Anda di halaman 1dari 7

KEBIJAKAN PERLINDUNGAN TANAMAN

Mata kuliah dapat diakses dari https://tinyurl.com/kebijakanperlintan

PELAKSANAAN KULIAH KE-4

POKOK BAHASAN 2
Perundang-undangan Perlintan dan Pestisida
Materi kuliah Pokok Bahasan 2 dapat diakses dari
https://tinyurl.com/kpt-pokokbahasan2

2.2. MATERI KULIAH 2.2.


Tata Kelola Kebijakan Perlindungan Tanaman di Indonesia dan Dunia
Materi kuliah 2.2. dapat diakses dari : https://tinyurl.com/kpt-materikuliah2-2

Materi kuliah disusun oleh


I Wayan Mudita dan Agustina Etin Nahas
Program Studi Agroteknologi
Fakultas pertanian Undana

Sebagaimana telah diuraikan pada Materi 1.2, kebijakan perlindungan tanaman berkaitan dengan
pertauran perundang-undangan dan dengan tata kelola perlindungan tanaman. Kaitan kebijakan dengan
peraturan perundang-undangan telah diuraikan pada Materi 2.1. Pada materi ini diuraikan kaitan
kebijakan dengan tata kelola (governance), khususnya dengan tata kelola pemerintahan (public
governance). Untuk memahami tata kelola pemerintahan, diperlukan pengertian mengenai
pemerintahan sehingga sebelum uraian mengenai tata kelola pemerintahan, terlebih dahulu diuraikan
pengertian pemerintahan. Uraian diberikan secara singkat sebagai pengantar, khususnya pengantar
dalam memahami kaitan antara kebijakan perlindungan tanaman, peraturan perundang-undangan, dan
pemerintahan.

2.2.1. MATERI KULIAH

2.2.1a. Membaca Materi Kuliah


Kebijakan yang berkaitan dengan hal-hal yang menyangkut kepentingan umum, sebagaimana halnya
kebijakan perlindungan tanaman, dikenal sebagai kebijakan publik (public policy). Kebijakan publik
dibuat oleh pemerintah (government) untuk menjalankan pemerintahan (administration, lebih
khusus public administration). Pemerintah merupakan istilah yang secara internasional dapat bermakna
sistem atau kelompok orang yang menjalankan pemerintahan. Sebagai sistem, pemerintah dapat
bermakna bentuk pemerintah seperti misalnya pemerintah kerajaan (aristocracy) atau pemerintah
demokratis (democracy) atau dapat juga bermakna ideologi pemerintah seperti misalnya pemerintah
konservatif (conservative government) atau pemerintah liberal (liberal government). Sebagai kelompok
orang, pemerintah terdiri atas orang-orang yang dipilih dan yang berkarir menjalankan pemerintahan.
Di Indonesia, pemerintahan pusat dijalankan berdasarkan pada Undang-undang Dasar 1945, sedangkan
pemerintahan daerah dijakankan berdasarkan pada UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas UU No.
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Pemerintah menjalankan pemerintahan melalui organisasi perangkat pemerintahan (governmental
organizations) yang di daerah disebut organisasi perangkat daerah (OPD) sebagaimana diatur melalui PP
No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah yang telah diubah dengan PP No. 72 Tahun
2019 Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah

Pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah yang terdiri atas perangkatnya masing-masing yang
merupakan struktur yang bercabang-cabang secara hierarkis. Pada pemerintahan pusat terdapat cabang
eksekutif (Presiden), legislatif (DPR), dan yudikatif (Mahkamah Agung) dan cabang eksekutif bercabang
menjadi kementerian dan lembaga pemerintah setara kementerian. Selanjutnya kementerian
bercabang menjadi sejumlah direktorat jenderal, direktorat jenderal bercabang menjadi sejumlah
direktorat, direktorat bercabang lagi menjadi sejumlah struktur lebih rendah. Demikian juga dengan
pemerintah daerah, gubernur dan bupati/walikota membawahi sejumlah dinas, badan, dan kantor.
Selanjutnya dinas bercabang menjadi sejumlah bidang dan bidang bercabang lagi menjadi sejumlah
unit yang lebih kecil. Dalam hal ini pemerintah dapat dibayangkan sebagai sebatang pohon besar yang
bercabang dan terus bercabang. Di Indonesia, setiap cabang kementerian pada umumnya tidak bertemu
dengan cabang kementerian lain sehingga struktur pemerintahan cenderung berpola pohon. Di banyak
negara lain, cabang suatu kementerian dapat bergabung dengan cabang kementerian lain membentuk
simpul bersama sehingga struktur pemerintahan menjadi berpola jejaring laba-laba. Misalnya, balai
penelitian pertanian di bawah kementerian pertanian ditempatkan di universitas yang merupakan
bagian dari kementerian pendidikan dan kebudayaan. Dengan demikian, kementerian pertanian tidak
perlu menyediakan peneliti dan laboratorium melainkan memanfaatkan dosen dan laboratorium
universitas, sedangkan kementerian pendidikan dan kebudayaan tidak perlu menyediakan anggaran
karena sudah disediakan oleh kementerian pertanian.

Berpijak pada uraian di atas, pemerintahan berkaitan dengan struktur. Pada pihak lain, bagaimana
pemerintahan berjalan berkaitan dengan tata kelola (governance). Di Indonesia dikenal istilah miskin
struktur kaya fungsi. Dalam istilah ini, istilah struktur merujuk pada struktur pemerintahan, sedangkan
istilah fungsi merujuk kepada fungsi yang menjadi tanggung jawab setiap perangkat pemerintahan
untuk menjalankan tata kelola pemerintahan (public governance). Berbeda dengan pemerintahan yang
berkaitan dengan struktur, tata kelola pemerintahan berkaitan dengan proses menjalankan
pemerintahan. Proses menjalankan pemerintahan oleh pemerintah dapat dilakukan dengan tiga cara:
(1) melalui struktur pemerintahan dari atas ke bawah (top-down method) dengan hanya melibatkan
struktur birokrasi (bureauceacy), (2) melalui kemitraan pemerintah dengan dunia usaha (public-private
partnership), atau (3) melalui mekanisme pasar yang beroperasi melalui peraturan perundang-
undangan. Pada umumnya tata kelola pemerintahan dijalankan dengan cara mengkombinasikan ketiga
cara tersebut menjadi sebuah model tata kelola pemerintahan, misalnya model tata kelola kolaboratif
(collaborative governance) dan model tata kelola adaftif (adaptive governance). Dalam model tata
kelola kolaboratif, fokus diberikan kepada kolaborasi, sebagai proses tata kelola yang dilakukan
bersama oleh perangkat pemerintah dan lembaga non-pemerintah untuk merumuskan dan
melaksanakan kebijakan publik secara bersama-sama. Dalam model tata kelola adaptif, fokus diberikan
kepada kemampuan mengantisipasi peubahan, sebagai proses tata kelola yang dilakukan secara feksibel
agar setiap saat mampu menyesuaikan diri dengan perubahan. Namun apapun cara dan model tata
kelola pemerintahan yang dilaksanakan, tata kelola perlu dilaksanakan secara baik (good governance).
Menurut PBB, tata kelola pemerintahan yang baik didasarkan pada prinsip sebagai berikut:

1. Partisipasi (participation) - memberikan kesempatan kepada setiap warga untuk berperan serta
sesuai dengan kemampuan masing-masing;
2. Berdasarkan hukum (rule of law) - pemerintahan harus dilaksanakan berdasarkan pada hukum
yang adil;
3. Berorientasi pada pengambilan keputusan berorientasi konsensus (consensus-oriented decision
making) - pemerintahan dilaksanakan berdasarkan kesepakatan semua pihak;
4. Keberagaman, kesamaan, dan kemerangkulan (diversity, equity, and inclusiveness) -
kelembagaan dan layanan harus menjangkau semua pemangku kepentingan tanpa membedakan
asal usul, suku, agama, ras, dan antar golongan;
5. Keefektifan dan keefisienan (effectiveness and efficiency) - pelayanan pemerintahan harus
dilaksanakan agar dapat memanfaatkan sumberdaya yang tersedia terbatas dengan sebaik-
baiknya;
6. Kebertanggungjawaban (accountability) - pelaksanaan pemerintahan harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada publik;
7. Pemerintahan terbuka (transparency, open government) - pemerintah menyediakan informasi
secara terbuka dan mudah dimengerti oleh masyarakat umum; dan
8. Ketanggapan (responsiveness) - kelembagaan dan layanan harus menjangkau menjangkau
semua pemangku kepentingan.
Tata kelola kebijakan perlindungan tanaman berkaitan dengan proses melaksanakan kebijakan
perlindungan tanaman yang telah dibuat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku oleh
perangkat pemerintahan yang ada, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Sebagai contoh, UU
No. 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan mengamanatkan bahwa:
1. Pelindungan Pertanian dilaksanakan dengan sistem pengelolaan hama terpadu serta
penanganan dampak perubahan iklim (Pasal 48 Ayat 1).
2. Pelaksanaan Pelindungan Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung
jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya, Petani,
Pelaku Usaha, dan masyarakat (Pasal 48 Ayat 2).
3. Pelindungan Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dilaksanakan melalui kegiatan:
(a) pencegahan masuknya Organisme Penggangggu Tumbuhan dan penyakit hewan dari luar
negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia serta tersebarnya dari suatu area ke area
lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan, (b) pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan dan penyakit hewan, dan
(c) penanganan dampak perubahan iklim (Pasal 49).

Sebagaimana disebutkan pada Pasal 48 Ayat 1 UU tersebut di atas, perlindungan tanaman di Indonesia
didasarkan pada pengendalian hama terpadu sebagai sistem perlindungan tanaman. Padahal secara
internasional, pengendalian hama terpadu (integrated pest management, IPM) merupakan pendekatan
pelaksanaan perlindungan tanaman dari kerusakan yang disebabkan oleh organisme pengganggu
tumbuhan yang sudah ada dalam suatu hamparan, yang lazim dikenal sebagai pengelolaan
(management) tetapi dalam UU disebut pengendalian (control), tidak termasuk perlindungan dari
organisme pengganggu tumbuhan yang masih berada di luar hamparan. Namun sesuai penetapannya
sebagai sistem perlindungan tanaman maka pengendalian hama terpadu juga harus digunakan untuk
melindungi tanaman dari ancaman organisme pengganggu tumbuhan dari luar negeri dan dari satu
wilayah ke wilayah lain di dalam negeri serta digunakan untuk melindungi tanaman dari dampak
perubahan iklim. Untuk mencakup ketentuan UU No. 22 Tahun 2019 tersebut maka perlu dirumuskan
kebijakan dengan melibatkan perangkat pemerintahan yang ada, yaitu Kementerian Pertanian melalui
Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Direktorat Perlindungan Hortikultura, Direktorat
Perlindungan Perkebunan, dan Badan Karantina Pertanian, untuk kemudian ditetapkan paling tidak
sebagai Peraturan Pemerintah. UU No. 22 Tahun 2019 yang menggantikan UU No. 12 Tahun 1992
ternyata masih menggunakan paradigma perlindungan tanaman yang bersifat sektoral yang di dunia
internasional mulai ditinggalkan dan digantikan dengan paradigma perlindungan tanaman lintas sektor
yang dikenal sebagai ketahanan hayati (biosecurity).

Perlindungan tanaman dengan paradigma lintas sektor berkembang terutama di negara-negara yang
berada di tengah lautan (insular countries), seperti misalnya Australia dan New Zealand. Di Australia
misalnya, kebijakan perlindungan tanaman dituangkan sebagai strategi nasional ketahanan hayati
tumbuhan (National Plant Biosecurity Strategy) sebagai implementasi dari peraturan perundang-
undangan ketahanan hayati (Biosecurity Act 2015, Undang-undang Ketahanan Hayati 2015). Di New
Zealand, kebijakan perlindungan tanaman merupakan bagian dari 2003 Biosecurity Strategy, yang
implementasinya dilakukan dengan menerapkan tata kelola kolaboratif melalui program kemitraan yang
melibatkan pemerintah pusat dan daerah, organisasi non-pemerintahan, dunia usaha, dan masyarakat
pada umumnya, termasuk masyarakat adat, yang disebut Biosecurity 2525. Dalam strategi nasional
ketahanan hayati kedua negara tersebut, perlindungan tanaman dimaknai sebagai perlindungan dari
ancaman organisme pengganggu tumbuhan yang mengancam luar batas negara (pra-batas, pre-border),
mengancam di batas negara (batas, border), dan mencancam setelah melewati batas negara (pasca-
batas, post-border). Kesinambungan pra-batas, batas, dan pasca-batas dalam kebijakan perlindungan
tanaman di Australia dikenal sebagai kesinambungan ketahanan hayati (biosecurity continuum). Di
Indonesia, perlindungan tanaman pra-batas dan batas merupakan kewenangan Badan Karantina
Pertanian, sedangkan perlindungan tanaman pasca-batas merupakan kewenangan direktorat jenderal
yang membidangi perlindungan tanaman dan bagian dari perangkat daerah yang menangani pertanian
(yang namanya bisa berbeda-beda antar pemerintahan daerah tingkat yang sama, misalnya antar
provinsi atau antar kabupaten/kota dan berbeda-beda antar pemerintahan daerah tingkat yang
berbeda, misalnya antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota di provinsi yang
bersangkutan).

Secara international, tata kelola perlindungan tanaman diatur dengan menggunakan pendekatan
ketahanan hayati melalui Konvensi Perlindungan Tumbuhan Internasional (International Plant
Protection Convention, silahkan unduh teks konvensi 1977 dalam Bahasa Inggris). Tata kelola
perlindungan tumbuhan dalam konvensi tersebut didefinisikan terbatas dalam kaitan dengan OPT
Karantina dan diatur melalui mekanisme Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS) sebagai bagian dari
kesepakatan World Trade Organization (WTO) yang diimplementasikan melalui sejumlah standar yang
disebut Standar Internasional Tindakan Fitosanitari (International Standards for Phytosanitary
Measures, ISPM) yang sampai pada 2019 mencakup 43 ISPM sebagai berikut:

1. ISPM No. 1 (1993) Principles of plant quarantine as related to international trade (pinsip
karantina tumbuhan dalam kaitan dengan perdagangan internasional);
2. ISPM No. 2 (1995) Guidelines for pest risk analysis (Panduang analisis risiko OPT);
3. ISPM No. 3 (2005) Guidelines for the export, shipment, import and release of biological control
agents and other beneficial organisms (Panduan pengeluaran, pengapalan, pemasukan, dan
pelepasan agen pengendalian hayati dan organisma bermanfaat lainnya);
4. ISPM No. 4 (1995) Requirements for the establishment of pest free areas (Persyaratan
penetapan area bebas OPT);
5. ISPM No. 5 (2005) Glossary of phytosanitary terms (Daftar istilah fitosanitari);
6. ISPM No. 6 (1997) Guidelines for surveillance (Panduan surveilans);
7. ISPM No. 7 (1997) Export certification system (Sistem sertifikasi ekspor);
8. ISPM No. 8 (1998) Determination of pest status in an area (Penentuan status OPT dalam satu
area);
9. ISPM No. 9 (1998) Guidelines for pest eradication programmes (Panduan program eradikasi
OPT);
10. ISPM No. 10 (1999) Requirements for the establishment of pest free places of production and
pest free production sites (Persyaratan kawasan produksi bebas OPT dan tempat produksi bebas
OPT);
11. ISPM No. 11 (2004) Pest risk analysis for quarantine pests, including analysis of environmental
risks and living modified organisms (Analisis risiko OPT Karantina, termasuk analisis risiko
lingkungan dan analisis risiko organisme termodifikasi genetik);
12. ISPM No. 12 (2001) Guidelines for phytosanitary certificates (Panduan sertifikat fitosanitari);
13. ISPM No. 13 (2001) Guidelines for the notification of non-compliance and emergency action
(Panduan peringatan mengenai ketidakpatuhan dan tindakan darurat);
14. ISPM No. 14 (2002) The use of integrated measures in a systems approach for pest risk
management (Penggunaan tindakan terpadu melalui pendekatan sistem dalam pengelolaan
risiko OPT);
15. ISPM No. 15 (2002) Guidelines for regulating wood packaging material in international trade
(Panduan penggunaan bahan kayu sebagai bahan pengepakan barang dalam perdagangan
internasional);
16. ISPM No. 16 (2002) Regulated non-quarantine pests: concept and application (OPT non-
karantina yang diatur melalui peraturan perundang-undangan: konsep dan aplikasi);
17. ISPM No. 17 (2002) Pest reporting (Pelaporan OPT);
18. ISPM No. 18 (2003) Guidelines for the use of irradiation as a phytosanitary measure (Panduan
penggunaan iradiasi sebagai tindakan karantina);
19. ISPM No. 19 (2003) Guidelines on lists of regulated pests (Panduan mengenai daftar OPT
terkait);
20. ISPM No. 20 (2004) Guidelines for a phytosanitary import regulatory system (Panduan sistem
perundang-undangan mengenai fitosanitari impor);
21. ISPM No. 21 (2004) Pest risk analysis for regulated non-quarantine pests (Analisis risiko OPT
untuk OPT non-karantina yang diatur melalui peraturan perundang-undangan);
22. ISPM No. 22 (2005) Requirements for the establishment of areas of low pest prevalence
(Persyaratan penetapan area dengan prevalensi OPT rendah);
23. ISPM No. 23 (2005) Guidelines for inspection (Panduan inspeksi);
24. ISPM No. 24 (2005) Guidelines for the determination and recognition of equivalence of
phytosanitary measures (Panduan penetapan dan pengakuan ekivalensi tindakan fitosanitari);
25. ISPM 25 (2006) Consignments in transit (Barang konsinyasi dalam transit);
26. ISPM 26 2006, revised 2014 and 2015) Establishment of pest free areas for fruit flies
(Tephritidae) (Penetapan area bebas OPT untuk lalat buah (Tephritidae));
27. ISPM 27 (2006) Diagnostic protocols for regulated pests (Protokol diagnostik untuk OPT yang
diatur peraturan perundang-undangan);
28. ISPM 28 (2007) Phytosanitary treatments for regulated pests (Perlakuan karantina terhadap OPT
yang diatur peraturan perundang-undangan);
29. ISPM 29 (2007) Recognition of pest free areas and areas of low pest prevalence (Pengakuan
area bebas OPT dan area prevalensi OPT rendah);
30. ISPM 30 (2008, dadopted in 2008. Incorporated as an annex to ISPM 35in 2018) Establishment of
areas of low pest prevalence for fruit flies (Tephritidae) (Penetapan area prevalensi OPT
rendah untuk lalat buah (Tephritidae));
31. ISPM 31 (2008) Methodologies for sampling of consignments (Metodologi pengambilan sampel
barang konsinyasi);
32. ISPM 32 (2009) Categorization of commodities according to their pest risk (Kategorisasi
komoditas berdasarkan pada risiko OPT masing-masing);
33. ISPM 33 (2010) Pest free potato (Solanum spp.) micropropagative material and minitubers for
international trade (Materi perbiakan mikro dan umbi mini bibit kentang (Solanum spp.) untuk
perdagangan internasional);
34. ISPM 34 (2010) Design and operation of post-entry quarantine stations for plants (Rancang
bangun dan pengoperasioan stasion karantina pasca-pemasukan untuk tumbuhan);
35. ISPM 35 (2012) Systems approach for pest risk management of fruit flies (Tephritidae)
(Pengelolaan risiko OPT lalat buah (Tephritidae) menggunakan pendekatan sistem);
36. ISPM 36 (2012) Integrated measures for plants for planting (Tindakan terpadu untuk tumbuhan
sebagai bahan tanam);
37. ISPM 37 (2016) Determination of host status of fruit to fruit flies (Tephritidae) (Penetapan
status buah sebagai inang lalat buah (Tephritidae));
38. ISPM 38 (2017) International movement of seeds (Perdagangan internasional benih);
39. ISPM 39 (2017) International movement of wood (Perdagangan internasional kayu);
40. ISPM 40 (2017) International movement of growing media in association with plants for planting
(Perdagangan internasional media tanam tumbuhan sebagai bahan tanam);
41. ISPM 41 (2017) International movement of used vehicles, machinery and equipment
(Perdagangan internasional kendaraan, mesin, dan perkakas bekas);
42. ISPM 42 (2018) Requirements for the use of temperature treatments as a phytosanitary
measures(Persyaratan penggunaan perlakuan suhu sebagai tindakan karantina);
43. ISPM 43 (2019) Requirements for the use of fumigation as a phytosanitary measure (Persyaratan
penggunaan fumigasi sebaga

File setiap ISPM dalam bahasa Inggris dapat diunduh dari halaman Standards pada situs International
Plant Protection Convention, IPPC). Kekurangpahaman mengenai ISPM tersebut sering menimbulkan
hambatan terhadap ekspor hasil pertanian Indonesia ke luar negeri. Selain itu, kewenangan
perlindungan tanaman yang berada pada perangkat pemerintahan yang berbeda-beda, apalagi tanpa
didukung dengan peraturan perundang-undangan yang menetapkan bagaimana tata kelola perlindungan
tanaman dilaksanakan antar perangkat pemerintah yang berbeda-beda tersebut, tentu dapat
menimbulkan kendala, bukan hanya dalam kaitan dengan perdagangan internasional, melainkan
terutama dalam kaitan dengan pelaksanaan perlindungan tanaman di dalam negeri. Kendala akan
semakin terasa dalam pemerintahan yang belum menerapkan model tata kelola kolaboratif atau model
tata kelola adaptif. Keadaan demikian memberikan peluang yang besar bagi organisme pengganggu
tumbuhan untuk masuk dari luar negeri dan menyebar dengan cepat di dalam negeri. Masuknya
organisme pengganggu tumbuhan dari luar negeri berisiko menimbulkan kerusakan yang tinggi karena
berbagai faktor, antara lain karena di dalam negeri belum terdapat musuh alami yang dapat
mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan yang baru masuk tersebut. Kerusakan tanaman oleh
OPT yang tinggi di dalam negeri dapat menyebabkan produk pertanian Indonesia tidak dapat diekspor
ke luar negeri. Namun mengubah tata kelola perlindungan tanaman menjadi lebih terpadu, melebihi
dari sekedar pengendalian hama terpadu, tentu bukan hal yang mudah, lebih-lebih karena pemerintah
pada umumnya belum terbiasa merumuskan kebijakan dengan berdasarkan pada bukti-bukti ilmiah
(evidence-based policymaking).

2.2.1b. Membaca Pustaka Wajib


Silahkan mengklik setiap tautan yang diberikan pada materi kuliah ini dan mengunduh pustaka yang
disediakan dari halaman Pustaka KPT dan membaca judul bab atau sub-bab yang berkaitan dengan
materi kuliah ini.

2.2.2. PENUNTASAN MATERI KULIAH


2.2.2a. Mengerjakan Latihan Pembelajaran Kasus
Untuk mendalami permasalahan kebijakan perlindungan tanaman, setiap mahasiswa wajib mengunjungi
dan mempelajari situs Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Direktorat Perlindungan
Hortikultura, Direktorat Perlindungan Perkebunan, dan Badan Karantina Pertanian. Pada setiap situs,
lakukan navigasi untuk memperoleh informasi mengenai kebijakan nasional perlindungan tanaman atau
kebijakan nasional karantina dan kemudian silahkan catat informasi mengenai hal-hal berikut ini:
1. Situs yang menyediakan informasi mengenai PHT paling lengkap
2. Situs yang menyediakan informasi mengenai OPT golongan hewan, patogen, dan gulma paling
lengkap
3. Situs yang menyediakan informasi mengenai OPT yang paling relevan dengan masalah
perlindungan tanaman yang dihadapi NTT
4. Berdasarkan informasi terbatas pada butir 1, 2, 3, dan informasi lainnya yang tersedia pada
setiap situs, situs mana yang paling mampu menyediakan informasi paling terbuka kepada
publik
5. Berdasarkan informasi terbatas pada butir 1, 2, 3, dan informasi lainnya yang tersedia pada
setiap situs, situs mana yang sudah melaksanakan tata kelola pemerintahan yang baik?
Catat hasil penelusuran untuk disampaikan sebagai bagian dari Laporan Melaksanakan Perkuliahan
Daring materi kuliah ini.

2.2.2b. Menyampaikan dan Menanggapi Komentar dan/atau Pertanyaan


Setelah membaca materi kuliah ini, silahkan menyampaikan komentar dan/atau pertanyaan mengenai
hal-hal berkaitan langsung dengan materi kuliah ini di dalam kotak komentar yang terletak di sebelah
bawah materi kuliah ini. Sampaikan komentar dan/atau pertanyaan mengenai hal-hal yang belum
diuraikan secara jelas, bukan hal-hal yang yang sudah diuraikan dalam materi atau tidak berkaitan
langsung dengan materi atau yang sudah disampaikan oleh mahasiswa lain. Silahkan juga menanggapi
pertanyaan atau komentar yang disampaikan oleh mahasiswa lain terhadap materi kuliah ini. Komentar
dan/atau pertanyaan serta tanggapan terhadap komentar dan/atau pertanyaan yang disampaikan oleh
mahasiswa lain harus sudah masuk selambat-lambatnya sampai pada Kamis, 23 Maret 2023 pukul
24.00 WITA. Salin komentar dan/atau pertanyaan mengenai materi kuliah serta tanggapan
terhadap komentar dan/atau pertanyaan yang disampaikan oleh mahasiswa lain lalu tempel dalam
Laporan Melaksanakan Kuliah. Setiap mahasiswa juga dapat diminta untuk menyampaikan laporan
pembagian blog dan materi kuliah pada saat melaksanakan ujian tengah semester.

2.2.2c. Membagikan Blog Mata Kuliah dan Materi Kuliah


Untuk memanfaatkan media sosial dalam pembelajaran, silahkan membagikan membagikan blog mata
kuliah dengan mengklik pilihan tombol media sosial untuk membagikan blog secara keseluruhan dan
membagikan setiap materi kuliah dengan mengklik tombol pilihan media sosial yang disediakan pada
setiap materi kuliah selambat-lambatnya sampai pada Kamis, 23 Maret 2023 pukul 24.00
WITA. Catat tautan (link) pembagian blog dan pembagian materi kuliah melalui media sosiadiminta
untukwajib menyampaikan laporan pembagian blog dan materi kuliah pada saat melaksanakan ujian
tengah semester.

2.2.2d. Menandatangani Daftar Hadir dan Menyampaikan Laporan Melaksanakan Perkuliahan Daring
Untuk membuktikan telah melaksanakan perkuliahan daring materi kuliah ini, silahkan mengisi dan
memasukkan:
1. Menandatangani Daftar Hadir Melaksanakan Kuliah selambat-lambatnya pada Sabtu, 18
Februari 2023 pukul 24.00 WITA dan setelah menandatangani silahkan periksa hasil
penandatanganan daftar hadir;
2. Menyampaikan Laporan Melaksanakan Kuliah selambat-lambatnya pada Kamis, 23 Maret
2023 pukul 24.00 WITA dan setelah memasukkan silahkan periksa hasil pemasukan laporan.
Mahasiswa yang tidak mengisi dan menandatangani Daftar Hadir Melaksanakan Kuliah dan tidak
menyampaikan Laporan Melaksanakan Kuliah akan ditetapkan sebagai tidak melaksanakan kuliah.

***********
Hak cipta blog pada: I Wayan Mudita
Diterbitkan pertama kali pada 23 September 2018, diperbarui pada 25 Agustus 2020

Hak cipta selurun tulisan pada blog ini dilindungi berdasarkan Creative Commons Attribution-
NonCommercial-ShareAlike 3.0 Unported License. Silahkan mengutip tulisan dengan merujuk
sesuai dengan ketentuan perujukan akademik.

Anda mungkin juga menyukai