Anda di halaman 1dari 30

TATALAKSANA POLINEUROPATI

REFERAT

oleh
(Nama)
NIM ….

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA


KSM ILMU PENYAKIT SARAF
RSD DR. SOEBANDI JEMBER
2022

i
TATALAKSANA POLINEUROPATI

REFERAT

disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik KSM Ilmu Penyakit


Saraf RSD dr. Soebandi Jember

oleh
(Nama)
NIM …

Pembimbing

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA


KSM ILMU PENYAKIT SARAF
RSD DR. SOEBANDI JEMBER
2022

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii

BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................. 1


BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 3
2.1 Definisi ........................................................................................ 3
2.2 Epidemiologi ............................................................................... 3
2.3 Etiologi ........................................................................................ 3
2.4 Patofisiologi ................................................................................ 4
2.5 Klasifikasi ................................................................................... 6
2.6 Manifestasi Klinis ...................................................................... 20
2.7 Pemeriksaan Fisik ...................................................................... 21
2.8 Pemeriksaan Penunjang ............................................................ 22
2.9 Tatalaksana ................................................................................ 23
BAB 3. KESIMPULAN ................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 26

iii
2

BAB 1. PENDAHULUAN

Penyakit saraf tepi merupakan salah satu penyakit yang umum dijumpai
dan dikeluhkan banyak orang di negara berkembang maupun negara maju.
Penyakit saraf tepi yang paling sering dikeluhkan antara lain kesemutan dan
kelemahan pada anggota gerak tubuh (Román-Pintos dan G. VillegasRivera,
2016). Salah satu kasus yang banyak dijumpai adalah polineuropati. Polineuropati
adalah suatu penyakit yang menyebabkan terjadinya gangguan fungsi dan struktur
sistem saraf tepi mulai dari saraf spinal, pleksus, batang saraf, cabang terminal,
peri karyon, akar saraf serta bagian presinaps neuromuscularjunction (Román-
Pintos dan G. VillegasRivera, 2016).
Polineuropati merupakan penyakit saraf tepi dengan tiga gejala utama
yang sering ditemukan, yaitu gangguan sensibilitas dengan pola sarung tangan
dan kaus kaki (glove and stocking pattern), kelemahan otot-otot distal, dan
hiporefleksia. Faktor-faktor yang diduga berhubungan dengan timbulnya
polineuropati antara lain gangguan metabolik sistemik atau penyakit imunologi,
malignansi, penggunaan obat tertentu (antikonvulsi, isoniazid, golongan statin,
obat kemoterapi), serta toksin dan malnutrisi (Baehr dan Frotcher, 2014).
Prevalensi polineuropati pada populasi umum diperkirakan antara 2,4%-8%. 4,5
Sebanyak 31% individu yang berusia lebih dari 65 tahun menderita polineuropati.
Secara keseluruhan prevalensi adalah sekitar 2.400 per 100.000 penduduk (Vern,
2012).
Diagnosa polineuropati ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil
pemeriksaan fisik. Elektromiografi dan uji penghantaran saraf dilakukan untuk
memperkuat diagnosis (Azhary dkk., 2010). Pemeriksaan darah dilakukan jika
diduga penyebabnya adalah kelainan metabolik (anemia, diabet, gagal ginjal).
Pemeriksaan neurologis sangat penting untuk dilakukan, memeriksa saraf
kranialis, kemampuan motorik dan sensorik, tonus otot apakah normal atau
menurun. Pola dari kelemahan anggota gerak membantu dalam menentukan
diagnosis: apakah simetris atau asimetris, distal atau proksimal (Hanewinckel
dkk., 2016).
3

Pengobatan dilakukan tergantung kepada penyebabnya. Pembedahan


dilakukan pada penderita yang mengalami cedera atau penekanan saraf. Terapi
fisikdapat mengurangi beratnya kejang otot atau kelemahan otot. Pada penderita
polineuropati, tatalaksana non medikamentosa seperti bimbingan psikologis juga
merupakan faktor penting bagi setiap pederita (Hanewinckel dkk., 2016).
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Polineuropati adalah suatu penyakit yang menyebabkan terjadinya
gangguan fungsi dan atau struktur sistem saraf tepi yang bersifat simetris dan
bilateral mulai dari saraf spinal, pleksus, batang saraf, cabang terminal, peri
karyon, akar saraf serta bagian presinaps neuromuscularjunction. Kelainan
polineuropati meliputi kelainan sensorik, motorik, sensorimotor, dan autonom.
Bila gangguan hanya mengenai akar saraf spinalis maka disebut poliradikulopati
dan bila saraf spinalis juga ikut terganggu maka disebut poliradikuloneuropati
(Román-Pintos dan G. VillegasRivera, 2016).

2.2 Epidemiologi
Kerusakan saraf perifer dialami oleh 2,4% populasi di dunia dan akan
meningkat 8% seiring bertambahnya usia. Prevalensi polineuropati di populasi
sekitar 2%-3% dan prevalensi tertinggi sekitar 8% pada usia di atas 55 tahun.
Polineuropati merupakan penyakit kecacatan dan memiliki efek negatif terhadap
kualitas hidup seseorang. Semakin tua seseorang maka risiko berkembangnya
polineuropati semakin tinggi (Kemenkes, 2014; PERDOSSI, 2013).
Penyebab polineuropati yang paling sering dijumpai adalah polineuropati
sensorimotor diabetik, dimana 66% penderita DM tipe 1 dan 59% penderita DM
tipe 2 mengalami polineuropati. Sedangkan polineuropati genetik yang paling
sering adalah akibat Charcot-MarieTooth type 1a, dimana 30 dari 100.000
populasi mengalaminya (PERDOSSI, 2013).

2.3 Etiologi
Polineuropati dapat disebabkan oleh (Kemenkes, 2014):
1. Herediter: Atropi otot peroneal Charcot-Marie-Tooth, neuropati interstisial
hipertrofik heriditer Dejerine Sottas, neurofibrimatosis Recklinghausen,
polineuropati amyoid bawaan, penyakit Tangier, dan porfiria.
4

2. Trauma: Fisik (berupa tekanan, tarikan, trauma lahir), toksin (alcohol, metal, obat-
obatan (derivate platinum, bortezomib, vincristine, paclitaxel, thalidomide, linezolid,
metronidazole, zalcitabine, stavudine).
3. Infeksi: kusta, HIV, herpes zoster, penyakit Lyme, dan hepatitis
4. Sistem imun: Sindrom Guillain-Barre, neuropati demyelisasi inflamasi
kronik, neuropati demyelinasi sensoris dan morotik multifocal didapat
(sindrom Lewis-Sumner), vaskulitidis sistemik, vaskulitis sistem nervus
perifer terisolasi, neurapati akibat penyakit jaringan ikat sistemik, sarkoidosis,
penyakit celiac, dan inflammatory bowel disease.
5. Metabolik: diabetes mellitus, defisiensi vitamin, malnutrisi, dan uremia
6. Polineuropati akibat neoplasia.

2.4 Patofisiologi
Mekanisme yang mendasari munculnya nyeri neuropati adalah: sensitisasi
perifer, ectopic discharge, sprouting, sensitisasi sentral, dan disinhibisi. Perubahan
ekspresi dan distribusi saluran ion natrium dan kalium terjadi setelah cedera saraf,
dan meningkatkan eksitabilitas membran, sehingga muncul aktivitas ektopik yang
bertanggung jawab terhadap munculnya nyeri neuropatik spontan (Hauser, 2013).
Kerusakan jaringan dapat berupa rangkaian peristiwa yang terjadi di
nosiseptor disebut nyeri inflamasi akut atau nyeri nosiseptif, atau terjadi di
jaringan saraf, baik serabut saraf pusat maupun perifer disebut nyeri neuropatik.
aik nyeri neuropatik perifer maupun sentral berawal dari sensitisasi neuron
sebagai stimulus noksious melalui jaras nyeri sampai ke sentral. Bagian dari jaras
ini dimulai dari kornu dorsalis, traktus spinotalamikus (struktur somatik) dan
kolum dorsalis (untuk viseral), sampai talamus sensomotorik, limbik, korteks
prefrontal dan korteks insula. Karakteristik sensitisasi neuron bergantung pada:
meningkatnya aktivitas neuron; rendahnya ambang bata stimulus terhadap
aktivitas neuron itu sendiri misalnya terhadap stimulus yang non noksious, dan
luasnya penyebaran areal yang mengandung reseptor yang mengakibatkan
peningkatan letupan-letupan dari berbagai neuron (Hauser, 2013). Hal ini dapat
dilihat pada Gambar 2.1.
5

Gambar 2.1 Badan Neuron (Hauser, 2013)

Secara umum neuropati perifer terjadi akibat 3 proses patologi yaitu


degenerasi wallerian, degenerasi aksonal dan demielinisasi segmental. Hal
tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.2. Proses spesifik dari beberapa penyakit
yang menyebabkan neuropati masih belum diketahui (Suresh dan Ria, 2020).

Gambar 2.2 patologi neuropati perifer (Suresh dan Ria, 2020)

Pada degenerasi wallerian, terjadi degenerasi myelin sebagai akibat dari


kelainan pada akson. Degenerasi akson berlangsung dari distal sampai lesi fokal
sehingga merusak kontinuitas akson. Reaksi ini biasanya terjadi pada
mononeuropati fokal akibat trauma atau infark saraf perifer (Suresh dan Ria,
2020).
Degenerasi aksonal, yang biasanya disebut dying-back phenomenon,
kebanyakan menunjukkan degenerasi aksonal pada daerah distal. Polineuropati
akibat degenerasi akson biasanya bersifat simetris dan selama perjalanan penyakit
6

akson berdegenerasi dari distal ke proksimal. Proses ini sering didapatkan pada
penderita polineuropati kausa metabolic (Suresh dan Ria, 2020).
Pada degenerasi akson dan Wallerian, perbaikannya lambat karena
menunggu regenerasi akson, disamping memulihkan hubungan dengan serabut
otot, organ sensorik dan pembuluh darah (Hauser, 2013).
Pada demielinisasi segmental terjadi degenerasi fokal dari myelin.
Polineuropati demielinasi segmental yang didapat biasanya akibat proses
autoimun atau yang berasal dari proses inflamasi, dapat pula terdapat pada
polineuropati herediter. Pada kelainan ini perbaikan dapat terjadi secara cepat
karena yang diperlukan hanya remielinisasi (Hauser, 2013).
Pada polineuritis idiopatik akut dapat terjadi infiltrasi limfosit, sel plasma
dan sel mononuklear pada akar-akar saraf spinalis, sensorik dan ganglion simpatis
dan saraf perifer. Pada polineuropati difteri terjadi demielinisasi pada serat-serat
saraf di akar dan ganglion sensorik dengan reaksi inflamasi (Hauser, 2013).

2.5 Klasifikasi
2.5.1 Sindroma Guillain Barre
A. Definisi
Sindrom Guillain-Barre adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending
dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut.
Menurut Bosch, SGB merupakan suatu sindrom klinis yang ditandai adanya
paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun
dimana targetnyanya adalah saraf perifer, radiks dan nervus kranialis (Al dan
Mehrabyan, 2004).

B. Epidemiologi
Penyakit ini terjadi diseluruh dunia, kejadian pada semua musim. Dowling
dkk mendapatkan frekuensi tersering pada akhir musim panas dan musim gugur
dimana terjadi peningkatan kasus influenza. Angka kejadian dunia 0.6%-2%
kasus/100.000 orang/ tahun, negara barat sekitar 1-2% kasus/ 100.000
orang/tahun. Bisa terjadi disemua tingkatan usia mulai dari anak anak sampai
dewasa, sering pada anak anak dan remaja (China), dan sering pada orang tua >
7

70 tahun (pada negara barat). Lebih sering ditemukan pada kaum pria (Agarwal
dkk., 2018).
C. Etiologi
Beberapa keadaan penyakit yang mendahului dan mungkin ada
hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain (Abdelsadek dkk., 2018):
1. Infeksi: Citomegalovirus (CMV), Ebstein Barr Virus (EBV), enterovirus,
Human Immunodefficiency Virus (HIV), Campilobacter Jejuni,
Mycoplasma Pneumonie.
2. Vaksinasi
3. Pembedahan
4. Kehamilan atau dalam masa nifas
5. Penyakit sistemik
a. Keganasan
b. Systemic Lupus Erithematous
c. Tiroiditis
d. Penyakit Addison

D. Patofisiologi
Secara makroskopik tidak ditemukan adanya perubahan pada saraf pasien
penderita SGB. Namun secara mikroskopik tampak adanya infiltrasi sel
mononuclear di perivenula dan ditemukan adanya demielinisasi segmental di
susunan saraf tepi (Abdelsadek dkk., 2018).
Daerah yang terinflamasi akan diinfiltrasi sel mononuclear kemudian akan
terjadi demielinisasi segmental. Pada mulanya yang terlihat hanya limfosit saja,
tapi setelah 2-3 minggu, dengan berkembangnya penyakit, yang mendominasi
adalah sel makrofag. Makrofag berperan penting dalam terjadinya destruksi
myelin. Makrofag menyebabkan lamella myelin terpisah dan mencerna membran
yang terpisah. Destruksi myelin berlangsung progresif ke arah lokasi sentral
nucleus sel schwann. Dengan mikroskop cahaya dapat terlihat myelin yang
terputus dan berbentuk ovoid juga makrofag yang mencerna myelin (Abdelsadek
dkk., 2018).
8

E. Klasifikasi
1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP)
yang merupakan jenis GBS yang paling banyak ditemukan, dan sering
disinonimkan dengan GBS. Disebabkan oleh respon autoimun yang
menyerang membrane sel schwann (Abdelsadek dkk., 2018).
2. Acute motor axonal neurophaty (AMAN)
atau sindroma paralitik Cina: menyerang nodus motorik ranvier dan sering
terjadi di cina dan meksiko. Hal ini disebabkan oleh respon autoimun yang
menyerang aksoplasma saraf perifer. Penyakit ini musiman dan
penyembuhan dapat berlangsungdengan cepat. Didapati antibody Anti
GD1a, sementara antibody anti- GD3 lebih sering ditemukan pada AMAN
(Abdelsadek dkk., 2018).
3. Acute moyor sensory axonal neurophaty (AMSAN)
Mirip dengan AMAN, juga menyerang aksoplasma saraf perifer, namun
juga menyerang saraf sensorik dengan kerusakan akson yang berat.
Penyembuhan lambat dan sering tidak sempurna (Abdelsadek dkk., 2018).
4. Fisher’s syndrome (MFS)
Merupakan varian GBS yang jarang terjadi dan bermanifestasi sebagai
paralysis desendens, berlawanan dengan jenis GBS yang biasa terjadi.
Umumnya mengenai otot otot okuler pertama kali dan terdapat trias gejala
yakni: oftalmoplegia, ataksia, dan arefleksia. Terdapat antibody Anti
GQ1b 90% kasus (Abdelsadek dkk., 2018).
5. Acute panautonomia
Merupakan varian GBS yang paling jarang: dihubungkan dengan angka
kematian yang tinggi, akibat keterlibatan kardiovaskuler dan disritmia
(Abdelsadek dkk., 2018).
6. Ensefalitis batang otak Bickerstaff (BBE)
Ditandai oleh onset akut oftalmoplegia, ataksia, gangguan
kesadaran ,hiperrefelksia atau refleks babinski. Perjalanan penyakit dapat
monofasik ataupun diikuti fase remisi dan relaps. Lesi luas dan irregular
9

terutama pada batang otak seperti pons, midbrain, dan medulla spinalis.
Meskipun gejalanya berat namun prognosis BBE cukup baik (Abdelsadek
dkk., 2018).
F. Manifestasi Klinis
Kriteria diagnosis yang umum dipakai adalah kriteria dari National
Institute of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS)
yaitu (Agarwal dkk., 2018; Abdelsadek dkk., 2018):
1. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis
a. Terjadinya kelemahan yang progresif
b. Hiporefleksi
2. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB
a. Ciri ciri klinis:
 Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat,
maksimal 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu,
80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.
 Relative simetris
 Gejala gangguan sensibilitas ringan
 Gejala saraf cranial + 50% terjadi parese N.VII dan sering
bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang
mempersarafi lidah dan otot otot ektraokuler atau saraf otak
lain.
 Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti,
dapat memanjang sampai beberapa bulan
 Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural,
hipertensi dan gejala vasomotor
 Tidak ada demam saat onset gejala neurologist.
b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong
diagnosa:
 Protein CSS. Meningkat setelah gejala 1 mgg atau terjadi
peningkatan pada LP serial
 Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3
10

 Varian :
o tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 mgg
gejala
o Jumlah sel CSS: 11 – 50 MN/mm3
c. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis
 Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus.
Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal
Diagnosis SGB terutama ditegakkan secara klinis. SGB ditandai dengan
timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks refleks tendon
dan didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai
disosiasi sitoalbumin pada liquor dan gangguan sensorik dan motorik perifer
(Agarwal dkk., 2018; Abdelsadek dkk., 2018).

G. Tatalaksana
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara
umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh
sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan
(gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan
terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat
penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi) (Agarwal dkk., 2018;
Abdelsadek dkk., 2018).
1. Kortikosteroid: Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan
preparat steroid tidak mempunyai nilai/ tidak bermanfaatuntuk terapi SGB
2. Plasmaparesis: Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk
mengeluarkan factor autoantibody yang beredar. Pemakaian plasmaparesis
pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang
lebih cepat, penggunaan alat Bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama
perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti
200-250 ml plasma/kgBB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat
bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).
3. Pengobatan imunosupresan
11

a. Immunoglobulin IV: Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih


menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/
komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0,4gr/KgBB/hari tiap 15 hari
sampai sembuh.
b. Obat sitotoksik
Pemberian obat sitotoksik yang dianjurkan adalah
 6 merkaptopurin (6 MP)
 Azathioprine
 Cyclophosphamid
Efek samping dari obat obat ini: alopesia, muntah, mual, dan sakit kepala.
c. Terapi fisik: alih baring
1. Latihan ROM dini u/ cegah kontraktur
2. Hidroterapi
d. Suportif: profilaksis DVT (heparin s.c)
e. Analgesik
Analgesik ringan atau OAINS mungkin dapat digunakan untuk
meringankan nyeri ringan, namun tidak untuk nyeri yang sangat, penelitian
random control trial mendukung penggunaan gabapentin atau carbamazephine
pada ruang ICU pada perawan SGB fase akut. Analgesik narkotik dapat
digunakan untuk nyeri dalam, namun harus melakukan monitor secara hati hati
kepada efek samping denervasi otonomik. Terapi ajuvan dengan tricyclic
antidepresant, tramadol, gabapentin, carbamazepine atau mexilitine dapat
ditambahkan untuk penatalaknaan nyeri neuropatik jangka panjang (Agarwal
dkk., 2018; Abdelsadek dkk., 2018).

2.5.2 Miastenia Gravis


A. Definisi
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara
terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul
karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular
12

junction. Dimana bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan
otot akan pulih kembali (Suresh dan Ria, 2020).

B. Epidemiologi
Perkiraan terbaru menunjukkan 20 kasus miastenia gravis umum per
100.000 orang di Amerika Serikat. Kedua jenis kelamin mempengaruhi miastenia
gravis, dan rasio wanita-pria secara keseluruhan adalah 2: 1. Prevalensi
myasthenia gravis onset dini (<40 tahun) hampir 3 kali lebih tinggi pada wanita
dibandingkan pada pria, sedangkan prevalensi miastenia gravis onset lambat (> 50
tahun) lebih umum pada pria dibandingkan wanita. Selama masa pubertas dan
dekade kelima kehidupan, tingkat kejadian tampaknya serupa pada pria dan
wanita. Orang dari segala usia bisa terkena, tetapi miastenia gravis biasanya
menyerang wanita pada dekade ketiga kehidupan mereka (Suresh dan Ria, 2020).

C. Klasifikasi
Untuk menentukan prognosis dan pengobatannya, penderita miastenia
gravis dibagi atas 4 golongan yaitu antara lain (Suresh dan Ria, 2020):
Golongan I : Miastenia Okular
Pada kelompok ini terdapat gangguan pada satu atau beberapa otot okular yang
menyebabkan timbulnya gejala ptosis dan diplopia, seringkali ptosis unilateral.
Bentuk ini biasanya ringan akan tetapi seringkali resisten terhadap pengobatan.
Golongan II : Miastenia bentuk umum yang ringan
Timbulnya gejala perlahan-lahan dimulai dengan gejala okular yang kemudian
menyebar mengenai wajah, anggota badan dan otot-otot bulbar. Otot- otot
respirasi biasanya tidak terkena. Perkembangan ke arah golongan III dapat terjadi
dalam dua tahun pertama dari timbulnya penyakit miastenia gravis.
Golongan III : Miastenia bentuk umum yang berat
Pada kasus ini timbulnya gejala biasanya cepat, dimulai dari gangguan otot
okular, anggota badan dan kemudian otot pernafasan. Kasus-kasus yang
mempunyai reaksi yang buruk terhadap terapi antikolinesterase berada dalam
keadaan bahaya dan akan berkembang menjadi krisis miastenia.
Golongan IV : Krisis miastenia
13

Kadang-kadang terdapat keadaan yang berkembang menjadi kelemahan otot yang


menyeluruh disertai dengan paralisis otot-otot pernafasan. Hal ini merupakan
keadaan darurat medik.

D. Patofisiologi
Kelemahan pada otot-otot pada miastenia gravis dan meningkatnya
kelemahan otot pada saat melakukan kegiatan fisik adalah disebabkan oleh
penurunan jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction. Pada orang
normal waktu untuk kegiatan fisik adalah lebih lama dibandingkan waktu yang
dibutuhkan untuk pemulihan kekuatan otot atau istirahat, sebaliknya pada
miastenia gravis justru waktu yang dibutuhkan untuk istirahat adalah lebih lama
dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan fisik (Hauser, 2013).
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini
mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang
menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus
eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain. Sejak tahun 1960, telah
didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum penderita miastenia gravis
secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah yang memegang
peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan miastenia gravis
(Hauser, 2013).

E. Manifestasi Klinis
Gejala yang paling umum meliputi (Suresh dan Ria, 2020):
a. Kelemahan Otot Ekstraokuler: Sekitar 85% pasien akan mengalami ini
pada presentasi awal. Keluhan pasien yang umum termasuk diplopia,
ptosis, atau keduanya. Gejala ini dapat berkembang dan menyebabkan MG
umum yang melibatkan otot bulbar, aksial, dan ekstremitas pada 50%
pasien dalam dua tahun.
b. Kelemahan Otot Bulbar: Ini bisa menjadi gejala awal pada 15% pasien dan
menyebabkan gejala seperti kesulitan mengunyah atau sering tersedak,
14

disfagia, suara serak, dan disartria. Keterlibatan otot wajah menyebabkan


wajah tanpa ekspresi, dan keterlibatan otot leher menyebabkan sindrom
kepala jatuh.
c. Kelemahan Tungkai: Ini biasanya melibatkan otot proksimal lebih dari
otot distal, dengan tungkai atas lebih terpengaruh daripada tungkai bawah.
d. Krisis miastenia: Hal ini disebabkan oleh keterlibatan otot interkostal dan
diafragma dan merupakan keadaan darurat medis.
e. Tidak ada gejala otonom seperti palpitasi, gangguan usus, atau kandung
kemih yang terjadi pada MG karena hanya melibatkan reseptor kolinergik
nikotinik.
Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan kekuatan otot normal karena pola
penyakit yang berfluktuasi. Dalam kasus seperti itu, kontraksi otot yang berulang
atau berkelanjutan dapat menunjukkan kelemahan. Perbaikan terlihat setelah
periode istirahat atau aplikasi es (tes kompres es) ke kelompok otot yang terlibat.
Pupil, refleks tendon dalam, dan pemeriksaan sensorik normal (Suresh dan Ria,
2020).

F. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis MG sebagian besar bersifat klinis. Investigasi dan prosedur
laboratorium biasanya membantu dokter dalam mengkonfirmasi temuan klinis.
1. Tes Serologis: Tes anti-AChR Ab sangat spesifik, dan ini memastikan
diagnosis pada pasien dengan temuan klinis klasik (Suresh dan Ria, 2020).
2. Tes Elektrofisiologi: pada pasien yang seronegatif untuk pengujian
antibodi. Tes yang umum digunakan untuk MG adalah tes stimulasi saraf
berulang (RNS) dan elektromiografi serat tunggal (SFEMG). Kedua tes
menilai penundaan konduksi di NMJ. Pemeriksaan konduksi saraf rutin
biasanya dilakukan untuk menentukan fungsi saraf dan otot sebelum
melakukan tes ini.
3. Radiografi, CT, dan MRI
Pada foto polos anteroposterior dan lateral, radiografi dapat
mengidentifikasi timoma sebagai massa mediastinal anterior. Foto thoraks
negatif tidak menyingkirkan timoma yang lebih kecil, dalam hal ini
15

diperlukan pemindaian tomografi dada (CT). CT scan dada harus


dilakukan untuk mengidentifikasi atau menyingkirkan pembesaran timoma
atau timus pada semua kasus MG (lihat gambar di bawah). Hal ini
terutama berlaku pada orang yang lebih tua (Burns dan Maumermann,
2011).
4. Uji Edrophonium (Tensilon): Edrophonium adalah penghambat
asetilkolinesterase kerja-pendek yang meningkatkan ketersediaan ACh
dalam NMJ (Suresh dan Ria, 2020).
5. Tes Ice-pack: Jika tes edrophonium merupakan kontraindikasi, tes ice-
pack dapat dilakukan. Tes ini membutuhkan kompres es yang diletakkan
di atas mata selama 2-5 menit. Kemudian, penilaian untuk setiap perbaikan
ptosis dilakukan. Tes ini tidak dapat digunakan untuk evaluasi otot
ekstraokuler (Suresh dan Ria, 2020).
6. Tes Laboratorium Lainnya: Miastenia gravis biasanya muncul bersamaan
dengan gangguan autoimun lainnya, dan pengujian untuk antibodi anti-
nuklir (ANA), faktor rheumatoid (RF), dan fungsi tiroid dasar
direkomendasikan (Suresh dan Ria, 2020).

G. Penatalaksanaan
Pengobatan Antikolinesterasi
Pyridostigmine adalah obat antikolinesterase yang paling banyak
digunakan. Efek menguntungkan dari pyridostigmine oral dimulai dalam 15-30
menit dan berlangsung selama 3-4 jam, tapi respon setiap individu berbeda.
Pengobatan dimulai dengan dosis moderat, misalnya, 30-60 mg tiga sampai empat
kali sehari. Frekuensi dan jumlah dosis harus disesuaikan dengan kebutuhan
pasien sepanjang hari. Pyridostigmine kerja panjang kadang-kadang berguna
untuk pasien pada malam tapi tidak digunakan untuk pengobatan siang hari karena
variabel absrobsi. Dosis maksimum pyridostigmine jarang melebihi 120 mg setiap
4-6 jam pada siang hari. Overdosis dengan obat antikolinesterase dapat
menyebabkan peningkatan kelemahan dan efek samping lainnya. Di beberapa
pasien, efek samping muskarinik antikolinesterase (diare, kram perut,
16

hipersalivasi, mual) mungkin melewati dosis. Atropin /diphenoxylate atau


loperamide berguna untuk pengobatan gejala gastrointestinal (Suresh dan Ria,
2020).
Thimectomy
Operasi pengangkatan thymoma diperlukan karena kemungkinan
penyebaran tumor lokal, meskipun kebanyakan thymoma secara histologi jinak.
Dengan tidak adanya tumor, bukti yang ada menunjukkan bahwa sampai 85% dari
pasien mengalami perbaikan setelah thymectomy (Suresh dan Ria, 2020).
Imunosupresi
Imunosupresi menggunakan glukokortikoid, azathioprine, dan obat-obatan
lainnya efektif dalam hampir semua pasien dengan MG. Pilihan obat atau
perawatan imunomodulator lainnya harus dipandu oleh manfaat relatif dan risiko
untuk individu setiap pasien serta urgensi pengobatan. Untuk jangka menengah,
glukokortikoid dan siklosporin atau tacrolimus umumnya menghasilkan perbaikan
klinis dalam jangka waktu 1-3 bulan. Efek menguntungkan dari azathioprine dan
mycophenolate mofetil biasanya dimulai setelah berbulan-bulan (sampai setahun),
tetapi obat ini memiliki keunggulan untuk jangka panjang pada pengobatan pasien
dengan MG (Suresh dan Ria, 2020).

2.5.3 Polineuropati Diabetikum


A. Definisi
Polineuropati diabetes adalah suatu kondisi yang mempengaruhi berberapa
saraf perifer yang disebabkan oleh degenerasi saraf perifer akibat langsung dari
peningkatan kadar glukosa darah pada pasien diabetes melitus. Distribusi
polineuropati umumnya bilateral simetris dan perkembangannya lambat.
Polineuropati atau peripheral neuropati diidentifikasikan pada daerah distal dan
dimulai dari kaki kemudian meningkat ke atas (Agarwal dkk., 2018).

B. Epidemiologi
Prevalensi neuropati diabetik (ND) dalam berbagai literatur sangat
bervariasi. Penelitian di Amerika Serikat memperlihatkan bahwa 10-20 % pasien
saat ditegakan Diabetes Melitus telah mengalami neuropati. Prevalensi neuropati
17

diabetik ini akan meningkat sejalan dengan lamanya penyakit dan tingginya
hiperglikemia. Diperkirakan setelah menderita diabetes selama 25 tahun,
prevalensi neuropati diabetik 50 % (Agarwal dkk., 2018).

C. Patofisiologi
Neuropati diabetik tidak terjadi oleh karena faktor tunggal, melainkan
karena interaksi beberapa faktor, seperti faktor metabolik, vaskular dan mekanik.
Faktor kausatif utama adalah gangguan metabolik jaringan saraf.
1. Faktor metabolik: Proses kejadian neuropati berawal dari hiperglikemia
berkepanjangan yang berakibat terjadinya peningkatan aktivitas jalur poliol,
pembentukan radikal bebas dan aktivasi Protein Kinase C (PKC), sintesis advance
glycosilation end products (AGEs). Aktivasi berbagai jalur tersebut berujung pada
kurangnya vasodilatasi, sehingga aliran darah ke saraf menurun bersama
rendahnya mioninositol dalam sel terjadilah neuropati diabetik. Berbagai
penelitian membuktikan bahwa kejadian neuropati diabetik sangat berhubungan
dengan lama dan beratnya diabetes melitus (Agarwal dkk., 2018; Abdelsadek
dkk., 2018).
2. Kelainan vaskular: Hiperglikemia juga mempunyai hubungan dengan
kerusakan mikrovaskular. Hiperglikemia persisten merangsang produksi radikal
bebas oksidatif yang disebut reactive oxygen species (ROS). Radikal bebas ini
membuat kerusakan endotel vaskular dan menetralisir NO, yang berefek
menghalangi vasodilatasi mikrovaskular. Mekanisme kelainan mikrovaskular
tersebut dapat melalui penebalan membran basalis; trombosit pada arteriol
intraneural; peningkatan agregasi trombosit dan berkurangnya deformabilitas
eritrosit; berkurangnnya aliran darah saraf dan peningkatan resistensi vaskular;
stasis aksonal, pembengkakan dan demielinisasi pada saraf akibat iskemia akut.
Kejadian neuropati yang didasari oleh kelainan vaskular masih bisa dicegah
dengan modifikasi faktor risiko kardiovaskular, yaitu kadar trigliserida yang
tinggi, indeks massa tubuh, merokok dan hipertensi (Agarwal dkk., 2018;
Abdelsadek dkk., 2018).
18

3. Mekanisme Imun: Suatu penelitian menunjuikan bahwa 22% dari 120


penyandang dm tipe 1 memiliki complement fixing antisciatic nerve antibodies
dan 25% pasien dm tipe 2 memperlihatkan hasil yang positif. Hal ini menunjukan
bahwa antibody tersebut berperan pada patogenesis neuropati diabetik.
Autoantibodi yang beredar ini secara langsung dapat merusak struktur saraf
motorik dan sensorik yang bias dideteksi dengan imunofloresens indirek.
4. Peran nerve growth factor (NGF): NGF diperlukan untuk mempercepat
dan mempertahankan pertumbuhan saraf. Pada penyandang diabetes, kadar NGF
serum cenderung turun dan berhubungan dengan derajat neuropati. Peptide ini
mempunyai efek terhadap vasodilatasi, mobilitas intestinal dan nosiseptif, yang
semuanya mengalami gangguan pada neuropati diabetic (Agarwal dkk., 2018;
Abdelsadek dkk., 2018).

D. Manifestasi klinis
Terlihat pada 20% pasien diabetes melitus, tetapi dengan pemeriksaan
elektrofisiologi pada diabetes melitus asimptomatik tampak bahwa penderita
sudah mengalami neuropati subklinik. Pada kasus yang jarang, neuropati mungkin
merupakan tanda awal suatu diabetes melitus (Abdelsadek dkk., 2018).

Gambar 2.4 Perbedaan manifestasi klinis dari neuropati diabetes (Abdelsadek dkk., 2018)

E. Diagnosis
Diagnosis neuropati perifer diabetik dalam praktek sehari-hari, sangat
bergantung pada ketelitian pengambilan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Hanya
19

dengan jawaban tidak ada keluhan neuropati saja tidak cukup mengeluarkan
kemungkinan adanya neuropati. Pada evaluasi tahunan, perlu dilakukan
pengkajian terhadap: 1). Refleks motorik, 2). Fungsi serabut saraf besar dengan
tes kuantifikasi sensasi kulit seperti tes rasa getar (biotesiometer) dan rasa tekan
(estesiometer dengan filament mono semmes-weinstein); 3). Fungsi serabut saraf
kecil dengan sensasi suhu; 4). Untuk mengetahui dengan lebih awal adanya
gangguan hantar saraf dapat dikerjakan elektromiografi (Agarwal dkk., 2018;
Abdelsadek dkk., 2018).
Bentuk lain yang juga sering ditemukan ialah neuropati otonom
(parasimpatis dan simpatis) atau diabetic autonomic neuropathy (dan). Uji
komponen parasimpatis dan dilakukan dengan 1). Tes respons denyut jantung
terhadap maneuver vasalva; 2). Variasi denyut jantung selama napas dalam
(denyut jantung maksimum-minimum). Uji komponen simpatis dan dilakukan
dengan 1). Respons tekanan darah terhadap berdiri (penurunan sistolik); respons
tekanan darah terhadap genggaman (peningkatan diastolik) (Abdelsadek dkk.,
2018).

F. Tatalaksana
Strategi pengelolaan pasien diabetes melitus dengan keluhan neuropati
diabetes dibagi ke dalam 3 bagian. Strategi pengelolaan pertama adalah diagnosis
nd sedini mungkin, strategi kedua yaitu dengan kendali glikemik dan perawatan
kaki sebaik-baiknya, dan strategi yang ketiga yaitu pengendalian keluhan
neuropati/nyeri neuropati diabetik. Selain itu pengendalian neuropati diabetik
perlu melibatkan banyak seperti perawatan umum, pengendalian glukosa darah
dan parameter metabolik lain (Agarwal dkk., 2018; Abdelsadek dkk., 2018).

2.5.4 Polineuropati Karsinomatosa


Neuropati sensoris atau sensorimotoris yang diakibatkan oleh penyakit
keganasan, umumnya berasal dari small cell carcinoma paru, atau limfoma dan
hodgkin’s disease. Neuropati ditandai dengan adanya antibodi (anti Hu) pada
serum. Anti bodi ini selain menyerang antigen pada tumor, tetapi juga mengikat
neuron di sistem saraf perifer (Vern, 2012).
20

Gejala klinis dari polineuropati karsinomatosa adalah (Vern, 2012):


– Neuropati sensoris: hilangnya sensoris secara progresif, biasanya
dirasakan pada alat gerak bagian atas, dengan gejala paraesthesia,
dysesthesia berupa rasa terbakar dan ataksia sensoris.
– Neuropati sensorimotor: berlangsung secara gradual, disertai menurunnya
sensoris bagian distal dan kelemahan motoris ringan.
Penatalaksanaan dari polineuropati karsinomatosa (Vern, 2012):
– Deteksi dan terapi penyakit keganasan yang mendasarinya.
– Penggunaan imunosupressan.
– Gammaglobulin i.v.

2.6 Manifestasi Klinis


Gangguan terutama terjadi pada bagian distal tungkai dan lengan, sensorik
dan motorik. Pada gejala ini didapatkan degenerasi aksonal, sehingga
penyembuhan dapat terjadi jika ada regenerasi aksonal. Gangguan distal terjadi
lebih dahulu, yaitu gangguan sensibilitas berupa gambaran kaus kaki dan sarung
tangan (glove and stocking pattern) yang mana tungkai bawah akan terkena lebih
dahulu dibandingkan lengan atas dan gangguan bersifat simetris pada kedua sisi.
Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.3. Gangguan saraf otak dapat terjadi
pada polineuropati yang berat seperti kelumpuhan nervus fasialis bilateral dan
saraf-saraf bulbar misalnya pada Sindrom Guillain Barre (Hauser, 2013).

Gambar 2.3 Gambaran glove and stocking pattern (Hauser, 2013)


21

Gangguan sensorik berupa parastesia, disestesia, dan perasaan baal pada


ujung jari kaki yang dapat menyebar kearah proksimal sesuai dengan penyebaran
saraf tepi. Kadang parastesia dapat berupa perasaan, aneh, tidak menyenangkan,
dan rasa terbakar. Nyeri pada otot dan sepanjang perjalanan saraf tepi jarang
dijumpai (Hauser, 2013). Kelemahan otot awalnya dijumpai pada bagian distal
kemudian menyebar kearah proksimal. Gejala motorik dapat meliputi kelemahan
dan atrofi otot, hipotoni dan menurunnya reflex tendon dapat dijumpai pada fase
dini, sebelum kelemahan otot dijumpai. Neuropati jangka panjang dapat
menyebabkan deformitas pada kaki dan tangan serta gangguan sensorik berat akan
menyebabkan ulserasi neuropati dan derfomitas sendi dan dapat pula disertai
gejala otonom (Hauser, 2013).
Gejala otonom akan menyebabkan gangguan fungsi pencernaan, gangguan
kandung kemih, gangguan tropik pada kulit, dan hilangnya keringat serta
gangguan vaskuler prifer yang dapat menyebabkan hipotensi postural (Hauser,
2013).

2.7 Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan fisik, pemeriksaan tanda vital dapat mengidentifikasi
adanya disautonomia. Pemeriksaan terstruktur dari sistem organ dapat
menentukan kemungkinan adanya endokrinopati, infeksi, vaskulopati, dan lain-
lain. Selanjutnya, pemeriksaan saraf kranial mencakup penilaian adanya anosmia
(refsum disease, defisiensi vitamin B12), atrofi saraf optik, anisokoria dan
penurunan refleks cahaya (disautonomia parasimpatetik), gangguan gerakan
okuler (sindrom Miller Fisher), kelemahan otot wajah (sindrom Guillain Barre),
dan sensorik trigeminal (sindrom Sjogren) (Abdelsadek dkk., 2018).
Pemeriksaan motorik, mencakup penilaian tonjolan otot, contohnya
observasi atrofi otot intrinsik tangan dan kaki. Selain itu dinilai hipereksitabilitas,
tonus, dan kekuatan otot dengan skala Medical Research Council. Kelemahan saat
fleksi dan ekstensi jari kelingking dan kelemahan ekstensi ibu jari sering muncul
pada fase awal. Sudut antara tibia dan punggung kaki sekitar 130°. Sudut yang
22

lebih besar menunjukkan kelemahan dorsofleksi pergelangan kaki. Pada tangan,


otot abduktor jari telunjuk dan kelingking yang terkena lebih dulu. Selain itu,
perlu diperhatikan gaya berjalan pasien. Pada pasien neuropati kronik, pasien
mengalami kesulitan berjalan dengan tumit dibanding berjalan dengan ujung jari
(Agarwal dkk., 2018; Abdelsadek dkk., 2018).
Pemeriksaan sensorik perlu dilakukan sesuai anatomi saraf perifer dan
pola penyakit. Pemeriksaan ini terbagi tipe serabut saraf ukuran besar atau kecil.
Penilaian serabut saraf besar mencakup sensasi getar, posisi sendi, dan rasa raba
ringan. Tes romberg juga bermanfaat menilai fungsi serabut besar (Agarwal dkk.,
2018). Dalam melakukan pemeriksaan sensorik, perlu memikirkan jenis neuropati
yang dikeluhkan, mencakup mononeuropati, polineuropati (distal simetrik atau
multifokal), radikulopati, pleksopati. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi area
yang mengalami kelainan dan dibandingkan dengan area kontralateral yang
simetris. Selain itu juga dibandingkan dengan area lain yang normal, dan
dikaitkan dengan dermatom saraf (Agarwal dkk., 2018; Abdelsadek dkk., 2018).
Penurunan refleks tendon sangat membantu dalam menentukan lokalisasi
kerusakan lower motor neuron. Hiporefleks atau arefleks sering ditemukan pada
neuropati serabut saraf yang besar, namun pada neuropati serabut saraf kecil
refleks tendon dalam seperti refleks Achilles masih baik (Agarwal dkk., 2018;
Abdelsadek dkk., 2018).

2.8 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat mengonfirmasi atau mengeliminasi
karakteristik klinis polineuropati. Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat
memberikan tampakan polineuropati aksonal primer atau demyelinisasi.
Neuropati idiopatik dan neuropati metabolic/toksik biasanya memberikan
tampakan kerusakan axonal prominent sedangkan dimediasi imun dan neuropati
bawaan mungkin predominant axonal dan demyelinasi. Pemeriksaan
elektrodiagnostik membantu mencari keterlibatan sublinis dan memberikan
parameter dasar untuk pemeriksaan elektrodiagnostik selanjutnya. Pemeriksaan
elektrodiagnostik akan normal pada polineuropati serabut tipis. Pemeriksaan
konduksi saraf yang normal dan EMG yang menurun secara signifikan mengarah
23

pada diagnosis neuropati perifer, sedangkan konduksi saraf yang abnormal


menguatkan diagnosis (Al dan Mehrabyan, 2004).
Biopsi saraf dilakukan jika pada tes laboratorium dan elektrodiagnostik
tidak ditemukan kelainan atau untuk memastikan diagnosis sebelum melakukan
tindakan agresif, misalnya pada vaskulitis sebelum pemberian steroid atau
kemoterapi). Jika pada semua pemeriksaan tidak didapatkan hasil bermakna dan
pemeriksaan elektrodiagnostik menunjukkan neuropati perifer simetris tipe
aksonal maka dianggap diagnosisnya adalah neuropati perifer idiopatik. Biopsi
epidermis dapat dilakukan pada pasien dengan keluhan rasa terbakar, kebas, dan
nyeri dimana diduga kerusakan terjadi pada serabut saraf kecil. Kerusakan serabut
saraf kecil dapat mendasari tahap awal dari beberapa neuropati perifer dan tidak
dapa dideteksi dengan pemeriksaan elektrodiagnostik (Al dan Mehrabyan, 2004).
Pemeriksaan laboratorium yang dapat menunjang diagnosis cukup banyak,
dan tergantung dari klinis pada pasien. American Academy of Neurology (AAN)
mengajukan parameter praktis pemeriksaan laboratorium dan genetik pada
polineuropati distal simetrik. Panduan tersebut merekomendasikan pemeriksaan
gula darah puasa, elektrolit untuk menilai fungsi ginjal dan hati, pemeriksaan
darah tepi lengkap, kadar vitamin B12 serum, laju endap darah, uji fungsi tiroid,
dan immunofixation electrophoresis serum (IFE). Sedangkan pemeriksaan lainnya
mencakup Myelin associated glycoprotein (MAG), sulfatide, dan antibodi GD1B
(Agarwal dkk., 2018).

2.9 Tatalaksana
Terapi ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab. Kemudian
koreksi dilakukan terhadap keadaan-keadaan metabolic yang abnormal, termasuk
defisiensi vitamin. Hal-hal yang perlu diketahui lebih lanjut adalah makan
makanan dan/atau obat tertentu yang dapat menyebabkan timbulnya neuropati
misalnya vinkristin, isoniazid, hidralazin, nitrofurantoin, klorokuin, makanan
kaleng dan sebagainya (Agarwal dkk., 2018).
Sebagai terapi simtomatis, untuk mengatasi nyeri dapat diberikan
analgesik yang dapat dikombinasikan dengan neuroleptik atau karbamazepin.
Akhir-akhir ini terdapat kecendrungan untuk memakai obat-obat yang dapat
24

merangsang proteosintesis sel Schwan untuk regenerasi. Obat yang sudah dipakai
adalah metikobalamin, suatu derivate vitamin B12, dengan dosis 1.500 mg/hari
selama 6-10 minggu. Obat lain ialah gangliosid yang merupakan komponen
intrinsic dari membrane sel neuron, dengan dosis 2 x 200 mg intramuscular
selama 8 minggu. Terapi vitamin diberikan pada kasus-kasus defisiensi yang
lazimnya berupa neurotonika yaitu kombinasi vitamin B1, B6 dan B12 dosis
tinggi (Agarwal dkk., 2018).
BAB 3. KESIMPULAN

Polineuropati adalah suatu penyakit yang menyebabkan terjadinya


gangguan fungsi dan atau struktur sistem saraf tepi yang bersifat simetris dan
bilateral mulai dari saraf spinal, pleksus, batang saraf, cabang terminal, peri
karyon, akar saraf serta bagian presinaps neuromuscularjunction. Kerusakan saraf
perifer dialami oleh 2,4% populasi di dunia dan akan meningkat 8% seiring
bertambahnya usia. Prevalensi polineuropati di populasi sekitar 2%-3% dan
prevalensi tertinggi sekitar 8% pada usia di atas 55 tahun. Polineuropati dapat
disebabkan oleh herediter, trauma, infeksi, sistem imun, metabolic, dan
polineuropati akibat neoplasia.
Klasifikasi polineuropati dibagi menjadi sindroma guillain bare, miastenia
gravis, polineuropati diabetik, dan polineuropati karsinomatosa. Diagnosa
berdasarkan gejala dan pemeriksaan neurologi dasar pada pasien, sehingga dapat
diberikan tatalaksana yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA

L. M. Román-Pintos, G. VillegasRivera, A. D. 2016. RodríguezCarrizalez, A. G.


Miranda-Díaz, and E. G. Cardona-Muñoz, “Diabetic polyneuropathy in type
2 diabetes mellitus: Inflammation, oxidative stress, and mitochondrial
function,” J. Diabetes Res. pp. 1–15.

M. Baehr & M. Frotcher. 2014. Diagnosis Topik Neurologi DUUS. Jakarta: EGC.

Vern C. 2012. Neuropathhy Diabetics, The 5-minute neurology consult 2nd


edition. pp. 332

Azhary, hend, et al. 2010 Peripheral Neuropathy: Differential Diagnosis and


Management-American Family Physician;81(7):887-892.

International Association for the Study of Pain. 2015. Painful Polyneuropathies.


Global Year Against Neuropathic Pain

Hanewinckel R, Oijen M, Ikram MA, Doorn PA. The Epidemiology and Risk
Factor of Chronic Polyneuropathy. European Journal of Epidemiology.
2016;31:5-20.

Burns TM & Mauermann ML. The Evaluation of Polyneuropathies. Journal of


Neurology Clinical Practice. 2011;76(2):6-13.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2014. PMK No. 5 ttg Panduan Praktik
Klinis Dokter di FASYANKES Primer. Jakarta: Kemenkes RI

Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2013. Standar Pelayanan Medik


Neurologi. Jakarta: Perdossi

Hauser L. Stephen. 2013. Harrison’s Neurologi and Clinical Medicine. Edisi 3.


New York: Mc Graw Hill Education.

Suresh, A. dan Ria M. 2020. Myasthenia Gravis. National Center for


Biotechnology Information, U.S. National Library of Medicine.

Vinik AI, Mehrabyan A. Diabetic neuropathies. Med Clin North Am


2004;88:947-999.

Agarwal, S, Lukhmana, S, Kahlon, N, Malik, P, & Nandini, H. 2018. Nerve


conduction study in neurologically asymptomatic diabetic patients and
correlation with glycosylated hemoglobin and duration of diabetes. National
Journal of Physiology, Pharmacy and Pharmacology 8(11): 1533–153
Abdelsadek, S, Saghier, E, & Raheem, S. 2018. Serum 25(OH) vitamin D level
and its relation to diabetic peripheral neuropathy in Egyptian patients with
type 2 diabetes mellitus. The Egyptian Journal of Neurology, Psychiatry and
Neurosurgery 54:36

Anda mungkin juga menyukai