau lokasi pasien.
(2) 4 (empat) identitas pasien ialah :
a. Nama pasien sesuai dengan e-KTP
b. Tanggal lahir
c. Nomor Rekam Medik (NO RM)
d. Nomor Induk Kependudukan (NIK)
(3) Identifikasi pasien dilakukan pada saat :
a. Melakukan tindakan intervensi / terapi misalnya pemberian obat, pemberian
darah atau produk darah.
b. Melakukan tindakan misalnya memasang jalur intravena
c. Sebelum tindakan diagnostic apapun misalnya mengambil sample dan dan
spesimen lain untuk pemeriksaan laboratorium penunjang, atau sebelum
melakukan tindakan radiologi diagnostik
d. Menyajikan makanan pasien
(4) Identifikasi juga wajib dilakukan pada situasi tertentu seperti pada saat pasien
koma, bayi baru lahir yang tidak segera diberi identitas dan saat terjadi darurat
bencana.
(5) Identifikasi pasien dilakukan secara verbal dan visual
a. Secara verbal dengan cara menanyakan nama dan tanggal lahir pasien
kemudian petugas mencocokkan dengan berkas / formulir rekam medis
pasien.
b. Secara visual dengan cara petugas melihat gelang identitas pasien dan
mencocokkan dengan berkas / formulir rekam medis pasien.
(6) Gelang identitas pasien terdiri dari 2 (dua) warna
a. Warna biru untuk pasien berjenis kelamin laki-laki
b. Warna merah mudah pasien berjenis kelamin perempuan
(7)Selain gelang terdapat stiker penandan
a. Stiker penanda berwarna merah pasien alergi
b. Stiker penanda berwarna kuning pasien berisiko jatuh
c. Stiker penanda berwarna ungu pasien DNR (Do Not Resuscitationt)
d. Stiker penanda dipasang sesuai dengan hasil assesmen dari petugas
(8)Lokasi pemasangan gelang identitas pada pergelangan tangan yang tidak
terpasang infus, bila tidak memungkinkan dapat dipasang pada pergelangan
kaki, bila pada kedua tangan dan kaki tidak bisa dipasang, maka bisa dipasang
pada pakaian pasien yang mudah terlihat, sesuai dengan kondisi pasien.
(9) Untuk pasien ibu yang baru melahirkan dipasang gelang identitas tambahan(2
gelang), gelang yang satu datanya sama dengan data yang terdapat dalam
gelang identitas bayinya. Bila pasien menjalani operasi sectio caesarea, maka
pemasangan gelang identitas dilaksanakan di kamar operasi. (pada bayi
dipasang oleh petugas penerima bayi dan pada ibu dipasang oleh petugas kamar
operasi).
(10) Jika selama masa perawatan gelang identitas pasien terlepas atau rusak
maka wajib segera diganti dengan yang baru oleh petugas diruangan
perawatan.
(11) Gelang pasien akan dilepas/digunting oleh petugas, setelah proses
pemulangan telah selesai dan pasien akan pulang.

BAB III
MENINGKATKAN KOMUNIKASI YANG EFEKTIF

Pasal 5
(1) Rumah sakit menerapkan proses untuk meningkatkan efektifitas komunikasi
lisan dan atau via telepon di antara professional pemberiasuhan (PPA), proses
pelaporan hasil kritis pada pemeriksaan diagnostik dan proses komunikasi saat
serah terima pasien (hand over).
(2) Metode komunikasi saat melaporkan kondisi pasien kepada DPJP
menggunakan metode SBAR (Situation, Backgroud, Assessment,
Recommendation).
(3) Metode komunikasi saat menerima instruksi melalui telephone adalah
menuliskan – membaca – melakukan konfirmasi kembali atau TUBAKO
(Tulis, baca, konfirmasi Kembali).
(4) Pelaporan nilai kritis pemeriksaan diagnostic pasien wajib dilaporkan kepada
DPJP dengan rentan waktu kurang dari 30 menit sejak hasil diverifikasi oleh
PPA yang berwenang di unit pemeriksaan penunjang diagnostik terkait.
(5) Serah terima pasien atau hand over mencakup serah terima antar professional
pemberi asuhan (PPA), serah terima antar unit dan serah terima dari ruang
rawat inap ke unit pelayanan diagnostik.

BAB IV
MENINGKATNYA KEAMANAN OBAT-OBATAN YANG HARUS DI
WASPADAI (HIGH ALERT MEDICATION)

Pasal 6
(1) Obat – obatan high alert mencakup :
a. Obat risiko tinggi yaitu obat dengan zat aktif yang dapat menimbulkan
kematian atau kecacatan bila terjadi kesalahan dalam penggunaannya
(contoh obat : insulin, heparin, atau sito statika)
b. Obat yang terlihat mirip dan terdengar mirip NORUM (Nama Obat Rupa
Ucap Mirip), atau LASA (Look Alike Sound Alike)
c. Elektrolit konsentrat seperti kalium klorida dengan konsentrasi sama atau
lebih dari 1mEq/ml,, natrium klorida dengan konsentrasi lebih dari 0,9%,
dan magnesium sulfat injeksi dengan konsentrasi sama atau lebih dari 50
%
(2) Elektrolit konsentrat harus disimpan di apotek tidak disimpan di ruang
perawatan pasien, dengan akses terbatas (restrict access) untuk mencegah
penggunaan yang tidak seharusnya.
(3) Jika sewaktu-waktu situasi kondisi pasien gawat / kritis elektrolit konsentrat
dapat disimpan diluar farmasi tetapi membutuhkan pengawasan ketat oleh
petugas farmasi.
(4) Obat high alert harus disimpan terpisah, diletakkan di rak tersendiri/khusus
dan terkunci, akses terbatas serta diberikan label/stiker obat high alert.
(5) Pemberian obat dengan menerapkan 7 Benar: benar obat, benar dosis, benar
rute, benar waktu, benar pasien, benar informasi dan benar dokumentasi.
(6) Dalam pemberian obat high alert petugas wajib melakukan pengecekan ganda
(pertama dan kedua) dilakukan oleh petugas yang berbeda. Proses pengecekan
ganda ini akan dicatat pada rekam medis pasien atau dalam hal ini di CPPT
(Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi).
(7) Simpan obat narkotika secara terpisah dalam lemari yang terkunci double
pintu, setiap pengeluaran harus diketahui oleh penanggung jawabnya dan
dicatat dalam buku serah terima lengkap dengan jumlahnya dan ditanda
tangani.

BAB V
MEMASTIKAN SISI YANG BENAR, PROSEDUR YANG BENAR,
PASIEN YANG BENAR PADA PEMBEDAHAN/TINDAKAN
INVASIF

Pasal 7
(1) Rumah sakit menerapkan proses sign in, time out dan sign out untuk setiap
tindakan pembedahan / invasive yang terdokumentasi dalam formulir ceklist
keselamatan operasi.
(2) Rumah sakit menggunakan tanda yang segera dikenali untuk mengidentifikasi
daerah operasi dengan tanda berupa Panah(  ) saat sebelum operasi dan
terdokumenasi pada formulir site marking.
(3) Penandaan daerah operasi dilakukan oleh dokter yang akan melakukan
tindakan operasi dilakukan sebelum tindakan/operasi, saat pasien sadar dan
disaksikan oleh perawat serta melibatkan pasien / orang tua / keluarga pasien
dalam proses penandaan daerah operasi.
(4) Penandaan daerah operasi dilakukan pada semua kasus termasuk sisi
(laterality), struktur multiple (jaritangan, jari kaki, lesi), atau multiple level
(tulang belakang).

BAB VI
MENGURANGI RISIKO INFEKSI AKIBAT PERAWATAN
KESEHATAN

Pasal 8
(1)Kebersihan tangan dilakukan oleh semua petugas kesehatan, pasien,
pengunjung pasien dan keluarga yang terlibat dalam pelayanan dirumah sakit.
(2)Kebersihan tangan /cuci tangan dilakukan mengacu pada standart WHO
(World Health Organization) dengan mengacu pada 6 langkah mencuci
tangan.
(3) Rumah sakit melakukan monitoring dan evaluasi terhadap program
kebersihan tangan serta upaya perbaikan yang dilakukan.
(4) Kebersihan tangan dilakukan pada 5 moment (Five Moment Hand For
Hygine) :
a. Sebelum kontak dengan pasien
b. Sebelum tindakan aseptic
c. Setelah terkena cairan tubuh pasien
d. Setelah kontak dengan pasien
e. Setelah kontak dengan lingkungan sekitar pasien

BAB VII
MENGURANGI RISIKO CEDERA PASIEN AKIBAT JATUH
Pasal 9
(1) Semua pasien baru dilakukan asesmen awal risiko jatuh baik pasien yang ada
di IGD (Instalasi Gawat Darurat), IRJ (Instalasi Rawat Jalan).
(2) Asesmen lanjutan yang dilakukan di ruang perawatan. Asesmen ulang dapat
dilakukan setiap 3 hari sekali atau melihat aspek seperti perubahan kondisi
pasien, menerima pasien pindahan dari ruang perawatan lain, pasien yang
mendapat therapy berisiko jatuh dan setelah pasien jatuh.
(3) Penilaian risiko jatuh dirawat inap menggunakan :
a. Skala Humpty Dumpty pada pasien anak, untuk usia 1-12 tahun
b. Skala Morse FallScale(MFS) pada pasien dewasa, untukusia 13- < 60 tahun
c. Skala Ontario Stratify sydney scoring untuk geriatri, untuk usia > 60 tahun
(4)Penilaian risiko jatuh di IGD (Instalasi Gawat Darurat) dan IRJ (Instalasi
Rawat Jalan) menggunakan Get Up And Go Test
(5) Intervensi tatalaksana risiko jatuh rawat jalan dilakukan jika setelahdiasesmen
risiko tinggi nilai 3, dipasang stiker penanda risiko berwarna kuning dan stiker
penanda dilepas ketika pasien akan pulang.
(6) Intervensi tatalaksana risiko jatuh rawat inap dilakukan jika :
a. Skor jatuh rendah – sedang dilakukan intervensi setiap shift
b. Skor jatuh tinggi dilakukan intervensi setiap 2 jam sekali dan dipasangkan
stiker penanda berwarna kuning pada gelang identitas pasien serta diberikan
penanda risiko jatuh pada daerah sekitar tempat tidur pasien.
(7) Bila terjadi insiden pasien jatuh, maka pencatatan dan pelaporan disampaikan
kepada Tim PMKP rumah sakit untuk ditindak lanjuti.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 10
Peraturan Direktur ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Lampiran Keputusan Direktur RS. Cantia Tompasobaru
Nomor 499/RSC/DIR-SK/XII/2022
Tanggal 01 November 2022
Tentang Manajemen Risiko

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal I
(1) Managemen Risiko adalah aktivitas klinik dan administratif yang dilakukan
oleh RS untuk melakukan identifikasi, evaluasi dan pengurangan risiko
terjadinya cedera atau kerugian pada pasien, pengunjung dan institusi RS
(2) Manajemen risiko dapat digambarkan sebagai proses berkelanjutan dari
identifikasi secara sistemik, evaluasi dan penatalaksanaan risiko dengan tujuan
mengurangi dampak buruk bagi organisasi maupun individu.
(3) Insiden Keselamatan Pasien yang selanjutnya disebut Insiden, adalah setiap
kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atauberpotensi
mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada pasien
(4) Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan
pelayanan rawat inap, rawat jalan,dan gawat darurat.
(5) Rumah Sakit perlu menggunakan pendekatan proaktif dalam melaksanakan
manajemen risiko .
(6) Direktur Rumah Sakit adalah pimpinan tertinggi di Rumah Sakit yang bertugas
memimpin penyelenggaraan Rumah Sakit

Pasal 2

Manajemen risiko merupakan upaya yang proaktif yang bertujuan untuk


mencegah masalah dikemudian hari, dilakukan terus menerus dan dalam suasana
no blame culture. Ada beberapa tujuan managemen risiko :
1) Terciptanya budaya keselamatan pasien .
2) Meningkatkan akuntabilitas.
3) Menurunnya kejadian tidak diharapkan (KTD).
4) Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi
pengulangan kejadian yang tidak diharapkan.
5) Meminimalisir risiko yang mungkin terjadi dimasa mendatang. Dengan adanya
antisipasi risiko, apabila terjadi insiden sudah terdapat alternatif
penyelesaiannya.
6) Melindungi pasien, karyawan, pengunjung dan pemangku kepentingan lainnya

BAB II
MANAGEMEN RISIKO RUMAH SAKIT

Pasal 3

(1) Dalam rangka meningkatkan mutu dan keselamatan pasien difasilitas Rumah
Sakit Gunung Maria, maka Direktur membentuk Komite Mutu Rumah Sakit
untuk meningkatkan keselamatan pasien dirumah sakit.
(2) Pimpinan Rumah Sakit memastikan bahwa tanggung jawab dan koordinasi
dalam hal managemen risiko dilaksanakan dengan baik

Pasal 4

(1) Pelaporan Managemen Risiko dilakukan setiap bulannya kepada komite mutu
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) KomiteMutu
Rumah Sakit menyelenggarakan fungsi:
a. Penyusunan standar dan pedoman Managemen Risiko;
b. Pengembangan dan pengelolaan sistem pelaporan Insiden, analisis, dan
penyusunan rekomendasi Keselamatan Pasien;
c. Kerjasama dengan berbagai institusi terkait baik dalam maupun luar
negeri; dan
d. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan program Managemen Risiko.
BAB III
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 5

(1) Pembinaan dan pengawasan penyelengaraan managemen risiko dilakukan


oleh Direktur, Komite Mutu Rumah Sakit
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan melalui: advokasi, sosialisasi, supervisi, konsultasi,dan
bimbingan teknis;

Pasal 6
Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di: Tompasobaru


Pada tanggal: 01 November 2022

Direktur
RS. Cantia Tompasobaru

dr. James Komaling

Anda mungkin juga menyukai