Anda di halaman 1dari 33

PENGARUH LATIHAN PASIF EKSREMITAS BAWAH

TERHADAP BROMAGE SCORE PADA PASIEN POST


OPERASI ANESTESI SPINAL DI RUMAH SAKIT
BHAYANGKARA LAMPUNG

PROPOSAL PENELITIAN

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Tugas Akhir


dalam Rangka Menyelesaikan Pendidikan
Program Studi DIV Alih jenjang Keperawatan Anestesiologi

Oleh:

SEPTINA MEGARIA
NIM. 02202204158

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


INSTITUT TEKNOLOGI SAINS DAN KESEHATAN
PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pembedahan atau operasi ialah segala tindakan pengobatan yang
menggunakan metode invasif dengan cara menampilkan bagian tubuh, dan
dilakukan dengan membuat sayatan pada bagian tubuh yang akan
ditangani serta dilakukan tindakan perbaikan, penutupan dan penjahitan
luka. (Apriansyah, Romadoni, & Andrianovita, 2015). Setiap pembedahan
diperlukan tindakan anestesi, anestesia adalah usaha untuk meniadakan
nyeri pada saat dilakukan pembedahan. Usaha menghilangkan nyeri
dilakukan tanpa menghilangkan kesadaran pasien biasa disebut dengan
anestesia lokal atau regional. Anestesia spinal adalah teknik anestesia
regional atau sebagian dengan cara memblokade ruang subarachnoid
(Sjamsuhidajat (2010), dalam Futmasari et.al (2019))

Menurut Lewis (2016) bahwa latihan ekstremitas bawah yang baik


akan meningkatkan kemampuan penggerakan kaki sehingga akan
meningkatkan pemulihan fungsional pasca anestesi. Prosedur tindakan
pembedahan dengan spinal anestesi tidak lepas dari berbagai komplikasi
pre, durante, dan pasca anestesi baik langsung maupun komplikasi tidak
langsung, makasetiap pasien yang selesai menjalani operasi dengan spinal
anestesi terlebih ahulu harus dirawat di ruang pemulihan (Recovery
Room) sebelum pindah ke ruang perawatan atau langsung dirawat di ruang
intensif (Dobson, 2014). Hal inilah yang akan berdampak pada nilai
bromage score.

Bromage score merupakan salah satu indikator respon motorik


pasca anestesi. Gerakan merupakan kemampuan sesorang untuk
menggerakkan bagian tubuhnya secara bebas dengan menggunakan
koordinasi sistem saraf dan muskuloskletal. Pengukuran blok motorik
yang paling sering digunakan adalah dengan skala bromage score. Jika
nilai bromage score kurang dari sama dengan 2 maka pasien dapat pindah
ke ruangan. Skala pengukuran ini untuk mengukur kemampuan pasien
untuk menggerakkan ekstermitas bawah.

Berdasarkan hasil penelitian Agus (2019) mengenai latihan


ektremitas kaki (bawah) terhadap percepatan Bromage Score di
RS.Pertamina dimana didapatkan hasil mayoritas responden dengan
anestesi spinal tergolong mempunyai percepatan bromage score antara 1 –
2 jam yaitu sebanyak 23 orang (47,9%). Penelitian ini didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh Andriyani (2010), Hasibulan (2021)
Kelemahan otot ekstemitas bawah dapat menyebabkan gangguan
keseimbangan tubuh sehingga mengakibatkan kelambanan bergerak,
langkah pendek-pendek, kaki tidak dapat menapak dengan kuat dan
terlambat mengantisipasi bila terpeleset atau tersandung. Pada
pembedahan appendiktomi diperlukan tindakan anestesi, dan anestesi
spinal (subaracnoid) merupakan anestesi regional dengan tindakan
penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi
spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai bawah,
panggul, dan perineum.

Anestesi ini juga digunakan pada keadaan khusus seperti bedah


endoskopi, urologi, bedah rectum, perbaikan fraktur tulang panggul, bedah
obstetric, dan bedah anak (William, 2017). Waktu pulih sadar 90%pasien
akan kembali sadar penuh dalam waktu 15 menit. Tidak sadar diatas 15
menit dianggap prolonged, bahkan pasien yang sangat rentanmerespon
stimulus dalam waktu 30 menit-45 menit setelah anestesi (Deriyono,
2017). Pasien paska operasi kebanyakan takut untuk menggerakkan
badannya dan beranggapan akan mempengaruhi luka operasi. Hampir
semua jenis operasi membutuhkan mobilisasi atau latihan rentang gerak
sendi sedini mungkin. Pergerakan fisik bisa dilakukan diatas tempat tidur
dengan menggerakkan tangan dan kaki yang bias ditekuk atau diluruskan,
termasuk juga menggerakkan badan seperti miring ke kiri atau ke kanan
(Zetri, 2016). Bromage score 2 dapat dicapai dengan Range Of Motion
(ROM). Zulkarnain, M., Flora, R., & Andrianti, S. (2018) menyatakan
bahwa latihan fisik sangat berperan penting dalam sistem molekuler, salah
satu Latihan fisik pada pasien post operasi adalah range of motion secara
pasif.

ROM merupakan salah satu jenis mobilisasi. Mobilisasi atau


kemampuan seseorang untuk bergerak bebas merupakan salah satu
kebutuhan dasaryang harus terpenuhi. Mobilisasi yang dilakukan pada dua
jam pertamasetelah pembedahan lebih efektif dari pada enam jam paska.
Pembedahan (Rahayu, 2018). Jenis ROM ada dua yaitu ROM pasif dan
ROM aktif, ROM aktif adalah pergerakan yang dilakukan oleh pasien
tanpa bantuanorang lain sedangkan ROM pasif adalah latihan rentan gerak
yangdilakukan dengan bantuan orang lain seperti bantuan keluarga
maupun perawat (Suratun, 2018).

ROM pasif sangat diperlukan pasien paska anestesi karena


dapatberpengaruh pada berbagai sistem dalam tubuh, seperti pada
sistemkardiovaskuler, sistem respiratori, sistem pencernaan, sitem
muskuloskeletal dan faktor psikososial (Rahayu, 2018). Kekuatan otot
ekstremitas atas (kekuatan otot genggam tangan kanan dan kiri) dan
kekuatan otot ekstremitas bawah (kekuatan otot tungkai) umumnya
mempunyai kekuatan otot yang kurang dan tidak ada yang masuk kategori
baik setelah pembiusan.

Indikator yang digunakan saat ini adalah dengan Bromage Score,


yaitu indikator dengan pencapaian kemampuan penggerakan tungkai bawa
Nurwakit (2015) bahwa latihan ekstremitas bawah yang baik akan
meningkatkan kemampuan penggerakan kaki sehingga akan meningkatkan
pemulihan fungsional pasca regional anestesi dalam hal ini dapat
mempengaruhi kecepatan gerakan motorik kaki serta menghindari
berbagai komplikasi yang mungkin muncul serta melancarkan aliran darah
ke perifer. Tindakan mandiri lainnya yang dapat dilakukan oleh penata
anestesi untuk membantu melancarkan sirkulasi aliran darah adalah elevasi
kaki. Elevasi kaki adalah tindakan meninggikan posisi kaki dan
merupakan salah satu tindakan yang dianjurkan untuk mempercepat aliran
balik darah dan terjadinya peningkatan volume darah ke jantung sehingga
sirkulasi menjadi lancar (Potter & Perry, 2015).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Melati (2015) mengatakan


Pasien Pasca Operasi Elektif di Ruang Pulih Bedah RS.Advand.
Pencapaian nilai kriteria pindah bromage score dipengaruhi oleh lama
anestesi dan operasi, hasil penelitian menunjukkan bromage score paska
spinal anestesi terjadi peningkatan pada responden yang diberikan terapi
ROM Pasif, terlihat bahwa p-value = 0,000. Pasien paska menjalani
operasi akan dipindahkan ke recovery room untuk dipantau kestabilan
hemodinamiknya sebelum diizinkan kembali kebangsal, dan fenomena
yang terjadi dilapangan pasien tidak dapat berlama-lama di recovery room
sebab ruangan dan brankar yang digunakan terbatas dan akan secara
bergilir digunakan untuk pasien yang akan operasi selanjutnya. Pasien
dapat dipindahkan dari recovery room dengan syarat memenuhi bromage
score minimal 2, yang mana ini sudah menjadi standar baku di rumah
sakit.

Berdasarkan hasil observasi RS.Bhayangkara , didapatkan data


dalam bulan November 2022 operasi dengan spinal anestesi jumlahnya
sebanyak 137 pasien. Diantara operasi tersebut, operasi sectio caesarea
berjumlah 32 pasien. Di RS.Bhayangkara, belum ada standar prosedur
operasional paska spinal anestesi untuk mempercepat pemulihan pasien
tanpa Tindakan latihan ROM Pasif belum diterapkan sebagai asuhan
keperawatan post spinal anestesi pihak rumah sakit hanya menyarankan
untuk mengompres dengan air hangat oleh karna itu peneliti mencoba
untuk melakukan penelitian lebih mendalam mengani Bromage score
dengan judul pengaruh latihan pasif ekstremitas bawah terhadap
percepatan Bromage Score pada pasien post operasi anestesi spinal di
Rumah sakit Bhayangkara lampung

B. Rumusan Masalah

“Apakah ada pengaruh latihan pasif ekstremitas bawah terhadap


percepatan Bromage Score pada pasien post operasi anestesi spinal?”.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh latihan pasif ekstremitas bawah
terhadap percepatan Bromage Score pada pasien post operasi anestesi
spinal di Rumah Sakit Bhayangkara Lampung.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai
berikut :
a. Mendeskripsikan karakteristik pasien Rs.Bhayangkara lampung.
b. Mendeskripsikan nilai Bromage Score pada pasien post operasi
anestesi sebelum dan setelah dilakukan latihan Rom pasif
bawah .di RS.Bhayangkara lampung
c. Menganalisis pengaruh latihan pasif ekstremitas bawah terhadap
bromage score pada pasien post operasi anestesi spinal di
Rs.Bhayangkara lampung.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Rumah Sakit. Sebagai kontribusi untuk menginformasikan
khususnya ruang operasi Rs.Bhayangkara lampung untuk
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan khususnya pelayanan
keperawatan dan memberikan gambaran yang lebih konkrit dapat
dijadikan sumber pijakan atau input bagi tenaga profesi keperawatan
dalam mengelola pasien post operasi di ruang pulih sadar.
2. Bagi Instansi diharapkan dapat menjadi referensi untuk menambah
ilmu pengetahuan.
3. Bagi Tenaga Kesehatan. Sebagai masukan untuk meningkatkan
pelayanan kesehatan, terutama dalam upaya meningkatkan kualitas
asuhan keperawatan pada pasien post operasi.

E. Keaslian Penelitian
1. Faktor penyebab terlambatnya pindah (Delayed Discharged) Pasien
Pasca Operasi Elektif di Ruang Pulih Bedah Pusat Terpadu RS.Advand
2. Pengaruh Pengaturan Posisi Terhadap Lama Pemulihan keadaan
Pasien Post Operasi di Rumah Sakit Pringsewu

Tabel 1.1.Keaslian Penelitian

Keaslian Penelitian
No Nama Peneliti & Tahun Judul
1. Melati (2015) faktor penyebab terlambatnya pindah
(Delayed Discharged) Pasien Pasca
Operasi Elektif di Ruang Pulih Bedah
Pusat Terpadu RS.Advand
Desain Penelitian & Varibel Kuantitatatif
Penelitian Variabel Indepen : Pasif Bawah Bromage
Score
Variabel Dependen: Anestesi Spinal

Hasil menunjukkan bromage score paska


spinal anestesi terjadi peningkatan pada
responden yang diberikan terapi ROM
Pasif, terlihat bahwa p-value = 0,000.
2 Agus 2019 latihan ektremitas kaki (bawah) terhadap
percepatan Bromage Score di
RS.Pertamina
Desain Penelitian & Varibel Kuantitatatif Variabel Indepen : latihan
Penelitian ektremitas kaki (bawah) Variabel
dependen : bromage score

Hasil dimana didapatkan hasil mayoritas


responden dengan anestesi spinal
tergolong mempunyai percepatan
bromage score antara 1 – 2 jam yaitu
sebanyak 23 orang (47,9%).sebanyak 23
orang (47,9%).signifikan antara
pengaruh posisi terhadap pemulihan
Perbedaan Persamaan
Menggunakan metode kuantitataif

Sumber : Melati (2015) Agus 2019


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1 . Range Of Motion (ROM)

a. Pengertian Range Of Motion ROM)


Latihan ROM (Range Of Motion) merupakan latihan yang dilakukan
untuk mempertahankan atau memperbaiki kemampuan menggerakkan
persendian secara normal untuk meningkatkan massa otot dan tonus
otot (Istichomah, 2020).
Pemulihan fungsi ektremitas atas biasanya terjadi dalam rentang
waktu 4 minggu, latihan yang dapat dilakukan dalam meningkatkan
fungsi ekstremitas atas yaitu menggenggam, mencengkram, bergerak,
dan melepaskan beban (Ghaziani 2017).

b. Klasifikasi Range Of Motion (ROM)

Pengklasifikasi Range Of Motion (ROM) menurut Widyawati


(2010) terdiri dari ROM aktif, ROM aktif dengan bantuan dan ROM
pasif. ROM aktif ialah latihan yang dilakukan oleh pasien secara
mandiri, pada latihan ini pasien dipercaya dapat meningkatkan
kemandirian serta kepercayaan dirinya. Latihan yang dilakukan secara
mandiri oleh pasien dan hanya dibantu oleh perawat atau keluarga saat
pasien kesulitan melakukan suatu gerakan disebut dengan ROM aktif
dengan bantuan.

Sedangkan ROM pasif yaitu latihan yang dilakukan oleh


pendamping seperti perawat atau keluarga, pendamping berperan
sebagai pelaku ROM atau yang melakukan ROM terhadap pasien
tersebut.
c. Prinsip Dasar Range Of Motion (ROM)
Menurut Suratun (2013) prinsip dalam pemberian ROM terdiri atas 5
bagian yaitu :
1. Pelaksanaan ROM dapat dilakukan sebanyak dua kali dalam sehari
2. ROM dilakukan secara perlahan serta tidak menimbulkan
kelelahan pada pasien
3. Dalam latihan ROM umur, diagnosa, tanda vital, serta faktor tirah
baring adalah hal yang harus di perhatikan
4. ROM dapat diberikan oleh tenaga kesehatan yang telah terlatih
khusunya pemberian ROM di lakukan oleh fisioterapi
5. Bagian-bagian yang dapat diberikan latihan ROM adalah leher,
jari, tangan, siku, bahu, tumit dan pergelangan kaki.

d. Langkah-langkah Range Of Motion (ROM)


Langkah-langkah Range Of Motion (ROM) merupakan latihan
pada sendi, selai pada ektremitas atas terdapat pula pada ektremitas
bawah, menurut Helmi (2013) beberapa bagian sendi yang dapat
diberikan latihan Range Of Motion (ROM) pada ektremitas bahwa
yakni sebagai berikut:
1. Fleksi dan ekstensi lutut dan pinggul dengan cara menganggakat
kaki dan bengkokkan lutut
2. Abduksi dan adduksi kaki dengan cara menggerakkan ke samping
kiri dan samping kanan menjauh dari pasien
3. Rotasi pinggul internal dan ektrenal
4. Fleksi dan ektensi jari-jari kaki
5. Intervensi dan eversi telapak kaki

2. Bromage Score
a. Pengertian Bromage Score
Bromage score merupakan salah satu indikator respon motorik pasca
anestesi. Gerakan merupakan kemampuan sesorang untuk
menggerakkan bagian tubuhnya secara bebas dengan menggunakan
koordinasi sistem saraf dan muskuloskletal. Pengukuran blok motorik
yang paling sering digunakan adalah dengan skala bromage score. Jika
nilai bromage score kurang dari sama dengan 2 maka pasien dapat
pindah ke ruangan. Skala pengukuran ini untuk mengukur kemampuan
pasien untuk menggerakkan ekstermitas bawah. Penelitian Nuriyadi
(2012),
Bromage score adalah suatu cara menilai perkembangan
pergerakan kaki pada pasien pasca operasi spinal anestesi dengan hasil
penelitian ada perbedaan lama waktu pencapaian bromage score dengan
anestesi bupivacain 0,5% 20 mg memerlukan waktu pencapaian
bromage score 2 pada menit ke 190-235, dan bupivacain 0,5% 15 mg
pada menit ke 155-195 pada pasien sectio saecaria di RSUD Muntilan
Menurut Basuki (2014) bahwa hal yang terjadi setelah obat
dimasukkan yang pertama dipengaruhi adalah saraf simpatis dan
parasimpatis diikuti dengan saraf dingin, panas, raba, dan tekan dalam.
Sedangkan yang terakhir adalah serabut motoris, rasa getar (vibrator
sense) dan proprioseptif. Setelah anestesi selesai, pemulihan terjadi
dengan urutan yang sebaliknya yaitu fungsi motoris yang akan kembali
pulih. Lamanya anestesi tergantung pada kecepatan obat meninggalkan
cairan serebrospinal Gerakan otot kaki pasien pasca spinal anestesi
umumnya dipenngaruhi oleh :
1. Jenis Obat
Obat anestesi lokal yang ideal mempunyai mula kerja yang
cepat, durasi kerja dan juga tinggi blokade dapat diperkirakan
sehingga dapat disesuaikan dengan lama operasi, tidak
neurotoksik, serta pemulihan blokade motorik pasca operasi yang
cepat sehingga mobilisasi dapat lebih cepat dilakukan (Nainggolan,
2014). Anestesi spinal bila jenis obat lebih besar dari CSF
(hiperbarik) menyebabkan cairan hiperbarik cenderung kebawah
karena gravitasi bumi, sehingga akan mempengaruhi pergerakan
ekstermitas bawah setelah pasien sadar dari anestesi. Sebaliknya
jika lebih kecil (hipobarik) maka obat akan berada di area
penyuntikan tersebut.

2. Usia
Usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu
keberadaan suatu makhluk, baik yang hidup maupun yang mati.
Menurut penelitian Fitra (2018) bahwa ada hubungan antara usia
dengan waktu pencapaian bromage score. Pada usia lanjut akan
terjadi peningkatan-peningkatan sensitifitas terhadap obat anestesi
bila ini terjadi maka akan memperlambat metabolisme dan pulih
sadar pasca anestesi akan tertunda. Meningkatnya usia
menyebabkan kapasitas klien untuk beradaptasi dengan stress
pembedahan terhambat karena mundurnya beberapa fungsi tubuh
tertentu.
Fitria (2018) responden yang diikutkan dengan umur 18-45
tahun lebih cepat dalam mencapai bromage score. Hal ini berkaitan
dengan semakin tua usia maka semakin turunnya fungsi tubuh
tertentu seperti menurunnya fungsi ginjal dan metabolisme hati,
meningkatnya risiko lemak air dan berkurangnya sirkulasi darah,
sehingga metabolisme obat menjadi turun. Menurut Harahap
(2014), pasien lanjut usia (lansia) termasuk ke dalam golongan usia
ekstrim. Sehingga bertambahnya usia, volume dari ruang spinal
dan epidural akan berkurang. Adapun orang dewasa muda lebih
cepat pulih dari efek anestesi karena fungsi organ yang optimal
terhadap obat anestesi.

3. Status fisik (America Society of Anestesiologist) ASA


Menurut Pramono (2015) setiap pasien harus dinilai status
fisiknya, hal ini menunjukkan apakah kondisi tubuhnya normal
atau mempunyai kelainan yang memerlukan perhatian khusus.
Menurut penelitian Triyono (2017) dalam penelitiannya tentang
hubungan status fisik ASA dengan waktu pencapaian bromage
score 2 pada pasien spinal anestesi di ruang pemulihan RSUD
Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang didapatkan waktu
pencapaian skala bromage score 2 pada pasien ASA I adalah
184,75 menit dan responden pasien ASA II 207 menit.
4. Berat Badan
Durasi aksi obat anestesi lokal secara umum berhubungan
dengan larutan lemak. Hal ini karena obat anestesi menumpuk atau
tertimbun di jaringan lemak yang selanjutnya dilepaskan dalam
waktu yang lama yang biasa terjadi pada pasien dengan IMT
obesitas. Selain itu akan meningkatkan protein, terutama asam
glikoprotein dan lebih sedikit dengan albumin sebagai pengaruh
langsungnya yaitu terjadi eliminasi memanjang (Subiyantoro,
2014). Menurut Maldini (2013) para ahli telah menganjurkan
pertimbangan “dosis rendah” pada pasien gemuk.

5. Konsep Tindakan Spinal


Posisi miring biasanya pasien yang sudah mengalami
kesakitan dan tidak memungkinkan untuk duduk seperti ibu hamil,
hemoroid dan beberapa kasus ortopedi. Setelah diposisikan, pasien
diberi obat anestetik lokal seperti yang biasa digunakan adalah
kokain, prokain, kloropokain, lidokain dan bupivakain (Mahrizal,
2017). Penyuntikkan obat jenis hipobarik pada posisi duduk akan
menyebar ke arah sefalad. Sedangkan pada posisi miring (posisi
lateral) atau berbaring penyebaran obat hipobarik sangat ditentukan
oleh bentuk vertebra dan penyebaran ke arah kaudal. Pada posisi
duduk akan dipengaruhi oleh gravitasi dan sifat obat bupivacaine
(hiperbarik) obat akan segera turun pada

3. Anestesi Spinal
a. Pengertian Anestesi Spinal
Anestesi spinal/subarachnoid block adalah teknik anestesi
regional dengan menyuntikkan obat analgetik okal ke dalam ruang
subarachnoid di daerah antara vertebrae L2- L3 / L3 - L4 (obat lebih
mudah menyebar menyebar ke kranial) atau L4-5 (obat lebih
cenderung berkumpul di kaudal) (Wulandari, 2017). Obat yang
dimasukkan ke dalam ruang subarachnoid akan memblok impuls
sensorik, autonom dan motorik pada serabut saraf anterior dan
posterior yang melewati cairan serebrospinal. Penyebaran agen
anestetik dan tingkat anestesia bergantung pada jumlah cairan yang
disuntikkan, kecepatan obat tersebut disuntikkan, posisi pasien
setelah penyuntikan, dan berat jenis agen. Jika berat jenis agen lebih
besar dari berat jenis cairan serebrospinal (CSS), agen akan bergerak
ke posisi dependen spasium subarakhnoid; jika berat jenis agen
anestetik lebih kecil dari CSS, maka anestetik akan bergerak
menjauhi bagian dependen (Brunner & Sudarth, 2013)
Spinal anestesi atau ubarachniod Blok (SAB) adalah salah satu
teknik anestesi regional yang dilakukan dengan cara menyuntikkan
obat anestesi lokal ke dalam ruang subarachnoid untuk mendapatkan
analgesia setinggi dermatom tertentu dan relaksasi otot rangka.
Untuk dapat memahami spinal anestesi yang menghasilkan blok
simpatis, blok sensoris dan blok motoris maka perlu diketahui
neurofisiologi saraf, mekanisme kerja obat anestesi lokal pada spinal
anestesi dan komplikasi yang dapat ditimbulkannya. Derajat anestesi
yang dicapai tergantung dari tinggi rendah lokasi penyuntikan, untuk
mendapatkan blockade sensoris yang luas, obat harus berdifusi ke
atas, dan hal ini tergantung banyak faktor antara lain posisi pasien
selama dan setelah penyuntikan, barisitas dan berat jenis obat
(Gwinnutt, 2014).
b. Anatomi Fisiologi Lumbal Vertebra
Pengetahuan yang baik tentang anatomi kolumna vertebralis
merupakan salah satu faktor keberhasilan tindakan anetesi spinal. Di
samping itu, pengetahuan tentang penyebaran analgesia lokal dalam
cairan serebrospinal dan level analgesia diperlukan untuk menjaga
keamanan tindakan anestesi spinal. Tulang belakang memiliki 5
segmen lumbal, vertebra lumbalis merupakan vertebra yang paling
penting dalam spinal anestesi, karena sebagian besar penusukan pada
spinal anestesi dilakukan pada daerah ini. Pada saat berbaring daerah
tertinggi adalah L3, sedangkan daerah terendah adalah T5 (Morgan,
2013). Medulla spinalis dibungkus oleh tiga jaringan ikat yaitu
duramater, arakhnoid dan piameter yang membentuk tiga ruangan :
ruang epidural, ruang subdural, dan ruang subarachnoid. Ruang
subarachnoid terdiri dari trebekel, saraf spinalis dan cairan
serebrospinal (Mangku, 2010). Otak dan korda spinalis dikelilingi
oleh cairan serebrospinal (LCS) dalam ruang subarachnoid yang
sekaligus melindunginya dari trauma akibat gerakan tiba-tiba.
Sebagian besar hingga 90% LCS diproduksi dari darah dalam plexus
choroids diventrikelateral III dan IV dengan kecepatan 0,3 – 0,4
ml/menit dan diabsorpsi kembali kedalam darah oleh granulasi
arakhnoid. Volume cairan serebrospinal yang dibentuk setiap hari
sekitar 150 cc. Jika cairan berkurang (misalnya karena lumbal
pungsi) dapat diproduksi lagi untuk menggantikan kehilangan
tersebut (Salinas, 2014). Suplai darah pada korda spinalis dan akar
saraf berasal dari sebuah arteri spinalis anterior dan pasangan arteri
spinalis posterior. Arteri spinalis anterior dan posterior menerima
tambahan aliran darah dari arteri interkostalis di toraks dan arteri
lumbar di abdomen (Morgan, 2013).
Pada tulang belakang terdapat serabut-serabut saraf yang
menghubungkan antara otak dan organ-organ dibawahnya. Jika
dilakukan pada bagian-bagian tertentu pada medulla spinalis maka
akan terjadi bloakde pada saraf organ-organ dibawahnya (Salinas,
2015). Berikut saraf-saraf yang di blok saat dilakukan spinal anestesi
menurut Morgan (2013) :
1. Saraf Spinal
Nervus lumbal bawah, sakral dan koksigea bersama-sama
dengan fillum terminale membentuk kauda equine, dibagian
bawah berakhirnya medulla spinalis. Pada bagian ini anestesi
spinal dilakukan karena jarum spinal tidak akan merusak medulla
spinalis karena saraf-saraf yang membentuk kauda equine dapat
bergerak bebas dalam LCS. Didalam ruang subarachnoid, saraf
spinalis terbagi menjadi serabut-serabut saraf yang lebih kecil
dan dibungkus hanya dengan sebuah lapisan piameter. Ini
berbeda dengan yang di ruang epidural, yang berupa gabungan
saraf besar dengan banyak jaringan penghubung didalam maupun
diluar sarafnya. Hal ini menunjukkan perlunya dosis anestesi
yang lebih besar pada epidural daripada spinal anestesi
2. Saraf Somatik
Saraf somatik mengatur semua gerakan sadar, seperti
berjalan, berbicara, dan lain-lain. Semua aktivitas tubuh diatur
pada dasarnya melalui jaringan saraf dengan menghubungkan
serabut saraf, yang berasal dari sistem saraf pusat dan membuat
sistem saraf perifer. Ada tiga jenis serabut saraf; saraf sensorik,
saraf motorik, dan saraf penghubung. Saraf ini diperbolehkan
untuk mentransfer impuls sensorik dan motorik dalam sistem
saraf. Spinal anestesi dapat mem secara luas, baik pada saraf
motorik dan sensorik ekstremitas bawah. Sehingga menyebabkan
parathesia dan relaksasi otot rangka yang bersifat reversible serta
menimbulkan efek analgesia yang kuat.
3. Saraf Simpatis
Sistem saraf simpatis memiliki ganglion yang terletak di
sepanjang tulang belakang yang menempel pada sumsum tulang
belakang, sehingga memilki serabut pra-ganglion pendek dan
serabut post ganglion yang panjang. Serabut pra-ganglion adalah
serabut saraf yang yang menuju ganglion dan serabut saraf yang
keluar dari ganglion disebut serabut post-ganglion.
4. Saraf Parasimpatis
Saraf afferent dan efferent dari sistem saraf parasimpatis
berjalan melalui nervus kranial atau nervus sakralis ke 2, 3, 4.
Nervus vagus merupakan saraf kranial paling penting yang
membawa saraf efferent parasimpatis. Saraf parasimpatis terletak
di kraniosakral sehingga dengan adanya vertebra lumbal saraf
parasimpatis tidak ikut ter. Selama proses spinal anestesi, saraf
parasimpatis memiliki peranan dominan sehingga haemodinamik
pasien cenderung menurun dan perlu diperhatikan.

1. Tinggi Blok Analgesia Spinal Anestesi


Faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi blok analgesia
spinal anestesi menurut Majid (2014) :
a. Volume obat analgetik lokal : makin besar makin tinggi
daerah analgesi.
b. Konsentrasi obat : makin pekat makin tinggi batas daerah
analgesia
c. Barbotase : penyutikan dan aspirasi cairan serebrospinal
berulangulang dapat meninggikan batas daerah analgesik
d. Kecepatan : penyuntikkan yang cepat menghasilkan batas
analgesia yang tinggi. Kecepatan penyuntikkan yang
dianjurkan adalah 3 detik tiap 1 ml
e. Maneuver valsava : mengejan meninggikan tekanan
serebrospinal liquor dengan akibat batas analgesia
bertambah tinggi.
f. Tempat pungsi : pengaruhnya besar pada L4-L5 obat
hiperbarik cenderung berkumpul ke kaudal (saddle blok),
pungsi L2-L3 atau L3-L4 obat cenderung menyebar ke
kranial
g. Berat jenis larutan : hiperbarik, isobarik dan hipobarik
h. Tekanan abdominal yang meningkat : dengan dosis yang
sama didapat batas analgesia yang lebih tinggi
i. Waktu : setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya
larutan analgesik sudah menetap sehingga batas analgesia
tidak dapat diubah dengan posisi pasien
2. Penyebaran Anestesi Lokal di Tulang Belakang
Banyak faktor yang dikatakan mempengaruhi mekanisme ini.
menurut Gwinnutt (2011), faktor utama dalam penyebaran anestesi
lokal adalah karakteristik fisik cerebro spinal fluid (CSF) dan sifat
cairan anestesi lokal (hiperbarik, hipobarik atau isobarik) yang
disuntikkan, teknik yang digunakan serta gambaran umum pasien.
Obat-obat lokal anestesi berdasarkan barisitas dan sensitas dapat di
golongkan menjadi tiga golongan menurut Gwinnutt (2011), yaitu :
a. Hyperbarik
Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis
obat lebih besar daripada berat jenis cairan serebrospinal,
sehingga dapat terjadi perpindahn obat ke dasar akibat gaya
gravitasi. Agar obat anestesi lokal benar-benar hiperbarik pada
semua pasien maka baritas paling rendah harus 1,0015 gr/ml
pada suhu 370 C. Contoh : buvipakain 0,5%
b. Hipobarik
Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis
obat lebih rendah dari berat jenis cairan serebrospinal sehingga
obat akan berpindah dari area penyuntikan ke atas. Densitas
cairan serebrospinal pada suhu 370 C adalah 1,003 gr/ml. Perlu
diketahui variasi normal cairan serebrospinal sehingga obat
yang sedikit hipobarik belum tentu menjadi hipobarik bagi
pasien yang lainnya. Contoh : terakain, dibukain
c. Isobarik
Obat anestesi isobarik bila densitasnya sama dengan
densitas cairan serebrospinal pada suhu 370 C sehingga obat
akan berada di tingkat yang sama di tempat penyuntikan.
Tetapi karena terdapat variari densitas cairan serebrospinal,
maka obat akan menjadi isobarik untuk semua pasien jika
densitasnya berada pada rentang standar deviasi 0,999 – 1,001
gr/ml. Contoh : levobupikain 0,5 %
3. Indikasi Spinal Anestesi
Menurut Majid (2011), indikasi spinal anestesi dapat
digolongkan sebagai berikut :
a. Bedah tungkai bawah, panggul dan perineum
b. Tindakan khusus seperti bedah endoskopi, urologi, rektum
c. Bedah fraktur tulang panggul
d. Bedah obstetrik – ginekologi
e. Bedah pediatrik dilakukan setelah bayi ditidurkan dengan
anestesi umum
4. Kontraindikasi Spinal Anestesi
Kontraindikasi spinal anestesi menurut Majid (2011) adalah
sebagai berikut :
a. Kontraindikasi mutlak :
1. Hipovolemia berat (syok)
2. Infeksi kulit pada tempat lumbal pungsi (bakteremia)
3. Koagulopati
4. Peningkatan tekanan cranial
b. Kontraindikasi absolute :
1. Neuropati
2. Prior spine surgery
3. Nyeri punggung
4. Penggunaan obat-obatan preoperasi golongan OAINS
5. Pasien dengan haemodinamik tidak stabil
5. Pengaruh Spinal Anestesi pada Tubuh
Respon spinal anestesi ditentukan oleh pengaruhnya pada saraf
afferent dan efferent somatik dan visceral. Saraf somatik berhubungan
dengan persarafan sensorik dan motorik, sedangkan saraf visceral
berhubungan dengan sistem saraf otonom Berikut sistem dalam tubuh
yang terpengaruh ketika dilakukan spinal anestesi menurut Latief
(2019):
a. Sistem Kardiovaskuler
Pada anestesi spinal tinggi terjadi penurunan aliran darah jantung
dan penghantaran (supply) oksigen miokardium yang sejalan
dengan penurunan tekanan arteri rata-rata. Penurunan tekanan darah
yang terjadi sesuai dengan tinggi blok simpatis, makin banyak
segmen simpatis yang terblok makin besar penurunan tekanan
darah.
b. Sistem Respirasi
Pada anestesi spinal blok motorik yang terjadi 2-3 segmen di bawah
blok sensorik, sehingga umumnya pada keadaan istirahat
pernafasan tidak banyak dipengaruhi. Tetapi apabila blok yang
terjadi mencapai saraf frenikus yang mempersarafi diafragma, dapat
terjadi apnea
c. Sistem Gastrointestinal
Serabut-serabut simpatis pada intestinum (T5 – L1) bersifat
inhibitor terhadap usus, menurunkan peristaltik, tidak ada efek
terhadap oesofagus, memelihara tonus sphincter dan menentang
aksi nervus vagus. simpatis (T5 – L1) yang disebabkan anestesi
spinal menyebabkan kontraksi usus halus meningkat karena tonus
vagus dominan.

d. Sistem Genitourinari
Spinal anestesi menurunkan 5-100% GFR, saraf yang
menyebabkan kandung kemih atonia mengakibatkan volume urin
yang banyak. Blokade simpatis afferent (T5 – L1) berakibat dalam
peningkatan tonus sphincter yang menyebabkan retensi urin.
Retensi urin post spinal anestesi mungkin secara moderat
diperpanjang karena S2 dan S3 berisi serabut-serabut otonom kecil
dan paralisisnya terlambat lebih lama daripada serabut-serabut
sensoris dan motoris yang lebih besar. Kateter urin harus dipasang
jika anestesi dilakukan dalam waktu lama. Menurut Potter & Perry
(2010), normalnya dalam waktu 6-8 jam setelah anestesi, pasien
akan mendapatkan kontrol fungsi berkemih secara volunter,
tergantung pada jenis pembedahan.

e. Sistem Endokrin
Spinal anestesi tidak merubah fungsi endokrin atau aktifitas
metabolik saat operasi, kecuali peningkatan sedikit gula atau
penurunan katekolamin. tiap jalur afferent dan efferent atau
keduanya, bertanggungjawab terhadap penghambatan perubahan
endokrin dan metabolik oleh stress operasi. Selain mempengaruhi
kelima sistem tersebut, spinal anestesi juga mempengarui sistem
muskoloskeletal, spinal anestesi menyebabkan parathesia hingga
relaksasi otot-otot ekstremitas bawah akibat adanya
motorik/somatik. Dengan menghambat transmisi impuls nyeri dan
menghilangkan tonus otot rangka. Blok sensoris menghambat
stimulus nyeri somatik atau visceral, sedangkan blok motorik
menyebabkan relaksasi otot. Efek anestesi lokal pada serabut saraf
bervariasi tergantung dari ukuran serabut saraf tersebut dan apakah
serabut tersebut bermielin atau tidak serta konsentrasi obat
(Morgan, 2013).
f. Penanganan
Penanganan yang dilakukan pasca spinal anestesi menurut
Majid (2012) adalah posisi berbaring terlentang (tirah baring)
selama 24 jam, hidrasi adekuat, hindari mengejan, dan bila ketiga
cara tersebut tidak berhasil, berikan epidural blood patch yakni
penyuntikan darah pasien sendiri 5-19 ml ke dalam ruang epidural.
Sedangkan menurut Morgan (2013) cara yang bisa dilakukan
antara lain mobilisasi dini setelah tirah baring 24 jam dan diet
TKTP.
B. Kerangka Teori

Range Of Motion (ROM) Pasif

Langkah –Langkah

Bromage score
1. Fleksi dan ekstensi lutut dan
pinggul dengan cara 1. Jenis Obat
menganggakat kaki dan 2. Usia
bengkokkan lutut 3. Status Fisik
2. Abduksi dan adduksi kaki 4. Berat Badan
dengan cara menggerakkan 5. Konsep
ke samping kiri dan samping Tindakan
kanan menjauh dari pasien Spinal
3. Rotasi pinggul internal dan
ektrenal (Nainggolan, 2014,
4. Fleksi dan ektensi jari-jari Harahap (2014)
kaki Pramono (2015)
5. Intervensi dan eversi telapak Maldini (2013)
kaki

Helmi (2013)
Gambar 2.1. Kerangka Teori

Sumber : Helmi (2013) ,Nainggolan, 2014, Harahap (2014) Pramono


(2015) Maldini (2013)

Keterangan : ( diteliti )

(Tidak diteliti)

C. Kerangka Konsep

Variabel Independen
Range Of Motion (ROM) Variabel Dependen
Pasif Bromage score

Gambar 2.2. Kerangka Konsep

D. Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban sementara dari penelitian, patokan duga atau


dalil sementara yang kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian
(Notoatmodjo, 2010) Keputusan dari uji hipotesis hampir selalu dibuat
berdasarkan pengujian hipotesis nol.

Hipotesis dalam penelitian ini sebagi berikut :

Ha : Ada pengaruh latihan eksremitasi bawah terhadap bromage score


pada pasien post operasi spinal

Ho : Tidak ada pengaruh latihan eksremitasi terhadap dengan bromage


score pasien post operasi spinal
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian

1. Jenis Penelitian

Peneliti menggunakan desain quasi experimental design karena dalam


penelitian initerdapat variabel-varibel dari luar yang tidak dapat dikontrol oleh
peneliti. Penelitian ini akan di lakukan dua kali, pre test (sebelum) di lakukan
latihan pasif dan post test setelah di lakukan latihan pasif

2. Desain Penelitian

Desain penelitian yang di karakteristik tertentu, yang merupakan ciri-ciri


pokok populasi. Analisis bivariat dilakukan untuk melihat bromage scorese
belum dan sesudah dilakukan laatihan pasif. Sehingga dianalisis menggunakan
Uji Wilcoxon. Dengan kriteria hasil bila ρ value ≤ 0,05 maka Ha diterima
artinya ada pengaruh dan bila ρ value > 0,05 maka Ha ditolak artinya tidak ada
pengaruh gunakan pada penelitian ini adalah quasi experimental design.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat :

Penelitian ini akan dilaksanakan di RS.Bhayangkara


lampung

3. Waktu Penelitian :
4. Waktu yang digunakan peneliti untuk penelitian ini dilaksanakan sejak
tanggal dikeluarkannya ijin penelitian dalam kurun waktu kurang lebih 2
(dua) bulan, 1 bulan pengumpulan data dan 1 bulan pengolahan data yang
meliputi penyajian dalam bentuk skripsi dan proses bimbingan berlangsung

C. Populasi dan Sample

1. Populasi
Menurut Handayani (2020), populasi adalah totalitas dari setiap elemen
yang akan diteliti yang memiliki ciri sama, bisa berupa individu dari suatu
kelompok, peristiwa, atau sesuatu yang akan diteliti. Populasi dalam
penelitian ini 20 pasien yang telah dilakukan tindakan anestesi

Tabel 3.1. Karakteristik Populasi

Jenis Kelamin Sebelum Latihan Rom Sesudah Latihan Rom


Wanita 5 5
Laki-laki 5 5
Total 20

2. Sampel
Penelitian terhadap populasi dengan jumlah yang besar namun terkendala,
waktu dan sebagainya, maka dapat dilakukan pengambilan sampel. Seperti
yang dijelaskan oleh Sugiyono (2017) Sampel adalah bagian dari jumlah
dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Bila populasi besar,
dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi,
misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dna waktu, maka peneliti dapat
menggunakan sampel yang diambi dari populasi itu.

1. Teknik Sampling
Ada beberapa jenis teknik penarikan sampel, yang akan penulis gunakan
adalah teknik penarikan sampel secara acak atau simple random sampling.
Menurut sugiyono (2017) pengertian dari sampling jenuh adalah teknik
penentuan sampel bila semua anggota populasi dijadikan sampel, hal ini
dilakukan bila jumlah populasi relative kecil, kurang dari 30, atau
penelitian ingin membuat generalisasi dengan kesalahan yang sangat kecil.
Istilah lain sampel jenuh adalah sensus, dimana semua populasi dijadikan
sampel
Berdasarkan penjelasan diatas, maka yang akan dijadikan sampel
dalam penelitian ini adalah seluruh dari populasi yang diambil, yaitu 20
pasien Post Operasi di ruang pulih Rs.Bhayangkara Lampung
D. Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang,
objek atau kegiatan yang memepunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh
peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,
2019) Dalam penelitian ini, variabel yang digunakan adalah variabel bebas (X)
dan variabel terikat (Y).

1. Variabel Bebas (Independent Variable)


Independent Variable sering disebut sebagai variabel stimulus, predictor,
dan antecedent. Dalam bahasa Indonesia sering disebut variabel
bebas.Variabel bebas merupakan variabel yang mepengaruhi atau menjadi
sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen (terikat) (Sugiyono,
2019). Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini adalah Latihan
Pasif Eksremitasi Bawah (X1), Bromage score (X2).
2. Variabel Terikat (Dependent Variable)
Menurut Sugiyono (2019) Dependent Variable sering disebut
sebagai variabel output, kriteria, konsekuen. Dalam bahasa Indonesia
sering disebut sebagai variabel terikat. Variabel terikat merupakan variabel
yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas.
Variabel terikat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Post Oprasi
Anestesi Spinal (Y).
E. Definisi Operasional
Menurut Sugiyono (2017) Definisi Operasional merupakan penentuan
konstrak atau sifat yang akan dipelajari sehingga menjadi variabel yang dapat
diukur. Definisi Operasional variabel-variabel dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:

Tabel 3.2. Definisi Oprasional

Variabel Definisi Oprasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala


Latihan Pasif ROM - Fleksi dan ekstensi Lembar Skor Liker
bawah lutut dan pinggul Kuisioner kekuatan
dengan cara otot yang
menganggakat kaki diperoleh
dan bengkokkan lutut dengan nilai
- Rotasi pinggul minimum 1
internal dan ektrenal dan
- Fleksi dan ektensi maksimum 5
jari-jari kaki dengan
- Intervensi dan eversi kriteria
telapak kaki
Menurut Helmi
(2013)

Bromage score Lamanya anestesi kuisiner Skor e nilai Liker


tergantung pada Lembar minimum 1
kecepatan obat Kuisioner dan
meninggalkan cairan maksimum 5
serebrospinal Gerakan dengan
otot kaki pasien pasca kriteria
spinal anestesi
umumnya
dipenngaruhi oleh :
a. Efek obat anestesi
b. Durasi (lama)
Tindakan Anestesi
c. Usia
d. Jenis Operasi
e. Status Fisik ASA

Post Operasi a.Nyeri tempat Lembar Skor e nilai


Anestesi spinal suntikan Kuisioner minimum 1
b.Nyeri punggung dan
c.Nyeri kepala karena maksimum 5
kebocoran liquor dengan
d.Retensi kriteria

F. Instrumen Penelitian

Instrumen pengumpulan data adalah alat bantu yang dipilih dan digunakan
oleh peneliti dalam kegiatannya mengumpulkan data agar kegiatan tersebut
menjadi sistematis dan dipermudah olehnya (Notoatmodjo, 2017). Pada
bagian awal dari instrumen penelitian ini terdapat data karakteristik responden
yang meliputi nama, umur, jenis operasi . Dilanjutkan dengan lembar
penilaian

G. Teknik Pengumpulan Data

a) Peneliti mengajukan surat ijin penelitian kefakultas.


b) Peneliti mengajukan surat pengantar surat ijin ke Rumah Sakit
Bhayangkara Lampung
c) Penelitian dilaksanakan setelah mendapat surat ijin dari Rumah
Sakit Bhayangkara lampung
d) Menentukan responden.
e) Memberikan penjelasan tentang tujuan, manfaat dan prosedur
penelitian yang akan dilaksanakan kepada responden.
f) Meminta responden untuk menandatangani lembar persetujuan menjadi
responden setelah menyetujui sebagai partisipan dalam penelitian yang
akan dilakukan.
g) Melakukan telaah hasil kuesioner untuk mendapatkan data peneltian.
Memeriksa dan mengoreksi kembali data yang didapat apabila ada
kekurangan dari kelengkapan data.

H. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam peneltian kuantitatif mengunakan statistik.


Sehingga penelitian ini menggunakan statistik inferensi. Yang mana statistik
inferensi adalah bagian statistik yang mempelajari penafsiran dan penarikan
kesimpulan yang berlaku secara umum dari data yang tersedia Misbahuddin
dan Iqbal Hasan, (2018) Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah:

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik sebagai berikut :

1. Analisis Univariat Analisis


dilakukan dengan membuat tabel dan distribusi frekuensi dari masing-
masing variabel bebas dan terikat, yaitu pengetahuan, sikap dan perilaku
(Notoatmodjo, 2014).
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga
berhubungan atau berkolerasi, yaitu dengan perilaku dan sikap dengan
perilaku dengan menggunakan uji statistic Chi Square yang dilakukan
secara komputerisasi. Menurut Riyanto (2017)
Batas atau tingkat kemaknaan yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu nilai α 0,05. Apabila nilai (p value) ≤ 0,05 maka perhitungan
tersebut dinyatakan bermakna atau ada hubungan antara dua variabel yang
dianalisis, tetapi jika nilai (p value) > 0,05 maka perhitungan tersebut
dinyatakan tidak bermakna atau tidak ada hubungab antar dua variabel
yang dianalisis.
I. Jalanya Penelitian
Pelaksanaan penelitian dimulai dari pengumpulan data di Rumah Sakit
Bhayangkara Lampung dengan prosedur sebagai berikut :

1. Tahap Persiapan
a. Pembagian tema dan pencarian kasus
Pada tahap ini peneliti melakukan pencarian kasus yang sesuai dengan
tema dari berbagai referensi penelitian terdahulu.

b. Pembuatan dan pengajuan judul


Peneliti membuat dan mengajukan judul sesuai dengan tema. Setelah
mendapatkan persetujuan dari pembimbing 1 dan II peneliti bisa memulai
untuk menyusun penelitian.

c. Penyusunan dan konsultasi proposal


Peneliti menyusun proposal dan dikonsultasikaan dengan pembimbing I
dan II. Koreksi dari pembimbing dijadikan acuan untuk pembuatan revisi
sampai proposal disetujui. Setelah mendapat persetujuan dari pembimbing
I dan II peneliti mengajukan ujian proposal penelitian yang dilaksanakn di
ITS PKU Muhammadiyah Surakarta.

d. Ujian Proposal
Peneliti melaksanakan ujian proposal sesuai jadwal yang telah ditentukan
dan memaparkan proposal dihadapan tim penguji.

e. Revisi masukan dan arahan dari penguji

Peneliti akan membenahi kekurangan-kekurangan yang disampaikan oleh


penguji dan memenuhi saran-saran saat ujian proposal yang telah dilakukan,
kemudian peneliti melakukan konsultasai untuk penyempurnaan proposal
tersebut.

2. Tahapan Penelitian

a. Pengurusan Perizinan
Peneliti mengajukan surat permohonan izin penelitian dari institusi kepada
pihak Rumah Sakit Bhayangkara Lampung.

b. Melakukan Penelitian
Peneliti Menentukan sampel penelitian, kemudian memberikan penjelasan
kepada calon responden tentang maksud dan tujuan penelitian. Kemudian
menyerahkan lembar inform concent kepada responden. Kuesioner
pengetahuan perawat dibagikan kepada responden Untuk kuesioner
kedua, peneliti meminta bantuan kepada kepala unit untuk melakukan
observasi terhadap kinerja perawat pelaksana dalam penerapan standar
patient safety

c. Tahap Penyelsaian

Setelah semua data terkumpul dan dianalisa, tahap selanjutnya adalah


pelaporan hasil penelitian. Pada tahap ini hasil penelitian dilaporkan
sekalian dibahas kesesuaiannya dengan beberapa tinjauan pustaka. Setelah
dibahas dan diolah dengan program SPSS 22 kemudian hasil penelitian
dikonsultasikan kembali kepada pembimbing I dan II sampai mendapatkan
persetujuan untuk melakukan ujian (seminar penelitian ). Setelah ujian dan
melakukan perbaikan, kemudian mendapatkan tanda tangan persetujuan
oleh pembimbing I dan II bahwa penelitian ini layak kemudian proses
pengumpulan skripsi. Laporan penelitian diakhiri dengan kesimpulan dan
saran.

J. Etika Penelitian
Etika penelitian adalah suatu pedoman etika yang berlaku untuk
setiap kegiatan penelitian yang melibatkan antara pihak peneliti, pihak
yang diteliti (subjek peneliti) dan masyarakat yang akan memperoleh
dampak hasil penelitian tersebut (Notoatmodjo, 2018) Tujuan etika
penelitian memperhatikan dan mendahulukan hak-hak responden
(Notoatmodjo, 2018)
1) Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity)
Responden harus mendapatkan hak dan informasi tentang tujuan
penelitian yang akan dilakukan. Peneliti juga harus memberikan
kebebasan kepada responden untuk memberikan informasi atau tidak
memberikan informasi. Untuk menghormati harkat dan martabat
responden, peneliti harus mempersiapkan formulir persetujuan (inform
concent).
2) Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek penelitian (respect for
privacy and confidentiality)
Setiap orang mempunyai hak-hak dasar individu termasuk privasi dan
kebebasan individu dalam memberikan informasi. Oleh sebab itu
peneliti tidak boleh menampilkan informasi mengenai identitad dan
kerahasiaan responden. Peneliti cukup menggunakan inisial sebagai
pengganti identitas responden.

K. Pengolahan Data
Langkah-langkah pengolahan data secara manual menurit Notoatmodjo,
2018 adalah :
a. Editing
Editing adalah pemeriksaan kelengkapan data yang diperoleh atau
dikumpulkan melalui kuesioner. Jika ternyata masih ada data atau
informasi yang tidak lengkap, dan tidak mungkin dilakukan
wawancara ulang, maka kuesioner tersebut dikeluarkan (drop out).
b. Coding
Coding adalah kegiatan setelah data diteliti makan selanjutnya
diberikan kode dengan merubah data berbentuk huruf menjadi data
berbentuk angka/bilangan sehingga memudahkan peneliti dalam
memasukan data ke dalam komputer.
c. Entry
Entry data adalah mengisi kolom-kolom atau kotak-kotak lembar kode
atau kartu kode sesuai dengan jawaban masing-masing pertanyaan.

d. Cleaning
Yang membersihkan data yang merupakan kegiatan pengecekan
kembali data yang sudah dimasukan apakah ada kesalahan atau tidak
dalam penelitian ini menghilangkan data yang tidak sesuai dan tidak
diperlukan oleh peneliti.

Anda mungkin juga menyukai