(Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut
Terpadu)
OLEH :
DESI WARNI
(2209200210001)
bawah ini.
Sumber: www.mmea.gov
Pengelolaan pesisir dan kelautan negara malaysia tertuang dalam
Malaysia Kesembilan (2006-2010) yang di dalamnya memuat rencana
sumber daya alam dan lingkungan berfokus pada mempertahankan hidup
bersih dan sehat. Pendekatan sumber daya serta memenuhi kebutuhan
pembangunan ekonomi. pelaksanaan CZM dicapai melalui empat tujuan:
a. Dorongan dan memperkuat partisipasi pemangku kepentingan dan
kerjasama antara perencanaan dan pelaksanaan lembaga.
b. Penting untuk melakukan konservasi dan keberlanjutan sumber daya
alam termasuk rehabilitasi hutan dan pengurangan eksploitasi pada flora
dan fauna.
c. CZM membutuhkan pengurangan polusi, terutama udara dan
pencemaran air dari limbah padat, bahan beracun dan zat berbahaya.
d. Pembentukan rencana induk untuk perencanaan penggunaan lahan,
zonasi dan manajemen untuk mengurangi dampak banjir.
CZM di Malaysia didirikan dalam menanggapi masalah-masalah yang
dialami pesisir seperti erosi pantai, pencemaran pantai, eksploitasi
berlebihan. Pemerintah Malaysia mulai melakukan Studi sepanjang 4.809
km dari garis pantai. Hasil dari studi tersebut menyimpulkan bahwa 1.390
km (864 mil) garis pantai mengalami erosi. Menyusul rekomendasi dari
proyek ini, dua lembaga penting yang didirikan pada tahun 1987: CEC dan
NCECC, NCECC terdiri dari berbagai instansi yang menangani erosi di
wilayah pesisir. Badan-badan ini adalah Departemen Keuangan,
Kementerian Sains, Teknologi dan Lingkungan, Departemen Drainase dan
Irigasi, Departemen Pekerjaan Umum, Gubernur Sabah, Sarawak dan dua
negara lainnya secara bergilir, dan profesional. Program pesisir dibuat oleh
NCECC harus disetujui dan direkomendasikan oleh CEC sebelum
dilaksanakan. CEC bertanggung jawab untuk melakukan pengendalian erosi
pantai, memberikan dukungan teknis kepada NCECC dan Pemerintah
lainnya
Pelaksanaan ICZM dimulai pada tahun 1996 di Semenanjung Malaysia dan
Sabah. Tujuan dari manajemen berkelanjutan dari zona pesisir Sabah yang
meliputi 4 tugas:
a. Penentuan zona pesisir di Sabah;
b. Lingkungan yang berkelanjutan ;
c. Sistem Informasi Manajemen (SIM) dan Sistem Informasi Geografis
(GIS);
d. Penerapan lingkungan dan komputerisasi alat untuk perencanaan tata
ruang
Manajemen pesisir terpadu menganggap masalah lingkungan sebagai
penyebab isu permasalahan utama daerah pesisir dan kelautan hal ini
disebabkan kurangnya koheren dan terpadu antara kebijakan dan
manajemen, kurangnya kesadaran dan partisipasi masyarakat.
Permasalahan yang dihadapi ICZM di Malaysia seperti
a. Wilayah yurisdiksi yang sama untuk pengawasan dan penegakan;
b. Pengiriman dengan opsi kebijakan yang telah menjadi tidak jelas;
c. Tumpang tindih fungsi antara beberapa kementerian federal dan
pemerintah negara bagian di pengelolaan wilayah pesisir; dan
d. Tidak ada lembaga yang memiliki kewenangan untuk berurusan dengan
skala penuh dari masalah pencemaran laut
e. Ketidakmampuan Departemen Lingkungan Hidup untuk menangani
insiden di ZEE
Pembiayaan juga merupakan hambatan untuk menerapkan pendekatan
pengelolaan pesisir Malaysia dalam pencapaian tujuan. Pemerintah
Malaysia berinvestasi hanya 1 persen dari PDB pada manajemen
lingkungan. Selain itu, ada perbedaan yang signifikan dalam alokasi
pendapatan Pemerintah. Pemerintah Federal memperoleh 84 -88 persen,
sedangkan tiga belas negara memperoleh hanya 12 persen.
Pengelolaan perikanan di negara Malaysia diawasi oleh empat
departemen Departemen Perikanan (DOF), Pengembangan Perikanan
Authority of Malaysia (FDAM), Angkatan Laut Pantai polisi penjaga dan
Kelautan. DOF adalah badan utama yang bertanggung jawab untuk
keseluruhan perencanaan manajemen dan pelaksanaan termasuk taman laut.
FDAM adalah bertanggung jawab untuk peningkatan kehidupan nelayan,
nilai tambah pengolahan dan pemasaran. Kedua lembaga lainnya yang
mengkoordinasikan operasi pengawasan dan penegakan hukum, namun
hukum perikanan harus mengikuti UU Perikanan 1985 karena memenuhi
administrasi dan manajemen, termasuk konservasi dan pengembangan
perikanan kelautan dan perlindungan mamalia laut dan penyu. Selain itu,
hukum berkaitan dengan pembentukan taman laut dan cadangan laut.
Kebijakan pengelolaan perikanan laut dibagi ke empat zona menurut jarak
dari garis pantai :
Zona A : kurang dari 5 mil laut ( nm ) dicadangkan untuk nelayan skala
kecil menggunakan kapal tradisional.
Zona B : antara 5-12 nm untuk kapal penangkap ikan kurang dari 40
tenaga kuda.
Zona C : lebih besar dari 12 nm untuk kapal komersial lebih dari 40
gross ton ; dan
Zona C2 : melampaui 30 nm untuk kapal laut dalam lebih dari 70 gross
ton
SAM dan JARING telah mendapat aduan daripada nelayan tempatan, kini
lebih 50 spesies ikan sama ada sudah pupus atau hampir pupus. Spesies ikan yang
popular, terutama ikan yang berharga, ditangkap dengan sewenang-wenangnya
menyebabkan bilangannya jatuh secara mendadak. Pembaziran dalam pendaratan
ikan dapat dikenal pasti dengan peningkatan enam kali ganda pendaratan ikan baja
dari keseluruhan pendaratan ikan dalam tempoh 45 tahun. Ikan baja ialah anak-
anak ikan yang terlalu kecil dan tidak mempunyai nilai perdagangan; ia hanya
digunakan sebagai makanan ternakan atau pun dibuat baja dagangan. Pada tahun
1955 pendaratan ikan baja hanya 5% daripada jumlah pendaratan dan pada tahun
2010 telah meningkat kepada 31.6% daripada jumlah pendaratan. Pada tahun
2015, pendaratan ikan baja menurun kepada 17.16% daripada jumlah pendaratan
keseluruhan. Malangnya, penurunan peratusan ikan baja tidak menggambarkan
penurunan kuantiti ikan baja yang ditangkap berbanding 10-20 tahun lepas.
Realitinya kuantiti pendaratan ikan baja sebenarnya melebihi dari data rasmi yang
direkodkan kerana sebahagiannya tidak diisytiharkan. Pada tahun 2015, pukat
tunda telah mendaratkan sekurang-kurangnya 210 000 tan metrik ikan baja atau
hampir 32% jumlah pendaratan pukat tunda. Dianggarkan sekurangkurangnya
ikan baja yang didaratkan sepanjang tempoh lima tahun dari tahun 2011 hingga
2015 adalah melebihi 1,000,000 (1 juta) tan metrik di Malaysia. Pukat tunda juga
telah menyumbang lebih 84% keseluruhan tangkapan ikan baja (Lampiran 5).
Penggunaan utama ikan baja adalah untuk projek akuakultur pesisir pantai,
memandangkan hampir 90% penternakan ikan di Malaysia membabitkan
pemberian ikan baja sebagai makanan. Dalam pemerhatian SAM dan JARING,
pencerobohan bot pukat tunda masih bergiat aktif di beberapa perairan dari Kuala
Perlis, Kuala Kedah, Kuala Sanglang, Yan, Tanjung Dawai, Kuala Muda hingga
ke perairan Pulau Pinang, Kuala Kurau, Tanjung Piandang, Kuala Sepetang,
Sungai Besar, Kuala Selangor, Kuantan, Kemaman dan sehingga menyusuri
sepanjang perairan sehingga ke Pontian, Kukup di Johor. Kaedah penangkapan
menggunakan pukat tunda yang memusnahkan dasar lautan telah menguasai
kawasan sepanjang pesisir perairan Malaysia. Ia diburukkan lagi apabila pukat
tunda ini diubahsuai menjadi Pukat Apollo, Pukat Buaya, Pukat Harimau dan
sebagainya Kerajaan telah mengiktiraf bahawa terdapat kekurangan/kepupusan
spesis ikan di pesisir pantai, namun dalam waktu yang sama masih mengeluarkan
permit/lesen penggunaan bot pukat tunda. Tindakan ini hanya memburukkan lagi
keadaan selain tidak melindungi hak dan mata pencarian nelayan pantai. Jika
keadaan ini berterusan, berkemungkinan besar Malaysia akan kehilangan sumber
perikanan dalam tempoh yang lebih singkat Beberapa negara seperti Hong Kong,
Venezuela, Palau, Belize, Jepun dan Indonesia telah mengharamkan sama sekali
penggunaan pukat tunda dalam perairan mereka.
Melalui penzonan semula juga telah diwujudkan kawasan 0-1 batu nautika
sebagai zon konservasi atau dikenali sebagai zon Refugia . Dimana aktiviti yang
dibenar atau dilarang akan ditentukan oleh komuniti nelayan setempat. Selain itu,
aktiviti akuakultur dibenarkan termasuk ternakan kerang dan kerang semula jadi
serta pancing tidak melebihi 2 mata kail dibenarkan (Pekeliling Jabatan Perikanan,
rujukan Prk.ML 08/35-22 bertarikh 28 Mac 2014) Walau bagaimanapun, zon ini
merupakan kawasan tangkap bagi jenis-jenis alat tangkap tradisional seperti pukat
sembilang, bubu sembilang, pukat ketam, Bintol ketam, pukat belanak, Bintol
udang lipat, pukat siakap, pukat bawal, Kerang, pukat senangin, siput, pukat
udang, pancing, pukat ikan duri, Bubu kerapu, korek ketam, menjala, tangkap
sotong kurita dan sebagainya yang tidak merosakkan ekosistem dan sumber
perikanan. Kebanyakan nelayan pantai menggunakan sepenuhnya kawasan
tersebut ini sebagai mata pencarian. Zon 0-1 batu nautika tidak sepatutnya
dijadikan kawasan larangan tangkapan kepada nelayan pantai kerana kawasan ini
merupakan kawasan tangkapan tradisi sejak turun temurun.
Daftar Pustaka
Bunpapong, S., and S. Ausavajitanon. 1991. Saving what’s left of tourism
development at Patong Beach, Phuket. Tahiland. In coastal zone’91 ,
ed. O.T.Magoon et.al., 1688-1697. New York; American Society of
Civil Engineers.
Department of Statistics Malaysia Official Portal
Dobias, R. J. 1989. Beaches and tourism in Thailand. In Coastal Area
Management in Southeast Asia: Policies, Management Strategies and
Case Studies, ed. T.E. Chua and D. Pauly. 43-55. ASEAN-USAID
Coastal ResourcesManagement Project. ICLARM Proceeding No. 2.
Manila. Philippines:Internasional Centre for Living Coastal Resources
Management.
KongsangChai, J. 1987. The conflicting interest of mangrove resources use in
Thailand. Paper presented at UNDP/UNESCO Regional Project
RAS/79/002,workshop for Mangrove Zone Managers, September 9-
10. Phuket, Thailand, New Delhi, India: Vijayalakshmi Printing
Works.
Malaysia Labuan IOFC, An Internasional Offshore Financial Centre, MIDA,
Quaterly Newsletter, May-December 1996, ISSN No. 0128-7834
Malaysia. 2001. Rancangan Malaysia Kelapan. Unit Perancang Ekonomi, Jabatan
Perdana Menteri
Mazlin B. Mokhtar, and Sarah Aziz Bt. A. Ghani Aziz.2003.” Integrated coastal
zone management using the ecosystems approach, some perspectives
in Malaysia.” Ocean & Coastal Management 46 407–419
Pintukanok, A., and S. Borothanarat. 1993. National Coastal resources
managementin Thailand. In World Coast Confrence 1993:
Proceedings, vols. 1 dan 2.CZM Centre publication No 4. The Hague:
Ministry of Tranport, Public Works, and Water Management, National
Institute for Coastal and Marine Management Coastal Zone
Management Centre.
Piyakarnchana, T., et al. 1991. Environmental education curricula at the tertiary
levels in Thailand: Case study of marine science and marine affairs
program. In Coastal Area Management Education in the ASEAN
Region, ed. T. E.Chua. 55-63. ASEAN-USAID Coastal Resources
Management Project.ICLRM Conference Proceedings No. 8. Manila,
Philipines: International Centre for Living Aquatic Resources
Management.
Pomeroy, R. S. 1995. Community-based and co-management institutions for
sustainable coastal fisheries management in Southeast Asia. Ocean &
Coastal Management 27 (3): 143-162.