Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembedahan atau operasi merupakan tindakan dengan pengobatan

yang dengan prosedur membuka bagian tubuh atau di sebut dengan cara

invasive, pasien yang akan ditangani. Pembukaan bagian tubuh pertama

kali umumnya dilakukan dengan membuat sayatan, sayatan akan di

lakukan setelah bagian yang akan ditangani sudah terlihat, kemudian

dilakukan tindakan perbaikan dan setelah selesai melakukan pembedahan

maka yang akan di lakukan adalah mengakhiri dengan cara penjahitan dan

penutupan luka. Pembedahan sendiri cabang dari ilmu medis yang ikut

berperan terhadap kesembuhan dari luka atau penyakit melalui prosedur

manual atau melalui operasi dengan tangan (Noor, 2010).

Operasi atau pembedahan, baik elektif maupun kedaruratan adalah

peristiwa kompleks yang menegangkan yang banyak menimbulkan

kecemasan. Pre operasi merupakan tahapan dalam proses pembedahan

yang dimulai pra bedah (preoperasi), bedah (intra operasi), dan pasca

bedah (postoperasi). Prabedah merupakan tahapan dalam proses

pembedahan yang dimulai sejak persiapan pembedahan dan berakhir

sampai pasien di meja bedah (Sjamsuhidajat, 2010). Tindakan

pembedahan atau operasi ini hal yang paling di takutkan seluruh pasien
ketika di diagnose harus melakukan pembedahan, karena pasien

beranggapan akan mengalami hal-hal yang tidak diinginkan.

Setiap pembedahan diperlukan tindakan anestesi, dan anestesi

spinal (subaracnoid) merupakan anestesi regional dengan tindakan

penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi

spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai bawah,

panggul, dan perineum. Anestesi ini juga digunakan pada keadaan khusus

seperti bedah endoskopi, urologi, bedah rectum, perbaikan fraktur tulang

panggul, bedah obstetric, dan bedah anak (William, 2007). Pasien dengan

anestesi spinal dilakukan suatu evaluasi untuk menentukan boleh tidaknya

pasien dipindahkan ke bangsal perawatan.Indikator yang digunakan saat

ini adalah dengan Bromage Score,

Menurut Lewis (2016) bahwa latihan ekstremitas bawah yang baik

akan meningkatkan kemampuan penggerakan kaki sehingga akan

meningkatkan pemulihan fungsional pasca anestesi. Prosedur tindakan

pembedahan dengan spinal anestesi tidak lepas dari berbagai komplikasi

pre, durante, dan pasca anestesi baik langsung maupun komplikasi tidak

langsung, makasetiap pasien yang selesai menjalani operasi dengan spinal

anestesi terlebih ahulu harus dirawat di ruang pemulihan (Recovery

Room) sebelum pindah ke ruang perawatan atau langsung dirawat di ruang

intensif (Dobson, 2014). Hal inilah yang akan berdampak pada nilai

bromage score. Bromage score merupakan salah satu indikator respon

motorik pasca anestesi. Gerakan merupakan kemampuan sesorang untuk


menggerakkan bagian tubuhnya secara bebas dengan menggunakan

koordinasi sistem saraf dan muskuloskletal. Pengukuran blok motorik

yang paling sering digunakan adalah dengan skala bromage score. Jika

nilai bromage score kurang dari sama dengan 2 maka pasien dapat pindah

ke ruangan. Skala pengukuran ini untuk mengukur kemampuan pasien

untuk menggerakkan ekstermitas bawah. Penelitian Fitria (2018)

responden yang diikutkan dengan umur 18-45 tahun lebih cepat dalam

mencapai bromage score. Hal ini berkaitan dengan semakin tua usia maka

semakin turunnya fungsi tubuh tertentu seperti menurunnya fungsi ginjal

dan metabolisme hati, meningkatnya risiko lemak air dan berkurangnya

sirkulasi darah, sehingga metabolisme obat menjadi turun. Menurut

Harahap (2014), pasien lanjut usia (lansia) termasuk ke dalam golongan

usia ekstrim. Sehingga bertambahnya usia, volume dari ruang spinal dan

epidural akan berkurang. Adapun orang dewasa muda lebih cepat pulih

dari efek anestesi karena fungsi organ yang optimal terhadap obat anestesi.

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilaksanakan di Instalasi

Bedah Rs.Bhayangkara Lampung terhadap beberapa perawatan bedah

dilaporkan bahwa ada beberapa keluhan pasien pasca operasi dengan

regional anestesi seperti mual, muntah, penurunan tekanan darah, nyeri

kepala, retensi urine, dan syok pada pasien kurang dari 24 jam pertam.

Dengan Masalah peningkatan Bromage Score belum banyak diteliti maka

peneliti mengangkatsebuah judul PENGARUH LATIHAN PASIF

EKSREMITAS BAWAH DENGAN PERCEPATAN BROMAGE


SCORE PADA PASIEN POST OPERASI ANESTESI SPINAL DI

RUMAH SAKIT BHAYANGKARA LAMPUNG

B. Rumusan Masalah

“Apakah ada pengaruh latihan pasif ekstremitas bawah terhadap

percepatan Bromage Score pada pasien post operasi anestesi spinal?”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh latihan pasif ekstremitas bawah terhadap

percepatan Bromage Score pada pasien post operasi anestesi spinal di

Rumah Sakit Bhayangkara Lampung.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai

berikut :

a. Mendeskripsikan kegiatan latihan pasif ekstremitas bawah pada

pasien post operasi anestesi spinal.

b. Mendeskripsikan nilai Bromage Score pada pasien post operasi

anestesi spinal.

c. Menganalisis hubungan latihan pasif ekstremitas bawah dengan

percepatan bromage score pada pasien post operasi anestesi spinal.


D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Rumah Sakit. Sebagai kontribusi untuk menginformasikan

khususnya ruang operasi RST Slamet Riyadi untuk meningkatkan

kualitas pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan dan

memberikan gambaran yang lebih konkrit dapat dijadikan sumber

pijakan atau input bagi tenaga profesi keperawatan dalam mengelola

pasien post operasi di ruang pulih sadar.

2. Bagi Instansi diharapkan dapat menjadi referensi untuk menambah

ilmu pengetahuan.

3. Bagi Tenaga Kesehatan. Sebagai masukan untuk meningkatkan

pelayanan kesehatan, terutama dalam upaya meningkatkan kualitas

asuhan keperawatan pada pasien post operasi.

4. Bagi peneliti berikutnya. Untuk peneliti berikutnya dapat digunakan

sebagai acuan untuk pendokumentasian apabila akan mengadakan

penelitian mengenai latihan pasif ekstremitas bawah pengaruh dengan

peningkatan bromage score pada pasien post operasi dengan anestesi

spinal.

E. Keaslian Penelitian

1. Pengaruh Latihan Pasif Bawah Dalam percepatan Bromage score 2

pada pasien post oprasi anestesi spinal di Rumah Sakit Graha husada

2. Pengaruh Pengaturan Posisi Terhadap Lama Pemulihan keadaan

Pasien Post Operasi di Rumah Sakit Pringsewu

Tabel 1.1.
Keaslian Penelitian

No Nama Peneliti & Tahun Judul

1. Amelia putri, 2015 Pengaruh Latihan Pasif Bawah Dalam

percepatan Bromage score 2 pada pasien

post oprasi anestesi spinal di Rumah Sakit

Graha husada

Desain Penelitian & Varibel Kuantitatatif

Penelitian Variabel Indepen : Pasif Bawah Bromage

Score

Variabel Dependen: Anestesi Spinal

Hasil Berdasarkan uji hipotesis dengan

analisis korelasi Kendall Tau diketahui

bahwa nilai r hit > r tab = 0,464 >

0,261 dengan nilai signifikan 0,029 yang

nilainya lebih kecil dari 0,05. Hal ini

berarti ada Pengaruh yang signifikan

antara latihan pasif bromage score pada

pasien post operasi

2 Yurandra 2012 Pengaruh Pengaturan Posisi Terhadap

Lama Pemulihan keadaan Pasien Post

Operasi di Rumah Sakit Pringsewu

Desain Penelitian & Varibel Kuantitatatif

Penelitian Variabel Indepen : Pengaruran Posisi

Variabel Dependen: Pemulihan


Hasil Berdasarkan uji hipotesis dengan analisis

korelasi diketahui bahwa nilai r hit; r tab =

0,574 & 0,361 dengan nilai signifikan

0,039 yang nilainya lebih kecil dari 0,05.

Hal ini berarti ada Pengaruh yang

signifikan antara pengaruh posisi terhadap

pemulihan

Perbedaan Persamaan

Menggunakan metode kuantitataif


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Latihan Pasif Eksremitas Bawah

A. Pengertian Range Of Motion (ROM)

Range Of Motion (ROM) adalah suatu latihan yang menggerakkan

persendian serta memungkinkan terjadinya kontraksi serta pergerakan

pada otot, dimana latihan ini dilakukan pada masing-masing bagian

persendian sesuai dengan gerakan gerakan normal baik secara pasif

ataupun aktif (Potter & Perry 2010).

ROM sendiri merupakan suatu istilah baku untuk mengambarkan

batasan/ besarnya gerakan pada bagian sendi (Helmi, 2012). Latihan ROM

sendiri terbukti dapat menstimulus dalam meningkatkan kekuatan otot

(Into & Omes, 2012). Latihan ROM merupakan pergerakan atau aktivitas

yang ditunjukkan untuk memepertahankan kelenturan dan pergerakan dari

tiap sendi. ROM yang diprogramkan pada pasien stroke secara teratur

terbukti berefek positif baik dari segi fungsi fisik maupun fungsi psikologi.

Pemulihan fungsi ektremitas atas biasanya terjadi dalam rentang

waktu 4 minggu, latihan yang dapat dilakukan dalam meningkatkan fungsi

ekstremitas atas yaitu menggenggam, mencengkram, bergerak, dan

melepaskan beban (Ghaziani et al., 2017).


B. Klasifikasi Range Of Motion (ROM)

Pengklasifikasi Range Of Motion (ROM) menurut Widyawati (2010)

terdiri dari ROM aktif, ROM aktif dengan bantuan dan ROM pasif. ROM

aktif ialah latihan yang dilakukan oleh pasien secara mandiri, pada latihan ini

pasien dipercaya dapat meningkatkan kemandirian serta kepercayaan dirinya.

Latihan yang dilakukan secara mandiri oleh pasien dan hanya dibantu oleh

perawat atau keluarga saat pasien kesulitan melakukan suatu gerakan disebut

dengan ROM aktif dengan bantuan.

Sedangkan ROM pasif yaitu latihan yang dilakukan oleh pendamping

seperti perawat atau keluarga, pendamping berperan sebagai pelaku ROM

atau yang melakukan ROM terhadap pasien tersebut.

C. Indikasi dilakukkannya Latihan ROM menururt (Potter & Perry, 2005.;

Padhila, 2013) yaitu pasien yang mengalami kelemahan otot, pasien dengan

tahap rehabilitasi fisik, dan pasien dengan tirah baring lama

D. Kontra Indikasi Range Of Motion (ROM) Kontra indikasi menurut (Potter &

Perry, 2005 ; Padhila, 2013) yaitu pasien dengan kelainan sendi atau tulang,

pasien tahap mobilisasi karena kasus jantung, dan pasien dengan sendi yang

terinfeksi.

E. Prinsip Dasar Range Of Motion (ROM) Menurut Suratun (2008) prinsip

dalam pemberian ROM terdiri atas 5 bagian yaitu :


1. Pelaksanaan ROM dapat dilakukan sebanyak dua kali dalam sehari

2. ROM dilakukan secara perlahan serta tidak menimbulkan kelelahan pada

pasien

3. Dalam latihan ROM umur, diagnosa, tanda vital, serta faktor tirah baring

adalah hal yang harus di perhatikan

4. ROM dapat diberikan oleh tenaga kesehatan yang telah terlatih

khusunya pemberian ROM di lakukan oleh fisioterapi

5. Bagian-bagian yang dapat diberikan latihan ROM adalah leher, jari,

tangan, siku, bahu, tumit dan pergelangan kaki.

F. Langkah-langkah Range Of Motion (ROM)

Langkah-langkah Range Of Motion (ROM) merupakan latihan pada sendi,

selai pada ektremitas atas terdapat pula pada ektremitas bawah, menurut

Helmi (2013) beberapa bagian sendi yang dapat diberikan latihan Range Of

Motion (ROM) pada ektremitas bahwa yakni sebagai berikut:

1. Fleksi dan ekstensi lutut dan pinggul dengan cara menganggakat kaki dan

bengkokkan lutut

2. Abduksi dan adduksi kaki dengan cara menggerakkan ke samping kiri

dan samping kanan menjauh dari pasien

3. Rotasi pinggul internal dan ektrenal

4. Fleksi dan ektensi jari-jari kaki

5. Intervensi dan eversi telapak kaki


2. Bromage Score

A. Pengertian Bromage Score

Kriteria penilaian yang digunakan untuk menentukan pasien post operasi

spinal dapat pindah keruang perawatan menggunakan kriteria penilaian

bromage score.

Bromage score merupakan salah satu indikator respon motorik pasca

anestesi. Gerakan merupakan kemampuan sesorang untuk menggerakkan

bagian tubuhnya secara bebas dengan menggunakan koordinasi sistem saraf

dan muskuloskletal. Pengukuran blok motorik yang paling sering digunakan

adalah dengan skala bromage score. Jika nilai bromage score kurang dari sama

dengan 2 maka pasien dapat pindah ke ruangan. Skala pengukuran ini untuk

mengukur kemampuan pasien untuk menggerakkan ekstermitas bawah.

Penelitian Nuriyadi (2012), bromage score adalah suatu cara menilai

perkembangan pergerakan kaki pada pasien pasca operasi spinal anestesi

dengan hasil penelitian ada perbedaan lama waktu pencapaian bromage score

dengan anestesi bupivacain 0,5% 20 mg memerlukan waktu pencapaian

bromage score 2 pada menit ke 190-235, dan bupivacain 0,5% 15 mg pada

menit ke 155-195 pada pasien sectio saecaria di RSUD Muntilan

Menurut Basuki (2014) bahwa hal yang terjadi setelah obat dimasukkan

yang pertama dipengaruhi adalah saraf simpatis dan parasimpatis diikuti

dengan saraf dingin, panas, raba, dan tekan dalam. Sedangkan yang terakhir

adalah serabut motoris, rasa getar (vibrator sense) dan proprioseptif. Setelah

anestesi selesai, pemulihan terjadi dengan urutan yang sebaliknya yaitu fungsi
motoris yang akan kembali pulih. Lamanya anestesi tergantung pada

kecepatan obat meninggalkan cairan serebrospinal Gerakan otot kaki pasien

pasca spinal anestesi umumnya dipenngaruhi oleh :

1. Jenis Obat

Obat anestesi lokal yang ideal mempunyai mula kerja yang cepat,

durasi kerja dan juga tinggi blokade dapat diperkirakan sehingga dapat

disesuaikan dengan lama operasi, tidak neurotoksik, serta pemulihan

blokade motorik pasca operasi yang cepat sehingga mobilisasi dapat lebih

cepat dilakukan (Nainggolan, et al 2014). Anestesi spinal bila jenis obat

lebih besar dari CSF (hiperbarik) menyebabkan cairan hiperbarik

cenderung kebawah karena gravitasi bumi, sehingga akan mempengaruhi

pergerakan ekstermitas bawah setelah pasien sadar dari anestesi.

Sebaliknya jika lebih kecil (hipobarik) maka obat akan berada di area

penyuntikan tersebut.

2. Usia

Usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan suatu

makhluk, baik yang hidup maupun yang mati. Menurut penelitian Fitra

(2018) bahwa ada hubungan antara usia dengan waktu pencapaian

bromage score. Pada usia lanjut akan terjadi peningkatan-peningkatan

sensitifitas terhadap obat anestesi bila ini terjadi maka akan memperlambat

metabolisme dan pulih sadar pasca anestesi akan tertunda. Meningkatnya

usia menyebabkan kapasitas klien untuk beradaptasi dengan stress

pembedahan terhambat karena mundurnya beberapa fungsi tubuh tertentu.


Fitria (2018) responden yang diikutkan dengan umur 18-45 tahun

lebih cepat dalam mencapai bromage score. Hal ini berkaitan dengan

semakin tua usia maka semakin turunnya fungsi tubuh tertentu seperti

menurunnya fungsi ginjal dan metabolisme hati, meningkatnya risiko

lemak air dan berkurangnya sirkulasi darah, sehingga metabolisme obat

menjadi turun. Menurut Harahap (2014), pasien lanjut usia (lansia)

termasuk ke dalam golongan usia ekstrim. Sehingga bertambahnya usia,

volume dari ruang spinal dan epidural akan berkurang. Adapun orang

dewasa muda lebih cepat pulih dari efek anestesi karena fungsi organ yang

optimal terhadap obat anestesi.

3. Status fisik (America Society of Anestesiologist) ASA

Menurut Pramono (2015) setiap pasien harus dinilai status

fisiknya, hal ini menunjukkan apakah kondisi tubuhnya normal atau

mempunyai kelainan yang memerlukan perhatian khusus.

Menurut penelitian Triyono (2017) dalam penelitiannya tentang

hubungan status fisik ASA dengan waktu pencapaian bromage score 2

pada pasien spinal anestesi di ruang pemulihan RSUD Kanjuruhan

Kepanjen Kabupaten Malang didapatkan waktu pencapaian skala bromage

score 2 pada pasien ASA I adalah 184,75 menit dan responden pasien

ASA II 207 menit.

4. Berat Badan

Durasi aksi obat anestesi lokal secara umum berhubungan dengan

larutan lemak. Hal ini karena obat anestesi menumpuk atau tertimbun di
jaringan lemak yang selanjutnya dilepaskan dalam waktu yang lama yang

biasa terjadi pada pasien dengan IMT obesitas. Selain itu akan

meningkatkan protein, terutama asam glikoprotein dan lebih sedikit

dengan albumin sebagai pengaruh langsungnya yaitu terjadi eliminasi

memanjang (Subiyantoro, 2014). Menurut Maldini et al (2011) para ahli

telah menganjurkan pertimbangan “dosis rendah” pada pasien gemuk.

Menurut penelitian Subiyantoro (2014) menyatakan tidak ada hubungan

antara IMT dengan waktu pemulihan ekstermitas bawah.

5. Konsep Tindakan Spinal

Posisi miring biasanya pasien yang sudah mengalami kesakitan dan

tidak memungkinkan untuk duduk seperti ibu hamil, hemoroid dan

beberapa kasus ortopedi. Setelah diposisikan, pasien diberi obat anestetik

lokal seperti yang biasa digunakan adalah kokain, prokain, kloropokain,

lidokain dan bupivakain (Mahrizal, 2017). Penyuntikkan obat jenis

hipobarik pada posisi duduk akan menyebar ke arah sefalad. Sedangkan

pada posisi miring (posisi lateral) atau berbaring penyebaran obat

hipobarik sangat ditentukan oleh bentuk vertebra dan penyebaran ke arah

kaudal. Pada posisi duduk akan dipengaruhi oleh gravitasi dan sifat obat

bupivacaine (hiperbarik) obat akan segera turun pada

3. Anestesi Spinal

A. Pengertian Anestesi Spinal

Anestesi spinal/subarachnoid block adalah teknik anestesi regional dengan

menyuntikkan obat analgetik okal ke dalam ruang subarachnoid di daerah


antara vertebrae L2-L3/L3-L4 (obat lebih mudah menyebar menyebar ke

kranial) atau L4-5 (obat lebih cenderung berkumpul di kaudal)

(Wulandari, 2017).

Obat yang dimasukkan ke dalam ruang subarachnoid akan

memblok impuls sensorik, autonom dan motorik pada serabut saraf

anterior dan posterior yang melewati cairan serebrospinal. Penyebaran

agen anestetik dan tingkat anestesia bergantung pada jumlah cairan yang

disuntikkan, kecepatan obat tersebut disuntikkan, posisi pasien setelah

penyuntikan, dan berat jenis agen. Jika berat jenis agen lebih besar dari

berat jenis cairan serebrospinal (CSS), agen akan bergerak ke posisi

dependen spasium subarakhnoid; jika berat jenis agen anestetik lebih kecil

dari CSS, maka anestetik akan bergerak menjauhi bagian dependen

(Brunner & Sudarth, 2010)

Spinal anestesi atau ubarachniod Blok (SAB) adalah salah satu

teknik anestesi regional yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat

anestesi lokal ke dalam ruang subarachnoid untuk mendapatkan analgesia

setinggi dermatom tertentu dan relaksasi otot rangka. Untuk dapat

memahami spinal anestesi yang menghasilkan blok simpatis, blok sensoris

dan blok motoris maka perlu diketahui neurofisiologi saraf, mekanisme

kerja obat anestesi lokal pada spinal anestesi dan komplikasi yang dapat

ditimbulkannya. Derajat anestesi yang dicapai tergantung dari tinggi

rendah lokasi penyuntikan, untuk mendapatkan blockade sensoris yang

luas, obat harus berdifusi ke atas, dan hal ini tergantung banyak faktor
antara lain posisi pasien selama dan setelah penyuntikan, barisitas dan

berat jenis obat (Gwinnutt, 2011).

B. Anatomi Fisiologi Lumbal Vertebra

Pengetahuan yang baik tentang anatomi kolumna vertebralis merupakan

salah satu faktor keberhasilan tindakan anetesi spinal. Di samping itu,

pengetahuan tentang penyebaran analgesia lokal dalam cairan

serebrospinal dan level analgesia diperlukan untuk menjaga keamanan

tindakan anestesi spinal. Tulang belakang memiliki 5 segmen lumbal,

vertebra lumbalis merupakan vertebra yang paling penting dalam spinal

anestesi, karena sebagian besar penusukan pada spinal anestesi dilakukan

pada daerah ini. Pada saat berbaring daerah tertinggi adalah L3, sedangkan

daerah terendah adalah T5 (Morgan, 2013). Medulla spinalis dibungkus

oleh tiga jaringan ikat yaitu duramater, arakhnoid dan piameter yang

membentuk tiga ruangan : ruang epidural, ruang subdural, dan ruang

subarachnoid. Ruang subarachnoid terdiri dari trebekel, saraf spinalis dan

cairan serebrospinal (Mangku, 2010).

Otak dan korda spinalis dikelilingi oleh cairan serebrospinal (LCS)

dalam ruang subarachnoid yang sekaligus melindunginya dari trauma

akibat gerakan tiba-tiba. Sebagian besar hingga 90% LCS diproduksi dari

darah dalam plexus choroids diventrikelateral III dan IV dengan kecepatan

0,3 – 0,4 ml/menit dan diabsorpsi kembali kedalam darah oleh granulasi

arakhnoid. Volume cairan serebrospinal yang dibentuk setiap hari sekitar

150 cc. Jika cairan berkurang (misalnya karena lumbal pungsi) dapat
diproduksi lagi untuk menggantikan kehilangan tersebut (Salinas, 2009).

Suplai darah pada korda spinalis dan akar saraf berasal dari sebuah arteri

spinalis anterior dan pasangan arteri spinalis posterior. Arteri spinalis

anterior dan posterior menerima tambahan aliran darah dari arteri

interkostalis di toraks dan arteri lumbar di abdomen (Morgan, 2013).

Pada tulang belakang terdapat serabut-serabut saraf yang

menghubungkan antara otak dan organ-organ dibawahnya. Jika dilakukan

pada bagian-bagian tertentu pada medulla spinalis maka akan terjadi

bloakde pada saraf organ-organ dibawahnya (Salinas, 2009). Berikut saraf-

saraf yang di blok saat dilakukan spinal anestesi menurut Morgan (2013) :

1. Saraf Spinal

Nervus lumbal bawah, sakral dan koksigea bersama-sama dengan

fillum terminale membentuk kauda equine, dibagian bawah

berakhirnya medulla spinalis. Pada bagian ini anestesi spinal dilakukan

karena jarum spinal tidak akan merusak medulla spinalis karena saraf-

saraf yang membentuk kauda equine dapat bergerak bebas dalam LCS.

Didalam ruang subarachnoid, saraf spinalis terbagi menjadi serabut-

serabut saraf yang lebih kecil dan dibungkus hanya dengan sebuah

lapisan piameter. Ini berbeda dengan yang di ruang epidural, yang

berupa gabungan saraf besar dengan banyak jaringan penghubung

didalam maupun diluar sarafnya. Hal ini menunjukkan perlunya dosis

anestesi yang lebih besar pada epidural daripada spinal anestesi

2. Saraf Somatik
Saraf somatik mengatur semua gerakan sadar, seperti berjalan, berbicara,

dan lain-lain. Semua aktivitas tubuh diatur pada dasarnya melalui jaringan

saraf dengan menghubungkan serabut saraf, yang berasal dari sistem saraf

pusat dan membuat sistem saraf perifer. Ada tiga jenis serabut saraf; saraf

sensorik, saraf motorik, dan saraf penghubung. Saraf ini diperbolehkan

untuk mentransfer impuls sensorik dan motorik dalam sistem saraf. Spinal

anestesi dapat mem secara luas, baik pada saraf motorik dan sensorik

ekstremitas bawah. Sehingga menyebabkan parathesia dan relaksasi otot

rangka yang bersifat reversible serta menimbulkan efek analgesia yang

kuat.

C. Saraf Simpatis

Sistem saraf simpatis memiliki ganglion yang terletak di sepanjang

tulang belakang yang menempel pada sumsum tulang belakang, sehingga

memilki serabut pra-ganglion pendek dan serabut post ganglion yang

panjang. Serabut pra-ganglion adalah serabut saraf yang yang menuju

ganglion dan serabut saraf yang keluar dari ganglion disebut serabut post-

ganglion.

D. Saraf Parasimpatis

Saraf afferent dan efferent dari sistem saraf parasimpatis berjalan

melalui nervus kranial atau nervus sakralis ke 2, 3, 4. Nervus vagus

merupakan saraf kranial paling penting yang membawa saraf efferent

parasimpatis. Saraf parasimpatis terletak di kraniosakral sehingga dengan

adanya vertebra lumbal saraf parasimpatis tidak ikut ter. Selama proses
spinal anestesi, saraf parasimpatis memiliki peranan dominan sehingga

haemodinamik pasien cenderung menurun dan perlu diperhatikan.

1. Tinggi Blok Analgesia Spinal Anestesi

Faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi blok analgesia spinal

anestesi menurut Majid (2011) :

a. Volume obat analgetik lokal : makin besar makin tinggi daerah

analgesi.

b. Konsentrasi obat : makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia

c. Barbotase : penyutikan dan aspirasi cairan serebrospinal

berulangulang dapat meninggikan batas daerah analgesik

d. Kecepatan : penyuntikkan yang cepat menghasilkan batas analgesia

yang tinggi. Kecepatan penyuntikkan yang dianjurkan adalah 3

detik tiap 1 ml

e. Maneuver valsava : mengejan meninggikan tekanan serebrospinal

liquor dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.

f. Tempat pungsi : pengaruhnya besar pada L4-L5 obat hiperbarik

cenderung berkumpul ke kaudal (saddle blok), pungsi L2-L3 atau

L3-L4 obat cenderung menyebar ke kranial

g. Berat jenis larutan : hiperbarik, isobarik dan hipobarik

h. Tekanan abdominal yang meningkat : dengan dosis yang sama

didapat batas analgesia yang lebih tinggi


i. Waktu : setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan

analgesik sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat

diubah dengan posisi pasien

2. Penyebaran Anestesi Lokal di Tulang Belakang

Banyak faktor yang dikatakan mempengaruhi mekanisme ini.

menurut Gwinnutt (2011), faktor utama dalam penyebaran anestesi

lokal adalah karakteristik fisik cerebro spinal fluid (CSF) dan sifat

cairan anestesi lokal (hiperbarik, hipobarik atau isobarik) yang

disuntikkan, teknik yang digunakan serta gambaran umum pasien.

Obat-obat lokal anestesi berdasarkan barisitas dan sensitas dapat di

golongkan menjadi tiga golongan menurut Gwinnutt (2011), yaitu :

a. Hyperbarik

Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat

lebih besar daripada berat jenis cairan serebrospinal, sehingga

dapat terjadi perpindahn obat ke dasar akibat gaya gravitasi. Agar

obat anestesi lokal benar-benar hiperbarik pada semua pasien maka

baritas paling rendah harus 1,0015 gr/ml pada suhu 370 C.

Contoh : buvipakain 0,5%

b. Hipobarik

Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat

lebih rendah dari berat jenis cairan serebrospinal sehingga obat

akan berpindah dari area penyuntikan ke atas. Densitas cairan

serebrospinal pada suhu 370 C adalah 1,003 gr/ml. Perlu diketahui


variasi normal cairan serebrospinal sehingga obat yang sedikit

hipobarik belum tentu menjadi hipobarik bagi pasien yang lainnya.

Contoh : terakain, dibukain

c. Isobarik

Obat anestesi isobarik bila densitasnya sama dengan

densitas cairan serebrospinal pada suhu 370 C sehingga obat akan

berada di tingkat yang sama di tempat penyuntikan. Tetapi karena

terdapat variari densitas cairan serebrospinal, maka obat akan

menjadi isobarik untuk semua pasien jika densitasnya berada pada

rentang standar deviasi 0,999 – 1,001 gr/ml. Contoh : levobupikain

0,5 %

3. Indikasi Spinal Anestesi

Menurut Majid (2011), indikasi spinal anestesi dapat digolongkan

sebagai berikut :

a. Bedah tungkai bawah, panggul dan perineum

b. Tindakan khusus seperti bedah endoskopi, urologi, rektum

c. Bedah fraktur tulang panggul

d. Bedah obstetrik – ginekologi

e. Bedah pediatrik dilakukan setelah bayi ditidurkan dengan anestesi

umum

4. Kontraindikasi Spinal Anestesi

Kontraindikasi spinal anestesi menurut Majid (2011) adalah

sebagai berikut :
a. Kontraindikasi mutlak :

1. Hipovolemia berat (syok)

2. Infeksi kulit pada tempat lumbal pungsi (bakteremia)

3. Koagulopati

4. Peningkatan tekanan cranial

b. Kontraindikasi absolute :

1. Neuropati

2. Prior spine surgery

3. Nyeri punggung

4. Penggunaan obat-obatan preoperasi golongan OAINS

5. Pasien dengan haemodinamik tidak stabil

5. Pengaruh Spinal Anestesi pada Tubuh

Respon spinal anestesi ditentukan oleh pengaruhnya pada saraf

afferent dan efferent somatik dan visceral. Saraf somatik berhubungan

dengan persarafan sensorik dan motorik, sedangkan saraf visceral

berhubungan dengan sistem saraf otonom Berikut sistem dalam tubuh

yang terpengaruh ketika dilakukan spinal anestesi menurut Latief

(2019):

a. Sistem Kardiovaskuler

Pada anestesi spinal tinggi terjadi penurunan aliran darah jantung

dan penghantaran (supply) oksigen miokardium yang sejalan

dengan penurunan tekanan arteri rata-rata. Penurunan tekanan darah

yang terjadi sesuai dengan tinggi blok simpatis, makin banyak


segmen simpatis yang terblok makin besar penurunan tekanan

darah.

b. Sistem Respirasi

Pada anestesi spinal blok motorik yang terjadi 2-3 segmen di bawah

blok sensorik, sehingga umumnya pada keadaan istirahat

pernafasan tidak banyak dipengaruhi. Tetapi apabila blok yang

terjadi mencapai saraf frenikus yang mempersarafi diafragma, dapat

terjadi apnea

c. Sistem Gastrointestinal

Serabut-serabut simpatis pada intestinum (T5 – L1) bersifat

inhibitor terhadap usus, menurunkan peristaltik, tidak ada efek

terhadap oesofagus, memelihara tonus sphincter dan menentang

aksi nervus vagus. simpatis (T5 – L1) yang disebabkan anestesi

spinal menyebabkan kontraksi usus halus meningkat karena tonus

vagus dominan.

d. Sistem Genitourinari

Spinal anestesi menurunkan 5-100% GFR, saraf yang menyebabkan

kandung kemih atonia mengakibatkan volume urin yang banyak.

Blokade simpatis afferent (T5 – L1) berakibat dalam peningkatan

tonus sphincter yang menyebabkan retensi urin. Retensi urin post

spinal anestesi mungkin secara moderat diperpanjang karena S2 dan

S3 berisi serabut-serabut otonom kecil dan paralisisnya terlambat

lebih lama daripada serabut-serabut sensoris dan motoris yang lebih


besar. Kateter urin harus dipasang jika anestesi dilakukan dalam

waktu lama. Menurut Potter & Perry (2010), normalnya dalam

waktu 6-8 jam setelah anestesi, pasien akan mendapatkan kontrol

fungsi berkemih secara volunter, tergantung pada jenis

pembedahan.

e. Sistem Endokrin

Spinal anestesi tidak merubah fungsi endokrin atau aktifitas

metabolik saat operasi, kecuali peningkatan sedikit gula atau

penurunan katekolamin. tiap jalur afferent dan efferent atau

keduanya, bertanggungjawab terhadap penghambatan perubahan

endokrin dan metabolik oleh stress operasi.

Selain mempengaruhi kelima sistem tersebut, spinal anestesi juga

mempengarui sistem muskoloskeletal, spinal anestesi menyebabkan

parathesia hingga relaksasi otot-otot ekstremitas bawah akibat adanya

motorik/somatik. Dengan menghambat transmisi impuls nyeri dan

menghilangkan tonus otot rangka. Blok sensoris menghambat stimulus

nyeri somatik atau visceral, sedangkan blok motorik menyebabkan

relaksasi otot. Efek anestesi lokal pada serabut saraf bervariasi

tergantung dari ukuran serabut saraf tersebut dan apakah serabut

tersebut bermielin atau tidak serta konsentrasi obat (Morgan, 2013).

E. Komplikasi Tindakan Anestesi Spinal

Komplikasi yang dapat terjadi dalam tindakan spinal anestesi

antara lain (Latief, 2009) :


1. Komplikasi tindakan:

a. Hipotensi berat akibat blok simpatis terjadi venous pooling

b. Bradikardi terjadi akibat blok sampai T2-T3

c. Hipoventilasi akibat paralisis saraf frenikus atau hipotensi

pusat kendali nafas

d. Trauma saraf dan pembuluh darah

e. Mual muntah

2. Komplikasi pasca tindakan:

1. Nyeri tempat suntikan

2. Nyeri punggung

3. Nyeri kepala karena kebocoran liquor

4. Retensi urin

5. Meningitis

F. Penanganan

Penanganan yang dilakukan pasca spinal anestesi menurut Majid

(2011) adalah posisi berbaring terlentang (tirah baring) selama 24 jam,

hidrasi adekuat, hindari mengejan, dan bila ketiga cara tersebut tidak

berhasil, berikan epidural blood patch yakni penyuntikan darah pasien

sendiri 5-19 ml ke dalam ruang epidural. Sedangkan menurut Morgan

(2013) cara yang bisa dilakukan antara lain mobilisasi dini setelah tirah

baring 24 jam dan diet TKTP.


4. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah model yang dikembangkan berdasarkan tinjauan

teori yang telah disampaikan pada bagian terdahulu (Notoatmojo, 2012)

LATIHAN PASIF EKSREMITAS Bromage Scor


BAHWA (ROM PASIF )
Lamanya anestesi tergantung pada
1. Fleksi dan ekstensi lutut dan kecepatan obat meninggalkan cairan
pinggul dengan cara serebrospinal Gerakan otot kaki pasien
menganggakat kaki dan pasca spinal anestesi umumnya
bengkokkan lutut dipenngaruhi oleh :

2. Abduksi dan adduksi kaki a. Efek obat anestesi (premedikasi


dengan cara menggerakkan ke anestesi, induksi anestesi)
samping kiri dan samping kanan
menjauh dari pasien
b. Durasi (lama) Tindakan Anestesi

c. Usia
3. Rotasi pinggul internal dan
ektrenal d. Berat Badan dan Indeks Masa Tubuh
(Body Mass Index)
4. Fleksi dan ektensi jari-jari kaki
e. Jenis Operasi
5. Intervensi dan eversi telapak
kaki f. Status Fisik ASA Anestesi
Menurut Helmi (2013) Menurut Basuki (2014)

WAKTU PULIH
SADAR

a. Kardiovaskuler
b. Respirasi
c. Sirkulasi
d. Pencernaan
e. Integumen
f. Persyarafan
g. Muskuloskeletal
Menurut Latief (2019)

Gambar 2.1. Kerangka Teori


5. Kerangka Konsep

Menurut Nursalam (2017) kerangka konsep penelitian merupakan

abstraksi dari suatu realitas sihingga dapat dikomunikasikan dan membentuk

teori yang menjelaskan keterkaitan atara variable yang diteliti. Adapun

kerangka konsep dari penelitian ini dapat dijabarkan seperti gambar di bawah

ini :

Variabel Independen

LATIHAN PASIF
EKSREMITAS
BROMAGE SCORE
BAHWA (ROM
PASIF )

PASIEN POST OPERASI ANESTESI


SPINAL

Variabel Dependen

Gambar 2.2. Kerangka Konsep

6. Hipotesis

hipotesis ini digunakan untuk mengukur adanya pengaruh antara aktivitas

(X1), minat (X2) dan terhadap (Y), yang mana pengujian hipotesis terhadap ρ

merupakan unsur utama pembentuk koefisien determinasi. Keputusan dari uji


hipotesis hampir selalu dibuat berdasarkan pengujian hipotesis nol.Hipotesis

penelitian ini sebagi berikut :

Ha : ada hubungan Latihan Eksremitasi Bawah dengan Bromage score Pada

Pasien Post Operasi Spinal

Ho : Tidak ada hubungan Latihan Eksremitasi Bawah dengan Bromage score

Pada Pasien Post Operasi Spinal


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian

1. Jenis Penelitian

Peneliti menggunakan desain quasi experimental design karena dalam

penelitian initerdapat variabel-varibel dari luar yang tidak dapat dikontrol oleh

peneliti. Penelitian ini akan di lakukan dua kali, pre test (sebelum) di lakukan

latihan pasif dan post test setelah di lakukan latihan pasif

2. Desain Penelitian

Desain penelitian yang di karakteristik tertentu, yang merupakan ciri-ciri

pokok populasi. Analisis bivariat dilakukan untuk melihat bromage scorese

belum dan sesudah dilakukan laatihan pasif. Sehingga dianalisis menggunakan

Uji Wilcoxon. Dengan kriteria hasil bila ρ value ≤ 0,05 maka Ha diterima

artinya ada pengaruh dan bila ρ value > 0,05 maka Ha ditolak artinya tidak ada

pengaruh gunakan pada penelitian ini adalah quasi experimental design.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat : Penelitian ini akan dilaksanakan di RS.Bhayangkara

lampung

2. Waktu Penelitian : Waktu yang digunakan peneliti untuk penelitian ini

dilaksanakan sejak tanggal dikeluarkannya ijin penelitian


dalam kurun waktu kurang lebih 2 (dua) bulan, 1 bulan

pengumpulan data dan 1 bulan pengolahan data yang

meliputi penyajian dalam bentuk skripsi dan proses

bimbingan berlangsung

C. Populasi dan Sample

1. Populasi

Menurut Handayani (2020), populasi adalah totalitas dari setiap elemen

yang akan diteliti yang memiliki ciri sama, bisa berupa individu dari suatu

kelompok, peristiwa, atau sesuatu yang akan diteliti. Populasi dalam

penelitian ini 20 pasien yang telah dilakukan tindakan anestesi

Tabel 3.1. Karakteristik Populasi

Jenis Kelamin Sebelum Latihan Rom Sesudah Latihan Rom

Wanita 5 5

Laki-laki 5 5

Total 20

2. Sample

Penelitian terhadap populasi dengan jumlah yang besar namun terkendala,

waktu dan sebagainya, maka dapat dilakukan pengambilan sampel. Seperti

yang dijelaskan oleh Sugiyono (2017) Sampel adalah bagian dari jumlah

dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Bila populasi besar,

dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi,
misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dna waktu, maka peneliti dapat

menggunakan sampel yang diambi dari populasi itu.

3. Teknik Sampling

Ada beberapa jenis teknik penarikan sampel, yang akan penulis gunakan

adalah teknik penarikan sampel secara acak atau simple random sampling.

Menurut sugiyono (2017) pengertian dari sampling jenuh adalah teknik

penentuan sampel bila semua anggota populasi dijadikan sampel, hal ini

dilakukan bila jumlah populasi relative kecil, kurang dari 30, atau

penelitian ingin membuat generalisasi dengan kesalahan yang sangat kecil.

Istilah lain sampel jenuh adalah sensus, dimana semua populasi dijadikan

sampel

Berdasarkan penjelasan diatas, maka yang akan dijadikan sampel

dalam penelitian ini adalah seluruh dari populasi yang diambil, yaitu 20

pasien Post Operasi di ruang pulih Rs.Bhayangkara Lampung

D. Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang,

objek atau kegiatan yang memepunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,

2019) Dalam penelitian ini, variabel yang digunakan adalah variabel bebas (X)

dan variabel terikat (Y).


1. Variabel Bebas (Independent Variable)

Independent Variable sering disebut sebagai variabel stimulus, predictor,

dan antecedent. Dalam bahasa Indonesia sering disebut variabel

bebas.Variabel bebas merupakan variabel yang mepengaruhi atau menjadi

sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen (terikat) (Sugiyono,

2019). Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini adalah Latihan

Pasif Eksremitasi Bawah (X1), Bromage score (X2).

2. Variabel Terikat (Dependent Variable)

Menurut Sugiyono (2019) Dependent Variable sering disebut

sebagai variabel output, kriteria, konsekuen. Dalam bahasa Indonesia

sering disebut sebagai variabel terikat. Variabel terikat merupakan variabel

yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas.

Variabel terikat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Post Oprasi

Anestesi Spinal (Y).

E. Definisi Operasional

Menurut Sugiyono (2017) Definisi Operasional merupakan penentuan

konstrak atau sifat yang akan dipelajari sehingga menjadi variabel yang dapat

diukur.

Definisi Operasional variabel-variabel dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:
Tabel 3.2. Definisi Oprasional

Variabel Definisi Oprasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala


Latihan Pasif ROM - Fleksi dan ekstensi Lembar Skor Liker
bawah lutut dan pinggul Kuisioner kekuatan
dengan cara otot yang
menganggakat kaki dan diperoleh
bengkokkan lutut dengan nilai
- Rotasi pinggul internal minimum 1
dan ektrenal dan
- Fleksi dan ektensi jari- maksimum 5
jari kaki dengan
- Intervensi dan eversi kriteria
telapak kaki
Menurut Helmi (2013)

Bromage score Lamanya anestesi kuisiner Skor e nilai Liker


tergantung pada Lembar minimum 1
kecepatan obat Kuisioner dan
meninggalkan cairan maksimum 5
serebrospinal Gerakan dengan
otot kaki pasien pasca kriteria
spinal anestesi
umumnya dipenngaruhi
oleh :
a. Efek obat anestesi
b. Durasi (lama)
Tindakan Anestesi
c. Usia
d. Jenis Operasi
e. Status Fisik ASA

Post Operasi a.Nyeri tempat suntikan Lembar Skor e nilai


Anestesi spinal b.Nyeri punggung Kuisioner minimum 1
c.Nyeri kepala karena dan
kebocoran liquor maksimum 5
d.Retensi dengan
kriteria

F. Instrumen Penelitian

Instrumen pengumpulan data adalah alat bantu yang dipilih dan digunakan

oleh peneliti dalam kegiatannya mengumpulkan data agar kegiatan tersebut


menjadi sistematis dan dipermudah olehnya (Notoatmodjo, 2017). Pada

bagian awal dari instrumen penelitian ini terdapat data karakteristik responden

yang meliputi nama, umur, jenis operasi . Dilanjutkan dengan lembar

penilaian

G. Teknik Pengumpulan Data

a) Peneliti mengajukan surat ijin penelitian kefakultas.

b) Peneliti mengajukan surat pengantar surat ijin ke Rumah Sakit

Bhayangkara Lampung

c) Penelitian dilaksanakan setelah mendapat surat ijin dari Rumah

Sakit Bhayangkara Bhayangkara lampung

d) Menentukan responden.

e) Memberikan penjelasan tentang tujuan, manfaat dan prosedur

penelitian yang akan dilaksanakan kepada responden.

f) Meminta responden untuk menandatangani lembar persetujuan menjadi

responden setelah menyetujui sebagai partisipan dalam penelitian yang

akan dilakukan.

g) Melakukan telaah hasil kuesioner untuk mendapatkan data peneltian.

Memeriksa dan mengoreksi kembali data yang didapat apabila ada

kekurangan dari kelengkapan data.

H. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam peneltian kuantitatif mengunakan statistik.

Sehingga penelitian ini menggunakan statistik inferensi. Yang mana statistik


inferensi adalah bagian statistik yang mempelajari penafsiran dan penarikan

kesimpulan yang berlaku secara umum dari data yang tersedia Misbahuddin

dan Iqbal Hasan, (2018) Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah:

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik sebagai berikut :

1. Analisis Univariat Analisis

dilakukan dengan membuat tabel dan distribusi frekuensi dari masing-

masing variabel bebas dan terikat, yaitu pengetahuan, sikap dan perilaku

(Notoatmodjo, 2014).

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga

berhubungan atau berkolerasi, yaitu dengan perilaku dan sikap dengan

perilaku dengan menggunakan uji statistic Chi Square yang dilakukan

secara komputerisasi. Menurut Riyanto (2017)

Batas atau tingkat kemaknaan yang digunakan dalam penelitian ini

yaitu nilai α 0,05. Apabila nilai (p value) ≤ 0,05 maka perhitungan

tersebut dinyatakan bermakna atau ada hubungan antara dua variabel yang

dianalisis, tetapi jika nilai (p value) > 0,05 maka perhitungan tersebut

dinyatakan tidak bermakna atau tidak ada hubungab antar dua variabel

yang dianalisis.
I. Jalanya Penelitian

Pelaksanaan penelitian dimulai dari pengumpulan data di Rumah Sakit

Bhayangkara Lampung dengan prosedur sebagai berikut :

1. Tahap Persiapan

a. Pembagian tema dan pencarian kasus

Pada tahap ini peneliti melakukan pencarian kasus yang sesuai dengan

tema dari berbagai referensi penelitian terdahulu.

b. Pembuatan dan pengajuan judul

Peneliti membuat dan mengajukan judul sesuai dengan tema. Setelah

mendapatkan persetujuan dari pembimbing 1 dan II peneliti bisa memulai

untuk menyusun penelitian.

c. Penyusunan dan konsultasi proposal

Peneliti menyusun proposal dan dikonsultasikaan dengan pembimbing I

dan II. Koreksi dari pembimbing dijadikan acuan untuk pembuatan revisi

sampai proposal disetujui. Setelah mendapat persetujuan dari pembimbing

I dan II peneliti mengajukan ujian proposal penelitian yang dilaksanakn di

ITS PKU Muhammadiyah Surakarta.

d. Ujian Proposal

Peneliti melaksanakan ujian proposal sesuai jadwal yang telah ditentukan

dan memaparkan proposal dihadapan tim penguji.

e. Revisi masukan dan arahan dari penguji


Peneliti akan membenahi kekurangan-kekurangan yang disampaikan oleh

penguji dan memenuhi saran-saran saat ujian proposal yang telah dilakukan,

kemudian peneliti melakukan konsultasai untuk penyempurnaan proposal

tersebut.

2. Tahapan Penelitian

a. Pengurusan Perizinan

Peneliti mengajukan surat permohonan izin penelitian dari institusi kepada

pihak Rumah Sakit Bhayangkara Lampung.

b. Melakukan Penelitian

Peneliti Menentukan sampel penelitian, kemudian memberikan penjelasan

kepada calon responden tentang maksud dan tujuan penelitian. Kemudian

menyerahkan lembar inform concent kepada responden. Kuesioner

pengetahuan perawat dibagikan kepada responden melalui google form.

Untuk kuesioner kedua, peneliti meminta bantuan kepada kepala unit

untuk melakukan observasi terhadap kinerja perawat pelaksana dalam

penerapan standar patient safety

c. Tahap Penyelsaian

Setelah semua data terkumpul dan dianalisa, tahap selanjutnya adalah

pelaporan hasil penelitian. Pada tahap ini hasil penelitian dilaporkan

sekalian dibahas kesesuaiannya dengan beberapa tinjauan pustaka. Setelah

dibahas dan diolah dengan program SPSS 22 kemudian hasil penelitian


dikonsultasikan kembali kepada pembimbing I dan II sampai mendapatkan

persetujuan untuk melakukan ujian (seminar penelitian ). Setelah ujian dan

melakukan perbaikan, kemudian mendapatkan tanda tangan persetujuan

oleh pembimbing I dan II bahwa penelitian ini layak kemudian proses

pengumpulan skripsi. Laporan penelitian diakhiri dengan kesimpulan dan

saran.

J. Etika Penelitian

Etika penelitian adalah suatu pedoman etika yang berlaku untuk

setiap kegiatan penelitian yang melibatkan antara pihak peneliti, pihak

yang diteliti (subjek peneliti) dan masyarakat yang akan memperoleh

dampak hasil penelitian tersebut (Notoatmodjo, 2018) Tujuan etika

penelitian memperhatikan dan mendahulukan hak-hak responden

(Notoatmodjo, 2018)

1) Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity)

Responden harus mendapatkan hak dan informasi tentang tujuan

penelitian yang akan dilakukan. Peneliti juga harus memberikan

kebebasan kepada responden untuk memberikan informasi atau tidak

memberikan informasi. Untuk menghormati harkat dan martabat

responden, peneliti harus mempersiapkan formulir persetujuan (inform

concent).

2) Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek penelitian (respect for

privacy and confidentiality)


Setiap orang mempunyai hak-hak dasar individu termasuk privasi dan

kebebasan individu dalam memberikan informasi. Oleh sebab itu

peneliti tidak boleh menampilkan informasi mengenai identitad dan

kerahasiaan responden. Peneliti cukup menggunakan inisial sebagai

pengganti identitas responden.

K. Pengolahan Data

Langkah-langkah pengolahan data secara manual menurit Notoatmodjo,

2018 adalah :

a. Editing

Editing adalah pemeriksaan kelengkapan data yang diperoleh atau

dikumpulkan melalui kuesioner. Jika ternyata masih ada data atau

informasi yang tidak lengkap, dan tidak mungkin dilakukan

wawancara ulang, maka kuesioner tersebut dikeluarkan (drop out).

b. Coding

Coding adalah kegiatan setelah data diteliti makan selanjutnya

diberikan kode dengan merubah data berbentuk huruf menjadi data

berbentuk angka/bilangan sehingga memudahkan peneliti dalam

memasukan data ke dalam komputer.

c. Entry

Entry data adalah mengisi kolom-kolom atau kotak-kotak lembar kode

atau kartu kode sesuai dengan jawaban masing-masing pertanyaan.

d. Cleaning
Yang membersihkan data yang merupakan kegiatan pengecekan

kembali data yang sudah dimasukan apakah ada kesalahan atau tidak

dalam penelitian ini menghilangkan data yang tidak sesuai dan tidak

diperlukan oleh peneliti.


DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai