Anda di halaman 1dari 86

PEDOMAN PENGEMBANGAN

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR)


DALAM PERHUTANAN SOSIAL

Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan


Direktorat Kemitraan Lingkungan
2022
PEDOMAN PENGEMBANGAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR)
DALAM PERHUTANAN SOSIAL

Diterbitkan oleh
Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan
Direktorat Kemitraan Lingkungan
2022

TIM PENYUNSUN:

Pengarah Dr. Ir. Bambang Supriyanto, M.Sc


(Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan
Lingkungan)

Penanggung Dra. Jo Kumala Dewi, M.Sc


Jawab (Direktur Kemitraan Lingkungan)

Penulis Latipah Hendarti

Kontributor Hasnawir, Desi Florita, Linda Krisnawati,


Umirusyanawati, Endah Sri Sudewi, Siti Maryam,
Faisal M. Jasin, Dadang Kusbiantoro, Dadang
Riyansyah

Desain Agah Nugraha Muharam

Buku Pedoman Pengembangan Corporate Social Responsibility (CSR) Dalam


Perhutanan Sosial ini, disusun atas dukungan dan kerjasama Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia dengan:
KATA PENGANTAR

Perhutanan Sosial merupakan salah satu program prioritas nasional dalam


upaya mengurangi kemiskinan masyarakat sekitar hutan, menurunkan
pengangguran dan memberikan akses secara legal kepada masyarakat dalam
pengelolaan kawasan hutan. Dalam mendukung upaya ini, program
Perhutanan Sosial dengan strategi kemitraan berbagai pihak baik lintas
sektor maupun lintas aktor pada berbagai tingkatan sangat diperlukan.

Salah satu mitra potensial adalah perusahaan, dengan program Corporate


Social Responsibility (CSR) baik yang bersifat sukarela, beyond compliance,
maupun kewajiban sesuai perundang-undangan yang berlaku seperti halnya
Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan (TJSL).

Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan


mendorong peran aktif serta dunia usaha dalam mendukung Program
Perhutanan Sosial dengan menyusun Pedoman Pengembangan CSR dalam
Perhutanan Sosial. Pedoman ini sebagai langkah untuk memberikan
pemahaman program Perhutanan Sosial serta memandu perusahaan dalam
menerapkan program CSR dalam Perhutanan Sosial yang disesuaikan dengan
kebijakan perusahaan masing-masing.

Semoga pedoman ini dapat dimanfaatkan seluas-luasnya bagi para pihak


untuk mewujudkan masyarakat sejahtera dan hutan lestari.

Direktur Jenderal,
Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan

Dr. Ir. Bambang Supriyanto, M.Sc

i
ii
DAFTAR ISI

Tim Penulis
Kata Pengantar i
Surat Keputusan Dirjen PSKL No: SK.43/PSKL/KELING/PSL.3/12/2022 ii
Daftar Isi iii
BAB I │PENDAHULUAN 1
A. Latar belakang 1
B. Tujuan 2
C. Keluaran 3
D. Pengguna Pedoman 3
E. Daftar Istilah 3

BAB II │ CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) DI INDONESIA 13


A. Pemahaman CSR 13
1. Pengertian dan Konsep CSR 13
2. Manfaat CSR 17
3. Bentuk Praktek CSR 19
B. Rujukan dalam Penerapan CSR 19
1. International Standard Organization 26000 (ISO 26000) 20
2. Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) 24
3. Tanggungjawab Sosial dan Lingungan dalam
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 27
4. CSR dalam Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam
Pengelolaan Lingkungan (PROPER) 28
C. CSR Lingkungan dan Kehutanan di Indonesia 31

iii
BAB III │ PENYELENGGARAAN CSR DALAM PROGRAM PERHUTANAN SOSIAL 33
A. Kebijakan Perhutanan Sosial dan Corporate Sosial Responsibility (CSR) 33
B. Pengelolaan Perhutanan Sosial Paska Persetujuan 35
1. Skema Pengelolaan Perhutanan Sosial 35
2. Jangka Waktu Pengelolaan Perhutanan Sosial 37
3. Pemanfaatan Kawasan Hutan di Areal Persetujuan Pengelolaan
Perhutanan Sosial 37
4. Pengelola Persetujuan Perhutanan Sosial 40
5. Pelaksanaan Pengelolaan Perhutanan Sosial Paska Persetujuan 41
6. Pendampingan Perhutanan Sosial 43
7. Pengarusutamaan Gender dalam Perhutanan Sosial 46
C. Pelaksanaan Program CSR dalam Perhutanan Sosial 47
1. Ruang Lingkup CSR dalam Perhutanan Sosial 47
2. Tahapan Pelaksanaan CSR dalam Pengelolaan Perhutanan Sosial 47
Pasca Persetujuan 53
D. Tahapan Pelaksanaan Program CSR dalam Perhutanan Sosial 58
E. Rambu-Rambu Penyelenggaraan CSR dalam Perhutanan Sosial 63

BAB IV │ PERAN PEMERINTAH DALAM PENYELENGGARAAN PROGRAM CSR


DALAM PERHUTANAN SOSIAL 65

BAB V │ PENUTUP 69

DAFTAR BACAAN 70
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan


dalam kawasan hutan negara atau Hutan Hak/Hutan Adat yang dilaksanakan
oleh masyarakat setempat atau Masyarakat Hukum Adat (MHA) sebagai
pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan
lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa (HD),
Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Adat
(HA) dan Kemitraan Kehutanan (KK).

Pemerintah telah menetapkan target kawasan hutan seluas 12,7 juta hektare
untuk dapat diakses dan dikelola secara legal dan lestari oleh masyarakat.
Sebagai salah satu program nasional Perhutanan Sosial memerlukan
percepatan bukan hanya dalam target luasan namun yang lebih utama
adalah capaian dalam bentuk berkontribusi pada tercapainya kesejahteraan
rakyat dengan tetap terjaganya keseimbangan lingkungan, untuk
tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan
tersebut, berbagai upaya telah dilakukan salah satunya adalah dengan
pengembangan kemitraan dengan para pihak. Salah satu pihak potensial dan
strategis untuk digandeng dalam mengelola areal hutan yang telah
mendapatkan persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial adalah dunia
usaha atau perusahaan.

Kesadaran perusahaan semakin meningkat untuk berperilaku dan bertindak


etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk meningkatkan kualitas
hidup dari karyawan dan keluarganya, komunitas lokal, dan komunitas luas
mulai banyak diterapkan. Perusahaan tidak sekedar mencari keuntungan
ekonomi belaka (profit) melainkan pula memiliki kepedulian terhadap
kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people), ini
merupakan konsep yang mendasari Corporate Social Responsibility atau CSR

1
yang dikembangkan berdasarkan konsep People, Planet dan Profit yang
dikembangkan Enlington. Konsep CSR melibatkan tanggung jawab kemitraan
antara pemerintah, perusahaan, dan komunitas masyarakat setempat yang
bersifat aktif dan dinamis.

CSR perusahaan dinilai strategis untuk mendukung program Pengelolaan


Perhutanan Sosial, didukung dengan data dari Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan pada tahun 2018 menyebutkan dari 430 perusahaan
yang mengikuti Program PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja
Perusahaan) sebanyak 8.474 kegiatan CSR perusahaan telah mendukung
tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs-Sustainable Development Goals).
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
bahkan dalam kebijakan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor 9 Tahun 2021 Tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial
menyatakan CSR menjadi salah satu program potensial untuk mendukung
tata kelola usaha dalam Pengelolaan Perhutanan Sosial Pasca Persetujuan.
Data dari sumber goKUPS (Sistem Informasi Perhutanan Sosial Terintegrasi
berbasis elektronik online dan real time) per Juli 2022 menunjukan lebih dari
setengah Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) belum ada pendamping
dan pendampingan.

Kondisi tersebut menjadi tantangan untuk mendorong peran serta


perusahaan lebih proaktif menyelenggarakan program CSR di bidang
Perhutanan Sosial, dengan menyadari bahwa untuk bekerjasama dan
mendukung tentunya harus terlebih dahulu ada pemahaman tentang
Pengelolaan Perhutanan Sosial terutama dari perusahaan sebagai mitra
strategis. Ketersedian informasi, arahan dan panduan yang dapat
mempermudah perusahaan untuk menyelenggarakan CSR dalam
Perhutanan Sosial akan sangat dibutuhkan oleh perusahaan dan pihak lain,
untuk itu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menginisiasi
penyusunan Pedoman Pengembangan Corporate Social Responsibility (CSR)
dalam Perhutanan Sosial.

2
B. Tujuan

Pedoman Pengembangan CSR dalam Perhutanan Sosial disusun dengan


tujuan untuk:
(1) Membantu perusahaan dalam memahami program Perhutanan Sosial
yang dapat dihubungkan dengan program CSR;
(2) Membantu perusahaan dalam menyusun langkah-langkah untuk
melakukan program CSR dalam Perhutanan Sosial.

C. Keluaran

Dengan adanya buku pedoman CSR dalam Perhutanan Sosial, keluaran yang
diharapkan sebagai berikut:
(1) Perusahaan lebih memahami dengan baik tentang program CSR dalam
Perhutanan Sosial;
(2) Peningkatan dukungan program CSR dari perusahaan terutama pada
lokasi yang telah ditetapkan persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial.

D. Pengguna Pedoman

Pengguna utama pedoman ini adalah perusahaan, namun pedoman ini juga
dapat digunakan oleh lembaga dana dalam mendukung program
pelaksanaan program Perhutanan Sosial.

E. Daftar istilah

Daftar istilah yang digunakan dalam buku pedoman CSR dalam Perhutanan
Sosial mengacu pada peraturan perundang-undangan dan/atau terminologi
akademi serta Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagai berikut:

3
Tabel 1. Terminologi CSR dalam Perhutanan Sosial
1 AD/ART (Anggaran : Adalah pedoman yang memuat peraturan
Dasar dan bagi anggota organisasi dalam menjalankan
Anggaran Rumah kegiatan organisasi. Anggota organisasi
Tangga) akan terikat dalam organisasi
dengan AD/ART.
2 Bimbingan teknis : Bimbingan teknis atau yang sering disingkat
dengan Bimtek adalah sebuah pelatihan,
layanan bimbingan, atau penyuluhan yang
diadakan guna meningkatkan kemampuan
tertentu, kualitas sumber daya manusia,
atau melatih tenaga kerja menjadi lebih
kompeten.
3 BPSKL (Balai : adalah unit pelaksana teknis di
Perhutanan Sosial bidang Perhutanan Sosial dan Kemitraan
dan Kemitraan Lingkungan yang berada di bawah dan
Lingkungan) bertanggung jawab kepada Direktur
Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan
Lingkungan.
4 Community : adalah model pengembangan masyarakat
Development yang menekankan pada partisipasi penuh
(ComDev) seluruh warga masyarakat yang bertujuan
untuk memperbaiki kondisi kehidupan
masyarakat serta memberdayakan mereka
untuk mampu bersatu dan mandiri.
5 Corporate Social : sebagai komitmen perusahaan untuk
Responsibility (CSR) berperilaku etis dan berkontribusi terhadap
pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan, seraya meningkatkan
kualitas hidup karyawan dan keluarganya,
komunitas lokal dan masyarakat lainnya

4
6 Gender : adalah perbedaan-perbedaan sifat,
peranan, fungsi, dan status antara
perempuan dan laki-laki yang bukan
berdasarkan pada perbedaan biologis,
tetapi berdasarkan relasi sosial budaya
yang dipengaruhi oleh struktur masyarakat
yang lebih luas. Gender merupakan
konstruksi sosial budaya dan dapat berubah
sesuai perkembangan zaman
7 Gender Responsif : adalah perhatian yang konsisten dan
sistematis terhadap perbedaan-
perbedaanperempuan dan laki-laki di
dalam masyarakat yang disertai upaya
menghapus hambatan-hambatan
struktural dan kultural untuk mencapai
kesetaraan gender
8 Hasil Hutan (HH) : adalah benda-benda hayati, non hayati dan
turunannya, serta jasa yang berasal dari
hutan (HHK, HHBK dan Jasa Lingkungan).
9 Hasil Hutan Bukan : adalah hasil hutan hayati baik nabati
Kayu (HHBK) maupun hewani beserta produk turunan
dan budidaya kecuali kayu yang berasal dari
hutan
10 Hutan : adalah suatu kesatuan ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumber daya alam
hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu
dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
11 Hutan Adat : adalah hutan yang berada di dalam wilayah
Masyarakat Hukum Adat.
12 Hutan Desa (HD) : yang selanjutnya disingkat HD adalah
kawasan hutan yang belum dibebani izin,
yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan
untuk kesejahteraan desa.

5
13 Hutan : yang selanjutnya disingkat HKm adalah
Kemasyarakatan kawasan hutan yang pemanfaatan
(HKm) utamanya ditujukan untuk
memberdayakan masyarakat.
14 Hutan Konservasi : adalah Kawasan Hutan dengan ciri khas
tertentu, yang mempunyai fungsi pokok
pengawetan keanekaragaman tumbuhan
dan satwa serta ekosistemnya.
15 Hutan Lindung : adalah Kawasan Hutan yang mempunyai
fungsi pokok sebagai perlindungan sistem
penyangga kehidupan untuk mengatur tata
air, mencegah banjir, mengendalikan erosi,
mencegah intrusi air laut, dan memelihara
kesuburan tanah.
16 Hutan Produksi : adalah kawasan hutan yang mempunyai
fungsi pokok memproduksi hasil hutan.
17 Hutan Tanaman : yang selanjutnya disingkat HTR adalah
Rakyat (HTR) hutantanaman pada Hutan Produksi yang
dibangun oleh kelompok Masyarakatuntuk
18 Jasa Lingkungan : adalahkegiatan untuk memanfaatkan
(Jasling) potensi sumberdaya alam dengan tidak
merusak lingkungan dan mengurangi fungsi
utamanya.
19 Kearifan Lokal : adalah nilai-nilai luhur yang berlakudalam
tata kehidupan Masyarakat Setempat
antara lain untuk melindungi dan
mengelola lingkungan hidup dan sumber
daya alam secara lestari.
20 Kelompok : adalah kelompok tani hutan dan/atau
Perhutanan Sosial kelompok Masyarakat dan/atau koperasi
(KPS) pemegang Persetujuan Pengelolaan
Perhutanan Sosial serta Masyarakat Hukum
Adat termasuk kelompok tani dan/atau
kelompok Masyarakat pengelola Hutan
Rakyat.

6
21 Kelompok Tani : adalahkumpulan petani warga negara
Hutan (KTH) indonesia yang mengelola usaha di bidang
kehutanan didalam dan diluar kawasan
hutan.
22 Kelompok Usaha : adalah kelompok usaha yang dibentuk oleh
Perhutanan Sosial KPS yang akan dan/atau telah melakukan
(KUPS) usaha.
23 Kemitraan : adalah persetujuan kemitraan yang
Kehutanan (KK) diberikan kepada pemegang perizinan
berusaha Pemanfaatan Hutan atau
pemegang persetujuan penggunaan
kawasan hutan dengan mitra/Masyarakat
untuk memanfaatkan hutan padakawasan
Hutan Lindung atau kawasan Hutan
Produksi.
24 Kemitraan : adalah kerja sama yang melibatkan
Lingkungan berbagai pihak secara sukarela baik itu
pemerintah, swasta, Masyarakat, maupun
lembaga lainnya yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas lingkungan dan/atau
pemanfaatan sumber daya alam.
25 KPH (Kesatuan : adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai
Pengelolaan Hutan) fungsi pokok dan peruntukannya, yang
dapat dikelola secara efisien, efektif dan
lestari.
26 Masyarakat : adalah perseorangan, kelompok orang
termasuk MHA atau badan hukum.
27 NGO (non- : adalah organisasi non pemerintah yang
governmental didirikan oleh perorangan ataupun
organization) sekelompok orang yang secara sukarela
yang memberikan pelayanan
kepada masyarakat umum tanpa bertujuan
untuk memperoleh keuntungan dari
kegiatannya.

7
28 Para Pihak : adalah pihak-pihak yang memiliki peran dan
pengaruh dalam proses pasca persetujuan
pengelolaan Perhutanan Sosial, baik
perorangan, kelompok ataupun lembaga
(pemerintah dan non-pemerintah) untuk
mencapai kemandirian dan kesejahteraan
masyarakat dalam memanfaatkan
dan/atau mengelola areal kelola
Perhutanan Sosial dengan tetap menjaga
fungsi ekosistem hutan dan lingkungan
hidup secara berkelanjutan.
29 Pemanfaatan Hasil : adalah kegiatan untuk memanfaatkan dan
Hutan Bukan Kayu mengusahakan hasil Hutan berupa bukan
(HHBK) kayu dengan tidak merusak lingkungan dan
tidak mengurangi fungsi pokoknya.
30 Pemanfaatan Hasil : adalah kegiatan untuk memanfaatkan dan
Hutan Kayu (HHK) mengusahakan hasil Hutan berupa kayu
dengan tidak merusak lingkungan dan tidak
mengurangi fungsi pokoknya.
31 Pemanfaatan : adalah kegiatan untuk memanfaatkan
Hutan kawasan, memanfaatkan jasa lingkungan,
memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan
kayu, memungut hasil hutan kayu dan
bukan kayu, serta mengolah dan
memasarkan hasil hutan secara optimal.
32 Pemanfaatan Jasa : adalah kegiatan untuk memanfaatkan dan
Lingkungan mengusahakan potensi jasa lingkungan
(Jasling) dengan tidak merusak lingkungan dan
mengurangi fungsi utamanya.
33 Pemanfaatan : adalah kegiatan untuk memanfaatkan
Kawasan Hutan ruang tumbuh sehingga diperoleh manfaat
(PKH) lingkungan, manfaat sosial dan manfaat
ekonomi secara optimal dengan tidak
mengurangi fungsi utamanya.

8
34 Pembangunan : adalah pembangunan yang memenuhi
berkelanjutan kebutuhan saat ini tanpa mengurangi
kemampuan generasi mendatang untuk
memenuhi kebutuhan mereka sendiri
35 Pendamping : adalah pihak yang memiliki
kompetensidalam melakukan
Pendampingan terhadap Masyarakat
pemegang Persetujuan Pengelolaan
Perhutanan Sosial, secara perorangan
dan/atau kelompok dan/atau lembaga.
36 Pendampingan : adalah kegiatan yang dilakukan kepada
masyarakat atau kelompok Persetujuan
Pengelolaan Perhutanan Sosial untuk
pengelolaan hutan estari dan peningkatan
kesejahteraan Masyarakat.
37 Pengarus Utamaan : merupakan suatu strategi yang dibangun
Gender (PUG) untuk mengintegrasikan gender menjadi
satu dimensi integral dari perencanaan,
penyusunan, pelaksanaan, pemantauan
dan evaluasi atas kebijakan dan program
pembangunan nasional
38 Pengembangan : didefinisikan sebagai proses
kapasitas pengembangan dan penguatan
keterampilan, naluri, kemampuan, proses,
dan sumber daya yang dibutuhkan
organisasi dan komunitas untuk bertahan,
beradaptasi, dan berkembang di dunia yang
cepat berubah. Unsur penting dalam
pengembangan kapasitas adalah
transformasi yang dihasilkan dan
dipertahankan dari waktu ke waktu dari
dalam; transformasi semacam ini
melampaui melakukan tugas untuk
mengubah pola pikir dan sikap

9
39 Pengembangan : adalah pembangunan antar desa yang
Kawasan dilaksanakan dalam upaya mempercepat
Perdesaan (PKP) dan meningkatkan kualitas pelayanan dan
pemberdayaan masyarakat desa melalui
pendekatan partisipatif yang ditetapkan
oleh Bupati/Walikota.
40 Pengetahuan : adalah bagian dari kearifan lokal yang
Tradisional merupakan substansi pengetahuan dari
hasil kegiatan intelektual dalam konteks
tradisional, keterampilan, inovasi, dan
praktik-praktikdari masyarakat hukum adat
dan masyarakat setempat yang mencakup
cara hidup secara tradisi, baik yang tertulis
maupun tidak tertulis yang disampaikan
dari satu generasi ke generasi berikutnya
yang terkait dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dan sumber
daya alam secara berkelanjutan
41 Perhutanan Sosial : adalah sistem pengelolaan hutan lestari
(PS) yang dilaksanakan dalam kawasan hutan
negara atau hutan hak/hutan adat yang
dilaksanakan oleh masyarakat setempat
atau masyarakat hukum adat sebagai
pelaku utama untuk meningkatkan
kesejahteraannya, keseimbangan
lingkungan dan dinamika sosial budaya
dalam bentuk Hutan Desa, Hutan
Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat,
Hutan Rakyat, Hutan Adat dan Kemitraan
Kehutanan.
42 Perseroan Terbatas : Perseroan Terbatas adalah badan hukum
yang merupakan persekutuan modal,
didirikan berdasarkan perjanjian,
melakukan kegiatan usaha dengan modal
dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham

10
dan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dalam Undang-Undang serta
peraturan pelaksanaannya.
43 Persetujuan : Pemanfaatan Hutan yang dilakukan oleh
Pengelolaan kelompok Perhutanan Sosial untukkegiatan
Perhutanan Sosial Pengelolaan HD, Pengelolaan HKm,
Pengelolaan HTR, kemitraan kehutanan,
dan Hutan Adat pada kawasan Hutan
Lindung, kawasan Hutan Produksi atau
kawasan Hutan Konservasi sesuai dengan
fungsinya.
44 Pokja PPS : adalah kelompok kerja provinsi yang
(Kelompok Kerja membantu kegiatan percepatan akses dan
Percepatan peningkatan kualitas Pengelolaan
Perhutanan Sosial) Perhutanan Sosial.
45 Rencana Kelola : adalah dokumen yang memuat rencana
Perhutanan Sosial penguatan, kelembagaan, rencana
(RKPS) Pemanfaatan Hutan, rencana kerja usaha,
dan rencana monitoring dan evaluasi.
46 Rencana Kerja : adalah adalah penjabaran detail dan tata
Tahunan (RKT) waktu pelaksanaan dari dokumen RKPS
untuk setiap tahun.
47 Tanggung Jawab : adalah komitmen Perseroan untuk
Sosial dan berperan serta dalam pembangunan
Lingkungan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan
kualitas a kehidupan dan lingkungan yang
bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri,
komunitas setempat, maupun masyarakat
pada umumnya.
48 Tanggungjawab : komitmen perseroan untuk berperan serta
Sosial dan dalam pembangunan ekonomi
Lingkungan (TJSL) berkelanjutan guna meningkatkan kualitas
kehidupan dan lingkungan yang
bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri,

11
komunitas setempat, maupun masyarakat
pada umumnya.
49 Tujuan : adalah pembangunan yang menjaga
Pembangunan peningkatan kesejahteraan ekonomi
Berkelanjutan masyarakat secara berkesinambungan,
(Sustainable pembangunan yang menjaga keberlanjutan
Development Goals kehidupan sosial masyarakat,
-SDGs) pembangunan yang menjaga kualitas
lingkungan hidup serta pembangunan yang
menjamin keadilan dan terlaksananya tata
kelola yang mampu menjaga peningkatan
kualitas hidup dari satu generasi ke
generasi berikutnya. TPB/SDGs merupakan
komitmen global dan nasional dalam upaya
untuk menyejahterakan masyarakat
mencakup 17 tujuan yaitu (1) Tanpa
Kemiskinan; (2) Tanpa Kelaparan; (3)
Kehidupan Sehat dan Sejahtera; (4)
Pendidikan Berkualitas; (5) Kesetaraan
Gender; (6) Air Bersih dan Sanitasi Layak;
(7) Energi Bersih dan Terjangkau; (8)
Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan
Ekonomi; (9) Industri, Inovasi dan
Infrastruktur; (10) Berkurangnya
Kesenjangan; (11) Kota dan Permukiman
yang Berkelanjutan; (12) Konsumsi dan
Produksi yang Bertanggung Jawab; (13)
Penanganan Perubahan Iklim; (14)
Ekosistem Lautan; (15) Ekosistem Daratan;
(16) Perdamaian, Keadilan dan
Kelembagaan yang Tangguh; (17)
Kemitraan untuk Mencapai Tujuan.

12
BAB II
COORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR)
DI INDONESIA

A. Pemahaman CSR

1. Pengertian dan Konsep CSR

Corporate Social Responsibility atau disingkat CSR, dalam terjemahan Bahasa


Indonesia diartikan dengan tanggungjawab sosial perusahaan, telah banyak
dilakukan oleh perusahaan (terjemahan dari corporate), baik perusahaan
kecil, menengah dan besar dengan berbagai bentuk dan jenisnya, dan
dilakukan untuk pemangku kepentingan (stakeholders).

CSR memuat nilai etika bisnis yang menunjukkan perilaku etis dari
perusahaan. Etika bisnis tersebut sudah ada sejak lama, namun konsep CSR
secara resmi diperkenalkan pada tahun 1953 dalam buku “Social
Responsibility of Businessmen” yang ditulis Howard Bowen. Ide dasar CSR
yang dikemukakan Bowen mengacu pada kewajiban pelaku bisnis untuk
menjalankan usahanya sejalan dengan nilai-nilai dan tujuan yang hendak
dicapai masyarakat di lingkungan tempat perusahaan beroperasi, bahkan
menurut Bowen perusahaan perlu memiliki visi yang melampaui kinerja
finansial perusahaan dan mengemukakan prinsip-prinsip tanggung jawab
sosial perusahaan.

Dalam lingkup internasional konsep CSR berkembang dengan pesat. Istilah


CSR mulai digunakan sekitar tahun 1970-an dan semakin populer terutama
setelah lahir konsep pemikiran dari John Elkington yang dituangkan kedalam
buku “Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business
(1998)”. Menurut konsep tersebut, CSR dikemas kedalam tiga komponen
prinsip yakni: Profit, Planet, dan People (3P). Dengan konsep ini memberikan
pemahaman bahwa suatu perusahaan dikatakan baik apabila perusahaan

13
tersebut tidak hanya memburu keuntungan saja (profit), tetapi memiliki pula
kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan
masyarakat (people). Tanggung jawab pengelolaan perusahaan yang semula
hanya kepada pemilik/pemegang saham (stockholders) bergeser pada
pemilik, karyawan, pemerintah dan masyarakat luas (stakeholders).

Dalam perkembangan selanjutnya ketiga konsep ini menjadi patokan bagi


perusahaan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial yang dikenal dengan
konsep CSR. CSR mencerminkan komitmen usaha untuk bertindak secara
etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk meningkatkan kualitas
hidup dari karyawan dan keluarganya, komunitas lokal, dan komunitas luas.

Upaya mengakomodasi pemahaman CSR dari John Elkington, sejumlah


lembaga internasional, dan juga di Indonesia merumuskan pengertian CSR
sebagai berikut:

a. The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD), CSR


sebagai komitmen perusahaan untuk berperilaku etis dan berkontribusi
terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, seraya
meningkatkan kualitas hidup karyawan dan keluarganya, komunitas lokal
dan masyarakat lainnya (“The continuing commitment by business to be
have ethically and contribute to economic development while improving
the quality of life of the workforce and their families as well as of the local
community anda society at large to improve their quality of life”).
b. European Union, CSR sebagai sebuah konsep dengan mana perusahaan
mengintegrasikan perhatian terhadap sosial dan lingkungan dalam
operasi bisnis mereka dan dalam interaksinya dengan para pemangku
kepentingan (stakeholders) berdasarkan prinsip kesukarelaan.
c. International Finance Corporation, CSR sebagai komitmen dunia bisnis
untuk memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi
berkelanjutan melalui kerjasama dengan karyawan, keluarga mereka,
komunitas lokal dan masyarakat luas untuk meningkatkan kehidupan
mereka melalui cara-cara yang baik bagi bisnis maupun pembangunan.
d. Institute of Chartered Accountants, England and Wales, CSR merupakan
jaminan bahwa organisasi-organisasi pengelola bisnis mampu memberi

14
dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan dan memaksimalkan
nilai bagi para pemegang saham (shareholders) mereka.
e. Canadian Government, CSR merupakan kegiatan usaha yang
mengintergrasikan ekonomi, lingkungn dan sosial ke dalam nilai budaya,
pengambilan keputusan, strategi, dan operasi perusahaan yang
dilakukan secara transparan dan bertanggung jawab untuk menciptakan
masyarakat yang sehat dan berkembang.
f. European Commission, CSR sebagai sebuah konsep yang
mengintegrasikan perhatian terhadap sosial dan lingkungan dalam
operasi bisnis perusahaan dan dalam interaksinya dengan para
pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan prinsip
kesukarelaan.
g. CSR Asia, CSR merupakan komitmen perusahaan untuk beroperasi secara
berkelanjutan berdasarkan prinsip ekonomi, sosial dan lingkungan,
sambil menyeimbangkan beragam kepentingan stakeholders.
h. International Organization for Standarization, ISO 26000 mengenai
Guidance on Social Responsibility, CSR sebagai tanggung jawab sebuah
organisasi terhadap dampak-dampak dari keputusan-keputusan dan
kegiatan-kegiatannya pada masyarakat dan lingkungan yang diwujudkan
dalam bentuk perilaku transparan dan etis yang sejalan dengan
pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat;
mempertimbangkan harapan para pemangku kepentingan, sejalan
dengan hukum yang ditetapkan dan norma-norma perilaku
internasional; serta terintegrasi dengan organisasi secara menyeluruh.
i. Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas. CSR diterjemahkan dengan Tanggungjawab Sosial dan
Lingkungan (TJSL) sebagai komitmen Perseroan untuk berperan serta
dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan
kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan
sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.

Pentingnya keberlanjutan sebagai tujuan dari beroperasinya perusahaan


semakin mencuat pada tahun 2019, yaitu dengan ditetapkannya tujuan
bersama dalam World Economic Forum (WEF) yaitu berupa cohesive and
sustainable world (dunia yang terpadu dan berkelanjutan). WEF menekankan

15
tentang tujuan perusahaan bukan lagi hanya untuk menghasilkan
keuntungan dalam sektor ekonomi secara maksimal bagi para pemilik modal
(shareholders), melainkan juga dengan menghasilkan nilai manfaat yang
optimal bagi seluruh pemangku kepentingan (stakeholders). Berdasarkan
perspektif ini, perusahaan tidak lagi bisa menganggap dampak ekonomi,
sosial dan lingkungan yang dihasilkan dalam aktivitas mereka hanya sebagai
eksternalitas dari keberadaan perusahaan, melainkan harus diinternalisasi
menjadi bagian dari strategi perusahaan. Pengambilan keputusan bisnis yang
mempertimbangkan faktor ekonomi, sosial dan lingkungan pada umumnya
dianggap berkaitan dengan tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate
Social Responsibility) dan juga dengan konsep pembangunan berkelanjutan
(Sustainable Development).

Hubungan konsep CSR Dan konsep pembangunan berkelanjutan yang


didefinisikan oleh Brundtland Commission sebagai “Pembangunan yang
memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi
mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri” (United Nations,
2017) memiliki kaitan yang erat. Program-program CSR yang diarahkan pada
peningkatan kapasitas sumber daya manusia, kemudahan akses, dan
efisiensi efektifitas tata kelola (governance) pemberdayaan masyarakat yang
berakhir pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable
Development Goals –SDGs) yang menyatakan “no poverty”. Selain itu,
program-program CSR juga akan sangat terkait dengan tujuan pembangunan
berkelanjutan (SDGs) lainnya, yaitu dunia tanpa kelaparan, kesehatan yang
baik dan kesejahteraan, pendidikan berkualitas, kesetaraan gender, air
bersih dan sanitasi, energi bersih dan terjangkau; pengananan perubahan
iklim, menjaga ekosistem laut dan darat, mengurangi kesenjangan, dan
seterusnya hingga pentingnya kemitraan untuk mencapai tujuan-tujuan
tersebut.

Pemahaman CSR yang terus berkembang termasuk di Indonesia dari kajian


yang dilakukan peneliti melahirkan beberapa pandangan bahwa CSR dapat
mendorong perubahan dan berdampak positif serta memberikan manfaat
bagi para pemangku kepentingan, seperti yang disampaikan Meilanny
Budiarti Santoso dan Santoso Tri Raharjo (2018). Idealnya perusahaan

16
memandang pelaksanaan program CSR mereka sebagai bentuk investasi
sosial yang dilakukan bersama para pemangku kepentingan, sehingga
kegiatan investasi sosial yang dilakukan tersebut mendorong terciptanya
perubahan, menghasilkan dampak positif dan juga nilai manfaat yang
dirasakan oleh para pemangku kepentingan (stakeholders), dan selanjutnya
dimaknai sebagai nilai keuntungan yang terukur bagi perusahaan. Demikian
juga Saidi dkk. (2014) mendefinisikan CSR secara luas sebagai etos
pengambilan keputusan moral/etika yang diadopsi oleh perusahaan yang
memungkinkan bisnis mereka berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat
di luar kepentingan pribadi mereka. CSR dapat menjadi jalan untuk
menciptakan pola keseimbangan bagi lingkungan dan kemanusiaan, karena
aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan cenderung berdampak serius
terhadap komunitas dan masyarakat.

2. Manfaat CSR

Salah satu kajian yang dilakukan Anne (2005) dan Kotler & Nancy (2005) CSR
diperlukan oleh perusahaan antara lain:
(1) Menyeimbangkan antara kekuatan korporasi dengan aspek
tanggungjawab;
(2) Mengurangi adanya regulasi pemerintah (yang berlebihan);
(3) Meningkatkan keuntungan jangka panjang;
(4) Meningkatkan nilai dan reputasi korporasi;
(5) Memperbaiki permasalahan sosial yang disebabkan oleh
perusahaan.
(6) Meningkatkan penjualan dan pangsa pasar;
(7) Memperkuat posisi merek dagang;
(8) Meningkatkan kemampuan untuk menarik, memotivasi dan
memelihara karyawan;
(9) Menurunkan biaya operasi;
(10)Menarik minat investor dan para analis keuangan

Manfaat CSR dapat digolongkan menurut para pihak antara lain:


a. Bagi Perusahaan:

17
Mengembangkan bisnis secara berkelanjutan, mendapatkan citra
positif, kemudahan akses pada sumber daya, mendapatkan SDM
berkualitas, serta mempermudah pengelolaan manajemen risiko
(risk management)
b. Bagi Masyarakat:
Meningkatkan nilai tambah atau manfaat dengan adanya
perusahaan
c. Bagi Lingkungan:
Mencegah eksploitasi berlebihan atas sumber daya alam, menjaga
kualitas lingkungan
d. Bagi Pemerintah:
Mencegah “corporate misconduct” atau malpraktik bisnis seperti
penyuapan pada aparat negara dan meningkatkan penerimaan
pajak.

Gambar 1. Manfaat CSR

18
3. Bentuk Praktek CSR

Beberapa peneliti menggolongkan praktek CSR dalam 6 kelompok yaitu:


(1) Perusahaan menyediakan dana atau bentuk kontribusi lainnya dalam
aktivitas peningkatan kesadaran dan kepedulian terhadap masalah
sosial. Perusahaan dapat mengelola aktivitas ini sendiri, menjadi
partner utama, maupun menjadi sponsor.
(2) Perusahaan mendonasikan beberapa persen dari keuntungan
penjualannya untuk mengatasi masalah sosial.
(3) Perusahaan mengadakan kegiatan yang bertujuan untuk mengubah
perilaku masyarakat menjadi lebih baik
(4) Perusahaan memberikan kontribusi secara langsung pada sebuah
kegiatan maupun pengentasan masalah sosial dengan bantuan tunai
atau pelayanan.
(5) Perusahaan mendorong karyawan dan mitra bisnis agar
menyediakan waktu luang untuk mendukung komunitas lokal dan
menyelesaikan permasalahan sekitar
(6) Perusahaan melaksanakan praktik bisnis dan investasi yang
mengatasi permasalahan sosial untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan pemeliharaan lingkungan

B. Rujukan dalam Penerapan CSR

Umumnya ada empat argumen yang mendasari perusahaan untuk


melakukan program CSR, yaitu: kewajiban moral, keberlanjutan
(sustainability) yang berkontribusi terhadap solusi permasalahan lingkungan
hidup dan sosial, lisensi untuk beroperasi, dan reputasi. Berdasarkan
keempat argumen tersebut, maka CSR bagi perusahaan lebih dari sekedar
kewajiban untuk memenuhi undang-undang dan peraturan yang berlaku,
tetapi perusahaan dapat melakukan aktivitas lain yang dianggap bisa
meningkatkan dampak positif dan mengurangi dampak negatif dari aktivitas
bisnisnya serta berkontribusi bagi pembangunan berkelanjutan (yang tidak

19
diatur dalam undang-undang dan peraturan – melebihi pemenuhan hukum
dan undang-undang atau beyond compliance)

Pemahaman tentang CSR pada umumnya berkisar pada tiga hal pokok, yaitu
CSR adalah:
(1) Pertama, suatu peran yang sifatnya sukarela (voluntary) dimana
suatu perusahaan membantu mengatasi masalah sosial dan
lingkungan, oleh karena itu perusahaan memiliki kehendak bebas
untuk melakukan atau tidak melakukan peran ini;
(2) Kedua, disamping sebagai institusi profit, perusahaan menyisihkan
sebagian keuntungannya untuk kedermawanan (filantropi) yang
tujuannya untuk memberdayakan sosial dan perbaikan kerusakan
lingkungan akibat eksplorasi dan eksploitasi.
(3) Ketiga, CSR sebagai bentuk kewajiban (obligation) perusahaan untuk
peduli terhadap dan mengentaskan krisis kemanusiaan dan
lingkungan yang terus meningkat.

Di Indonesia ketiga pemahaman tersebut masih terus berkembang, dalam


panduan ini paling tidak diuraikan terkait dengan acuan yang digunakan
perusahaan dalam melaksanakan program CSR sebagai bagian dalam
mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan sifat CSR yang ada di
Indonesia baik yang berbentuk kewajiban maupun sukarela. Rujukan
tersebut diantaranya: ISO 26000; Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan
(TJSL) yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia termasuk dalam Otoritas Jasa Keuangan (OJK); serta CSR dalam
Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan
Lingkungan (PROPER) yang dipaparkan dibawah ini.

1. International Standard Organization 26000 (ISO 26000)

Beragam persepsi CSR yang berkembang di berbagai negara menimbulkan


kecenderungan yang berbeda dalam pelaksanaan CSR, mendorong
diluncurkannya ISO 26000 Guidance on Social Responsibility (Tanggung
jawab Sosial) pada bulan November 2010. ISO 26000 menyediakan standar
pedoman yang bersifat sukarela mengenai tanggung tanggung jawab sosial

20
bagi semua jenis organisasi di sektor swasta, publik dan nirlaba, baik besar
maupun kecil, dan baik yang beroperasi di negara maju atau berkembang.
ISO 26000 membantu organisasi dalam berkontribusi pada pembangunan
berkelanjutan, dengan memberikan panduan tentang prinsip-prinsip yang
mendasari tanggung jawab sosial, mengakui tanggung jawab sosial dan
melibatkan pemangku kepentingan, subjek inti dan masalah yang berkaitan
dengan tanggung jawab sosial dan tentang cara untuk mengintegrasikan
perilaku yang bertanggung jawab secara sosial ke dalam organisasi.

Pemahaman yang perlu digaris bawahi dalam ISO 26000 yang menjelaskan
bahwa tanggung jawab sosial bukan hanya diperuntukkan bagi perusahaan
saja namun juga bagi semua organisasi, termasuk LSM, pemerintah, lembaga
pendidikan, koperasi, dan organisasi-organisasi lainnya. Hal ini disebabkan
karena baik perusahaan maupun organisasi mempunyai dampak yang positif
dan negatif dalam melaksanakan aktivitasnya. Tanggung jawab sosial
dilaksanakan untuk mengurangi dampak negatif dan meningkatkan dampak
positif bagi para stakeholder perusahaan dan organisasi tersebut.

ISO 26000 telah memberikan panduan tentang prinsip-prinsip yang


mendasari tanggung jawab sosial, mengakui tanggung jawab sosial dan
melibatkan pemangku kepentingan, subjek inti dan masalah yang berkaitan
dengan tanggung jawab sosial dan tentang cara untuk mengintegrasikan
perilaku yang bertanggung jawab secara sosial ke dalam organisasi. Standar
internasional ini menekankan pentingnya hasil dan peningkatan kinerja pada
tanggung jawab sosial. Adapun tujuh (7) subjek inti tanggungjawab sosial
meliputi:

(1) Tata Kelola Organisasi.


Berperan dalam membuat dan mengimplementasikan keputusan,
melaksanakan tanggung jawab atas dampak keputusan dan
aktivitasnya, dan menjadi titik awal pengintegrasian tanggung jawab
sosial dalam organisasi. Tata kelola yang baik dapat berjalan bila
berdasarkan 7 prinsip tanggung jawab sosial, yang juga tercantum
dalam ISO 26000.

21
(2) Hak Asasi Manusia (HAM).
HAM merupakan hak paling mendasar bagi manusia sehingga
penting untuk dipenuhi oleh organisasi. HAM dapat dibagi menjadi 2
kategori, yaitu yang berkaitan dengan hak sipil dan politik serta hak
sosial, ekonomi, dan budaya.
(3) Praktik Tenaga Kerja.
Organisasi dapat berkontribusi dengan menerapkan kebijakan dan
praktik kerja layak bagi para pekerja, baik dari aspek pekerjaan itu
sendiri, sosial, maupun ekonomi.
(4) Tanggung Jawab terhadap Lingkungan.
Populasi manusia dan konsumsi di dunia semakin meningkat, serta
aktivitasnya semakin meningkat pula, sehingga dampak yang
ditimbulkan meningkat. Tanggung jawab terhadap lingkungan
sangat penting untuk keberlangsungan kehidupan di bumi ini.
(5) Praktik Operasional yang adil.
Hubungan organisasi dengan berbagai stakeholders, seperti
pemerintah, konsumen, pesaing, dan mitra perlu dijaga dengan baik.
Masalah praktik operasi yang tercakup dalam ISO 26000, seperti
korupsi, persaingan tidak sehat, dan pelanggaran hak harus
dihindari.
(6) Isu Konsumen.
Tanggung jawab sosial juga mencakup isu konsumen, seperti
keamanan produk, konsumsi yang berkelanjutan, perlindungan
privasi, kemudahan akses terhadap produk dan layanan, serta
alternatif produk bagi konsumen dalam kelompok rentan.
(7) Keterlibatan dan Pengembangan Komunitas.
Hal terpenting bagi seluruh organisasi untuk berkontribusi dalam
pengembangan masyarakat yang berkelanjutan. Kontribusi dapat
berupa keterlibatan dalam komunitas sipil, promosi kebudayaan,
memudahkan akses pendidikan dan teknologi, serta investasi sosial.

22
Gambar 2. Tujuh Subyek Inti ISO 26000

Dalam menerapkan subjek inti agar berjalan dengan baik sesuai tujuan,
dalam ISO 26000 terdapat prinsip dasar tanggung jawab sosial yang menjadi
dasar bagi pelaksanaan yang menjiwai atau menjadi informasi dalam
pembuatan keputusan dan kegiatan tanggung jawab sosial yang meliputi
prinsip:

(1) Kepatuhan kepada hukum


(2) Menghormati instrumen/badan-badan internasional
(3) Menghormati stakeholders dan kepentingannya
(4) Akuntabilitas
(5) Transparansi
(6) Perilaku yang beretika
(7) Melakukan tindakan pencegahan
(8) Menghormati dasar-dasar Hak Asasi Manusia

Dengan mengacu pada ISO 26000 ini, organisasi akan memberikan tambahan
nilai terhadap aktivitas tanggung jawab sosial yang berkembang saat ini
dengan cara:

23
(1) Mengembangkan suatu konsensus terhadap pengertian tanggung
jawab sosial dan isunya;
(2) Menyediakan pedoman tentang penterjemahan prinsip-prinsip
menjadi kegiatan-kegiatan yang efektif; dan
(3) Memilah praktik-praktik terbaik yang sudah berkembang dan
disebarluaskan untuk kebaikan komunitas atau masyarakat
internasional

Ditegaskan juga bahwa ISO 26000 hanya memuat panduan (guidelines) saja
dan bukan pemenuhan terhadap persyaratan karena ISO 26000 ini memang
tidak dirancang sebagai standar sistem manajemen dan tidak digunakan
sebagai standar sertifikasi sebagaimana ISO – ISO lainnya.

2. Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan (TJSL)

Indonesia sebagai salah satu anggota yang meratifikasi perjanjian pada Word
Trade Organization (WTO), dimana WTO memandang konsep CSR sebagai
langkah utama dalam mewujudkan “Good Corporate Governance” atau tata
kelola perusahaan yang baik. Dalam praktik dan kegiatan usaha serta
perekonomian dunia secara baik dan proporsional, pemerintah Indonesia
menuangkannya dalam kebijakan dalam bentuk Undang-Undang dan
peraturan pemerintah.

Istilah CSR dalam perundangan yang berlaku disebut dengan Tanggungjawab


Sosial dan Lingkungan (TJSL) yang didefinisikan sebagai komitmen perseroan
untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna
meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi
perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada
umumnya. Istilah TJSL yang digunakan dalam peraturan perundang-
undangan Indonesia dan CSR yang digunakan secara umum diseluruh dunia
memiliki makna yang sama, yaitu suatu tanggung jawab perusahaan
terhadap sekitar atas kegiatan usahanya. Namun TJSL menjadi kewajiban
bagi perusahaan khususnya yang berbentuk perseroan berdasarkan hukum
Indonesia. TJSL yang dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia secara jelas menekankan aspek lingkungan, yang

24
dinyatakan secara eksplisit yaitu Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan.
Aspek lingkungan menjadi perhatian Indonesia, sehingga yang diwajibkan
menjalankan TJSL kepada perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan
memanfaatkan sumber daya alam, dan/atau perseroan yang tidak mengelola
dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya
berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam, termasuk
perusahaan yang bergerak di bidang jasa keuangan.

TJSL di Indonesia diberlakukan sejak tahun 2007 termuat dalam peraturan


perundang-undangan antara lain sebagai berikut:

a) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan


Terbatas, dalam Pasal 1 ayat (3) bahwa “Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam
pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas
kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan
sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya”
dan Pasal 74, yang mengkhususkan pelaksanaan TJSL kepada
“Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau
berkaitan dengan sumber daya alam” dalam penjelasan dipaparkan
bahwa perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan
memanfaatkan sumber daya alam, dan/atau perseroan yang tidak
mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi
kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber
daya alam.
b) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,
Pasal 15 huruf b bahwa setiap penanam modal berkewajiban:
melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.
c) Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara tidak secara eksplisit mengatur mengenai tanggung jawab
sosial perusahaan, Pasal 88 ayat (1) hanya mengatur mengenai
penyisihan laba untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi
serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN. Tahun 2007 BUMN
mengeluarkan Peraturan Menteri BUMN nomor PER-05/MBU/2007
tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara Dengan

25
Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan lebih lengkap menjelaskan
mengenai teknis pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan
(Corporate Social Responsibility) yang harus dijalankan oleh seluruh
BUMN, baik yang berbentuk Perum, Perseroan, maupun Perseroan
Terbatas. Hal tersebut sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 2
ayat (1): “Perum dan Persero wajib melaksanakan Program
Kemitraan dan Program Bina Lingkungan dengan memenuhi
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan ini”. Hal tersebut
berarti seluruh BUMN apa pun bentuknya dan apa pun jenis
usahanya wajib melaksanakan Program Kemitraan dan Bina
Lingkungan. Ketentuan yang mewajibkan seluruh BUMN melakukan
kegiatan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan tanpa
perkecualian bentuk dan jenis usaha tersebut merupakan suatu
ketentuan yang adil. Tahun 2021, Menteri BUMN mengeluarkan
Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-
05/MBU/04/2021 tentang Program Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan Badan Usaha Milik Negara (TJSL BUMN), yang
menegaskan tentang penerapan TJSL bagi perusahan-perusahaan
BUMN apapun bentuk badan hukumnya. Program TJSL BUMN,
adalah kegiatan yang merupakan komitmen perusahaan terhadap
pembangunan yang berkelanjutan dengan memberikan manfaat
pada ekonomi, sosial, lingkungan serta hukum dan tata kelola
dengan prinsip yang lebih terintegrasi, terarah, terukur dampaknya
serta dapat dipertanggungjawabkan dan merupakan bagian dari
pendekatan bisnis perusahaan.
d) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi. TJSL dijabarkan pada Pasal 40 dimana Badan Usaha dan/atau
Bentuk Usaha Tetap yang berkegiatan pada bidang minyak dan gas
bumi menjamin keselamatan dan kesehatan kerja serta pengelolaan
lingkungan hidup mulai dari pencegahan dan penanggulangan
pencemaran serta pemulihan atas terjadinya kerusakan lingkungan
hidup, termasuk kewajiban pascaoperasi pertambangan.
e) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas, Pasal 2 bahwa
Setiap Perseroan selaku subjek hukum mempunyai tanggung jawab

26
sosial dan lingkungan. Pasal 6 bahwa pelaksanaan tanggung jawab
dan sosial harus dimuat dalam laporan tahunan perseroan dan
dipertanggungjawabkan kepada RUPS. Peraturan Pemerintah No. 47
Tahun 2012 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan perseroan
yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam
adalah perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan
memanfaatkan sumber daya alam. Sedangkan perseroan yang
menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya
alam adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak
memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya
berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam termasuk
pelestarian fungsi lingkungan hidup. Hal ini dapat dikatakan bahwa
perseoran yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber
daya alam atau berkaitan dengan hal itu, menjadi perusahaan yang
lebih sensitif dan kegiatannya dapat memberikan dampak terhadap
lingkungan.

3. Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan dalam Otoritas Jasa Keuangan


(OJK)

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merupakan lembaga independen yang


mempunyai fungsi, tugas dan pengaturan terhadap sektor jasa keuangan di
Indonesia. OJK dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan yang memiliki tugas mengatur dan
melakukan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor
perbankan, kegiatan jasa keuangan di sektor pasar moda dan kegiatan jasa
keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan
lembaga jasa keuangan lainnya. Dunia usaha yang bergerak dibidang jasa
keuangan disadari banyak yang terkait secara erat dengan pengelolaan
sumberdaya alam, terutama perbankan yang memiliki andil penting dalam
pertumbuhan ekonomi sebagai penggerak dari seluruh sektor. Pada tahun
2019 rasio aset perbankan terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) di
Indonesia sebesar 55,01%, mengacu pada peraturan perundang undangan
yang berlaku terutama pada perusahaan dengan bentuk Perseroan Terbatas
(PT) lembaga dunia usaha perbankan diharapkan tidak hanya berfokus

27
terhadap keuangan atau berfokus pada tugas utamanya, namun juga
mempunyai nilai tanggung jawab sosial yang tinggi kepada masyarakat
sekitar.

Dalam upaya mendorong peran serta dunia usaha dibidang jasa keuangan
melakukan CSR, tahun 2016 OSJK mengeluarkan Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 30/SEOJK.04/2016 Tentang Bentuk dan Isi Laporan
Tahunan Emiten atau Perusahaan Publik. Dimana isi laporan tahunan yang
harus dibuat oleh perusahaan bersifat terbuka, salah satu isi dari laporan
tahunan tersebut menyangkut tentang kegiatan CSR atau Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan (TJSL) dalam satu tahun. Aktivitas CSR tidak lagi hanya
sekedar perlu untuk diungkapkan dalam laporan keuangan, namun harus
benar-benar dilakukan dan menjadi bagian dari laporan berkelanjutan dan
dapat diketahui oleh publik secara luas.

4. CSR dalam Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam


Pengelolaan Lingkungan (PROPER)

Upaya mendorong keterlibatan aktif perusahaan dalam pengelolaan


lingkungan sekaligus mendorong perusahaan berkontribusi dalam upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah produksi atau tempat lain
yang sudah ditetapkan, pemerintah Indonesia melalui Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan kebijakan salah
satunya melalui Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam
Pengelolaan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut PROPER yaitu
evaluasi kinerja penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan di bidang
pengelolaan lingkungan hidup (Permen LHK No 1 Tahun 2021). PROPER
merupakan instrumen yang digunakan oleh KLHK untuk mendorong
penaatan perusahaan dalam pengelolaan lingkungan perusahaan sesuai
dengan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan,
menciptakan suasana yang kondusif dan menguntungkan bagi perusahaan
yang bersungguh-sungguh menerapkan prinsip pembangunan
berkelanjutan. PROPER juga mewujudkan transparansi, demokratisasi dalam
pengelolaan lingkungan di Indonesia, mewujudkan prinsip tata kelola yang

28
baik (good governance) yang meliputi transparansi, akuntabilitas, dan
pelibatan masyarakat.

PROPER diinisiasi sejak tahun 1996, program ini menjadi salah satu program
unggulan dari Kementerian Lingkungan Hidup yang dikemas dalam bentuk
kegiatan pengawasan dan pemberian insentif dan/atau disinsentif kepada
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan melalui pemberian
penghargaan PROPER. Penghargaan PROPER diberikan berdasarkan
perangkat penilaian yang landasannya ada pada Undang-Undang No. 32
tahun 2009 mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 05 Tahun 2011 tentang
PROPER yang saat ini diperbaharui dengan Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Nomor 1 Tahun 2021 Tentang Program Penilaian
Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pemberian penghargaan PROPER bertujuan mendorong perusahaan untuk
taat terhadap peraturan lingkungan hidup dan mencapai keunggulan
lingkungan (environmental excellence) melalui integrasi prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan dalam proses produksi dan jasa, serta
penerapan sistem manajemen lingkungan dan pemberdayaan masyarakat.

Penilaian PROPER yang diperoleh perusahaan dinilai dengan warna emas,


hijau, biru, merah dan hitam. Proper emas merupakan proper yg terbaik,
artinya perusahaan tersebut sudah menerapkan pengelolaan lingkungan
secara menyeluruh dan dan berkelanjutan. Jika sebuah perusahaan
mendapat 2 kali warna hitam secara berturut-turut, perusahaan tersebut
bisa dituntut dan kegiatan usahanya akan dihentikan. Aspek penilaian
PROPER adalah ketaatan terhadap peraturan meliputi :(1) Pengendalian
Pencemaran Air; (2) Pemeliharaan Sumber Air; (3) Pengendalian Pencemaran
Udara; (4) Pengelolaan Limbah B3; (5) pengelolaan limbah non B3; (6).
Pengelolaan B3; (7) Pengendalian Kerusakan Lahan; dan/atau (8)
Pengelolaan Sampah. Jika perusahaan memenuhi seluruh peraturan
tersebut (in compliance) maka memperoleh peringkat Biru Sedangkan untuk
penilaian peringkat hijau dan emas (beyond compliance) terkait kinerja
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melebihi ketaatan yang
diwajibkan dalam peraturan perundang-undangan, yang meliputi 6 (enam)

29
aspek yaitu: (1) Pelaksanaan penilaian daur hidup (life cycle assesment); (2)
Sistem manajemen lingkungan; (3) Penerapan sistem manajemen lingkungan
untuk pemanfaatan sumber daya pada bidang: efisiensi energi; penurunan
emisi; efisiensi air dan penurunan beban Air Limbah; pengurangan dan
pemanfaatan Limbah B3; pengurangan dan pemanfaatan limbah nonB3; dan
perlindungan keanekaragaman hayati; (4) Pemberdayaan masyarakat; (5)
Tanggap kebencanaan; dan (6) Inovasi sosial.

Program CSR menjadi salah satu aspek yang dinilai dalam PROPER hijau dan
emas, dimana program CSR yang dijalankan perusahaan harus menjadikan
pemberdayaan masyarakat sebagai prinsip penyusunan kebijakan CSR.
Kebijakan CSR tidak hanya menyangkut tentang “harmonisasi” antara
perusahaan dan masyarakat, melainkan upaya terstruktur untuk mendorong
kemandirian masyarakat. Prinsip perumusan kebijakan CSR menempatkan
kondisi harmonis bukanlah suatu tujuan melainkan implikasi dari hubungan
fungsional yang seimbang antara perusahaan dan masyarakat. Dalam
menerapkan program CSR yang strategis dan dapat menjawab kebutuhan
masyarakat, tersebut program CSR yang dirancang didasarkan atas
pemetaan sosial (social mapping) untuk menggambarkan jaringan sosial yang
memberikan penjelasan tentang garis-garis hubungan antar
kelompok/individu. Pemetaan Sosial memberikan informasi mengenai siapa,
kepentingannya, jaringannya dengan siapa, dan posisi sosial dan analisis
jaringan sosial dan derajat kepentingan masing-masing pemangku
kepentingan. Identifikasi masalah sosial, identifikasi potensi (modal sosial)
perumusan kebutuhan masyarakat yang akan ditangani dalam program
pemberdayaan masyarakat (sebelumnya dikalangan perusahaan lebih
dikenal dengan pengembangan masyarakat atau ComDev–Community
Development) dan identifikasi kelompok rentan yang akan menjadi sasaran
program pengembangan masyarakat. Rencana strategis pengembangan
masyarakat harus bersifat jangka panjang dan dirinci dengan program
tahunan, menjawab kebutuhan kelompok rentan dan terdapat indikator
untuk mengukur kinerja capaian program yang terukur dan tentu saja proses
perencanaan melibatkan anggota masyarakat.

30
Perkembangan pada era sekarang ini, CSR dan PROPER menjadi tuntutan
tidak terelakkan seiring dengan bermunculannya tuntutan komunitas
terhadap perusahaan serta munculnya kesadaran perusahaan bahwa
keberhasilannya dalam mencapai tujuan bukan hanya dipengaruhi oleh
faktor internal saja, melainkan juga oleh komunitas yang berada di
sekelilingnya. Dalam hal ini telah terjadi perubahan hubungan antara
perusahaan dan komunitas, perusahaan yang semula memposisikan diri
sebagai pemberi donasi melalui kegiatan charity (amal) dan philantrophy
(kedermawanan), kini telah memposisikan komunitas sebagai mitra yang
turut andil dalam kelangsungan eksistensi perusahaan.

C. CSR Lingkungan dan Kehutanan Di Indonesia

Di Indonesia, inisiasi pemerintah Indonesia untuk mendorong peran aktif


perusahaan untuk berkontribusi dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup melalui program CSR terus dilakukan, dengan menginisiasi
Buku Panduan CSR Bidang Lingkungan yang diluncurkan pada bulan Agustus
2011 oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Buku Panduan tersebut
memberikan panduan bagi perusahaan dalam melaksanakan kegiatan CSR
bidang lingkungan, sekaligus memberi informasi tentang alternatif kegiatan
CSR bidang lingkungan yang aplikatif, yang dapat dipilih oleh perusahaan
sesuai dengan core competence masing-masing, dalam buku tersebut
dipaparkan secara komprehensif 7 (tujuh) alternatif kegiatan CSR yang
meliputi: produksi bersih, kantor ramah lingkungan, konservasi energi dan
sumber daya alam, pengelolaan sampah melalui 3R (Reduce-Reuse-Recycle),
energi terbarukan, adaptasi perubahan iklim dan pendidikan lingkungan
hidup. Inisiasi tersebut dilanjutkan dengan diluncurkannya Buku Petunjuk
Teknis CSR Bidang Lingkungan yang ditujukan untuk mendorong perusahaan
lebih efektif dan efisien dalam melaksanakan CSR bidang lingkungan dengan
adanya petunjuk pelaksanaan yang menjabarkan langkah-langkah yang
diperlukan untuk menerapkan CSR Bidang Lingkungan di Indonesia secara
terintegrasi dan berkelanjutan. Untuk memberikan contoh-contoh CSR
bidang lingkungan diterbitkan juga buku Model CSR Bidang Lingkungan yang
melibatkan perusahaan-perusahaan baik Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

31
maupun Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) yang bergerak diberbagai bidang
sumber daya alam, transpotasi, jasa dan sebagainya.

Beberapa pedoman atau petunjuk pelaksanaan SCR telah disusun di masa


Kementerian Lingkungan Hidup. Keberadaan pedoman atau panduan
tersebut turut mewarnai peningkatan kepedulian perusahaan dalam
pengelolaan lingkungan, termasuk perusahaan yang selama ini tidak
termasuk dalam perusahaan yang diwajibkan melaksanakan TJSL.

Gambar 3. Buku tentang CSR Bidang Lingkungan Hidup yang diterbikan oleh
Kementerian Lingkungan Hidup/Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

32
BAB III
PENYELENGGARAAN CSR DALAM PROGRAM
PERHUTANAN SOSIAL

A. Kebijakan Perhutanan Sosial dan Corporate Sosial Responsibility (CSR)

Program Perhutanan Sosial menjadi salah satu program strategis nasional


yang tertuang dalam kebijakan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2020-2024, yang ditujukan sebagai strategi mengurangi
kemiskinan, mengurangi pengangguran dan penciptaan lapangan kerja, serta
mengurangi ketimpangan penguasaan dan pengelolaan kawasan hutan.
Untuk mencapai strategi tersebut pemerintah telah mengalokasikan 12,7
juta hektare kawasan hutan untuk dapat dikelola secara legal dan lestari oleh
masyarakat. Dalam upaya memaksimalkan manfaat Perhutanan Sosial,
percepatan dan peningkatan akselerasi kerja sama antara semua instansi dan
para pemangku kepentingan menjadi penting dilakukan dan telah
dituangkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor 9 Tahun 2021 Tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial yang tertuang
dalam Kemitraan Lingkungan yang didefinisikan pengertiannya sebagai kerja
sama yang melibatkan berbagai pihak secara sukarela baik itu pemerintah,
swasta, masyarakat, maupun lembaga lainnya yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas lingkungan dan/atau pemanfaatan sumber daya
alam.

Dalam kemitraan lingkungan, salah satu mitra strategis dalam mendukung


Pengelolaan Perhutanan Sosial adalah perusahaan baik Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) maupun Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) dan pihak
lainnya terutama melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) atau
di Indonesia diartikan oleh Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan (TJSL)
melalui bentuk kegiatan pemberdayaan masyarakat (Permen LHK No 9
Tahun 2021).

33
Landasan penyelenggaraan CSR perusahaan dalam mendukung Pengelolaan
Perhutanan Sosial memiliki tujuan yang sama dalam mendukung
pembangunan berkelanjutan yang selaras dengan tujuannya yaitu “no
poverty” (dunia tanpa kemiskinan) seperti yang diuraikan pada Bab Dua
dalam Buku pedoman ini. Baik bagi perusahaan berbentuk BUMN dan BUMS
yang melaksanakan CSR/TJSL sebagai bentuk kepatuhan terhadap
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yaitu sebagi sebuah
kewajiban menjalankan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan bagi
perusahaan berbentuk perseroan yang bergerak mengelola sumber daya
alam maupun kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan
sumber daya alam, yang memiliki modal seperti yang tertuang dalam
peraturan perundang-undangan diantaranya Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Peraturan Pemerintah Nomor 47
Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan
Terbatas; Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal, Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara dan Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-
05/MBU/04/2021 tentang Program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
Badan Usaha Milik Negara, bahkan perusahaan yang bergerak dibidang jasa
keuangan melaksanakan CSR merujuk pada Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 30/SEOJK.04/2016 Tentang Bentuk dan Isi Laporan
Tahunan Emiten atau Perusahaan Publik.

Sementara perusahaan swasta dan pihak lain yang menyelenggarakan CSR


secara sukarela bahkan beyond compliance, penerapan konsep CSR yang
dapat mendukung pengelolaan lingkungan dapat mengacu pada ISO 26000.

Penyelenggaraan Kemitraan Lingkungan dalam Perhutanan Sosial dengan


mitra dari perusahaan melalui program CSR menjadi kegiatan strategis,
mengacu pada Pedoman Pengembangan Kemitraan Lingkungan dalam
Perhutanan Sosial. Dimana pedoman ini memuat ruang lingkup, para mitra
dan peran, syarat, dan rambu-rambu kemitraan lingkungan dalam
Perhutanan Sosial, serta strategi dan tahapan Kemitraan Lingkungan.
Pedoman ini menyediakan ruang kolaborasi untuk mewujudkan tujuan yang
sama. Kolaborasi ini memerlukan arahan terutama bagi perusahaan yang

34
beragam bidang usahanya, dimana Perhutanan Sosial masih merupakan
sesuatu yang baru bagi perusahaan. Dukungan dari pemerintah dalam
bentuk pedoman operasional penyelenggaraan CSR dalam Perhutanan Sosial
dapat menjadi instrumen yang efektif dalam rangka mendorong percepatan
tujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial yang menjadi salah satu program
strategis nasional.

B. Pengelolaan Perhutanan Sosial Pasca Persetujuan

1. Skema Pengelolaan Perhutanan Sosial

Program Perhutanan Sosial memberikan akses kepada masyarakat baik


perseorangan, kelompok tani hutan, atau koperasi untuk turut mengelola
kawasan hutan secara lestari untuk meningkatkan kesejahteraannya,
keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk skema
pengelolaan Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan
Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Adat (HA) dan Kemitraan Kehutanan yang
pemanfaatannya dilakukan sesuai dengan fungsi kawasan hutan dimana
areal Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial diberikan.

35
Gambar 4. Skema Pengelolaan Perhutanan Sosial

36
2. Jangka Waktu Pengelolaan Perhutanan Sosial

Jangka waktu persetujuan pengelolaan untuk skema Hutan Desa, Hutan


Kemasyarakatan, dan Hutan Tanaman Rakyat diberikan selama 35 (tiga puluh
lima) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali dengan dievaluasi secara
berkala oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Untuk skema
Kemitraan Kehutanan jangka waktu pengelolaan yang diberikan sesuai
dengan masa berlakunya perizinan berusaha Pemanfaatan Hutan dan masa
berlakunya persetujuan penggunaan kawasan hutan, sementara untuk
Hutan Adat jangka waktu persetujuan yang diberikan berlaku selama
kelembagaan Masyarakat Hutan Adat (MHA) mengelola masih ada.

3. Pemanfaatan Kawasan Hutan Di Areal Persetujuan Pengelolaan


Perhutanan Sosial

Masyarakat yang telah mendapatkan Persetujuan Pengelolaan Perhutanan


Sosial dapat melakukan pemanfaatan hutan pada areal kerja persetujuan
dengan pola wana tani atau agroforestry, wana ternak atau silvopastura,
wana mina atau silvofishery, dan wana tani ternak atau agrosilvopastura;
melakukan pemanfaatan hasil hutan kayu (HHK); hasil hutan bukan kayu
(HHBK); jasa lingkungan yang meliputi wisata, pemanfaatan air dan aliran
air; konservasi keanekaragaman hayati termasuk keanekaragaman hayati
tingkat genetik, tingkat jenis flora dan fauna, serta ekosistem; serta
penyerapan dan penyimpanan karbon sesuai sesuai dengan fungsi hutan dan
jenis ruangnya, berdasarkan peraturan yang berlaku. Dalam pemanfaatan
hasil hutan, pengelola Perhutanan Sosial pada setiap skema harus juga
memperhatikan status fungsi kawasan hutan dimana persetujuan diberikan
sesuai dengan peraturan yang berlaku, berikut uraiannya:

37
Tabel 2. Pemanfaatan Hasil Hutan berdasarkan Skema Perhutanan Sosial
Fungsi Hutan Skema Pemanfaatan
Perhutanan Sosial
Hutan Produksi Hutan Desa (HD), Pengelola Persetujuan
(yaitu kawasan Hutan Perhutanan Sosial dapat
hutan yang Kemasyarakatan melakukan pemanfaatan Hasil
mempunyai (HKm), Hutan Hutan Kayu (HHK), Hasil Hutan
fungsi pokok Tanaman Rakyat Bukan Kayu (HHBK), Jasa
memproduksi (HTR), Kemitraan Lingkungan (Jasling) yang
hasil hutan) Kehutanan meliputi wisata; pemanfaatan air
dan aliran air; konservasi
keanekaragaman hayati termasuk
keanekaragaman hayati tingkat
genetik, jenis flora dan fauna,
serta ekosistem; penyerapan dan
penyimpanan karbon.
Pengelola Persetujuan
Perhutanan Sosial diizinkan untuk
melakukan kegiatan budidaya
tanaman.
Hutan Lindung Hutan Desa (HD), Pengelola Persetujuan
(kawasan hutan Hutan Perhutanan Sosial dapat
yang Kemasyarakatan melakukan pemanfaatan Hasil
mempunyai (HKm), Kemitraan Hutan Bukan Kayu (HHBK)
fungsi pokok Kehutanan tertentu seperti madu, getah,
sebagai buah, biji, jamu, daun, bunga,
perlindungan sarang burung walet dengan
sistem aturan yang telah ditetapkan;
penyangga pemanfaatan jasa lingkungan
kehidupan untuk yang berupa pemanfaatan air
mengatur tata untuk kebutuhan masyarakat
air, mencegah setempat, rehabilitasi hutan,
banjir, penyerapan /penyimpanan
mengendalikan karbon. Kegiatan

38
erosi, mencegah budidaya yang diizinkan meliputi
intrusi air laut, budidaya tanaman obat, tanaman
dan memelihara hias; jamur; lebah; budidaya
kesuburan hijauan pakan ternak; buah-
tanah) buahan dan biji-bijian; tanaman
atsiri; tanaman nira, penangkaran
satwa liar, rehabilitasi satwa liar
yang dilakukan ketentuan antara
lain: tidak mengurangi,
mengubah, atau menghilangkan
fungsi utamanya; tidak
menimbulkan dampak negatif
terhadap biofisik dan sosial
ekonomi; tidak menggunakan
peralatan mekanis dan alat berat;
dan tidak membangun sarana
dan prasarana yang mengubah
bentang alam.
Hutan Kemitraan Pengelola Persetujuan
Konservasi. Konservasi *) Perhutanan Sosial melakukan
Kawasan hutan pemanfaatan sesuai dengan
konservasi fungsi hutan konservasi yang
adalah kawasan telah ditetapkan dalam bentuk
hutan dengan Cagar Alam, Suaka Margasatwa;
ciri khas Taman Nasional, Taman Hutan
tertentu, yang Raya dan Taman Wisata Alam,
mempunyai serta Taman Buru dengan
fungsi pokok mengacu pada peraturan yang
pengawetan berlaku.
keanekaragaman
tumbuhan dan
satwa serta
ekosistemnya

39
Hutan Adat. Hutan Adat Pemanfaatan Hutan Adat
Hutan yang dilakukan oleh Masyarakat
berada dalam Hukum Adat (MHA) di lokasi
wilayah Persetujuan Perhutanan Sosial
Masyarakat dengan menjalankan prinsip
Hukum Adat pengelolaan hutan lestari;
(HMA) memanfaatkan Hutan Adat sesuai
dengan kearifan lokalnya;
mempertahankan fungsi Hutan
Adat; memanfaatkan Hutan Adat
sesuai fungsinya; memulihkan
dan meningkatkan fungsi hutan;
dan melakukan pengamanan dan
perlindungan terhadap Hutan
Adat, berupa perlindungan dari
kebakaran hutan dan lahan.

4. Pengelola Persetujuan Perhutanan Sosial

Penerima Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial dengan membentuk


Kelompok Perhutanan Sosial (KPS), KPS selanjutnya membentuk Kelompok
Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) untuk melaksanakan pengembangan usaha.
Dalam rangka mendorong dan memotivasi kemandirian usaha, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) KUPS dibagi menjadi 4 (empat)
kategori, yaitu:
(1) Kategori Biru bagi KUPS yang baru mendapatkan persetujuan
pengelolaan Perhutanan Sosial dengan potensi usaha sudah
teridentifikasi
(2) Kategori Perak/Silver, dimana KUPS sudah memenuhi kriteria
kategori biru sudah menyusun Rencana Kerja Perhutanan Sosial
(RKPS) dan sudah melakukan kegiatan usaha.
(3) Kategori Emas/Gold yaitu KUPS sudah memenuhi kriteria kategori
perak, telah memiliki unit usaha atas sarana wisata alam yang
dipasarkan, sudah memiliki modal (swadaya, hibah, dan/atau
pinjaman).

40
(4) Kategori Platinum, dimana KUPS sudah memenuhi kriteria emas,
sudah memiliki modal (swadaya, hibah, dan/atau pinjaman) dan
sudah memiliki pasar atau wisatawan nasional, regional dan
internasional.

KUPS dengan kategori emas dan platinum umumnya memiliki kemudahan


dalam mengakses permodalan, mengingat prasyarat administrasi seperti
AD/ART, status badan usaha umumnya sudah terpenuhi selain sudah
terdapat produk usaha.

Gambar 5. Kategori Kelompok Usaha Perhutanan Sosial

5. Pelaksanaan Pengelolaan Perhutanan Sosial Pasca Persetujuan

Kelompok pemegang Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial yang telah


membentuk Kelompok Perhutanan Sosial (KPS) dan KUPS untuk mengelola
dan melakukan pemanfaatan hutan didasarkan pada 3 (tiga) tata kelola yang
dapat mendukung tercapainya pengelolaan hutan berkelanjutan untuk
kesejahteraan masyarakat sekarang dan mendatang, tiga tata kelola tersebut
meliputi tata kelola kelembagaan, tata kelola kawasan dan tata kelola usaha,
di mana :

41
(1) Tata Kelola Kelembagaan
Kelompok Perhutanan Sosial (KPS) yang telah terbentuk dalam
mengelola areal Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial melakukan
kegiatan:
a) Penyusunan Rencana Kelola Perhutanan Sosial (RKPS) dan Rencana
Kerja Tahunan (RKT)
b) Penyusunan aturan main kelompok melalui Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga (AD/ART)
c) Pengurusan akta notaris dalam rangka meningkatkan status
kelembagaan KPS dan KUPS.
d) Penyusunan standar operasional administrasi, keuangan dan
pengelolaan aset,
e) Pembentukan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) dan
meningkatkan kelas KUPS berdasarkan pengembangan usahanya

(2) Tata Kelola Kawasan


Pengelolaan dan pengembangan kawasan hutan dan lingkungan
merupakan salah satu pondasi dasar dalam pengelolaan areal
Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial, pada tahapan ini KPS wajib
memastikan areal yang akan dikelola bebas dari konflik lahan, bebas dari
konflik pemanfaatan sumber daya kawasan, memiliki kepastian batas
dan kepastian ruang, serta memiliki perencanaan yang matang dan
realistis sesuai dengan sumber daya yang dimiliki. Tiga kegiatan utama
dalam pengelolaan kawasan hutan dan lingkungan meliputi:
a) Penandaan batas areal persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial,
termasuk menyelesaikan konflik tenurial dan konflik pemanfaatan
sumber daya alam
b) Pendataan potensi keanekaragaman hayati dan potensi
pengembangan usaha
c) Penyusunan dan penandaan ruang atau zonasi
d) Pengelolaan pengetahuan dalam kegiatan pengelolaan kawasan
e) Pemanfaatan kawasan, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK),
hasil hutan kayu (HHK) dan jasa lingkungan (Jasling)

42
(3) Tata Kelola Usaha
Program Perhutanan Sosial pada dasarnya memadukan antara
peningkatan kesejahteraan rakyat dan pelestarian hutan yang dapat
dilakukan melalui pengembangan produk dan jasa yang bersumber dari
hasil hutan untuk memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat.
Kegiatan kelola usaha yang dilakukan oleh KPS penerima Persetujuan
Pengelolaan Perhutanan Sosial meliputi:
a) penyusunan model usaha KUPS, baik model usaha berbasis
produk maupun usaha berbasis jasa
b) penyusunan bisnis plan atau rencana usaha
c) kerja sama usaha, baik kerja sama produksi, pengolahan,
sertifikasi maupun pemasaran
d) akses permodalan usaha, dari proses hulu sampai hilir
e) akses pasar dan pemasaran, baik pemasaran secara konvensional
maupun pemasaran secara modern atau digital

Gambar 6. Pasca Persetujuan KPS/KUPS dapat menerapkan Kelola Kelembagaan,


Kawasan dan Usaha

6. Pendampingan Perhutanan Sosial

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9 Tahun 2021


Tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial menyatakan bahwa masyarakat

43
yang telah mendapat akses kelola Perhutanan Sosial berhak mendapatkan
pendampingan. Pendampingan dimaksud meliputi kegiatan pendampingan
tata kelola kelembagaan, pendampingan tata kelola kawasan dan
pendampingan tata kelola usaha. Pendampingan diperlukan mengingat
adanya keterbatasan salah satunya terkait dengan keterbatasan kapasitas
dari penerima persetujuan dalam melakukan Pengelolaan Perhutanan Sosial
sesuai dengan aturan yang berlaku dan tujuan yang dicanangkan yaitu untuk
keberlangsungan ekonomi, sosial dan keberlanjutan pengelolaan lingkungan.

Pendampingan Perhutanan Sosial yang optimal harus menjadi sebuah proses


pembelajaran yang dapat mentransfer dan mentransformasi pengetahuan,
keahlian dan perubahan perilaku yang dapat mendukung proses pengelolaan
hutan secara berkelanjutan dari pendamping kepada pemegang
persetujuan/hak Perhutanan Sosial (KPS/KUPS, MHA). Pendampingan
Perhutanan Sosial dilakukan dengan strategi pemberdayaan masyarakat
yang memiliki tahapan-tahapan tertentu, untuk mempermudah proses
pendampingan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dibawah
Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, melalui
Direktorat Kemitraan Lingkungan telah menerbitkan Buku Panduan Teknis
Pendampingan Pengelolaan Perhutanan Sosial Pasca Persetujuan yang
terdiri dari 7 Seri, buku panduan tersebut dapat diakses melalui laman
goKUPS (KLHK). Berikut secara ringkas kegiatan pendampingan Pengelolaan
Perhutanan Sosial Pasca Persetujuan:

Tabel 3. Kegiatan Pendampingan Pengelolaan Perhutanan Sosial Pasca


Persetujuan

Tahapan
Pendampingan Kegiatan
Pendampingan tahap sosialisasi Persetujuan Pengelolaan Perhutanan
awal Sosial kepada pihak internal maupun eksternal,
pendataan potensi areal Perhutanan Sosial,
identifikasi potensi dampak lingkungan,

44
penguatan kelembagaan, dan peningkatan
kapasitas sumber daya manusia.

Pendampingan fasilitasi dan bimbingan teknis dalam penandaan


pengembangan batas pada ruang kelola Persetujuan Pengelolaan
pengelolaan Perhutanan Sosial; pembuatan dan penandaan
kawasan hutan dan ruang atau zonasi; penyusunan RKPS dan RKT.
lingkungan
Pendampingan kerja kerja sama dalam rangka penguatan kelembagaan
sama dan tata kelola kawasan; kerja sama dalam
peningkatan kapasitas SDM, KPS dan KUPS, untuk
penelitian sumber daya kawasan; dan kerja sama
dalam rangka pengembangan usaha.
Pendampingan akses persiapan pra akses permodalan; fasilitasi peluang
permodalan akses permodalan usaha; dan fasilitasi kerja sama
dengan badan usaha milik daerah, lembaga
keuangan daerah, mitra usaha, dan pihak lain
yang tidak mengikat
Pendampingan akses menyusun strategi mengakses pasar serta
pasar pemasaran produk dan jasa melalui media
elektronik/media sosial; membuat daftar produk
unggulan hasil Perhutanan Sosial; dan
memfasilitasi dalam pembangunan jejaring serta
dapat bekerja sama dengan para pihak terkait.
Pendampingan kegiatan pendokumentasian proses
pengelolaan Pendampingan mulai dari perencanaan,
pengetahuan implementasi atau pelaksanaan dan pemantauan,
publikasi/diseminasi dokumen pembelajaran
melalui elektronik/cetak kepada berbagai pihak

45
Pendampingan kegiatan pemantauan kesesuaian antara
pemantauan dan perencanaan dan pelaksanaan RKPS, perubahan
evaluasi. yang terjadi, hambatan, dan tantangan

Pendampingan dilakukan oleh pendamping yang dapat berasal dari:


a) Penyuluh kehutanan pegawai g) Lembaga Swadaya
negeri sipil; Masyarakat;
b) Penyuluh kehutanan swadaya h) Organisasi Masyarakat;
masyarakat; i) Praktisi;
c) Bakti rimbawan; j) Akademisi; dan/atau
d) Penyuluh kementerian/lembaga k) Tokoh Masyarakat atau
terkait; tokoh adat
e) Penyuluh kehutanan swasta;
f) Badan Usaha Milik Negara;

Pendamping menjadi salah satu kunci utama kesuksesan Perhutanan Sosial,


pendamping dapat berperan sebagai mediator, fasilitator, inovator, mentor
maupun teman diskusi KPS/KUPS.

7. Pengarusutamaan Gender dalam Perhutanan Sosial

Program Perhutanan Sosial yang menjadi salah satu program prioritas


nasional yang strategis dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional
adil gender, yang diperkuat dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial
yang di dalamnya menegaskan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan memberikan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan
perempuan dalam akses kelola hutan yang dijabarkan pada Pasal 1 (26)
bahwa “Masyarakat setempat adalah kesatuan sosial yang terdiri dari warga
masyarakat baik perempuan dan laki-laki yang tinggal di sekitar kawasan
hutan dibuktikan dengan kartu tanda penduduk yang bermukim dan/atau
mengelola di dalam kawasan hutan negara dibuktikan dengan memiliki
komunitas sosial berupa riwayat pengelolaan kawasan hutan dan
bergantung pada hutan”. Bahkan kesetaraan gender menjadi salah satu

46
kriteria dari aspek sosial dalam Evaluasi Pengelolaan Perhutanan Sosial (Pasal
189 (4)).

Pengarusutamaan Gender dalam Perhutanan Sosial perlu mendapatkan


dukungan dari berbagai pihak, mengingat Pengarusutamaan Gender juga
telah diamanatkan dalam Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional.
Pengarusutamaan Gender muncul sebagai strategi untuk menjawab
kesenjangan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat pembangunan antara
perempuan dan laki-laki. Kesenjangan gender antara perempuan dan laki-
laki merupakan akibat dari pembangunan yang netral gender dan bias
gender. Hal ini terjadi lebih disebabkan pada suatu anggapan ketika
berbicara tentang masyarakat, berarti sudah mencakup perempuan dan laki-
laki. Disisi lain, persoalan yang dihadapi dan pengalaman perempuan dan
laki-laki dalam pembangunan berbeda dan masing-masing memiliki
kebutuhan spesifik sesuai dengan kapasitasnya. Pada perkembangannya,
pelaksanaan PUG sudah tidak terbatas pada upaya untuk menghapuskan
kesenjangan antara laki-laki dan perempuan, namun juga meningkatkan
inklusi sosial kelompok marginal lainnya dan juga mengatasi kesenjangan
akses, partisipasi, kontrol dan manfaat pembangunan bagi anak, generasi
muda, lansia, penyandang disabilitas, masyarakat adat dan kelompok
lainnya.

C. Pelaksanaan Program Corporate Social Responsibility (CSR) dalam


Perhutanan Sosial

1. Ruang Lingkup CSR dalam Perhutanan Sosial

Ruang lingkup Program CSR dalam Perhutanan Sosial mengacu pada


Pengelolaan Perhutanan Sosial Pasca Persetujuan yang dituangkan dalam
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 9 Tahun 2021
tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial. Ruang lingkup dari CSR dalam
Perhutanan Sosial mencakup 3 (tiga) komponen :

47
Gambar 7. Lingkup CSR dalam Pengelolaan Perhutanan Sosial Paska Persetujuan

(1) Pendampingan Semua Aspek Pengelolaan Perhutanan Sosial Pasca


Persetujuan

Program CSR yang dikembangkan dapat mendukung pelaksanaan


pendampingan Pengelolaan Perhutanan Sosial Pasca Persetujuan meliputi :
a. Penguatan kapasitas lembaga dan anggota KPS/KUPS, terutama
fokus pada penguatan kapasitas sumberdaya manusia baik laki-laki
dan perempuan serta kelompok dalam rangka meningkatkan
kemampuan anggota dan kelompok untuk melakukan:
a) Pendataan potensi areal Perhutanan Sosial baik potensi
sumberdaya alam maupun potensi sosial termasuk konflik sosial
maupun sumberdaya alam lain sebagainya

48
b) Identifikasi potensi dampak lingkungan
c) Sosialiasi kepada para pihak pemangku kepentingan (internal
anggota KPS, eksternal masyarakat sekitar, pemerintahan desa,
dan institusi lain di sekitar)
d) Penyusunan Rencana Kelola Perhutanan Sosial (RKPS) dan
Rencana Kerja Tahunan (RKT); penyusunan aturan main
kelompok; standard operasional administrasi, keuangan dan
pengelolaan aset; legalitas kelompok dalam bentuk akte notaris;
b. Penguatan kelola kawasan, meliputi:
a) Fasilitasi penandaan batas areal persetujuan
b) Fasilitasi dalam melakukan pendataan potensi keanekaragaman
hayati,
c) Fasilitasi penyusunan dan penandaan ruang atau zonasi
d) Penyusunan Rencana Kelola Perhutanan Sosial dan Rencana
Kerja Tahunan
e) Fasilitasi mengatasi konflik tenurial dan konflik pemanfaatan
sumberdaya alam paska di areal paska mendapatkan
persetujuan
f) Fasilitasi pemanfaatan kawasan, pemanfaatan hasil hutan bukan
kayu (HHBK), hasil hutan kayu (HHK) dan jasa lingkungan (Jasling)
c. Penguatan kelola usaha
a) Penyusunan model usaha KUPS, baik model usaha berbasis
produk maupun usaha berbasis jasa
b) Penyusunan bisnis plan atau rencana usaha
c) Kerja sama usaha, baik kerja sama produksi, pengolahan,
sertifikasi maupun pemasaran
d) Akses permodalan usaha, dari proses hulu sampai hilir
e) Akses pasar dan pemasaran, baik pemasaran secara
konvensional maupun pemasaran secara modern atau digital
f) Kerja sama dalam rangka penguatan kelembagaan dan tata
kelola kawasan; kerja sama dalam peningkatan kapasitas SDM,
KPS dan KUPS, untuk penelitian sumber daya kawasan; dan kerja
sama dalam rangka pengembangan usaha.
g) Persiapan pra akses permodalan; fasilitasi peluang akses
permodalan usaha; dan fasilitasi kerja sama dengan Badan

49
Usaha Milik Daerah, lembaga keuangan daerah, mitra usaha, dan
pihak lain yang tidak mengikat
h) Menyusun strategi mengakses pasar dan pemasaran produk dan
jasa melalui media elektronik/media sosial; membuat daftar
produk unggulan hasil Perhutanan Sosial; dan memfasilitasi
dalam pembangunan jejaring serta dapat bekerja sama dengan
para pihak terkait.
d. Pengelolaan Pengetahuan
Proses pendampingan KPS/KUPS menghasilkan informasi dan
pengetahuan yang dapat disebarluaskan kepada berbagai pihak
sebagai bahan pembelajaran untuk diterapkan pada program serupa
di lokasi yang berbeda. Pengelolaan pengetahuan merupakan proses
yang dimulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan.
Pendamping tidak hanya mendokumentasikan satu tahapan proses
pendampingan, namun mendokumentasikan semua proses baik di
tata kelola kelembagaan, kelola kawasan sampai kelola usaha.
Program CSR dapat mendukung proses pendokumentasian dan
publikasi dalam Pengelolaan Perhutanan Sosial Pasca Persetujuan
baik dalam bentuk cetak, audio visual maupun bentuk lainnya yang
dapat disebarluaskan sebagai bagian dari pembelajaran.
e. Monitoring dan Evaluasi
Pemantauan atau monitoring adalah kegiatan mengamati secara
seksama suatu keadaan atau kondisi, termasuk juga perilaku atau
kegiatan tertentu, dengan tujuan agar semua data atau informasi
yang diperoleh dari hasil pengamatan tersebut dapat menjadi
landasan dalam mengambil keputusan tindakan selanjutnya.
Evaluasi adalah kegiatan penilaian terhadap sebuah program yang
direncanakan, sedang berlangsung ataupun yang telah diselesaikan.

Monitoring dan evaluasi Pengelolaan Perhutanan Sosial Pasca


Persetujuan dilakukan secara berkala dengan memperhatikan:
a) Perubahan yang telah terjadi sesuai dengan yang
direncanakan,
b) Kesesuaian dengan rencana kerja kelompok,
c) Hambatan dan tantangan,
d) Upaya - upaya perbaikan

50
Kegiatan monitoring dan evaluasi dalam Program Perhutanan Sosial Pasca
Persetujuan mengacu pada kriteria keberhasilan Perhutanan Sosial sesuai
dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 9 Tahun 2021 Tentang
Pengelolaan Perhutanan Sosial agar perencanaan yang disusun dapat
berkontribusi terhadap aspek sosial, ekonomi dan lingkungan dengan kriteria
keberhasilan yang telah disusun.

Gambar 8. Aspek dan Kriteria Keberhasilan Pengelolaan Perhutanan Sosial

(2) Pengelolaan pencemaran lingkungan dan sampah untuk


pengembangan ekonomi berkelanjutan (circular economy) di areal
Pengelolaan Perhutanan Sosial Pasca Persetujuan

Upaya mengatasi dan mencegah terjadinya pencemaran yang berdampak


langsung terhadap areal Pengelolaann Perhutanan Sosial menjadi bagian
penting termasuk upaya mengurangi dan mengelola sampah yang dilakukan
melalui kegiatan-kegiatan penyadartahuan, peningkatan ketrampilan,
mengelola lingkungan dan kewirausahaan berbasis lingkungan diharapkan
memberikan dampak positif terhadap lingkungan dan peningkatan ekonomi
masyarakat pemegang persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial.
Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan untuk mencegah pencemaran

51
antara lain: pengurangan sampah plastik dengan mengganti media
pembibitan dari plastik dengan bahan lokal yang dapat diuraikan secara
alami, misalkan kulit batang pisang, anyaman dari pandan atau bahan baku
lokal lain yang terdapat di lokasi; pencegahan pencemaran air dapat
dilakukan dengan menerapkan sistem wana tani ekologis yang menggunakan
bahan organik mulai dari pupuk, pembasmi hama alami, dan sebagainya.

(3) Pengembangan imbal jasa lingkungan di areal Pengelolaan


Perhutanan Sosial Pasca Persetujuan

Kegiatan pengembangan imbal jasa lingkungan di areal Pengelolaan


Perhutanan Sosial Paska Persetujuan meliputi :
a. Pemanfaatan jasa aliran air, melalui kegiatan pengembangan energi
terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga mikro hidro untuk
mencukupi kebutuhan energi listrik di desa-desa areal Persetujuan
Pengelolaan Perhutanan Sosial;
b. Pemanfaatan air, salah satunya dapat dilakukan dengan kegiatan
pemanfaatan dan pengelolaan air bersih untuk konsumsi
masyarakat.
c. Wisata alam, dilakukan melalui pengembangan wisata alam yang
edukatif dan ramah lingkungan yang mendukung pengelolaan areal
hutan secara berkelanjutan
d. Perlindungan keanekaragaman hayati, dapat dilakukan dalam upaya
perlindungan keanekaragaman hayati dari berbagai ancaman
kerusakan dan perburuan, atau perlindungan sumber daya genetik,
jenis flora dan fauna yang berada di lokasi Perhutanan Sosial.
e. Pemulihan lingkungan, dapat dilakukan sesuai dengan kondisi areal
Pengelolaan Perhutanan Sosial Paska Persetujuan di lokasi masing-
masing, melalui kegiatan antara lain pemulihan atau restorasi
ekosistem misalnya restorasi ekosistem gambut, restorasi ekosistem
mangrove, reklamasi bekas pertambangan rakyat, pemulihan yang
diakibatkan oleh pencemaran lingkungan atau bentuk pemulihan
lainnya sesuai dengan kebutuhan di lokasi Perhutanan Sosial, dimana
dampak dari kegiatan pemulihan tersebut tidak hanya berdampak
positif terhadap lingkungan akan tetapi juga berdampak kepada

52
masyarakat setempat, baik manfaat langsung secara ekonomi
maupun manfaat tidak langsung dalam bentuk jasa lingkungan.
f. Penyerapan dan penyimpanan karbon, kegiatan yang dikembangkan
mengacu pada peraturan yang berlaku terkait dengan usaha
peningkatan cadangan karbon di lokasi Pengelolaan Perhutanan
Sosial Pasca Persetujuan.

2. Tahapan Pelaksanaan CSR dalam Pengelolaan Perhutanan Sosial


Pasca Persetujuan

Perusahaan untuk menyelengarakan program CSR di areal Pengelolaan


Perhutanan Sosial Pasca Persetujuan sebelum melaksanakan tahapan
kegiatan, memperhatikan model pelaksanaan yang akan diterapkan, konsep
Community Development (ComDev) yang menjadi ruh penerapan program
CSR serta bentuk dukungan program CSR dalam Perhutanan Sosial menjadi
pertimbangan. Berikut penjelasannya:

(1) Model Pelaksanaan

Pelaksanan CSR dalam Perhutanan Sosial dapat dilakukan dengan mengacu


pada 4 model pelaksanaan berikut :
a. Keterlibatan langsung perusahaan. Pada model ini, perusahaan
menyelenggarakan sendiri kegiatan CSR. Biasanya pelaksana
program pada bagian/divisi public relations, public affair, atau bagian
lain sesuai dengan kebijakan yang berlaku di perusahaan.
b. Melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan. Model ini
umumnya perusahaan mendirikan yayasan sendiri dan berada
dibawa bawah perusahaan atau grup perusahaan. Perusahaan
umumnya telah merencanakan sejak awal dengan menyusun
anggaran dana yang terdiri dari dana awal, dana rutin, atau dana
abadi yang dapat digunakan secara teratur oleh yayasan tersebut.
c. Bermitra dengan pihak lain. Perusahaan menyelenggarakan CSR
melalui kerjasama dengan lembaga sosial/organisasi non-
pemerintah (NGO/LSM), perguruan tinggi atau media massa, baik
dalam mengelola dana maupun dalam melaksanakan kegiatan CSR.

53
d. Bergabung dalam konsorsium. Perusahaan turut mendirikan,
menjadi anggota atau mendukung suatu lembaga sosial yang
didirikan secara bersama-sama dengan perusahaan lain untuk tujuan
sosial tertentu. Pihak konsorsium tersebut yang dipercayai oleh
perusahaan-perusahaan yang mendukungnya untuuk secara aktif
mencari mitra kerjasama dari kalangan lembaga operasional dan
kemudian mengembangkan program yang disepakati bersama.

(2) Pengembangan Masyarakat (Community Development)

Program CSR umumnya dilaksanakan melalui Pengembangan Masyarakat


(Community Development – ComDev) yaitu model pengembangan
masyarakat yang menekankan pada partisipasi penuh seluruh warga
masyarakat yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi kehidupan
masyarakat serta memberdayakan mereka untuk mampu bersatu dan
mandiri.

Prinsip dasar dalam melaksanakan Community Development, diantaranya :


a. Pengembangan Terintegrasi (Integrated development)
Program ComDev harus mencakup aspek sosial, ekonomi, politik,
budaya, lingkungan, dan personal/spiritual.
b. Keberlanjutan (Sustainability)
Program ComDev mengoptimalkan penggunaan sumber daya lokal
baik sumberdaya alam, sosial, termasuk sumberdaya manusia secara
berkelanjutan, salah satunya untuk menghilangkan ketergantungan
masyarakat pada pihak luar sehingga membuat program bisa
berkelanjutan.
c. Pemberdayaan (Empowerment)
Program ComDev menyediakan sumber daya/dana, kesempatan,
pengetahuan, dan keterampilan dalam meningkatkan kapasitas
warga masyarakat untuk menentukan masa depannya sendiri, serta
berpartisipasi dalam dan mempengaruhi kehidupan masyarakatnya.
d. Pengembangan Masyarakat (Communtiy building)
ComDev diharapkan menguatkan interaksi sosial masyarakat,
kebersamaan warga masyarakat, membantu masyarakat untuk

54
berkomunikasi satu sama lain yang dapat menimbulkan adanya
dialog, kesepahaman, dan tindakan sosial bersama.
e. Proses dan Capaian (Process and outcome)
Proses menentukan hasil; Proses dan hasil harus terintegrasi. Proses
harus merefleksikan hasil; terlalu berkonsentrasi pada proses dapat
menyebabkan pencapaian hasil terabaikan.
f. Inklusivitas (Inclusiveness)
Proses harus mencari cara untuk menyertakan semua orang,
walaupun bertentangan tetap harus dihargai dan diberikan
kesempatan untuk berubah
g. Konsesnsus (Consensus)
Proses ComDev dibangun atas dasar konsensus; dengan adanya
kesepakatan.
h. Partisipasi (Participation)
ComDev harus selalu berupaya memaksimalkan partisipasi dengan
tujuan membuat semua orang terlibat secara aktif dalam proses
i. Mendefinisikan kebutuhan (Defining need)
ComDev harus dapat mendorong masyarakat dapat mendefinisikan
dan mengidentifikasi kebutuhannya dan menyepakati bersama.
j. Responsif Gender (Gender Responsive)
Program ComDev harus memberikan perhatian yang konsisten dan
sistematis terhadap perbedaan-perbedaan perempuan dan laki-laki
di dalam masyarakat yang disertai upaya menghapus hambatan-
hambatan struktural dan kultural untuk mencapai kesetaraan
gender.

Tahapan pelaksanaan ComDev merujuk pada ISO 26000 dilakukan melalui


rangkaian kegiatan sebagai berikut:
a. Pemetaan atau riset sosial ekonomi, termasuk pemetaan sosial
b. Perencanaan program CSR bersama masyarakat (partisipatif).
c. Pembentukan lembaga kolaboratif.
d. Implementasi program CSR ke arah transformasi, dengan
pendampingan.
e. Inovasi dan penguatan sumber daya lokal.
f. Monitoring dan evaluasi, pelaporan program CSR.

55
Sebagai catatan tahapan pelaksanaan ComDev tersebut memiliki kesesuaian
dengan butir-butir tahapan Pendampingan Pengelolaan Perhutanan Sosial
Paska Persetujuan.

(3) Bentuk Dukungan Program CSR

Berdasarkan tata kelola Pengelolaan Perhutanan Sosial bentuk dukungan


yang dapat dilakukan melalui program CSR di areal Pengelolaan Perhutanan
Sosial Pasca Persetujuan dapat dikelompokan dalam bentuk dukungan
sebagai berikut:

a. Peningkatan Kapasitas
Peningkatan kapasitas dalam program CSR dapat berbentuk
peningkatan pengetahuan, ketrampilan, kemampuan, proses, sumber
daya yang dibutuhkan organisasi dan komunitas untuk bertahan dan
beradaptasi serta berkembang dalam mengelola Perhutanan Sosial.
Peningkatan kapasitas dalam program CSR dapat berupa penerapan
Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) yang mendorong meningkatkan
pengetahuan, membangkitkan kesadaran, kepedulian dan perubahan
perilaku; pelatihan dan praktik untuk meningkatkan keterampilan
terkait Pengelolaan Perhutanan Sosial baik di bidang teknis pengelolaan
sumber daya alam terutama hutan, administrasi dan keuangan,
pemasaran, serta bidang yang dibutuhkan lainnya sesuai dengan
kebutuhan dalam tata kelola Perhutanan Sosial dan isu tematik yang ada
di lokasi Perhutanan Sosial; bahkan pelatihan kepemimpinan lingkungan
untuk generasi muda dan gender perlu mendapatkan perhatian; serta
pelatihan terkait pengelolaan pengetahuan yang dapat memperkuat
individu dan kelompok pengelola Perhutanan Sosial dan masyarakat
sekitar termasuk pelatihan pendokumentasian, pembuatan video, dan
lain-lain.

b. Dukungan Sarana dan Prasarana


Dalam mengelola areal hutan Perhutanan Sosial Pasca Persetujuan,
dukungan peralatan, sarana dan prasana sangat dibutuhkan disetiap

56
tahapan pengelolaan Perhutanan Sosial, dukungan tersebut antara lain
dapat berupa:
a) Peralatan untuk menunjang administrasi dan keuangan, mengolah
data, seperti laptop/PC; Printer; Software keuangan, peralatan
survei.
b) Peralatan yang dapat menunjang pengelolaan hasil hutan kayu
(HHK) dan hasil hutan bukan kayu (HHBK), sebagai contoh mesin
pengupas dan penggiling kopi, alat penyulingan untuk produk atsiri,
alat produksi untuk mengolah tumbuhan obat, bahkan pewarna
alami, pengembangan produksi jamur, dsb.
c) Peralatan dana sarana untuk pengelolaan sampah dan mengatasi
pencemaran, konservasi keanekaragaman hayati, sebagai contoh
peralatan pembuatan kompos, pembenihan jenis endemik/langka,
dan sebagainya.
d) Peralatan dan sarana pendukung pengembangan imbal jasa
lingkungan, sebagai contoh mikro hidro, sarana penunjang wisata
alam yang ramah lingkungan seperti tempat sampah, papan
interpretasi, dan sebagainya.

c. Dukungan akses permodalan dan pasar


Dukungan dalam pemanfaatan hasil hutan dan jasa lingkungan menjadi
produk yang bernilai ekonomi sangat dibutuhkan oleh KPS/KUPS,
bentuk dukungan tersebut dapat berupa:
a) Modal (hibah/pinjaman) untuk mengelola usaha dalam
pemanfaatan hasil hutan, misalkan modal untuk usaha
pengembangan produk dari tanaman obat yang dihasilkan,
kerajinan, produk olahan makanan dari hasil hutan, dsb. Modal
juga dibutuhkan dalam mengelola usaha wisata alam.
b) Akses Pasar dibutuhkan untuk menghubungkan penjualan produk
yang dihasilkan misalkan pengembangan start up, akses ke pasar
nasional, internasional dan sebagainya.

d. Dukungan Pengelolaan Pengetahuan


Proses pendampingan KPS/KUPS menghasilkan informasi dan
pengetahuan yang dapat disebarluaskan kepada berbagai pihak sebagai

57
bahan pembelajaran untuk diterapkan pada program serupa di lokasi
yang berbeda. Pengelolaan pengetahuan merupakan proses yang
dimulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan. Program CSR
diharapkan dapat mendukung proses pendokumentasian dan publikasi
dalam Pengelolaan Perhutanan Sosial baik dalam proses maupun
pembuatan dan sosialisasi hasil seperti bentuk cetak, audio visual, dan
sebagianya.

D. Tahapan Pelaksanaan Program CSR dalam Perhutanan Sosial

Langkah-langkah pelaksanaan Program CSR dalam Perhutanan Sosial dapat


mengikuti tahapan berikut:

Gambar 9. Tahapan Pelaksanaan CSR dalam Perhutanan Sosial

58
(1) Penjajakan kesesuaian program CSR perusahaan dengan Perhutanan
Sosial

Langkah penjajakan kesesuaian program CSR perusahaan dengan Program


Pengelolaan Perhutanan Sosial Paska Persetujuan, dapat dilakukan oleh
perusahaan melalui penggalian informasi, data program Perhutanan Sosial,
melalui:
• Mengakses laman goKUPS Kementerian LIngkungan Hidup dan
Kehutanan. goKUPS merupakan sistem informasi Perhutanan Sosial
terintegrasi berbasis elektronik (Online & Real Time) yang berfungsi
sebagai Sistem Register Nasional Perhutanan Sosial, updating data,
monitoring, evaluasi, sumber informasi dan publikasi kinerja
Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, dapat diakses melalui
tautan: https://gokups.menlhk.go.id, Perusahaan dapat mengakses
informasi terkait:
a) Lokasi Program Perhutanan Sosial
b) Kelompok pengelola Perhutanan Sosial (KPS/KUPS) serta
kategori kelas KUPS
c) Jenis komuditas dan produk Perhutanan Sosial
d) Luasan masing-masing persetujuan
e) Publikasi terkait Perhutanan Sosial
f) Dan sebagianya
• Direktorat Kemitraan Lingkungan, Direktorat Jenderal Perhutanan
Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL), Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan, terlebih bila laman GoKUPS sedang tidak
dapat diakses. Perusahaan dapat menggali dan memastikan
informasi terkait lokasi, kondisi, situasi dan informasi lain yang
dibutuhkan perusahaan, sekaligus mendapatkan arahan langsung.
• Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSK) yang ada
di lima (5) region yaitu Wilayah Sumatera, Wilayah Kalimantan,
Wilayah Jawa-Bali-Nusa Tenggara Barat-Nusa Tenggara Timur,
Wilayah Sulawesi, dan Wilayah Maluku – Papua;
• Dinas yang membidangi kehutanan atau lingkungan hidup di lokasi
(kabupaten, provinsi)
• Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Soisal (Pokja PPS), dan

59
• Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH)

Dari proses penjajakan yang dilakukan perusahaan dapat mengkaji


Kesesuaian program Perhutanan Sosial dengan kebijakan program CSR
perusahaan dari:
a) Lokasi Perhutanan Sosial
b) Model kerjasama, pilihan model kerjasama dapat mengacu pada
model pelaksanaan program CSR yang diterapkan perusahan,
apakah model kerjasama langsung dengan masyarakat (KPS/KUPS),
melalui mitra lain yaitu LSM/yayasan atau pendamping Perhutanan
Sosial yang ada di lokasi, atau membentuk konsorsium.
c) Bentuk dukungan dan program atau kegiatan yang akan dilakukan,
berdasarkan kondisi dari KPS/KUPS salah satunya dengan melihat
Peta Capaian KUPS (Biru, Perak, Emas, Platinum) mengacu pada
ketercapaian usaha yang dilakukan KUPS salah satunya dari produk
hasil hutan yang dihasilkan tingkat skala pemasaran, apakah sudah
mencapai pasar internasional/global atau baru lokal atau nasional.
Untuk KPS dapat dilihat dari tahun pemberian izin, umumnya untuk
persiapan tata kelola kelembagaan dan kawasan sangat diperlukan
pada tahap awal pasca persetujuan.

(2) Penentuan Lokasi


Berdasarkan penjajakan dan penggalian informasi, perusahaan dapat
memutuskan lokasi areal Pasca Persetujuan Perhutanan Sosial sebagai
lokasi program CSR yang sesuai dengan kebijakan perusahaan.

(3) Komunikasi dengan Kelompok Sasaran/Mitra


Perusahaan dapat membuka komunikasi awal sebaiknya dengan
pendamping (bila di lokasi yang ditentukan sudah ada pendamping) atau
langsung dengan KPS/KUPS dalam melengkapi informasi dan data-data
yang diperlukan, memahami minat dan peluang kerjasama yang sesuai
dengan kebutuhan pemegang persetujuan

60
(4) Menentukan Model Pelaksanaan
Berdasarkan penjajakan awal yang dilakukan, perusahaan dapat
menentukan model pelaksanaan program CSR yang akan dilakukan di
lokasi Pasca Persetujuan Perhutanan Sosial yang telah ditentukan sesuai
situasi dan kondisi serta kebijakan internal perusahaan. Sebaiknya
apapun model pelaksanaan yang dipilih, perusahaan dapat
mengoptimalkan Pendamping Perhutanan Sosial yang ada di lokasi.

(5) Menentukan Bentuk Dukungan


Penentuan bentuk dukungan dilakukan berdasarkan skala prioritas
kebutuhan di tingkat KPS/KUPS atau masyarakat di lokasi yang
ditentukan dan disesuaikan dengan kebijakan perusahaan, bahkan
perusahaan dapat mendukung semua bentuk baik peningkatan
kapasitas, sarana dan prasana, modal dan akses pasar, serta
pengelolaan pengetahuan.

(6) Menyusun Kerangka Program CSR


Mengingat program Perhutanan Sosial memberikan persetujuan
pengelolaan dalam jangka waktu cukup panjang yaitu 35 tahun dan
bahkan dapat diperpanjang satu kali, perusahaan dapat menyusun
kerangka program CSR dalam Perhutanan Sosial dalam jangka panjang
yang berkelanjutan atau menyusun Roadmap CSR dalam Perhutanan
Sosial. Pada tahap ini perusahaan dapat merumuskan rencana program
CSR bidang Perhutanan Sosial yang terintegrasi dan berkelanjutan.
Tahapan perencanaan dapat merujuk pada perencanaan CSR yang
umum yaitu:
a. Perumusan visi, misi dan kebijakan.
b. Proses bisnis dan analisis dampak.
c. Pelibatan pemangku kepentingan.
d. Komplemen terhadap program pemerintah. Termasuk dalam
perencanaan ini perusahaan dapat mengintergrasikan program
CSR Perhutanan Sosial dengan PROPER.
e. Tujuan, sasaran, dan indikator.
f. Program.
g. Pemantauan dan Evaluasi.

61
Apabila program CSR dalam Perhutanan Sosial hanya akan mendukung
elemen tertentu saja dalam pelaksanaan Pasca Persetujuan Perhutanan
Sosial sebaiknya perusahaan tetap menyusun Kerangka Program CSR
yang berkelanjutan sesuai dengan kebijakan perusahaan.

(7) Menyepakati bentuk kerjasama CSR


Apabila perusahaan sudah menentukan model pelaksanan dengan
mitra kerja, yang dilihat dari kecocokan visi, misi serta kebutuhan kedua
belah pihak, maka sebaiknya dibuat butir-butir kesepahaman dan
kesepakatan yang dituangkan dalam naskah perjanjian kerjasama.
Sebaiknya perusahaan juga menginformasikan mitra kerja, lokasi dan
bentuk program kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
agar dapat bersinergi dan terbaharui informasinya di KLHK.

(8) Pelaksanaan CSR


Sebaiknya perusahan atau mitra pelaksana menyusun terlebih dahulu
rencana kerja /proposal kegiatan secara SMART (Specific, Measurable,
Achievable, Relevant and Timebound) yaitu spesifik, terukur, dapat
tercapai, sesuai dan memiliki batas waktu tertentu, yang memuat
rencana kegiatan secara terinci, indikator capaian kegiatan, rencana
jadwal kegiatan, rencana anggaran, tim kerja.

(9) Pemantauan, Evaluasi, dan Pelaporan


Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan menjadi bagian tidak terpisahkan
dari tahapan pelaksanaan program CSR dalam Perhutanan Sosial.
Pemantauan dilakukan secara berkala selama berlangsungnya program,
dan evaluasi dilakukan untuk menilai secara keseluruhan apakah
pelaksanaan program CSR tersebut dilakukan sesuai rencana atau
ketentuan yang telah disusun sebelumnya. Evaluasi menjadi alat ukur
untuk melihat berhasil atau tidaknya program yang telah dilaksanakan.

Kerangka Monitoring dan evaluasi dari program CSR dalam Perhutanan


Sosial dapat merujuk pada Indikator Keberhasilan Perhutan Sosial,
sehingga hasil kegiatan program CSR dalam Perhutanan Sosial dapat

62
berkontribusi dan mendukung pembaharuan data terkini dalam laman
goKUPS.

E. Rambu-Rambu Penyelenggaraan CSR dalam Perhutanan Sosial

Penyelenggaraan Program CSR dalam Perhutanan Sosial di areal paska


persetujuan wajib mengikuti ketentuan dan peraturan yang berlaku, sebagai
berikut:

(1) Program CSR dalam Perhutanan Sosial wajib menjalankan prinsip


pengelolaan hutan lestari;
(2) Areal Paska Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial tidak
dipindahtangankan, diagunkan, disewakan dan digunakan untuk
kepentingan lain diluar yang telah ditetapkan dalam peraturan
Perhutanan Sosial yang berlaku;
(3) Pada areal Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial dengan
fungsi kawasan hutan lindung termasuk di areal Persetujuan Hutan
Adat fungsi lindung, dilarang untuk:
a) membuka lahan baru
b) menebang pohon
c) menggunakan peralatan mekanis
d) membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang
alam;
(4) Tidak mengubah status dan fungsi Hutan Adat;
(5) Tidak boleh menanam kelapa sawit baru di lokasi persetujuan
pengelolaan Perhutanan Sosial;
(6) Tidak boleh membuka lahan baru/land clearing pada areal
Ekosistem Gambut untuk tanaman tertentu;
(7) Tidak boleh membuat saluran drainase yang mengakibatkan
gambut menjadi kering;
(8) Tidak boleh membakar lahan Gambut dan/atau melakukan
pembiaran terjadinya pembakaran;
(9) Melakukan kegiatan lain yang mengakibatkan terlampauinya
kriteria baku kerusakan ekosistem gambut;

63
(10) Pelaksanaan program CSR di area Skema Persetujuan Kemitraan
Konservasi program harus memperhatikan regulasi yang berlaku di
kawasan konservasi tersebut.

Gambar 10. Rambu-rambu Penyelenggaraan CSR dalam Perhutanan Sosial

64
BAB IV
PERAN PEMERINTAH DALAM PENYELENGGARAAN
PROGRAM CSR DALAM PERHUTANAN SOSIAL

Dalam studi Bank Dunia yang dilakukan Howard Fox tahun 2022, menyatakan
bahwa peran pemerintah terkait dengan CSR meliputi pengembangan
kebijakan yang menyehatkan pasar, keikutsertaan sumber daya, dukungan
politik bagi pelaku CSR, menciptakan insentif dan peningkatan kemampuan
organisasi.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada penyelenggaraan


program CSR dalam Perhutanan Sosial memiliki peran penting yang saling
bersinergi dan melengkapi. Merujuk pada hasil studi Bank Dunia tersebut
kebijakan yang yang berlaku khususnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 15 Tahun 2021
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, peran pemerintah tersebut antara lain:

(1) Pengembangan kebijakan, salah satunya Pedoman CSR dalam


Perhutanan Sosial ini dapat menjadi rujukan dalam Program
Kemitraan Lingkungan khususnya perusahaan (dunia usaha) sebagai
salah satu mitra strategis dalam pelaksanaan Pengelolaan
Perhutanan Sosial.

(2) Kanal komunikasi - penyedian layanan informasi dan komunikasi.


terkait program CSR pemerintah dalam hal ini KLHK berperan dalam
menyediakan informasi terkait Perhutanan Sosial, informasi tersebut
dapat diakses langsung, maupun online. Bahkan sebelumnya KLH
sudah pernah mengembangkan Forum CSR sebagai wadah
komunikasi dan berbagi pengalaman serta menjadi media

65
pembelajaran bersama perusahaan. Di Direktorat Kemitraan
Lingkungan saat ini sudah terbangun Kanal Komunikasi yang
menfasilitasi para pihak untuk berkomunikasi dan menjalin
kemitraan, Forum CSR sangat diperlukan menjadi salah satu bagian
dari Kanal Komunikasi untuk kalangan dunia usaha. Perusahaan
dapat memperoleh informasi seputar Perhutanan Sosial berikut
beberapa berikut pihak-pihak yang dapat dihubungi sebelum
melakukan kemitraan lingkungan:

a) Direktorat Kemitraan Lingkungan, Direktorat Jenderal


Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK, Gedung
Manggala Wanabakti Blok 4 Lt.6 Wing B, Jl. Gatot Subroto –
Senayan, Jakarta, Kode Pos (102270) Tel/Fax (021) 5721326;
b) Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Wilayah
Kalimantan di Jl. Sei Salak, Landasan Ulin Tengah, Kec. Liang
Anggang, Kota Banjar Baru, Kalimantan Selatan 70724, Telp.
(0511) 7559796;
c) Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Wilayah
Sumatera di Jl. Sisingamangaraja Km 5,5 No 14, Marindal,
Medan, Sumatera Utara Telp. (061) 7862612, Fax (061)
7862613;
d) Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Wilayah
Jawa Bali dan Nusa Tenggara di Jalan By Pass Ngurah Rai -
Tuban Km 23,5 Kotak Pos No. 1041/DPR. AP Denpasar,
80361 (telp +62 361 751 815 atau email:
bpskl.jbnt@gmail.com;
e) Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Wilayah
Sulawesi di Bili-Bili Bontomarannu Kabupaten Gowa
Sulawesi Selatan Telp. (0411) 5069240, Fax. (0411) 2516219;
f) Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Wilayah
Maluku Papua di Gedung Pamahanu Ewang Lantai I, Jl.
Kebun Cengkeh Ambon Kode Pos 97128, Tel/Fax (0911)
354369, Email: bpsklmp@gmail.com;
g) Dinas yang membidangi Lingkungan Hidup dan Kehutanan di
masing – masing provinsi;

66
h) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di masing-masing
daerah.
i) Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial nasional
maupun di masing – masing provinsi,
j) TP3PS (Tim Penggerak Percepatan Pengelolaan Perhutanan
Sosial)
k) KPS atau KUPS di areal lokasi Pengelolaan Perhutanan Sosial
Paska Persetujuan
l) Pendamping atau fasilitator
m) Selain menghubungi para pihak di atas, untuk mendapatkan
informasi awal tentang persetujuan pengelolaan
Perhutanan Sosial, sebaran lokasi, pengembangan usaha,
produk, jasa dan informasi lainnya para calon mitra dapat
mengunjungi portal GOKUPS pada
https://gokups.menlhk.go.id atau scan QR Code berikut:

(3) Bimbingan teknis, biasa disingkat Bimtek dalam bentuk pelatihan,


layanan bimbingan atau penyuluhan yang diadakan guna
meningkatkan kemampuan tertentu, kualitas sumber daya manusia,
atau melatih tenaga kerja menjadi lebih kompeten. Dalam konteks
CSR dalam Perhutanan Sosial, KLHK memiliki tugas memberikan
bimbingan teknis kepada perusahaan dalam meningkatkan
kompetensi untuk menyelenggarakan CSR dalam Perhutanan Sosial.

(4) Pengawasan atau supervisi, yang dimaksudkan terkait program CSR


dalam Perhutanan Sosial, KLHK memiliki tugas dan fungsi
memonitoring dan mengevaluasi program Perhutanan Sosial
termasuk penyelenggaraan Program CSR dalam Perhutanan Sosial.
Pengawasan dari KLHK mengacu pada peraturan yang berlaku,
terutama indikator keberhasilan Perhutanan Sosial, serta rambu-

67
rambu yang perlu diperhatikan oleh perusahaan dalam pengelolaan
Perhutanan Sosial yang ada dimuat dalam buku panduan ini, dimana
ada beberapa hal yang tidak diperbolehkan dalam penyelenggaran
CSR di areal Pengelolaan Perhutanan Sosial Pasca Persetujuan
antara lain dilarang untuk menanami dengan tanaman sawit yang
baru, menebang pohon di areal kawasan hutan fungsi lindung dan
konservasi, dan sebagainya.

(5) Pemberian penghargaan, pemerintah dalam hal ini KLHK memiliki


tugas dan kewenangan dalam memberikan penghargaan kepada
individu maupun kelompok, masyarakat, dan semua pihak termasuk
perusahaan atas kontribusi dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan. Program CSR dalam Perhutanan Sosial dapat
berkontribusi signifikan terhadap perlindungan dan pengelolalan
lingkungan menjadi tugas dan kewenangan KLHK untuk memberikan
penghargaan kepada perusahaan yang telah menyelenggarakan CSR
dalam Perhutanan Sosial. Penghargaan dalam Penyelenggaraan
Program CSR dalam Perhutanan Sosial diharapkan juga dapat
mendukung perusahaan untuk mendapatkan Penghargaan Program
Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan
Lingkungan atau yang dikenal dengan PROPER.

68
BAB V
PENUTUP

Pedoman Pengembangan CSR dalam Perhutanan Sosial, memperlihatkan


sinergitas antara dunia usaha atau perusahaan dengan pemerintah dalam
mendukung tercapainya pembangunan berkelanjutan. Pedoman ini
membuka ruang bagi perusahaan untuk lebih proaktif dalam mendukung
program strategis nasional salah satunya Perhutanan Sosial yang memang
saat ini masih sangat membutuhkan dukungan para pihak untuk mencapai
target terwujudnya hutan yang lestari, masyarakat sejahtera, tanpa ada
satupun pihak yang ditinggalkan, dengan target luasan 12,7 juta hektare.

Pedoman ini menyajikan pemahaman tentang CSR yang berkembang di


Indonesia baik CSR yang bersifat sukarela, beyond compliance, maupun
kewajiban yang diistilahkan dengan TJSL-Tanggungjawab Sosial dan
Lingkungan.

Pedoman ini juga turut memberikan rambu-rambu bagi perusahaan dalam


menjalankan program CSR terutama pada kawasan hutan dengan fungsi
lindung dan konservasi, terkait apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan
untuk mendukung fungsi kawasan hutan tersebut tetap terjaga dan
berkelanjutan.

69
DAFTAR PUSTAKA

https://katadata.co.id/ariemega/infografik/5fcda66859406/perempuan-
berpeluang-percepat-keberhasilan-perhutanan-sosial
https://nasional.tempo.co/read/1277341/akses-kelompok-perempuan-
dalam-program-perhutanan-sosial
https://pattiro.org/2021/02/kesenjangan-gender-dalam-perhutanan-sosial/
Intan Kirana dan Stevanus Hadi Darmadji. 2013. Peranan Coorporate Social
Responsibility (CSR) Bidang Lingkungan dalam Menunjang Perolehan
Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaaan (PROPER) PT. Surya
Kertas. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.2 No.2.
Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender
(PUG)
ISO.2010. International Standard 26000. Guidance on Social Responsibility.
International Standard Organization
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). 2021. Panduan Role
Model Pendampingan Paska Persetujuan
Kotler, Philip and Lee, Nancy. 2005. Corporate Social Responsibility : Doing
The Most Good for Your Company and Your Cause, John Wiley & Son"
Meilanny Budiarti Santoso, dan Santoso Tri Raharjo. 2022. Dirkursus
Corporate Social Responsibility (CSR) dalam Mewujudkan Sustainable
Developments Goals (SDGs).: Social Work Jurna Volume 11 Nomor 2 ,
Halaman 100 -121.
Muhammad Imam Syairozi. 2019. Pengungkapan CSR Pada Perusahaan
Manufaktur dan Perbankan (Yogyakarta: Tidar Media, 2019), 15.
Saidi, Zaim dan Hamid Abidin. 2004. Menjadi Bangsa Pemurah: Wacana dan
Praktek Kedermawanan Sosial di Indonesia. Jakarta: Piramedia
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 30/SEOJK.04/2016 Tentang
Bentuk dan Isi Laporan Tahunan Emiten atau Perusahaan Publik

70
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.35 / Menhut-II/2007 tentang Hasil
Hutan Bukan Kayu
Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-05/MBU/04/2021
tentang Program Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan Badan Usaha
Milik Negara
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial
dan Lingkungan Perseroan Terbatas,
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 51 /POJK.03/2017 Tentang
Penerapan Keuangan Berkelanjutan Bagi Lembaga Jasa Keuangan,
Emiten, dan Perusahaan Publik
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 1 Tahun 2021
Tentang Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan
Kehutanan
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9 Tahun 2021
Tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 15 Tahun 2021
Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan
Undang-Undang Nomo 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

71
Direktorat Kemitraan Lingkungan
Gedung Manggala Wanabakti Blok 4 Lantai 6 Wing B
Jalan Jenderal Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270
Telp. 021-5701109, Faks. 021-5701109

Anda mungkin juga menyukai