Anda di halaman 1dari 39

PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT BAKTI KARS

Nomor : ……….
PEDOMAN MUTU
DI RUMAH SAKIT BAKTI KARS
DIREKTUR RUMAH SAKIT BAKTI KARS

Menimbang: a. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan


Rumah Sakit BAKTI KARS, maka diperlukan adanya
Pedoman Mutu .
b. Bahwa mutu dan keselamatan pasien merupakan
kewajiban berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan.
c. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan
Rumah Sakit maka diperlukan penyelenggaraan mutu
dan keselamatan pasien;

d. Bahwa agar pelaksanaan pelayanan keselamatan pasien


di Rumah Sakit dapat terlaksana dengan baik perlu
adanya Pedoman Mutu sebagai landasan bagi
penyelenggaraan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit;

1
Mengingat: a.1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran;

b.
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan;

c.3. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang


Rumah Sakit ;

d.
4. Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit;

e.5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 11 Tahun 2017


tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit

f.6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2020


tentang Akreditasi Rumah Sakit

7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 80 Tahun 2020


tentang Komite Mutu Rumah Sakit

MEMUTUSKAN

Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT BAKTI KARS TENTANG


PEDOMAN MUTU DI RUMAH SAKIT BAKTI KARS

2
BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

1. Komite Mutu Rumah Sakit yang selanjutnya disebut Komite Mutu


adalah unsur organisasi non struktural yang membantu kepala
atau direktur rumah sakit dalam mengelola dan memandu
program peningkatan mutu dan keselamatan pasien, serta
mempertahankan standar pelayanan rumah sakit.
2. Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan,
dan gawat darurat.
3. Direktur Rumah Sakit adalah pimpinan tertinggi di Rumah Sakit
yang bertugas memimpin penyelenggaraan Rumah Sakit

Pasal 2

1. Setiap Rumah Sakit wajib menyelenggarakan tata kelola mutu.


2. Tata kelola mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
untuk meningkatkan mutu Rumah Sakit dan mempertahankan
standar pelayanan Rumah Sakit

3
Pasal 3

Penyelenggaraan tata kelola mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2


dapat dilakukan melalui pembentukan Komite Mutu sesuai dengan
kebutuhan, ketersediaan sumber daya, dan beban kerja Rumah Sakit.

BAB II

ORGANISASI

Pasal 4

1. Komite Mutu dibentuk oleh Direktur Rumah Sakit dan


ditetapkan dengan surat keputusan.
2. Komite Mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di
bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala atau Direktur
Rumah Sakit.

Pasal 5

1. Susunan organisasi Komite Mutu paling sedikit terdiri atas:


a. ketua;
b. sekretaris; dan
c. anggota.
2. Ketua dan sekretaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dan huruf b merangkap sebagai anggota.

4
3. Ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak boleh
merangkap sebagai pejabat struktural di Rumah Sakit.
4. Ketua, sekretaris, dan anggota Komite Mutu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipilih dan diangkat oleh Direktur Rumah
Sakit.
5. Keanggotaan Komite Mutu paling sedikit terdiri atas: tenaga
medis; tenaga keperawatan; tenaga kesehatan lain; dan tenaga
non kesehatan.

BAB III

TUGAS DAN FUNGSI

Pasal 6

1. Komite Mutu bertugas membantu DirekturRumah Sakit dalam


pelaksanaan dan evaluasi peningkatan mutu, keselamatan pasien,
dan manajemen risiko di Rumah Sakit.
2. Dalam melaksanakan tugas pelaksanaan dan evaluasi peningkatan
mutu, Komite Mutu memiliki fungsi:
a.penyusunan kebijakan, pedoman dan program kerja terkait
pengelolaan dan penerapan program mutu pelayanan Rumah
Sakit;
b.pemberian masukan dan pertimbangan kepada Direktur Rumah
Sakit terkait perbaikan mutu tingkat Rumah Sakit;

5
c.pemilihan prioritas perbaikan tingkat Rumah Sakit dan
pengukuran indikator tingkat Rumah Sakit serta menindaklanjuti
hasil capaian indikator tersebut
d. pemantauan dan memandu penerapan program mutu di unit
kerja;
e.pemantauandan memandu unit kerja dalam memilih prioritas
perbaikan, pengukuran mutu/indikator mutu, dan
menindaklanjuti hasil capaian indikator mutu;
f.fasilitasi penyusunan profil indikator mutu dan instrumen untuk
pengumpulan data;
g.fasilitasi pengumpulan data, analisis capaian,validasi dan
pelaporan data dari seluruh unit kerja;
h.pengumpulan data, analisis capaian, validasi, dan pelaporan
data indikator prioritas Rumah Sakit dan indikator mutu nasional
Rumah Sakit;
i.koordinasi dan komunikasi dengan komite medis dan komite
lainnya, satuan pemeriksaan internal,dan unit kerja lainnya yang
terkait, serta staf;
j.pelaksanaan dukungan untuk implementasi budaya mutu di
Rumah Sakit;
k.pengkajian standar mutu pelayanan di Rumah Sakit terhadap
pelayanan, pendidikan, dan penelitian;
l.penyelenggaraan pelatihan peningkatan mutu; dan
m.penyusunan laporan pelakasanaan program peningkatan mutu.

6
3. Dalam melaksanakan tugas pelaksanaan dan evaluasi keselamatan
pasien, Komite Mutu memiliki fungsi:

a. penyusunan kebijakan, pedoman, dan program kerja terkait


keselamatan pasien Rumah Sakit;

b.pemberian masukan dan pertimbangan kepada Direktur Rumah Sakit


dalam rangka pengambilan kebijakan keselamatan pasien;

c.pemantauan dan memandu penerapan keselamatan pasien di unit kerja;

d.motivasi,edukasi, konsultasi, pemantauan dan penilaian tentang


penerapan program keselamatan pasien;

e.pencatatan, analisis, dan pelaporan insiden, termasuk melakukan Root


Cause Analysis(RCA), dan pemberian solusi untuk meningkatkan
keselamatan pasien;

f.pelaporan insiden secara kontinu sesuai dengan ketentuan peraturan


perundang-undangan;

g.melaksanakan pelatihan keselamatan pasien;dan

h.penyusunan laporan pelakasanaan program keselamatan pasien.

4. Dalam melaksanakan tugas pelaksanaan dan evaluasi manajemen risiko,


Komite Mutu memiliki fungsi:

7
a.penyusunan kebijakan, pedoman dan program kerja terkait manajemen
risiko Rumah Sakit;

b.pemberian masukan dan pertimbangan kepada Direktur Rumah Sakit


terkait manajemen risiko di Rumah Sakit;

c.pemantauan dan memandu penerapan manajemen risiko di unit kerja;

d.pemberian usulan atas profil risiko dan rencana penanganannya;

e.pelaksanaan dan pelaporan rencana penanganan risiko sesuai lingkup


tugasnya;

f.pemberian usulan rencana kontingensi apabila kondisi yang tidak normal


terjadi;

g.pelaksanaan penanganan risiko tinggi;

h.pelaksanaan pelatihan manajemen risiko; dan

i.penyusunan laporan pelaksanaan program manajemen risiko.

(5)Selain melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat(2)


sampai dengan ayat (4), Komite Mutu juga melaksanakan fungsi persiapan
dan penyelenggaraan akreditasiRumah Sakit.

BAB IV

8
PENYELENGGARAAN

Pasal 7

Direktur Rumah Sakit menetapkan kebijakan, prosedur, dan sumber daya


yang diperlukan untuk menjalankan tugas dan fungsi Komite Mutu.

Pasal 8

1. Komite Mutu dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, dapat


berkoordinasi dengan unsur komite medis, komite keperawatan,
komite pencegahan dan pengendalian infeksi, komite etik dan
hukum, dan unsur organisasi atau unit kerja terkait lainnya.
2. Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
tata hubungan kerja penyelenggaraan mutu di Rumah Sakit yang
ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit.
3. Tata hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
meliputi:
a. tata hubungan kerja dalam penerapan peningkatan mutu
Rumah Sakit;
b. tata hubungan kerja dalam penerapan keselamatan pasien;
dan
c. tata hubungan kerja dalam penerapan manajemen risiko

BAB V

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

9
Pasal 9

(1) Pembinaan dan pengawasan penyelengaraan keselamatan


pasien dilakukan oleh Direktur, Komite Mutu Rumah Sakit

(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) dilaksanakan melalui:advokasi, sosialisasi, supervisi,
konsultasi, dan bimbingan teknis;

Pasal 10

Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan

Ditetapkan di : Jakarta
Pada Tanggal :
Rumah Sakit BAKTI KARS
Direktur,

10
Lampiran Peraturan Direktur Nomor :….

Tentang : Pedoman Mutu

BAB I

PENDAHULUAN

Tujuan Pembangunan Kesehatan adalah tercapainya kemampuan


untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat
kesehatan masyarakat yang optimal, sebagai salah satu unsur
kesejahteraan umum dari Tujuan Nasional. Untuk itu perlu ditingkatkan
upaya guna memperluas dan mendekatkan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat dengan mutu yang baik dan biaya yang terjangkau. Selain itu
dengan semakin meningkatnya pendidikan dan keadaan sosial ekonomi
masyarakat, maka sistem nilai dan orientasi dalam masyarakatpun mulai
berubah. Masyarakat mulai cenderung menuntut pelayanan umum yang
lebih baik, lebih ramah dan lebih bermutu termasuk pelayanan kesehatan.
Dengan semakin meningkatnya tuntutan masyarakat akan mutu
pelayanan Rumah Sakit maka fungsi pelayanan RS BAKTI KARS secara
bertahap perlu terus ditingkatkan agar menjadi lebih efektif dan efisien
serta memberi kepuasan kepada pasien, keluarga maupun masyarakat.
Agar upaya peningkatan mutu pelayanan rumah sakit dapat
seperti yang diharapkan maka perlu disusun Pedoman Upaya Peningkatan
Mutu Pelayanan RS BAKTI KARS . Buku pedoman tersebut merupakan

11
konsep dan program peningkatan mutu pelayanan RS BAKTI KARS , yang
disusun sebagai acuan bagi pengelola RS BAKTI KARS dalam
melaksanakan upaya peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit. Dalam
buku panduan ini diuraikan tentang prinsip upaya peningkatan mutu,
langkah-langkah pelaksanaannya dan dilengkapi dengan indikator mutu.

12
BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN UPAYA PENINGKATAN
MUTU PELAYANAN RUMAH SAKIT

Upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan sebenarnya


bukanlah hal yang baru. Pada tahun (1820–1910) Florence Nightingale
seorang perawat dari Inggris menekankan pada aspek-aspek keperawatan
pada peningkatan mutu pelayanan. Salah satu ajarannya yang terkenal
sampai sekarang adalah “ hospital should do the patient no harm”, Rumah
Sakit jangan sampai merugikan atau mencelakakan pasien.
Di Amerika Serikat, upaya peningkatan mutu pelayanan medik
dimulai oleh ahli bedah Dr. E.A.Codman dari Boston dalam tahun 1917.
Dr.E.A Codman dan beberapa ahli bedah lain kecewa dengan hasil operasi
yang seringkali buruk, karena seringnya terjadi penyulit. Mereka
berkesimpulan bahwa penyulit itu terjadi karena kondisi yang tidak
memenuhi syarat di Rumah Sakit. Untuk itu perlu ada penilaian dan
penyempurnaan tentang segala sesuatu yang terkait dengan
pembedahan. Ini adalah upaya pertama yang berusaha
mengidentifikasikan masalah klinis, dan kemudian mencari jalan
keluarnya.
Kelanjutan dari upaya ini pada tahun 1918 The American College
of Surgeons (ACS) menyusun suatu Hospital Standardization Programme.
Program standarisasi adalah upaya pertama yang terorganisasi dengan
tujuan meningkatkan mutu pelayanan. Program ini ternyata sangat
berhasil meningkatkan mutu pelayanan sehingga banyak Rumah Sakit

13
tertarik untuk ikut serta. Dengan berkembangnya ilmu dan teknologi
maka spesialisasi ilmu kedokteran diluar bedah cepat berkembang. Oleh
karena itu program standarisasi perlu diperluas agar dapat mencakup
disiplin lain secara umum.
Pada tahun 1951 American College of Surgeon, American College
of Physicians, American Hospital Association bekerjasama membentuk
suatu Joint Commision on Accreditation of Hospital (JCAH) suatu badan
gabungan untuk menilai dan mengakreditasi Rumah Sakit .
Pada akhir tahun 1960 JCAH tidak lagi hanya menentukan syarat
minimal dan essensial untuk mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada di
Rumah Sakit, namun telah memacu Rumah Sakit agar memberikan mutu
pelayanan yang setinggi-tingginya sesuai dengan sumber daya yang ada.
Untuk memenuhi tuntutan yang baru ini antara tahun 1953-1965 standar
akreditasi direvisi enam kali, selanjutnya beberapa tahun sekali diadakan
revisi.
Atas keberhasilan JCAH dalam meningkatkan mutu pelayanan,
Pemerintah Federal memberi pengakuan tertinggi dalam mengundangkan
“Medicare Act”. Undang-undang ini mengabsahkan akreditasi Rumah
Sakit menurut standar yang ditentukan oleh JCAH. Sejak saat itu Rumah
Sakit yang tidak diakreditasi oleh JCAH tidak dapat ikut program asuransi
kesehatan pemerintah federal (medicare), padahal asuransi di Amerika
sangat menentukan utilisasi Rumah Sakit karena hanya 9,3% biaya Rumah
Sakit berasal dari pembayaran langsung oleh pasien.

14
Sejak tahun 1979 JCAH membuat standar tambahan, yaitu agar
dapat lulus akreditasi suatu Rumah Sakit harus juga mempunyai program
pengendalian mutu yang dilaksanakan dengan baik.
Di Australia, Australian Council on Hospital Standards (ACHS)
didirikan dengan susah payah pada tahun 1971, namun sampai tahun
1981 badan ini baru berhasil beroperasi dalam 3 Negara bagian. Tetapi
lambat laun ACHS dapat diterima kehadirannya dan diakui manfaatnya
dalam upaya peningkatan mutu pelayanan sehingga sekarang kegiatan
ACHS telah mencakup semua negara bagian. Pelaksanaan peningkatan
mutu di Australia pada dasarnya hampir sama dengan di Amerika.
Di Eropa Barat perhatian terhadap peningkatan mutu pelayanan
sangat tinggi, namun masalah itu tetap merupakan hal baru dengan
konsepsi yang masih agak kabur bagi kebanyakan tenaga profesi
kesehatan. Sedangkan pendekatan secara Amerika sukar diterapkan
karena perbedaan sistem kesehatan di masing-masing negara di Eropa.
Karena itu kantor Regional WHO untuk Eropa pada awal tahun 1980-an
mengambil inisiatif untuk membantu negara-negara Eropa
mengembangkan pendekatan peningkatan mutu pelayanan disesuaikan
dengan sistem pelayanan kesehatan masing-masing.
Pada tahun 1982 kantor regional tersebut telah menerbitkan buku
tentang upaya meningkatkan mutu dan penyelenggaraan simposium di
Utrecht, negeri Belanda tentang metodologi peningkatan mutu pelayanan.
Dalam bulan Mei 1983 di Barcelona, Spanyol suatu kelompok kerja yang
dibentuk oleh WHO telah mengadakan pertemuan untuk mempelajari
peningkatan mutu khusus untuk Eropa.

15
Walaupun secara regional WHO telah melakukan berbagai upaya,
namun pada simposium peningkatan mutu pada bulan Mei 1989 terdapat
kesan bahwa secara nasional upaya peningkatan mutu di berbagai negara
Eropa Barat masih pada perkembangan awal.
Di Asia, negara pertama yang sudah mempunyai program
peningkatan mutu dan akreditasi Rumah Sakit secara nasional adalah
Taiwan. Negara ini banyak menerapkan metodologi dari Amerika.
Sedangkan Malaysia mengembangkan peningkatan mutu pelayanan
dengan bantuan konsultan ahli dari Negeri Belanda,
Di Indonesia langkah awal yang sangat mendasar dan terarah yang
telah dilakukan Departemen Kesehatan dalam rangka upaya peningkatan
mutu yaitu penetapan kelas Rumah Sakit pemerintah melalui Surat
Keputusan Menteri Kesehatan No.033/Birhup/1972. Secara umum telah
ditetapkan beberapa kriteria untuk tiap kelas Rumah Sakit A,B,C,D. Kriteria
ini kemudian berkembang menjadi standar-standar. Kemudian dari tahun
ke tahun disusun berbagai standar baik menyangkut pelayanan,
ketenagaan, sarana dan prasarana untuk masing-masing kelas Rumah
Sakit. Disamping standar, Departemen Kesehatan juga mengeluarkan
berbagai panduan dalam rangka meningkatkan penampilan pelayanan
Rumah Sakit.
Sejak tahun 1984 Departemen Kesehatan telah mengembangkan
berbagai indikator untuk mengukur dan mengevaluasi penampilan
(performance) Rumah Sakit pemerintah kelas C dan Rumah Sakit swasta
setara yaitu dalam rangka Hari Kesehatan Nasional. Indikator ini setiap
dua tahun ditinjau kembali dan disempurnakan. Evaluasi penampilan

16
untuk tahun 1991 telah dilengkapi dengan indikator kebersihan dan
ketertiban Rumah Sakit dan yang dievaluasi selain kelas C juga kelas D dan
kelas B serta Rumah Sakit swasta setara. Sedangkan evaluasi penampilan
tahun 1992 telah dilengkapi pula dengan instrumen mengukur
kemampuan pelayanan. Evaluasi penampilan Rumah Sakit ini merupakan
langkah awal dari Konsep Continuous Quality Improvement (CQI).
Berbeda dengan konsep QA tradisional dimana dalam monitor dan
evaluasi dititik beratkan kepada pencapaian standar, maka pada CQI fokus
lebih diarahkan kepada penampilan organisasi melalui penilaian pemilik,
manajemen, klinik dan pelayanan penunjang. Perbedaan yang sangat
mendasar yaitu keterlibatan seluruh karyawan.
Sejalan dengan hal di atas maka Departemen Kesehatan telah
mengadakan Pelatihan Peningkatan Mutu Pelayanan Rumah Sakit pada
beberapa Rumah Sakit. Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa
kesadaran untuk meningkatkan mutu sudah cukup meluas walaupun
dalam penerapannya sering ada perbedaan.

17
BAB III
KONSEP DASAR UPAYA PENINGKATAN MUTU
PELAYANAN RS BAKTI KARS

Agar upaya peningkatan mutu di RS BAKTI KARS dapat


dilaksanakan secara efektif dan efisien maka diperlukan adanya kesatuan
bahasa tentang konsep dasar upaya penigkatan mutu pelayanan.

A. MUTU PELAYANAN RS
1. Pengertian mutu
Pengertian mutu beraneka ragam dan di bawah ini ada beberapa
pengertian yang secara sederhana melukiskan apa hakekat mutu.
a. Mutu adalah tingkat kesempurnaan suatu produk atau jasa.
b. Mutu adalah expertise, atau keahlian dan keterikatan
(commitment) yang selalu dicurahkan pada pekerjaan
c. Mutu adalah kegiatan tanpa salah dalam melakukan
pekerjaan.
2. Definisi Mutu Pelayanan RS
Adalah derajat kesempurnaan pelayanan RS untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat konsumen akan pelayanan kesehatan yang
sesuai dengan standar profesi dan standar pelayanan dengan
menggunakan potensi sumber daya yang tersedia di RS BAKTI
KARS secara wajar, efisien dan efektif serta diberikan secara
aman dan memuaskan sesuai dengan norma, etika, hukum dan

18
sosio budaya dengan memperhatikan keterbatasan dan
kemampuan RS BAKTI KARS dan masyarakat konsumen.
3. Pihak yang Berkepentingan dengan Mutu
Banyak pihak yang berkepentingan dengan mutu, yaitu :
a. Konsumen
b. Pembayar/perusahaan/asuransi
c. Manajemen RS BAKTI KARS
d. Karyawan RS BAKTI KARS
e. Masyarakat
f. Pemerintah
g. Ikatan profesi
Setiap kepentingan yang disebut di atas berbeda sudut pandang
dan kepentingannya terhadap mutu. Karena itu mutu adalah
multi dimensional.
4. Dimensi Mutu
Dimensi atau aspeknya adalah :
a. Keprofesian
b. Efisiensi
c. Keamanan Pasien
d. Kepuasan Pasien
e. Aspek Sosial Budaya
5. Mutu Terkait dengan Struktur, Proses, Outcome
Pengukuran mutu pelayanan kesehatan dapat diukur dengan
menggunakan 3 variabel, yaitu :

19
1). Struktur, ialah segala sumber daya yang diperlukan untuk
melakukan pelayanan kesehatan, seperti tenaga, dana, obat,
fasilitas, peralatan, bahan, teknologi, organisasi, informasi,
dan lain-lain. Pelayanan kesehatan yang bermutu
memerlukan dukungan Struktur yang bermutu pula.
Hubungan struktur dengan mutu pelayanan kesehatan adalah
dalam perencanaan dan penggerakan pelaksanaan pelayanan
kesehatan.
2). Proses, merupakan aktivitas dalam bekerja, adalah merupakan
interaksi profesional antara pemberi pelayanan dengan
konsumen (pasien/masyarakat). Proses ini merupakan
variabel penilaian mutu yang penting.
3). Outcome, ialah hasil pelayanan kesehatan, merupakan
perubahan yang terjadi pada konsumen (pasien/masyarakat),
termasuk kepuasan dari konsumen tersebut.
RS BAKTI KARS adalah suatu institusi pelayanan kesehatan
yang kompleks, padat pakar dan padat modal. Kompleksitas ini
muncul karena pelayanan di RS BAKTI KARS menyangkut berbagai
fungsi pelayanan, serta mencakup berbagai tingkatan maupun jenis
disiplin. Agar RS BAKTI KARS mampu melaksanakan fungsi yang
demikian kompleks, harus memiliki sumber daya manusia yang
profesional baik di bidang teknis medis maupun administrasi
kesehatan. Untuk menjaga dan meningkatkan mutu, RS BAKTI KARS
harus mempunyai suatu ukuran yang menjamin peningkatan mutu di
semua tingkatan.

20
Pengukuran mutu pelayanan kesehatan RS BAKTI KARS
diawali dengan penilaian akreditasi RS BAKTI KARS yang mengukur
dan memecahkan masalah pada tingkat Struktur dan proses. Pada
kegiatan ini RS BAKTI KARS harus menetapkan standar Struktur,
proses, output, dan outcome, serta membakukan seluruh standar
prosedur yang telah ditetapkan. RS BAKTI KARS dipacu untuk dapat
menilai diri (self assesment) dan memberikan pelayanan sesuai
dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Sebagai kelanjutan untuk
mengukur hasil kerjanya perlu ada latar ukur yang lain, yaitu
instrumen mutu pelayanan RS BAKTI KARS yang menilai dan
memecahkan masalah pada hasil (output dan outcome). Tanpa
mengukur hasil kinerja RS BAKTI KARS tidak dapat diketahui apakah
Struktur dan proses yang baik telah menghasilkan output yang baik
pula. Indikator RS BAKTI KARS disusun dengan tujuan untuk dapat
mengukur kinerja mutu RS BAKTI KARS secara nyata.

B. UPAYA PENINGKATAN MUTU PELAYANAN RS BAKTI KARS


Upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan dapat diartikan
keseluruhan upaya dan kegiatan secara komprehensif dan integratif
memantau dan menilai mutu pelayanan RS BAKTI KARS ,
memecahkan masalah-masalah yang ada dan mencari jalan keluarnya,
sehingga mutu pelayanan RS akan menjadi lebih baik.
Upaya peningkatan mutu pelayanan adalah kegiatan yang
bertujuan memberikan asuhan atau pelayanan sebaik-baiknya kepada
pasien. Upaya peningkatan mutu pelayanan RS BAKTI KARS akan

21
sangat berarti dan efektif bilamana upaya peningkatan mutu menjadi
tujuan sehari-hari dari setiap unsur di RS termasuk pimpinan,
pelaksana pelayanan langsung dan staf penunjang.
Upaya peningkatan mutu termasuk kegiatan yang melibatkan
mutu asuhan atau pelayanan dengan penggunaan sumber daya secara
tepat dan efisien. Walaupun disadari bahwa mutu memerlukan biaya,
tetapi tidak berarti mutu yang lebih baik selalu memerlukan biaya
lebih banyak atau mutu rendah biayanya lebih sedikit.
Berdasarkan hal di atas maka disusunlah definisi dan tujuan
dari upaya peningkatan mutu pelayanan RS BAKTI KARS
1. Definisi Upaya Peningkatan Mutu Pelayanan RS
Adalah keseluruhan upaya dan kegiatan yang komprehensif dan
integratif yang menyangkut Struktur, proses dan output secara
objektif, sistematik dan berlanjut memantau dan menilai mutu dan
kewajaran pelayanan terhadap pasien, dan memecahkan masalah-
masalah yang terungkapkan sehingga pelayanan yang diberikan di RS
berdaya guna dan berhasil guna.
2. Tujuan Upaya Peningkatan Mutu Pelayanan RS
Umum : Meningkatkan pelayanan kesehatan melalui upaya
peningkatan mutu pelayanan RS secara efektif dan efisien
agar tercapai derajat kesehatan yang optimal.
Khusus: Tercapainya peningkatan mutu pelayanan RS melalui :
a. Optimalisasi tenaga, sarana, dan prasarana.
b. Pemberian pelayanan sesuai dengan standar profesi
dan standar pelayanan yang dilaksanakan secara

22
menyeluruh dan terpadu sesuai dengan kebutuhan
pasien.
c. Pemanfaatan teknologi tepat guna, hasil penelitian
dan pengembangan pelayanan kesehatan.
3. Indikator mutu
Indikator mutu RS meliputi indikator klinik, indikator yang berorientasi
pada waktu dan indikator ratio yang berdasarkan pada efektifitas
(effectivenes), efisiensi (efficiency), keselamatan (safety) dan
kelayakan (appropriateness).
4. Strategi
Untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan RS maka disusunlah
strategi sebagai berikut :
1) Setiap petugas harus memahami dan menghayati konsep
dasar dan prinsip mutu pelayanan RS sehingga dapat
menerapkan langkah-langkah upaya peningkatan mutu di
masing-masing unit kerjanya.
2) Memberi prioritas kepada peningkatan kompetensi sumber
daya manusia di RS, serta upaya meningkatkan kesejahteraan
karyawan.
3) Menciptakan budaya mutu di RS, termasuk di dalamnya
menyusun program mutu RS dengan pendekatan PDSA cycle.

5. Pendekatan Pemecahan Masalah

23
Pendekatan pemecahan masalah merupakan suatu proses siklus (daur)
yang berkesinambungan. Langkah pertama dalam proses siklus ini
adalah identifikasi masalah. Identifikasi masalah merupakan bagian
sangat penting dari seluruh proses siklus (daur), karena akan
menentukan kegiatan-kegiatan selanjutnya dari pendekatan pemecahan
masalah ini. Masalah akan timbul apabila :
• Hasil yang dicapai dibandingkan dengan standar yang ada
terdapat penyimpangan
• Merasa tidak puas akan penyimpangan tersebut.
• Merasa bertanggung jawab atas penyimpangan tersebut.
Dengan telah jelasnya cara memecahkan masalah maka bisa
dilakukan tindakan perbaikan. Namun agar pemecahan masalah bisa
tuntas, setelah diadakan tindakan perbaikan perlu dinilai kembali
apakah masih ada yang tertinggal. Dari penilaian kembali maka akan
didapatkan masalah yang telah terpecahkan dan masalah yang masih
tetap merupakan masalah sehingga proses siklus akan berulang mulai
tahap pertama.

24
BAB IV
PRINSIP DASAR UPAYA PENINGKATAN
MUTU PELAYANAN

Prinsip dasar upaya peningkatan mutu pelayanan adalah


pemilihan aspek yang akan ditingkatkan dengan menetapkan indikator,
kriteria serta standar yang digunakan untuk mengukur mutu pelayanan RS

Indikator :
Adalah ukuran atau cara mengukur sehingga menunjukkan suatu indikasi.
Indikator merupakan suatu variabel yang digunakan untuk bisa melihat
perubahan. Indikator yang baik adalah yang sensitif tapi juga spesifik.

Kriteria :
Adalah spesifikasi dari indikator.

Standar :
• Tingkat kinerja atau keadaan yang dapat diterima oleh seseorang
yang berwenang dalam situasi tersebut, atau oleh mereka yang
bertanggung jawab untuk mempertahankan tingkat kinerja atau
kondisi tersebut.
• Suatu norma atau persetujuan mengenai keadaan atau prestasi
yang sangat baik.
• Sesuatu ukuran atau patokan untuk mengukur kuantitas, berat,
nilai atau mutu.

25
Dalam melaksanakan upaya peningkatan mutu pelayanan maka harus
memperhatikan prinsip dasar sebagai berikut:
1. Aspek yang dipilih untuk ditingkatkan
• Keprofesian
• Efisiensi
• Keamanan pasien
• Kepuasan pasien
• Sarana dan lingkungan fisik

2. Indikator yang dipilih


a. Indikator lebih diutamakan untuk menilai output daripada
Struktur dan proses
b. Bersifat umum, yaitu lebih baik indikator untuk situasi dan
kelompok daripada untuk perorangan.
c. Dapat digunakan untuk membandingkan dengan Rumah Sakit lain,
baik di dalam maupun luar negeri.
d. Dapat mendorong intervensi sejak tahap awal pada aspek yang
dipilih untuk dimonitor
e. Didasarkan pada data yang ada.
3. Kriteria yang digunakan
Kriteria yang digunakan harus dapat diukur dan dihitung untuk dapat
menilai indikator, sehingga dapat sebagai batas yang memisahkan
antara mutu baik dan mutu tidak baik.
4. Standar yang digunakan
Standar yang digunakan ditetapkan berdasarkan :

26
a. Acuan dari berbagai sumber
b. Benchmarking dengan Rumah Sakit yang setara
c. Berdasarkan trend yang menuju kebaikan

27
BAB V

PENGENDALIAN KUALITAS PELAYANAN

Identifikasi masalah dapat dilakukan dengan menggambarkan


diagram sebab akibat atau diagram tulang ikan (fish-bone). Diagram tulang
ikan adalah alat untuk menggambarkan penyebab-penyebab suatu
masalah secara rinci. Diagram tersebut memfasilitasi proses identifikasi
masalah sebagai langkah awal untuk menentukan fokus perbaikan,
mengembangkan ide pengumpulan data, mengenali penyebab terjadinya
masalah dan menganalisa masalah tersebut (Koentjoro, 2007). Diagram
tulang ikan diperlihatkan pada gambar 2.

Gambar 2. Diagram Tulang Ikan


Langkah-langkah menggambarkan diagram tulang ikan:

28
1. Masalah yang akan dianalisis diletakkan disebelah kanan (kepala
tulang ikan)
2. Komponen struktur dan proses masalah diletakkan pada sirip ikan
(manusia, mesin/peralatan, metode, material, lingkungan
3. Kemudian dilakukan diskusi untuk menganalisa penyebab masalah
pada setiap komponen struktur dan proses tersebut.

Pengendalian adalah keseluruhan fungsi atau kegiatan yang harus


dilakukan untuk menjamin tercapainya sasaran perusahaan dalam hal
kualitas produk dan jasa pelayanan yang diproduksi. Pengendalian
kualitas pelayanan pada dasarnya adalah pengendalian kualitas kerja dan
proses kegiatan untuk menciptakan kepuasan pelanggan (quality of
customer’s satisfaction) yang dilakukan oleh setiap orang dari setiap
bagian di RS.
Pengertian pengendalian kualitas pelayanan di atas mengacu pada
siklus pengendalian (control cycle) dengan memutar siklus “Plan-Do-
Study-Action” (P-D-S-A) = Relaksasi (rencanakan – laksanakan – periksa –
aksi). Pola P-D-S-A ini dikenal sebagai “siklus Shewart”, karena pertama
kali dikemukakan oleh Walter Shewhart beberapa puluh tahun yang lalu.
Namun dalam perkembangannya, metodologi analisis P-D-S-A lebih sering
disebuit “siklus Deming”. Hal ini karena Deming adalah orang yang
mempopulerkan penggunaannya dan memperluas penerapannya. Dengan
nama apapun itu disebut, P-D-S-A adalah alat yang bermanfaat untuk
melakukan perbaikan secara terus menerus (continous improvement)
tanpa berhenti.

29
Konsep P-D-S-A tersebut merupakan panduan bagi setiap manajer
untuk proses perbaikan kualitas (quality improvement) secara rerus
menerus tanpa berhenti tetapi meningkat ke keadaaan yang lebih baik
dan dijalankan di seluruh bagian organisasi, seperti tampak pada gambar
1.
Dalam gambar 1 tersebut, pengidentifikasian masalah yang akan
dipecahkan dan pencarian sebab-sebabnya serta penetuan tindakan
koreksinya, harus selalu didasarkan pada fakta. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindarkan adanya unsur subyektivitas dan pengambilan keputusan
yang terlalu cepat serta keputusan yang bersifat emosional. Selain itu,
untuk memudahkan identifikasi masalah yang akan dipecahkan dan
sebagai patokan perbaikan selanjutnya perusahaan harus menetapkan
standar pelayanan.
Peningkatan

Pemecahan masalah
A P dan peningkatan
C D
Standar
A P
Pemecahan masalah
C D
dan peningkatan
Standar
Gambar 1. Siklus dan Proses Peningkatan PDSA

30
Hubungan pengendalian kualitas pelayanan dengan peningkatan
perbaikan berdasarkan siklus P-D-S-A (Relationship between Control and
Improvement under P-D-S-A Cycle) diperlihatkan dalam gambar 2.
Pengendalian kualitas berdasarkan siklus P-D-S-A hanya dapat berfungsi
jika sistem informasi berjalan dengan baik dan siklus tersebut dapat
dijabarkan dalam enam langkah seperti diperlihatkan dalam gambar 3.

31
Pla D Stud
Acti
n o y
on

Follow-
Correctiv up
e
Action

Improveme

Gambar 3. Relationship Between Control and Improvement P-D-S-A


Cycle

32
(1) Plan
Action Menentukan
(6) Tujuan dan
n Mengambil sasaran (2)
tindakan Menetapkan
yang tepat Metode untuk
Mencapai tujuan

Menyelenggarakan
(5)
Pendidikan dan
Memeriksa akibat latihan
Study (4)
pelaksanaan (3)
Melaksanakan
pekerjaan Do

Gambar 4. Siklus PDSA

33
Keenam langkah P-D-S-A yang terdapat dalam gambar 4 di atas dapat
dijelaskan sebagai berikut :

a. Langkah 1. Menentukan tujuan dan sasaran → Plan


Tujuan dan sasaran yang akan dicapai didasarkan pada kebijakan yang
ditetapkan. Penetapan sasaran tersebut ditentukan oleh Kepala RS
atau Kepala Divisi. Penetapan sasaran didasarkan pada data
pendukung dan analisis informasi.
Sasaran ditetapkan secara konkret dalam bentuk angka, harus pula
diungkapkan dengan maksud tertentu dan disebarkan kepada semua
karyawan. Semakin rendah tingkat karyawan yang hendak dicapai
oleh penyebaran kebijakan dan tujuan, semakin rinci informasi.

b. Langkah 2. Menentukan metode untuk mencapai tujuan → Plan

34
Penetapan tujuan dan sasaran dengan tepat belum tentu akan
berhasil dicapai tanpa disertai metode yang tepat untuk mencapainya.
Metode yang ditetapkan harus rasional, berlaku untuk semua
karyawan dan tidak menyulitkan karyawan untuk menggunakannya.
Oleh karena itu dalam menetapkan metode yang akan digunakan
perlu pula diikuti dengan penetapan standar kerja yang dapat
diterima dan dimengerti oleh semua karyawan.

c. Langkah 3. Menyelenggarakan pendidikan dan latihan → Do


Metode untuk mencapai tujuan yang dibuat dalam bentuk standar
kerja. Agar dapat dipahami oleh petugas terkait, dilakukan program
pelatihan para karyawan untuk memahami standar kerja dan program
yang ditetapkan.

d. Langkah 4. Melaksanakan pekerjaan →Do


Dalam pelaksanaan pekerjaan, selalu terkait dengan kondisi yang
dihadapi dan standar kerja mungkin tidak dapat mengikuti kondisi
yang selalu dapat berubah. Oleh karena itu, ketrampilan dan
pengalaman para karyawan dapat dijadikan modal dasar untuk
mengatasi masalah yang timbul dalam pelaksanaan pekerjaan karena
ketidaksempurnaan standar kerja yang telah ditetapkan.

e. Langkah 5: Memeriksa akibat pelaksanaan →Study


Manajer atau atasan perlu memeriksa apakah pekerjaan dilaksanakan
dengan baik atau tidak. Jika segala sesuatu telah sesuai dengan tujuan

35
yang telah ditetapkan dan mengikuti standar kerja, tidak berarti
pemeriksaan dapat diabaikan. Hal yang harus disampaikan kepada
karyawan adalah atas dasar apa pemeriksaan itu dilakukan. Agar
dapat dibedakan manakah penyimpangan dan manakah yang bukan
penyimpangan, maka kebijakan dasar, tujuan, metode (standar kerja)
dan pendidikan harus dipahami dengan jelas baik oleh karyawan
maupun oleh manajer. Untuk mengetahui penyimpangan, dapat
dilihat dari akibat yang timbul dari pelaksanaan pekerjaan dan setelah
itu dapat dilihat dari penyebabnya.

f. Langkah 6 : Mengambil tindakan yang tepat →Action


Pemeriksaan melalui akibat yang ditimbulkan bertujuan untuk
menemukan penyimpangan. Jika penyimpangan telah ditemukan,
maka penyebab timbulnya penyimpangan harus ditemukan untuk
mengambil tindakan yang tepat agar tidak terulang lagi
penyimpangan. Menyingkirkan faktor-faktor penyebab yang telah
mengakibatkan penyimpangan merupakan konsepsi yang penting
dalam pengendalian kualitas pelayanan.
Konsep PDSA dengan keenam langkah tersebut merupakan sistem
yang efektif untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Untuk mencapai
kualitas pelayanan yang akan dicapai diperlukan partisipasi semua
karyawan, semua bagian dan semua proses. Partisipasi semua karyawan
dalam pengendalian kualitas pelayanan diperlukan kesungguhan
(sincerety), yaitu sikap yang menolak adanya tujuan yang semata-mata
hanya berguna bagi diri sendiri atau menolak cara berfikir dan berbuat

36
yang semata-mata bersifat pragmatis. Dalam sikap kesungguhan tersebut
yang dipentingkan bukan hanya sasaran yang akan dicapai, melainkan juga
cara bertindak seseorang untuk mencapai sasaran tersebut.
Partisipasi semua pihak dalam pengendalian kualitas pelayanan
mencakup semua jenis kelompok karyawan yang secara bersama-sama
merasa bertanggung jawab atas kualitas pelayanan dalam kelompoknya.
Partisipasi semua proses dalam pengendalian kualitas pelayanan
dimaksudkan adalah pengendalian tidak hanya terhadap output, tetapi
terhadap hasil setiap proses. Proses pelayanan akan menghasilkan suatu
pelayanan berkualitas tinggi, hanya mungkin dapat dicapai jika terdapat
pengendalian kualitas dalam setiap tahapan dari proses. Dimana dalam
setiap tahapan proses dapat dijamin adanya keterpaduan, kerjasama yang
baik antara kelompok karyawan dengan manajemen, sebagai tanggung
jawab bersama untuk menghasilkan kualitas hasil kerja dari kelompok,
sebagai mata rantai dari suatu proses.

37
BAB VI

PENCATATAN DAN PELAPORAN

1. Setiap unit/bagian wajib melaksanakan kegiatan pemenuhan


indikator kinerja manajerial dan mutu yang sudah ditetapkan
sesuai dengan kebijakan/pedoman/acuan yang digunakan di
rumah sakit.
2. Setiap unit/bagian wajib melaporkan kegiatan pemenuhan
indikator kinerja manajerial dan mutu yang sudah ditetapkan.
3. Seluruh unit rumah sakit melaporkan hasil pencatatan tersebut
kepada Komite Mutu setiap bulan
4. Komite Mutu RS melakukan pencatatan kegiatan yang telah
dilakukan dan membuat laporan kegiatan kepada Direktur Rumah
Sakit secara berkala.

38
BAB VII
MONITORING DAN EVALUASI

1. Seluruh jajaran manajemen RS secara berkala melakukan monitoring


dan evaluasi program keselamatan pasien yang dilaksanakan oleh
Komite Mutu RS BAKTI KARS
2. Komite Mutu RS secara berkala (paling lama 2 tahun) melakukan
evaluasi pedoman, kebijakan dan prosedur keselamatan pasien yang
dipergunakan di RS BAKTI KARS.
3. Komite Mutu RS melakukan evaluasi kegiatan setiap 3 bulan dan
membuat tindak lanjutnya

39

Anda mungkin juga menyukai