Hadits Arbain nomor 42 (Keempat puluh dua)Anas ra. berkata, aku mendengar
Rasulullah saw. bersaba, Allah swt berfirman: “Hai anak Adam, selama kalian mau
berdoa dan berharap kepada-Ku, pasti Kuampuni dosa yang pernah kalian lakukan,
dan Aku tidak peduli. Hai anak Adam, seandainya dosa kalian membumbung setinggi
langit lalu kalian memohon ampun kepada-Ku, pasti Ku-ampuni. Hai anak Adam,
seandainya kalian datang kepada-Ku dengan membawa kesalahan sepenuh bumi,
asalkan tidak menyekutukan Aku, pasti Aku mendatangimu dengan membawa
ampunan sepenuh bumi pula.” (HR Tirmidzi, dia berkata: hadits ini hasan shahih)
URGENSI HADITS
KANDUNGAN HADITS
Kita diperintahkan untuk berdoa, bahkan dijanjikan akan dikabulkan. Allah swt.
berfirman: “Dan Rabbmu berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku-
perkenankan bagimu.’” (Ghafir: 60)
Nu’man bin Bisyir ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya doa
adalah ibadah.” Kemudian beliau membaca ayat, “Dan Rabbmu berfirman: ‘Berdoalah
kepada-Ku…” (HR Tirmidzi dan lainnya)
Allah swt tidak tidak mempersilakan hambanya untuk berdoa dengan khusyuk
melainkan Dia menjanjikan akan mengabulkannya.
Thabrani meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang diberi
peluang untuk berdoa, tentu diberi peluang untuk dikabulkan. Karena Allah swt.
berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan bagi kalian.” Rasulullah saw.
juga bersabda, “Tidak mungkin Allah membuka pintu doa bagi hamba-Nya, lantas
menutup pintu dikabulkannya doa tersebut.”
Salah satu penyebab terpenting dikabulkannya doa adalah kehadiran hati dan harapan
akan dikabulkannya doa tersebut. Abu Hurairah ra. berkata, bahwa Rasulullah saw.
bersabda: “Berdoalah kepada Allah dengan harapan akan dikabulkan. Karena Allah
tidak akan menerima doa dari hati yang lalai dan kosong dari harapan.” (HR Tirmidzi)
Abdullah Ibnu Umar ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya hati
itu bagaikan bejana. Sebagiannya lebih luas dari sebagian yang lainnya. Jika kalian
meminta kepada Allah, maka mintalah dengan penuh harap bahwa doa itu akan
dikabulkan. Karena Allah tidak akan mengabulkan doa seseorang dari hatinya yang
lalai.” (HR Ahmad)
– Penuh keyakinan
Artinya, dalam berdoa, seseorang harus yakin dan tidak boleh menampakkan
keraguan, baik dalam hati maupun ucapannya. Rasulullah saw. melarang seseorang
berdoa dengan mengucapkan: “Ya Allah, ampunilah aku jika Engkau berkenan. Ya
Allah, rahmatilah aku jika Engkau berkenan.” Akan tetapi dalam berdoa harus dengan
perasaan yakin. Karena Allah swt akan berbuat apa saja tanpa ada yang memaksa.”
(HR Muslim).
– Bersungguh-sungguh
Allah swt. senang terhadap hamba-Nya yang menampakkan kesungguhan ibadah dan
mengungkapkan segala kebutuhannya kepada-Nya. dengan harapan Allah akan
memenuhi permintaannya.
Allah swt.. berfirman: “Dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan
diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat
kepada orang-orang yang berbuat baik.” (al-A’raaf: 56)
Anas ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jangan lelah untuk berdoa, karena
tidak ada orang yang mati karena berdoa.” (HR Hakim)
Rasulullah juga bersabda: “Barangsiapa yang tidak mau berdoa kepada Allah, niscaya
Allah marah kepadanya.” (HR Ibnu Majah)
Seorang shahabat menyebutkan bahwa jika seorang hamba berdoa kepada Tuhannya,
dan Allah menyukainya, Allah swt berfirman: “Hai Jibril, jangan terburu-buru
mengabulkan doa hamba-Ku ini. Aku masih senang mendengar suaranya.”
– Tidak terburu-buru
Rasulullah saw. melarang seorang mukmin meninggalkan doa karena doanya belum
juga dikabulkan. Bahkan Rasulullah saw. menganggapnya, sebagai faktor tidak
dikabulkannya doa.
Karena itu, seseorang dituntut untuk senantiasa berdoa dan agar tidak putus
harapannya kepada Allah swt. Rasulullah saw. bersabda: “Akan dikabulkan doa
seseorang, selama ia tidak terburu-buru minta dikabulkan doanya, hingga mengatakan,
‘Saya telah berdoa kepada Tuhanku namun belum juga dikabulkan.’”(Muttafaq ‘alaiHi)
– Rezeki yang halal.
Di antara faktor terpenting dikabulkanny adoa adalah rizky yang halal. Sebaliknya, di
antara faktor tidak dikabulkannya doa adalah ketidakpedulian seseorang dengan
rizkynya, apakah halal ataukah haram. Inilah yang telah ditegaskan oleh Rasulullah
saw. dalam sabdanya: “Seorang laki-laki yang mengulurkan kedua tangannya ke langit
seraya berdoa, “Ya Allah, ya Allah.” Sedangkan makanan, minuman, dan pakaiannya
haram. Ia kenyang dengan barang haram. Bagaimana mungkin doanya akan
dikabulkan.” (HR Muslim dan yang lain)
Dalam hadits yang lain beliu bersabda: “Hai Sa’ad, makanlah dari makanan yang baik
(halal) niscaya doamu akan selalu dikabulkan.” (HR Tabrani)
2. Memohon ampun.
Hal terpenting yang dimohonkan seseorang dalam doanya adalah memohon ampun
dari segala dosa, dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga.
Rasulullah saw. bersabda: “Kami selalu memohon untuk dimasukkan ke dalam surga,
dan dijauhkan dari neraka.”
Abu Muslim al-Khlulani berkata: “Setiap kali disebutkan nama neraka, aku
selalumemohon kepada Allah untuk dijauhkan darinya.
Allah Dzat yang Maha Pengasih. Ketika hamba-hamba-Nya meminta, Dia mengabulkan
permintaannya atau menggantinya dengan yang lebih baik dari apa yang diminta,
seperti dijauhkannya keburukan darinya, menjadi simpanan di akhirat, atau dihapuskan
dosa-dosanya.
Jabir ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah seseorang berdoa,
kecuali Allah mengabulkan doanya atau menjauhkannya dari keburukan yang
sebanding dengan yang diminta. Selama ia tidak meminta suatu dosa atau
memutuskan silaturahim.” (HR Ahmad dan Tirmidzi)
Abu Sa’id berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah seseorang muslim
berdoa dengan suatu doa, yang tidak mengindikasikan suatu dosa atau pemutusan
suatu hubungan silaturahim, kecuali Allah akan memberikan kepadanya satu di antara
tiga. Segera dikabulkan doanya, atau sebagai simpanan baginya di akhirat dan bisa jadi
ia akan dibebaskan dari kesulitan lain yang setara dengan yang diminta.” (HR al-Hakim)
4. Adab-adab berdoa
c. Memohon ampunan
d. Menghadap kiblat
i. Berdoa dengan bentuk yang umum (tidak hanya untuk dirinya sendiri)
l. Merendahkan suara
Sebesar apapun dosa seorang hamba, ampunan Allah swt. tetap lebih luas dan besar
dari dosa tersebut.
Jabir ra. menceritakan bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. dan
berkata, “Betapa besarnya dosaku.” Ucapan itu diulanginya hingga tiga kali. Rasulullah
saw. lalu bersabda kepadanya, “Ucapkanlah, ‘Ya Allah sesungguhnya ampunan-Mu
lebih luas daripada dosa-dosaku dan rahmat-Mu sungguh aku harapkan.’” Laki-laki itu
mengucapkannya, Rasulullah saw. berkata, “Ulangi.” Ia mengulanginya. Sekali lagi
Rasulullah saw. berkata, “Ulangi.” Ia pun mengulanginya lagi. Setelah itu Rasulullah
saw. bersabda, “Berdirilah, Allah telah mengampuni dosamu.” (HR al-Hakim)
“Dan mohonlah ampunan kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (al-Muzzammil: 20)
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya.”
(Huud: 3)
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya
dirinya sendiri, mereka ingat akan Allah. Lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa
mereka. dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah. Dan
mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (Ali
‘Imraan: 135)
Kadang-kadang disebutkan bahwa Allah swt. akan mengampuni orang yang meminta
ampun.
Semua itu adalah bukti bahwa istigfar adalah sesuatu yang penting. Ia adalah kunci
keselamatan seorang hamba. Karena manusia tidak luput dari dosa, disengaja atau
tidak.
7. Taubat dan istighfar
Istighfar dan taubat sering disebut beriringan. Misalnya dalam ayat, “Mengapa mereka
tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya? Dan Allah
Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (al-Maaidah: 74)
“Dan hendaklah engkau meminta ampun kepada Rabbmu dan bertaubat kepad-Nya.”
(Huud: 3) dan dalam ayat lainnya.
Ketika istighfar dan taubat disebut secara beriringan, dalam satu ayat seperti dalam dua
ayat di atas, maka istighfar lebih dimaksudkan pada permohonan ampun, sedangkan
taubat lebih pada meninggalkan sebuah dosa dan tidak akan mengulanginya.
Namun kadang-kadang istighfar itu disebut tanpa diiringi oleh taubat. Misalnya dalam
ayat, “Musa mendoa, ‘Ya Rabbaku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendir
karena itu ampunilah aku.” Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Allah Dialah
Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Qashash: 16)
“Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (al-Muzzammil: 20) dan dalam ayat-ayat lain.
Dalam kondisi ini, istighfar mempunyai pengertian: melakukan taubat yang benar,
dengan menyesali perbuatan maksiat yang telah dilakukan, menghentikan kemaksiatan
secepatnya, tidak akan mengulangi lagi, mengqadla’ amal yang ditinggalkan, dan
mengembalikan hak orang lain yang didhalimi atau meminta maaf. Karena ampunan
hanya akan diberikan kepada orang yang menghentikan kemaksiatan dan memperbaiki
perilakunya.
Abu Bakar ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Tidak mengulangi dosanya lagi,
orang yang meminta ampun. Meskipun ia mengulanginya tujuh puluh kali dalam sehari.”
(HR Abu Dawud)
Abu Hurairah ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Seorang hamba berbuat
dosa. Lalu Ia berdoa, “Tuhan, aku telah melakukan dosa. Ampunilah aku.” Allah
berfirmman, “Hamba-Ku mengetahui bahwa ia mempunyai Tuhan yang mengampuni
dosa. Aku ampuni dosa hamba-Ku.” Setelah beberapa waktu hamba itu berbuat dosa
lagi.. (kejadian di bagian awal hadits pun terulang kembali dua kali).” (HR Bukhari dan
Muslim) dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa pada kali ketiga, Allah berfirman, “Aku
telah mengampuni hamba-Ku. Maka berbuatlah sesukanya.”
Bisa dipahami bahwa istighfar yang akan dikabulkan adalah yang diiringi dengan tidak
mengulangi lagi dosa yang telah diperbuat. Itulah yang disebut dengan taubatan
nashuha.
Namun demikian, ada harapan diampuni. Apalagi jika doa tersebut dilantunkan dengan
penyesalan, atau pada waktu-waktu yang dikabulkan.
Tidak berhenti dari melakukan dosa bisa menjadi penghalang datangnya ampunan.
Ibnu Umar ra. berkata, “Celakalah orang-orang yang tetap melakukan dosa, padahal
mereka mengetahui.” (HR Ahmad).
Ibnu ‘Abbas ra. berkata,”Orang yang bertaubat dari dosa, bagaikan orang yang tidak
memiliki dosa. Sedangkan orang yang meminta ampun namun masih tetap dengan
kemaksiatannya, maka ia bagaikan mengejek Allah.” (HR Ibnu Abud Dunya)
Abu Hudzaifah ra. berkata, “Sebuah kebohongan, seseorang yang berkata, “Aku minta
ampun kepada Allah.” Lalu ia tetap mengulangi perbuatan maksiatnya.”
9. Taubatnya orang yang berdusta.
Siapapun yang mengucapkan, “Saya mohon ampun dan bertaubat kepada Allah.”
Namun hatinya masih tetap melakukan kemaksiatan, maka ia telah berbohong dan
mendapat dosa. Karena pada hakekatnya ia tidak berdosa, tetapi mengaku telah
bertobat. Semestinya ia berkata, “Ya Allah, aku meminta ampun kepada-Mu. Maka
ampunilah aku.”
Orang-orang seperti ini ibarat mereka yang ingin menuai padi namun tidak pernah
menanam, ingin punya anak akan tetapi belum menikah.
Abu Hurairah ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. berkata, “Demi Allah, sungguh aku
memohon ampun dan bertaubat kepada Allah lebih dari tujuh puluh kali dalam sehari.”
(HR Bukhari)
Hasan al-Bashri berkata, “Perbanyaklah istighfar, di rumah, meja makan, jalanan, pasar,
tempat berkumpul, dan di mana saja, karena kalian tidak tahu kapan ampunan akan
datang.”
Dianjurkan untuk tidak hanya mengucapkan, “Aku memohon ampun dan bertaubat
kepada Allah.”
Diriwayatkan bahwa Umar ra. pernah mendengar seorang laki-laki berkata, “Aku
memohon ampun dan bertaubat kepada Allah.” Lalu Umar berkata, “Hai fulan,
ucapkanlah, ‘Taubatnya orang yang tidak dapat mendatangkan manfaat, mudharat,
kehidupan, dan kebangkitan.”
Istighfar yang paling mulia, paling besar pahalanya, dan paling besar peluangnya untuk
dikabulkan adalah istighfar yang dimulai dengan memuji Allah, kemudian mengakui
segala dosa yang dilakukan. Setelah itu meminta ampun kepada Allah.
Syidad bin Aus ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Sayidul istighfar adalah dengan
mengucapkan, “AllaaHumma anta rabbii laa ilaaHa illaa anta, khalaqtanii wa ana
abduka wa ana ‘alaa aHdika wawa’dika mastatha’tu a’uudzubika min syarri maa
shana’tu abuu-u laka bini’matika wa abuu-u laka bidzambi faghfirlii fa innaHuu laa
yaghfirudz dzunuuba illaa anta.” (Ya Allah Engkau adalah Tuhanku. Tidak ada tuhan
selain Engkau. Engkaulah yang menciptakanku dan aku adalah hamba-Mu. Aku berada
dalam perjanjian dengan-Mu dan akan menunaikan janji itu sekuat tenagaku. Aku
berlindung kepada-Mu dari segala kejahatan yang telah aku perbuat. Aku akui segala
nikmat-Mu dan akui semua dosaku. Maka ampunilah aku, karena tidak ada yang bisa
mengampuni dosa kecuali Engkau.” (HR Bukhari)
Barangsiapa yang banyak melakukan dosa dan kesalaha, hingga tidak bisa dihitung,
hendaklah ia memohon ampun kepada Allah swt. dari segala dosanya.
Syidad bin Aus ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. berdoa, “Aku memohon dari-Mu
kebaikan yang Engkau ketahui. Aku memohon pelindungan-Mu dari kejahatan yang
Engkau ketahui. Dan aku meminta ampun kepada-Mu dari dosa yang Engkau ketahui.
Karena Engkaulah Yang Mahamengetahui hal-hal yang ghaib.”
Ini tidak lain karena Allah swt. mengetahui dan menghitung semua dosa yang dilakukan
hamba-Nya.
Allah berfirman: “Pada hari ketika mereka dibangkitkan Allah semua. lalu (Allah)
memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Allah mengumpulkan
(mencatat) amal perbuatan itu, padahal mereka telah melupakannya.” (al-Mujadilah: 6)
Seseorang yang memohon ampun kepada Allah swt. akan merasakan bahwa ia
bernaung di bawah naungan Dzat yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang, Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Sehingga hatinya akan merasa tenang, dadanya akan
lapang, tekadnya akan semakin terpacu. Ia merasakan betapa kasih dan keridlaan Allah
senantiasa menyertainya. Menjadikannya senantiasa optimis dalam mengarungi lautan
kehidupan. Sedikitpun ia tidak ada rasa pesimis.
Al-Muzani ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh hatiku juga sibuk
seperti kalian. Akan tetapi aku beristighfar seratus kali dalam sehari.” (HR Muslim)
Ibnu ‘Abbas ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa banyak
istighfar maka Allah akan memberikan baginya kebebasan dari setiap kesusahan, jalan
keluar dari setiap kesempitan, dan memberinya rizky dari arah yang tidak diduga
sebelumnya.” (HR Abu Dawud)
Abu Dzar ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Setiap penyakit pasti ada
obatnya. Dan obat penghilang dosa adalah istighfar.”
Qatadah ra. berkata, “Al-Qur’an menunjukkan kalian kepada penyakit dan obat.
Penyakit kalian adalah dosa. Sedangkan obat kalian adalah istighfar.”
‘Aisyah ra. berkata, “Sungguh beruntung, orang yang mendapati dalam catatan
amalnya istighfar yang banyak.”
Abu Minhal berkata, “Tiada pendamping yang lebih bagi seseorang di dalam kuburnya,
selain istighfar yang banyak.”
Sebagian ulama berkata, “Yang meringankan beban orang-orang yang telah banyak
berbuat dosa adalah menangis dan istighfar. Barangsiapa yang sedih karena banyak
dosanya, hendaknya ia banyak beristighfar.”
Juga termasuk buah dari istighfar adalah tertanamnya jiwa pemaaf dan perilaku yang
baik. Hudzaifah ra. berkata, “Ya Rasulallah, saya adalah orang yang kasar dalam
berkata.” Rasulullah saw. berkata,”Mengapa kamu tidak beristighfar. Sungguh aku
beristighfar seratus kali dalam sehari semalam.”
15. Istighfar melalui orang yang diyakini tidak banyak berbuat dosa.
Orang yang sedih dengan dosa-dosanya, bisa jadi akan lebih mempercayai orang yang
diyakini tidak banyak melakukan dosa untuk memohonkan ampun baginya.
Umar bin Khaththab pernah meminta tolong kepada anak kecil untuk memohonkan
ampun baginya, seraya berkata, “Kalian belum memiliki dosa.”
Abu Hurairah ra. juga pernah berkata keapda anak-anak kecil, “Ucapkanlah, ‘Ya Allah
ampunilah Abu Hurairah.’” Ia lantas mengamini doa mereka.
16. Berprasangka baik kepada Allah, dan meyakini bahwa hanya Dia yang dapat
mengampuni.
Seorang mukmin yang memohon ampunan kepada Allah swt. harus berbaik sangka
kepada-Nya, bahwa Allah benar-benar akan mengampuni dosanya.
Rasulullah saw. bersabda, bahwa Allah swt. berfirman (dalam hadits qudsi) “Aku sesuai
dengan sangkaan hamba-Ku, maka berprasangkalah sesukamu.” Riwayat lain
menyebutkan, “Maka janganlah berprasangka kepada Allah kecuali yang baik.”
Firman Allah: “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau
menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah. Lalu memohon ampun terhadap
dosa-dosa mereka. dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah.
Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (Ali
Imraan: 135)
Abdullah Ibnu Amru ra. menceritakan bahwa Abu Bakar ra. berkata, “Wahai Rasulullah,
ajarkanlah kepadaku suatu doa, untuk aku ucapkan di dalam shalat.” Rasulullah saw.
menjawab, “Ucapkanlah, ‘Ya Allah sesungguhnya aku sering menganiaya diriku sendiri.
Dan sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau. Maka
ampuni dan kasihanilah aku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (HR Bukhari dan Muslim)
Berprasangka baik ini mutlak diperlukan, terlebih ketika kita merasa bahwa ajal kita
merasa bahwa ajal kita memang dekat sekali. Agar harapan untuk mendapatkan
ampunan benar-benar mendominasi.
Mu’adz bin Jabal ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jika kalian mau, aku
akan ceritakan kepada kalian apa yang pertama kali ditanyakan Allah kepada orang-
orang Mukmin, dan apa yang pertama kali diucapkan oleh orang-orang mukmin
kepada-Nya.” para shahabat menjawab, “Kami mau, ya Rasulallah.” Rasulullah
bersabda, “Sesungguhnya Allah swt. bertanya kepada orang-orang Mukmin: ‘Apakah
kalian senang bertemu dengan-Ku?’ Orang-orang Mukmin serentak menjawab: ‘Ya.
Wahai Tuhan kammi.’ Allah swt. bertanya, ‘Mengapa?’ mereka menjawab, “Karena kami
mengharapkan maaf dan ampunan-Mu.’ Allah menjawab, ‘Kalian telah mendapatkan
ampunan-Ku.’” (HR Ahmad)
Kedua hal tersebut harus dimiliki oleh seorang mukmin secara seimbang. Karena
harapan yang terlalu tinggi tanpa dibarengi rasa takut akan menimbulkan tipu muslihat.
Sedangkan ketakutan yang berlebihan tanpa diiringi harapan akan menimbulkan
keputusasaan. Baik tipu muslihat maupun keputusasaan adalah perbuatan yang
tercela.
Disebutkan dalam hadits, “Takut dan harap bersumpah bahwa jika keduanya berhimpun
pada satu orang niscaya angin neraka akan lenyap dari orang tersebut. Jika ia berpisah
dari salah seorang niscaya angin surga lenyap dari orang tersebut.”
Menurut madzab Maliki, jika dalam keadaan sehat maka ketakutan haruslah lebih
ditekankan, dan jika dalam kondisi sakit, maka harapan lebih ditekankan.
Menurut madzab Syafi’i, antara rasa takut dan harapan mempunyai porsi yang sama
bagi orang yang sehat. Ia harus melihat keburukan yang telah dilakukan dan harus
merasa takut karenanya. Di sisi lain, ia harus melihat kemurahan Allah swt. sehingga ia
merasa penuh harap. Sedangkan orang yang sakit, hendaknya ia lebih menekankan
sisi harapan. Ini didasarkan oleh sebuah hadits, “Janganlah seorang di antara kalian
meninggal kecuali ia berprasangka baik terhadap Allah swt.”
Barangkali, inilah hikmah mengapa Imam Nawawi menempatkan hadits ini sebagai
penutup, hingga lebih dari empat puluh hadits.
Karena, pada dasarnya, dosa amatlah kecil di hadapan cahaya tauhid. Maka siapapun
yang memiliki tauhid dan bertemu Allah dengan dosa yang memenuhi bumi, Allah akan
menemuinya dengan membawa ampunan sepenuh bumi. Namun demikian, segalanya
tergantung kehendak Allah. Jika berkehendak maka Allah akan mengampuni, dan jika
tidak maka Allah akan menyiksanya karena dosa-dosa yang dilakukan.
Orang yang bertauhid tidak kekal di dalam neraka. ia akan dikeluarkan dan dimasukkan
ke dalam surga. Ia juga tidak masuk neraka dengan dicampakkan begitu saja
sebagaimana orang kafir. Rasulullah saw. bersabda, “Akan keluar dari neraka orang
yang mengatakan, “Tiada tuhan selain Allah.” Dan di dalam hatinya terdapat kebaikan
seberat biji gandum.” (HR Bukhari)
Jika tauhid dan keikhlasan seseorang telah sempurna. Lalu ia menunaikan semua
syarat yang harus dipenuhi, dengan hati, lisan dan anggota badannya, atau dengan hati
dan lisannya ketika meninggal, maka ia pasti akan mendapatkan ampunan dari segala
dosa yang telah ia lakukan dan tidak akan masuk neraka.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. berkata kepada Mu’adz bin Jabal ra., “Apakah
kamu mengetahui hak Allah atas hamba-Nya?” Mu’ad menjawab, “Allah dan Rasul-Nya
lebih mengetahui.” Beliau berkata, “Beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-
Nya sedikitpun. Apakah kamu mengetahui hak hamba atas Allah?” Mu’adz menjawab,
“Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau berkata, “Tidak menyiksanya.” (HR
Bukhari dan lainnya)
Umu Hani’ berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Ucapkanlah: ‘Laa ilaaHa
illallaaH’ tidak akan menyisakan dosa, dan tiada perbuatan yang melebihi
keutamaannya.” (HR Ahmad)
Syidad bin Aus dan Ubadah bin Shamith ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda kepada
kami, “Angkatlah tangan kalian dan ucapkanlah: ‘Laa ilaaHa illallaaH.” Lalu kami
mengangkat tangan selama satu jam. Setelah itu beliau menurunkan tangannya. Lalu
berkata, “Alhamdulillah. Ya Allah Engkau mengutusku, memerintahkanku, dan
menjanjikan surga untukku dengannya (kalimat syahadat). Sungguh Engkau tidak
mengingkari janji.” Kemudian beliau bersabda, “Bergembiralah, sungguh Allah telah
mengampuni kalian.” Ini semua buah dari taubat dan amal shalih. Allah berfirman,
“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih; maka
mereka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah
Mahapengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Furqaan: 70).
Barangsiapa yang hatinya telah terisi dengan tauhid, maka semua yang tidak
bernuansa ilahi akan tersingkir. Rasa takut, rasa cinta, rasa hormat, rasa tunduk, atau
harapan dan sikap tawakal kepada selain Allah akan hilang dengan sendirinya. Pada
saat itulah semua dosanya akan lenyap, meskipun dosa itu sebanyak buih di lautan,
dan berubah menjadi kebajikan.
Rasulullah saw. bersabda, “Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian
sehingga Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada yang lain.” (HR Bukhari dan yang
lain)