Anda di halaman 1dari 9

Sejarah nur

Idham Chalid
Mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

Dr. K. H. Idham Chalid adalah tokoh bangsa, tokoh agama, tokoh organisasi besar Islam Nahdlatul Ulama
dan juga deklarator sekaligus pemimpin Partai Persatuan Pembangunan. Bahkan KH. Idham Chalid
merupakan Ketua Tanfidziyah Nahdlatul Ulama terlama dalam sejarah NU dari periode 1956-1984.
Wikipedia

Kelahiran: 27 Agustus 1921, Kabupaten Tanah Bumbu

Meninggal: 11 Juli 2010, Jakarta

Anak: Aunul Hadi, Saiful Hadi, Muhammad Chairil Hadi, Taufik Rachman Chalid, lainnya

Jabatan sebelumnya: Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (1971–1977), lainnya

Orang tua: Muhammad Chalid, Umi Hani

Partai: Partai Persatuan Pembangunan

Organisasi didirikan: Jam'iyyah Ahlith Thariqah al-Mu'tabarah an-Nahdliyyah, lainnya

Masa Muda

Idham Chalid lahir di Satui, Kalimantan Selatan, 27 Agustus 1921. Chalid menghabiskan masa kecilnya di
Amuntai, Kalimantan Selatan.

Masa Muda

Idham Chalid lahir di Satui, Kalimantan Selatan, 27 Agustus 1921. Chalid menghabiskan masa kecilnya di
Amuntai, Kalimantan Selatan. Ia belajar agama dari sang ayah, H. Muhammad Chalid. Selain itu, Chalid
juga bersekolah di Sekolah Rakyat. Setelah tamat dari sekolah dasar pada 1935, Idham Chalid
melanjutkan pendidikannya di Madrasah Al Rasyidiyyah. Selama bersekolah di sana, Chalid belajar
mengenai ilmu Islam, pengetahuan umum, bahasa Arab, dan bahasa Inggris. Kemudian, pada 1938,
Idham Chalid melanjutkan sekolahnya di Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo.kala itu,
umumnya para santri menghabiskan waktu belajar mereka di Gontor selama delapan tahun, tetapi
Chalid berhasil menyelesaikannya hanya dalam kurun waktu lima tahun. Selulusnya dari Gontor, Chalid
melanjutkan pendidikan di Jakarta pada 1943.

Kiprah

Pada 1945, Chalid kembali ke Amuntai. Ia diminta untuk menjadi Kepala Madrasah Al Rasyidiyyah.
Selama menjabat di sana, Chalid telah melakukan beberapa pembaharuan. Salah satunya adalah
mengubah nama madrasah tersebut menjadi Normal Islam Amuntai.
Idham Chalid juga sempat membentuk ikatan sekolah Islam atau Ittihad Al-Ma'ahid Al Islamiyyah. Sejak
saat itu, Idham Chalid pun mulai berkiprah di bidang politik. Kiprah politiknya ia mulai di DPR melalui
Partai Masyumi. Saat itu, Idham Chalid diutus untuk mempersiapkan pengelolaan haji tahun 1950. Ia
pun berhasil mendekati Raja Abdul Aziz sehingga menggratiskan bea masuk jemaah haji asal Indonesia.
Selain aktif di politik, Idham Chalid juga aktif dalam Nahdlatul Ulama (NU). Pada 1952, ia diangkat
menjadi Ketua PB Ma'arif, organisasi NU yang bergerak di bidang pendidikan. Masih di tahun yang
sama, ia juga diangkat menjadi sekretaris jenderal partai. Dua tahun setelahnya, Idham Chalid dipercaya
menjadi wakil ketua di NU. Pada masa pemilu tahun 1955, Idham Chalid menjabat sebagai Ketua Lajnah
Pemilihan Umum NU. Dalam pemilu tersebut, NU menduduki posisi ketiga yang mendapat suara
terbanyak. Berkat perolehan suara tersebut, pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo II, NU mendapat
jatah lima kursi untuk menteri. Salah satu kursi sebagai wakil perdana menteri diberikan kepada Idham
Chalid. Setelah Kabinet Ali Sastroamidjojo II berakhir, terbentuk kabinet baru, yaitu Kabinet Djuanda.
Idham Chalid tetap menjabat sebagai wakil perdana menteri sampai Dekrit Presiden tahun 1959.

Akhir Hidup Idham Chalid wafat pada 11 Juli 2010, setelah 10 tahun mengidap penyakit stroke.
Jasadnya dikebumikan di halaman Komples Pondok Pesantren Darul Qur'an di Cisarua, Bogor.

# Nama KH Idham Chalid mungkin sudah tidak asing bagi orang yang sering memegang uang kertas
pecahan Rp5.000-an. Ya, dalam uang pecahan tersebut ada gambar seorang Pahlawan Nasional yang di
bawahnya tertulis nama “Dr. KH. Idham Chalid”. Wajah Idham Chalid ada dalam uang kertas pecahan
Rp5.000 sejak emisi 2016. Pahlawan Nasional ini kembali diabadikan dalam uang pecahan yang sama
emisi 2022. Di balik wajah Idham Chalid yang terpampang pada uang kertas terdapat perjalanan panjang
dalam sejarah hidupnya. Ia bukan hanya dikenal sebagai ulama, tapi juga politisi yang pernah merasakan
banyak jabatan strategis.

# Selain pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri Indonesia pada Kabinet Ali Sastroamidjojo II
dan Kabinet Djuanda, Ia juga pernah menjabat sebagai Ketua MPR dan Ketua DPR. Bahkan oleh Presiden
Soeharto ia dipercaya menjadi Menteri Kesejahteraan Rakyat, Menteri Sosial Ad Interim dan Ketua DPA.

# Sejak itu Idham Chalid terus menerus berada dalam lingkaran kekuasaan. Di organisasinya, ia
dipercaya warga nahdliyyin untuk memimpin NU di tengah cuaca politik yang sulit, dengan memberinya
kepercayaan menjabat sebagai Ketua Umum Tanfidziah PBNU selama 28 tahun (1956-1984). Dii samping
berada di puncak kekuasaan pimpinan NU, ia juga dipercaya menjadi Wakil Perdana Menteri II dalam
Kabinet Ali Sastroamidjojo (PNI), 1956 – 1957. Saat kekuasaan Bung Karno jatuh pada 1966, Idham
Chalid yang dinilai dekat dengan Bung Karno ini tetap mampu bertahan.

# Presiden Soeharto pun memberinya kepercayaan selaku Menteri Kesejahteraan Rakyat (1967 – 1970),
Menteri Sosial Ad Interim (1970 – 1971) dan setelah itu Ketua MPR/DPR RI (1971 – 1977) dan Ketua DPA
(1977 -1983).

# Idham Chalid lahir di Setui Kalimantan Selatan pada 27 Agustus 1922. Semasa mudanya menempuh
pendidikan di Madrasah Mualimin Tinggi Pondok Modern Gontor Ponorogo Jawa Timur (1942). Gelar
Doctor Honoris Causa diperolehnya dari Universitas Al-Azhar Cairo tahun 1957. Pada usia relatif muda
Idham Chalid sudah mencapai kematangan dalam leadership (kepemimpinan). Sejarah membuka jalan
kepadanya untuk mengemban peran kenegaraan di masa pemerintahan Presiden Soekarno (Orde Lama)
dan pemerintahan Presiden Soeharto (Orde Baru). Ia adalah politisi ulung dan negarawan yang bertahan
di segala cuaca.

# Tak ada satu pun orang yang menginginkan tanah airnya terjajah karena hanya memunculkan
penderitaan berkepanjangan. Penderitaan dalam proses perjuangan melawan penjajah dirasakan betul
oleh KH Idham Chalid (1921-2010) karena dirinya mengalami pedihnya siksa ketika ditangkap oleh
Belanda dan dimasukkan ke dalam penjara.

Guru Idham Chalid, begitu ia biasa disapa oleh tentara penjaga penjara sekalipun, bahkan mengalami
pembengkokan tulang belakang karena dampak siksaan tersebut setelah usia senja. Ia mengakui
dampak tersebut dalam buku memoarnya Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid: Tanggung Jawa Politik
NU dalam Sejarah (2008). Pernah ia berobat ke Belanda untuk meluruskan tulang belakangnya tersebut,
namun tidak berhasil.

Dalam buku memoarnya tersebut, ia pernah diinterogasi terkait keberadaan Hasan Basri, tokoh pejuang
yang sama-sama dari Banjar. Hasan Basri diketahui oleh Belanda satu almamater dengan Idham Chalid
ketika belajar di Gontor, Ponorogo. Kala itu, Idham menjawab diplomatis karena nama Hasan Basri ia
kenal tidak hanya satu. Tentu saja bukannya dia sendiri tidak paham Hasan Basri yang dimaksud oleh
Belanda.

Hasan Basri sendiri merupakan Pahlawan Nasional dari Banjar selain Pangeran Antasari dan KH Idham
Chalid sendiri. Bahkan, saat ini wajah KH Idham Chalid menghiasi uang pecahan 5.000 rupiah. Kegigihan
Idham Chalid melawan penjajah tidak hanya dilakukan secara fisik, tetapi juga dipenuhi dengan ikhtiar
batin.

Meskipun tubuhnya lemah dan matanya tidak bisa melihat karena siksaan Belanda di penjara, Kiai
Idham Chalid tidak pernah putus berdoa dan menjalankan sembahyang. Di dalam pengapnya penjara
Belanda, ia pernah melakukan shalat hajat 41 kali atau 82 rakaat ditambah ujungnya shalat witir tiga
rakaat, jadi 85 rakaat. Untuk menghitung rakaat, dia memakai batu kerikil yang ada di dalam penjara.

Selain berjuang melawan ketidakperikemanusiaan penjajah, Kiai Idham Chalid juga aktif dalam jam’iyyah
Nahdlatul Ulama. Sebelum menjadi Ketua Umum PBNU selama 28 tahun (1956-1984), ia aktif di Gerakan
Pemuda Ansor (1952). Dua tahun kemudian yaitu pada 1954, dia dipercaya menjadi Sekretaris Jenderal
PBNU.

# Melawan Kelompok Makar

Setiap kiai dan santri tentu saja bersinggungan dengan penjajah maupun kelompok-kelompok bughot
(pemberontak), baik PKI pimpinan Dipo Nusantara Aidit maupun DI/TII SM Kartosoewirjo. KH Idham
Chalid termasuk ulama yang turut melakukan perlawanan terhadap kelompak-kelompok makar
tersebut. Bahkan, perjuangan menghadapi mereka menurut Kiai Idham merupakan perjuangan terberat.

Terhadap gerakan-gerakan subversif ini, para kiai tidak tinggal diam begitu saja. Mereka tidak mau
bangsa dan negara yang telah dibangun atas dasar konsensus (kesepakatan) kebangsaan menjadi hancur
hanya karena kepentingan kelompok tertentu yang a historis. Aksi gerombolan DI/TII bukannya
menguntungkan umat Islam tetapi malah menimbulkan malah petaka bagi Muslim itu sendiri. Tidak
sedikit umat Islam yang menjadi korban kekejaman DI/TII. Gerakan DI/TII yang sudah melampui batas
kemanusiaan dan konsensus bersama negara berdasarkan Pancasila membutuhkan pemikiran, bantuan,
dan partisipasi aktif dari para kiai. Dalam memoarnya (2008), KH Idham Chalid yang saat itu menjabat
sebagai Wakil Perdana Menteri II dan Kepala Badan Keamanan membentuk badan yang diberi nama
Kiai-kiai Pembantu Keamanan (KPK).kiiai di dalam badan disebut KPK ini utamanya untuk merespon
anggapan DI/TII yang menganggap bahwa negara ini adalah Republik Indonesia Kafir (RIK). Namun,
sejumlah laskar yang memang lahir dari rahim NU seperti Hizbullah dan Sabilillah turut membantu
mengantisipasi pemberontakan DI/TII maupun yang dilakukan oleh PKI kala itu. KPK terdiri dari sejumlah
kiai dari beberapa provinsi yang di daerahnya ada gerombolan DI/TII. KH Idham Chalid menunjuk KH
Muslich sebagai Ketua KPK. Umumnya, setiap provinsi hanya menunjuk satu orang kiai dalam
mengkoordinir gerakan KPK. Kecuali provinsi yang sudah pada kondisi gawat seperti Jawa Barat. Di tanah
Priangan ini, diangkat dua orang kiai.

Anggota KPK di Jawa Barat adalah KH Dimyati (Ciparai) dan Moh. Marsid. Untuk Jawa Tengah dipimpin
oleh KH Malik, kiai terkemuka asal Demak. Di Jawa Timur ada KH Raden As’ad Syamsul Arifin Situbondo.
Adapun di Kalimantan KPK dimotori oleh KH Ahmad Sanusi, Lampung digerakkan oleh KH Zahri,
Sumatera Selatan dipimpin oleh ulama terkemuka di Sumsel dan Rais Syuriyah NU Bengkulu KH Jusuf
Umar, Sumatera Tengah KH Kahar Ma’ruf, Sumatera Utara dan Aceh Tengku Mohammad Ali Panglima
Pulen (pernah menjadi Ketua PWNU Aceh dan Anggota MPRS, dan di Sulawesi KH Abdullah Joesoef.

Anda mungkin juga menyukai