Anda di halaman 1dari 25

PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN LAUT SERTA PERMSALAH

PERIKANAAN NEGARA MALAYSIA

(Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut
Terpadu)

OLEH :

DESI WARNI
(2209200210001)

PASCASARJANA PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR TERPADU


UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH, DARUSSALAM
2023
PENGELOLAAN PESISIR DAN KELAUTAN NEGARA MALAYSIA
1. Kondisi Geografis
Secara astronomis Malaysia terletak antara 0°52’LU – 7°22’LU dan antara
99°38’BT – 119°11’BT. Berdasarkan letaknya, wilayah Malaysia dapat
dibagi atas Malaysia Barat dan Malaysia Timur. Malaysia Barat terletak di
Semenanjung Malaka Adapun batas-batas wilayah Malaysia Barat adalah
berikut ini :
Sebelah Utara : Thailand
Sebelah Selatan : Indonesia dan Singapura
Sebelah Timur : Laut Cina Selatan dan Laut Natuna
Sebelah Barat : Selat Malaka dan Pulau Sumatra (Indonesia)
Malaysia Barat terdiri atas 11 negara bagian yaitu Johor, Kedah,
Kelantan, Malaka, Negeri Sembilan, Pahang, Perak, Perlis, Pulau Pinang,
Selangor, dan Trengganu. Sementara itu, wilayah Malaysia Timur terletak di
Pulau Kalimantan. Adapun batas-batas wilayah Malaysia Timur adalah
berikut ini :
Sebelah Utara : Laut Cina Selatan dan Brunei Darussalam.
Sebelah Selatan : Kalimantan (Indonesia)
Sebelah Timur : Laut Sulu dan negara Filipina
Sebelah Barat : Laut Natuna dan Laut Cina Selatan.

Sumber: ICZMproject 2010


Malaysia Timur terdiri atas dua negara bagian, yaitu Sabah dan Serawak.
Kedua wilayah tersebut dipisahkan oleh Laut Cina Selatan sejauh + 1.036 km.
Kondisi iklim di Malaysia tidak jauh berbeda dengan kondisi iklim di Indonesia.
Malaysia mengenal dua musim yang merupakan dampak peralihan arah angin
monsun. Kepadatan penduduk di Malaysia tidak merata, wilayah Malaysia Barat
mempunyai kepadatan penduduk yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan
wilayah Malaysia bagian Timur.
a. Potensi Alam :
 Tanahnya subur karena memiliki banyak gunung api dan curah hujan yang
cukup tinggi.
 Kaya hasil pertanian dan perkebunan, seperti padi, buah dan sayuran
tropis, karet, kelapa, dan kelapa sawit.
 Memiliki wilayah hutan tropis yang masih cukup luas di wilayah Malaysia
Timur.
b. Potensi Sosial Budaya Penduduk Malaysia yang terdiri atas banyak suku
dengan beragam budaya serta bahasa merupakan potensi sosial budaya yang
perlu terus dikembangkan dan dilestarikan. Selain itu meskipun menerapkan
hukum Islam, namun pemerintah memberi perlindungan dan kebebasan bagi
orang-orang nonmuslim dalam beribadah atau menjalankan tradisinya
masing-masing.
c. Potensi Industri dan Perdagangan Industri yang berkembang di Malaysia
adalah industri pengolahan bahan mentah, seperti industri pengolahan
makanan, pemotongan kayu, pengolahan karet, pengolahan minyak kelapa
sawit, tekstil, dan berbagai barang kerajinan. Pada perkembangan sekarang
ini, Malaysia telah memproduksi komponen elektronika, berbagai produk
olahan minyak bumi, serta otomotif. Tingginya upah buruh di Malaysia
menjadikan negara ini menjadi tujuan para tenaga kerja dari luar negeri,
seperti dari Indonesia, Vietnam, ataupun Filipina. Kegiatan perdagangan luar
negeri masih didominasi komoditas bahan mentah, seperti minyak dan gas
alam, kelapa, kelapa sawit olahan, karet, timah putih, dan berbagai jenis kayu.
2. Kondisi Ekonomi
 Sektor Pertambangan, hasil tambang adalah timah dengan pusatnya di Ipoh
dan Kualalumpur. Tambangtambang yang lain yaitu besi, bauksit, emas,
dan batu bara. Daerah penambangan minyak bumi dan gas alam terdapat di
daerah Serawak dan lepas pantai Semenanjung Malaysia (Miri dan
Lutong). Pengolahan timah terbesar di Asia Tenggara terdapat di Penang.
 Sektor Pertanian dan Perkebunan, Malaysia termasuk negara agraris
(pertanian). Dataran alluvial yang subur menghasilkan padi sebagai
tanaman pangan utama. Tanaman perdagangan juga merupakan tanaman
ekspor di antaranya karet, kelapa sawit, dan nanas. Lada hitam dihasilkan
dari Serawak. Hasil hutan berupa kayu merupakan barang ekspor yang
dihasilkan dari daerah Sabah. Perkebunan yang paling besar di Malaysia
adalah perkebunan karet. Keseluruhan hasilnya mencapai 40% dari hasil
karet seluruh dunia. Hasil –hasil pertanian lainnya adalah singkong dan
beras.
 Sektor Industri, Kawasan perindustrian yang terbesar dipusatkan di
Pethaling Jaya dan Shah Alam, yaitu terdiri dari industri perakitan mobil,
alat-alat rumah tangga, bahan makanan, ban dan barang-barang dari
plastik.
 Sektor Perhubungan dan Pariwisata, Kualalumpur sebagai ibu kota dan
sebagai kota raya. Kota raya lain adalah Penang. Kedudukan Selat Malaka
menjadi penting, karena merupakan jalan lalu lintas laut dari negara-
negara barat ke timur, di samping adanya Singapura sebagai pelabuhan
penting di Asia Tenggara. Bandar udara internasional di Malaysia terdapat
di Kuala Lumpur dan Penang, sedangkan pelabuhan laut yang terbesar di
Kelang. Kawasan pariwisata yang terkenal terdapat di Langkawi yaitu
pulau mini yang bergunung-gunung serta pantainya sangat indah. Objek
wisata yang terkenal di Malaysia antara lain: museum nasional Kukit
Nanas, Cameron, Highland di Pahang, Genting Highlands, Taman Negara,
Temple Park, dan Taman Nasional Kinibalu. Kota-kota pelabuhan penting
di Malaysia, yaitu Kualalumpur (ibu kota Federasi Malaysia), Kucing (ibu
kota Negara bagian Serawak), Teluk Anson, Penang, Kinibalu,
Swettenham, dan Weld)
 Sektor Perdagangan, kegiatan perdagangan berupa impor yaitu beras,
mesin-mesin, alat-alat transportasi, bahan-bahan kimia, dan bahan-bahan
elektronika serta ekspor berupa: karet, kayu olahan, kopra, timah, besi, dan
minyak tanah. Mitra dagang Malaysia yang utama : Jepang, Inggris, USA,
Indonesia, Singapura dan Australia.
3. Permasalahan di pesisir Malaysia
Malaysia sebagian besar dikelilingi oleh laut sehingga membuat
pengelolaan wilayah pesisir menjadi prioritas utama di Malaysia, terutama
untuk alasan keamanan dan konservasi. Diharapkan pesisir akan memberikan
ruang, sumber daya (baik biologis dan fisik) dan infrastruktur untuk
pembangunan pembangunan di sepanjang pantai telah berpusat pada
perdagangan dan industri sehingga terjadinya perubahan fungsi lahan dan
dampaknya terhadap kerusakan lingkungan.Permasalahan pesisir malaysia di
uraikan di bawah ini:
a. Kurangnya intekgrasi antar pemegang kepentingan
Konstitusi Malaysia tahun 1957, dibagi menjadi badan eksekutif,
administratif dan legislatif, yang didalamnya terdapat sistem
pemerintahan, Federal, Pemerintah Negara dan Daerah (kota dan
kabupaten berwenang). Setiap otoritas ditugaskan untuk pengelolaan dan
pengawasan sumber daya (Biofisik). Di mana sumber daya pesisir
diantaranya air dan tanah hal ini jatuh dalam yurisdiksi Pemerintah
Negara, yang memerlukan, zonasi perencanaan pembangunan dan
kekuatan. Sedangkan sumber daya biologis dikelola oleh pemerintah
Federal dan Negara. Tidak adanya integrasi dalam pengolahan sumberdaya
pesisir antara pemerintahan dan federal sehingga program dalam
pengelolaan pesisir tidak berhasil. Seharusnya dalam ICZM sebagai daerah
pesisir dalam pengelolaannya melibatkan beberapa pemangku
kepentingan, mulai dari pemerintah (semua tingkatan), organisasi non-
pemerintah, lokal masyarakat (di tingkat kabupaten dan kota), pemilik
tanah, bisnis dan investor, menggabungkan partisipasi di semua tingkat
pengambilan keputusan, perencanaan dan pelaksanaan rencana. Dengan
tujuan untuk digunakan dalam konservasi wilayah pesisir, penentuan
prioritas, masalah, potensi dan memudahkan manajemen pengelolaan.
b. Pertumbuhan penduduk yang tinggi
Masalah populasi mungkin paling berpengaruh terhadap
perencanaan pemerintah dalam pengelolaan pesisir dan kelautan untuk
memastikan bahwa daerah pemukiman, dan untuk industri dan pertanian
tidak ditempatkan di daerah yang kritis dan sensitif. Rencana Kedelapan
Malaysia telah mencatat kebutuhan untuk mengatasi masalah lingkungan
daerah sensitif, yang akan memiliki dampak pembangunan yang minimal
atau rendah, untuk memastikan stabilitas lingkungan.
c. Pertambangan minyak bumi dan mineral
Minyak dan gas dapat ditemukan di darat dan lepas pantai dari pantai
barat dan timur. Pada 1991 ada 13 ladang minyak. Sehingga berpotensi
bahaya termasuk polusi, pencemaran dan degradasi pesisir dari kegiatan
pengeboran, produksi dan kilang. Eksplorasi mineral yang diambil melalui
tambang terbuka atau tertutup. Seringkali menggunakan bahan kimia
berbahaya dan beracun yang digunakan untuk ekstraksi batuan, seperti
sianida, yang berpotensi berbahaya bagi manusia dan kesehatan hewan.
masalah lain yang terkait dengan pertambangan meliputi, limbah, polusi,
degradasi lingkungan dan degradasi lahan.
d. Pariwisata dan pengembangan rekreasi
Kegiatan pariwisata dan rekreasi cenderung tertarik pada wilayah
pesisir, yang menyebabkan persaingan penggunaan lahan, dan akses ke
pantai. Kegiatan pariwisata dapat menyebabkan permasalahan lingkungan.
Sehingga harus mempertimbangkan dalam pengelolaan pariwisata yang
mencakup, modifikasi habitat, kerusakan atau degradasi lahan dan
manajemen dalam pengelolaan limbah akibat kegiatan pariwisata.
e. Pengembangan Industri
Pengembangan industri seperti dilansir Dokumen Status ICZM secara
luas tersebar di sepanjang pantai dengan setidaknya 33 kawasan industri
yang terletak 3km dari garis pantai. Hal ini menimbulkan masalah yang
berkaitan dengan masalah kesehatan masyarakat, degradasi lingkungan
yang berdampak pada penurunan kualitas dari wilayah pesisir. Pemetaan
zonasi dan penempatan industri jatuh dalam lingkup pemerintah Negara,
meskipun hal ini sekarang dapat diatasi dengan pedoman dan prosedur
penilaian yang ditetapkan oleh beberapa instansi pemerintah.Di beberapa
negara bagian di Malaysia masalah ini ditangani oleh departemen
lingkungan hidup dengan instansi pemerintah lainnya, misalnya
departemen kesehatan, departemen irigasi dan drainase dan pemerintahan
lokal (kota atau kabupaten dewan).
f. Pertanian budidaya perikanan
Di berbagai daerah pesisir Malaysia telah bergerak ke arah reklamasi
lahan marginal, terutama kawasan mangrove untuk perkebunan kelapa
yang terletak sebagian besar di sepanjang pantai barat Semenanjung. Ini
diikuti dengan bududaya tanaman padi, dan pengembangan kelapa sawit.
Di Sabah dan Sarawak, tanaman berkembang kelapa sawit, kakao, kelapa,
karet, padi dan campuran hortikultura dapat ditemukan sepanjang pantai.
Ada juga konflik antara nelayan artisanal dan perikanan komersial
dalam pengelolaan sumber daya perikanan. Banyak kesalahan telah
ditempatkan pada penangkapan ikan komersial, yang telah mengakibatkan
kerusakan ekosistem laut dan pesisir dan penipisan sumber daya.
g. Erosi pantai
Terlepas dari bahaya yang ditimbulkan oleh fenomena alam,
kegiatan antropogenik memberikan kontribusi signifikan terhadap erosi
garis pantai. Kegiatan dan proyek mulai dari pengerukan saluran,
konstruksi (pelabuhan, bendungan), reklamasi dan penambangan pasir
telah menyebabkan perubahan ke pantai alami, yang pada dasarnya sangat
mempengaruhi sumber daya biofisik dan fungsi ekologis pesisir. Menurut
sebuah studi yang dilakukan di pantai di Malaysia, sekitar 29% dari luas
wilayah daerah menghadapi masalah erosi Sehingga kegiatan rehabilitasi
telah menjadi prioritas dan telah tercermin dalam Ketujuh dan Kedelapan
Rencana Malaysia. Di antara langkah yang diambil oleh pemerintah untuk
mengatasi hal ini, termasuk langkah-langkah perbaikan jangka pendek
dengan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan perencanaan dan
pengendalian, khususnya, dalam pembangunan tata ruang.
h. Pembangunan Transportasi dan navigasi
Selat Malaka merupakan salah satu rute navigasi tersibuk. ratusan
kapal melewati sepanjang selat sempit menuju Malaysia, Indonesia atau
port Singapura. Sehingga potensi pencemaran sangat tinggi di wilayah
pesisir Malasia seperti tumpahan minyak, dan polusi.
Untuk mengatasi permasalahan pesisir Malaysia pemerintahan membuat
peraturan seperti di bawah ini
a. Strategi Erosi Pantai Nasional (1987)
Kebijakan ini disiapkan pada tahun 1987, dengan pembentukan
Dewan Kontrol Erosi pesisir dan Rekayasa Pesisir Technical Centre di
Departemen Drainase dan Irigasi. Dewan ini dibentuk untuk
memberikan saran tentang kontrol erosi pantai, dan pengembangan
program dan koordinasi kegiatan pembangunan yang berlangsung dari
pemerintah dan sektor swasta.
b. Kebijakan Pertanian Nasional(1998-2010)
Kebijakan ini menekankan pada keamanan pangan, dan
konservasi dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Di antaranya menyodorkan kebijakan yang diambil, termasuk adopsi
praktek pengelolaan yang berkelanjutan dalam pemanfaatan sumber
daya, dengan peraturan yang diperkuat untuk meminimalkan dampak
negatif pada lingkungan.
c. Kebijakan Kehutanan Nasional (1978)
Kebijakan ini berfokus pada tujuan untuk melindungi dan
mengelola hutan berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan yang
berkelanjutan.dan melakukan konservasi lahan hutan yang rusak
akibat kegiatan pembangunan.
d. Kebijakan Keanekaragaman Hayati Nasional (1998)
Strategi dan rencana aksi untuk membantu melestarikan dan
mengelola keanekaragaman hayati baik dari darat dan laut / ekosistem
air dirumuskan dalam kebijakan ini. Dalam menilai status
keanekaragaman hayati kebijakan ini berfokusnya pada:
 Meningkatkan basis pengetahuan ilmiah,
 Memperkuat kerangka kelembagaan,
 Meningkatkan kesadaran kelembagaan dan masyarakat.
e. Kebijakan Master Plan Pariwisata Nasional
Rencana ini mengacu pada pengembangan kawasan wisata
pantai, dan promosi situs warisan budaya dan alam.
4. Pengelolaan Pesisir dan Kelautan

Malaysia memiliki Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) tertutup 475.600


km2, atau 1,5 kali lebih besar dari pada luas wilayah malaysia. Malaysia
adalah satu-satunya negara menerapkan Zona Pesisir Manajemen (CZM)
melalui sistem federal yang memiliki tiga tingkat Pemerintah: federal, negara
bagian dan lokal. Ada tiga wilayah, yaitu Kuala Lumpur, Putrajaya dan
Labuan dan diatur langsung oleh Pemerintah Federal Malaysia, yurisdiksi
Kementerian Wilayah federal yang dibentuk oleh Perdana Menteri Malaysia.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada peta wilayah pesisir Malaysia di

bawah ini.
Sumber: www.mmea.gov
Pengelolaan pesisir dan kelautan negara malaysia tertuang dalam
Malaysia Kesembilan (2006-2010) yang di dalamnya memuat rencana
sumber daya alam dan lingkungan berfokus pada mempertahankan hidup
bersih dan sehat. Pendekatan sumber daya serta memenuhi kebutuhan
pembangunan ekonomi. pelaksanaan CZM dicapai melalui empat tujuan:
a. Dorongan dan memperkuat partisipasi pemangku kepentingan dan
kerjasama antara perencanaan dan pelaksanaan lembaga.
b. Penting untuk melakukan konservasi dan keberlanjutan sumber daya
alam termasuk rehabilitasi hutan dan pengurangan eksploitasi pada flora
dan fauna.
c. CZM membutuhkan pengurangan polusi, terutama udara dan
pencemaran air dari limbah padat, bahan beracun dan zat berbahaya.
d. Pembentukan rencana induk untuk perencanaan penggunaan lahan,
zonasi dan manajemen untuk mengurangi dampak banjir.
CZM di Malaysia didirikan dalam menanggapi masalah-masalah yang
dialami pesisir seperti erosi pantai, pencemaran pantai, eksploitasi
berlebihan. Pemerintah Malaysia mulai melakukan Studi sepanjang 4.809
km dari garis pantai. Hasil dari studi tersebut menyimpulkan bahwa 1.390
km (864 mil) garis pantai mengalami erosi. Menyusul rekomendasi dari
proyek ini, dua lembaga penting yang didirikan pada tahun 1987: CEC dan
NCECC, NCECC terdiri dari berbagai instansi yang menangani erosi di
wilayah pesisir. Badan-badan ini adalah Departemen Keuangan,
Kementerian Sains, Teknologi dan Lingkungan, Departemen Drainase dan
Irigasi, Departemen Pekerjaan Umum, Gubernur Sabah, Sarawak dan dua
negara lainnya secara bergilir, dan profesional. Program pesisir dibuat oleh
NCECC harus disetujui dan direkomendasikan oleh CEC sebelum
dilaksanakan. CEC bertanggung jawab untuk melakukan pengendalian erosi
pantai, memberikan dukungan teknis kepada NCECC dan Pemerintah
lainnya
Pelaksanaan ICZM dimulai pada tahun 1996 di Semenanjung Malaysia dan
Sabah. Tujuan dari manajemen berkelanjutan dari zona pesisir Sabah yang
meliputi 4 tugas:
a. Penentuan zona pesisir di Sabah;
b. Lingkungan yang berkelanjutan ;
c. Sistem Informasi Manajemen (SIM) dan Sistem Informasi Geografis
(GIS);
d. Penerapan lingkungan dan komputerisasi alat untuk perencanaan tata
ruang
Manajemen pesisir terpadu menganggap masalah lingkungan sebagai
penyebab isu permasalahan utama daerah pesisir dan kelautan hal ini
disebabkan kurangnya koheren dan terpadu antara kebijakan dan
manajemen, kurangnya kesadaran dan partisipasi masyarakat.
Permasalahan yang dihadapi ICZM di Malaysia seperti
a. Wilayah yurisdiksi yang sama untuk pengawasan dan penegakan;
b. Pengiriman dengan opsi kebijakan yang telah menjadi tidak jelas;
c. Tumpang tindih fungsi antara beberapa kementerian federal dan
pemerintah negara bagian di pengelolaan wilayah pesisir; dan
d. Tidak ada lembaga yang memiliki kewenangan untuk berurusan dengan
skala penuh dari masalah pencemaran laut
e. Ketidakmampuan Departemen Lingkungan Hidup untuk menangani
insiden di ZEE
Pembiayaan juga merupakan hambatan untuk menerapkan pendekatan
pengelolaan pesisir Malaysia dalam pencapaian tujuan. Pemerintah
Malaysia berinvestasi hanya 1 persen dari PDB pada manajemen
lingkungan. Selain itu, ada perbedaan yang signifikan dalam alokasi
pendapatan Pemerintah. Pemerintah Federal memperoleh 84 -88 persen,
sedangkan tiga belas negara memperoleh hanya 12 persen.
Pengelolaan perikanan di negara Malaysia diawasi oleh empat
departemen Departemen Perikanan (DOF), Pengembangan Perikanan
Authority of Malaysia (FDAM), Angkatan Laut Pantai polisi penjaga dan
Kelautan. DOF adalah badan utama yang bertanggung jawab untuk
keseluruhan perencanaan manajemen dan pelaksanaan termasuk taman laut.
FDAM adalah bertanggung jawab untuk peningkatan kehidupan nelayan,
nilai tambah pengolahan dan pemasaran. Kedua lembaga lainnya yang
mengkoordinasikan operasi pengawasan dan penegakan hukum, namun
hukum perikanan harus mengikuti UU Perikanan 1985 karena memenuhi
administrasi dan manajemen, termasuk konservasi dan pengembangan
perikanan kelautan dan perlindungan mamalia laut dan penyu. Selain itu,
hukum berkaitan dengan pembentukan taman laut dan cadangan laut.
Kebijakan pengelolaan perikanan laut dibagi ke empat zona menurut jarak
dari garis pantai :
 Zona A : kurang dari 5 mil laut ( nm ) dicadangkan untuk nelayan skala
kecil menggunakan kapal tradisional.
 Zona B : antara 5-12 nm untuk kapal penangkap ikan kurang dari 40
tenaga kuda.
 Zona C : lebih besar dari 12 nm untuk kapal komersial lebih dari 40
gross ton ; dan
 Zona C2 : melampaui 30 nm untuk kapal laut dalam lebih dari 70 gross
ton

Sumber: Sabah ICZMproject 2010

Menurut Rencana Pertanian Nasional Tahun 1992 sampai 2010, untuk


mendorong pertumbuhan hasil dari sektor kelautan. industri perikanan harus
meningkatkan produksi produk dan olahan untuk mendukung pengembangan
kegiatan manufaktur berbasis sumber daya perikanan terpadu dan layak. Produk-
produk ini memperluas ke pasar lokal dan asing, tidak boleh melebihi sumber
daya yang berkelanjutan agar tidak overexploitation. Pemerintah Malaysia akan
mengambil berbagai tindakan untuk mencapai tujuan peningkatan sektor kelautan
menggunakan kebijakan mengendalikan peningkatan kapasitas perikanan, untuk
mempromosikan off-shore perikanan, untuk menempatkan moratorium izin
nelayan, untuk meningkatkan pemantauan, pengawasan dan penegakan hukum di
wilayah pesisir. Mereka mengendalikan alat tangkap non tradisional di zona A
untuk konservasi alasan pembibitan. Selain itu Pemerintah Malaysia
meningkatkan partisipasi stakeholder dalam pengelolaan perikanan.

 Permasalahan perikanan di malaysia


Industri perikanan merupakan industri yang berkembang maju di
Malaysia. Namun di sebalik perkembangan pesatnya berbagai isu dan masalah
perikanan dan nelayan masih belum ditangani dengan serius dan berkesan. Antara
isu yang boleh dilihat adalah seperti polisi, pembangunan dan pelaksanaan dasar,
penguatkuasaan undang-undang serta kemerosotan ekosistem marin. Situasi ini
menimbulkan kebimbangan kepada nelayan pantai. Oleh yang demikian, Sahabat
Alam Malaysia (SAM) dan Persatuan Pendidikan dan Kebajikan Jaringan
Nelayan Pantai Malaysia (JARING) memandang serius isu ini dan merasakan
adalah perlu untuk dibangkit dan diketengahkan supaya dapat diatasi bersama
dengan baik. Rangka kerja dan penyelesaian yang menyeluruh harus
dipertimbangkan dengan mengambil kira persoalan polisi dan dasar perikanan
negara, perundangan, perancangan dan pembangunan perikanan yang mengambil
kira aspek sosio-ekonomi nelayan dan ekosistem marin yang sihat, pengawalan,
pemantauan dan penguatkuasaan serta kerjasama semua pihak dalam menangani
isu-isu perikanan negara.
Dasar Agro-Makanan 2011-2020 mensasarkan 50% daripada sumber
perikanan negara adalah daripada akuakultur dan hanya 50% adalah dari tangkap
liar (gambar 1). Dasar ini perlu dikaji semula kerana SAM dan JARING percaya
industri akuakultur yang tidak terkawal merupakan salah satu faktor yang
merosakkan sumber perikanan. Dasar ini akan menggalakkan kawasan hutan paya
bakau, pinggir pantai dan kawasan sungai dimusnahkan. Dalam usaha untuk
memenuhi keperluan protein kepada masyarakat dan memastikan industri
perikanan negara berkembang seiring dengan kelestarian sumber marin, SAM dan
JARING menegaskan adalah perlu untuk semua pihak berganding bahu
menjalankan usahasama yang bersepadu serta mencari kaedah terbaik untuk
menguruskan sumber perikanan secara mapan. Memorandum yang disediakan
oleh SAM dan JARING ini menggariskan beberapa isu dan persoalan tentang
status industri perikanan di Malaysia. SAM juga menyenaraikan beberapa
cadangan bagi memungkinkan cabaran dan persoalan berikut dapat ditangani
dengan baik.

 Masalah Semasa Sektor Perikanan Malaysia


1. Eksploitasi berlebihan, pembaziran stok perikanan dan pendaratan ikan
baja yang tinggi

Walaupun pendaratan ikan di Semenanjung Malaysia dari tahun 1955-2020


menunjukkan trend peningkatan yang ketara, namun demikian peningkatan ini
tidak boleh dibanggakan kerana telah berlakunya pembaziran sumber perikanan.
Melihat kepada situasi global pula, Food and Agriculture Organization of United
Nations (FAO) menganggarkan 75% sumber perikanan laut telah dieksploitasi
sepenuhnya, eksploitasi secara berlebihan, pupus dengan teruk atau dalam
pemulihan. Manakala analisis global yang dibuat oleh penyelidik dari Kanada dan
Amerika Syarikat menunjukkan 90% sumber marin telah musnah dan perikanan
global akan hilang menjelang 2048 jika masyarakat global tidak membuat sesuatu
bagi melindungi sumber. Kajian menunjukkan penurunan populasi dan spesies-
spesies yang terancam serta hampir pupus kebanyakan adalah spesies ikan yang
mempunyai nilai komersial yang tinggi di pasaran .

Nelayan juga mendakwa bahawa hasil tangkapan mereka bagi spesies-spesies


tertentu seperti ikan parang, siakap, semilang, kerapu, pari dan lain-lain juga
semakin berkurangan.

SAM dan JARING telah mendapat aduan daripada nelayan tempatan, kini
lebih 50 spesies ikan sama ada sudah pupus atau hampir pupus. Spesies ikan yang
popular, terutama ikan yang berharga, ditangkap dengan sewenang-wenangnya
menyebabkan bilangannya jatuh secara mendadak. Pembaziran dalam pendaratan
ikan dapat dikenal pasti dengan peningkatan enam kali ganda pendaratan ikan baja
dari keseluruhan pendaratan ikan dalam tempoh 45 tahun. Ikan baja ialah anak-
anak ikan yang terlalu kecil dan tidak mempunyai nilai perdagangan; ia hanya
digunakan sebagai makanan ternakan atau pun dibuat baja dagangan. Pada tahun
1955 pendaratan ikan baja hanya 5% daripada jumlah pendaratan dan pada tahun
2010 telah meningkat kepada 31.6% daripada jumlah pendaratan. Pada tahun
2015, pendaratan ikan baja menurun kepada 17.16% daripada jumlah pendaratan
keseluruhan. Malangnya, penurunan peratusan ikan baja tidak menggambarkan
penurunan kuantiti ikan baja yang ditangkap berbanding 10-20 tahun lepas.
Realitinya kuantiti pendaratan ikan baja sebenarnya melebihi dari data rasmi yang
direkodkan kerana sebahagiannya tidak diisytiharkan. Pada tahun 2015, pukat
tunda telah mendaratkan sekurang-kurangnya 210 000 tan metrik ikan baja atau
hampir 32% jumlah pendaratan pukat tunda. Dianggarkan sekurangkurangnya
ikan baja yang didaratkan sepanjang tempoh lima tahun dari tahun 2011 hingga
2015 adalah melebihi 1,000,000 (1 juta) tan metrik di Malaysia. Pukat tunda juga
telah menyumbang lebih 84% keseluruhan tangkapan ikan baja (Lampiran 5).

Pada tahun 2015 pukat tunda telah memusnahkan 2,520,000,000 kilogram


(2,520,000 tan metrik) ikan komersial saiz dewasa dengan nilai RM20,160,000,000
atau RM20.16 billion jika ikan ini dibiarkan membesar sehingga saiz matang
Kajian SAM dan Persatuan Pengguna Pulau Pinang (CAP) menunjukkan 1
kilogram ikan baja bersamaan sekurang-kurangnya 92 ekor anak-anak ikan
komersial. Sekiranya ikan ini dibiarkan dewasa dan mencapai saiz matang
dianggarkan 1 kilogram anak-anak ikan ini akan menjadi sekurang-kurangnya 12
kilogram ikan saiz dewasa. Berdasarkan kiraan ini, dianggarkan tangkapan ikan
baja bagi tahun 2015 telah memusnahkan 2,520,000,000 kilogram (2,520,000 tan
metrik) ikan saiz dewasa dengan nilai RM20.16 billion. Berdasarkan anggaran ini,
jumlah ini adalah lebih dari mencukupi untuk memenuhi permintaan protein
Negara dan meningkatkan sosio-ekonomi nelayan di Malaysia jika isu pukat tunda
dan ikan baja dapat diatasi dengan baik.

2. Penggunaan alat tangkap yang memusnahkan ekosistem dan sumber


perikanan serta pencerobohan kawasan tangkap nelayan pantai Pukat
tunda – Pukat Apollo – Pukat Rawa Sorong – Bot Pengorek Retak Seribu

Teknologi moden telah diperkenalkan sejak tahun 1960-an untuk


meningkatkan hasil pengeluaran ikan negara. Perkembangan yang paling ketara
ialah penggunaan pukat tunda yang dianggap sebagai peralatan tercanggih
mengikut ukuran semasa. Penggunaan pukat ini adalah tidak terkawal, sekali gus
telah menambahkan pendaratan ikan baja dengan banyaknya.
Selain itu pukat tunda yang memusnahkan permukaan dasar laut telah
merosakkan kawasan pembiakan dan pembesaran ikan di perairan laut pantai.
Penangkapan ikan menggunakan pukat tunda masih dibenarkan di Malaysia. Akta
Perikanan 1985 (Akta 317) hanya melarang nelayan pukat tunda daripada
menangkap ikan di Zon A, iaitu 5 atau 8 batu nautika dari pantai yang
dikhususkan kepada nelayan kecil. Bagaimanapun, zon ini juga sering diceroboh
oleh nelayan pukat tunda akibat penguatkuasaan yang lemah. Ini menyebabkan
kepupusan sumber-sumber perikanan negara dan mengancam mata pencarian
nelayan pantai. Kegiatan nelayan pukat tunda semakin menjadi-jadi sejak
kebelakangan ini berikutan peningkatan permintaan ikan baja untuk projek
akuakultur.

Penggunaan utama ikan baja adalah untuk projek akuakultur pesisir pantai,
memandangkan hampir 90% penternakan ikan di Malaysia membabitkan
pemberian ikan baja sebagai makanan. Dalam pemerhatian SAM dan JARING,
pencerobohan bot pukat tunda masih bergiat aktif di beberapa perairan dari Kuala
Perlis, Kuala Kedah, Kuala Sanglang, Yan, Tanjung Dawai, Kuala Muda hingga
ke perairan Pulau Pinang, Kuala Kurau, Tanjung Piandang, Kuala Sepetang,
Sungai Besar, Kuala Selangor, Kuantan, Kemaman dan sehingga menyusuri
sepanjang perairan sehingga ke Pontian, Kukup di Johor. Kaedah penangkapan
menggunakan pukat tunda yang memusnahkan dasar lautan telah menguasai
kawasan sepanjang pesisir perairan Malaysia. Ia diburukkan lagi apabila pukat
tunda ini diubahsuai menjadi Pukat Apollo, Pukat Buaya, Pukat Harimau dan
sebagainya Kerajaan telah mengiktiraf bahawa terdapat kekurangan/kepupusan
spesis ikan di pesisir pantai, namun dalam waktu yang sama masih mengeluarkan
permit/lesen penggunaan bot pukat tunda. Tindakan ini hanya memburukkan lagi
keadaan selain tidak melindungi hak dan mata pencarian nelayan pantai. Jika
keadaan ini berterusan, berkemungkinan besar Malaysia akan kehilangan sumber
perikanan dalam tempoh yang lebih singkat Beberapa negara seperti Hong Kong,
Venezuela, Palau, Belize, Jepun dan Indonesia telah mengharamkan sama sekali
penggunaan pukat tunda dalam perairan mereka.

 Pukat Kenka 2 bot (Pukat Apollo)

Pukat Apollo merupakan pukat yang telah diubahsuai dengan


menggunakan lesen daripada pukat Kenka. Pukat ini banyak beroperasi di sekitar
Kuala Kurau, Tanjung Piandang dan Pulau Pinang. Walaupun beroperasi secara
haram, Pukat Apollo ini dilihat seperti ‘kebal’ daripada tindakan undang-undang.
Penggunaan pukat ini memberi kesan kerosakan yang besar kepada ekosistem
marin dan laut.
Sejarah pengeluaran lesen ini bermula pada tahun 1970an dan rentetan sejarahnya meliputi
pembatalan lesen ini pada awal tahun 1980an sepanjang tempoh lesen dibatalkan rayuan demi
rayuan kami terima dari pemegang lesen berkenaan, justeru itu Jabatan Perikanan atas sifat
prihatin kepada mereka ini sebagai nelayan telah mengadakan beberapa siri rundingan dengan
pelbagai pihak yang berkepentingan termasuk nelayan pantai di Kerian dan Pulau Pinang.
Jabatan mengambil masa mengkaji implikasi pengeluaran lesen tersebut. Seterusnya Jabatan
menetapkan syarat yang sangat ketat dan pemegang lesen telah diminta menandatangani

Pukat Kenka dan Pukat Apollo adalah seperti berikut :

Berdasarkan perbandingan ini, jelas menunjukkan bahawa pukat Apollo telah


melanggar syarat sah lesen yang dikeluarkan oleh Jabatan Perikanan kerana tidak
mengikut spesifikasi pukat kenka yang sebenarnya. Pukat Apollo hanya
dibenarkan beroperasi di daerah Kerian dan biasanya tertumpu di kawasan Kuala
Kurau. Dari tinjauan yang dilakukan, lebih 500 buah pukat Apollo yang
beroperasi sekitar Kuala Kurau, Perak.
Zon Tangkapan Nelayan Pantai Jabatan Perikanan telah memperkenalkan
penzonan semula kawasan penangkapan ikan di Malaysia sejak tahun 2014.
Tujuan penzonan semula adalah untuk menjaga sumber perikanan supaya lebih
mapan dan berkekalan. Penzonan semula disambut baik kerana telah menghadkan
pukat tunda kepada kawasan yang lebih jauh iaitu kawasan 8 batu nautika dan ke
atas. Walau bagaimanapun, penzonan tidak memberi impak yang berkesan kerana
kawasan pantai sering diceroboh oleh pukat-pukat tunda.

Melalui penzonan semula juga telah diwujudkan kawasan 0-1 batu nautika
sebagai zon konservasi atau dikenali sebagai zon Refugia . Dimana aktiviti yang
dibenar atau dilarang akan ditentukan oleh komuniti nelayan setempat. Selain itu,
aktiviti akuakultur dibenarkan termasuk ternakan kerang dan kerang semula jadi
serta pancing tidak melebihi 2 mata kail dibenarkan (Pekeliling Jabatan Perikanan,
rujukan Prk.ML 08/35-22 bertarikh 28 Mac 2014) Walau bagaimanapun, zon ini
merupakan kawasan tangkap bagi jenis-jenis alat tangkap tradisional seperti pukat
sembilang, bubu sembilang, pukat ketam, Bintol ketam, pukat belanak, Bintol
udang lipat, pukat siakap, pukat bawal, Kerang, pukat senangin, siput, pukat
udang, pancing, pukat ikan duri, Bubu kerapu, korek ketam, menjala, tangkap
sotong kurita dan sebagainya yang tidak merosakkan ekosistem dan sumber
perikanan. Kebanyakan nelayan pantai menggunakan sepenuhnya kawasan
tersebut ini sebagai mata pencarian. Zon 0-1 batu nautika tidak sepatutnya
dijadikan kawasan larangan tangkapan kepada nelayan pantai kerana kawasan ini
merupakan kawasan tangkapan tradisi sejak turun temurun.
Daftar Pustaka
Bunpapong, S., and S. Ausavajitanon. 1991. Saving what’s left of tourism
development at Patong Beach, Phuket. Tahiland. In coastal zone’91 ,
ed. O.T.Magoon et.al., 1688-1697. New York; American Society of
Civil Engineers.
Department of Statistics Malaysia Official Portal
Dobias, R. J. 1989. Beaches and tourism in Thailand. In Coastal Area
Management in Southeast Asia: Policies, Management Strategies and
Case Studies, ed. T.E. Chua and D. Pauly. 43-55. ASEAN-USAID
Coastal ResourcesManagement Project. ICLARM Proceeding No. 2.
Manila. Philippines:Internasional Centre for Living Coastal Resources
Management.
KongsangChai, J. 1987. The conflicting interest of mangrove resources use in
Thailand. Paper presented at UNDP/UNESCO Regional Project
RAS/79/002,workshop for Mangrove Zone Managers, September 9-
10. Phuket, Thailand, New Delhi, India: Vijayalakshmi Printing
Works.
Malaysia Labuan IOFC, An Internasional Offshore Financial Centre, MIDA,
Quaterly Newsletter, May-December 1996, ISSN No. 0128-7834
Malaysia. 2001. Rancangan Malaysia Kelapan. Unit Perancang Ekonomi, Jabatan
Perdana Menteri
Mazlin B. Mokhtar, and Sarah Aziz Bt. A. Ghani Aziz.2003.” Integrated coastal
zone management using the ecosystems approach, some perspectives
in Malaysia.” Ocean & Coastal Management 46 407–419
Pintukanok, A., and S. Borothanarat. 1993. National Coastal resources
managementin Thailand. In World Coast Confrence 1993:
Proceedings, vols. 1 dan 2.CZM Centre publication No 4. The Hague:
Ministry of Tranport, Public Works, and Water Management, National
Institute for Coastal and Marine Management Coastal Zone
Management Centre.
Piyakarnchana, T., et al. 1991. Environmental education curricula at the tertiary
levels in Thailand: Case study of marine science and marine affairs
program. In Coastal Area Management Education in the ASEAN
Region, ed. T. E.Chua. 55-63. ASEAN-USAID Coastal Resources
Management Project.ICLRM Conference Proceedings No. 8. Manila,
Philipines: International Centre for Living Aquatic Resources
Management.
Pomeroy, R. S. 1995. Community-based and co-management institutions for
sustainable coastal fisheries management in Southeast Asia. Ocean &
Coastal Management 27 (3): 143-162.

Anda mungkin juga menyukai