Dewasa ini, globalisasi terus memberi berdampak kepada budaya serta gaya
hidup masyarakat Indonesia. Globalisasi yang sering dimaknai sebagai mendunianya
sistem sosial-ekonomi-politik dan budaya yang menyebabkan dunia seperti tanpa tapal
batas (the borderless world) sering pula dipahami sebagai suatu bentuk penyeragaman,
dominasi, dan bahkan hegemoni negara-negara maju terhadap negara-negara
terbelakang ataupun bangsa yang sedang berkembang.
Salah satu fenomena penting proses globalisasi telah melahirkan generasi
gadget, istilah yang digunakan untuk menandai generasi yang tumbuh di tengah
pesatnya kemajuan teknologi. Hadirnya teknologi memang memberikan banyak dampak
bagi umat manusia. Namun dampak yang muncul juga tak melulu menghasilkan hal
yang positif. Terkadang atau bahkan kerap kali dijumpai sisi negatif akibat dari
berkembangnya teknologi. Jika diibaratkan, teknologi seperti dua mata pisau. Jika tidak
bijak dalam menggunakaanya maka dampak negatiflah yang akan didapat.
Di era sekarang ini, setiap informasi dapat dengan cepat tersebar dan mudah
untuk diakses oleh siapa saja di manapun dia berada. Dengan teknologi yang mumpuni,
generasi muda kini dibentuk menjadi pribadi yang serba canggih dan modern. Keadaan
serba canggih dan modern seperti saat ini justru menjadi bumerang bagi kita para
generasi muda. Salah satunya adalah generasi muda yang berorientasi pada gadget.
Tidak dapat dinafikkan bahwa informasi yang diserap dari internet merupakan informasi
global yang pastinya memuat budaya dan gaya hidup bangsa asing di luar sana. Hal ini
mendorong masuknya budaya-budaya asing ke dalam negeri, yang dalam pandangan
para generasi muda merupakan hal yang kekinian atau modern dan menganggap
kearifan lokal sebagai sesuatu yang ketinggalan zaman.
Derasnya arus globalisasi perlahan namun pasti membuat kita generasi muda
Indonesia asing terhadap budayanya sendiri. Hal ini tentu menjadi mimpi yang lebih
buruk lagi jika kita para generasi muda bangsa tidak memiliki pengetahuan yang
mumpuni tentang budaya sendiri. Arus globalisasi telah mengikis eksistensi sastra lisan
di Provinsi Jambi, yaitu seloko adat melayu Jambi. Efek globalisasi telah memunculkan
sikap modernisasi pada setiap insan masyarakat melayu Jambi yang sudah semakin
jarang menggunakan seloko dalam kehidupan sosial.
Seloko adat Jambi merupakan salah satu kearifan lokal yang harus terus dijaga
dan diwariskan kepada generasi muda saat ini, agar seloko tidak hanya menjadi tinggal
nama saja. Seloko merupakan sastra melayu klasik yang mengandung nilai-nilai luhur
yang dapat dijadikan teladan hidup bagi manusia termasuk menjadi teladan hidup bagi
generasi muda saat ini agar tetap bisa berbudaya layaknya budaya timur yang penuh
dengan tata krama dan kesopansantunan.
Kuatnya arus kebudayaan barat yang masuk dan ditambah dengan pandangan
yang salah, bahwa kebudayaan barat merupakan sesuatu yang lebih “kekinian” daripada
kebudayaan lokal membuat seloko menjadi asing bagi kita generasi muda saat ini.
Sebagai contoh, jika kita lihat kebelakang sungguh sangat jauh berbeda pemuda zaman
dahulu dan zaman sekarang. Pemuda di zaman dahulu mereka lebih suka mengisi waktu
luang diluar jam akademik dengan bergabung di sanggar seni, namun hal sangat
berbeda justru terlihat saat ini. Jika kita lihat sanggar-sanggar seni mulai sepi dengan
kehadiran generasi muda. Pemuda saat ini justru kurang tertarik untuk mempelajari
kebudayaan daerahnya sendiri. Pemuda saat ini lebih banyak bermain gadget untuk
menghabiskan waktunya seperti bermain game online atau bermedia sosial. Dan tidak
jarang mereka melakukan hatespeech di media yang isinya adalah bullying. Jika kita
terus membiarkan kenyataan seperti ini bukan hal yang mustahil jika tradisi bersekolo
akan menjadi punah dan hanya tinggal nama saja.