Anda di halaman 1dari 10

MATERI DEBAT SOSIOLOGI

Kelompok Kontra:
- Muhammad Azkiya Bahtsulkhoir
- Muhammad Fikri Al-Mughni
- Muhammad Rivad
- Andra Alfareza
- Recky Dwi Pratama
- Dicky Andar Cahyana
- Meka Faturrohman
- Rizal Rivaldi
Kelas: XII IPS 6

DEBAT SOSIOLOGI

1. Legalisasi Ganja

Wacana melegalkan ganja medis kembali mengemuka. Pakar UGM meminta semua pihak
memahami, bahwa melegalkan ganja medis, tidak serta merta membuat tanaman ganja bisa
ditanam tanpa aturan.

Suara tegas dari dari Prof Zullies Ikawati, guru besar farmasi Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, terkait desakan melegalkan ganja dalam kerangka medis. Dia tetap meyakini,
tanaman ganja harus tetap masuk narkotika golongan satu, seperti aturan saat ini. Pelegalan
yang bisa dilakukan, adalah terhadap unsur di dalamnya yang memiliki manfaat medis.

“Ganjanya sebagai tanaman tetap saja masuk golongan 1, dan itu kita bisa mengacu pada
narkotika yang lain seperti morfin. Morfin itu kan obat, yang legal juga bisa diresepkan untuk
nyeri kanker yang berat. Tetapi opiat-nya atau opium-nya, tanaman penghasilnya, itu masuk
golongan 1,” kata Zullies, dalam diskusi Jalan Panjang Legalisasi Ganja Medis, Rabu (6/7).

Menetapkan tanaman ganja tetap sebagai narkotika golongan 1 penting, menurut Zullies,
karena potensi penyimpangan sangat besar jika status itu diubah.
Perdebatan terkait ganja media bukan isu baru di Indonesia. Kali ini, wacana kembali muncul
karena DPR sendiri sedang membahas RUU tentang Perubahan Kedua Undang-Undang
tentang Narkotika. (Foto: Reuters)

“Karena kalau misalnya masuk ke golongan 2 dan itu legal, banyak penumpang gelapnya
nanti. Berapa persen sih, orang-orang yang membutuhkan ganja medis atau ganja yang benar-
benar dibutuhkan untuk medis, dibandingkan dengan keseluruhan penggunaan ganja,
sehingga itu nanti akan susah lagi untuk mengaturnya. Untuk membatasinya,” tambahnya.

Wacana Kembali Mengemuka

Perdebatan terkait ganja media bukan isu baru di Indonesia. Kali ini, wacana kembali muncul
karena DPR sendiri sedang membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang
Perubahan Kedua Undang-Undang tentang Narkotika.

Dalam pertemuan dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) 28 Juni 2022, Wakil Presiden
Ma’ruf Amin menyinggung persoalan legalisasi ganja untuk kesehatan. Selama ini, MUI
telah memiliki fatwa yang melarang penggunaan ganja. Namun menurut Wapres, MUI perlu
membuat pengecualian bagi kesehatan melalui fatwa baru yang mengatur kriteria kebolehan
penggunaan ganja untuk kesehatan.

“Saya minta MUI nanti segera membuat fatwanya untuk dijadikan pedoman. Jangan sampai
berlebihan dan menimbulkan kemudaratan,” kata Ma’ruf Amin dalam pernyataan resminya.

Dalam keterangan tertulis, Wakil Ketua Komisi IX DPR Charles Honoris menilai Indonesia
harus sudah memulai kajian tentang manfaat tanaman ganja untuk kepentingan medis.

BACA JUGA: Lika Liku Ganja Medis di Indonesia

“Kajian medis yang obyektif ini akan menjadi legitimasi ilmiah, apakah program ganja medis
perlu dilakukan di Indonesia,” papar Charles pada 28 Juni 2022.

Sementara anggota Komisi IX DPR Rahmad Handoyo melihat wacana legalisasi ganja medis
harus disikapi dengan penuh kehati-hatian, didasari kajian ilmiah komprehensif serta
melibatkan segala unsur terkait, seperti medis dan psikolog. Menurutnya, perlu dikaji pula
soal obat medis alternatif selain dari ganja. Jika memang terdapat pilihan lain dengan
kemanfaatan yang sama, sehingga tidak harus menggunakan ganja.
“Terutama masukan dari dunia medis, tidak adakah obat medis di luar pemanfaatan ganja
untuk penyakit tertentu. Bila tidak ada, kemungkinan opsi medis masuk akal,” tambahnya.

Sementara, dalam rapat dengar pendapat umum pada 30 Juni 2022 lalu, Wakil Ketua Komisi
III DPR Desmond J. Mahesa menyatakan akan membahas lebih lanjut persoalan ini dengan
pemerintah.

“Komisi III DPR RI akan mempertimbangkan untuk menyarankan Pemerintah agar tanaman
ganja disesuaikan dengan penggolongannya secara lebih tepat, sesuai dengan mekanisme
ketentuan perundang-undangan,” kata dia.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin di Jakarta, Minggu (3/7), juga membuat pernyataan
yang membuka dilakukannya riset ganja untuk kepentingan medis, tetapi bukan untuk
konsumsi.

Potensi Senyawa Cannabidiol

Guru Besar Farmasi UGM, Prof Zullies Ikawati berkeyakinan, ganja sebagai tanaman
sebaiknya tetap masuk sebagai narkotika golongan 1. Jika ingin mengambil manfaat
medisnya, maka yang diatur adalah pemanfaatan senyawa cannabidiol di dalamnya. Senyawa
ini tidak memiliki sifat psikoaktif dan bisa digunakan sebagai obat dengan berbagai uji klinis.

Meski begitu, proses legalisasi ganja untuk obat menurut Zullies harus tetap mengikuti
kaidah pengembangan obat yang baku. Aturan-aturan terkait obat juga akan melekat pada
obat yang berasal dari ganja.

“Kalau saya pribadi, say no untuk legalisasi ganja sebagai tanaman. Walaupun dengan alasan
untuk memiliki tujuan medis, kalau saya. Tetapi komponen ganja yang bersifat obat,
seperti cannabidiol mungkin bisa digunakan sebagai obat dan sebagai alternatif terakhir, jika
memang itu tidak ada obat lain,” tegas Zullies.

Sementara pakar herbal dari UGM, Prof Suwijiyo Pramono, dalam diskusi ini menjelaskan,
ada tiga jenis spesies tanaman ganja. Pertama adalah Cannabis sativa L yang biasa disebut
mariyuana biasa tumbuh di daerah beriklim panas termasuk Indonesia. Kedua, Cannabis
indica Lam atau Hemp yang tumbuh di wilayah dengan empat musim. Jenis ketiga
adalah Cannabis ruderalis Janisch yang tidak begitu disebut karena ketersediaannya terbatas.
Pramono menjelaskan sejumlah perbedaan antara hemp dan mariyuana. Antara lain,
kandungan tetrahydrocannabinol (THC) Hemp lebih rendah dari mariyuana. Kandungan THC
dalam Hemp kurang dari 0,3 persen, sedangkan mariyuana mengandung lebih 20 persen.
Sebaliknya, hemp memiliki kandungan cannabidiol (CBD) yang lebih besar, yaitu lebih dari
20 persen, sementara mariyuana kurang dari 10 persen.

“Ada 360 kandungan senyawa di dalam cannabis, namun yang utama dalam jumlah relatif
tinggi itu adalah THC, tetrahydrocannabinol yang ini sifatnya halusinogen. Ini yang harus
disingkiri. Kemudian ada cannabidiol itu non-halusinogen, tidak membuat ketagihan, lalu
ada cannabinol, ini intermediate,” papar Pramono.

Pramono menggolongkan Hemp sebagai ganja serat yang tidak mengakibatkan ketagihan.
Sebaliknya, mariyuana masuk dalam ganja narkotik atau rekreasi yang menyebabkan
ketagihan

Regulasi Lebih Penting

Dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Komisi III DPR, Selasa (5/7),
Dekan Fakultas Hukum, Unika Atmajaya, Asmin Fransiska menyampaikan pandangan yang
relatif berbeda terkait ganja medis. Dia mengingatkan seluruh pihak agar berhati-hati dalam
menggunakan istilah legalisasi, karena dalam kebijakan narkotika secara umum, kata Asmin,
ada tahapan-tahapan yang harus dilewati.

“Pertama adalah kriminalisasi, yang sekarang terjadi di negara kita. Kedua adalah
dekriminalisasi, mengeluarkan aspek-aspek hukuman bagi pengguna narkotika untuk
kepentingan sendiri ataupun orang lain dalam kapasitas tertentu. Yang berikutnya adalah
regulasi,” kata Asmin.

Asmin menambahkan, yang dilakukan oleh banyak negara untuk melakukan kontrol adalah
menerapkan regulasi. Bentuknya, bisa dengan membolehkan penggunaan ganja medis dengan
uji laboratorium terlebih dahulu, membuat izin, hanya dijual di apotek tertentu dan untuk
pasien tertentu. Terminologi yang dipakai bukan pengguna narkotika, tetapi pasien. Bentuk
lain adalah seperti di Belanda atau Spanyol dengan klub-klub sosial untuk mengonsumsinya.

2. Penerapan Kewajiban Berhijab Bagi Seluruh Siswi di Padang.


LSM Setara Institute menyebut pemaksaan murid beragama lain mengenakan jilbab di
sekolah negeri sudah berlangsung lama dan terjadi di berbagai daerah dengan alasan 'tradisi'
atau 'kearifan lokal'. Padahal, dengan dalih apapun, tindakan intoleransi tidak bisa
dibenarkan.

Menteri Pendidikan Nadiem Makarim menegaskan pemerintah "tidak akan mentolerir" guru
dan kepala sekolah yang melakukan pelanggaran dalam bentuk intoleransi

"Kalau saya (memaksakan) memakai jilbab bagi anak saya, saya membohongi identitas anak
saya. Di mana hak asasi agama saya? Ini kan sekolah negeri."

Itulah perkataan Elianu Hia kepada Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMK Negeri 2
Padang, Zakri Zaini. Dalam pembicaraan Kamis (21/01) lalu itu, Elianu mempertanyakan
kebijakan sekolah mewajibkan seluruh siswi mengenakan jilbab

Pertemuan tersebut adalah puncak dari rangkaian pemanggilan pihak sekolah terhadap putri
Elianu, Jeni Cahyani Hia, selama dua pekan. Jeni dipanggil berkali-kali oleh guru karena tak
memakai jilbab saat sekolah tatap muka dimulai 11 Januari 2021.

"Hampir tiap hari anak saya dipanggil karena nggak pakai jilbab, jawaban anak saya karena
dia non-muslim," tuturnya kepada wartawan Agus Embun di Padang yang melaporkan untuk
BBC News Indonesia.

Setelah bolak-balik dipanggil guru, Jeni diberi waktu seminggu untuk mengambil keputusan
apakah masih tetap pada pendiriannya atau tidak.

Jeni, kata Elianu, tetap tak mau mengenakan jilbab.

Itu mengapa, ia dipanggil secara lisan untuk menghadap Wakil Kepala Sekolah Bidang
Kesiswaan SMK Negeri 2 Padang, Zakri Zaini.

"Bukan kemauan saya (datang) ke sana, saya dipanggil secara lisan lewat anak saya,"
ujarnya.
Pada pertemuan singkat itu, antara Elianu dan pihak sekolah tidak terjadi kesepakatan.
Karenanya ia harus menandatangani surat pernyataan yang isinya 'bersedia melanjutkan
masalah tersebut sembari menunggu keputusan dari pejabat yang lebih berwenang'.

"Saya tidak ada tujuan lain. Saya tulus, kalau saya paksa dia, nggak mau dia," imbuhnya.

Sejak kapan ada aturan wajib jilbab di Padang?

Kepala Sekolah SMK Negeri 2 Padang, Rusmadi, mengaku tidak tahu persoalan yang dialami
Jeni setelah ramai di media sosial.

Ia juga tak tahu adanya pertemuan antara Elianu Hia dengan Zakri Zaini lantaran tidak ada
surat pemanggilan resmi kepada pihak orang tua.

"Tidak ada surat panggilan anak kami Jeni, makanya kami tidak tahu ada permasalahan di
sekolah," imbuh Rusmadi.

Rusmadi beralasan baru mengetahui masalah Jeni setelah wali kelas Jeni mengatakan ada
satu anaknya yang tidak mau pakai kerudung. Di situ, ia sempat berpesan kepada wali kelas
maupun Zakri Zaini agar tidak memaksa siswi Kelas X tersebut memakai jilbab.

"Tidak ada kami sampaikan paksa dia pakai kerudung. Kalau dia mau pakai kerudung
silakan, kalau tidak jangan dipaksa. Selaku kepala sekolah saya menyampaikan permohonan
maaf."

Jumlah murid beragama selain Islam di SMK Negeri 2 Padang, mencapai 46 orang.
Mayoritas para siswi, klaimnya, sukarela mengenakan kerudung tanpa paksaan demi
menyesuaikan diri dengan murid lain juga mengikuti tradisi di Kota Padang.

Dia juga berkata, kewajiban menggunakan jilbab sudah ada sejak Wali Kota Padang Fauzi
Bahar menjabat pada tahun 2005 yang setiap tahun diperbarui.

Salah satu poin dalam Instruksi Wali Kota Padang No.451.442/BINSOS-iii/2005 itu tertulis
mewajibkan jilbab bagi siswi yang menempuh pendidikan di sekolah negeri Padang.
Kendati nomenklaturnya ditujukan kepada siswi Muslim, nyatanya murid beragama lain juga
memakai jilbab.

Mantan Wali Kota Padang, Fauzi Bahar, berkata aturan itu dibuat untuk menjaga perempuan
dan mengembalikan budaya Minang sehingga tak perlu dicabut.

"Kalau tidak suka dengan aturan sekolah ya, tinggal cari sekolah lain saja. Toh itu
semangatnya bukan paksaan buat non-muslim. Kita melindungi generasi sendiri," imbuhnya
seperti dilansir Detik.com.

Dinas Pendidikan: evaluasi seluruh aturan serupa di seluruh sekolah

Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat, Adib Alfikri, mengatakan telah
menurunkan tim investigasi ke SMK Negeri 2 Padang dan berupaya mendatangi orangtua
siswi Jeni Cahyani Hia.

Yang pasti, katanya, tidak ada aturan di Pemprov Sumatera Barat yang mewajibkan murid
beragama selain Islam mengenakan jilbab. Kalaupun ada, itu merupakan kebijakan internal
sekolah.

Karena itu Dinas Pendidikan bakal mengevaluasi seluruh aturan serupa untuk dikaji ulang
dan direvisi.

Sementara khusus untuk peraturan di SMK Negeri 2 akan diminta segera diubah jika tidak
memiliki dasar yang kuat.

"Tidak ada aturan yang mengatur (wajib memakai jilbab) dan tidak ada pemaksaan."

"Akan kita buat edaran lagi ke bawah suruh cek semua apakah aturan ini akan memunculkan
hal yang sama. Kasus ini kita ambil hikmahnya."

Dinas juga menjamin Jeni Cahyani Hia akan tetap bersekolah di SMK Negeri 2 Padang, kata
Adib.

Seperti apa praktik intoleransi di sekolah?


Peneliti di Setara Institute, Halili Hasan, mengatakan kebijakan diskriminatif seperti yang
terjadi di SMK Negeri 2 Padang merupakan potret mayoritanisme, yakni kelompok mayoritas
kerap memaksakan nilai-nilanya menjadi standar bagi aturan hidup bersama.

"Itu masalah di kita," ujar Halili Hasan kepada BBC News Indonesia.

Di sektor pendidikan, sikap atau praktik intoleransi seperti ini sudah berlangsung lama dan
terjadi di berbagai daerah serta tidak hanya menyasar agama Kristen.

Ia mencontohkan kasus di Bali pada tahun 2014, murid beragama Islam dilarang memakai
jilbab di sekolah negeri. Kemudian pada 2016 di Yogyakarta, siswa baru wajib memakai
jilbab ketika Masa Orientasi Siswa (MOS) berlangsung.

Lalu di Semarang, Jawa Tengah, seorang murid penghayat kepercayaan tidak diluluskan oleh
sekolah lantaran tidak ada nilai mata pelajaran agama Islam.

"Jadi tidak ada spesifik daerah tertentu tapi kecenderungan sekolah negeri gagal menjadikan
toleransi dan kebhinekaan diterapkan kepada siswanya."

"Padahal sekolah negeri harus menjadi etalase bagi Pancasila, kebijakannya harus kondusif
untuk kemajuan toleransi. Tapi faktanya tidak."

Catatannya sepanjang tahun 2016-2018 ada tujuh kasus pemaksaan pelajar beragama Kristen
mengenakan jilbab. Peristiwa ini berlokasi di SMP dan SMA Negeri di Provinsi Riau, Jawa
Timur, dan Yogyakarta.

Perilaku intoleransi lain, sambung Halili, tidak hanya mewujud dalam bentuk aturan tapi juga
'ekspresi guru' seperti yang terjadi di SMA Negeri 58 Jakarta. Seorang guru mengajak murid-
muridnya memilih Ketua OSIS yang seagama.

"Ada semacam pemaksaan kehendak dari orang dewasa terhadap siswa terkait identigas
keagamaan."

Mengapa aturan diskriminatif masih terjadi?


Persoalan semacam ini, lanjutnya, terjadi sejak era Reformasi ketika berbagai macam
ekspresi keagamaan terbuka lebar setelah bertahun-tahun ditekan Orde Baru.

Kebebasan itu pun sejalan dengan munculnya konservatisme agama.

"Ketika Orde Baru hancur, harapan bagi keterbukaan besar, maka aspirasi yang terbuka itu
menjadi makin ekspresif termasuk dalam bentuk intoleransi terutama dari kelompok
mayoritas."

Sayangnya, kata Halili, perlakuan diskriminatif dan intoleransi yang terjadi di sekolah negeri
dibiarkan oleh Dinas Pendidikan maupun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atas
nama 'tradisi' atau 'kearifan lokal'.

Pengawasan oleh Dinas maupun Kemendikbud hanya sebatas administratif semisal


penyiapan kegiatan belajar mengajar. Tapi tidak pernah sekali pun menyentuh aspek 'tata
kelola kebhinekaan' di sekolah.

"Ya selama ini ada pembiaran. Kita tahu ada masalah karena tersebar di media sosial."

'Momentum membereskan praktik intoleransi di sekolah negeri'

Baginya, kasus di SMK Negeri 2 Padang harus menjadi momentum bagi Kemendikbud untuk
membereskan persoalan intoleransi di sekolah negeri.

Caranya adalah dengan mengevaluasi ulang kapasitas pendidik dalam hal pengetahuan
tentang toleransi. Jika dirasa masih kurang maka kementerian harus meningkatkan
kemampuan para guru di bidang tersebut.

Sehingga tidak melulu fokus pada peningkatan secara akademik atau metode pengajaran.

"Di sekolah negeri harus ditingkatkan kapasitas perspektif dan keberpihakan pada pluralism
kehbinekaan karena Indonesia bukan negara agama. Sehingga kapasitas guru harus
ditingkatkan."
Seperti apa respons Menteri Pendidikan?

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, mengatakan telah berkoordinasi


dengan Pemprov Sumatera Barat untuk menjatuhkan sanksi tegas bagi penyelenggara sekolah
yang melanggar aturan Menteri Pendidikan Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam
Sekolah.

Pasalnya sekolah tidak boleh membuat aturan atau imbauan kepada peserta didik untuk
menggunakan model pakaian agama tertentu sebagai seragam sekolah.

Menurut Nadiem, hal itu merupakan bentuk intoleransi.

"Untuk itu pemerintah tidak akan mentolerir guru dan kepala sekolah yang melakukan
pelanggaran dalam bentuk intoleransi tersebut," ujar Nadiem.

"Saya minta pemda memberi sanksi yang tegas, termasuk kemungkinan menerapkan
pembebasan jabatan agar permasalahan ini menjadi pembelajaran kita bersama ke depan."

Sebagai tindak lanjut Kemendikbud, lanjut Nadiem, akan membuat Surat Edaran dan
membuka hotline pengaduan mengenai praktik intoleransi agar kejadian serupa tak terulang.

Anda mungkin juga menyukai