Anda di halaman 1dari 201

PSEUDO-HIERARKI ILMU

Studi atas Pemikiran Klasifikasi Ilmu Ibn Sab‘i>n

Tesis
Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,
sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Magister
pada Program Pengkajian Islam dalam Bidang Pemikiran Islam

Oleh:
Puad Hasan
NIM: 11.2.00.0.02.01.0124

Pembimbing:
Prof. Dr. Zainun Kamal, MA

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014 M. / 1436 H.
v

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT., yang telah menganugerahkan


nikmat berupa kasih sayang dan kemurahan-Nya sehingga dapat
diselesaikan sebuah karya tulis dengan judul: “Pseudo-Hierarki Ilmu:
Studi atas Pemikiran Klasifikasi Ilmu Ibn Sab‘i>n”. Shalawat dan salam
semoga terus tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW., keluarga,
sahabat dan seluruh umatnya.
Karya ini merupakan hasil penelitian sebagai tugas akhir untuk
memperoleh gelar Magister pada Program Pengkajian Islam dalam bidang
Pemikiran Islam di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari
kesempurnaan sebagai sebuah karya ilmiah, terlebih tanpa ada bantuan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini dengan rasa
hormat penulis berterima kasih kepada:
1. Direktur Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, deputi, dan seluruh staf SPs
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan kemudahan
dalam penyelenggaraan akademis dan administratif.
2. Prof. Dr. Zainun Kamal, MA, sebagai pembimbing tesis, yang telah
meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan nasihat dengan
sangat sabar dalam penyusunan tesis ini sampai dengan selesai.
3. Para dosen yang telah memberikan ilmu pengetahuannya pada waktu
mengikuti perkuliahan di SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Kedua orang tua dan kakak-kakak yang sangat dibanggakan dan
dicintai, yang telah memberikan dukungan yang sangat besar,
mudah-mudahan selalu dalam lindungan Allah SWT.
5. Seluruh teman seperjuangan di UIN Syarif Hidayatullah, yang telah
menyisihkan waktu untuk senantiasa melakukan diskusi dan tukar
pikiran.
6. Semua pihak yang tidak sempat disebutkan, yang telah secara
langsung maupun tidak langsung membantu penyelesaian karya ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga segala bantuan yang diberikan
semua pihak diterima dan diridhai oleh Allah sebagai amal baik.

Bogor, Desember 2014

Puad Hasan
xiii

ABSTRAK

Dengan mengkaji gagasan filosofis dari klasifikasi ilmu yang disusun Ibn
Sab‘i>n, tesis ini membuktikan bahwa semakin inklusif konsepsi wujud (ontologis),
maka semakin integral berbagai ilmu pengetahuan (epistemologis).
Penelitian ini memperkuat pendapat: (1) Osman Bakar dalam karyanya,
Classification of Knowledge in Islam: A Study in Islamic Philosophies of Science
(1998), bahwa setiap pengetahuan berasal dari sumber yang sama, serta membentuk
gagasan konseptual tentang kesatuan pengetahuan. (2) Fazlur Rahman dalam
karyanya Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (1984),
bahwa sejatinya, dalam tradisi intelektual Islam tidak ada klasifikasi, atau dikotomi
dalam ilmu pengetahuan. Adanya klasifikasi tersebut bukan dimaksudkan untuk
memisahkan satu bidang ilmu dengan lainnya, atau malah mempertentangkannya,
tetapi lebih merupakan sebuah keniscayaan filosofis dan tanggung jawab intelektual
umat Islam dalam mengawal tradisi ilmiah. (3) Sayyed Hossein Nasr, dalam
karyanya Islamic Science: An Illustrated Study (1976), bahwa konsepsi pengetahuan
dalam Islam didasarkan atas dua prinsip, kesatuan dan hierarki. Artinya, klasifikasi
ilmu dalam Islam sejatinya didasarkan pada visi hierarkis dan kesalingterkaitan antar
disiplin ilmu yang memungkinkan terealisasinya ketunggalan dalam kemajemukan.
Sebaliknya, penelitian ini berbeda dengan pendapat: (1) Paul L. Heck dalam
tulisannya The Hierarchy of Knowledge in Islamic Civilization (2002), bahwa
klasifikasi ilmu dalam Islam bukan lahir dari kerangka berbasis intelektual (intellect-
based), tetapi lahir dari kerangka epistemologis yang bertumpu pada bahasa sebagai
nilai sosial kenegaraan (state-based). (2) Godefroid De Callataÿ dalam tulisannya
The Classification of the Sciences According to Rasa>’il Ikhwa>n al-S{afa>’ (2003),
bahwa wacana klasifikasi ilmu dalam Islam selalu mengarah secara dikotomik
kepada ilmu keagamaan dan ilmu rasional (Greek sciences).
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode
library research dan pendekatan filosofis (philosophical approach), oleh karenanya,
penelitian ini bersifat filosofis-hermeneutis. Objeknya adalah pemikiran filosofis
tokoh Ibn Sab‘i>n, dengan fokus kajian pada konstruk dan paradigma klasifikasi ilmu
yang digagasnya. Sumber primer penelitian ini adalah karya Ibn Sab‘i>n, yakni Budd
al-‘A<rif yang terdapat pembahasan tentang klasifikasi ilmu, juga Rasa>’il-nya yang
memuat pemikiran-pemikiran filosofisnya. Sedangkan data sekunder mencakup
rujukan lain yang berkaitan dengan klasifikasi ilmu dalam Islam dan pemikiran Ibn
Sab‘i>n.
Tesis ini bertujuan mengeksplorasi konstruk dan paradigma klasifikasi ilmu
yang digagas oleh Ibn Sab‘i>n, dengan melihat basis ontologisnya yang berakar pada
doktrin al-Wah}dah al-Mut}laqah (Kesatuan Mutlak). Penelitian ini membuktikan
bahwa konsep Kesatuan Mutlak yang menjadi basis ontologis klasifikasi ilmu,
merupakan pijakan filosofis yang sah bagi gagasan integrasi keilmuan. Secara
konseptual, pandangan tersebut akan melahirkan klasifikasi atau hierarki ilmu yang
sejatinya bersifat “metaforis”, namun memiliki konstruk yang holistik (pseudo-
hierarki ilmu).
‫‪xiv‬‬

‫ﻣﻠﺨﺺ ﺍﻟﺒﺤﺚ‬

‫ﺑﻺﺳﺘﻌﺮﺍﺽ ﻭﺍﻟﺒﺤﺚ ﻋﻦ ﺍﻷﻓﻜﺎﺭ ﺍﻟﻔﻠﺴﻔﻴ‪‬ﺔ ﰱ ﺃﻗﺴﺎﻡ ﺍﻟﻌﻠﻮﻡ ﺍﻟﹼﱴ ﺻﻨ‪‬ﻔﻬﺎ ﺍﺑﻦ ﺳﺒﻌﲔ ‪ ،‬ﺗﻨﺘﺞ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺪ‪‬ﺭﺍﺳﺔ ﺃﻧﻪ‬
‫ﻛﻠﹼﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﺍﳌﻔﻬﻮﻡ ﺍﻟﻮﺟﻮﺩﻱ ﺃﻛﺜﺮ ﴰﻮﻻ ﻟﻠﻤﻮﺟﻮﺩﺍﺕ )ﺃﻧﺘﻮﻟﻮﺟﻲ( ‪ ،‬ﻓﻼ ﻳﺘﺠﺰﺃ ﻭﺃﺣﻖ‪ ‬ﺇﺗ‪‬ﺤﺎﺩﺍ ﳎﻤﻮﻋﺔ ﻣﺘﻨﻮﻋﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﻠﻮﻡ‬
‫)ﺇﺑﺴﺘﻤﻮﻟﻮﺟﻲ( ‪.‬‬
‫ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺪ‪‬ﺭﺍﺳﺔ ﻳﻌﺰ‪‬ﺯ ﺍﻷﺭﺁﺀ ‪ (١) :‬ﻋﺜﻤﺎﻥ ﺑﻜﺮ ‪ ،‬ﰲ ﻛﺘﺎﺑﻪ ‪“Classification of Knowledge in‬‬
‫”‪ ، (١٩٩٨) Islam: A Study in Islamic Philosophies of Science‬ﺃﻥﹼ ﺍﻟﻌﻠﻮﻡ ﻛﻠﹼﻬﺎ ﻣﺴﺘﻤﺪﺓ ﻣﻦ‬
‫ﻣﺼﺪﺭ ﻭﺍﺣﺪ ﻣﺘﺴﺎﻭ ‪ ،‬ﻭﺗﺼﲑ ‪‬ﺎ ﺍﻟﻔﻜﺮﺓ ﺍﳌﻔﻬﻮﻣﻴ‪‬ﺔ ﻟﻮﺣﺪﺓ ﺍﻟﻌﻠﻮﻡ ‪ (٢) .‬ﻓﻀﻞ ﺍﻟﺮ‪‬ﲪﻦ ‪ ،‬ﰲ ﻛﺘﺎﺑﻪ ‪“Islam and‬‬
‫”‪ ، (١٩٨٤) Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition‬ﺃﻥﹼ ﰲ ﺍﳊﻘﻴﻘﺔ ‪ ،‬ﰲ ﺗﺮﺍﺙ‬
‫ﺍﻟﻔﻜﺮ ﺍﻹﺳﻼﻣﻲ ﻻ ﻳﻮﺟﺪ ﺍﻟﺘ‪‬ﺮﺍﺗﺐ ﻭﺍﻟﺘ‪‬ﻨﻮﻳﻊ ﺍﻻﻧﻔﺼﺎﻣﻲ ﰲ ﳎﺎﻝ ﺍﻟﻌﻠﻮﻡ ‪ (٣) .‬ﺳﻴ‪‬ﺪ ﺣﺴﲔ ﻧﺼﺮ ‪ ،‬ﰱ ﻛﺘﺎﺑﻪ " ‪Islamic‬‬
‫‪ ، ( ١٩٧٦ ) "Science: An Illustrated Study‬ﺃﻥﹼ ﺍﳌﻔﻬﻮﻡ ﺍﳌﻌﺮﻓﻴ‪‬ﺔ ﰱ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺗﻘﻮﻡ ﻋﻠﻰ ﻣﺒﺪﺃﻳﻦ ‪ ،‬ﺍﻟﻮﺣﺪﺓ‬
‫ﻭﺍﻟﺘﺮﺍﺗﺐ ‪ .‬ﻫﺬﺍ ﻫﻮ ‪ ,‬ﺃﻥﹼ ﰱ ﺍﳊﻘﻴﻘﺔ ‪ ،‬ﺗﺼﻨﻴﻒ ﺍﻟﻌﻠﻮﻡ ﰱ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻳﺴﺘﻨﺪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺮ‪‬ﺅﻳﺔ ﺍﻟﺘ‪‬ﺮﺍﺗﺒﻴ‪‬ﺔ ﻭﺍﻟﻌﻼﻗﺎﺕ ﺍﳌﺘﺒﺎﺩﻟﺔ ﺑﲔ‬
‫ﺍﻟﻌﻠﻮﻡ ﺍﻟﹼﱵ ﲤﻜﻦ ﲢﻘﻴﻖ ﺍﻟﻮﺣﺪﺓ ﰱ ﺍﻟﺘ‪‬ﻮ‪‬ﻉ ‪.‬‬
‫ﰲ ﺍﳌﻘﺎﺑﻞ ‪ ،‬ﳜﺘﻠﻒ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺪﺭﺍﺳﺔ ﻣﻦ ﺃﺭﺁﺀ ‪ (١) :‬ﻓﻮﻝ ﻝ‪ .‬ﻫﻴﻚ ‪ ،‬ﰲ ﻛﺘﺎﺑﺘﻪ ‪“The Hierarchy of‬‬
‫”‪ ، (٢٠٠٢) Knowledge in Islamic Civilization‬ﺃﻥ ﲝﺚ ﺃﻗﺴﺎﻡ ﺍﻟﻌﻠﻮﻡ ﰲ ﺍﳊﻀﺎﺭﺓ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴ‪‬ﺔ ﱂ ﻳﻮﻟﺪ ﻣﻦ‬
‫ﺇﻃﺎﺭ ﻣﺴﺘﻨﺪ ﺑﺎﻟﻔﻜﺮﺓ )‪ ، (intellect-based‬ﻟﻜﻦ ﻭﻟﺪ ﻣﻦ ﺍﻹﻃﺎﺭ ﺍﳌﻌﺮﰲ ﺍﳌﺴﺘﻨﺪ ﺑﺎﻟﻠﹼﻐﺔ ﺣﺴﺒﻤﺎ ﺍﻟﻘﻴﻤﺔ ﺍﻹﺟﺘﻤﺎﻋﻴ‪‬ﺔ‬
‫ﺍﻟﺪ‪‬ﻭﻟﻴ‪‬ﺔ )‪ (٢) . (state-based‬ﻏﻮﺩﻓﺮﻳﺪ ﺩﻱ ﻛﻠﹼﺘﺎﻱ ‪ ،‬ﰲ ﻛﺘﺎﺑﺘﻪ ‪“Classification of the Sciences‬‬
‫”’>‪ ، (٢٠٠٣) According to Rasa>’il Ikhwa>n al-Safa‬ﺃﻥ ﲝﺚ ﺃﻗﺴﺎﻡ ﺍﻟﻌﻠﻮﻡ ﰲ ﺍﳊﻀﺎﺭﺓ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴ‪‬ﺔ ﻳﺆﺩﻱ‬
‫ﺩﺍﺋﻤﺎ ﻗﺴﻤﺎ ﺛﻨﺎﺋﻴ‪‬ﺎ ﺇﱃ ﺍﻟﻌﻠﻮﻡ ﺍﻟﺪ‪‬ﻳﻨﻴ‪‬ﺔ ﻣﻦ ﻭﺟﻪ ‪ ،‬ﻭﺍﻟﻌﻠﻮﻡ ﺍﻟﻌﻘﻠﻴ‪‬ﺔ )‪ (Greek sciences‬ﻣﻦ ﻭﺟﻪ ﺃﺧﺮ ‪.‬‬
‫ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺪ‪‬ﺭﺍﺳﺔ ﻫﻲ ﺩﺭﺍﺳﺔ ﻧﻮﻋﻴﺔ ﺑﺎﺳﺘﻌﻤﺎﻝ ﻣﻨﻬﺞ ﺍﻟﺪ‪‬ﺭﺍﺳﺔ ﺍﳌﻜﺘﺒﺘﻴ‪‬ﺔ ﻭﺑﻮﺍﺳﻄﺔ ﺍﻹﺗ‪‬ﺠﺎﻩ ﺍﻟﻔﻠﺴﻔﻲ‪ ، ‬ﻭﻟﺬﺍﻟﻚ ‪،‬‬
‫ﻓﺈﻥ ﻧﻮﻉ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺪ‪‬ﺭﺍﺳﺔ ﻫﻮ ﺍﻟﻔﻠﺴﻔﻲ ‪ -‬ﺍﻟﺘﺄﻭﻳﻠﻲ ‪ .‬ﻣﻮﺿﻮﻉ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺪ‪‬ﺭﺍﺳﺔ ﻫﻮ ﺍﻟﻔﻜﺮ ﺍﻟﻔﻠﺴﻔﻲ ﻻﺑﻦ ﺳﺒﻌﲔ ‪ ،‬ﻣﻊ ﺗﺮﻛﻴﺰ‬
‫ﺍﻟﺒﺤﺚ ﻋﻠﻰ ﺃﻗﺴﺎﻡ ﺍﻟﻌﻠﻮﻡ ﺍﻟﹼﱴ ﺻﻨ‪‬ﻔﻬﺎ ﺍﺑﻦ ﺳﺒﻌﲔ ﺑﻨﺎﺀً ﻭﳕﻮﺫﺟ‪‬ﺎ ‪ .‬ﺍﳌﺼﺪﺭ ﺍﻷﺳﺎﺳﻲ ﳍﺬﻩ ﺍﻟﺪ‪‬ﺭﺍﺳﺔ ﻫﻮ ﻛﺘﺐ ﻻﺑﻦ ﺳﺒﻌﲔ‬
‫‪ ،‬ﻭﻫﻲ ﺑﺪ‪ ‬ﺍﻟﻌﺎﺭﻑ ﺍﻟﹼﺬﻱ ﻓﻴﻪ ﻣﻨﺎﻗﺸﺔ ﻋﻦ ﺃﻗﺴﺎﻡ ﺍﻟﻌﻠﻮﻡ ‪ ،‬ﻭﺃﻳﻀﺎ ﺭﺳﺎﺋﻠﻪ )ﺭﺳﺎﺋﻞ ﺍﺑﻦ ﺳﺒﻌﲔ( ﺍﻟﹼﱵ ﲢﺘﻮﻱ ﻋﻠﻰ ﺃﻓﻜﺎﺭﻩ‬
‫ﺍﻟﻔﻠﺴﻔﻴﺔ ‪ .‬ﺃﻣ‪‬ﺎ ﺍﳌﺼﺪﺭ ﺍﻟﺜﹼﺎﻧﻮﻱ ﻳﺸﺘﻤﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﳌﺮﺍﺟﻊ ﺍﻷﺧﺮﻯ ﺍﳌﺘﺼﻠﺔ ﶈﺎﺩﺛﺔ ﺗﺼﻨﻴﻒ ﺍﻟﻌﻠﻮﻡ ﰲ ﻋﺎﱂ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻭﻓﻜﺮ ﺍﺑﻦ‬
‫ﺳﺒﻌﲔ ‪.‬‬
‫‪‬ﺪﻑ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﻃﺮﻭﺣﺔ ﻻﺳﺘﻄﻼﻉ ﺍﻟﻔﻜﺮ ﻋﻦ ﺃﻗﺴﺎﻡ ﺍﻟﻌﻠﻮﻡ ﺍﻟﹼﱵ ﺻﻨ‪‬ﻔﻬﺎ ﺍﺑﻦ ﺳﺒﻌﲔ ﺑﻨﺎﺀً ﻭﳕﻮﺫﺟ‪‬ﺎ ‪ ،‬ﺑﺎﻟﻨ‪‬ﻈﺮ ﺇﱃ‬
‫ﻗﺎﻋﺪ‪‬ﺎ ﺍﻷﺳﺎﺳﻴ‪‬ﻪ ﺍﻟﻮﺟﻮﺩﻳ‪‬ﺔ ﻣﺘﺠﺬﺭ ﰲ ﻋﻘﻴﺪﺗﻪ ﺍﻟﻮﺣﺪﺓ ﺍﳌﻄﻠﻘﺔ ‪ .‬ﻳﺜﺒﺖ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺪﺭﺍﺳﺔ ﺃﻥ ﻣﻔﻬﻮﻡ ﺍﻟﻮﺣﺪﺓ ﺍﳌﻄﻠﻘﺔ ﺍﻟﹼﺬﻱ‬
‫ﺃﺻﺒﺢ ﻗﺎﻋﺪﺓ ﺍﻷﺳﺎﺳﻴ‪‬ﻪ ﺍﻟﻮﺟﻮﺩﻳ‪‬ﺔ ﻷﻗﺴﺎﻡ ﺍﻟﻌﻠﻮﻡ ‪ ،‬ﻫﻮ ﺍﻷﺳﺎﺱ ﺍﻟﻨ‪‬ﺎﻓﺬ ﺍﻟﻔﻠﺴﻔﻲ ﻟﻔﻜﺮﺓ ﺍﻟﺘ‪‬ﻜﺎﻣﻞ ﺍﻟﻌﻠﻤﻲ ‪ .‬ﻣﻦ ﺣﻴﺚ‬
‫ﺍﳌﻔﻬﻮﻡ ‪ ،‬ﺫﺍﻟﻚ ﺍﳌﻔﻬﻮﻡ ﺳﻴﻨﺘﺞ ﺍﻟﺘ‪‬ﺼﻨﻴﻒ ﺃﻭ ﺍﻟﺘ‪‬ﺮﺍﺗﺐ ﻟﻠﻌﻠﻮﻡ ﺍﻟﹼﺬﻱ ﻫﻮ ﰲ ﺃﺻﻠﻪ " ﳎﺎﺯﻱ‪ ،" ‬ﻭﻟﻜﻦ ﻟﺪﻳﻬﺎ ﺑﻨﺎﺀ ﻛﻠﻲ‪‬‬
‫ﴰﻮﱄﹼ )ﺯﺍﺋﻒ ﺗﺮﺍﺗﺐ ﺍﻟﻌﻠﻮﻡ( ‪.‬‬
xv

ABSTRACT

By reviewing the philosophical ideas of Ibn Sab‘i>n’s classification of


science, this thesis proves that the more ontology conception is inclusive, the
epistemology is more integrated.
This study reinforces the opinions: (1) Osman Bakar in his work,
Classification of Knowledge in Islam: A Study in Islamic Philosophies of
Science (1998), that any knowledge derived from the same source, as well as
forming a conceptual idea of the unity of knowledge. (2) Fazlur Rahman, in his
work, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (1984),
that essentially, in the Islamic intellectual tradition, there is no classification,
hierarchy or dichotomy in science. (3) Sayyed Hossein Nasr, in his work Islamic
Science: An Illustrated Study (1976), that the conception of knowledge in Islam
is based on two principles, unity and hierarchy. That is, the classification of
knowledge in Islam is actually based on hierarchical vision and interrelation
between desciplines of science, that enable the realization of the onenes in
diversity
In contrast, this study differs from the opinions: (1) Paul L. Heck in his
writing, Hierarchy of Knowledge in Islamic Civilization (2002), that the
classification of science in Islam is not born from an intellectual-based
framework (intellect-based), but born from epistemological framework, which is
based on language as a social state value (state-based). (2) Godefroid de
Callataÿ in his writing, The Classification of the Sciences According to Rasa>’il
Ikhwa>n al-S{afa>’ (2003), that the discourse about classification of science in
Islamic intellectual tradition, always leads dichotomically to religious sciences
and rational sciences (Greek sciences).
This research is a qualitative study, using the library research methods
and philosophical approaches, therefore, this research is a philosophical-
hermeneutical study. The object is philosophical thought of Ibn Sab‘i>n, with a
focus study on the construct and paradigm of his classification of science. The
primary source of this research is the work of Ibn Sab‘i>n, namely Budd al-‘A<rif
contained a discussion of the classification of knowledge, also his Rasa>’il
containing his philosophical thoughts. Secondary source include other
references related to the classification of knowledge in Islam and Ibn Sab‘i>n’s
thought.
This thesis aims to explore the construct and paradigm of Ibn Sab‘i>n’s
classification of sciences, by looking at the ontological base that is rooted in the
doctrine of al-Wah}dah al-Mut}laqah (absolute unity). This study proves that the
concept of the Absolute Unity which became the ontological base of
classifications of science is a valid philosophical foundation for the idea of
integration of science. Conceptually, this concept will give birth to a
classification or hierarchy of knowledge, which in essence is "metaphorical", but
have a holistic construct (pseudo-hierarchy of science).
xvi

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

b = ‫ﺏ‬ z = ‫ﺯ‬ f = ‫ﻑ‬

t = ‫ﺕ‬ s = ‫ﺱ‬ q = ‫ﻕ‬

th = ‫ﺙ‬ sh = ‫ﺵ‬ k = ‫ﻙ‬

j = ‫ﺝ‬ s} = ‫ﺹ‬ l = ‫ﻝ‬

h} = ‫ﺡ‬ d} = ‫ﺽ‬ m = ‫ﻡ‬

kh = ‫ﺥ‬ t} = ‫ﻁ‬ n = ‫ﻥ‬

d = ‫ﺩ‬ z} = ‫ﻅ‬ w = ‫ﻭ‬

dh = ‫ﺫ‬ ‘ = ‫ﻉ‬ h = ‫ﻩ‬

r = ‫ﺭ‬ gh = ‫ﻍ‬ y = ‫ﻱ‬

Vokal Pendek : a = َ ; i = ِ ; u = ُ
Vokal Panjang : a> = ‫ﺍ‬ ; i> = ‫ﻱ‬ ; u> = ‫ﻭ‬
Diftong : ay = ‫ﺍﻱ‬ ; aw = ‫ﺍﻭ‬
xvii

DAFTAR ISI

Halaman Judul ___ i


Pernyataan Perbaikan Setelah Verifikasi ___ iii
Kata Pengantar ___ v
Surat Pernyataan Bebas Plagiasi ___ vii
Lembar Persetujuan Penguji ___ ix
Lembar Persetujuan Pembimbing ___ xi
Abstrak ___ xiii
Pedoman Transliterasi Arab-Latin ___ xvi
Daftar Isi ___ xvii
Daftar Gambar ___ xix

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ___ 1
B. Permasalahan ___ 11
1. Identifikasi Masalah ___ 11
2. Pembatasan Masalah ___ 12
3. Perumusan Masalah ___ 12
C. Penelitian/Gagasan Terdahulu yang Relevan ___ 12
1. Tentang Klasifikasi Ilmu ___ 12
2. Tentang Ibn Sab‘i>n ___ 15
D. Tujuan Penelitian ___ 18
E. Signifikansi Penelitian ___ 18
F. Metodologi Penelitian ___ 19
G. Sistematika Pembahasan ___ 25

BAB II
DISKURSUS KLASIFIKASI ILMU DALAM ISLAM
A. Hakikat Klasifikasi Ilmu ___ 27
1. Prinsip dan Karakteristik Klasifikasi Ilmu ___ 28
2. Arti Penting Klasifikasi Ilmu ___ 31
B. Pandangan Sarjana Muslim ___ 35
1. Pandangan Filosof ___ 37
a. Al-Fa>ra>bi> ___ 37
b. Al-‘A<miri> ___ 40
c. Qut}b al-Di>n al-Shi>ra>zi> ___ 42
2. Pandangan Ilmuwan ___ 45
a. Ibn Khaldu>n ___ 45
b. Al-Amuli> ___ 49
3. Pandangan Teolog-Sufi; Klasifikasi Al-Ghaza>li>’___ 51
xviii

BAB III
POTRET PEMIKIRAN FILOSOFIS IBN SAB‘I<N
A. Kehidupan, Karya dan Posisi Ibn Sab‘i>n ___ 61
1. Biografi Intelektual ___ 61
2. Karya-karya Ibn Sab‘i>n ___ 68
3. Posisi Penting Ibn Sab‘i>n ___ 71
B. Al-Wah}dah al-Mut}laqah: Sebuah Doktrin “Penentu Arah” ___ 76
C. Al-Muh}aqqiq: Konsepsi Manusia Ideal ___ 84
D. Mant}iq al-Muh}aqqiq: Kritik Logika Formal ___ 90
E. Etika ___ 93
1. Etika Metafisik ___ 94
2. Etika Praksis ___ 98

BAB IV
PSEUDO-HIERARKI: GAGASAN IBN SAB‘I<N TENTANG KLASIFIKASI
ILMU
A. Pemikiran Epistemologi ___ 105
B. Basis Ontologis Klasifikasi Ilmu: Menelusuri Status Wujud Objek
Pengetahuan ___ 110
1. Tuhan di Puncak Hierarki ___ 112
2. Wujud Imateriil ___ 115
a. Akal Universal (al-‘Aql al-Kulli>) ___ 115
b. Jiwa (al-Nafs) ___ 123
3. Wujud Materiil ___ 133
C. Deskripsi Klasifikasi Ilmu ___ 139
D. Hierarki Ilmu dalam Bingkai Kesatuan Mutlak: Sebuah Refleksi atas
Integrasi Keilmuan ___ 146

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan ___ 151
B. Saran dan Rekomendasi ___ 152

Daftar Pustaka ___ 155


Glosarium ___ 179
Indeks ___ 183
Lampiran
Biodata Penulis
xix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1: Klasifikasi al-Fa>ra>bi> ___ 39


Gambar 2: Klasifikasi al-‘A<miri> ___ 41
Gambar 3: Klasifikasi Qut}b al-Di>n al-Shi>ra>zi> ___ 44
Gambar 4: Klasifikasi Ibn Khaldu>n ___ 48
Gambar 5: Klasifikasi I al-Amuli> ___ 50
Gambar 6: Klasifikasi II al-Amuli> ___ 51
Gambar 7: Klasifikasi I al-Ghaza>li> ___ 56
Gambar 8: Da>’irat al-Wuju>d (Lingkaran Wujud) ___ 79
Gambar 9: Pemikiran Emanasi Ibn Sab‘i>n ___ 83
Gambar 10: Posisi al-Muh}aqqiq dalam Kosmik ___ 88
Gambar 11: Klasifikasi Ibn Sab‘i>n ___ 145
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Hingga detik ini, pertentangan epistemologi Islam dan epistemologi
Barat1 tampak semakin jelas, dan dalam batas-batas tertentu -pada tataran
teoritik akademik -, kedua sistem epistemologi tersebut dengan “mudah” dapat
diidentifikasi. Diferensiasi itu semakin terlihat jelas ketika dua epistemologi ini
“berhadap-hadapan” secara paradoks dan kontradiktif. Meski demikian, harus
diakui, bahwa dewasa ini epistemologi Barat telah menjadi cara pemikiran dan
penyelidikan (mode of thought and inquiry) yang mendominasi, bahkan
cenderung mengesampingkan cara-cara mengetahui alternatif lainnya.2
Epistemologi Barat yang dapat dilihat dalam peradabannya, memiliki
dua ciri utama yaitu rasionalitas dan materialistis.3 Rasionalitas, yang
selanjutnya menjadi paham rasionalisme dengan salah satu tokohnya, René
Descartes (1596-1650),4 mengindikasikan penekanan yang kuat terhadap rasio,

1
Di sini, “Barat” tidak lagi dimaknai dengan perspektif geografis yang
menunjukkan sebuah entitas wilayah, daerah atau kawasan yang berada di belahan bumi
bagian Barat. Saat ini, “Barat” dimaknai alam pikiran dan pandangan hidup dari suatu
kebudayaan dan peradaban yang sudah barang tentu memiliki struktur konseptual.
2
Ehsan Masood, “Introduction: The Ambiguous Intellectual,” dalam Ziauddin
Sardar, How Do You Know? Reading Ziauddin Sardar on Islam, Science and Cultural
Relations, ed. Ehsan Masood (London: Pluto Press, 2006), 2.
3
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu Dalam Perspektif Filsafat Islam
(Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003), xvi. Lihat juga Roberts Graham, “Western
Epistemology: A Stronger in A Stranger Land?,” Fiji School of Medicine 1885-2010
Celebrating 125 Years and PHD Vol. 16, no. 2 (2011), 112-118, http://www.
pacifichealthdialog.org.fj/volume16_no2/Western%20epistemology.pdf (diakses pada 11
Juni 2013). Lebih lanjut, hal-hal yang berkaitan dengan rasionalisme dan perkembangan
konsepnya, serta perdebatannya dengan kaum empirisme, lihat Bernard Williams,
“Rationalism” dalam Encyclopedia of Philosophy 2nd Edition, vol. 8, ed. Donal M.
Borchert (New York: Thomson Gale, 2006), 239-247.
4
René Descartes disebut-sebut sebagai penggagas epistemologi modern (the
founding figures of modern epistemology), dengan metodenya yang terkenal “systematic
doubt” (keraguan sistematis). Lihat Martin Blaauw and Duncant Pritchard,
Epistemology A-Z (New York: Palgrave Macmillan, 2005), 42. Untuk keterangan lebih
lanjut tentang kehidupan dan pemikiran filsafat Descartes, lihat Edwin Curley,
“Descartes” dalam Encyclopedia of Philosophy 2nd Edition, vol. 2, ed. Donal M.
Borchert, 720-756. Bandingkan dengan misalnya, Bernard A. O. Williams, “Descartes”
dalam The Concise Encyclopedia of Western Philosophy 3rd Edition, ed. Jonathan Rée
& J. O. Urmson (New York: Routledge, 2005), 89-95. Lihat juga, John Cottingham,
“Descartes” dalam The Cambridge Dictionary of Philosophy Second Edition, ed. Robert
Audi (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 223-227. Dalam sistem
epistemologinya, Descartes menawarkan struktur berpikir yang cukup rapi, dengan
mengajukan empat langkah berpikir yang rasionalistis: (1) tidak boleh menerima begitu
2

sekaligus menolak berbagai hal yang irasional. Pada gilirannya, unsur-unsur


yang irasional seperti yang banyak ditemukan dalam agama dan mistisme,
cenderung ditolak dan hanya dipandang tidak lebih dari sebuah ilusi dan
halusinasi.5 Sementara, materialistis yang kemudian menjelma menjadi paham
materialisme -dengan berbagai perkembangan konsepnya-, mengindikasikan
bahwa yang dianggap riil adalah fakta, bukan makna. Fakta empirik menjadi
ukuran kebenaran, sementara hal-hal yang non empirik, metafisik dan abstrak
hanyalah sebuah ilusi.6
Terlepas dari karakteristik epistemologi Barat di atas, epistemologi
Islam datang dengan menawarkan pandangan dunia (world view) yang berbeda.
Ziauddin Sardar menyatakan, epistemologi Islam datang dengan menekankan
totalitas pengalaman dan kenyataan serta menganjurkan banyak cara untuk
mempelajari alam, sehingga ilmu bisa diperoleh dari wahyu maupun akal, dari
observasi maupun intuisi, tradisi maupun spekulasi teoritis. Maka dengan hal
ini, epistemologi Islam menekankan pencarian semua bentuk ilmu pengetahuan

saja hal-hal yang belum diyakini kebenarannya, namun harus secara hati-hati mengkaji
hal-hal tersebut, (2) menganalis dan mengklasifikasikan setiap permasalahan melalui
pengujian yang teliti ke dalam sebanyak mungkin bagian yang diperlukan bagi
pemecahan masalah tersebut (adequat), (3) menggunakan pikiran dengan cara demikian,
diawali dengan menganalisis saran-saran, atau teori-teori yang paling sederhana, maka,
sedikit demi sedikit akan meningkat ke arah mengetahui saran-saran atau teori-teori
yang lebih kompleks, (4) dalam setiap permasalahan dibuat uraian yang sempurna dan
dilakukan peninjauan kembali secara general, untuk memastikan bahwa tidak ada satu
pun permasalahan yang tertinggal. Descartes, Discourse on Method and Meditations,
trans. Elizabeth S. Haldane and G.R.T. Ross (New York: Dover Publication Inc., 2003),
14.
5
Pada umumnya kalangan rasionalis meyakini teori bahwa pengalaman indrawi
tidak dapat menemukan pengetahuan dalam arti mutlak, melainkan harus dicari dalam
alam pikiran (in the realm of the mind). Richard H. Pophin and Avrum Stroll,
Philosophy Made Simple (New York: American Book-Stratford, 1958), 128-9 dan 147.
Lebih lanjut bahkan, kebenaran wahyu yang pada dasarnya diterima oleh intuisi atau
hati ditolak otoritasnya oleh masyarakat Barat modern karena dianggap menggunakan
metode non-rasional. Lihat Kartanegara, Integrasi Ilmu Dalam Perspektif Filsafat Islam,
xvii.
6
Brain Hines menyatakan, bagi kaum materialis, kebenaran spritual
sebagaimana yang dialami dalam pengalaman mistik tidak lebih dari sekedar halusinasi.
Brain Hines, Gods Whisper, Creation’s Thunder (Bratleboro, Vermont: Threshold
Books, 1996), 135. Bahkan, Sigmund Freud (1856-1939), dalam karyanya, The Future of
an Illusion, trans. and ed. James Strachey (New York: W.W. Norton & Company, 1961),
65-67, menyatakan, bahwa cepat atau lambat, ajaran-ajaran agama akan segera
ditinggalkan oleh masyarakat modern karena ketidakrasionalannya. Freud
mengungkapkan, “Religion is an illusion and it derives its strength from the fact that it
fals in with our instinctual desires”. Sigmund Freud, BrainyQuote.com,
http://www.brainyqoute.com/quotes/ quotes/s/sigmundfre139170.html (diakses pada 23
Juli 2013).
3

dalam kerangka nilai abadi, yang menjadi landasan utama peradaban Muslim.7
Senada dengan Sardar, Anees menyatakan, sudah menjadi fakta historis yang
kuat bahwa epistemologi Islam yang terpadu telah mencapai sintesis dari dunia
yang beragam menjadi sebuah konsep dan struktur terpadu dalam ilmu.8
Hal ini berarti, epistemologi Islam merupakan alat yang fleksibel dalam
memperoleh banyak pengetahuan, baik pengetahuan yang berdasarkan data-data
empirik, pengetahuan yang diperoleh melalui pendekatan spekulatif terhadap
persoalan-persoalan metafisika, intuisi, maupun pengetahuan yang berasal dari
wahyu.9 Keluwesan epistemologi Islam ini tentu karena Islam mengakui
berbagai dimensi yang turut mempengaruhi pengetahuan.10
Secara epistemologis, Islam dengan keuniversalannya, tidak pernah
mempertentangkan antara satu pengetahuan dengan pengetahuan lainnya.
Begitu juga Islam tidak mempertentangkan satu macam pendekatan
epistemologis dengan pendekatan lainnya. Sebaliknya, epistemologi Islam justru
berusaha untuk mensejajarkan dengan mengakomodasi berbagai macam

7
Sardar, How Do You Know?, 137-138. Dalam perspektif filsafat Islam,
epistemologi merupakan perkembangan dari konsep ‘Ilm, Ma’rifah dan H{ikmah -dengan
berbagai derivasinya- yang terdapat dalam al-Qur’an. Lihat Peter S. Groff, Islamic
Philosophy A-Z (Edinburg: Edinburg University Press, 2007), 33.
8
Munawar Ahmad Anees, “Menghidupkan Kembali Ilmu,”Al-Hikmah Jurnal
Studi-studi Islam, no. 3 (1991), 82. Lihat juga Alparsalan Acikgenc, “The Emergence of
Scientific Tradition in Islam,” Foundation for Science Technology and Civilization
Publication ID: 627 (Desember 2006), 20-22. http://www.utm.my/casis/wp-content/
uploads/2013/07/Emergence_Scientific_Tradition_in_Islam.pdf (diakses pada 17 Januari
2014).
9
Lihat Patricia Horvatich, “Ways of Knowing Islam,” American Ethnologist
Vol. 21, No. 4 (November, 1994), 811-826. http://www.jstor.org/stable/646841 (diakses
pada 08 Mei 2014). Juga Louay M. Safi, “Toward an Islamic Theory of Knowledge,”
Islamic Studies Vol. 36 No. 1 (Spring 1997), 39-56. http://www.jstor.org/stable/
23076081 (diakses pada 30 Juni 2014).
10
Sekurang-kurangnya ada sembilan ciri dasar epistemologi Islam, (1)
didasarkan atas suatu kerangka mutlak, (2) dalam kerangka ini, epistemologi Islam
bersifat aktif, bukan pasif, (3) epistemologi Islam memandang bahwa objektifitas adalah
masalah umum, bukan masalah pribadi, (4) sebagian besar bersifat deduktif, (5)
memadukan pengetahuan dengan nilai-nilai Islam, (6) epistemologi Islam memandang
pengetahuan bersifat inklusif dan tidak eksklusif. Artinya, epistemologi Islam
memandang pengalaman manusia yang subjektif sama dalam keabsahannya dengan
evaluasi yang objektif, (7) berusaha menyususn pengalaman subjektif dan mendorong
pencarian pengalaman-pengalaman ini, yang selanjutnya didapatkan komitmen-
komitmen dasarnya, (8) epistemologi Islam memadukan berbagai konsep dari tingkat
kesadaran, atau tingkat pengalaman subjektif sedemikian rupa, sehingga konsep-konsep
yang sesuai dengan satu tingkat tidak harus sesuai dengan tingkat lainnya, seperti terjadi
pengalaman mistis dan spritual, (9) tidak bertentangan dengan pandangan holistik,
menyatu dan integral dari pemahaman dan pengalaman manusia. Lihat Ziauddin Sardar,
Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan,
1993), 44-45. Bandingkan dengan Nasim Butt, Sains dan Masyarakat Islam (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1996), 74-75.
4

pendekatan keilmuan berikut aneka ragam pengetahuan yang dihasilkannya.11


Hal ini karena Islam memandang bahwa semua pengetahuan berasal dari Allah
SWT. yang terformulasikan dalam konsep Tauhid.12
Dari pandangan ini, pendapat al-Faruqi menemukan momentumnya.
Bagi al-Faruqi, mengakui ke-Esa-an Tuhan berarti mengakui kebenaran dan
kesatupaduan. Doktrin ke-Esa-an Tuhan bukan semata-mata sebuah kategori
etika belaka, lebih dari itu, ia adalah sebuah kategori kognitif yang berhubungan
dengan pengetahuan dan kebenaran proposisi-proposisinya.13 Dengan kata lain,
kata kunci integrasi keilmuan dalam Islam berangkat dari sebuah premis, bahwa
semua pengetahuan yang benar berasal dari Allah, atau, meminjam bahasa
Usman Hassan, “knowledge is the light that comes from Allah”.14
Salah satu pembahasan penting -bahkan dapat dikatakan telah
“membudaya”- dalam kajian epistemologi Islam adalah wacana klasifikasi
ilmu.15 Diasumsikan bahwa, selain sebagai bentuk tanggung jawab intelektual
para cendikiwan Muslim, pembahasan tentang klasifikasi ilmu ini dikatakan
penting dengan beberapa alasan, pertama, dengan memahami klasifikasi ilmu,

11
Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional
hingga Metode Kriitk (Jakarta: Erlangga, 2005), 171.
12
Lihat Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik
(Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005) 32-43. Bandingkan dengan Nur Lailatul Musyafa’ah,
“Nalar Teosofis Sebagai Basis Epistemologi Kajian Agama dan Pengetahuan,” Teosofi:
Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam vol. 3 No.1 (Juni, 2013). 20-38. http://teosofi.
uinsby.ac.id/index.php/teosofi/article/download/113/103 (diakses 06 November 2014)
13
Isma’il Raji al-Faruqi, Al-Tauhid: Its Implication for Thought and Life
(Virginia: The International Institute of Islamic Thought, 1992), 42-43.
14
Usman Hassan, The Concept of ‘Ilm and Knowledge in Islam (New Delhi:
The Association of Muslim Scientists and Engineers, 2003), 3.
15
Hal ini tentu didasarkan pada beberapa pengertian epistemologi, antara lain,
Runes menyatakan bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas sumber,
struktur, metode, dan validitas pngetahuan. Dagobert D. Runes, Dictionary of
Philosophy (New Jersey: Little Field Adams & CO. 1963), 49. Hamlyn mendefinisikan
epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup
pengetahuan, dasar dan pengandaian-pengandaiannya. D.W. Hamlyn, “History of
Epistemology,” dalamThe Encyclopedia of Philosophy vol. 3, ed. Paul Edwards (New
York: Macmillan, 1967), 8-9. Sementara Azyumardi Azra mendefinisikan, bahwa secara
sederhana, epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian,
struktur, metode dan validitas pengetahuan. Lihat Azyumardi Azra, Pendidikan Islam:
Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999),
114. Ini berarti, epistemologi mempunyai cakupan yang sangat luas, dalam arti, segala
hal yang berkaitan dengan pengetahuan menjadi cakupan epistemologi, mulai dari
hakikat, keaslian, sumber, struktur, metode, validitas, unsur, macam, tumpuan, batas,
sasaran, dasar, skope, hingga pengandaian pengetahuan. Hal serupa juga dikatakan oleh
Mulyadhi Kartanegara, bahwa klasifikasi ilmu merupakan salah satu dari tiga pilar
utama epistemologi, yakni, ontologis epistemologi, klasifikasi ilmu, dan metode ilmiah.
Lihat Mulyadhi Kartanegara, “Pendahuluan,” dalam Menyibak Tirai Kejahilan:
Pengantar Epistemologi Islam (Bandung: Mizan, 2003), xxxiv.
5

tentu saja seseorang akan mengetahui bidang ilmu apa saja yang telah
dikembangkan dalam sebuah tradisi keilmuan.
Kedua, klasifikasi ilmu dalam epistemologi Islam yang bersifat hierarkis
merupakan basis yang kuat bagi pandangan ilmu yang holistik dan integral, baik
dalam segi materi, metodologi maupun sumber. Dalam hal ini, Sayyed Hossein
Nasr menyatakan:16

“The disorder which rules over the modern educational curriculum in most
Islamic countries today is to a large extent due to the loss of the hierarchie
vision of knowledge as one finds in the traditional education system. In the
Islamic intellectual tradition, there existed a hierarchy and inter-relation
between various disciplines which made possible the realization of unity in
multiplicity not only in the domain of religious faith and experience, but also in
the realm of knowedge.”

Karena itu, pembahasan tentang klasifikasi ilmu dalam Islam ini seolah akan
menyadarkan umat Islam betapa luasnya “Ilmu Allah”, dan bahwa semua
macam pengetahuan menyatu, berintegrasi satu sama lainnya dalam naungan ke-
Maha Pintar-an-Nya.17
Selanjutnya, Nasr juga menyatakan,18 yang juga diamini oleh Saeeda
19
Shah, dalam Islam tidak dikenal pemisahan esensial antara ilmu agama dan
ilmu profan. Memang betul adanya, berbagai ilmu dalam tradisi ilmiah Islam
memiliki suatu hierarki, tetapi, hierarki ini pada akhirnya akan bermuara pada
pengetahuan tunggal tentang “Yang Maha Tunggal”. Oleh karenanya, dalam hal
klasifikasi ilmu, lebih tepatnya bukan “pemisahan”, tetapi “pemilahan”, karena
objek masing-masing bidang ilmu ini berintegrasi dalam sebuah sistem
epistemologi yang holistik.
Ketiga, dengan mengetahui klasifikasi ilmu dalam epistemologi Islam,
seorang Muslim akan melihat keharmonisan antara dua sumber utama, yaitu
wahyu dan akal. Kedua sumber ini menjadi basis dari sistem klasifikasi ilmu,
yang keduanya, secara integral berasal dari Yang Maha Esa. Artinya, perdebatan
klasik tentang hubungan wahyu (revelation) dan akal (reason) dalam Islam yang
hingga saat ini boleh dikatakan masih “ramai”, tampaknya dapat sedikit
tercairkan.20 Pasalnya, dalam klasifikasi ilmu yang memiliki visi hierarkis dan

16
Sayyed Hossein Nasr, “Foreword,” dalam Osman Bakar, Classification of
Knowledge in Islam: A Study in Islamic Philosophies of Science (Cambridge: The
Islamic Texts Society, 1998), xi.
17
Lihat Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam (Jakarta:
Baitul Ihsan, 2006), 63.
18
Sayyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study (London: World
of Islam Festival Publishing Company ltd., 1976), 13-4.
19
Saeeda Shah, “Educational Leadership: An Islamic Perspective,” British
Educational Research Journal Vol. 32 No. 3 (Juni, 2006), 363-385. http://www.jstor.org/
stable/30032674 (diakses pada 30 Mei 2014).
20
Mengenai perdebatan antara wahyu dan akal lihat misalnya Harun Nasution,
Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI Press, 2011). Bandingkan dengan misalnya,
6

integral ini, sama sekali tidak mempertentangkan berbagai sumber pengetahuan,


khususnya akal dan wahyu sebagai sumber utama.
Keempat, secara konseptual, perbedaan perspektif atau pendekatan
dalam memahami realitas, sering kali menjadi latar belakang yang menyebabkan
terjadinya berbagai “gesekan” teoritis maupun praksis antar individu atau
bahkan kelompok, yang memiliki kecenderungan pada bidang ilmu/pendekatan
tertentu serta mengabaikan pendekatan lainnya. Dalam hal ini, dengan mengkaji
dan memahami klasifikasi ilmu, secara metodologis akan terlihat “saluran”
utama, lewat mana ilmu pengetahuan diperoleh. Artinya, sebagaimana
dikatakan Fadaie,21 klasifikasi ilmu akan sangat membantu dalam mengorganisir
pemikiran ilmiah. Selain itu, klaim-klaim yang tinggi dalam keilmuan -yang
dalam batas tertentu bersifat subjektif-, dapat terhindarkan. Dalam arti, ketika
seseorang memahami klasifikasi ilmu, maka ia akan memahami bahwa apa yang
ia tahu hanya setitik dari luasnya ilmu pengetahuan, sekaligus ia akan terhindar
dari berbagai klaim keilmuan yang terlalu tinggi, baik klaim terhadap dirinya
sendiri, maupun terhadap orang lain.
Kelima, dalam konteks pendidikan Islam kontemporer, jika dikatakan
bahwa kurikulum pendidikan saat ini dalam batas tertentu meniru sistem
kurikulum model Barat,22 tentu tidak sepenuhnya pernyataan itu keliru.
Pasalnya, pandangan dikotomik terhadap ilmu memang saat ini sangat kuat
lantaran didorong oleh hegemoni globalisasi yang dinakhodai oleh Barat dalam
berbagai bidang, ekonomi, politik, sains-teknologi, intelektual, gaya hidup, tidak
terkecuali pendidikan.23 Dalam ranah ini, Nasr menyatakan,24 Klasifikasi ilmu

Muh}ammad al-Sayyid al-Julaynad, Al-Wah}y wa-al-Insa>n: Qira>’ah Ma’rafi>yah (Kairo:


Da>r Quba>’, 2002).
21
Gholamreza Fadaie, Philosopher’s Worldview and Classification of
Knowledge, http://psyedu.ut.ac.ir/acstaff/Fadaei/articale/Cosmology%20and%20catego
rization.pdf (diakses pada 06 januari 2014). Lebih lanjut, dengan mengutip Challaye
(1999), Fadaie menyatakan bahwa klasifikasi ilmu merupakan tujuan utama filsafat.
Lihat Juga tulisannya yang lain, “The Influence of Classification on Worldview and
Epistemology,” Proceedings of the Informing Science & IT Education Conference
(2008). http://proceedings.informingscience.org/InSITE2008/InSITE08p001-013Fadaie
410.pdf (diakses pada 23 Agustus 2013). Bandingkan dengan Ilkka Toumi, “Data Is
More than Knowledge: Implications of the Reversed Knowledge Hierarchy for
Knowledge Management and Organizational Memory,” Journal of Management
Information Systems, Vol. 16, No. 3 (Winter, 1999/2000), 103-17. http://www.jstor.org/
stable/40398446 (diakses pada 8 Mei 2014).
22
Lihat misalnya Nasr, Islamic Science, 13. Bandingkan dengan Khosrow
Bagheri and Zohreh Khosravi, “The Islamic Concept of Education Reconsidered,” The
American Journal of Islamic Social Sciences Vol. 23 No. 4 (2005) 88-103. http://
academia.edu/609872/The_Islamic_Concept_of_Education_Reconsidered (diakses pada
17 Januari 2014).
23
Azra, Pendidikan Islam, 44-45. Lihat juga Hasanuddin, “Dominasi Peradaban
Barat dalam Pendidikan Islam,” Lentera Pendidikan vol. 11 nomor 2 (Desember, 2008),
258-269.
7

dengan visi hierarkis-holistiknya merupakan kunci bagi sistem pendidikan Islam


untuk mencegah para pendidik Muslim kontemporer, sekaligus melepaskan diri
dari kekacauan yang ada dalam sistem kurikulum pendidikan saat ini. Di
samping itu, baik secara institusional maupun praksis, memahami klasifikasi
ilmu akan sangat berguna untuk penyusunan dan implementasi kurikulum, agar
kemampuan murid dapat dipastikan, akan diarahkan kemana minat dan potensi
mereka.25
Lepas dari alasan yang dikemukakan di atas, sejak awal, para sarjana
Muslim menaruh perhatian yang besar terhadap pembahasan klasifikasi ilmu ini.
Hal ini dibuktikan dengan banyaknya karya para cendikiawan Muslim tentang
klasifikasi ilmu. Sebut saja, al-Kindi> (185-252 H./796-866 M.), filosof Muslim
pertama menulis karya yang khusus mengulas tentang klasifikasi ilmu yang
berjudul Fi> Aqsa>m al-‘Ulu>m, al-Fa>ra>bi> (257-339 H./870-950 M.), menulis karya
yang lebih terkenal, berjudul Ih}s}a>’ al-‘Ulu>m, Shams al-Di>n al-Amuli> (abad 9
H./15 M.), menulis karya serupa dengan judul Nafa>’is al-Funu>n.26
Selain karya yang khusus membahas tentang tentang klasifikasi ilmu,
para sarjana Muslim pun tak jarang memasukkan pembahasan klasifikasi ilmu
ini dalam karyanya sebagai salah satu sub pembahasan.27 Misalnya, al-Ghaza>li>
(450-505 H./1058-1111 M.) dalam banyak karyanya antara lain Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-
Di>n, al-Munqidh min al-D{ala>l dan Jawa>hir al-Qur’a>n, Qut}b al-Di>n al-Shi>ra>zi>
(634-710 H./1236-1311 M.) dalam karyanya Durrat al-Ta>j, Ibn Khaldu>n (732-
808 H./1332-1406 M.) dalam Muqaddimah-nya, Ibn But}la>n (w. 461 H./1068
M.), dan Ibn Sab‘i>n (614-669 H./1217-1270 M.) juga membahas konsep

24
Nasr, “Foreword”, xi. Bandingkan dengan Arshad Alam, “Science in
Madrasas,” Economic and Political Weekly Vol. 40, No. 18 (30 April - 06 Mei 2005),
1812-1815. http://www.jstor.org/stable/4416560 (diakses pada 08 Mei 2014).
25
Kartanegara, Reaktualisasi, 65. Lihat juga M. Zainuddin, “Paradigma
Pendidikan Islam Holistik,” Jurnal Ulumuna vol. XV no. 1 (Juni, 2011), 73-94. AM.
Saepudin menyatakan, sistem pendidikan untuk membentuk manusia seutuhnya harus
diarahkan kepada dua dimensi, yakni, dimensi dialektikal horisontal dan dimensi
ketundukan vertikal. Lihat AM. Saepudin “Pendidikan Untuk Masa Depan: Kebutuhan
Kualitas Sumber Daya Insani,” dalam AM. Saepudin et.al. Desekularisasi Pemikiran:
Landasan Islamisasi (Bandung: Mizan, 1991), 191. Hal ini mengindikasikan bahwa
strategi pendidikan dan kurikulumnya harus berdasarkan landasan kependidikan Islam
yang menyegarkan daya kreasi. Lihat M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan
Umum) (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), 42. Dalam hal ini, menarik untuk didiskusikan,
apa yang dinyatakan Starks dan Robinson bahwa “moral kosmologis” yang banyak
ditemukan dalam agama, memberikan pengaruh terhadap perkembangan anak. Brian
Starks and Robert V. Robinson, “Moral Cosmology, Religion, and Adult Values for
Children,” Journal for the Scientific Study of Religion Vol. 46, No. 1 (Mar., 2007), 17-
35. http://www.jstor.org/stable/4621950 (diakses pada 15 Oktober 2014).
26
Kartanegara, Reaktualisasi, 64. Lihat juga, Sayyed Hossein Nasr, Science and
Civilizaton in Islam (Chicago: ABC International Group Inc. 2001), 61-64. Bandingkan
dengan George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and The
West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 75-80.
27
Kartanegara, Reaktualisasi, 65.
8

klasifikasi ilmu ini dalam karya monumentalnya, Budd al-‘A<rif. Apa arti semua
klasifikasi ilmu ini? Jelas, ini menunjukkan betapa kompleks dan suburnya ilmu-
ilmu yang berkembang dalam peradaban Islam, sebuah hal yang menakjubkan.
Sejarah mencatat, bahwa kemajuan peradaban Islam sangat berkaitan dengan
kemajuan seluruh bidang keilmuan, baik Rational Science maupun Natural
Science.
Dalam penelitian ini, penulis akan mencoba mendiskusikan wacana
klasifikasi ilmu dalam pandangan Ibn Sab‘i>n yang secara khusus ia tuangkan
dalam karyanya Budd al-‘A<rif. Ada beberapa alasan mengapa studi ini
mengangkat pemikiran Klasifikasi ilmu Ibn Sab‘i>n. Pertama, pembahasan yang
terkait dengan pemikiran Ibn Sab‘i>n -sejauh yang penulis ketahui- tidak
sebanyak pembahasan atau penelitian terhadap pemikiran filosof selain Ibn
Sab‘i>n, terlebih kajian yang khusus mengelaborasi konsep klasifikasi ilmunya.
Kedua, Ibn Sab‘i>n merupakan salah seorang filosof-sufi (teosof)
kenamaan Andalusia, yang di Barat terkenal dengan jawabannya atas
pertanyaaan-pertanyaan filosofis mengenai Aristotelianisme, yang dilayangkan
oleh Frederick II (1194-1250), penguasa Sicilia, seorang raja Romawi yang
berkuasa pada masa itu.28 Pandangan filosofisnya yang memadukan intuisi dan
logika, layak untuk didiskusikan. Dalam hal ini, Nasr mengatakan, di antara
semua filosof besar Andalusia terakhir, Ibn Sab‘i>nlah yang telah menyusun salah
satu sintesis besar antara doktrin Sufi dan filsafat dalam sejarah pemikiran
Islam. Pada diri Ibn Sab‘i>n pula dapat teramati gambaran hubungan erat antara
tasawuf dan filsafat yang paling jelas.29 Dalam hal ini pula, layak untuk
didiskusikan bagaimana kritik-konstruktif Ibn Sab‘i>n terhadap
golongan/kalangan cendikiawan Muslim lain, dan khususnya, konsep klasifikasi
ilmu Ibn Sab‘i>n yang menjadi konteks penelitian ini.

28
Jawaban Ibn Sab‘i>n atas pertanyaan-pertanyaan filososfis Frederick II ini
dapat dikaji dalam karyanya yang khusus, berjudul Al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-
S{iqili>yah, tah{qi>q Muh}ammad Sharaf al-Di>n Ya>ltaqa>ya> (Beirut: Al-Mat}ba’ah al-
Ka>thu>li>ki>yah, 1941). Pertanyaan-pertanyaan filosofs Frederick II diajukan ketika Ibn
Sab‘i>n berada di Ceuta (Sabatah), sebuah kota di Maroko, pada tahun 638 H./1240 M.
Lihat lengkapnya, Anna Ayşe Akasoy, “Ibn Sab‘i>n’s Sicilian Questions: The Text, Its
Sources and Their Historical Context,” Journal Al-Qant}ara XXIX, issue 1 (Januari-Juni
2008), 115-146. http://www.al-qantara.revistas.csic.es/index.php/al-qantara/article/
viewFile/51/45 (diakses pada 26 Februari 2013). Juga Luisa Maria Arvide Cambra, “Ibn
Sab‘i>n and The Sicilian Questions,” International Review of Social Sciences and
Humanities Vol. 5, No. 2 (2013), 225-228. http://irssh.com/yahoo_site_admin/assets/
docs/25_IRSSH-602-V5N2.243105504.pdf (diakses pada 29 April 2014). Sebelumnya,
orang pertama yang secara akademik mengkaji jawaban Ibn Sab‘i>n terhadap pertanyaan
filosofis Frederick II ini adalah Michele Amari, “Questions Philosophiques: Adressees
Aux Savants Musulmans par L’Empereur Frederic II” Journal Asiatique Serie 1 (April-
Mei 1853), 240-274. http://gallica.bnf.fr/ark:/12148/bpt6k931611/f240.pagination.r=
Michele+Amari.langEN (diakses pada 30 April 2014).
29
Sayyed Hossein Nasr, “Tradisi Mistik: Sebuah Pengantar,” dalam
Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam Buku Pertama, ed. Sayyed Hossein Nasr dan Oliver
Leaman, terj. Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan, 2003), 462.
9

Ketiga, secara teoritis, kajian terhadap klasifikasi ilmu tidak akan dapat
lepas dari pembahasan tentang status ontologis objek ilmu. Hal ini menjadi
penting dalam wacana klasifikasi ilmu karena, jika ilmu itu sendiri dimaknai
sebagai “mengetahui sesuatu sebagaimana adanya”, tentu “sesuatu” yang
menjadi objek ilmu itu harus benar-benar diyakini keberadaannya. Tidak
mungkin “sesuatu” tersebut akan diketahui secara filosofis, jika “sesuatu” itu
tidak diyakini eksistensinya.30 Sebagaimana dinyatakan Osman Bakar, dapat
dipastikan, setiap klasifikasi ilmu yang lahir dalam tradisi ilmiah Islam,
didasarkan pada gagasan-gagasan filosofis umum yang terdapat dalam setiap
madzhab intelektual Islam dan pada gagasan-gagasan khusus yang terdapat
dalam pandangan dunia (world view) intelektual dan religius penciptanya.31
Dalam konteks ini, Ibn Sab‘i>n merupakan salah satu teosof yang
memiliki pandangan ontologis tentang kesatuan wujud layakya Ibn ‘Arabi> (560-
638 H./1164-1240 M.) dengan Wah}dat al-Wuju>d-nya, al-Ji>li> (767-827 H./1366-
1424 M.) dengan Insa>n al-Ka>mil-nya, atau dengan yang lainnya.32 Namun
sejatinya, konsep kesatuan wujud yang digagas oleh Ibn Sab‘i>n lebih “ekstrim”
dari yang digagas oleh para teosof lain. Doktrinnya tentang kesatuan wujud
tersebut dikenal dengan al-Wah}dah al-Mut}laqah (Kesatuan Mutlak/absolute
unity).33
Dalam menjelaskan entitas wujud, sebenarnya landasan awal doktrin al-
Wah}dah al-Mut}laqah ini cukup sederhana, yaitu bahwa, wujud adalah satu,
hanya wujud Allah saja, sementara wujud segala sesuatu selain-Nya (mawju>da>t)
adalah wujud dari entitas wujud yang satu itu, tidak ada tambahan apapun, dan
wujud di sini, hakikatnya adalah premis yang satu dan tetap.34 Dengan kata lain,
entitas wujud selain-Nya, merupakan wujud metaforis (i‘tiba>ri>), hanya ada
dalam ranah terminologi/kesusasteraan saja.

30
Lihat Osman Bakar, “Sains,” dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam buku
kedua, ed. Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, 1243. Lihat juga Kartanegara,
Menyibak Tirai Kejahilan, 30.
31
Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 3.
32
Lihat misalnya Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), 141-170. Mengenai, wah}dat al-wuju>d al-Ji>li>, lihat
misalnya Muslih Fuadie, “Wah}dat al-Wuju>d ‘Abd al-Kari>m al-Ji>li>,” Teosofi: Jurnal dan
Pemikiran Islam vol. 3 no. 1 (Juni, 2013), 1-18. http://teosofi.uinsby.ac.id/index.php/
teosofi/article/download/112/102 (diakses pada 06 November 2014). Tentang pemikiran
metafisika Ibn ‘Arabi>, lihat Qaiser Shahzad, “Ibn ‘Arabi>’s Metaphysics of the Human
Body,” Islamic Studies Vol. 46, No. 4 (Winter 2007), 499-525. http://www.jstor.org/
stable/20839092 (diakses pada 15 Oktober 2014).
33
Terminologi ini digunakan Ibn Sab‘i>n sendiri bagi alirannya dalam beberapa
karyanya seperti Risa>lat al-Alwa>h}, al-Risa>lah al-Faqi>ri>yah, Risa>lat al-Ih}a>t}ah,dan lain-
lain. Lebih lanjut tentang al-Wah{dah a-Mut}laqah ini, lihat Muh{ammad Ya>sir Sharaf, Al-
Wah{dah al-Mut}laqah ‘inda Ibn Sab‘i>n (Beirut: Al-Markaz al-‘Arabi> li-al-T{aba>‘ah wa-al-
Nashr, 1981). Bandingkan dengan Abu> al-Wafa>’ al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu
al-S{u>fi>yah (Beirut: Da>r al-Kutub al-Libna>ni>, 1973).
34
Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu al-S{u>fi>yah, 198-199.
10

Dari ketiga alasan tersebut, diasumsikan bahwa, doktrin Ibn Sab‘i>n ini,
jika dihubungkan dengan pemikirannya tentang klasifikasi ilmu,
mengindikasikan sebuah klasifikasi ilmu yang berakar pada status ontologis
objek ilmu yang integral dan holistik dalam bingkai wujud yang satu, yakni
wujud Tuhan. Artinya, tidak ada perbedaan dan pemisahan antara objek-objek
pengetahuan, apalagi pertentangan. Studi ini ingin membuktikan bahwa konsep
Kesatuan Mutlak yang menjadi basis ontologis klasifikasi ilmu, merupakan
pijakan filosofis yang sah bagi gagasan integrasi keilmuan, dan diharapkan dapat
menjadi alternatif bagi pijakan dan perspektif baru dalam membangun kajian
filsafat pengetahuan Islam, terutama dalam rangka meretas kuat dan derasnya
dominasi epistemologi Barat yang dikotomik,35 seperti yang terlihat jelas dalam
sistem pendidikan di Dunia Islam pada khususnya.
Secara filosofis, pandangan tersebut akan melahirkan klasifikasi atau
hierarki ilmu yang sejatinya bersifat “metaforis”, namun memiliki konstruk
yang holistik. Karenanya, hierarki ilmu dengan sifatnya yang metaforis tersebut,
penulis istilahkan sebagai “pseudo-hierarki ilmu”. Istilah ini dimaknai sebagai
istilah yang menunjukkan bahwa, hierarki ilmu yang digagas Ibn Sab‘i>n dengan
melihat pandangan ontologisnya hanyalah hierarki “semu”,36 yang pada

35
Kazuo Shimogaki mengemukakan, ada lima kecenderungan dalam
epistemologi Barat: (1) pemisahan antara yang sakral dengan yang bersifat duniawi
(profan), (2) kecenderungan kearah reduksionisme, (3) pemisahan antara subjektifitas
dan objektifitas, (4) antroposentrisme, dan (5) progresifisme. Kazuo Shimogaki, Kiri
Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme: Telaah Kritis atas Pemikiran Hasan
Hanafi, terj. M. Imam Aziz dan M. Jadul Maula (Jogjakarta, LKiS, 2000), 25-26. Selain
itu, sekurang-kurangnya ada lima pendekatan dalam epistemologi Barat: pertama,
pendekatan Skeptis, yang dirintis oleh Rene Descartes (1596-1650), kedua, pendekatan
rasional-empiris yang di antara tokohnya, selain Descartes adalah Leibniz (1646-1716)
dan Christian Wolff (1679-1754), Francis Bacon (1561-1626), Thomas Hobbes (1588-
1679), John Locke (1632-1704), George Barkeley (1685-1753) dan David Hume (1711-
1776). Ketiga, pendekatan dikotomik, keempat, pendekatan positif-objektif yang
digagas oleh Auguste Comte (1798-1857), dan kelima, pendekatan anti-metafisika.
Lihat misalnya, Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam, 58-90.
36
Istilah pseudo sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berarti semu. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata pseudo merupakan bentuk terikat untuk
menunjukkan bahwa makna dari istilah setelah kata pseudo adalah semu, palsu dan
bukan dalam makna yang sebenarnya. Karena itu, penulisan kata pseudo harus diikuti
oleh tanda hubung, atau tanda strip/hipenasi (baca: pseudo-). Lihat Tim Penyusun
Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, 2008), 1220. Istilah ini mulai dikenal ketika tahun 1843 muncul
pertama kali istilah pseudo-science (ilmu semu) yang menunjukkan sebuah pengetahuan,
metodologi, keyakinan, atau praktek yang diklaim sebagai ilmiah tapi tidak mengikuti
metode ilmiah. Istilah pseudo-science sendiri menjadi populer lantaran diperkenalkan
oleh Imre Lakatos (1922-1974), seorang filsuf asal Hungaria. Lihat Sahotra Sarkar and
Jessica Pfeifer (ed.), The Philosophy of the Science: An Encyclopedia (New York and
London: Routledge, 2006), 613 dan 433-6. Tentang sejarah pseudo-science, lihat
Douglas Allchin, “Pseudohistory and Pseudoscience,” Journal Science & Education vol.
11

hakikatnya justru ilmu-ilmu yang ada dalam hierarki tersebut berintegrasi secara
eksistensial.
Penelitian ini akan memfokuskan kajian pada pembahasan klasifikasi
dan atau hierarki ilmu yang Ibn Sab‘i>n tuangkan dalam karyanya, Budd al-‘A<rif,
serta bagaimana Ibn Sab‘i>n memandang status ontologis objek-objek ilmu
dengan “kacamata” doktrin al-Wah}dah al-Mut}laqah, yang tentunya menjadi
pijakan awal bagi pemikirannya tentang klasifikasi ilmu.

B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, muncul sejumlah masalah yang
dapat diidentifikasi sebagai berikut:
a. Sebagaimana dikemukakan di atas, tidak seperti di Barat, dalam tradisi
ilmiah Islam, kajian terhadap wacana klasifikasi ilmu sangat giat dilakukan,
khususnya oleh para filosof Muslim. Muncul sebuah permasalahan,
bagaimana Barat dengan segenap paradigmanya yang berkembang
memandang wacana klasifikasi ilmu ini?
b. Secara historis, keseriusan para cendikiawan Muslim dalam mengkaji
klasifikasi ilmu, mengasumsikan sebuah pandangan, betapa beragam dan
kompleksnya disiplin ilmu yang berkembang dalam peradaban Islam. Dari
pandangan ini, bagaimana hubungan konseptual wacana klasifikasi ilmu
dengan peradaban, khususnya dengan pendidikan sebagai basis peradaban?
c. Secara historis-filosofis, wacana klasifikasi ilmu merupakan salah satu
pembahasan penting dalam epistemologi Islam, bahkan boleh dikatakan
sudah “mentradisi”. Penggagas klasifikasi-klasifikasi ini adalah para
cendikiawan yang mewakili hampir seluruh spektrum tradisi intelektual
Islam, mulai dari filosof, ilmuwan, teolog, fuqaha>’, hingga Sufi. Kemudian,
bagaimana pandangan atau rangka bangun klasifikasi ilmu yang digagas oleh
para cendikiawan Muslim tersebut?
d. Sebagai seorang teosof (filosof-Sufi), bagaimana konstruk klasifikasi ilmu
yang digagas oleh Ibn Sab‘i>n?
e. Dalam menjelaskan entitas wujud, Ibn Sab‘i>n merupakan salah seorang
teosof yang memiliki pandangan ontologis tentang kesatuan wujud yang
disebut al-Wah}dah al-Mut}laqah (Kesatuan Mutlak). Permasalahan yang
muncul, bagaimana sebenarnya konstruk filosofis pandangan tersebut? Lalu,
apa perbedaan, persamaan dan hubungannya dengan pandangan kesatuan
wujud yang digagas oleh cendikiwan Muslim selainnya?
f. Pembahasan terhadap status ontologis objek ilmu, yang pada gilirannya akan
menjadi basis ontologis klasifikasi ilmu, akan sangat ditentukan oleh
pemikiran tentang entitas wujud. Dalam konteks ini, bagaimana dan sejauh
apa pengaruh pandangan ontologis Ibn Sab‘i>n, al-Wah}dah al-Mut}laqah
(Kesatuan Mutlak), terhadap pemikirannya tentang klasifikasi ilmu?

13 (Netherland: Kluwer Academic Publishers 2004), 179-195. http://depa.fquim.unam.


mx/amyd/archivero/AllchinsobrePseudo_20824.pdf (diakses pada 16 Juli 2014).
12

2. Pembatasan Masalah
Permasalahan-permasalahan yang diidentifikasi di atas, secara akademik
tidak mungkin dijawab secara keseluruhan. Bukan saja cakupan masalahnya
yang luas dan dalam, tetapi juga memerlukan tema penelitian tersendiri yang
lebih spesifik. Penelitian ini akan difokuskan pada kajian terhadap pemikiran
klasifikasi ilmu Ibn Sab‘i>n yang ia tuangkan dalam karya monumentalnya, Budd
al-A<rif.
Peneltian ini secara lebih khusus akan difokuskan pada kajian konstruk
filosofis klasifikasi ilmu Ibn Sab‘i>n, dengan melihat basis ontologisnya, yang
berakar pada doktrinnya tentang entitas wujud, yakni al-Wah}dah al-Mut}laqah
(Kesatuan Mutlak). Diasumsikan bahwa, secara konseptual, dengan melihat
basis ontologisnya, klasifikasi ilmu yang digagasnya ini, memiliki pijakan yang
integral dan holistik.

3. Perumusan Masalah
Berdasarkan ruang lingkup pembahasan di atas, permasalahan yang
menjadi fokus dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
“Bagaimana konstruk dan paradigma klasifikasi ilmu Ibn Sab‘i>n dengan melihat
basis ontologisnya dalam doktrin Kesatuan Mutlak (al-Wah}dah al-Mut}laqah)?”

C. Penelitian/Gagasan Terdahulu yang Relevan


Penelitian dan atau gagasan yang berkaitan dengan wacana klasifikasi
ilmu dalam filsafat Islam merupakan penelitian yang cukup kaya, khususnya
penelitian yang bertemakan epistemologi Islam. Sama halnya dengan wacana
klasifikasi ilmu, penelitian tentang pemikiran Ibn Sab‘i>n pun telah cukup
banyak dilakukan. Hal ini mengingat pengaruh pemikiran filosofis-sufistik Ibn
Sab‘i>n baik di dunia Islam maupun Barat. Akan tetapi, penelitian tentang Ibn
Sab‘i>n yang secara khusus memotret paradigma dan konstruk klasifikasi ilmu
yang digagasnya, tidak sebanyak penelitian tentang Ibn Sab‘i>n yang mengkaji
pemikiran filosofisnya.
Dalam penelitian ini, penulis mengklasifikasikan penelitian terdahulu
yang relevan menjadi dua bagian, yakni tema “klasifikasi ilmu” dan kajian
terhadap tokoh Ibn Sab‘i>n:

1. Tentang Klasifikasi Ilmu


Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Paul L. Heck dalam tulisannya
The Hierarchy of Knowledge in Islamic Civilization (2002).37 Dalam studi ini,
Heck mengkaji wacana klasifikasi ilmu yang berkembang dalam peradaban
Islam. Dalam penelitian tersebut juga diungkapkan pemikiran klasifikasi ilmu
yang digagas oleh para sarjana Muslim, antara lain al-Ghaza>li> (450-505 H./1058-

37
Paul L. Heck, “The Hierarchy of Knowledge in Islamic Civilization,” Journal
Arabica XLIX, Issue 1 (January 2002), 27-54, http://e-resources.pnri.go.id/index.php?
option=com_library&itemid=53&key=7 (diakses pada 12 September 2013).
13

1111 M.), al-Fa>ra>bi> (257-339 H./870-950 M.), Qudama>’ ibn Ja‘far (w. 337
H./958 M.), Ibn Nadi>m (w. 377 H./987 M.), dan lainnya.
Dalam studinya, Heck menyimpulkan, bahwa konsep klasifikasi ilmu
dalam Islam bukan lahir dari kerangka berbasis intelektual (intellect-based),
tetapi lahir sebuah kerangka berbasis kenegaraan/politik (state-based). Menurut
Heck, hal ini karena unsur paling utama dalam konsepsi ilmu pengetahuan
dalam masyarakat Arab-Islam adalah bahasa yang menjadi nilai sosial
kenegaraan. Pandangan Heck tersebut diperkuat oleh pembuktiannya bahwa
secara historis, adanya konsep klasifikasi ilmu merupakan indikasi dari
kompleksnya peradaban yang masuk dalam kekuasaan Arab-Islam. Masing-
masing peradaban tersebut membawa budaya dengan segenap tradisi ilmiahnya,
kontan saja hal ini diserap secara akomodatif oleh kekuasaan Arab-Islam,
sehingga lahirlah wacana klasifikasi ilmu.
Kedua, Fazlur Rahman dalam karyanya Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition.38 Dalam studinya, Rahman
mencoba memberikan spirit dan nilai universal demi tercapainya transformasi
tradisi ilmiah dan intelektual Islam. Dengan tujuan tersebut, ia mengangkat
wacana pendidikan Islam abad pertengahan yang tentu saja masa di mana
berbagai ilmu pengetahuan dapat dikuasai oleh Islam. Menurutnya, tradisi
intelektual Islam mengakui adanya klasifikasi ilmu yang diterapkan dalam
kurikulum pendidikan abad pertengahan, namun sejatinya, klasifikasi tersebut
sama sekali bukan dimaksudkan untuk memisahkan satu bidang ilmu dengan
lainnya, atau malah mempertentangkannya. Klasifikasi ilmu lebih merupakan
sebuah keniscayaan filosofis dan tanggung jawab intelektual umat Islam dalam
mengawal tradisi ilmiah.
Pada satu bagian dalam karyanya tersebut, Rahman sempat melakukan
kritik “pedas” terhadap salah satu klasifikasi ilmu yang sangat berpengaruh di
dunia Islam, yaitu klasifikasi al-Ghaza>li> (450-505 H./1058-1111 M.), yang
mengklasifikasikan ilmu ke dalam kategori “hitam putih”; terpuji-tercela dan
agama-non agama/sekuler. Menurutnya, klasifikasi tersebut merupakan
klasifikasi ilmu “paling malang” yang pernah disusun dalam tradisi intelektual
Islam.39 Pasalnya, segenap objek pengetahuan dalam tradisi intelektual Islam
benar-benar disadari sebagai ayat (sign) Tuhan. Karenanya, tidak berlebihan jika

38
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual
Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1982).
39
Rahman, Islam and Modernity, 33-34. Hal ini pula yang menjadi salah satu
pretensi Rahman melakukan kritik terhadap gagasan Islamisasi Ilmu yang diprakarsai
oleh Isma’il Raji al-Faruqi, Naquib al-Attas, Abu al-A’la al-Mawdudi, dan lainnya.
Lihat Fazlur Rahman, “Islamization of Knowledge: A Response,” Islamic Studies Vol.
50, No. 3/4 (Autumn-Winter 2011), 449-457. http://www.jstor.org/stable/41932607
(diakses pada 8 Mei 2014). Tentang islamisasi ilmu al-Mawdudi, lihat misalnya Abdul
Rashid Moten, “Islamization of Knowledge in Theory and Practice: The Contribution of
Sayyid Abul A’la al-Mawdu>di>,” Islamic Studies Vol. 43, No. 2 (Summer 2004), 247-
272. http://www.jstor.org /stable/20837343 (diakses pada 8 Mei 2014).
14

dikatakan bahwa sejatinya, dalam tradisi intelektual Islam tidak ada klasifikasi,
hierarki atau dikotomi dalam ilmu pengetahuan.
Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Godefroid De Callataÿ dalam
tulisannya The Classification of the Sciences According to Rasa>’il Ikhwa>n al-
S{afa>’.40 Dalam studinya, dengan memfokuskan kajian terhadap deskripsi
klasifikasi ilmu, Callataÿ menyatakan bahwa wacana klasifikasi ilmu dalam
Islam selalu mengarah pada klasifikasi yang tetap dan tidak berubah secara
esensial, meskipun digagas oleh tokoh yang berbeda. Artinya, perbedaan
tersebut hanya pada tataran terminologi saja. Klasifikasi tersebut menurut
Callataÿ selalu mengarah kepada dua bagian besar, ilmu agama/Islam, dan ilmu
rasional/filsafat (Greek sciences). Meskipun demikian, Callataÿ menyatakan,
Ikhwa>n al-S{afa>’lah yang menjadi perintis konsep klasifikasi ilmu yang tidak
mengarah kepada dua bagian besar tersebut melalui Rasa>’il-nya, tidak seperti
klasifikasi ilmu yang digagas oleh sarjana Muslim lain. Dengan kata lain, dari
studinya ini, Callataÿ ingin mengatakan bahwa konsepsi ilmu pengetahuan
dalam Islam secara geneologis selalu mengarah kepada kecenderungan
dikotomik.
Keempat, penelitian Salisu Shehu, dalam karyanya Islamization of
Knowledge: Conceptual Background, Vision and Tasks.41 Ia menyatakan, dalam
tradisi intelektual Islam, dikenal bermacam-macam konsep dan deskripsi
klasifikasi ilmu dari para sarjana Muslim. Kendati demikian, menurut Shehu,
bagi Islam, ilmu pengetahuan bersifat universal dan integral. Ia adalah warisan
kemanusiaan yang universal. Artinya, tidak ada satu pun komunitas yang berhak
mengklaim bahwa komunitasnyalah yang dapat menguasai ilmu pengetahuan.
Semua orang, ras, golongan, negara, dapat mendapatkan, menguasai,
mengembangkan dan mengubah pengetahuan. Dengan pendekatan sosiologis,
senada dengan pandangan Elshakry,42 Shehu kemudian mengatakan, dalam
keuniversalannya, struktur ilmu pengetahuan harus memiliki “cap budaya
(cultural stamp)” tertentu, tergantung nilai dan orientasi tempat di mana budaya
itu berkembang.
Kelima, dalam karyanya, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar
Epistemologi Islam,43 secara apik, Mulyadhi Kartanegara menguraikan status
dan basis ontologis klasifikasi ilmu dalam Islam. Menurutnya, dalam klasifikasi
ilmu Islam, wujud-wujud yang menjadi objek ilmu disusun secara hierarkis
sesuai dengan sifat-sifat dasar objek tersebut. Ia mengangkat teori

40
Godefroid De Callataÿ, “The Classification of the Sciences According to
Rasa>’il Ikhwa>n al-S{afa>’,” The Institute of Ismaili Studies (2003), 8-9, http://www.iis.ac.
uk/SiteAssets/pdf/rasail_ikhwan.pdf (diakses pada 23 Agustus 2013).
41
Salisu Shehu, Islamization of Knowledge: Conceptual Background, Vision
and Tasks (Kano, Nigeria Office: International Institute of Islamic Thought, 1998), 50-
57.
42
Marwa Elshakry, “When Science Became Western: Historiographical
Reflections,” ISIS vol. 101, No. 1 (Maret 2010), 98-109. http://www.jstor.org/stable/10.
1086/652691 (diakses pada 14 Juli 2014).
43
Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan. 30-50.
15

pengelompokan wujudnya Ibn Si>na> (370-428 H./980-1037 M.) yang terbagi


kepada tiga kategori besar: pertama, wujud yang secara niscaya tidak
berhubungan dengan materi dan gerak (kelompok ilmu-ilmu metafisika), kedua,
wujud yang dirinya imateriil namun berhubungan dengan materi dan gerak
(kelompok ilmu-ilmu matematika), dan ketiga, wujud yang secara niscaya
terkait dengan materi dan gerak (kelompok ilmu-ilmu fisika).44 Ketiga kategori
wujud di atas menjadi basis ontologis klasifikasi ilmu dalam Islam, sehingga,
objek deskripsi klasifikasi ilmu tidak akan lepas dari tiga kategori wujud ini.
Kendati demikian, dalam karyanya yang lain, Integrasi Ilmu: Sebuah
Rekonstruksi Holistik,45 ia menyatakan bahwa klasifikasi ilmu berintegrasi
secara filosofis dalam satu prinsip utama, yakni Tauhid. Lebih dari itu, integrasi
tersebut bukan hanya dalam klasifikasi ilmu, tapi juga dalam sumber, objek,
metode ilmu, dan pengalaman manusia.
Keenam, penelitian yang dilakukan oleh Osman Bakar dalam karyanya,
Classification of Knowledge in Islam; A Study in Islamic Philosophies of
Science.46 Dalam studinya, ia berusaha mengkaji klasifikasi ilmu yang digagas
oleh tiga sarjana Muslim, al-Fa>ra>bi> (257-339 H./870-950 M.) yang mewakili
filosof-ilmuwan, al-Ghaza>li> (450-505 H./1058-1111 M.) sebagai seorang Sufi,
faqi>h, wakil dari Mutakallimu>n (teolog), dan Qut}b al-Di>n al-Shi>ra>zi> (634-710
H./1236-1311 M.) yang mewakili aliran filsafat Ishra>qi> (iluminasionis) yang
juga seorang ilmuwan. Selain menguraikan konstruk klasifikasi ilmu ketiga
sarjana Muslim tersebut, Bakar juga menjelaskan gagasan-gagasan filosofis
umum dan gagasan spesifik dari pandangan dunia intelektual ketiganya, seperti
basis ontologis, basis metodologis dan basis aksiologis klasifikasi ilmu mereka.
Bakar menyimpulkan bahwa dari ketiga klasifikasi ilmu tiga tokoh
tersebut, pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang Tuhan. Demi
pengetahuan tentang Tuhanlah setiap bentuk pengetahuan lainnya dicari,
pengetahuan tentang segala sesuatu selain Tuhan harus dikaitkan secara
konseptual-organik dengan pengetahuan tentang Tuhan. Gagasan ini berawal
dari proposisi bahwa setiap pengetahuan berasal dari sumber yang sama, serta
membentuk gagasan konseptual tentang kesatuan pengetahuan.

2. Tentang Ibn Sab‘i>n


Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Anna Ayşe Akasoy dalam
tulisannya Ibn Sab‘i>n’s Sicilian Questions: The Texts, Its Sources, and Their
Historical Context.47 Dalam studinya, Akasoy memfokuskan kajiannya terhadap
latar historis jawaban Ibn Sab‘i>n terhadap pertanyaan-pertanyaan filosofis

44
Lihat Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, 43.
45
Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik.
46
Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam: A Study in Islamic
Philosophies of Science (Cambridge: The Islamic Texts Society, 1998).
47
Anna Ayşe Akasoy, “Ibn Sab‘i>n’s Sicilian Questions: The Text, Its Sources
and Their Historical Context,” Journal Al-Qant}ara XXIX, issue 1 (Januari-Juni 2008),
115-146. http://www.al-qantara.revistas.csic.es/index.php/al-qantara/article/viewFile/
51/45 (diakses pada 26 Februari 2013).
16

Frederick II (1194-1250) yang terangkum dalam karya Ibn Sab‘i>n, al-Kala>m ‘alá
al-Masa>’il al-S{iqili>yah.
Akasoy menyatakan bahwa konteks historis yang melatari jawaban Ibn
Sab‘i>n terhadap pertanyaan-pertanyaan filosofis Frederick II tidak begitu jelas.
Artinya, jawaban Ibn Sab‘i>n tersebut tidak serta merta dikatakan hanya sebagai
jawaban dari pertanyaan filosofis Frederick II an sich. Lebih dari itu,
menurutnya, teks (jawaban) tersebut menggambarkan sebuah ideologi dari
dinasti Muwahhidun kala itu. Bahkan Akasoy mengatakan bahwa teks tersebut
kemungkinan besar ialah sebagai “pengantar” filsafat Aristoteles (384-322
SM.). Terlepas dari ketidakpastian ini, teks tersebut memberikan wawasan yang
luas dan pengaruh signifikan terhadap sosio-intelektual kala itu.
Kedua, Vincent J. Cornell, dalam studinya tentang konstruk
epistemologi Ibn Sab‘i>n yang diterbitkan dalam jurnal Ibn ‘Arabi Society
dengan judul The Way of Axial Intellect: The Islamic Hermetism of Ibn
Sab‘i>n.48 Setelah mengkaji karya-karyanya, Cornell menemukan sebuah sistem
pikir khas dalam epistemologi Ibn Sab‘i>n yang ia istilahkan dengan Axial
Intellect. Yaitu sebuah metode berpikir yang diawali dengan mengakomodasi
pandangan cendikiawan lain yang dalam hal ini adalah Fuqaha>’, sufi, teolog dan
filosof, kemudian menganalisis dan mengkritiknya. Dari akomodasi dan kritik
itu, Ibn Sab‘i>n kemudian melakukan sintesis terhadap pandangan komunitas
intelektual tersebut dan memberikan tawaran konsep-sintetik baru.
Ketiga, Patrizia Spallino, dalam tulisannya yang dimuat dalam
ensiklopedi berjudul Encyclopedia of Medieval Philosophy; Philosophy Between
500 and 1500 (ed. Henrik Lagerlund).49 Dalam tulisannya, Spallino menguraikan
latar sosio-kultur dan sosio-politik ketika Ibn Sab‘i>n hidup. Di akhir, Spallino
mengungkapkan dua hal yang menyebabkan karya-karya Ibn Sab‘i>n yang cukup
banyak, tidak begitu populer dikalangan para sarjana. Pertama, karya-karya Ibn
Sab‘i>n kebanyakan ditulis dengan menggunakan simbol dan kiasan untuk
memperkenalkan makna esoteris dibalik argumen/doktrinnya. Kedua, tuduhan
sesat terhadap Ibn Sab‘i>n yang ditujukan oleh para cendikiawan di zamannya
(khususnya para teolog, sejarawan dan fuqaha>’) ikut mempengaruhi terhadap
ketidak populeran karya-karyanya.
Keempat, riset yang dilakukan oleh Abu> al-Wafa> al-Tafta>za>ni>, dalam
karyanya yang khusus memotret peta pemikiran filosofis Ibn Sab‘i>n, Ibn Sab‘i>n
wa-Falsafatuhu al-S{u>fi>yah.50 Dalam studinya ini, al-Tafta>za>ni mengkaji
beberapa doktrin Ibn Sab‘i>n, antara lain tentang: (1) al-Wah}dah al-Mut}laqah, (2)

48
Vincent J. Cornell, “The Way of the Axial Intellect: The Islamic Hermetism
of Ibn Sab‘i>n” Journal of the Muhyiddin Ibn ‘Arabi Society Vol XXII (1997), 41-79.
https://www.academia.edu/7630212/The_Way_of_the_Axial_Intellect_The_Islamic_He
rmetism_of_Ibn_Sabin (diakses pada 22 Agustus 2014).
49
Patrizia Spallino, “Ibn Sab‘i>n, ‘Abd al-H{aqq” dalam Encyclopedia of
Medieval Philosophy: Philosophy Between 500 and 1500, ed. Henrik Lagerlund (New
York: Springer, 2011), 507-513.
50
Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu al-S{u>fi>yah (Beirut: Da>r al-Kutub al-
Libna>ni>, 1973).
17

al-Tah}qi>q wa-al-Muh}aqqiq, (3) Mant}iq al-Muh}aqqiq, (4) al-Nafs wa-al-‘Aql, (5)


al-Akhla>q al-Naz}ari>yah dan (6) al-Akhla>q al-‘Amali>yah.
Dari kajiannya tersebut, al-Tafta>za>ni menyimpulkan bahwa Ibn Sab‘i>n
bukanlah seorang filosof Peripatetik an sich, bukan pula seorang Sufi an sich
seperti yang dinyatakan oleh para peneliti lain, tetapi ia adalah seorang filosof-
Sufi (teosof) yang mampu mensintesiskan akal (al-‘aql) dan rasa (al-dhawq). Hal
ini menurut al-Tafta>za>ni dibuktikan dengan kritik Ibn Sab‘i>n terhadap filosof
dan Sufi, serta dengan doktrin Mant}iq al-Muh}aqqiq yang digagasnya, yakni
“logika” yang secara epistemologis bersifat gnostik, berakar pada al-dhawq
(rasa/intuisi).
Kelima, penelitian Muh{ammad Ya>sir Sharaf, dalam karyanya yang
berjudul Falsafat al-Tas}awwuf al-Sab‘i>ni>.51 Dalam kajiannya, Sharaf
memfokuskan studinya terhadap doktrin al-Wah}dah al-Mut}laqah (Kesatuan
Mutlak), dengan mendeskripsikan gagasan-gagasan filosofis Ibn Sab‘i>n antara
lain tentang kosmologi, epistemologi, metafisika dan etika. Selain itu, Sharaf
juga melakukan eksplorasi terhadap pemikiran Ibn Sab‘i>n dalam bidang Fiqh,
Kalam dan Tasawuf.
Keenam, penelitian Mah{mu>d al-Mura>kibi> dan ‘A<t}if al-Zayn, yang
keduanya menjadikan pembahasan tentang pemikiran Ibn Sab‘i>n sebagai salah
satu bab dalam karyanya. Al-Mura>kibi> dalam karyanya ‘Aqa>‘id al-S{u>fi>yah fi>
D{aw’ al-Kita>b wa-al-Sunnah,52 sebagaimana peneliti biografis asal Timur
Tengah lainnya, mengungkapkan beberapa hal yang menurutnya merupakan
doktrin Ibn Sab‘i>n antara lain: (1) doktrin al-Wah{dah al-Mut}laqah merupakan
modifikasi dari doktrin Wah}dat al-Wuju>d (kesatuan wujud), (2) bagi Ibn Sab‘i>n,
kenabian dapat diusahakan (muktasabah), (3) T{ari>qat al-Sab‘i>ni>yah, yang
dibangun oleh Ibn Sab‘i>n memiliki silsilah (ketersambungan konseptual) kepada
para filosof/Sufi awal seperti Hermes, Socrates, Plato, Aristoteles, Iskandar
Yang Agung, al-H{alla>j, Ibn Rushd dan Ibn Si>na>. Sedangkan ‘A<t}if al-Zayn, dalam
karyanya al-S{u>fi>yah fi> Naz}r al-Isla>m: Dira>sah wa-Tah{li>l,53 selain
mengungkapkan doktrin al-Wah{dah al-Mut}laqah, ia juga menyatakan bahwa
dalam batas tertentu, Ibn Sab‘i>n telah melepaskan Syari’at dalam doktrin
sufistiknya.
Berbeda dengan penelitian-penelitian di atas, penelitian ini akan
difokuskan pada kajian terhadap pemikiran klasifikasi ilmu Ibn Sab‘i>n yang ia
tuangkan dalam karya monumentalnya, Budd al-A<rif. Secara lebih khusus, akan
difokuskan pada kajian rangka bangun klasifikasi ilmu Ibn Sab‘i>n, dengan
melihat basis ontologisnya, yang berakar pada pandangan ontologisnya tentang
entitas wujud, yakni al-Wah}dah al-Mut}laqah (Kesatuan Mutlak). Diasumsikan

51
Muh{ammad Ya>sir Sharaf, Falsafat al-Tas}awwuf al-Sab‘i>ni> (Damaskus:
Wiza>rat al-Thaqa>fah, 1990). Dalam versi lain karya ini berjudul al-Wah}dah al-Mut}laqah
‘inda Ibn Sab‘i>n (Beirut: al-Markaz al-‘Arabi> li-al-T{aba>’ah wa-al-Nashr, 1981).
52
Mah{mu>d al-Mura>kibi>, ‘Aqa>‘id al-S{u>fi>yah fi> D{aw’ al-Kita>b wa-al-Sunnah
(Kairo: Da>r al-T{aba>‘ah wa-al-Nashr, 1996). 85-98.
53
‘A<t}if al-Zayn, Al-S{u>fi>yah fi> Naz}r al-Isla>m; Dira>sah wa-Tah{li>l (Beirut: Da>r al-
Kita>b al-Libna>ni>, 1985).
18

bahwa, secara konseptual, dengan melihat basis ontologisnya, klasifikasi ilmu


yang digagasnya ini, memiliki pijakan yang valid, integral dan holistik.

D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini secara khusus
bertujuan untuk:
1. Melakukan eksplorasi terhadap rangka bangun klasifikasi ilmu yang digagas
Ibn Sab‘i>n
2. Mengelaborasi secara mendalam terhadap paradigma klasifikasi ilmu Ibn
Sab‘i>n dengan melihat basis ontologisnya yang berakar pada doktrinnya
tentang entitas wujud, yakni al-Wah}dah al-Mut}laqah (Kesatuan Mutlak).

E. Signifikansi Penelitian
Dunia ini dipenuhi oleh berbagai aliran dan ideologi, setiap ideologi
berlandaskan pada sebuah “pandangan dunia (world view)”, dan “pandangan
dunia” ini berpijak pada epistemologi. Di sinilah letak urgensi dan pentingnya
epistemologi.54 Dalam kenyataannya, krisis epistemologi yang terlihat jelas
pada konsep ilmu pengetahuan yang dikotomik dalam keilmuan modern saat ini,
telah menumbuhkan berbagai upaya untuk melakukan revitalisasi peran agama
dalam ilmu.
Banyaknya konsep integrasi ilmu dan agama tidak lain lahir sebagai
bentuk keprihatinan atas hilangnya aspek spritualitas dalam ilmu pengetahuan,
yang pada gilirannya, termarginalkannya wahyu, dianggap berada diluar wilayah
ilmiah dan hanya diletakkan sebagai ekspresi psikologis yang bersifat subjektif
saja. Aspek epistemologi dalam Islam yang terefresentasikan dalam wacana
klasifikasi ilmu berparadigma hierarkis-integral, seolah telah memberikan
kesadaran bahwa hari ini umat manusia dengan segenap peradabannya ada
dalam kungkungan sistem epistemologi dikotomik yang empirik-posivistik, dan
budaya Barat yang materialistik-sekularistik, serta menafikan peran Tuhan yang
menguasai dunia ini.
Kekhasan cara berpikir filsafat dalam Islam adalah pandangannya yang
utuh terhadap kajian epistemologi, kosmologi, etika, metafisika, psikologi dan
lainnya, yang merupakan perwujudan dari nilai Tauhid. Dari sifatnya yang
seperti ini, diharapkan manusia dapat memperoleh kembali pegangan hidup dan
pijakan ilmiah yang integral, universal dan tidak parsial. Jika tradisi pemikiran
ilmiah ini mampu dipertahankan dan terus dikembangkan secara kontekstual
dan proporsional, tentu akan sangat berpotensi untuk mampu menjawab
persoalan-persoalan filosofis kontemporer yang muncul akibat krisis
epistemologi kontemporer.
Dengan pandangan pandangan tersebut, penelitian ini diharapkan dapat:

54
Murtadha Muthahhari, Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah Pemataan dan
Kritik Epistemologi Islam atas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relevansi Pandangan
Dunia (Jakarta: Shadra Press, 2001), 5-6.
19

1. Mengenal lebih baik lagi mengenai rangka bangun klasifikasi ilmu seorang
filosof-Sufi (teosof), Ibn Sab‘i>n, khususnya paradigma pemikiran klasifikasi
ilmunya sebagai sebuah sistem pengetahuannya yang utuh.
2. Memperkaya khazanah penelitian terhadap diskursus klasifikasi ilmu dalam
Islam, khususnya dalam rangka mengkomparasikan secara konseptual
berbagai pemikiran tentang klasifikasi ilmu, baik yang digagas oleh para
sarjana Muslim klasik maupun oleh para cendikiawan Muslim kontemporer.
Bahkan lebih jauh, penelitian ini dapat mengkomparasikan sistem
pengetahuan Islam dengan pandangan sekularistik epistemologi Barat.
3. Menyumbangkan pemikiran kepada lembaga-lembaga pendidikan, terutama
dalam rangka mengintegrasikan berbagai bidang ilmu pengetahuan yang
hingga detik ini masih berkutat pada paradigma dikotomik-paradoksal,
khususnya dalam konteks kurikulum pendidikan sebagai titik tekan.
4. Memberikan kontribusi pemikiran yang signifikan kepada gerakan
keagamaan, pemuka-pemuka agama dan pemegang kebijakan, khusususnya
dalam rangka meningkatkan wawasan ke-Tauhid-an, serta mencegah
masyarakat dari keterjebakan dalam pemahaman parsial terhadap masalah-
masalah yang berkaitan dengan filsafat pengetahuan dalam Islam.

F. Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, yang termasuk dalam
lingkup penelitian kepustakaan/studi pustaka (library research), yang
memprioritaskan datanya dari buku, jurnal, dokumen dan berbagai literartur lain
yang berkaitan dengan objek penelitian (pemikiran klasifikasi ilmu Ibn
Sab‘i>n),55 dengan lebih menitikberatkan pada olahan filosofis-teoritik56 dan

55
Mestika Zed mengungkapkan, riset pustaka/studi pustaka tidak dimaknai
sekedar membaca dan mencatat literatur atau buku-buku sebagaimana yang sering
dipahami banyak orang. Tetapi, studi pustaka merupakan serangkaian kegiatan yang
berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta
mengolah bahan penelitian. Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2008), 3. Selanjutnya Zed mengatakan, setidaknya ada tiga
alasan mengapa peneliti membatasi penelitiannya pada studi pustaka/teks: pertama,
persoalan penelitian tersebut hanya bisa dijawab lewat penelitian teks/pustaka dan tidak
mungkin mengaharapkan datanya dari riset lapangan, kedua, studi pustaka/teks
diperlukan sebagai salah satu tahap tersendiri, yaitu studi pendahuluan (preliminary
research) untuk memahami lebih dalam gejala baru yang tengah berkembang di lapangan
atau dalam masyarakat, dan ketiga, data pustaka tetap handal untuk menjawab persoalan
penelitiannya.
56
Studi teks dalam makna studi pustaka, menurut Noeng Moehadjir, setidaknya
dapat dibedakan menjadi: pertama, studi pustaka yang memerlukan olahan uji
kebermaknaan di lapangan, dan kedua, studi pustaka yang lebih memerlukan olahan
filosofis-teoritik, -dalam makna yang terakhir ini, studi pustaka menjadi titik tekan
penulis-. Noeng Moehadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif edisi VI (Yogyakarta:
Rake Sarasin, 2000), 296. Dalam karyanya yang lain, Moehadjir mengutip Derrida,
bahwa logo atau tanda digunakan sebagai dasar telaah semiotik. Dalam pandangan
logosentrisme, tanda tidak dapat lepas dari konteksnya. Lebih jauh Derrida mengatakan,
20

sistematis-reflektif.57 Setidaknya ada empat ciri utama penelitian pustaka ini


yang harus diperhatikan oleh peneliti (researcher), pertama, peneliti berhadapan
langsung dengan teks atau data angka, bukan dengan pengetahuan langsung dari
lapangan atau saksi mata (eyewitness) berupa kejadian, orang atau benda-benda
lainnya. Kedua, data pustaka bersifat “siap pakai” (ready made). Artinya,
peneliti hanya berhadapan langsung dengan sumber yang sudah tersedia di
perpustakaan. Ketiga, data pustaka umumnya adalah sumber sekunder, dalam
arti bahwa peneliti memperoleh bahan dari tangan kedua dan bukan data orisinil
dari tangan pertama di lapangan. Keempat, kondisi data pustaka tidak dibatasi
oleh ruang dan waktu.58
Objek formal dalam penelitian ini adalah pemikiran Ibn Sab‘i>n,
sedangkan objek materialnya adalah pemikiran Ibn Sab‘i>n yang berhubungan
dengan klasifikasi ilmu. Karena kajiannya menyangkut seorang tokoh, maka
penelitian ini termasuk studi tokoh, yaitu studi terhadap seorang tokoh untuk
mengetahui pemikiran filosofisnya dalam masalah tertentu.59 Karena itu, studi
ini akan menggunakan beberapa unsur metodis dalam rangka mengeksplorasi
pemikiran Ibn Sab‘i>n tentang klasifikasi ilmu, yaitu:
(1) Interpretasi, karya tokoh diselami guna menangkap arti dan nuansa yang
dimaksudkan tokoh secara khas;
(2) Induksi dan Deduksi, karya tokoh dipelajari sebagai sebuah case-study,
dengan membuat analisis mengenai konsep-konsep pokok dan mendasar;
(3) Koherensi intern, berbagai konsep dan aspek dilihat menurut
keselarasannya satu sama lain;
(4) Holistika, yakni melihat secara keseluruhan visi tokoh -yang dalam hal ini
adalah Ibn Sab‘i>n- mengenai manusia, alam semesta dan Tuhan;
(5) Kesinambungan historis, melihat benang merah perkembangan pemikiran
tokoh, baik wilayah eksternal (sisio-kultur, sosio-ekonomi, sosio-politik,
filsafat dan lainnya), maupun wilayah internal tokoh (riwayat hidup,

bahwa tanda satu merajut dengan tanda lain, maka muncullah teks/naskah. Oleh
karenanya, teks itu tidak pernah terisolasi dalam arti selalu berkait-kelindan dengan teks
lain. Studi teks tidak lebih dari pemikiran tentang teks itu sendiri, pemahamannya
terajut dalam teks dan dapat diuji pada pemahaman dalam intertekstualitas. Lihat
Noeng Moehadjir, Metodologi Keilmuan: Paradigma Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed
edisi V (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2007), 411.
57
Penelitian sistematis-reflektif seperti ini membahas salah satu masalah pokok
dalam kehidupan manusia, yang merupakan fenomena cukup sentral, seperti bahasa,
validitas pengetahuan, kebebasan, komunikasi, kebaikan, keadilan, cinta, simbol,
persepsi tentang Tuhan, dan sebagainya. Signifikansi penelitian ini adalah untuk
mencapai pemahaman mendasar tentang pokok-pokok sentral dimaksud, sehingga
sintesis yang dibuat tidak menambah pemahaman serba baru, tapi menyeimbangkan
semua yang telah ditemukan. Selanjutnya, dari semua bahan dan telaahan tersebut
terjadi suatu pendobrakan pemikiran, yang bertitik tolak dari asumsi yang baru. Lihat
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat (Jakarta: RajaGrapindoPersada,1997), I25.
58
Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, 4-5.
59
Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat
(Yogyakarta: Kanisius, 1990), 61.
21

pendidikan, karya tulis, pengaruh dan segala pengalaman yang membentuk


pandangannya);
(6) Idealisasi, yakni filsafat yang diutarakan oleh tokoh siapa saja selalu
dimaksudkan sebagai konsep universal dan ideal;
(7) Komparasi, pemikiran tokoh yang bersangkutan dibandingkan secara
konseptual dengan pemikiran filosof lainnya;
(8) Heuristika, dengan bahan dan pendekatan baru, peneliti mengusahakan
pemahaman dan interpretasi baru pada pemikiran tokoh tersebut;
(9) Bahasa inklusif dan analogal, peneliti mengikuti penggunaan bahasa tokoh
terkait;
(10) Deskripsi, menguraikan secara teratur seluruh konsepsi tokoh yang relevan
dengan objek;
(11) Metode khusus, di samping langkah-langkah metodis di atas, juga dapat
dibuat analisis teks-teks sentral yang penting bagi pemahaman filsafatnya,
dan
(12) Refleksi peneliti.60
Sumber dalam peneltian ini dibagi menjadi dua kategori: sumber primer
(primary sources) dan sumber sekunder (secondary sources). Sumber primer
penelitian ini adalah karya Ibn Sab‘i>n yang dalam karya tersebut pemikiran
tentang klasifikasi ilmu dan tentang entitas wujud ia tuangkan, yakni Budd al-
‘A<rif, di samping karya-karyanya dalam bentuk risa>lah (p. rasa>’il) yang terkait
langsung dengan tema penelitian ini. Kedua sumber tersebut lebih diprioritaskan
dalam penelitian ini, terutama dalam melacak dan mengeksplorasi konstruk dan
paradigma klasifikasi ilmu menurut Ibn Sab‘i>n. Sedangkan sumber sekundernya
adalah literatur-literatur dan karya-karya tulis para pemikir dan peneliti yang
berkaitan dengan klasifikasi ilmu dalam Islam dan pemikiran Ibn Sab‘i>n.
Penelitian ini bersifat filosofis terhadap konstruk paradigmatik
klasifikasi ilmu Ibn Sab‘i>n. Oleh sebab itu, penelitian ini menggunakan
pendekatan filosofis-hermeneutis. Di antara karakteristik pendekatan filosofis
adalah pengkajian terhadap ide-ide dasar dan pemikiran-pemikiran yang
fundamental (fundamental ideas) yang dirumuskan oleh seorang pemikir.61
Selain itu sebagai sebuah proses metodis, dilihat dari segi karakteristik
prinsipilnya, pendekatan filosofis memiliki empat cabang, yaitu logika,
metafisika, epistemologi dan etika.62 Sedangkan sebagai sebuah aktivitas,
pendekatan filosofis menuntut peneliti untuk membaca dengan teliti, berpikir
dengan cermat, gradual dan sistematis, mengemukakan pikiran dengan jelas
serta melihat ide-ide sendiri dengan rasional dan kritis.63

60
Lihat Bakker dan Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, 63-65.
61
Amin Abdullah, “Rekonstruksi Metodologi Studi Agama dalam Masyarakat
Multikultural dan Multireligius,” dalam Antologi Studi Islam: Teori dan Metodologi,
eds. Amin Abdullah et.al. (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000), 8-9.
62
Lihat Rob Fisher, “Pendekatan Filosofis,” dalam Aneka Pendekatan Studi
Agama, ed. Peter Connolly, terj. Imam Khoiri (Yogyakarta: LkiS, 2002), 170-176.
63
Rob Fisher, “Pendekatan Filosofis”, 158. Lihat juga Muhammad Abdallah al-
Sharqawi, “The Methodology of Religious Studies in Islamic Thought (Mana>hij Dira>sat
22

Untuk melakukan kontekstualisasi, dalam menganalisis teks, peneliti


juga menggunakan pendekatan hermeneutika filosofis yang secara konseptual
diprakarsai oleh Hans-Georg Gadamer (1900-2002), filsuf abad ke-20
berkebangsaan Jerman, penulis karya monumental dalam kajian
hermeneutika,Wahrheit und Methode (eng. Truth and Method). Pendekatan
hermeneutika menganggap objek kajian sebagai gejala teks. Hermeneutika,
sejatinya adalah suatu pemahaman terhadap pemahaman seseorang (teks/objek
yang ditafsirkan) dengan mengkaji proses asumsi-asumsi yang berlaku dalam
pemahaman tersebut, termasuk di antaranya konteks pembuat teks yang
melingkupi dan mempengaruhi proses tersebut.64
Bagi Gadamer, human sciences selalu berusaha “mendekati” teks-teks
itu sendiri (alienation), dan berusaha membangun ikatan-ikatan yang
sebelumnya telah dimiliki oleh interpreter dengan objek yang diinterpretasikan.
Jarak tersebut dapat diatasi dan ikatan-ikatan tersebut dapat dibangun kembali
(re-fusion) melalui mediasi kesadaran akan efek historis (consciousness of the
effects of history). Asumsi dasar yang diartikan Gadamer adalah bahwa
pendekatan terhadap sebuah fenomena historis (karya seni, karya sastra, teks,
dan lainnya), terlebih dahulu telah ditentukan oleh pemahaman awal (pre-
understandings) dari interpreter-interpreter sebelumnya.65 Artinya, dengan
melepaskan “ikatan-ikatan” si interpreter sendiri terhadap objek, dan
menggantinya dengan hasil interpretasi dari para interpreter sebelumnya, maka

al-Adya>n fi> al-Fikr al-Isla>mi>),” Journal of Qur'anic Studies Vol. 2, No. 2 (2000), 128-
145. http://www.jstor.org/stable/25728010 (diakses pada 15 Oktober 2014).
64
Prinsip-prinsip hermeneutika antara lain: (1) Bila kaum strukturalis
berkonsentrasi pada struktur, kaum hermeneutika berkonsentrasi pada makna. (2)
Bahasa adalah pusat kekuatan manusia. (3) Hermeneutika menekankan pemahaman dan
komunikasi. (4) Dalam tradisi hermeneutika, subjek dan objek tidak dipisahkan tetapi
malah terlibat dalam hubungan komunikatif. (5) Interpretasi yang baik mensyaratkan
adanya keterkaitan (interplay) antar dua konteks, “teks” dan penafsir, atau yang disebut
Gadamer sebagai fusion of horizons. (6) Tujuan akhir dari hermeneutika adalah
pemahaman yang lebih baik atau pemaknaan (sense making) dari interaksi berbagai
konstruksi yang sudah ada, lalu dianalisis agar lebih mudah dipahami pihak lain,
sehingga akhirnya dicapailah sebuah konsensus. (7) Pemahaman antar budaya dan antar
zaman seperti halnya pemahaman teks, tidak mungkin ada titik temu pemahaman yang
pasti, sebab masing-masing dibentuk oleh dunia bahasa dan budayanya sendiri. Kendati
demikian masing-masing dapat berupaya untuk mendapat pemahaman semaksimal
mungkin. Lihat A. Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan (Bandung:
Rosdakarya, 2010), hlm. 125-126
65
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and
Donald D. Marshall (New York: Sheed and Ward and The Continuum Publishing Group,
2004), 309-10 dan 278. Lihat juga E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat
(Yogyakarta: Kanisius, 2003) 63-64. Mengenai telaah historis kemunculan hermeneutika
Gadamer, lihat misalnya Dmitri N. Shalin, “Hermeneutics and Prejudice: Heidegger and
Gadamer in their Historical Setting,” Russian Journal of Communication, vol. 3 No. 1/2
(Winter/Spring, 2010), 7-24. http://cdclv.unlv.edu/pragmatism/shalin_heidegger_
gadamer.pdf (diakses pada 27 Oktober 2014).
23

interpreter tersebut telah berada pada suatu jaringan interpretasi


(interpretational lineage).
Melalui kesadaran akan efek historis ini, dua titik yang semula terpisah,
yaitu subjek dan objek, menjadi tersatukan menyeluruh. Proses ini oleh Gadamer
dinamakan fusi horizon (fusion of horizons).66 Baginya, memahami “teks”
sejatinya adalah peleburan horizon-horizon. Hal ini berarti, tidak ada satu pun
interpretasi yang dapat diklaim sebagai “yang benar”, tetapi semua interpretasi,
dalam maksud tertentu adalah “benar”. Proses penafsiran adalah fusi horizon
dari penafsir dan teks yang akan ditafsirkan. Keduanya saling “menginterogasi”.
Gadamer melihat ini sebagai sebuah proses tanpa akhir, untuk menghasilkan
pemahaman-pemahaman baru.67
Dalam hermeneutikanya, Gadamer menolak pandangan hermeneutika
tradisional yang menganggap bahwa tradisi sang penafsir bisa mengaburkan
penafsiran. Seorang penafsir tidak bisa lolos dari itu, karena ia (penafsir),
sebagaimana juga teks yang akan ia tafsirkan, tersituasikan oleh sejarah. Ia
menolak asumsi “kembali ke teks dan pengarang asli” seperti yang dikemukakan
Friedrich Schleiermacher (1768-1834), ia pun menolak pandangan
Schleiermacher dan Wilhelm Dilthey (1833-1911) tentang objektivitas
penafsiran. Berpijak pada konsep in-der-welt-sein (eng. Being-in-the-World)
yang digagas Martin Heidegger (1889-1976), Gadamer memandang bahwa
pembuat teks dan penafsir berada dalam kondisi dan sosio-historis yang berbeda.
Perbedaan ini dengan sendirinya akan membuat pembuat teks dan penafsir
memiliki prejudice yang berbeda pula, serta berada dalam horizon dan tradisinya
masing-masing.68 Dengan demikian, hermeneutika sejatinya tidak bertujuan
“mereproduksi” makna pembuat “teks”/penulis seperti yang dikemukakan
Schleiermacher dan Dilthey, tetapi lebih kepada bagaimana “memproduksi”
makna baru dengan upaya dialog antara dua horizon (“teks”dan penafsir).69

66
Gadamer, Truth and Method, 336-7. Juga karyanya yang lain, Gadamer,
Philosophical Hermeneutics, trans. and edit. by David E. Linge (California: University
of California Press., 1976), khususnya bagian pertama. Bandingkan dengan Frederick G.
Lawrence, “Ontology of and as Horizon: Gadamer's Rehabilitation of the Metaphysics
of Light” Revista Portuguesa de Filosofia, T. 56, Fasc. 3/4, A Idade Hermenêutica da
Filosofia (The Age of Hermeneutics): Hans-Georg Gadamer (Jul.-Dec., 2000), 389-420.
http://www.jstor.org/stable/40337583 (diakses pada 27 Oktober 2014). Juga dengan
Kathleen J. Ryan and Elizabeth J. Natalle, “Fusing Horizons: Standpoint Hermeneutics
and Invitational Rhetoric,” Rhetoric Society Quarterly, Vol. 31, No. 2 (Spring, 2001),
69-90. http://www.jstor.org/stable/3886076 (diakses pada 26 Oktober 2014). Lihat juga
Ahyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu dan Metodologi Posmodernis (Bogor: Akademia,
2004), 129.
67
Gadamer, Truth and Method, 154. Juga Lubis, Filsafat Ilmu, 128.
Bandingkan dengan misalnya David Weberman, “A New Defense of Gadamer's
Hermeneutics” Philosophy and Phenomenological Research Vol. 60, No. 1 (Jan., 2000),
45-65. http://www.jstor.org/stable/2653427 (diakses pada 27 Oktober 2014).
68
Gadamer, Truth and Method, 272-3.
69
Gadamer, Truth and Method, 465-8. Lihat juga Lubis, Filsafat Ilmu, 130.
24

Bagi Gadamer, hermeneutika lebih merupakan usaha memahami dan


menginterprestasi sebuah “teks”. Hermeneutik merupakan bagian dari
keseluruhan pengalaman mengenai dunia. Hermeneutik berhubungan dengan
suatu teknis tertentu, dan berusaha kembali ke susunan tata bahasa, karena itu,
hermeneutika menjadi sebuah “filsafat praktis”.70 Menurutnya, bahasa tidak
pernah bermakna tunggal. Bahasa selalu memiliki beragam makna. keragaman
makna di dalam bahasa menandakan adanya sesuatu yang bersifat esensial,
tetap, dan universal di dalam bahasa itu sendiri. Artinya, bahasa itu memiliki
sesuatu yang sifatnya khas pada dirinya sendiri, dan lepas dari pikiran manusia.
Di dalam bahasa terdapat pengertian, dan tugas hermeneutika adalah memahami
pengertian tersebut, serta membuka kemungkinan bagi pemahaman-pemahaman
baru.71
Dasar dari hermeneutika Gadamer adalah sebuah logika klasik, bahwa
seseorang tidak bisa memahami keseluruhan tanpa terlebih dahulu memahami
bagian-bagiannya. Hal yang sama dapat diterapkan untuk memahami suatu teks.
Maksud utama dari keseluruhan teks dapat dipahami dengan berpusat pada
bagian-bagian teks tersebut, dan sebaliknya bagian-bagian teks itu dapat
dipahami dengan memahami keseluruhan teks. Tujuan utama Gadamer adalah
untuk memahami teks di dalam kerangka berpikir yang lebih menyeluruh, dan
bukan hanya terjebak pada apa yang tertulis atau terkatakan saja. Teks harus
ditempatkan dalam konteks yang lebih luas yang tentunya melibatkan teks-teks
lainnya. Ini adalah salah satu kriteria untuk mendapatkan pemahaman yang
tepat menurut Gadamer.72 Tiga hal penting dalam pemikiran hermeneutika
Gadamer yaitu: (1) memahami realitas sejatinya adalah menafsirkan, (2) semua
pemahaman pada intinya terikat dengan bahasa, karena bahasa merupakan

70
Duška Dobrosavljev, “Gadamer’s Hermeneutics as Practical Philosophy,”
Facta Universitatis; Series: Philosophy, Sociology and Psychology vol. 2 No. 9 (2002),
605-618. http://facta.junis.ni.ac.rs/pas/pas200201/pas200201-02.pdf (diakses pada 27
Oktober 2014). Juga Sumaryono, Hermeneutik, 78-79.
71
Gadamer, Truth and Method , 391. Lihat juga Jean Grondin, “Gadamer’s
Basic Understanding of Understanding” dalam Cambridge Companion to Gadamer , ed.
Robert J. Dostal (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 36. Juga Paul Regan,
“Hans-Georg Gadamer’s Hermeneutics: Concept of Reading, Understanding and
Interpretation” Research in Hermeneutics Phenomenology, and Practical Philosophy
Vol. 4 No. 2 (December, 2012), 286-303. http://www.metajournal.org/articles_pdf/286-
303-regan-meta8-tehno-r1.pdf (diakses pada 26 Oktober 2014).
72
Jean Grondin, “Gadamer’s Basic Understanding of Understanding”, 47.
Grondin melanjutkan, Pengandaian hermeneutika Gadamer adalah, bahwa keseluruhan
(whole) dan bagian (parts) selalu koheren. Supaya dapat memperoleh pemahaman yang
tepat, si pembaca teks haruslah memahami koherensi antara makna keseluruhan dan
makna bagian dari teks tersebut. Mengenai pandangan dan kritik Gadamer terhadap
hermeneutika filsuf lain seperti Heidegger dan Schleiermacher, lihat misalnya Kristin
Gjesdal, “Aesthetic and Political Humanism: Gadamer on Herder, Schleiermacher, and
the Origins of Modern Hermeneutics” History of Philosophy Quarterly, Vol. 24 No. 3
(Jul., 2007), 275-296. http://www.jstor.org/stable/27745096 (diakses pada 27 Oktober
2014).
25

medium universal di mana pemahaman itu sendiri dapat terwujud, (3)


pemahaman terhadap makna teks tidak dapat dipisahkan dari aplikasinya.73
Dengan lingkup metodis di atas, ditinjau dari segi data, penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif yang menghasilkan data deskriptif sehingga
membutuhkan metode deskriptif-analitik dengan langkah-langkah: (1)
mendeskripsikan gagasan primer yang menjadi objek penelitian, (2) membahas
dan menafsirkan gagasan primer yang telah dideskripsikan tersebut, (3)
melakukan kritik terhadap gagasan primer yang telah ditafsirkan, (4) melakukan
“studi analitik” terhadap serangkaian gagasan primer dalam bentuk
perbandingan, hubungan, pengembangan rasional dan penelaahan historis, dan
(5) menyimpulkan hasil penelitian.74

G. Sistematika Pembahasan
Dalam pembahasannya, penelitian ini akan dituangkan dalam lima bab.
Hal ini guna mendapatkan bentuk penelitian yang sistematis, gambaran yang
jelas, terurai, logis, dan saling terkait antara satu bab dengan bab lainnya. Lima
bab tersebut akan diuraikan ke dalam satu bab pendahuluan, tiga bab
pembahasan, termasuk kerangka teori, serta satu kesimpulan dan rekomendasi.
Bab pertama merupakan landasan umum dalam penelitian ini atau yang
sering disebut proposal penelitian. Bagian ini berisi pendahuluan, yang terdiri
dari latar belakang masalah; permasalahan, yang diuraikan ke dalam tiga poin,
yakni identifikasi, pembatasan serta perumusan masalah yang akan menjadi
fokus kajian; peneltian/gagasan terdahulu yang relevan; tujuan; signifikansi
penelitian; dan terakhir, metodologi penelitian.
Bab kedua merupakan uraian tentang starting point permasalahan dan
kerangka teoritik yang mendasari penelitian ini. Pada bagian ini, peneliti akan
menelusuri dan mengkaji diskursus klasifikasi ilmu dalam tradisi intelektual
Islam, mulai dari makna, arti penting serta perspektif historis hubungan antara
wacana klasifikasi ilmu dan tradisi intelektual Islam. Selain itu, diangkat pula
pandangan para sarjana Muslim tentang klasifikasi ilmu yang mewakili berbagai
spektrum pemikiran Islam, yang secara spesifik dapat diringkas kepada filosof,
ilmuwan, dan teolog-Sufi.
Bab ketiga merupakan kajian akademik mengenai potret pemikiran
filsafat dan intelektualisme Ibn Sab‘i>n sebagai tokoh sentral dalam penelitian
ini. Di samping membahas kehidupan, karya dan posisi Ibn Sab‘i>n sebagai lokus
pemikiran, pada bagian ini pula penulis akan menyoroti karakter pemikiran dan
konsep-konsep filsafat yang digagas Ibn Sab‘i>n, yang tentunya akan sangat
terkait dengan secara konseptual dengan gagasannya tentang klasifikasi ilmu.
Ada empat poin konsep filosofis yang menjadi perhatian penulis di sini, di mana

73
Lubis, Filsafat Ilmu, 132. Tentang konsep-konsep yang digunakan Gadamer
dalam hermeneutikanya. Lihat Chris Lawn and Niall Keane, The Gadamer Dictionary
(New York: Continuum, 2011).
74
Jujun S. Suriasumantri, “Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan dan Keagamaan:
Mencari Paradigma Kebersamaan,” dalam Tradisi Baru Penelitian Agama: Tinjauan
Antar Disiplin Ilmu, ed. M. Deden Ridwan (Bandung, Nuansa, 2001), 2005.
26

keempatnya merupakan satu gambaran pemikirannya yang utuh. Pertama, al-


Wah}dah al-Mut}laqah (Kesatuan Mutlak); kedua, gagasannya manusia ideal,
yaitu al-Muh}aqqiq; ketiga, Mant}iq al-Muh}aqqiq sebagai sebuah tawaran
epistemik dan kritik Ibn Sab‘i>n terhadap logika Aristotelian; keempat,
pemikiran Ibn Sab‘i>n tentang etika yang dirumuskan menjadi dua pembahasan,
etika secara metafisik (mi>ta>fi>zi>qa> al-akhla>q atau al-akhla>q al-naz}ari>) dan etika
praksis (al-akhla>q al-‘amali>).
Bab keempat, gagasan pseudo-hierarki, yaitu kajian terhadap klasifikasi
ilmu dalam pandangan Ibn Sab‘i>n, merupakan upaya teorisasi atas pandangan
Ibn Sab‘i>n terhadap ilmu pengetahuan. Analisis pada bab ini menekankan pada
pandangan dunia (world view) Ibn Sab‘i>n tentang status ontologis objek ilmu.
Penulis akan mengeksplorasi paradigma pemikiran klasifikasi ilmunya dengan
mengkaji pemikiran epistemologi dan basis ontologis pemikiran klasifikasi
ilmunya sebagai lokus pemikiran. Selain itu, pada bab ini pula, deskripsi
klasifikasi ilmu Ibn Sab‘i>n yang ia bagi dalam tiga bagian besar, al-‘Ulu>m al-
Shar‘i>yah, al-‘Ulu>m al-Adabi>yah dan al-‘Ulu>m al-Falsafi>yah. Terakhir,
diuraikan pula analisis-reflektif penulis terhadap gagasan Ibn Sab‘i>n tentang
hierarki ilmu dengan segenap pandangan filosofis yang melingkupinya.
Bab kelima merupakan penutup yang berisi kesimpulan penelitian
sebagai jawaban dari masalah penelitian yang telah dirumuskan, juga
rekomendasi rasional dari kesimpulan penelitian.
27

BAB II
DISKURSUS KLASIFIKASI ILMU DALAM ISLAM

Bab ini merupakan uraian tentang starting point permasalahan yang


mendasari penelitian. Pada bagian ini, penulis akan menelusuri dan mengkaji
diskursus klasifikasi ilmu yang berkembang dalam tradisi intelektual Islam,
mulai dari makna, arti penting serta perspektif historis hubungan antara wacana
klasifikasi ilmu dan tradisi intelektual Islam. Selain itu, untuk “mendudukkan”
dinamika dan perkembangan wacana ini, diangkat pula pandangan para sarjana
Muslim tentang klasifikasi ilmu yang mewakili berbagai spektrum pemikiran
Islam, yang secara spesifik dirangkum kepada wakil dari kalangan filosof,
ilmuwan, dan teolog-Sufi, sebagai komunitas intelektual yang paling intens dan
refresentatif dalam mengkaji wacana klasifikasi ilmu.

A. Hakikat Klasifikasi Ilmu


Tidak seperti di Barat, di mana berbagai disiplin ilmu dengan segenap
metodologinya diposisikan secara random dan independen seperti dalam
pandangan Nubiola,1 Tondl,2 Powell,3 Cogswell4 dan Fleming,5 dalam tradisi

1
Jaime Nubiola, “The Classification of the Sciences and Cross-Disciplinarity,”
Transactions of the Charles S. Peirce Society vol. 41, No. 2 (Spring, 2005), 271-282.
http://www.jstor.org/stable/40321071 (diakses pada 14 Juli 2014). Bandingkan dengan
Richard Kenneth Atkins, “Restructuring the Sciences: Peirce's Categories and His
Classifications of the Sciences,” Transactions of the Charles S. Peirce Society, vol. 42,
No. 4 (Fall, 2006), 483-500. http://www.jstor.org/stable/40321346 (diakses pada 14 Juli
2014).
2
Ladislav Tondl, “What Is the Thematic Structure of Science?” Journal for
General Philosophy of Science / Zeitschrift für allgemeine Wissenschaftstheorie, vol. 29,
No. 2 (1998), 245-264. http://www.jstor.org/stable/25171121 (diakses pada 14 Juli
2014).
3
Lihat pandangan Powell tentang klasifikasi ilmu yang diterbitkan di jurnal
American Anthropologist tahun 1901. J.W. Powell, “Classification of the Sciences,”
American Anthropologist New Series, vol. 3, No. 4 (Oct. - Dec., 1901), 601-605. http://
www.jstor.org/stable/659084 (diakses pada 14 Juli 2014).
4
Diterbitkan pada tahun 1899. G.A. Cogswell, “The Classification of the
Sciences,” The Philosophical Review, vol. 8, No. 5 (Sept., 1899), 494-512. http://www.
jstor.org/stable/2176887 (diakses pada 14 Juli 2014).
5
Samuel Fleming, “The Classification of Science. II. Principles Classification,”
Science, vol. 2, No. 32 (Feb. 5, 1881), 51-53. http://www.jstor.org/stable/2900371
(diakses pada 14 Juli 2014). Dalam konteks epistemologi, mulai abad ke-20, di Barat
terjadi semacam penolakan terhadap paradigma lama (fundasionalis empiris dan
fundasionalis rasionalis) yang mengusung kesatuan metode dan kebenaran. Para
penggagas penolakan epistemik tersebut antara lain Kuhn (1922-1996), Gadamer (1900-
2002), Feyerabend (1924-1994), Foucault (1926-1984), Derrida (1930-2004) dan lainnya
dari kalangan post-positivisme atau antifundasonal. Kalangan ini mengusung pluralisme
paradigma, pluralisme metode dan kebenaran ilmiah. Sehingga, bagi kalangan ini, setiap
28

intelektual Islam dikenal klasifikasi hierarkis dalam berbagai disiplin ilmu.6


Pengelompokan berbagai disiplin ilmu tersebut diawali dari asumsi bahwa setiap
objek ilmu mempunyai karakteristik dan tabiatnya masing-masing. Oleh
karenanya, pengelompokan ini selalu berdasarkan objek ilmu tersebut.7
Pada bagian ini akan diuraikan arti dari wacana klasifikasi ilmu yang
berkembang dalam tradisi intelektual Islam, baik menyangkut prinsip maupun
karakteristik klasifikasi ilmu. Untuk mengetahui signifikansinya, pada bagian
ini juga dijelaskan arti penting wacana klasifikasi ilmu dalam tradisi intelektual
Islam.

1. Prinsip dan Karakteristik Klasifikasi Ilmu


Seperti yang telah disinggung di bab sebelumnya bahwa, secara historis,
sejak dari awal, hampir semua spektrum pemikiran Islam klasik yang diwakili
oleh para sarjananya, mencurahkan perhatian besar terhadap wacana klasifikasi
ilmu ini, mulai dari filosof, ilmuwan, teolog, fuqaha>’, sejarawan, hingga Sufi.

bidang ilmu punya paradigma dan ukuran kebenarannya sendiri yang independen. Lihat
misalnya Ahyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu dan Metodologi Posmodernis (Bogor:
Akademia, 2004), khususnya bab 2. Di Barat, dalam konteks hierarki ilmu, hal ini justru
menjadi “penyulut” perdebatan panjang terkait superioritas social science dan natural
science. Stephen Cole, “The Hierarchy of the Sciences?” American Journal of Sociology
Vol. 89, No. 1 (Juli 1983), 111-139. http://www.jstor.org/stable/2779049 (diakses pada
08 Mei 2014). Meski Descartes sendiri sebenarnya menggagas konsep “pohon ilmu”,
namun pada abad ke-18, seorang matematikawan Perancis, Jean d’Alembert menyatakan
bahwa semua bentuk klasifikasi ilmu telah gagal, dan ia mengusung kesatuan ilmu
pengetahuan. Lorraine Daston, “The Academies and the Unity of Knowledge: The
Disciplining and of the Disciplines,” Journal of Feminist Cultural Studies Vol. 10 No. 2
(1998), 67-85. http://e-resources.pnri.go.id:2122/search/document?cs=0&s.q=academies
+unity+knowledge (diakses pada 08 Februari 2014). Tentang “pohon ilmu” Descartes,
lihat Roger Ariew, “Descartes and the Tree of Knowledge,” Synthese Vol. 92 No. 1, The
Thought of Marjorie Grene (July, 1992), 101-116. http://www.jstor.org/stable/20117041
(diakses pada 9 Mei 2014).
6
Sayyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study (London: World
of Islam Festival Publishing Company ltd., 1976), 13-14. Terminologi tradisi intelektual
Islam tentu saja dimaknai sebagai sebuah tradisi di mana umat Muslim sangat
menghargai ilmu pengetahuan, sehingga berbagai ilmu pengetahuan berkembang subur.
Tentang perbedaan antara term tradisi Islam dan tradisi Muslim, lihat Yedullah Kazmi,
“Islamic Education: Traditional Education or Education of Tradition?,” Islamic Studies
Vol. 42, No. 2 (Summer 2003), 259-288. http://www.jstor.org/stable/20837271 (diakses
pada 30 Mei 2014).
7
Lihat misalnya, Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Dalam Perspektif
Filsafat Islam (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2003), 37-48. Menurut Kartanegara,
meskipun terdapat klasifikasi, objek-objek ilmu tersebut berintegrasi dalam sebuah
sistem terpadu secara berkesinambungan. Mulai dari objek yang bersifat metafisik,
imajinal, dan fisik, disajikan secara utuh dan tidak parsial. Bandingkan dengan
Alparsalan Acikgenc, “Holisitic Approach to Scientific Traditions,” Jurnal Islam &
Science Vol. 1 No. 1 (Juni 2003), 11-26. http://www.academia.edu/5355293/HOLISTIC
_APPROACH_TO_SCIENTIFIC_TRADITIONS (diakses pada 08 Januari 2014).
29

Menurut Sayyed Hossein Nasr, pemahaman tentang klasifikasi ilmu merupakan


kunci utama untuk memahami tradisi intelektual Islam.8
Kendati deskripsi dari konsep klasifikasi ilmu yang disusun para sarjana
Muslim tersebut sangat beragam, pada dasarnya, ada satu prinsip utama yang
menyatukan keragaman konsep klasifikasi ilmu itu, yakni prinsip Tauhid.
Dengan prinsip tersebut, bisa dipastikan, hampir semua konsep klasifikasi ilmu
yang disusun oleh para sarjana Muslim ini bersifat hierarkis dan integral. Dalam
arti, meskipun ilmu itu sendiri punya klasifikasi, pada akhirnya bagian-bagian
ilmu itu bersatu dalam “satu akar” filosofis, yakni prinsip Tauhid, menyatu
dalam ke-Maha Tunggal-an Tuhan.
Klasifikasi ilmu dalam Islam sejatinya didasarkan pada visi hierarkis
dan kesalingterkaitan antar disiplin ilmu yang memungkinkan terealisasinya
ketunggalan dalam kemajemukan.9 Kesalingterkaitan berbagai disiplin ilmu itu
layaknya sebuah pohon, al-Qur’an dan Hadits ibarat akar dan batang dari pohon
tradisi intelektual Islam, sementara ilmu-ilmu budaya, humaniora, filsafat, sains
dengan berbagai derivasinya seperti cabang-cabang pohon. Memang, di
antaranya ada yang lebih dekat kepada batang dan lainnya lebih jauh. Namun,
semuanya merupakan bagian yang integral dari sebuah organisme pohon tradisi
intelektual Islam yang subur. Lebih lanjut, Makdisi misalnya, menggunakan
simbol piramida/segitiga untuk menggambarkan kesatuan integral bidang-
bidang ilmu yang disusun oleh Ibn But}la>n (w. 461 H./1068 M.) yang secara
umum, klasifikasi ilmu yang disusun Ibn But}la>n terbagi kepada tiga bagian
besar, ilmu-ilmu keagamaan, ilmu-ilmu klasik/Awa>’il (filsafat dan ilmu alam),
dan Ilmu-ilmu Sastra. Oleh Makdisi, ilmu-ilmu keagamaan digambarkan ada di
sisi kanan, ilmu-ilmu klasik di sisi sebelah kiri dan ilmu-ilmu sastra di sisi
bawah sebagai penopang bagi kedua ilmu di atasnya.10
Karena berakar pada prinsip Tauhid yang memandang realitas bersifat
unipolar dan uniaksial, maka pengenalan dan pemahaman terhadap realitas
melalui berbagai tradisi keilmuan dengan sendirinya akan mengacu kepada
kebenaran realitas yang sama.11 Implikasinya, terdapat keterpaduan sistemik
yang inheren di antara tradisi keilmuan tersebut. Artinya, dengan prinsip
Tauhid, alam semesta ini tidak dipandang sebagai realitas terakhir -atau bahkan
satu-satunya realitas- sebagaimana yang diyakini oleh para ilmuwan sekuler
atau ateis, melainkan sebagai tanda-tanda (a>ya>t/sign) Tuhan. Mempelajari alam
semesta beserta segenap dinamikanya berarti sebuah upaya terdalam manusia
memaknai keagungan, pengetahuan, dan kebijaksanaan Tuhan. Upaya tersebut

8
Sayyed Hossein Nasr, “Foreword,” dalam Osman Bakar, Classification of
Knowledge in Islam: A Study in Islamic Philosophies of Science (Cambridge: The
Islamic Texts Society, 1998), xi.
9
Nasr, Islamic Science, 13. Lihat juga Nasr, “Foreword”, xi.
10
George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and
the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 75.
11
Lihat Muzaffar Iqbal, “Islam and Modern Science: Formulating the
Questions,” Islamic Studies Vol. 39, No. 4, Special Issue: Islam and Science (Winter
2000), 517-570. http://www.jstor.org/stable/23076112 (diakses pada 30 Mei 2014).
30

menurut Muhammad Iqbal (w. 1938 M.), merupakan suatu upaya untuk
mempelajari kebiasaan atau tingkah laku (sunnah) Tuhan karena alam semesta
tak lain merupakan medan kreativitas-Nya.12 Atau dalam bahasa Nasr,13 upaya
menelusuri jejak-jejak Tuhan.
Terintegrasinya berbagai disiplin ilmu dalam Islam pada dasarnya
merupakan manifestasi dari pandangan Tauhid yang melihat seluruh objek ilmu
itu sebagai “ayat-ayat Tuhan”.14 Ayat qawli>yah yang secara metodologis
merupakan sumber utama ilmu-ilmu agama (al-‘ulu>m al-naqli>yah) di satu sisi, di
sisi lain ayat kawni>yah sebagai sumber ilmu-ilmu umum (al-‘ulu>m al-adabi>yah
wa-al-falsafi>yah). Jika diasosiasikan, ayat qawli>yah dan kawni>yah ini, ibarat dua
sisi mata uang logam, keduanya tidak dapat dipisahkan dalam ke-Maha
Tunggal-an-Nya. Dengan demikian, jika ditelusuri sampai ke akar-akarnya,
tidak mungkin berbagai tradisi keilmuan Islam yang terefresentasikan dalam
konsep klasifikasi ilmu saling bertentangan dan kontradiktif, lantaran semuanya
merupakan “ayat Tuhan”. Jika pun ada kontradiksi di antara tradisi keilmuan
tersebut, bisa dipastikan hal itu berasal dari penafsiran atau pemahaman
penafsir.
Prinsip Tauhid inipun sekaligus menjadi “pemantik” lahirnya wacana
klasifikasi ilmu. Tauhid, sebagai intisari peradaban Islam, di tangan para sarjana
Muslim tidak hanya berhenti pada tataran teologis semata, lebih dari itu, Tauhid
menemukan tempatnya dalam ranah epistemologis. Ismail Raji Al-Faruqi dan
Lois Lamya al-Faruqi misalnya, menyatakan bahwa Tauhid mempunyai dua
dimensi: metodologis dan konseptual, dalam dimensi konseptual yang
menentukan isi peradaban Islam, Tauhid merupakan prinsip pertama dalam
metafisika, etika, estetika dan kemasyarakatan. Sedangkan dalam dimensi
metodologis yang menentukan bentuk peradaban Islam meliputi tiga prinsip,
yaitu kesatuan, rasionalisme dan toleransi.15 Tampaknya, prinsip inilah yang
menjadi “embrio” mengapa klasifikasi ilmu dalam tradisi intelektual Islam
bersifat hierarkis.
Pandangan integral-holistik dalam ilmu yang lahir dari prinsip Tauhid
ini pada gilirannya telah mendorong para sarjana Muslim untuk mengkaji
berbagai tradisi keilmuan, yang dalam istilah Raj, tradisi keilmuan tersebut

12
Muhammad Iqbal, The Recontruction of Religious Thought in Islam
(London: Oxford University Press, 1934), 56 dan 65.
13
Sayyed Hossein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian terj. Suharsono
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 223.
14
Kartanegara, Integrasi, 28. Lihat juga Husain Heryanto, Menggali Nalar
Saintifik Peradaban Islam (Bandung: Mizan, 2011), 52.
15
Isma’il R. Al-Faruqi dan Lois L. Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, terj. Mohd.
Ridzuan Othman et.al. (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian
Pendidikan Malaysia, 1992), 82-85. Senada dengan al-Faruqi, dengan mengelaborasi
konsep Tauhid Mulla Shadra, Mulayadhi Kartanegara menyatakan bahwa Tauhid
merupakan basis integrasi dalam objek, sumber, metode dan pengalaman manusia. Lihat
lengkapnya Kartanegara, Integrasi Ilmu, 13-21.
31

berasal dari berbagai “sirkulasi” peradaban dunia.16 Karenanya, seorang sarjana


Muslim klasik dengan sangat apik dapat menguasai berbagai cabang ilmu. Ibn
Si>na> (370-428 H./980-1037 M.) misalnya, selain seorang pakar ilmu kedokteran,
ia juga merupakan filosof tersohor, Sufi, dan h{a>fiz{ al-qur’a>n.17 Ja>bir ibn H{ayya>n
(102-199 H./721-815 M.) yang dikenal sebagai Bapak Kimia pertama di dunia
karena mendirikan laboratorium kimia pertama adalah juga seorang astronom,
matematikawan, kosmolog, juga Sufi.18 Tentunya, masih banyak yang lainnya.19
Selain merupakan manifestasi dari keutuhan pandangan integral-holistik
para sarjana Muslim, klasifikasi ilmu juga merupakan bentuk tanggung jawab
epistemologis dan etis untuk menjaga keharmonisan, proporsionalitas, dan
keseimbangan berbagai disiplin ilmu.20 Klasifikasi ilmu sejatinya merupakan
warisan berharga tradisi intelektual Islam yang harus dilestarikan dan
diaktualisasikan, khususnya dalam sistem pendidikan kontemporer.
Uraian di atas kiranya cukup menggambarkan bahwa wacana klasifikasi
ilmu dalam Islam hadir dan didorong kuat oleh spirit yang lahir dari prinsip
utama, yakni prinsip Tauhid. Semua bidang ilmu dalam klasifikasi, bersatu
dalam ke-Maha Tunggal-an-Nya. Selain itu, secara konseptual, klasifikasi ilmu
yang disusun para sarjana Muslim sebagai manifestasi ilmiah dari prinsip
Tauhid, dicirikan dengan karakter hierarkis. Artinya, bidang-bidang ilmu itu
pada akhirnya akan bermuara pada Yang Maha Tunggal sebagai puncak realitas
(the ultimate reality).

2. Arti Penting Klasifikasi Ilmu


Pernyataan Nasr bahwa pemahaman terhadap klasifikasi ilmu
merupakan kunci utama dalam memahami tradisi intelektual Islam,21
mengasumsikan sebuah pandangan tentang urgensi memahami wacana
klasifikasi ilmu, baik secara praksis, lebih-lebih secara teoritis. Dengan kata
lain, klasifikasi ilmu yang disusun oleh para sarjana Muslim klasik

16
Kapil Raj, “Beyond Postcolonialism and Postpositivism: Circulation and the
Global History of Science,” ISIS vol. 104, No. 2 (Juni 2013), 337-347.
http://www.jstor.org/stable/10.1086/670951 (diakses pada 14 Juli 2014).
17
Lihat Misalnya K. Ajram, The Miracle of Islamic Science (Lowa: Cedar
Rapids). Juga Natsir Arsyad, Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah (Bandung: Mizan,
1989). Bandingkan dengan Sayyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Chicago: ABC International Group Inc., 2001). 184.
18
Lihat Nasr, Science and Civilization, khususnya 158-168. Bandingkan
dengan Ajram, The Miracle, 28. Lihat juga Nasim Butt, Science and Muslim Society
(London: Grey Seal, 1991).
19
Lihat George Saliba, Islamic Science and the Making of European
Renaissance (Massachusetts: The MIT Press, 2007), khususnya Chapter 1 dan 2. Lihat
juga Jan P. Hogendijk and Abdelhamid I. Sabra (ed.), The Enterprise of Science in Islam
(Massachusetts: The MIT Press, 2003). Bandingkan dengan George Sarton, Ancient
Science and Modern Civilization (New York: Harper Torchbook, 1959), khususnya
bagian pertama.
20
Heryanto, Menggali Nalar, 54.
21
Nasr, “Foreword”, xi.
32

mencerminkan sebuah tradisi keilmuan yang berkembang subur kala itu. Sejarah
mencatat bahwa tradisi keilmuan Islam adalah tradisi dengan etos keilmuan
yang tinggi, tradisi yang sangat menghormati ilmu pengetahuan, tradisi yang
memposisikan “pencari ilmu” lebih tinggi derajatnya dibanding lainnya.
Menarik apa yang dikatakan Rosenthal bahwa, sepanjang sejarah peradaban
Islam, ilmu telah terbukti menjadi “istilah kultural yang unik” sekaligus “daya
pengubah” yang paling efektif.22 Tepat kiranya apa yang dinyatakan oleh
Johannes Pedersen23 dan Turner,24 bahwa ketekunan para ilmuwan Muslim
sangat mengagumkan, bahkan seringkali sulit dibayangkan.
Lepas dari romantisme sejarah itu, tak pelak lagi, memahami klasifikasi
ilmu dalam Islam berarti mengkaji, menelaah, serta menelusuri bidang ilmu apa
saja yang telah berkembang. Tidak mungkin suatu disiplin ilmu masuk dalam
deskripsi klasifikasi, jika disiplin ilmu itu sendiri secara eksistensial belum
berkembang. Inilah arti penting pertama memahami wacana klasifikasi ilmu.
Kedua, seperti yang telah diuraikan di atas, klasifikasi ilmu dalam
tradisi intelektual Islam merupakan basis yang kuat bagi epistemologi atau
pandangan keilmuan yang holistik dan integral, baik dalam segi materi, objek,
maupun sumber. Karenanya, secara teologis, pemahaman terhadap klasifikasi
ilmu ini seolah menyatakan betapa luasnya “Ilmu Tuhan”, dan bahwa semua
macam pengetahuan menyatu, berintegrasi satu sama lainnya dalam naungan ke-
Maha Pintar-an-Nya.25
Ketiga, dengan memahami diskursus klasifikasi ilmu dalam tradisi
intelektual Islam, perdebatan klasik tentang hubungan wahyu (revelation) dan
akal (reason) dalam Islam yang hingga saat ini boleh dikatakan masih “ramai”,
tampaknya dapat sedikit tercairkan.26 Pasalnya, dalam klasifikasi ilmu yang
memiliki visi hierarkis dan integral ini, sama sekali tidak mempertentangkan
berbagai sumber pengetahuan, khususnya akal dan wahyu sebagai sumber
utama. Berarti, dengan memahami klasifikasi ilmu dalam epistemologi Islam,

22
Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant (Leiden: E.J. Brill, 2007), 340-341.
Tentang relasi ilmu pengetahuan dan kekuasaan, lihat misalnya Maurice Kogan “Modes
of Knowledge and Patterns of Power,” Higher Education, Vol. 49, No. ½ Universities
and the Production of Knowledge (Januari-Maret 2005), 9-30. http://www.jstor.org/
stable/25068056 (diakses pada 08 Mei 2014).
23
Johannes Pedersen, The Arabic Book (Pricenton: Pricenton University Press,
1986), 20. Lihat juga Subhan M. A. Rachman, “Tradisi dan Inovasi Keilmuan Islam
Masa Klasik,” Jurnal Innovatio vol. 5 no. 10 (Juli-Desember 2006), 249-273.
24
Howard R. Turner, Science in Medieval Islam: An Illustrated Introduction
(Austin: University of Texas Press, 1995), 1-2.
25
Lihat Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam (Jakarta:
Baitul Ihsan, 2006), 63.
26
Mengenai perdebatan antara wahyu dan akal lihat misalnya Harun Nasution,
Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI Press, 2011). Bandingkan dengan misalnya,
Muh}ammad al-Sayyid al-Julaynad, Al-Wah}y wa-al-Insa>n: Qira>’ah Ma’rafi>yah (Kairo:
Da>r Quba>’, 2002). Tentang konstruk pemikiran rasional dalam tradisi Islam lihat John
Walbridge, God and Logic in Islam: The Caliphate of Reason (New York: Cambridge
University Press, 2011), khususnya bagian pertama.
33

seorang Muslim akan melihat keharmonisan antara dua sumber utama, wahyu
dan akal, yang keduanya, secara integral berasal dari Yang Maha Tunggal.27
Keempat, secara konseptual, perbedaan perspektif atau pendekatan
dalam memahami realitas, sering kali menjadi latar belakang yang menyebabkan
terjadinya berbagai “gesekan” teoritis maupun praksis antar individu atau
bahkan kelompok, yang memiliki kecenderungan pada bidang ilmu/pendekatan
tertentu serta mengabaikan pendekatan lainnya. Menariknya, perbedaan
perspektif atau pendekatan itu sering kali tidak disadari. Dalam hal ini, dengan
mengkaji dan memahami klasifikasi ilmu, secara metodologis akan terlihat
“saluran” utama, lewat mana ilmu pengetahuan diperoleh. Artinya, sebagaimana
dikatakan Fadaie,28 klasifikasi ilmu akan sangat membantu dalam mengorganisir
pemikiran ilmiah. Selain itu, klaim-klaim yang tinggi dalam keilmuan -yang
dalam batas tertentu bersifat subjektif-, dapat terhindarkan.29 Dalam arti, ketika
seseorang memahami klasifikasi ilmu, maka ia akan memahami bahwa apa yang
ia tahu hanya setitik dari luasnya ilmu pengetahuan, sekaligus ia akan terhindar
dari berbagai klaim keilmuan yang terlalu tinggi, baik klaim terhadap dirinya
sendiri, maupun terhadap orang lain.
Kelima, dalam “kacamata” pendidikan Islam kontemporer, secara
praksis, jika dikatakan bahwa kurikulum pendidikan saat ini dalam batas
tertentu meniru sistem kurikulum model Barat,30 tentu tidak sepenuhnya
pernyataan itu keliru. Pasalnya, pandangan dikotomik terhadap ilmu memang
saat ini sangat kuat lantaran didorong oleh hegemoni globalisasi yang
dinakhodai oleh Barat dalam berbagai bidang, ekonomi, politik, sains-teknologi,
intelektual, gaya hidup, tidak terkecuali pendidikan.31 Dalam ranah ini, Nasr

27
Tentang harmonisasi akal dan wahyu, lihat misalnya karya Ibn Rusyd, Fas}l
al-Maqa>l fi>-ma> bayna al-H{ikmah wa-al-Shari>’ah min al-Ittis}a>l, tah}qi>q Muh}ammad
‘Ima>rah (Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif, 1983). lihat juga Etienne Gilson, Reason and Revelation
in Middle Age (New York: Charles Scribner’s Sons, 1939).
28
Gholamreza Fadaie, Philosopher’s Worldview and Classification of
Knowledge, http://psyedu.ut.ac.ir/acstaff/Fadaei/articale/Cosmology%20and%20catego
rization.pdf (diakses pada 06 januari 2014). Lebih lanjut, dengan mengutip Challaye
(1999), Fadaie menyatakan bahwa klasifikasi ilmu merupakan tujuan utama filsafat.
29
Fenomena ini tentu dapat dengan mudah ditemukan dalam ranah sosio-
intelektual umat Islam. Dalam hai ini, menurut Hatina disebabkan oleh hilangnya
identitas pendidikan Islam yang sebenarnya (lost identity) dari umat Islam. Untuk itu
perlu dilakukan reedukasi-restoratif yang berkesinambungan. Meir Hatina, “Restoring a
Lost Identity: Models of Education in Modern Islamic Thought,” British Journal of
Middle Eastern Studies Vol. 33, No. 2 (Nov., 2006), 179-197. http://www.jstor.org/
stable/20455454 (diakses pada 15 Oktober 2014).
30
Lihat misalnya Nasr, Islamic Science, 13. Bandingkan dengan Khosrow
Bagheri and Zohreh Khosravi, “The Islamic Concept of Education Reconsidered,” The
American Journal of Islamic Social Sciences Vol. 23 No. 4 (2005) 88-103. http://
academia.edu/609872/The_Islamic_Concept_of_Education_Reconsidered (diakses pada
17 Januari 2014).
31
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 44-45. Lihat juga Hasanuddin,
34

menyatakan, Klasifikasi ilmu dengan visi hierarkis-holistiknya merupakan kunci


bagi sistem pendidikan Islam untuk mencegah para pendidik Muslim
kontemporer, sekaligus melepaskan diri dari kekacauan yang ada dalam sistem
kurikulum pendidikan saat ini.32 Artinya, tradisi klasifikasi ilmu itulah yang
“hilang” pada sarjana Muslim modern.33
Pada gilirannya, ketiadaan visi hierarkis-holistik ilmu itu menciptakan
terjadinya fragmented knowledge dan ketidakseimbangan ilmu-ilmu. Sejumlah
disiplin ilmu tertentu seperti sains alam dan fisika dikembangkan, sementara
disiplin ilmu sosial humaniora diterlantarkan. Bahkan, sejalan dengan paham
positivisme, disiplin ilmu sosial humaniora harus “tunduk” kepada paradigma
positivistik di bawah metode empirisme sains alam.34 Akibatnya, muncullah
aliran-aliran ilmu sosial dan humaniora yang “asing” dengan esensi kemanusiaan
itu sendiri. Fenomena fragmented knowledge pun pada gilirannya akan
melahirkan apa yang disebut oleh Laing dengan fragmented personality
(kepribadian yang terbelah).35 Dalam arti, peradaban modern yang positivistik
telah berhasil menekan seluruh bentuk transendensi kemanusiaan sehingga
manusia merasa “asing” dengan dirinya sendiri.
Lepas dari persoalan kemanusiaan itu, dalam konteks pendidikan hari
ini, memahami klasifikasi ilmu dalam Islam dengan visi hierarkis-holistiknya,
selain mampu menyeimbangkan berbagai potensi yang dimiliki peserta didik,
juga secara institusional, mempunyai andil yang cukup besar dalam penyusunan
serta implementasi kurikulum secara seimbang, proporsional dan profesional.
Walaupun visi hierarkis-integral ilmu pengetahuan ini pada tataran praksis
sering terjadi disharmoni,36 namun sekurang-kurangnya, klasifikasi ilmu

“Dominasi Peradaban Barat dalam Pendidikan Islam,” Lentera Pendidikan vol. 11 nomor
2 (Desember, 2008), 258-269. Mengenai perspektif historis hal ini, lihat misalnya
Shahrough Akhavi, “Islam and the West in World History,” Third World Quarterly Vol.
24, No. 3 (Jun., 2003), 545-562. http://www.jstor.org/stable/3993385 (diakses pada 30
Mei 2014).
32
Nasr, “Foreword”, xi. Bandingkan dengan J. Mark Halstead, “An Islamic
Concept of Education,” Comparative Education Vol. 40 No. 4 Special Issues (29):
Philosophy, Education and Comparative Education (November, 2004), 517-529.
http://www.jstor.org/stable/4134624 (diakses pada 30 Mei 2014). Lihat juga Arshad
Alam, “Science in Madrasas,” Economic and Political Weekly Vol. 40, No. 18 (30 April
- 06 Mei 2005), 1812-1815. http://www.jstor.org/stable/4416560 (diakses pada 08 Mei
2014).
33
Lihat Joseph E. B. Lumbard, “The Decline of Knowledge and the Rise of
Ideology in the Modern Islamic World,” dalam Islam, Fundamentalism and the Betrayal
of Tradition: Essays by Western Muslim Scholars, ed. Joseph E. B. Lumbard, 39-77.
www.worldwisdom.com/uploads/pdfs/293.pdf (diakses pada 18 Januari 2014).
34
Lihat Herbert Marcuse, One Dimensional Man (London: Routledge, 2002)
151-160.
35
R. D. Laing, The Divided Self (London: Penguin Books, 2010), 195.
36
Azra, Pendidikan Islam, xiii. Lihat juga Eric Hilgendorf, “Islamic Education:
History and Tendency,” Peabody Journal of Education, Vol. 78, No. 2 (2003), 63-75.
http://www.jstor.org/stable/1492943 (diakses pada 30 Mei 2014).
35

hierarkis secara konseptual dapat menjadi spirit dan pijakan kuat dalam sistem
pendidikan Islam saat ini yang setiap saat dapat direalisasikan.

B. Pandangan Sarjana Muslim


Hampir semua spektrum pemikiran Islam klasik yang diwakili oleh para
sarjananya, mencurahkan perhatian besar terhadap wacana klasifikasi ilmu ini,
mulai dari filosof, ilmuwan, teolog, fuqaha>’ sejarawan, hingga Sufi. Dalam
rentang waktu sejak al-Kindi> (185-252 H./796-866 M.) hingga Shah} Waliyulla>h
(1114-1176 H./1703-1762 M.), para sarjana Muslim telah banyak mencurahkan
perhatiannya terhadap tema ini.37 Nasr menuturkan,38 motif utama dibalik
semua usaha intelektual ini ialah berkaitan dengan niat untuk melestarikan
hierarki dan posisi setiap ilmu dalam totalitas pengetahuan.
Pada bagian ini akan diulas pandangan dan atau gagasan para sarjana
Muslim tentang klasifikasi ilmu yang mewakili berbagai spektrum pemikiran
Islam. Dalam hal ini, akan diangkat beberapa spektrum pemikiran Islam yang
gagasannya cukup merefresentasikan keseriusan para sarjana Muslim dalam
usaha penyusunan klasifikasi ilmu, yaitu filosof, ilmuwan, dan teolog-Sufi>’.
Nasr menyatakan bahwa dalam sejarah intelektual Islam, identifikasi suatu
aliran dengan seorang tokoh adalah sah.39 Karena itu, pemilihan tokoh yang
mewakili madzhabnya memungkinkan studi ini meliputi perspektif-perspektif
utama intelektual Islam. Menurut berbagai sumber, dalam wacana klasifikasi
ilmu, ketiga kalangan sarjana Muslim ini umumnya merupakan kalangan yang
cukup intens. Karenanya, literatur kontemporer yang mengkaji klasifikasi ilmu
selalu mengangkat gagasan klasifikasi ilmu dari tokoh yang mewakili ketiga
kalangan sarjana Muslim ini.
Selain itu, dengan pertimbangan bahwa tokoh-tokoh yang pemikiran
klasifikasi ilmunya akan diangkat merupakan wakil terkemuka aliran intelektual

37
Osman Bakar, Classification, 17. Bakar melanjutkan, selain sarjana Muslim,
banyak pula pemikir Yahudi dan Kristen abad pertengahan yang meyakini bahwa
klasifikasi ilmu merupakan cara terbaik untuk melestarikan dan menentukan posisi ilmu.
Lihat juga Lihat juga Syamsuddin Arif, “Ilmu dalam Perspektif Barat dan Islam:
Takrifan dan Pemetaan,”Centre for Advanced Studies of Islam, Science and Civilization
(CASIS) Kuala Lumpur. http://web.iaincirebon.ac.id/info/wp-content/uploads/2013/11/
Ilmu-Barat-Islam-Dr-SYAMS.pdf (diakses pada 14 Mei 2014). Tentang klasifikasi ilmu
dari kalangan Yahudi lihat misalnya klasifikasi yang disusun oleh Ibn Muymu>n atau
yang lebih dikenal dengan Maimonedes (529-601 H./1135-1204 M.) dalam Harry
Austryn Wolfson, “Note on Maimonides' Classification of the Sciences,” The Jewish
Quarterly Review New Series, vol. 26, No. 4 (Apr., 1936) 369-377. http://www.jstor.org/
stable/1452096 (diakses pada 14 Juli 2014). Juga tulisan Wolfson, “ADDITIONAL
NOTES: To the Article on the Classification of Sciences in Medieval Jewish Philosophy
Published in the Hebrew Union College Jubilee Volume, Pp. 263-315” Hebrew Union
College Annual vol. 3 (1926), 371-375. http://www.jstor.org/stable/23502532 (diakses
pada 14 Juli 2014).
38
Nasr, Science and Civilization in Islam, 59.
39
Sayyed Hossein Nasr, Introduction to Islamic Cosmological Doctrines
(London: Thames and Hudson, 1976), 22.
36

dalam Islam, maka gagasan-gagasan yang mendominasi pemikiran mereka


merupakan perspektif intelektual tertentu yang dimiliki dan dianut oleh banyak
pemikir. Di pihak filosof, akan diangkat klasifikasi ilmu yang disusun al-Fa>ra>bi>
(257-339 H./870-950 M.), yang merupakan wakil paling terkemuka aliran
Peripatetik. Juga al-‘A<miri> (w. 381 H./992 M.) seorang filosof Nisyapur yang
disebut-sebut sebagai pewaris utama al-Kindi>,40 filosof Peripatetik pertama di
dunia Islam. Selain dari kalangan Peripatetik, juga akan diangkat klasifikasi
ilmu yang disusun Qut}b al-Di>n al-Shi>ra>zi> (634-710 H./1236–1311 M.), mewakili
aliran Ishra>qi> (iluminasionis). Sedangkan di pihak ilmuwan, akan diulas
klasifkasi ilmu yang disusun oleh Ibn Khaldu>n (732-808 H./1332-1406 M.),
seorang sejarawan yang cukup berpengaruh di dunia Islam. Juga Shams al-Di>n
al-Amuli> (abad 9 H./15 M.), seorang ensiklopedis asal Persia, yang juga seorang
komentator atas karya In Si>na> dalam bidang kedokteran.41 Sementara, di pihak
teolog-Sufi’, akan diangkat klasifikasi ilmu yang punya pengaruh besar hingga
saat ini di dunia Islam, yakni klasifikasi ilmu yang disusun al-Ghaza>li> (450-505
H./1058-1111 M.).
Di samping itu, dalam konteks klasifikasi ilmu, pemilihan tokoh-tokoh
di atas juga didasarkan pada pertimbangan signifikansi historis. Al-Fa>ra>bi> dan
al-‘A<miri> umumnya dipandang sebagai wakil dari periode penting saat kegiatan
intensif dalam studi ilmu-ilmu filosofis. Al-Ghaza>li> hidup kurang lebih dua abad
kemudian dalam suatu periode yang ditandai oleh ketegangan intelektual antara
falsafah dan kala>m, ketegangan politik dan religius antara Sunni dan Syi’ah,
serta ketegangan spritual antara sufi esoterik dan Fuqaha>’ eksoterik. Dia
memainkan peran yang penting dalam meredakan sebagian ketegangan-
ketegangan ini.
Sedangkan Qut}b al-Di>n muncul dalam arena intelektual Islam dua abad
setelah al-Ghaza>li>. Dia mewakili satu di antara periode-periode penuh tantangan
dalam catatan sejarah Islam. Dia menjadi saksi kejatuhan Baghdad dan
keruntuhan berbagai pusat intelektual di kawasan timur Islam ke tangan bangsa
Mongol. Tidak lama setelah peristiwa tragis ini, muncul perkembangan baru
ilmu-ilmu filosofis. Qut}b al-Di>n dan gurunya Nas}i>r al-Di>n al-T{u>si> (597-672
H./1201-1274 M.), berada di barisan paling depan dalam gerakan intelektual
ini.42 Sementara Ibn Khaldu>n dan al-Amuli>, dalam konteks klasifikasi ilmu
berada dalam babak sejarah intelektual, di mana ilmu-ilmu kala itu mencapai
tingkat kematangannya. Karenanya kedua sarjana ini mengabdikan dirinya
untuk menjadi analis, ensiklopedis, sejarawan bahkan sosiolog dalam sosio-
intelektual kala itu.43

40
Lihat Peter S. Groff, Islamic Philosophy A-Z (Edinburg: Edinburg University
Press, 2007), 13.
41
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, vol. 2, trans. Liadain Sherrard
(London: Kegan Paul International, 1993), 277.
42
Bakar, Classification, 2.
43
Lihat Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study, 15. Juga Kartanegara,
Reaktualisasi, 65.
37

1. Pandangan Filosof
a. Al-Fa>ra>bi>
Dalam kajian klasifikasi ilmu, klasifikasi al-Fa>ra>bi> yang ia tuangkan
dalam karyanya Ih}s}a>’ al-‘Ulu>m disebut-sebut sebagai klasifikasi ilmu pertama
yang berpengaruh di dunia Islam,44 sehingga ia digelari “Guru Kedua (al-
mu‘allim al-tha>ni>)”. Bahkan menurut Bakar,45 klasifikasi al-Fa>ra>bi> ini menjadi
model bagi setiap penggagas klasifikasi ilmu pasca al-Fa>ra>bi>. Hal ini terlihat
jelas dalam klasifikasi yang disusun oleh kalangan filosof Peripatetik, misalnya
dalam klasifikasi Qut}b al-Di>n al-Shi>ra>zi> (634-710 H./1236–1311 M.)
sebagaimana yang akan dibahas, Ikhwa>n al-S{afa>’ (Abad ke 4-5 H./10-11 M.),46
dan Na>s}ir al-Di>n al-T{u>si> (597 H-672 H./1201–1274 M.).47
Basis ontologis klasifikasi ilmu yang disusun al-Fa>ra>bi> adalah teorinya
tentang hierarki wujud. Baginya, wujud-wujud itu mempunyai keutamaan yang
beragam, semakin tinggi derajat kesempurnaan wujud sesuatu, maka semakin
tinggi pula derajat ilmu yang mempelajari sesuatu itu. Berikut skema hierarki
dengan urutan menurun:48
(1) Tuhan sebagai sebab awal dan sebab bagi wujud lainnya di puncak
hierarki;
(2) Malaikat yang merupakan wujud imateriil an sich;
(3) Benda-benda langit;
(4) Benda-benda bumi.
Dalam karyanya Ih}s}a>’ al-‘Ulu>m, Al-Fa>ra>bi> menyusun klasifikasi ilmu
dengan merincinya kepada enam bagian besar:49 Pertama Linguistik atau (‘ilm
al-lisa>n). Menurut al-Fa>ra>bi>, dalam semua peradaban di dunia, ilmu ini
mempunyai tujuh bagian, termasuk di dalamnya etimologi, gramatika dan
sintaksis.50 Kedua Logika atau al-mant}iq. Sebagai seorang Aristotelian, bagian
ini oleh al-Fa>ra>bi> klasifikasikan kepada delapan bagian sesuai dengan karya-

44
Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study, 14.
45
Bakar, Classification, 3.
46
Tentang klasifikasi ilmu yang disusun Ikhwa>n al-S{afa>’, lihat Godefroid De
Callataÿ, “The Classification of the Sciences According to Ikhwa>n al-S{afa>’”, The
Institute of Ismaili Studies (2003), 8-9. http://www.iis.ac.uk/SiteAssets/pdf/rasail_
ikhwan.pdf (diakses pada 23 Agustus 2013).
47
J. Shephenson, “The Classification of the Sciences According to Nasiruddin
Tusi” ISIS Vol. 5, No. 2 (1923), 329-338. http://www.jstor.org/stable/223732 (diakses
pada 14 Juli 2014).
48
Lengkapnya Abu> Nas}r al-Fa>ra>bi, Ara>’ Ahl al-Madi>nah al-Fa>d}ilah, ed. Albi>r
Nas}ri> Na>dir (Beirut: Da>r al-Mashriq, 1968), 37-80. Lihat juga Nurisman, “Pemikiran
Metafisika al-Fa>ra>bi>,” Jurnal DINIKA vol. 3 no. 1 (Januari 2004), 83-100.
49
Abu> Nas}r al-Fa>ra>bi>, Ih}s}a>’ al-‘Ulu>m, ed. ‘Ali> Bu> Mulh}im (Beirut: Da>r wa-
Maktabat al-Hila>l, 1996), 17-87.
50
Lengkapnya lihat Al-Fa>ra>bi>, Ih}s}a>’ al-‘Ulu>m, 17-25. Lihat juga Bakar,
Classification, 121.
38

karya Aristoteles.51 Ketiga Matematika (‘ilm al-ta‘a>lim). Yang termasuk ke


dalam bagian ini ada tujuh cabang ilmu dengan berbagai derivasinya, yaitu
aritmetika, geometri, optik, astronomi, musik, ilmu tentang berat benda dan
teknologi.52
Keempat fisika atau ilmu kealaman (‘ilm al-t}abi>‘i>) yang mempunyai
delapan sub bagian utama, di antaranya biologi, botani dan minerologi.53 Kelima
metafisika (‘ilm al-ila>hi>) yang memiliki tiga cabang besar, yaitu ontologi,
epistemologi dan tentang wujud-wujud non-fisik.54 Keenam adalah gabungan
dari ilmu politik (‘ilm al-mada>ni>), yurisprudensi (‘ilm al-fiqh) dan teologi
dialektis (‘ilm al-kala>m).55 Berikut bagan lengkap klasifikasi ilmu yang disusun
al-Fa>ra>bi>.

51
Al-Fa>ra>bi>, Ih}s}a>’ al-‘Ulu>m, 45-46. Delapan karya Aristoteles tersebut ialah
Categories, On Interpretation, Prior Analytic, Posterior Analytic, Topic, Sophistic,
Rhetoric dan Poetic.
52
Al-Fa>ra>bi>, Ih}s}a>’ al-‘Ulu>m, 49-65. Menarik untuk didiskusikan, J.M. Long
pada tahun 1886 juga menerbitkan sebuah tulisan tentang klasifikasi matematika.
Berbeda dengan para ilmuwan di Barat pada umumnya, Long memandang bahwa
matematika adalah disiplin ilmu terbaik di antara lainnya. Ia membagi matematika
kepada dua bagian besar yaitu (1) matematika geometris (geometrical mathematics)
yang terbagi ke dalam dua cabang, geometri konstruktif (constructive geometry) dan
matematika demonstratif (demonstrative geometry) dengan berbagai derivasinya dan (2)
matematika kompulatif yang ia klasifikasikan ke dalam dua cabang, yaitu cabang
analisis dan aritmetika, juga dengan berbagai turunannya seperti kalkulus dan aljabar.
Lihat lengkapnya J.M. Long, “Classification of the Mathematical Sciences,” The
Journal of Speculative Philosophy, vol. 20, No. 4 (Oktober, 1886), 417-425.
http://www.jstor.org/stable/25668119 (diakses pada 14 Juli 2014).
53
Al-Fa>ra>bi>, Ih}s}a>’ al-‘Ulu>m, 67-74. Lihat juga Bakar, Classification, 123.
54
Al-Fa>ra>bi>, Ih}s}a>’ al-‘Ulu>m, 75-77. Lihat juga misalnya Fadlou Shehadi,
Metaphysics in Islamic Philosophy (New York: Caravan Books, 1982), khususnya
bagian al-Fa>ra>bi>.
55
Al-Fa>ra>bi>, Ih}s}a>’ al-‘Ulu>m, 79-90.
39

Gambar 1: Klasifikasi al-Fa>ra>bi>


40

Klasifikasi ilmu yang digagas al-Fa>ra>bi> terlihat banyak menonjolkan


ilmu filosofis. Diasumsikan bahwa dengan hal ini al-Fa>ra>bi> bertujuan untuk
menjadikan logika dan ilmu filosofis dikenal lebih baik dan lebih umum diterima
di kalangan kaum Muslim dan dunia Islam. Klasifikasi tersebut juga merupakan
upaya al-Fa>ra>bi> menggambarkan ilmu filosofis di atas ilmu religius. Selain itu,
dengan klasifikasinya, al-Fa>ra>bi> juga tampaknya ingin mengajukan landasan
metodologis bahwa ilmu filosofis lebih unggul dibanding ilmu religius seperti
halnya dalam tradisi Peripatetik. Filsafat menggunakan metode penalaran
demonstratif, sedangkan ilmu religius menggunakan metode dialektis.
Bagi al-Fa>ra>bi>, arti penting dari klasifikasi ilmu yang telah ia susun
ialah,56 pertama, klasifikasi ilmu dimaksudkan sebagai petunjuk umum ke arah
berbagai ilmu, kedua, klasifikasi itu memungkinkan seseorang memahami
hierarki ilmu, ketiga, berbagai bagian dari klasifikasi ilmu tersebut dapat
memberikan sarana bermanfaat dalam menentukan sejauh mana spesialisasi
dapat ditentukan, dan keempat, klasifikasi tersebut menginformasikan bagi para
pengkaji tentang apa yang seharusnya dipelajari sebelum seseorang mengklaim
dirinya ahli dalam bidang ilmu tertentu. Lepas dari tujuannya tersebut, Majid
Fakhry berpendapat bahwa pada sasarnya, klasifikasi ilmu yang disusun al-
Fa>ra>bi> merupakan gambaran paling jelas dari segenap pandangan ontologisnya.57

b. Al-‘A<miri>
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa al-‘A<miri> (w. 381 H./992 M.)
adalah filosof Muslim yang karya-karyanya terdokumentasi paling baik dalam
rentang setengah abad antara al-Fa>ra>bi> (257-339 H./870-950 M.) dan Ibn Si>na>
(370-428 H./980-1037 M.) selain Ibn Miskawayh (320-421 H./932-1030 M.).
Ada sekitar 25 judul buah karya al-‘A<miri yang cukup dikenal, enam -atau tujuh
menurut sumber lain- di antaranya telah dipublikasikan.58
Meskipun al-‘A<miri tidak belajar langsung kepada al-Kindi> (185-252
H./796-866 M.), namun “madzhab” al-Kindi> tersebut ia dapatkan dan
kembangkan dengan baik dari murid utama al-Kindi>, yakni Abu> Zayd al-Balkhi>
(w. 322 H./934 M.). Pemikiran filosofis al-‘A<miri yang tertuang dalam karya-
karyanya seolah membuktikan bahwa pernyataannya tentang ia adalah penerus
“madzhab” al-Kindi> (185-252 H./796-866 M.) bukan hanya pernyataan belaka.59
Salah satu karya utamanya, al-I‘la>m bi-Mana>qib al-Isla>m, merupakan
karya yang memuat pandangan-pandangan filosofisnya yang mengesankan

56
Al-Fa>ra>bi>, Ih}s}a>’ al-‘Ulu>m, 16.
57
Majid Fakhri, “The Ontological Argument in the Arabic Tradition: The Case
of al-Fa>ra>bi>,” Studia Islamica No. 64 (1986), 5-17. http://www.jstor.org/stable/1596043
(diakses pada 15 Oktober 2014).
58
Lihat Everett K. Rowson, “Al-‘A<miri>,” dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat
Islam buku pertama, ed. Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, terj. Tim Penerjemah
Mizan (Bandung: Mizan, 2003), 267-268.
59
Rowson, “Al-‘A<miri>”, 268.
41

tentang hubungan harmonis antara akal dan wahyu.60 Dalam karyanya inilah
gagasan al-‘A<miri> tentang klasifikasi ilmu dapat ditelusuri.61 Dalam karyanya
tersebut, al-‘A<miri> mengklasifikasikan ilmu dengan membaginya kepada dua
bagian besar.62 Pertama rumpun ilmu-ilmu keagamaan (al-‘ulu>m al-
milli>yah/religious science) yang memiliki tiga cabang besar disesuaikan dengan
sifat objeknya yaitu, empiris seperti tradisi para ahli Hadits, rasional seperti
dalam tradisi para teolog, dan gabungan empiris-rasional seperti dalam tradisi
Fuqaha>’. Kedua, rumpun ilmu-ilmu hikmah (al-‘ulu>m al-h}ikmi>yah/philosophical
science). Seperti halnya ilmu agama, bagian ini pun mempunyai tiga cabang
besar, yaitu: empiris seperti dalam tradisi para fisikawan, rasional seperti tradisi
para ahli metafisika, dan gabungan empiris-rasional seperti dalam tradisi para
matematikawan. Berikut bagan klasifikasi ilmu yang disusun al-‘A<miri>.

Gambar 2: Klasifikasi al-‘A<miri>

Bagi al-‘A<miri>, bidang ilmu linguistik atau tradisi para ahli bahasa
(s}ana>‘ah al-lughah) dan logika (s}ana>‘ah al-mant}iq) tidak masuk dalam kategori
di atas. Lingustik dan logika oleh al-‘A<miri> kategorikan sebagai ilmu penunjang
bagi ilmu-ilmu di atas, linguistik merupakan penunjang (al-mu’ayyinah) untuk
menghasilkan ilmu keagamaan (al-‘ulu>m al-milli>yah), sedangkan logika
merupakan penunjang bagi ilmu-ilmu filosofis (al-‘ulu>m al-h}ikmi>yah).63
Yang menarik adalah penggunaan kata al-millah dalam bidang ilmu
agama. Dibanding klasifikasi tokoh lain yang biasanya menggunakan istilah

60
Mengenai kritik terhadap konstruk epistemologi al-‘A<miri> lihat misalnya
Paul L. Heck, “The Crisis of Knowledge in Islam: The Case of al-‘A<miri>,” Philosophy
East and West vol. 56, no. 1 (Januari 2006), 106-135. http://e-resources.pnri.go.id:2056/
docview/216882843/fulltextPDF?accountid=25704 (diakses pada 16 Januari 2014).
61
Abu> al-H{asan al-‘A<miri>, al-I‘la>m bi-Mana>qib al-Isla>m, ed. Ah}mad ‘Abd al-
H{ami>d Ghura>b (Riya>d{: Da>r al-As}a>lah li-al-Thaqa>fah wa-al-Nashr wa-al-I‘la>m, 1988).
62
Al-‘A<miri>, al-I‘la>m bi-Mana>qib al-Isla>m, 80-81.
63
Al-‘A<miri>, al-I‘la>m bi-Mana>qib al-Isla>m, 80-81.
42

di>ni>yah atau shar’i>yah, penggunaan kata al-milli>yah yang dipilih al-‘A<miri


memiliki keluwesan tersendiri. Artinya, ia tidak mengasumsikan bahwa hanya
Islam yang mempunyai segenap tradisi keilmuan dalam klasifikasi itu, tapi juga
agama-agama berbasis kepercayaan pun memilikinya, dengan asumsi bahwa
istilah millah lebih umum dibanding di>n.64

c. Qut}b al-Di>n al-Shi>ra>zi>


Qut}b al-Di>n al-Shi>ra>zi (634-710 H./1236–1311 M.) muncul dalam salah
satu babak sejarah Islam yang penting, ia menjadi saksi keruntuhan Baghdad
dengan segenap tradisi intelektualnya di tangan Mongol pada pertengahan abad
13 M.65 Tidak lama setelah peristiwa tragis ini, muncul perkembangan baru
ilmu-ilmu filosofis di daratan Persia. Qut}b al-Di>n bersama gurunya, Nas}i>r al-Di>n
al-T{u>si> (597-672 H./1201-1274 M.) atau yang dikenal dengan sebutan Khwa>jah
Nas}ir> , berada di barisan paling depan dalam gerakan intelektual ini.66
Berbagai sumber menyebutkan bahwa, selain seorang filosof
iluminasionis (ishra>qi>),67 Qut}b al-Di>n juga merupakan seorang fisikawan handal,
dokter, astronom, ahli fiqh, bahkan Sufi. Berbagai bidang ilmu dalam tradisi
intelektual Islam dengan sangat apik ia kuasai, hingga ia digelari al-mutafannin
(ahli dalam berbagai bidang ilmu).68 Tak kurang dari sekitar 50 risalah karyanya
dalam berbagai bidang ilmu termasuk beberapa syair yang ia tulis dalam bahasa
Arab maupun Persia,69 selain karya ensiklopedis-filosofisnya, yakni Durrat al-
Ta>j. Dalam karya inilah gagasan klasifikasi ilmu ia susun.
Dalam Durrat al-Ta>j, sebagaimana yang dikutip Bakar, Qut}b al-Di>n
mengklasifikasikan ilmu ke dalam dua bagian besar,70 yaitu ilmu-ilmu filosofis
dan non-filosofis. Pertama, Ilmu-ilmu filosofis (‘ulu>m al-h}ikmi>) oleh Qut}b al-
Di>n klasifkasikan menjadi dua subbagian, yakni (1) teoritis (naz}ari>) yang
meliputi metafisika, matematika, fisika dan logika dengan berbagai cabang
mayor dan minornya, dan (2) praktis (‘amali>), yang termasuk di dalamnya etika,
politik dan ekonomi.71

64
Lihat misalnya Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam
Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), 218.
65
Lihat Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, Bagian kesatu & dua,
terj. Ghufron A. Mas’adi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), 204. Lihat juga Harun
Nasution, Islam Ditinjau dalam Berbagai Aspeknya Jilid I (Jakarta: UI-Press, 2010), 76.
66
Bakar, Classification, 2.
67
Sayyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present:
Philosophy in the Land of Prophecy (New York: SUNY Press, 2006), 160-163. Ishra>qi>
merupakan salah satu aliran dalam filsafat Islam yang didirikan oleh al-Suhrawardi> al-
Maqtu>l (549-587 H./1154-1191 M.). Lihat lengkapnya Hossein Ziai, “Syiha>b al-Di>n al-
Suhrawardi>: Pendiri Mazhab Iluminasi,” dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam Buku
Pertama, 544.
68
Groff, Islamic Philosophy A-Z, 192. Bandingkan dengan Corbin, History of
Islamic Philosophy, 329.
69
Bakar, Classification, 264.
70
Bakar, Classification, 249-257.
71
Bakar, Classification, 252.
43

Kedua, Ilmu-ilmu non-filosofis (‘ulu>m ghayr al-h}ikmi> ). Ilmu-ilmu ini


dianggap sebagai istilah lain dari ilmu religius. Qut}b al-Di>n mengklasifikasikan
bagian ini ke dalam dua bagian besar,72 yaitu ilmu tentang: (1) prinsip-prinsip
dasar agama atau us}u>l al-di>n, di dalamnya termasuk ilmu-ilmu yang
berhubungan dengan Tuhan dan ke-Tuhan-an. (2) Cabang-cabang agama atau
furu>‘ al-di>n, yang terbagi kepada dua subbagian besar, yaitu maqa>s}id atau ilmu
yang dianggap sebagai tujuan yakni ilum-ilmu al-Qur’an, ilmu-ilmu Hadits, Fiqh
dan Ushul Fiqh dengan berbagai ramifikasinya. Selanjutnya ‘ilm al-lughah atau
linguistik seperti etimologi, idiomatologi, kritik sastra, semantik dan lain-lain.
Berikut skema lengkap klasifikasi ilmu yang disusun Qut}b al-Di>n.

72
Kategorisasi ini menurut Qut}b al-Di>n didasarkan atas pembagiannya
terhadap ilmu religius/non-filosofis kepada: (1) Naqli>, yaitu ilmu-ilmu yang hanya dapat
dibangun dengan bukti-bukti yang dinukilkan dari otoritas-otoritas relevan.
Menurutnya, furu>‘ al-di>n masuk dalam bagian naqli>, karena ilmu-ilmu ini tidak dapat
ditetapkan tanpa bukti naqli>. (2) ‘Aqli>, yaitu ilmu yang dapat dibangun dengan intelek
manusia, meskipun tanpa bukti naqli>. Us}u>l al-di>n masuk dalam bagian ‘aqli>, karena
dapat dibuktikan hanya dengan akal manusia, meskipun tanpa bukti naqli>. (3) Naqli>
sekaligus ‘aqli>, bagian ini merujuk pada ilmu yang ditetapkan baik melalui akal manusia
maupun dengan penukilan dari otoritas-otoritas keagamaan. Lihat Bakar, Classification,
257-8.
44

Gambar 3: Klasifikasi Qut}b al-Di>n al-Shi>ra>zi>


45

Sebagaimana halnya al-Fa>ra>bi>, Qut}b al-Di>n pun memasukkan ilmu-ilmu


al-Qur’an, Hadits dan kebahasaan sebagai ilmu yang ditransmisikan. Namun
yang perlu dicermati, pembagian ilmu cabang agama (‘ulu>m ghayr al-h}ikmi>)
Qut}b al-Di>n memperlihatkan kesan “tumpang tindih” antara ilmu-ilmu al-
Qur’an dan kesusastraan. ‘Ilm al-I‘ra>b, semantik (‘ilm al-ma‘a>ni>) dan ‘ilm al-
Baya>n, selain menjadi cabang dari ilmu al-Qur’an, juga cabang dari ilmu sastra.
Penjelasan yang tampaknya menjadi alasan persoalan ini adalah bahwa bahasa
Arab merupakan unsur sentral baik dalam ilmu al-Qur’an maupun sastra. Bahasa
Arab berkenaan dengan struktur bahasa al-Qur’an, sekaligus merupakan media
ungkapan sastra di kalangan kaum Muslimin pada masa Qut{b al-Di>n.
Melihat deskripsi klasifikasi Qut}b al-Di>n, tampak sekali bahwa ia dapat
melakukan sintesis terhadap klasifikasi al-Fa>ra>bi> sebagai pendahulunya.
Penggunaan istilah h}ikmah bagi ilmu filosofis dan ghayr h}ikmah bagi ilmu non-
filosofis cukup signifikan dalam konteks historis, setelah sebelumnya filsafat
dikritik al-Ghaza>li> sehingga filsafat seolah menjadi “terlarang” dalam sosio-
intelektual dunia Islam. Di samping itu, dalam klasifikasinya, Qut}b al-Di>n juga
menekankan ilmu-ilmu filosofis sebagai ilmu-ilmu yang sama di setiap masa dan
peradaban, dan sebagai ilmu tentang sifat-sifat dasar dari hal-hal yang
merupakan aspek kekal alam raya. Sementara ilmu non-filosofis adalah ilmu
yang berkaitan dengan shari>‘ah. Ilmu-ilmu ini tentu tidak sama dalam setiap
masa dan peradaban, karena Tuhan telah mewahyukan shari>‘ah-shari>‘ah yang
berbeda untuk ras-ras manusia dalam rentang sejarah yang berbeda pula. Karena
itu, Qut}b al-Di>n tidak melukiskan perbedaan antara agama dan filsafat dalam
kerangka perbedaan antara wahyu dan akal. Pada titik ini, ia mewarisi
pandangan khas al-Fa>ra>bi> bahwa filsafat adalah milik manusia, sedangkan
agama adalah milik ras tertentu.

2. Pandangan Ilmuwan
a. Ibn Khaldu>n
Seorang sejarawan genius ini bernama lengkap Abu> Zayd ‘Abd al-
Rah{ma>n Ibn Khaldu>n al-H{ad{rami>, ia lahir di Tunis pada 732 H./1332 M., dan
meninggal pada 808 H./1406 M. Masa hidupnya adalah masa di mana lima
dinasti berkuasa di Barat Islam, Marini>yah di Maroko, Banu> ‘Abd al-Wa>did di
Aljazair, H{afs}i>yah di Tunisia, Na>s}iri>yah di Granada dan Mamluk di Mesir.73
Masa ini (abad 14) juga disebut-sebut sebagai masa neo-hanbalism di Timur
Islam, yang ditandai dengan kuatnya pengaruh pemikiran teologi Ibn Taymi>yah
(661–728 H./1263–1328 H.).74

73
Lihat lengkapnya Abderrahmane Lakhsassi, “Ibn Khaldun,” dalam
Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam Buku Pertama, 440-456. Bandingkan dengan Majid
Fakhry, A History of Islamic Philosophy Third Edition (New York: Columbia
University Press, 2004), 334-343. Juga dengan A. al-Azmeh, Ibn Khaldun: An Essay on
Interpretation (New York: Central European University Press, 2003). Juga Groff,
Islamic Philosophy, 78-81.
74
Fakhry, A History, 334.
46

Dalam Islam, sebagaimana yang dinyatakan Toynbee juga para peneliti


lain,75 Ibn Khaldu>n dikenal sebagai peletak dasar sosiologi, karena, dengan karya
monumentalnya, Muqaddimat Kita>b al-‘Ibar,76 ia secara apik dan komprehensif
mampu mengeksplorasi apa yang ia sebut al-‘umra>n (organisasi manusia/cultural
science), yang selanjutnya disebut sosiologi.77
Dalam Muqaddimah-nya, Ibn Khaldu>n membagi sosiologi (al-‘umra>n)
kepada enam bagian besar: sosiologi umum (al-‘umra>n al-bashari>), sosiologi
pedesaan (al-‘umra>n al-badawi>), sosiologi politik (al-‘umra>n al-dawli>), sosiologi
perkotaan (al-‘umra>n al-bulda>ni>), sosiologi ekonomi (al-‘umra>n al-ma‘a>shi>), dan
terakhir sosiologi ilmu dan pendidikan (al-‘umra>n al-‘ilmi> wa-al-ta’li>mi>).78
Dalam kelompok terakhir inilah (sosiologi ilmu dan pendidikan), gagasannya
tentang klasifikasi ilmu dituangkan.
Dalam Muqaddimah-nya, tepatnya dalam pembahasan sosiologi ilmu
dan pendidikan, Ibn Khaldu>n membagi ilmu kepada dua kelompok besar,79 yaitu
pertama Ilmu-ilmu Naqli>yah (Transmitted Science) yang terdiri dari ilmu-ilmu
yang membahas tentang: (1) Al-Qur’an (‘Ulu>m al-Qur’an) seperti‘Ulu>m al-
Tafsi>r, baik penafsiran melalui transmisi (naqli>) maupun penafsiran kebahasaan
(lughawi>),80 dan ‘Ilm al-Qira>’ah atau ilmu cara membaca al-Qur’an. (2) Al-
Hadits (‘Ulu>m al-H{adi>th), termasuk di dalamnya ilmu Hadits riwa>yah dan
dira>yah.81 (3) Yurisprudensi (al-Fiqh), (4) prinsip-prinsip yurisprudensi (Us}u>l al-
Fiqh), (5) linguistik, (6) teologi (7) tasawuf, (8) tafsir ayat-ayat mutasha>biha>t,
dan (9) tabir mimpi.82
Kedua, Ilmu-ilmu rasional/’Aqli>yah (Rational Science). Seperti halnya
klasifikasi Qut}b al-Di>n misalnya, dalam klasifikasi Ibn Khaldu>n pun ilmu

75
Lakhsassi, “Ibn Khaldun”, 445-446. Bandingkan dengan Muhsin Mahdi, Ibn
Khaldun’s Philosophy of History: A Study in the Philosophic Foundation of the Science
of Culture (Chicago: University of Chicago Press, 1964).
76
Selain Muqaddimah, karya Ibn Khaldu>n lainnya antara lain adalah Luba>b al-
Muh}as}s}al fi> Us}u>l al-Di>n, S}ifa>’ al-Sa>’il li-Tahdhi>b al-Masa>’il, dan Kita>b al-‘Ibar wa-
di>wa>n al-Mubtada>’ wa-al-Akhba>r fi> Ayya>m al-‘Arab wa-al-‘Ajam wa-al-Barbar wa-Man
‘As}arahum min Dhawi> al-Sult}a>n al-Akhba>r. Dalam karya yang disebut terakhir inilah
karyanya Muqaddimah menjadi pendahuluan yang panjang, meskipun pada gilirannya,
Muqaddimah justru menjadi lebih populer. Lihat Lakhsassi, “Ibn Khaldun”, 444-445.
77
Syed Farid Alatas, “Ibn Khaldu>n and Contemporary Sociology,”
International Sociology vol. 21:6 (November 2006), 782-795.
http://www.arabphilosophers.com/English/discourse/east-west/Knwoledge/Ibn_Khaldun
_and_Contemporary_%20Sociology.pdf (diakses pada 29 Maret 2014). Lihat juga
Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam (Jakarta: Baitul Ihsan, 2006),
66.
78
‘Abd al-Rah{ma>n ibn Muh}ammad ibn Khaldu>n, Muqaddimat Ibn Khaldu>n,
tah}qi>q ‘Abdullah Muh}ammad al-Darwi>sh (Damaskus: Da>r Ya’rib, 2004).
79
Ibn Khaldu>n, Muqaddimah, 171. Lihat juga Kartanegara, Reaktualisasi, 65.
80
Ibn Khaldu>n, Muqaddimah, 173.
81
Ibn Khaldu>n, Muqaddimah, 177.
82
Ibn Khaldu>n, Muqaddimah, 185-199.
47

rasional terbagi kepada empat bagian besar yaitu:83 (1) logika (‘ilm al-mant}iq),
yang sama halnya dengan klasifikasi-klasifikasi sebelumnya, Ibn Khaldu>n pun
membagi logika kepada delapan bagian sesuai dengan karya Aristoteles.84 (2)
Fisika (‘ilm al-t}abi>‘i>), termasuk di dalamnya ilmu kedokteran, biologi, zoologi,
botani, minerologi dan ilmu pertanian.85 (3) Matematika (‘ilm al-ta‘a>li>m),
bagian ini oleh Ibn Khaldu>n bagi kepada beberapa bagian, yaitu yang
berhubungan dengan ilmu tentang bilangan dengan berbagai ramifikasinya,
geometri, musikologi dan astronomi.86 (4) Metafisika (‘ilm al-ila>hi>ya>t), ia juga
menyebut ilmu ini sebagai ‘ilm ma> wara>’ al-t}abi>‘ah. termasuk di dalamnya
ontologi, kosmologi, eskatologi dan teologi.87

83
Rumpun ilmu ini menurutnya disebut juga ilmu-ilmu falsafah dan hikmah
(‘ulu>m al-falsafah wa al-h}ikmah). Ibn Khaldu>n, Muqaddimah, 248.
84
Ibn Khaldu>n, Muqaddimah, 262.
85
Ibn Khaldu>n, Muqaddimah, 267.
86
Lihat lengkapnya Ibn Khaldu>n, Muqaddimah, 253-271.
87
Ibn Khaldu>n, Muqaddimah, 271. Teologi (‘ilm al-kala>m), menurut Ibn
Khaldu>n awalnya masuk dalam rumpun ilmu naqli>yah, namun pada masanya, perdebatan
dalam ilmu kalam ternyata merambah pada masalah metafisika, sehingga ilmu ini
tercampur dengan masalah-masalah filosofis. Lihat Ibn Khaldu>n, Muqaddimah, 271.
Karenanya, teologi dalam rumpun metafisika lebih diasumsikan sebagai teologi
skolastik.
48

Gambar 4: Klasifikasi Ibn Khaldu>n


49

Secara historis, klasifikasi ilmu yang disusun oleh Ibn Khaldu>n


merupakan klasifikasi yang ditulis setelah ilmu-ilmu mencapai tingkat
kematangannya,88 karenanya, ia lebih komprehensif dan dapat mengakomodasi
setiap bidang ilmu yang belum berkembang pada masa para pendahulu Ibn
Khaldu>n. Hal ini terlihat misalnya dengan hadirnya fara>’id} (ilmu waris), ilmu
t\abir mimpi serta beberapa cabang dalam ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadits.

b. Al-Amuli>
Shams al-Di>n Muh{ammad al-Amuli> adalah seorang pemikir dan
ensiklopedis asal Amul, sebuah provinsi di Tabaristan, sebelah selatan laut
Kaspia, Iran. Menurut beberapa sumber, tidak ada keterangan pasti pada tahun
berapa ia lahir dan wafat, yang pasti ia hidup pada abad ke-8 H./ke-14 M.89
Namun menurut al-Zarkali> (w. 1396 H.) dalam karyanya al-A‘la>m, al-Amuli>
wafat pada 753 H./1352 M.90 Ia hidup sezaman dengan ‘Ad}ud al-Di>n al-I<ji> (708-
756 H./1308-1355 M.), seorang teolog sunni terkemuka asal Iran, penulis karya
tentang teologi sunni, al-Mawa>qif fi ‘Ilm al-Kala>m.91
Pada akhir pemerintahan Uljaytu (Muh{ammad Khudabindah) yang
merupakan saudara dari raja Muh{ammad Ghazan Khan, atau tepatnya pada
tahun 716 H./1316 M., al-Amuli> menjabat guru besar di Madrasah Sult}a>ni>yah
Azerbeijan. Ia menulis Sharh al-Qanu>n li Ibn Si>na>, sebuah karya yang khusus
mengomentari karya Ibn Si>na> dalam bidang kedokteran, al-Qanu>n fi al-T{ibb.
Selain itu, ia juga menulis Ibra>z al-Ma‘a>ni Kulli>ya>t al-Qanu>n li-Ibn Si>na>, sebuah
komentar atas ensiklopedi dalam bidang kedokteran yang ditulis oleh murid Ibn
Si>na, yakni al-I<la>qi> (w. 485 H./1092 M.), Sharh Kuli>ya>t al-Qanu>n li-Ibn Si>na>.92
Terlepas dari dua karya besarnya itu, al-Amuli> justru lebih dikenal melalui karya
ensiklopedisnya yang berjudul Nafa>’is al-Funu>n (unsur-unsur berharga dalam
sains) yang ditulis pada rentang waktu antara 1335-1342 M.93 Dalam karya
ensiklopedis inilah al-Amuli> menuangkan gagasannya tentang klasifikasi ilmu.
Yang menarik dalam klasifikasi ilmu al-Amuli> adalah adanya dua
bentuk klasifikasi. Klasifikasi pertama adalah klasifikasi ilmu dilihat dari
materinya. Bagian ini, ilmu diklasifikasi menjadi filosofis dan non-filosofis.94
Pertama filosofis, yang terbagi kepada: (1) ilmu-ilmu teoritis (naz}ari>), cabang ini

88
Kartanegara, Reaktualisasi, 65.
89
Corbin, History of Islamic Philosophy, 277.
90
Khayr al-Di>n al-Zarkali>, al-A‘la>m jilid 7 (Beirut: Da>r al-‘Ilm li-al-Mala>yi>n,
2002), 87.
91
Selain al-Mawa>qif, karya al-I<ji> lainnya adalah al-‘Aqa>’id al-‘Ad}udi>yah, al-
Risa>lah al-‘Ad}udi>yah, al-Fawa>’id al-Ghayathi>yah, Ashraf al-Tawa>ri>kh dalam bidang
linguistik, Jawa>hir al-Kala>m sebagai ringkasan al-Mawa>qif dalam bidang teologi, dan
Sharh Mukhtas}ar Ibn al-H{a>jib dalam bidang Us}u>l al-Fiqh. Al-Zarkali>, al-A‘la>m, jilid 3,
295.
92
Corbin, History of Islamic Philosophy, 277. Lihat juga al-Zarkali>, al-A‘la>m
jilid 7, 87. Tentang al-I<la>qi> lihat al-Zarkali>, al-A‘la>m jilid 7, 148.
93
Corbin, History of Islamic Philosophy, 277.
94
Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study, 16.
50

mempunyai tiga bagian besar, yaitu metafisika, matematika dan fisika, dan (2)
ilmu-ilmu praktis (‘amali>). yang mempunyai dua bagian besar, yakni ilmu
praktis/perilaku manusia yang berhubungan dengan individu (etika), dan kolektif
(politik dan ekonomi). Kedua, non-filosofis yang dibagi menjadi dua bagian
besar yakni: (1) Religious science (ilmu agama) yang terdapat dua bentuk, ‘aqli>
(rational) dan naqli> (transmitted), serta (2) Non-religious science (ilmu non-
agama).

Gambar 5: Klasifikasi I al-Amuli>

Sedangkan klasifikasi yang kedua adalah klasifikasi ilmu dilihat dari


asal ilmu tersebut. Bagian ini, al-Amuli> klasifikasikan menjadi dua bagian
besar.95 Pertama, Ilmu-ilmu klasik/kuno (al-awa>’il/early science), yang termasuk
di dalamnya antara lain filsafat teoritis, filsafat praktis, prinsip-prinsip
matematika dengan berbagai cabangnya dan lain-lain. kedua, Ilmu-ilmu baharu
(al-awa>khir/late science), bagian ini diklasifikasikan menjadi empat cabang
besar yaitu linguistik, yurisprudensi, tasawuf dan humaniora.

95
Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study, 16.
51

Gambar 6: Klasifikasi II al-Amuli>

Sama halnya seperti Ibn Khaldu>n, klasifikasi al-Amuli> pun digagas


ketika ilmu pengetahuan mencapai tingkat kematangannya. Hal ini dinyatakan
oleh Nasr,96 bahwa di antara semua klasifikasi ilmu yang digagas para sarjana
Muslim, klasifikasi al-Amuli> lebih lengkap dibanding lainnya, termasuk Ibn
Khaldu>n. Deskripsi klasifikasi di atas merupakan skema klasifikasi secara
umum, artinya, semua bidang ilmu yang kala itu berkembang tidak akan lepas
dari empat jenis ilmu di atas.

3. Pandangan Teolog-Sufi; Klasifikasi Ilmu Al-Ghaza>li>


Tidak berlebihan jika dalam banyak literatur dikatakan bahwa, dengan
melihat karya-karyanya, empat posisi sekaligus, filosof, fuqaha>’, teolog dan
Sufi, disandarkan kepada seorang intelektual muslim ini. Abu> H{a>mid
Muh{ammad ibn Muh{ammad ibn Muh{ammad ibn Ah}mad al-T{u>si> al-Ghaza>li> lahir
pada 450 H./1058 M. di T{u>s, kota terbesar kedua di Khurasan setelah Nisyapur,
tempat di mana banyak dilahirkannya kalangan terpelajar dalam Islam, seperti
penyair al-Firdawsi> (w. 416 H./1025 M.), al-Farmadhi> (w. 477 H./1084 M.), Sufi
yang juga salah satu guru Tasawuf al-Ghaza>li>, dan negarawan Niz}a>m al-Mulk
(w. 495 H./1092 M.).97

96
Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study, 15.
97
Lihat Ibn Khallika>n, Wafiya>t al-A‘ya>n, tah{qi>q Ih}sa>n ‘Abba>s juz 4 (Beirut:
Da>r S{a>dir, 1978), 216-219. Lihat juga Massimo Campanini, “Al-Ghaza>li>,” dalam Nasr
dan Leaman (ed.), Ensiklopedi Tematis, Buku Pertama, 319-338. Lihat juga Groff,
Islamic Philosophy, 45-47.
52

Namun perlu dikatakan di sini, dalam konteks klasifikasi ilmu, posisi al-
Ghaza>li> adalah sebagai seorang teolog-Sufi. Hal diasumsikan bahwa hampir
semua karyanya yang memuat gagasan klasifikasi ilmu sebagaimana yang akan
diurai di depan, adalah karya-karya dalam bidang kala>m dan tasawuf, atau
sekurang-kurangnya adalah karya yang ditulis ketika posisi intelektualnya
sangat mengapresiasi kala>m dan tasawuf.
Sebagai seorang teolog, keseriusan karier intelektual al-Ghaza>li> dimulai
ketika di Nisyapur, berguru kepada seorang teolog Ash‘ari>yah paling tersohor di
zamannya, Ima>m al-H{aramayn Abu> al-Ma‘a>li> al-Juwayni> (w. 478 H./1085 M.).
Di bawah bimbingan al-Juwayni>lah ia secara komprehensif mengadopsi prinsip-
prinsip utama teologi Ash‘ari>yah.98 Campanini menyatakan bahwa, al-Ghaza>li>
telah berhasil mengubah kala>m Ash‘ari>yah menjadi basis dialektis dalam
upayanya menghidupkan agama dan menjadikannya kerangka kuat bagi
pemikiran filsafat dan tasawufnya.99 Artinya, apa yang dilakukan al-Ghaza>li>
terhadap kala>m menandai babak baru dalam sejarah disiplin ilmu itu. Tak heran
jika Ibn khaldu>n (732-808 H./1332-1406 M.) menyebutkan al-Ghaza>li> sebagai
seorang sarjana religius yang memperkenalkan metode mutakallimu>n mutakhir
(t}ari>qah al-muta’akhkhiri>n).100 Hal ini ditandai dengan karyanya Taha>fut al-
Fala>sifah yang banyak memuat teori-teori filsafat Peripatetik, namun al-Ghaza>li>
sendiri mengklaim bahwa karya itu adalah karya dalam bidang kala>m.101
Bidang studi lain yang menarik pikiran al-Ghaza>li> selama di Nisyapur
adalah tasawuf. Ia mempelajari teori dan praktiknya di bawah bimbingan al-
Farmadhi> (w. 477 H./1084 M.), al-Ghaza>li> pun mengikuti t}ari>qah-nya serta
meniru setiap praktik yang diperlihatkan al-Farmadhi> di hadapannya.102 Di
waktu lain, lama sebelum al-Ghaza>li> menulis Taha>fut al-Fala>sifah -yang selesai

98
Campanini, “Al-Ghaza>li>,”, 321. Al-Subki> mengatakan bahwa, sebelum usia
al-Ghaza>li> 15 tahun, ia pergi ke Jurja>n untuk studi dalam bidang fiqh kepada Abu> Nas}r
al-Isma>‘i>li>, lalu pada usia 17 tahun, ia kembali ke T{u>s, kemudian sebelum usianya 20
tahun, ia pergi ke Nisyapur untuk melanjutkan studi dalam bidang kala>m kepada al-
Juwayni>. Al-Juwayni>lah yang memperkenalkan al-Ghaza>li> pada studi filsafat, termasuk
logika dan filsafat alam. Karena al-Juwayni> adalah seorang mutakallim \(teolog), maka ia
menanamkan pengetahuan tentang filsafat melalaui kala>m. Ta>j al-Di>n al-Subki>, T{abaqa>t
al-Shafi‘i>yah al-Kubrá juz 6, tah{qi>q Mah{mu>d Muh{ammad al-T{ana>h{i> (Beirut: Da>r al-
Nashr, 1992), 202-210.
99
Campanini, “Al-Ghaza>li>,”, 321-2.
100
Ibn Khaldu>n, Muqaddimah juz 2, 213. Al-Ghaza>li> memuji para teolog
(mutakallimu>n) sebagai orang yang telah diberi ilham oleh Tuhan untuk
memperjuangkan ortodoksi dengan cara diskusi sistematis (kala>m) agar tersingkap tipu
muslihat yang diperkenalkan para ahli bid’ah (mubtadi‘ah). Lihat al-Ghaza>li>, Al-
Munqidh min al-D{ala>l, tah}qi>q Ka>mil ‘Iya>d dan Jami>l S{ali>ban (Beirut: Da>r al-Andalus,
1967). 71-72.
101
al-Ghaza>li>, Jawa>hir al-Qur’a>n (Jimali>yah Mesir: Kurdista>n al-‘Ilmi>yah, 1329
H.), 25-26. Selain Taha>fut, karya lain yang juga diklaim oleh al-Ghaza>li> sebagai karya
dalam bidang kala>m adalah al-Iqtis}a>d fi al-I‘tiqa>d, al-Mustaz}hiri>, H{ujjat al-H{aqq,
Mih}akk al-Naz}ar dan Mi‘ya>r al-‘Ulu>m.
102
MacDonald sebagaimana dikutip Bakar, Classification, 158.
53

pada awal 488 H.-, ia menganut doktrin Sufi bahwa kashf (cahaya intuisi) lebih
unggul dibandingkan akal.103 Dalam karya autobiografinya, al-Munqidh min al-
D{ala<l, Al-Ghaza>li> mengaku, bahwa pada bulan Rajab 488 H. atau enam bulan
setelah selesai Taha>fut, ia mengalami krisis spritual yang hebat karena studi
tasawufnya. Ia menyatakan diri telah menguasai ajaran tasawuf baik melalui
tulisan para Sufi seperti al-Muh{a>sibi> (w. 243 H./837 M.), al-Junayd (w. 298
H./854 M.), al-Shibli> (w. 334 H./945 M.) dan al-Bust}a>mi> (w. 262 H./875 M.)
maupun melalui pengajaran-pengajaran lisan.104
Dari krisis ini, pada Dzulqa’dah 488 H./1095 M., al-Ghaza>li>
meninggalkan Baghdad tempat ia mengajar, dan memilih untuk mangasingkan
dan mencurahkan diri pada jalan Sufi. Pilihan ini ia jalani selama sebelas tahun,
seraya berpindah-pindah tempat demi mencari “penawar” krisisnya, hingga ia
berhasil merampungkan karya tasawuf yang peling monumental, Ih{ya>’ ‘Ulu>m al-
Di>n pada 499 H./1106 M. di T{u>s.105
Namun setelah itu, al-Ghaza>li> diminta mengajar di madrasah niz}a>mi>yah
Khurasan oleh wazir Seljuk, Fakhr al-Mulk, putera Niz}a>m al-Mulk. Ia mengajar
di Khurasan selama kurang lebih tiga tahun. Kemudian pada 504 H./1110 M. ia
kembali ke rumahnya di T{u>s serta mendirikan madrasah dan kha>nqa>h106
(semacam biara Sufi) bagi para Sufi. Di sini ia menghabiskan hidupnya sebagai
pengajar dan guru Sufi hingga ia wafat pada 14 Juma>da> al-Tha>ni> 505 H./18
Desember 1111 M.107 Periode sebelas tahun pengasingan spiritual al-Ghaza>li>
meyakinkan dirinya bahwa “kaum Sufi adalah orang-orang yang secara unik
menempuh jalan Tuhan, cara hidup mereka adalah cara hidup yang terbaik, jalan
mereka adalah jalan yang paling langsung dan etika mereka adalah yang
termurni”.108
Karena al-Ghaza>li> sendiri adalah seorang Sufi termasyhur dan juga
menemukan keyakinan pada jalan kaum Sufi, ia dapat memberikan uraian
otentik mengenai metodologi Sufi, yang menurutnya merupakan metode paling
sempurna menuju pada pengetahuan tentang realitas yang benar. Artinya, bagi
al-Ghaza>li>, tasawuf bukan hanya sekedar jalan individu untuk mencapai

103
Al-Ghaza>li>, Al-Munqidh, 67-68. Lihat juga Sayyed Hossein Nasr, Islamic
Life and Thought (New York: SUNY Press, 1981), 71-72.
104
Al-Ghaza>li>, Al-Munqidh, 100-104.
105
Lengkapnya lihat al-Ghaza>li>, Al-Munqidh, 100-109. Lihat juga Bakar,
Classification, 164. Dalam Ih}ya>’ yang ditulis setelah krisis spiritual yang mengantarkan
al-Ghaza>li> berpaling kepada tasawuf, ilmu-ilmu kealaman secara potensial berbahaya
bagi agama, kecuali ilmu-ilmu praktis seperti kedokteran (al-t}ibb). Al-Ghaza>li>, Ih}ya>’
‘Ulu>m al-Di>n juz I, tah}qi>q Badawi> T{aba>nah (Semarang: T{a>ha> Pu>tra>, tt.), 23.
106
Tentang kha>nqa>h lihat Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Ensiklopedi Tasawuf jilid II (Bandung: Angkasa, 2008), 683-8.
107
Ibn Khallika>n, Wafiya>t al-A‘ya>n, IV, 218.
108
al-Ghaza>li>, Al-Munqidh, 106. Lihat juga Campanini, “Al-Ghaza>li>”, 327. Al-
Ghaza>li> dalam al-Munqidh-nya menyebut kaum Sufi sebagai arba>b al-ah}wa>l (para
penguasa hal-hal) bukan as}h}a>b al-aqwa>l (pemasok kata-kata). Ia melukiskan kaum Sufi
sebagai orang-orang yang mengklaim bahwa hanya merekalah yang dapat ikut dalam
kehadiran Tuhan serta memiliki muka>shafah dan musha>hadah.
54

kesempurnaan, tetapi konsepsi utuh dan bangunan rasional tentang kehidupan


yang meliputi etika dan moralitas, perilaku dan keyakinan, juga kosmologi dan
metafisika.109
Dalam konteks klasifikasi ilmu, sebagai pembela kala>m, ia meletakkan
akal di bawah wahyu. Sedangkan sebagai seorang Sufi, ia mendudukkan akal di
bawah intuisi mistis (kashf dan dhawq). Konsekuensi keduanya adalah
superioritas ilmu-ilmu religius atas ilmu-ilmu intelektual/rasional. Dibanding
dengan klasifikasi ilmu lain, jenis klasifikasi ilmu yang disusun al-Ghaza>li>
memang lebih kompleks. Sekurang-kurangnya ada dua belas jenis klasifikasi
ilmu yang terdapat dalam enam karya yang memuat gagasan klasifikasi ilmu,
dilihat dari berbagai sudut pandang, dan tentu saja, kompleksitas ini juga
sebagai konsekuensi logis dari perkembangan pemikiran al-Ghaza>li> secara
historis. Yang perlu dicatat adalah, sebagian dari jenis klasifikasi hanya berbeda
dalam penamaannya saja. Karenanya, meskipun jenis klasifikasi al-Ghaza>li>
beragam, namun secara konseptual, antara klasifikasi satu dengan lainnya
mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan.110
Dalam Ih}ya>’-nya, al-Ghaza>li> membagi ilmu kepada fard{ ‘ayn (wajib atas
setiap individu) dan fard} kifa>yah (wajib atas umat). Pembagian ini didasarkan
pada perbedaan dua tipe kewajiban yang berhubungan dengan pencarian ilmu
tersebut. Ketika menjelaskan ilmu fard{ ‘ayn, al-Ghaza>li> mengatakan bahwa
tidak ada kesepakatan antara sarjana Muslim ilmu apa saja yang masuk dalam
rumpun ilmu ini. Akibatnya, mereka terpecah kepada sekitar dua puluh
kelompok. Namun yang pasti, menurutnya, ilmu fard{ ‘ayn adalah ilmu yang
kewajiban mempraktekannnya sudah dikenal oleh setiap kaum Muslimin.111
Namun ketika menjelaskan ilmu fard} kifa>yah, al-Ghaza>li> mengatakan,
bagian ilmu ini tidak dapat diketahui kecuali diketahui terlebih dahulu
klasifikasi ilmu yang lain. Menurutnya, ilmu tebagi kepada dua bagian besar,
religius (shar’i>yah) dan non religius (ghayr shar’i>yah):112 Pertama, ilmu religius
yang menurutnya, keseluruhan bagian ilmu ini adalah fard} kifa>yah dan terpuji
(mah{mu>dah). Tetapi seringkali terjadi kekeliruan atas ilmu yang dianggap
shar‘i>yah padahal ilmu itu tercela (madhmu>mah), karenanya, ia membagi ilmu

109
Campanini, “Al-Ghaza>li>”, 330.
110
Tentang bagian dari klasifikasi ilmu al-Ghaza>li> lihat Alexander Treiger, “Al-
Ghaza>li>’s Classification of the Sciences and Descriptions of the Highest Theoritical
Science,” Dîvân DİSİPLİNLERARASI ÇALIŞMALAR DERGİSİ vol. 1 (2011), cilt 16
sayi 30, http://www.academia.edu/2344293/Al-Ghazalis_Classifications_of_the_
Sciences_and_Descriptions_of_the_Highest_Theoretical_Science (diakses pada 03
April 2014). Bandingkan dengan Bakar, Classification, 203-220.
111
“‘Ilm al-‘amal alladhi> huwa mashhu>r al-wuju>b ‘alá al-muslimi>n la>-ghayr”.
Al-Ghaza>li>, Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n I, 14-16.
112
Al-Ghaza>li>, Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n I, 17. Ilmu shar‘i>yah adalah ilmu yang
ditransmisikan dari para Nabi -dan pengikutnya- (ma> ustufida min al-anbiya>’), bukan
dari penalaran akal, observasi (tajribah) dan mendengarkan (sima>‘).
55

shar‘i>yah ini kepada ilmu mah{mu>dah dan madhmu>mah,113 dengan hanya merinci
bagian mah{mu>dah saja.114 Al-Ghaza>li> membagi ilmu mah{mu>dah kepada empat
cabang, yakni prinsip-prinsip agama (al-us}u>l), cabang-cabang (al-furu>‘), ilmu-
ilmu pengantar (al-muqaddima>t) seperti ilmu bahasa, dan ilmu-ilmu
penyempurna (al-mutammima>t) seperti ilmu tajwid dan semua cabang ilmu al-
Qur’an.
Kedua, ilmu-ilmu Non religius (ghayr shar‘i>yah). Dengan basis etika-
religius, bagian ini, al-Ghaza>li> klasifikasikan kepada tiga cabang: (1) yang
terpuji (mah}mu>d) mencakup kepada ilmu-ilmu fard{ kifa>yah seperti aritmetika
dan kedokteran, dan ilmu-ilmu penyempurna (al-fad}i>lah) seperti memperdalam
ilmu kedokteran dan aritmetika.115 (2) Ilmu-ilmu tercela (madhmu>m) seperti
sihir dan klenik,116 dan (3) Ilmu muba>h} (yang hanya diperbolehkan untuk
mencarinya). Termasuk dalam kategori ini adalah ilmu puisi/sastra (al-‘ilm bi al-
ash‘a>r) ilmu sejarah/geneologi (al-‘ilm bi al-tawa>rikh al-akhba>r).

113
Di bagian lain al-Ghaza>li> mengklasifikasikan parameter keterpujian sebuah
ilmu menjadi tiga bagian: (1) yang tercela keseluruhannya (madhmu>m qali>luhu wa-
kathi>ruhu) seperti sihir, (2) yang terpuji keseluruhannya (mah}mu>d qali>luhu wa-
kathi>ruhu) seperti ilmu tauhid, dan (3) yang terpuji bagi sebuah komunitas jika ada salah
seorang yang mengkajinya (mah}mu>d bi-qadr al-kifa>yah), termasuk di dalamnya adalah
seluruh cabang ilmu fard} kifa>yah. Al-Ghaza>li>, Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n I, 39.
114
Al-Ghaza>li>, Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n I, 17.
115
Al-Ghaza>li>, Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n I, 17
116
Menurut al-Ghaza>li>, sebuah ilmu dapat dikatakan tercela (madhmu>m) jika
mempunyai tiga kriteria: (1) dapat mendatangkan kemadharatan, baik bagi orang yang
memilikinya maupun bagi orang lain, seperti ilmu sihir, (2) dapat mendatang
kemadharatan bagi orang yang memilikinya dalam sebagian besar kehidupannya, seperti
astrologi/ramal (‘ilm al-nuju>m), (3) tidak mempunyai manfaat bagi yang mendalaminya
seperti memperdalam metafisika (ta‘allum asra>r al-ilahi>ya>t). Al-Ghaza>li>, Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-
Di>n I, 29.
56

Gambar 7: Klasifikasi I al-Ghaza>li>


57

Di bagian lain Ih}ya>’-nya (jilid 3, bagian I), al-Ghaza>li> juga


mengklasifikasikan ilmu kepada dua bagian dengan istilah yang kurang lebih
sama,117 yaitu pertama ilmu Shar‘i>yah/di>ni>yah (religius), yaitu ilmu yang di
transmisikan (bi-t}ari>q al-naqli>yah), dan kedua ilmu‘Aqli>yah
(intelektual/rasional), baik pengetahuan tentang aksioma-aksioma yang
langsung diperoleh tanpa melalui penalaran (D{aru>ri>yah) maupun ilmu-ilmu
rasional yang diperoleh melaui penalaran akal (Muktasabah).
Klasifikasi dengan peristilahan yang sama juga al-Ghaza>li> nyatakan
dalam al-Mustas}fa> min ‘ilm al-us}u>l.118 Ia megklasifikasikan ilmu kepada,
pertama, rasional (‘aqli>yah) seperti ilmu kedokteran, aritmatika dan geometri.
Kedua ilmu-ilmu religius (di>ni>yah), yang terbagi kepada dua cabang, (1)
universal (kulli>yah), yaitu ilmu kalam, dan (2) partikular (juz’i>yah), yang di
dalamnya termasuk yurisprudensi (al-fiqh), prinsip yurisprudensi (us}u>l al-fiqh),
kelompok ilmu-ilmu Hadits, kelompok ilmu-ilmu al-Qur’an, dan mistisisme
(‘ilm al-ba>t}in).
Begitu juga di bagian lain dalam al-Mustas}fa>, al-Ghaza>li> pun menyusun
klasifikasi ilmu yang sedikit berbeda dengan klasifikasi di atas. Ia membagi ilmu
kepada tiga bagian: (1) rasional murni (‘aqli> mah}d}ah) seperti aritmatika,
geometri dan perbintangan (‘ilm al-nuju>m), yang menurutnya tidak dianjurkan
untuk mencarinya, (2) ilmu-ilmu yang murni ditransmisikan (naqli> mah}d}ah)
seperti ilmu Hadits dan tafsir, dan (3) ilmu rasional sekaligus ditransmisikan
(‘aqli> wa-naqli>) seperti yurisprudensi (al-fiqh) dan prinsip-prinsip yurisprudensi
(us}u>l al-fiqh).119
Dalam karyanya yang lain, maqa>s}id al-fala>sifah, al-Ghaza>li> membagi
ilmu kepada dua bagian besar, pertama ilmu-ilmu praktis (al-‘amali>), yaitu
kelompok ilmu yang berguna untuk mengatur kehidupan di dunia, sekaligus
memiliki nilai ukhrawi. Bagian ini terbagi kepada tiga cabang berdasarkan
kelompok manusia, individu, keluarga dan masyarakat.120 Kedua, ilmu teoritis
(al-naz}ari>), yaitu ilmu untuk mengetahui sesuatu sebagaimana adanya. Bagian
ini al-Ghaza>li> klasifikasikan secara hierarkis kepada tiga bagian,121 metafisika,
matematika dan fisika dengan berbagai ramifikasinya.122
Sementara, di bagian lain dalam ih}ya>’-nya, ketika menjelaskan basis
etik pengetahuan, al-Ghaza>li> menyebut kelompok ilmu teoritis ini dengan
falsafah, yang terbagi kepada empat bagian: matematika (al-hindasah wa-al-

117
Al-Ghaza>li>, Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n III, 15-16.
118
Al-Ghaza>li>, al-Mustas}fa> min ‘Ilm al-Us}u>l juz I, tah}qi>q Hamzah ibn Zahi>r
(Madi>nah: al-Ja>mi‘ah al-Isla>mi>yah - Kulli>yat al-Shari>‘ah al-Madi>nah al-Munawwarah,
tt.), 12.
119
Al-Ghaza>li>, al-Mustas}fa> I, 3-4.
120
Al-Ghaza>li>, Maqa>s}id al-Falasifah, tah}qi>q Mah}mu>d Bayju> (Damaskus:
Mat}ba‘at al-D{iba>h}, 2000), 61-64.
121
Al-Ghaza>li>, Maqa>s}id al-Falasifah, 62-64.
122
Berbeda dengan Qut}b al-Di>n yang memasukkan sihir, klenik dan teurgy ke
dalam fisika minor, al-Ghaza>li> justru memasukan ilmu-ilmu tersebut ke dalam rumpun
fisika. Lihat Bakar, Classification, 254.
58

h}isa>b), logika (al-mant}iq), teologi metafisika (al-ilahi>ya>t) termasuk di dalamnya


kala>m, dan fisika (al-t}abi>‘i>ya>t).123 Termasuk juga dalam karyanya yang lain,
Mi>za>n al-‘Amal, al-Ghaza>li> pun membagi ilmu dengan peristilahan yang sama,
amali> dan naz}ari>. Namun, orientasi klasifikasi ilmu ini bersifat religius (jins al-
‘ilm al-muwas}s}ili>n ilá jannah al-ma’wá).124
Di bagian lain Ih}ya>’-nya, al-Ghaza>li> juga mengklasifikasikan ilmu yang
ia sebut sebagai ilmu t}ari>q al-a>khirah (ilmu untuk menapaki jalan akhirat)
kepada dua bagian, yang keduanya termasuk ilmu fard} ‘ayn:125 (1) cahaya intuisi
(‘ilm al-muka>safah), ia menyebutnya sebagai ilmu batin (‘ilm al-ba>t}in) dan
puncak ilmu (gha>yat al-‘ulu>m), yaitu sebuah istilah yang menunjuk pada
“cahaya dalam hati yang dapat membersihkan diri dari sifat tercela, dan
menghiasi diri dengan sifat terpuji”. (2) ‘ilm al-mu‘a>malah (pengamalan), yaitu
sebuah pengetahuan tentang keadaan-keadaan jiwa dan hati (‘ilm ah{wa>l al-qalb),
baik ketika dihinggapi keadaan terpuji atau tercela.
Dalam Jawa>hir al-Qur’an (mutiara-mutiara al-Qur’an), al-Ghaza>li> juga
membuat klasifikasi ilmu yang sedikit berbeda dengan klasifikasi lainnya.126 Ia
mengklasifikasikan ilmu kepada, pertama Ilmu-ilmu inti/isi (‘ilm al-luba>b) yang
secara hierarkis ia bagi kepada: (1) ilmu-ilmu mayor (t}abaqa>t al-‘ulya>) yang
berkaitan dengan Tuhan dan ke-Tuhan-an, dan (2) ilmu-ilmu Minor (t}abaqa>t al-
suflá), seperti pengetahuan tentang kisah-kisah dalam al-Qur’an, fiqh, ushul
fiqh, ilmu kalam (teologi skolastik). Kedua, ‘ilm al-s}adaf (ilmu-ilmu
“kulit/cangkang”), seperti ilmu tata cara membaca (‘ilm al-qira>’a>t), gramatika,
linguistik, tafsir, dan lainnya.
Tidak selesai sampai di situ, di bagian lain dalam mi>za>n-nya, al-Ghaza>li>
juga mengklasifikasikan ilmu kepada tiga bagian,127 yaitu: pertama ilmu
berhubungan dengan Kata yang menunjukkan makna (yata‘allaq bi-al-lafdh min
h}aythu yadull ‘alá al-ma‘ná), di dalamnya termasuk seluruh cabang ilmu
linguistik seperti gramatika, sintaksis, makha>rij al-hu}ru>f, etimologi, ilmu
tentang sya’ir, dan lainnya. Kedua ilmu-ilmu berhubungan dengan Makna yang
ditunjukkan oleh kata/kalimat (yata‘allaq bi-al-ma‘ná min h}aythu yadull al-lafdh
‘alayhi). Seperti dialektika, ilmu cara berdebat (al-muna>z{arah), retorika, dan
ilmu tentang bukti-bukti demonstratif (al-burha>n). ketiga, ilmu yang
berhubungan dengan Makna an sich (yata‘allaq bi-al-ma‘ná al-mujarrad), baik

123
Al-Ghaza>li>, Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n I, 23.
124
Al-Ghaza>li, Mi>za>n al-‘Amal, tah{qi>q Sulayma>n Dunya> (Kairo: Da>r al-
Ma’a>rif, 1964), 230. Dalam mi>za>n-nya, al-Ghaza>li> membagi ilmu praktis (al-‘amali>)
kepada tiga bagian, yaitu tentang: (1) Kesalihan individu (‘ilm al-nafs bi-s}ifa>tiha> wa-
akhla>qiha>), (2) mengatur kehidupan dengan keluarga, (3) politik (siya>sat al-balad).
Sementara yang termasuk kepada ilmu teoritis (al-naz}ari>) adalah pengetahuan-
pengetahuan yang menjadi pembahasan dalam ilmu kalam, seperti pengetahuan tentang
Tuhan, Malaikat, Rasul, dan lainnya, termasuk juga teori-teori etika.
125
Al-Ghaza>li>, Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n I, 20-21.
126
Al-Ghaza>li>, Jawa>hir al-Qur’a>n, 21-28.
127
Al-Ghaza>li, Mi>za>n al-‘Amal, 352-355.
59

yang berbentuk teoritis seperti pengetahuan-pengetahuan teologis dalam ‘ilm


kala>m, maupun praksis seperti hukum-hukum syari’ah dan yurisprudensi.
Berbeda dengan klasifikasi cendikiawan lainnya seperti al-Fa>ra>bi>,
klasifikasi al-Ghaza>li> justru lebih menonjolkan ilmu-ilmu religius. Ilmu religius,
menurutnya, lebih unggul dari ilmu filosofis karena didasarkan pada wahyu,
sedangkan ilmu filosofis didasarkan pada akal. Dalam kapasitasnya sebagai
mutakallim atau sebagai Sufi, al-Ghaza>li> tampaknya menekan aspek negatif akal
sebagai “tabir” dan pembatas serta menegaskan ketidakmampuan akal mencapai
kebenaran transenden. Meski demikian, sebagai seorang Sufi, ia menyadari
bahwa pembedaan itu (religius dan filsafat) hanya mempunyai keabsahan
terbatas, artinya pada level gnosis atau ma‘rifah kaum Sufi, perbedaan tersebut
tidak ada lagi.
Dalam sebagian besar gagasan klasifikasi ilmunya, al-Ghaza>li>
menggunakan istilah yang terkesan “hitam putih” dan kontradiktif (shar‘i>yah-
ghayr shar‘i>yah/’aqli>yah, mah}mu>dah-madhmu>mah), hal tersebut tentu sangat
berpengaruh pada basis etik ilmu-ilmu. Dalam hal ini Fazlur Rahman
menyatakan, pembedaan atau klasifikasi dengan dua istilah yang cenderung
kontradiktif tersebut merupakan klasifikasi “paling malang” yang pernah dibuat
dalam tradisi intelektual Islam.128 Meski demikian, al-Ghaza>li> sama sekali tidak
berpendapat bahwa kelompok ilmu-ilmu rasional (‘aqli>yah/ghayr shar‘i>yah)
tidak diakui secara eksistensial,129 dalam arti, melihat gagasan hierarki ilmunya,
al-Ghaza>li> tetap mengusung integrasi ilmu secara konseptual.
Kompleksitas jenis klasifikasi ilmu yang disusun al-Ghaza>li> memang
terkesan “tumpang tindih” antara satu klasifikasi dengan klasifikasi lainnya.
Karenanya, gagasan klasifikasinya ini harus dikaji secara komprehensif,
terutama perspektif historis ketika al-Ghaza>li> menyusun klasifikasi tersebut
dalam karya-karyanya. Kendati demikian, kompleksitas jenis klasifikasi ini
cukup menggambarkan keluwesan dan keluasan pemikiran al-Ghaza>li> dalam
menyikapi sosio-intelektual di zamannya.
Kajian terhadap enam klasifikasi yang digagas oleh tokoh-tokohnya di
atas, tentunya memperlihatkan bahwa semuanya didasarkan atas gagasan-
gagasan filosofis yang umum bagi setiap spektrum pemikiran Islam dan gagasan
khusus bagi penggagasnya. Yang perlu digaris bawahi adalah bahwa, meskipun
selalu ada kesan dikotomik, keenam klasifikasi para cendikiawan di atas,
masing-masing memperlihatkan dua gagasan dominan, yaitu gagasan hierarki
dan kesatuan ilmu. Melihat keenam klasifikasi tersebut, mengindikasikan
sebuah pandangan bahwa pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan mengenai

128
Fazlur Rahman, Islam & Modernity: Transformation of an Intellectual
Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1982), 33-34.
129
Lihat misalnya Azmil Zainal Abidin, “Dimensi Sains dan Kebersebaban al-
Ghaza>li>: Model Pengintegrasian Ilmu Menurut Perspektif Islam,” Proceeding of the
International Conference on Social Science Research (ICSSR) 2013 (4-5 Juni 2013).
http://worldconferences.net/proceedings/icssr2013/toc/116%20-%20Azmil%20-%20
DIMENSI%20SAINS%20DAN%20KEBERSEBABAN%20AL-GHAZALI.pdf (diakses
pada 31 Maret 2014).
60

Tuhan. Demi pengetahuan tentang Tuhanlah setiap bidang pengetahuan lainnya


dicari. Dalam arti, pengetahuan tentang segala sesuatu selain Tuhan harus
dikaitkan secara konseptual-organik dengan pengetahuan tentang Tuhan. Tentu
saja, pandangan ini didasarkan atas prinsip bahwa setiap pengetahuan
berpangkal pada sumber yang sama dan satu.
Uraian mengenai prinsip, karakteristik, arti penting, dan pandangan para
sarjana Muslim di atas merupakan upaya teorisasi untuk “mendudukkan”
wacana klasifikasi ilmu dalam tradisi intelektual Islam pada tempatnya yang
khas. Upaya ini tentu saja mengindikasikan sebuah pandangan bahwa semua
gagasan klasifikasi ilmu yang disusun oleh seorang intelektual Muslim akan
masuk dalam frame prinsip dan karakteristik di atas. Dalam konteks ini, sebagai
lokus pemikiran dan objek studi, pemikiran Ibn Sab‘i>n tentang klasifikasi ilmu
tentu harus ditelusuri hingga ke kerangka filosofisnya. Langkah ini dilakukan
agar dapat ditemukan “benang merah” serta koherensi pemikiran klasifikasi
ilmunya dengan prinsip dan karakteristik wacana klasifikasi ilmu dalam tradisi
intelektual Islam pada umumnya. Karena itu, bab selanjutnya merupakan kajian
akademik tentang tokoh Ibn Sab‘i>n sebagai lokus pemikiran, dengan segenap
pemikiran filosofisnya yang turut mengkonstruksi gagasannya tentang
klasifikasi ilmu.
61

BAB III
POTRET PEMIKIRAN FILOSOFIS IBN SAB‘I<N

Bagian ini merupakan kajian akademik mengenai peta pemikiran filsafat


dan intelektualisme Ibn Sab‘i>n sebagai tokoh sentral dalam penelitian ini. Di
samping membahas kehidupan, karya dan posisi Ibn Sab‘i>n sebagai lokus
pemikiran, pada bagian ini pula penulis akan menyoroti karakter pemikiran dan
konsep-konsep filsafat yang digagas Ibn Sab‘i>n, yang tentunya akan sangat
terkait dengan secara konseptual dengan gagasannya tentang klasifikasi ilmu.
Ada empat poin konsepsi filosofis yang menjadi perhatian penulis di
sini, di mana kelimanya merupakan satu gambaran pemikirannya yang utuh.
Pertama, al-Wah}dah al-Mut}laqah (Kesatuan Mutlak) sebagai pandangan
ontologis utama dan “penentu arah” bagi segenap pemikirannya, kedua,
konsepsi manusia ideal, yang ia “kemas” dalam doktrin al-Muh}aqqiq-nya,
ketiga, Mant}iq al-Muh}aqqiq sebagai sebuah kritik Ibn Sab‘i>n terhadap logika
formal Aristotelian, keempat, pemikiran Ibn Sab‘i>n tentang etika yang
dirumuskan menjadi dua pembahasan, etika secara metafisik (mi>ta>fi>zi>qa> al-
akhla>q atau al-akhla>q al-naz}ari>) dan etika praksis (al-akhla>q al-‘amali>).

A. Kehidupan, Karya dan Posisi Ibn Sab‘i>n


1. Biografi Intelektual
Ibn Sab‘i>n, adalah ‘Abd al-H{aqq ibn Ibra>hi>m ibn Muh{ammad ibn Nas}r
ibn Muh{ammad.1 Ia adalah filosof-sufi (teosof)2 kenamaan Andalusia. Di Barat,
ia dikenal dengan jawabannya atas pertanyaan-pertanyaan filosofis mengenai
Aristotelianisme yang dilayangkan oleh Frederick II (1194-1250), penguasa
Sicilia,3 seorang raja Romawi yang berkuasa kala itu, dalam rentang waktu
1212-1250.4

1
Lisa>n al-Di>n Ibn al-Khat}i>b, al-Ih}a>t}ah fi> Akhba>r Gharna>t}ah jilid IV (Kairo:
Maktabat al-Kha>naji>, 1977), 31. Lihat juga Muh}ammad Ibn Sha>kir, Fawa>t al-Wa>fiya>t
jilid II, tah{qi>q Ih}sa>n ‘Abba>s (Beirut: Da>r S{a>dir, t.t), 253. Bandingkan dengan Ah}mad ibn
Muh}ammad al-Maqqari>, Nafh} al-T{i>b min Ghus}n al-Andalus al-Rat}i>b jilid II, tah}qi>q
Ih}sa>n ‘Abbas (Beirut: Da>r S{a>dir, 1968), 196.
2
Abu> al-Wafa> Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu al-S{u>fi>yah (Beirut: Da>r
al-Kita>b al-Libna>ni>, 1973), 67.
3
Sicilia adalah sebuah pulau di laut Tengah yang terletak di sebelah selatan
semenanjung Italia, dipisahkan oleh selat Messina. Sebelum ditaklukkan Islam, pulau ini
milik kekuasaan Byzantium. Namun dengan perjuangan selama 827-902 M. Sicilia
berhasil ditaklukkan secara keseluruhan oleh Dinasti Aghlab di bawah komando para
panglimanya. J.J. Saunders, A History of Medieval Islam (London and New York:
Routlege, 2002), 116. Pemerintahan Islam di Sicilia berada di bawah tiga dinasti, yaitu
Aghlab dengan ibu kota Qayruwan, Fathimiyah dan disusul dinasti Kalbi. Raja-raja
Sicilia yang terkenal antara lain Roger I dan II, William I dan II, Henry VI, dan terakhir
Frederick II. Lihat lengkapnya Mahayudin Hj. Yahaya, Islam di Spanyol dan Sicily
(Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1990).
62

Ibn Sab‘i>n memiliki banyak sekali julukan (laqab), antara lain “Abu>
Muh{ammad”, di dunia Timur, ia dijuluki “Qut}b al-Di>n”.5 Selain itu, ia juga
mendapat julukan yang disandarkan kepada tempat di mana ia lahir, baik nama
negara maupun nama daerahnya seperti “al-Andalusi>”, “al-Mursi>”,6 “al-
Riqawt}i>”,7 “al-Ishbili>” dan “al-Qast}ala>ni>”.8 Kemudian juga julukan yang
disandarkan kepada leluhurnya, seperti “al-Gha>fiqi>” dan “al-‘Aki>”.9 Bahkan, Ibn
Sab‘i>n juga mendapat julukan yang disandarkan kepada aliran tasawuf yang ia
dirikan yaitu Sab‘i>ni>yah, karenanya, ia dijuluki “Shaykh al-Sab‘i>ni>yah”.10
Kendati ia memiliki segudang julukan dan nama lain, julukan yang paling
masyhur adalah “Ibn Sab‘i>n”.
Nama “Ibn Sab‘i>n” jelas tidak diartikan secara literal, terlebih secara
biologis (anak tujuh puluh), ia mendapat laqab ini karena setiap kali menuliskan
namanya, selalu dengan “‘Abd al-H{aqq” sambil menuliskan sebuah lingkaran
(jadi: O ‫)ﻋﺒﺪ ﺍﳊﻖ‬.11 Suatu ketika ia menuliskan namanya dengan “O ‫( ”ﺇﺑﻦ‬anak
lingkaran),12 yang dalam bahasa Arab, lingkaran disebut al-da>r, yakni sesuatu
yang meliputi sesuatu lainnya seperti sebuah kawasan. Dalam ilmu huruf (‘ilm
asra>r al-h}uru>f), lingkaran sebanding dengan huruf ‘ayn ( ‫ ) ﻉ‬yang dalam

Dalam versi lain ringkasan karya Yahaya tersebut dimuat di jurnal, “Sejarah dan
tamadun Islam di Sicily,” JEBAT no. 18 (1990), 297-315, http://journalarticle.ukm.my/
477/1/1.pdf (diakses pada 16 Mei 2014). Lihat juga Masyrifah Sunanto, Sejarah Islam
Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Kencana, 2007), 157-168.
4
Albrecht Classen (reviewer), “Frederick II: The Last Emperor,” Die
Unterrichtspraxis vol. 36, no. 1 (2003), 112-113, http://www.jstor.org/stable/3531714?
origin=JSTOR-pdf (diakses pada 08 Mei 2014). Lihat lengkapnya Walther Köhler,
“Emperor Frederick II: The Hohenstaufe,” The American Journal of Theology Vol. 7,
no. 2 (April 1903), 225-248, http://www.jstor.org/stable/3153729?origin=JSTOR-pdf
(diakses pada 08 Mei 2014).
5
Ibn Sha>kir, Fawa>t al-Wa>fiya>t, 253. Al-Maqqari>, Nafh} al-T{i>b, 196. Juga Khayr
al-Di>n al-Zarkali>, Al-A‘la>m jilid 3 (Beirut: Da>r al-‘Ilm li-al-Mala>yi>n, 2002), 280.
6
al-Maqqari>, Nafh} al-T{i>b, 196. Ibn Sha>kir, Fawa>t al-Wa>fiya>t, 253.
7
Ibn al-Khat}i>b, Al-Ih}a>t}ah, 31. Lihat juga Isma>‘i>l ibn ‘Umar ibn Kathi>r, Al-
Bida>yah wa-al-Niha>yah juz 17, tah}qi>q ‘Abdulla>h ibn ‘Abd al-Muh}sin al-Turki> (Ji>zah:
Da>r Hijr, 1998), 497.
8
Ibn al-‘Ima>d, Sadhara>t al-Dhahab fi> Akhba>r man Dhahab jilid 7, tah}qi>q
Mah}mu>d al-Arna>’u>t} (Beirut: Da>r Ibn Kathi>r, 1991), 573. Lihat juga al-Tafta>za>ni>, Ibn
Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 27.
9
Al-Maqqari>, Nafh} al-T{i>b, 196. Ibn al-Khat}i>b, Al-Ih}a>t}ah, 31. Lihat juga
Patrizia Spallino, “Ibn Sab‘i>n, ‘Abd al-H{aqq” dalam Encyclopedia of Medieval
Philosophy: Philosophy Between 500 and 1500, ed. Henrik Lagerlund (New York:
Springer, 2011), 508.
10
Abu> al-Mah}a>sin Yu>suf ibn Tighri> Birdi>, Al-Nuju>m al-Za>hirah fi> Mulu>k Mis}r
wa-al-Qa>hirah jilid 7 (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1992), 202. Lihat juga Taqy al-
Di>n Muh}ammad ibn Ah}mad al-H{asani> al-Fa>si>, Al-‘Iqd al-Thami>n fi> Ta>ri>kh al-Balad al-
Ami>n jilid 5, tah}qi>q Fu’a>d Sayyid (Beirut: Mu’assasat al-Risa>lah, 1985), 326.
11
Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 27.
12
Al-Maqqari>, Nafh} al-T{i>b, 196.
63

perhitungan huruf arab (h{isa>b al-jumal) bernilai 70 (arab: sab‘u>n/sab‘i>n). Jadi,


“O ‫ ”ﺇﺑﻦ‬sama dengan “‫”ﺇﺑﻦ ﻉ‬, dan menjadi “‫”ﺇﺑﻦ ﺳﺒﻌﲔ‬.13
Ibn Sab‘i>n lahir di Valle de Ricote (Riqawt}ah), Murcia (Mursiyah),
sebuah kota di Andalusia, pada 614 H./1217 M., pada paruh abad ke-7 Hijriah,
tepat pada masa akhir dinasti Muwahhidun berkuasa di Andalus,14 sebuah masa
yang secara sosio-intelektual ditandai dengan perkembangan kajian tasawuf-
falsafi.15 Ia wafat di Makkah pada 669 H./1270 M.16 Perjalanan hidup Ibn Sab‘i>n
bisa dibagi kepada tiga fase, fase pertama, pada 614 H. sampai sekitar 640 H.17
Pada fase ini, Ibn Sab‘i>n di Murcia telah mempelajari berbagai ilmu
pengetahuan antara lain, bahasa dan sastra Arab kepada para gurunya,18 ia juga
belajar ‘ulu>m al-naqli>yah seperti tafsir, Hadits, Fiqh madzhab Maliki, dan lain-
lain.19 Selain itu, ia juga belajar ‘ulu>m al-‘aqli>yah seperti ilmu-ilmu para
pendahulu (‘ulu>m al-awa>’il), filsafat, logika, teologi, fisika, matematika.20 Ia
juga belajar teologi Ash‘ari>yah dari guru-gurunya yang beraliran Ash‘ari>yah,

13
Al-Maqqari>, Nafh} al-T{i>b, 196. Juga al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu,
29.
14
Muh{ammad Ya>sir Sharaf, Falsafat al-Tas}awwuf al-Sab‘i>ni> (Damaskus:
Wiza>rat al-Thaqa>fah, 1990), 16.
15
Anna Akasoy, “Andalusi Exceptionalism: The example of “Philosophical
Sufism” and the Significance of 1212,” Journal of Medieval Iberian Studies Vol. 4 No. 1
(Maret 2012), 113-117. http://e-resources.pnri.go.id:2072/doi/pdf/10.1080/17546559.
2012.677197 (diakses pada 15 Agustus 2014).
16
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, vol. 2, trans. Liadain Sherrard
(London: Kegan Paul International, 1993), 263-264. Ibn Kathi>r, Al-Bida>yah wa-al-
Niha>yah, 497. Peter S. Groff, Islamic Philosophy A-Z (Edinburg: Edinburg University
Press, 2007), 92. Al-Fa>si>, Al-‘Iqd al-Thami>n, 333. Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa
Falsafatuhu, 35. Para sejarawan penulis biografi berbeda pendapat mengenai tahun
kelahirannya yang masing-masing mengacu pada tahun wafatnya. Sekurang-kurangnya
ada empat pendapat tentang hal ini: (1) Ibn Sha>kir (Fawa>t al-Wa>fiya>t, 254)
menyebutkan bahwa Ibn Sab‘i>n wafat pada 20 Syawal 668 H. pada usia 55 tahun, ini
berarti diperkirakan Ibn Sab‘i>n lahir pada 613 H. Pendapat inilah yang menurut al-
Tafta>za>ni> (Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu, 33-34) juga dipegang oleh para orientalis seperti
Macdonald, Lator, Cabanellas dan Hernandez. (2) Ibn H{abi>b sebagaimana dikutip oleh
al-Muqarri> (Nafh} al-T{i>b, 197) mengatakan bahwa Ibn Sab‘i>n wafat pada 669 H. dalam
usia 50 tahun. Dengan ini diperkirakan Ibn Sab‘i>n lahir sekitar tahun 619 H. (3) Al-
Sha‘ra>ni> mengatakan bahwa Ibn Sab‘i>n wafat pada 667 H. dalam usia 55 tahun, yang
berarti ia lahir pada 614 H. Lihat al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu, 34. (4) Ibn
Sab‘i>n lahir pada 614 H. dan wafat pada 669 H. pendapat yang terakhir inilah yang
paling banyak diikuti.
17
al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 35.
18
Ibn al-Khat}i>b, Al-Ih}a>t}ah, 31-32. Juga Al-Maqqari>, Nafh} al-T{i>b, 196.
19
Abu> al-‘Abba>s al-Ghabri>ni>, ‘Unwa>n al-Dira>yah: Fi>-man ‘Urifa min al-
‘Ulama>’ fi> al-Mi>’ah al-Sa>bi‘ah bi-Baja>yah, tah}qi>q ‘Adil Nuwayhid{ (Beirut: Da>r al-Afa>q
al-Jadi>dah, 1979), 237.
20
Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Tasawuf jilid II
(Bandung: Angkasa, 2008), 539-540. Lihat juga Ibn Kathi>r, Al-Bida>yah wa-al-Niha>yah,
497. Juga al-Fa>si>, Al-‘Iqd al-Thami>n, 327.
64

dan tentu saja, ia juga mempelajari dan mendalami tasawuf.21 Menurut sebagian
sejarawan, Ibn Sab‘i>n juga mempelajari ilmu kedokteran, kimia, ilmu nama-
nama dan huruf.22
Pada fase pertama ini, para sejarawan agaknya mengalami kesulitan
dalam menelusuri lebih jauh siapa guru-guru Ibn Sab‘i>n. Sebagian berpendapat
ada tiga tokoh yang dianggap menjadi guru Ibn Sab‘i>n, pertama, Ibn Daha>q (w.
611 H./1214-15 M.),23 yaitu Ibra>hi>m ibn Yu>suf ibn Muh{ammad ibn al-Daha>q al-
Awsi>. Seorang teolog, ahli Fiqh, penggiat tafsir dan Hadits asal Andalusia, ia
telah mengajar teologi, tasawuf dan disiplin ilmu lainnya. Di antara karyanya
adalah komentar (sharh}) atas al-Irsha>d karya Ima>m al-H{ara>mayn Abu> al-Ma’a>li>
al-Juwayni> (w. 478 H./1085 M.), komentar atas kitab al-Asma>’ al-H{usná,
komentar atas al-Mah}a>sin al-Maja>lis karya Abu> al-‘Abba>s Ah{mad ibn al-‘A<rif,
dan karya lainnya.24 Kedua, al-Bu>ni> (w. 622 H./1225 M.),25 yaitu Abu> al-‘Abba>s
Ah}mad ibn ‘Ali> Yu>suf al-Qurshi> Muh{yi> al-Di>n, seorang pakar ilmu nama-nama
dan huruf (‘ilm al-asma>’ wa al-h}uru>f). Di antara karya terkenalnya dalam bidang
yang digelutinya adalah Shams al-Ma’a>rif wa-Lat}a>’if al-‘Awa>rif.26 Ketiga, al-
Hara>ni> (w. 538 H./1143 M.),27 yakni Abu> al-H{asan ibn ‘Ali> ibn Muh{ammad al-
Hara>ni>. Seorang pakar di bidang ilmu nama-nama dan huruf, yang juga
merupakan guru dari al-Bu>ni>.
Jika diperhatikan, agaknya tidak mungkin Ibn Sab‘i>n belajar secara
langsung (talaqi>) dengan ketiga guru tersebut. Hal ini mengingat, Ibn Sab‘i>n
lahir pada 614 H., sementara Ibn al-Daha>q wafat pada 611 H., al-Bu>ni> wafat
pada 622 H. dan al-Hara>ni> pada 538 H. Karenanya, sebagaimana dikatakan al-
Tafta>za>ni>, kemungkinan besar Ibn Sab‘i>n hanya mempelajari karya-karya
mereka secara otodidak, belajar sendiri, tanpa bertemu langsung dengan mereka
(muba>sharah) dan mengadopsi pemikiran-pemikiran mereka.28 Sementara guru
Ibn Sab‘in yang mengajarinya secara langsung, tidak ada kesepakatan dari para
peneliti.
Pada masa hidupnya di Andalus, Ibn Sab‘i>n hidup di tengah keluarga
yang mulia. Ayahnya adalah seorang hakim di kota Murcia, sementara kakeknya
21
Al-Fa>si>, al-‘Iqd al-Thami>n, 327.
22
Khayr al-Di>n al-A<lu>si>, Jila>’ al-‘Aynayn fi> Muh{a>kamat al-Ah{madayn
(Madinah: Mat}ba‘ah al-Madani>, 1981), 99. Ibn Sha>kir, Fawa>t al-Wa>fiya>t, 254. Lihat
juga Ibn Kathi>r, Al-Bida>yah wa-al-Niha>yah, 497.
23
Ibn al-Khat}i>b, al-Ih}a>t}ah, 33. Juga al-Maqqari>, Nafh} al-T{i>b, 202.
24
S{ala>h{ al-Di>n al-S{afadi>, al-Wa>fi> bi-al-Wa>fiya>t juz 6, tah{qi>q Ah{mad al-Arna>u>t}
dan Turki> Mus}t}afa> (Beirut: Da>r Ih{ya>’ al-Tura>th al-‘Arabi>, 2000), 110. Lihat juga Ibn al-
Khat}i>b, al-Ih}a>t}ah jilid 1, 180.
25
Zayn al-Di>n al-Muna>wi>, al-Kawa>kib al-Durri>yah fi> Tara>jim al-Sa>dah al-
S}u>fi>yah juz 2, tah{qi>q Muh{ammad Adi>b al-Ja>dir (Beirut: Da>r al-S{a>dir, t.t), 442. Juga Ibn
al-‘Ima>d, Sadhara>t al-Dhahab, 575.
26
al-Zarkali>, al-A‘la>m jilid 1, 174.
27
Ibn al-‘Ima>d, Sadhara>t al-Dhahab, 575. Lihat juga al-Muna>wi>, al-Kawa>kib al-
Durri>yah, 442.
28
Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 39-40. Juga Tim Penulis UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Tasawuf, 540.
65

adalah seorang ahli perhitungan dan kepemimpinan. Latar belakang keluarganya


itu ia menfaatkan untuk menimba ilmu semasa hidupnya. Meski demikian, Ibn
Sab‘i>n hidup dengan sederhana, jauh dari kehidupan mewah, meninggalkan
ambisi duniawi, dan sejak kecil ia intens dalam dunia ilmiah-sufistik. Bahkan,
karya monumentalnya, Budd al-‘A<rif, berhasil ia rampungkan pada usia 15
tahun.29
Fase kedua dalam kehidupan Ibn Sab‘i>n, mulai sekitar 640 H./1242 M.,
ia bersama murid-muridnya keluar dari kota Murcia, merantau ke bagian lain
kota Andalus, dan meninggalkan Andalus, menjelajahi wilayah Islam bagian
Barat, Afrika Utara dan Mesir, sampai akhirnya tibalah ia di Makkah pada
sekitar 652 H./1254 M.30 Menurut beberapa sumber, alasan mengapa Ibn Sab‘i>n
meninggalkan Andalus adalah karena faktor politik, antara lain semakin
melemahnya dinasti Muwahhidun dan sudah tidak ada lagi kebebasan berpikir di
Andalus. Faktor lainnya adalah karena serangan dan tuduhan kafir dari kalangan
Fuqaha>’ (ahli Fiqh), yang tidak mungkin lagi bagi Ibn Sab‘i>n untuk
menyebarkan pandangan-pandangan filosofisnya di Andalus.31
Pada waktu itu, masyarakat Andalus sangat menolak dan mempersempit
ruang gerak semua pemikiran filosofis, bahkan sebelumnya mereka telah
membakar karya al-Ghaza>li> ketika ada di Andalus.32 Sharaf mengatakan, para
ahli Fiqh madzhab Maliki di Andalus pada saat itu sangat menentang semua
bentuk gerakan yang melontarkan ide pembaharuan, bahkan mereka
menganggap bahwa mengandalkan rasio dalam agama adalah zindiq.33
Suatu ketika, Ibn Sab‘i>n bersama murid-muridnya singgah di kota Ceuta
(Sabatah),34 Maroko, yang pada saat itu Hakim di kota tersebut adalah Ibn
Khala>s,} ia mengajak penduduk kota tersebut ke jalan sufistik, jalan madzhabnya.
Seorang perempuan kaya raya, salah seorang penduduk Ceuta ternyata
mengaguminya dan ingin menikahinya, Ibn Sab‘i>n pun menerimanya dan
kemudian mereka menikah. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai seorang
anak, akan tetapi anaknya meninggal pada saat ayahnya, Ibn Sab‘i>n, masih
hidup sekitar tahun 666 H./1267 M.35

29
Al-Maqqari>, Nafh} al-T{i>b, 199. Lihat juga Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa
Falsafatuhu, 41-42.
30
Sharaf, Falsafat al-Tas}awwuf al-Sab‘i>ni> , 57.
31
Ibn Sha>kir, Fawa>t al-Wa>fiya>t, 254. Menurut Ibn Sha>kir, tuduhan kafir dan
telah keluar dari Islam dikarenakan perkataannya yang ditafsirkan oleh para ulama
andalus sebagai pengingkaran terhadap kenabian Muhammad SAW. Lihat juga Ibn
Kathi>r, Al-Bida>yah wa-al-Niha>yah, 497.
32
Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 44.
33
Muh{ammad Ya>sir Sharaf, al-Wah{dah al-Mut}laqah ‘inda Ibn Sab‘i>n (Beirut:
Al-Markaz al-‘Arabi> li-al-T{aba>‘ah wa-al-Nashr, 1981), 55-56.
34
Ibn al-Khat}i>b, Al-Ih}a>t}ah, 32.
35
Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 45. Lihat juga Sharaf, Falsafat al-
Tas}awwuf al-Sab‘i>ni>. 16.
66

Di Ceuta, Ibn Sab‘i>n dapat hidup tenang, dengan intens ia mempelajari


buku-buku tasawuf dan mengajarkannya.36 Pada saat inilah ia mendapatkan
surat dari Kaisar Frederick II, raja Sicilia/S{iqili>yah (Normania), yang berisi
pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang Aristotelianisme, sebagaimana
Frederick II telah mengirimkannya pula kepada cendikiawan lain yang ada di
Timur, seperti Mesir, Irak, Syam dan Yaman, akan tetapi Frederick II tidak
merasa terpuaskan dengan jawaban-jawaban mereka. Frederick II mengirimkan
surat tersebut kepada khalifah dinasti Muwahhidun kala itu, Abu> Muh{ammad
‘Abd al-Wa>h{id al-Rashi>d dari Bani> ‘Abd al-Mu’min, yang telah memerintahkan
Hakim di Ceuta, Ibn Khala>s,} agar menyampaikannya kepada Ibn Sab‘i>n.37
Ibn Sab‘i>n pun menerima surat tersebut dengan senang hati, serta
memberikan jawaban-jawaban filosofis yang diajukan oleh penguasa Sicilia itu.
Setelah jawaban yang ditulisnya selesai dikirimkan, Frederick II pun merasa
puas dengan jawaban-jawaban itu.38 inilah salah satu kontribusi nyata Ibn Sab‘i>n
bagi peradaban Barat. Namun, dengan jawaban yang dilontarkan Ibn Sab‘i>n itu,
ternyata sang Hakim, Ibn Khala>s}, mulai mencium “bau tak sedap” dari jawaban
tersebut, bahwa Ibn Sab‘i>n adalah seorang filosof. Karena itu, kontan Ibn Khala>s}
memerintahkan Ibn Sab‘i>n agar segera meninggalkan Ceuta.39 Hal ini wajar
adanya, karena dinasti Muwahhidun, khususnya Ibn Khala>s} sangat gencar
memerangi pemikiran-pemikiran yang berbau filsafat dan menginginkan
tegaknya Islam murni.
Dari sini, Ibn Sab‘i>n tidak lagi memiliki tempat bernaung, pindah dari
kota Ceuta ke kota Adawah, dari Adawah ke kota Bajayah, bermukim sejenak.40
Selanjutnya ia memasuki kota Qabis, Tunis, akan tetapi di Qabis ia
mendapatkan pertentangan yang keras dari seorang ahli Fiqh, yakni, Abu> Bakr
ibn Khali>l al-Suku>ni> (w. 716 H./1316 M.), yang mengklaim bahwa Ibn Sab‘i>n
adalah zindiq.41 Lalu ia beralih ke Mesir, tepatnya di Kairo,42 tetapi ternyata
masyarakat di sana telah dihasut oleh utusan dari Fuqaha>’ Barat, bahwa Ibn

36
Ibn al-Khat}i>b, al-Ih}a>t}ah, 32. Juga al-Maqqari>, Nafh} al-T{i>b, 196.
37
Anna Ayşe Akasoy, “Ibn Sab‘i>n’s Sicilian Questions: The Text, Its Sources
and Their Historical Context,” Journal Al-Qant}ara XXIX, issue 1 (Januari-Juni 2008),
115-146. http://www.al-qantara.revistas.csic.es/index.php/al-qantara/article/viewFile/51/
45 (diakses pada 26 Februari 2013). Lihat juga al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu.
46.
38
Lihat H{asan H{anafi>, Humu>m al-Fikr wa-al-Wat}an juz 1 (Kairo: Da>r Quba>’,
1998), 147-148.
39
Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu. 46. Menurut S{afi> al-Di>n al-Hindi>
yang dikutip ‘Abd al-Qa>dir Mah{mu>d, faktor lain yang menyebabkan Ibn Sab‘i>n diusir
dari Maghrib adalah karena ia pernah melontarkan kata-kata kontroversi: “Perkataan
anak laki-laki ibunda A<minah (Nabi Muhammad SAW.) bahwa tidak ada Nabi setelah
aku, telah menyebabkan fanatisme buta”. Lihat ‘Abd al-Qa>dir Mah{mu>d, al-Falsafah al-
S{u>fi>yah fi> al-Isla>m (Kairo: Da>r al-Fikr, 1967), 548.
40
|Al-Ghabri>ni>, ‘Unwa>n al-Dira>yah, 237.
41
Ibn Khaldu>n yang dikutip dari al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 47.
Lihat juga Sharaf, Falsafat al-Tas}awwuf al-Sab‘i>ni>, 40.
42
Al-Maqqari>, Nafh} al-T{i>b, 202.
67

Sab‘i>n adalah mulh{id (kafir). Padahal, ketika itu banyak sufi-sufi terkemuka di
Mesir seperti Abi> al-H{asan al-Sha>dhili> yang datang ke Mesir sekitar tahun 642
H., Abu> ‘Abdilla>h al-Mu‘a>firi> al-Sha>t{ibi> (w. 672 H.), ‘Abdulla>h ibn Abi> H{amrah
al-Mursi> (w. 675 H.), Ibn Sara>qah al-Sha>t}ibi> (w. 663 H.) dan lain-lain. Namun,
masyarakat Mesir tidak menerima Ibn Sab‘i>n lantaran tasawufnya berbeda
dengan tasawuf para Sufi lain, tasawufnya tercampuri teori-teori filsafat.43
Bahkan ulama kenamaan Mesir waktu itu, Qut}b al-Di>n al-Qast}ala>ni> (614-686
H.) menulis sebuah karya yang menyerang akidah Ibn Sab‘i>n.44 Akhirnya,
dengan hal ini, Ibn Sab‘i>n terpaksa meninggalkan Mesir dan hijrah ke Makkah.
Fase ketiga, pada sekitar 652 H./1254 M. Ibn Sab‘i>n hijrah dari Mesir ke
Makkah. Pada waktu itu, Hakim Makkah adalah Abu> Nami> Muh{ammad al-
Awwal yang berkuasa pada 652-702 H./1254-1301 M.45 Di Makkah, ia
merasakan kenyamanan, dapat hidup tenang karena mendapatkan perlindungan
dari sang Hakim. Ia juga dapat dengan leluasa melakukan tajribat al-ru>h}i>yah
(eksperimen spritual), menyebarkan paham tasawufnya, melakukan ibadah Haji
bersama para pengikutnya setiap tahun, hingga ia wafat pada hari kamis tanggal
9 Syawwal 669 H./1270 M.46
Di Makkah, Ibn Sab‘i>n juga dapat merampungkan beberapa karyanya
antara lain, Risa>lat al-Nu>ri>yah yang ditulis pada 668 H., Bay‘at Ahl Makkah
yang dipersembahkan untuk sultan Zakari>yya> ibn ‘Abd al-Wa>h{id ibn Abi> H{afs},
seorang raja Afrika, dan salah satu risalah yang berisi surat menyurat dengan
teman sepemikirannya, Najm al-Di>n ibn Isra>’i>l, salah seorang murid Ibn
‘Arabi>.47 Ia juga memiliki hubungan dekat dengan raja Yaman, al-Muz}affar
Shams al-Di>n Yu>nus al-Awwal (647-694 H.), akan tetapi menterinya (wa>zir)
sangat membenci Ibn Sab‘i>n.48
Adapun berkaitan dengan proses kematiannya, para sejarawan
tampaknya berbeda pendapat, sebagian berpendapat bahwa Ibn Sab‘i>n
meninggal dengan bunuh diri,49 Esteban Lator menambahkan, sebagaimana
dikutip al-Tafta>za>ni>, bahwa ia bunuh diri karena menginginkan kemanunggalan
(al-ittih}a>di>yah) dengan Tuhan,50 sebagian lagi berpendapat bahwa ia meninggal

43
Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 48-49.
44
Taqy al-Di>n Ibn Taymi>yah, Majmu>‘at al-Rasa>’il wa-al-Masa>’il juz 4 ed.
Rashi>d Rid{a> (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1992), 84.
45
Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 51.
46
|Al-Ghabri>ni>, ‘Unwa>n al-Dira>yah, 238. Sharaf, Falsafat al-Tas}awwuf al-
Sab‘i>ni>, 20. Juga Ibn al-Khat}i>b, al-Ih}a>t}ah, 34. Al-Maqqari>, Nafh} al-T{i>b, 196. Pendapat
bahwa Ibn Sab‘i>n wafat pada 669/1270 merupakan pendapat mayoritas para ahli sejarah
penulis biografi dan peneliti Ibn Sab‘i>n.
47
Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 53-54 dan 65.
48
Ibn Sha>kir, Fawa>t al-Wa>fiya>t, 254.
49
Shams al-Di>n al-Dhahabi>, Ta>ri>kh al-Isla>m wa-Wafaya>t al-Masha>hir wa-al-
A‘la>m jilid 49, tah{qi>q ‘Umar ‘Abd al-Sala>m Tadmuri> (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>,
1999), 285. Lihat juga Ibn Sha>kir, Fawa>t al-Wa>fiya>t, 254.
50
Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 64. Bahkan Bensalem Himmich
menulis sebuah novel historis yang bercerita tentang Ibn Sab‘in, seorang Muslim yang
68

karena diracun oleh wa>zir Yaman yang membenci dirinya. Ada pula pendapat
mengatakan bahwa ia meninggal karena diracun, tapi entah siapa yang
meracunnya.51 Namun, menurut al-Tafta>za>ni>,52 Ibn Sab‘i>n meninggal secara
alami layaknya orang lain. Pendapat yang mengatakan bahwa ia meninggal
diracun atau bunuh diri adalah pendapat dari orang-orang yang membencinya.
Menurut penulis, pendapat al-Tafta>za>ni ini dapat dimengerti, karena mayoritas
penggiat sejarah dan penulis biografi, tidak menjelaskan proses bagaimana Ibn
Sab‘i>n wafat.

2. Karya-karya Ibn Sab‘i>n


Ibn Sab‘i>n, tergolong teosof yang cukup produktif dalam menghasilkan
karya tulis.53 Tidak kurang dari 46 karya tulis, sebagian menyatakan 45 karya
tulis yang dihasilkannya, baik berupa kita>b maupun risa>lah (p. rasa>’il), meskipun
sebagian tidak dapat ditemukan manuskripnya.54 Gaya tulisannya terkenal
syarat dengan simbolisme yang tidak mudah untuk “ditembus”.55
Ada beberapa literatur yang menguraikan karya-karya Ibn Sab‘i>n
dengan bentuk klasifikasi dan penamaan karya yang berbeda. Di antara berbagai
literatur tersebut, pendapat Ya>sir Sharaf dan al-Tafta>za>ni> nampaknya lebih
sistematis dan lengkap dalam menguraikan karya-karya Ibn Sab‘i>n. Sharaf
mengklasifikasikan karya Ibn Sab‘i>n tersebut berdasarkan pada jenis dan
keadaannya,56 sementara al-Tafta>za>ni> mengklasifikasikannya berdasarkan
bidang ilmu dari karya tersebut.57
Karya Ibn Sab‘i>n dapat dikelompokkan kepada tiga jenis, pertama,
dalam bidang tasawuf falsafi, ada sekitar 21 karya yang termasuk ke dalam
bagian ini, yaitu: Budd al-‘A<rif,58 Risa>lat al-Fath} al-Mushtarak,59 Jawa>b S{a>h}ib

melakukan bunuh diri. Bensalem Himmich, A Muslim Suicide, trans. Roger Allen (New
York: Syracuse University Press., 2011).
51
Al-Fa>si>, al-‘Iqd al-Thami>n, 334.
52
Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 65-66.
53
Al-Muna>wi>, al-Kawa>kib al-Durri>yah, 440. Juga Ibn Sha>kir, Fawa>t al-
Wa>fiya>t, 253.
54
Lihat al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 98-143. Bandingkan dengan
Sharaf, Falsafat al-Tas}awwuf al-Sab‘i>ni>, 40-50.
55
Patrizia Spallino, “Ibn Sab‘i>n, ‘Abd al-H{aqq”, 507-513. Lihat juga Al-
Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 90.
56
Sharaf, Falsafat al-Tas}awwuf al-Sab‘i>ni>, 40-50.
57
Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 98-143.
58
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, tah{qi>q George Kitturah (Beirut: Dār al-Andalus
dan Dār al-Kindī, 1978).
59
Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Fath} al-Mushtarak” dalam ‘Abd al-Rah}man Badawi>
(ed./muh}aqqiq), Rasa>’il Ibn Sab‘i>n,> (Kairo: Da>r al-Mis}ri>yah li-al-Ta’li>f wa-al-Tara>jim,
t.t), 247-258. Salinan karya ini juga ditulis oleh al-Mazi>di>, lihat Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-
Fath{ al-Mushtarak,” dalam Ah{mad Fari>d al-Mazi>di> (ed./muh}aqqiq), Rasa>’il Ibn Sab‘i>n
(Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007), 329-338. Dalam kedua salinan ini, Risa>lat al-
Fath} al-Mushtarak bernama Mula>h}az}a>t ‘alá Budd al-‘A<rif. Di sini, akan digunakan
salinan yang di tah}qi>q oleh al-Mazi>di>.
69

al-S{iqili>yah atau al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah,60 Risa>lat al-Ih}a>t}ah,61


Risa>lat al-Alwa>h} atau Khit}a>bulla>h bi-Lisa>n Nu>rihi,62 al-Risa>lah al-Qawsi>yah,63,
Risa>lah yang dimulai dengan kalimat: istami‘ li-ma> yuh}á,64 Risa>lah yang dimulai
dengan kalimat: i‘lam ‘allamakalla>h h}ikmatahu,65 Risa>lat al-Anwa>r atau Risa>lah
fi> Anwa>r al-Nabi>,66 Risa>lah fi> ‘Arfah,67, Risa>lat al-Alwa>h} al-Muba>rakah,68
Mujalladah S{aghi>rah fi> al-Jawhar,69 Kita>b al-Kadd,70 Risa>lat al-Tawajjuh atau
Risa>lah fi> al-Ni‘mah al-Ilahi>yah,71 dan Di>wa>n Shi’r.72 Kita>b al-Qist}, Nati>jat al-
H{ikam,73 al-Risa>lah al-Us}bu‘i>yah, al-Risa>lah al-H{ukmi>yah atau Risa>lah fi> al-
H{ikmah, Kita>b al-Buhat, dan al-Kita>b al-Kabi>r.74
Kedua, dalam bidang moralitas tasawuf dan ritual aplikatif (a>dab al-
tas}awwuf wa-riya>d{a>tuhu al-‘amali>yah). Kurang lebih ada 18 karya Ibn Sab‘i>n
dalam bidang ini: Risa>lat al-‘Ahd,75 al-Risa>lah al-Nu>ri>yah atau Kita>b al-

60
Ibn Sab‘i>n, al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah, tah{qi>q Muh}ammad Sharaf
al-Di>n Ya>ltaqa>ya> (Beirut: Al-Mat}ba’ah al-Ka>thu>li>ki>yah, 1941).
61
Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Ih}a>t}ah” dalam al-Mazi>di>, 193-211. Juga dalam salinan
Badawi>, 120-150.
62
Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Alwa>h{“ dalam al-Mazi>di>, 248-252. Juga dalam salinan
Badawi> 190-200.
63
Ibn Sab‘i>n, “Risa>lah fi> Madlu>l Kalima>t“ dalam al-Mazi>di>, 92-98. Setelah
diidentifikasi, karya tersebut adalah nama lain dari al-Risa>lah al-Qawsi>yah. Juga dalam
salinan Badawi>, 39-42.
64
Ibn Sab‘i>n, “Risa>lah“ dalam al-Mazi>di>, 73-91. Dalam salinan Badawi>, karya
ini berjudul Kita>b fi>hi H{ukm wa-Mawa>‘i>z}, 23-28.
65
Ibn Sab‘i>n, “Risa>lah“ dalam al-Mazi>di>, 389-391. Dalam salinan Badawi>,
karya ini berjudul wa-lahu Rad{iyalla>h ‘anhu, 308-311.
66
Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Anwa>r“ dalam al-Mazi>di>, 263-293. Dalam salinan
Badawi>, karya ini berjudul Risa>lah fi> Anwa>r al-Nabi>, 201-211.
67
Ibn Sab‘i>n, “Risa>lah fi> ‘Arfah” dalam al-Mazi>di>, 445-459. Dalam salinan
Badawi>, 362-374.
68
Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Alwa>h} al-Muba>rakah” dalam al-Mazi>di>, 357-364.
Dalam salinan Badawi>, 276-282.
69
Lihat Ibn Sha>kir, Fawa>t al-Wa>fiya>t, 255.
70
Lihat al-Maqqari>, Nafh} al-T{i>b, 202. Juga Ibn al-Khat}i>b, al-Ih}a>t}ah, 35.
71
Ibn Sab‘i>n, “Risa>lah fi> al-Ni‘mah al-Ilahi>yah” dalam al-Mazi>di>, 339-342.
Dalam salinan Badawi> hanya diberi judul Risa>lah, 259-262.
72
Lihat al-Maqqari>, Nafh} al-T{i>b, 206 dan 204. Hal ini juga disebutkan oleh Ibn
al-Khat}i>b bahwa Ibn Sab‘i>n menulis syair tentang al-tah}qi>q. Ibn al-Khat}i>b, al-Ih}a>t}ah, 33.
73
Karya ini disebutkan dalam komentar (sharh{) atas Risa>lat al-‘Ahd dalam al-
Mazi>di>, 108.
74
Lihat al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 122-127. Lihat juga Sharaf,
Falsafat al-Tas}awwuf al-Sab‘i>ni>, 42-49.
75
Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-‘Ahd” dalam al-Mazi>di>, 98-99. Dalam salinan Badawi>
diberi judul ‘Ahd Ibn Sab‘i>n li-Tala>midhihi, 43-44. Di kedua salinan tersebut, Risa>lat al-
‘Ahd disandingkan dengan komentar (sharh{) atas karya ini, yang ditulis oleh salah
seorang muridnya yang namanya tidak diketahui.
70

Nas}i>h}ah,76 al-Risa>lah al-Faqi>ri>yah,77 al-Risa>lah al-Rid{wa>ni>yah,78 Risa>lah fi>


Was}a>ya> li-As}h}a>bihi (wasiat untuk para sahabat Ibn Sab‘i>n) yang dimulai dengan
kalimat: sala>m ‘alaykum h}afaz}akumulla>h,79 Was}i>yah yang dimulai dengan
kalimat: man istaqa>ma fi> bida>yatihi,80 Was}i>yah yang dimulai dengan kalimat:
man t}alaba z}afar,81 Risa>lah yang dimulai dengan kalimat: Alla>h! Alla>h! Alla>h!,82
Risa>lah yang dimulai dengan kalimat: i‘lam hada>kakalla>h wa-as‘adak,83 Risa>lah
yang dimulai dengan kalimat: sala>m ‘alayk wa-rahmatulla>h,84 Risa>lah yang
dimulai dengan kalimat: i’lam ‘allamakalla>h h}ikamahu,85 Kita>b al-Safar,86 H{izb
al-Fath} wa-al-Nu>r, H{izb al-Faraj wa-al-Istikhla>s}, Da‘wat H{arf al-Qa>f,87 Kita>b
Bay‘at Ahl Makkah, H{izb al-H{ifz} wa-al-S{awt, al-Bah}th fi> Sha’n al-‘Azi>z, dan
Kita>b al-Lahw.88
Ketiga, dalam bidang ilmu nama-nama dan huruf (‘ilm al-asma>’ wa-al-
h}uru>f), ada tujuh karyanya yang dapat dikategorikan ke dalam bagian ini: Kita>b
al-Daraj,89 al-Durrah al-Mad{i>yah wa-al-Khafi>yah wa-al-Shamsi>yah, Lisa>n al-
Falak al-Na>t}iq ‘an Wajh al-H{aqa>’iq, Risa>lah fi> Asra>r al-Kawa>kib wa-al-Daraj
wa-al-Buru>j wa-Khawa>s}iha>,90 Sharh} Kita>b Idri>s,91 Kanz al-Mughrami>n fi> al-
H{uru>f wa-al-Awfa>q, dan Lamh}at al-H{uru>f. 92
Di antara semua karya Ibn Sab‘i>n, dua di antaranya berbentuk kita>b,
yaitu Budd al-A<rif dan al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah. Sementara selain

76
Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Nas}i>h}ah aw-al-Nu>ri>yah,” dalam al-Mazi>di>, 212-231.
Dalam salinan Badawi>, 151-189.
77
Ibn Sab‘i>n, “al-Risa>lah al-Faqi>ri>yah,” dalam al-Mazi>di>, 53-72. Dalam salinan
Badawi>, 1-22.
78
Ibn Sab‘i>n, “Al-Risa>lah al-Rid{wa>ni>yah,” dalam al-Mazi>di, 397-444. Dalam
salinan Badawi>, 316-355.
79
Ibn Sab‘i>n, “Was}i>yat Ibn Sab‘i>n li-As}h}a>bihi,” dalam al-Mazi>di>, 392-394.
Dalam salinan Badawi>, 312-313.
80
Ibn Sab‘i>n, “Was}i>yat Ibn Sab‘i>n li-As}h}a>bihi,” dalam al-Mazi>di>, 394. Dalam
salinan Badawi>, 313.
81
Ibn Sab‘i>n, “Was}i>yat Ibn Sab‘i>n li-As}h}a>bihi,” dalam al-Mazi>di>, 394. Dalam
salinan Badawi>, 313-314.
82
Ibn Sab‘i>n, “Risa>lah,” dalam al-Mazi>di>, 364-389. Dalam salinan Badawi>,
283-297.
83
Ibn Sab‘i>n, “Risa>lah,” dalam Badawi>, 298-307.
84
Lihat al-Maqqari>, Nafh} al-T{i>b, 202. Juga Ibn al-Khat}i>b, al-Ih}a>t}ah, 35.
85
Karya ini disebutkan dalam komentar (sharh{) atas Risa>lat al-‘Ahd dalam al-
Mazi>di>, 170.
86
al-Maqqari>, Nafh} al-T{i>b, 202.
87
Lihat al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 139-140.
88
Sharaf, Falsafat al-Tas}awwuf al-Sab‘i>ni>, 48-49.
89
Ibn al-Khat}i>b, al-Ih}a>t}ah, 35. Juga al-Maqqari>, Nafh} al-T{i>b, 202. Lihat juga al-
Zarkali>, al-A‘la>m, 280.
90
Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 142.
91
Ibn al-‘Ima>d, Sadhara>t al-Dhahab, 574. Juga al-Muna>wi>, al-Kawa>kib al-
Durri>yah, 441.
92
Sharaf, Falsafat al-Tas}awwuf al-Sab‘i>ni>, 49. Lihat juga al-Tafta>za>ni>, Ibn
Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 143.
71

itu berbentuk risa>lah yang 27 di antaranya masih dapat ditemukan, sedangkan


sebagiannya lagi sudah tidak dapat ditemukan.93 Di samping itu, menurut
Sharaf,94 ada empat karya yang dianggap oleh sebagian kalangan sebagai karya
Ibn Sab‘i>n (al-mu’allafa>t al-manh}u>lah), yaitu: Asra>r al-H{ikmah al-Mashriqi>yah
yang merupakan nama lain dari Risa>lat Hayy ibn Yaqz}a>n karya Ibn T{ufayl (w.
581 H./1185 M.), Kita>b al-Adwa>r karya S{afi> al-Di>n ‘Abd al-Mu’min, Kala>m fi
al-‘Irfa>n, dan Jawa>hir al-Sirr al-Muni>r fi> Us}u>l al-Bast} wa-al-Taksi>r dalam bidang
ilmu huruf. Al-Tafta>za>ni> menambahkan dua karya lainnya yang termasuk
kategori manh}u>lah,95 yaitu, Risa>lat al-Was}a>ya> wa-al-‘Aqa>’id dan Risa>lat Tarti>b
al-Sulu>k.

3. Posisi Penting Ibn Sab‘i>n


Paparan tentang biografi intelektual serta karya-karya Ibn Sab‘i>n di atas
kiranya cukup menggambarkan bagaimana keluasan pengetahuan dan
pemikirannya. Pengetahuan Ibn Sab‘i>n tentang tasawuf, filsafat, teologi dan fiqh
sangat luas. Dia mengenal berbagai aliran filsafat Yunani, Persia dan India, di
samping juga mendalami pemikiran para filosof Muslim.96 Pemikiran Ibn Sab‘i>n
yang ia tuangkan ke dalam karya-karyanya mengantarkan Ibn Sab‘i>n kepada
popularitas yang tinggi di masanya. tidak hanya di dunia Islam, bahkan Barat
pun mengakuinya, baik ketika ia masih hidup maupun setelah wafat.
Dalam konteks filsafat, Ibn Sab‘i>n dikenal sebagai filosof-sufi yang
mempunyai pandangan filosofis pemaduan antara intuisi dan logika. Dalam hal
ini, Nasr mengatakan,97 di antara semua filosof besar Andalusia terakhir, Ibn
Sab‘i>nlah yang telah menyusun salah satu sintesis besar antara doktrin Sufi dan
filsafat dalam sejarah pemikiran Islam. Pada diri Ibn Sab‘i>n pula dapat terlihat
gambaran hubungan erat antara tasawuf dan filsafat yang paling jelas.
Di dunia Islam sendiri, tidak selamanya pemikiran Ibn Sab‘i>n diterima.
Tidak sedikit cendikiawan Muslim yang menentangnya, mengklaim bahwa ia
sesat dan keluar dari Islam, bahkan mengkafirkannya. Menurut al-Tafta>za>ni>,98
kalangan yang kontra terhadap Ibn Sab‘i>n mayoritas adalah dari kalangan
Fuqaha>’ dan sejarawan. Selain yang menentangnya, banyak pula cendikiawan
yang mengagumi pemikirannya, memujinya dengan berbagai titel keilmuan dan
membelanya. Dari pandangan ini, Ibn Sab‘i>n dengan pemikirannya seolah
menjadi teks yang selalu menarik untuk ditafsirkan oleh banyak cendikiawan.
Pada bagian ini akan dibahas posisi Ibn Sab‘i>n di dunia Islam, baik mata para
penentang yang “memusuhinya” maupun para pendukung yang mengagumi atau

93
Sharaf, Falsafat al-Tas}awwuf al-Sab‘i>ni>, 43.
94
Sharaf, Falsafat al-Tas}awwuf al-Sab‘i>ni>, 50-51.
95
Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 146-147.
96
Lihat Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Tasawuf,
541-2.
97
Sayyed Hossein Nasr, “Tradisi Mistik: Sebuah Pengantar,” dalam
Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam Buku Pertama, ed. Sayyed Hossein Nasr dan Oliver
Leaman, terj. Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan, 2003), 462.
98
Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 149.
72

bahkan mengikutinya ajarannya, juga posisinya dalam kancah sosio-intelektual


di Barat.
Di antara cendikiawan dari kalangan Fuqaha>’ yang memusuhi Ibn
Sab‘i>n adalah Abu> Bakr ibn Khali>l al-Suku>ni> (w. 716 H./1316 M.). Menurut
beberapa literatur, ketika Ibn Sab‘i>n berada di Qabis, Tunis, al-Suku>ni>lah yang
memberikan pertentangan sangat keras kepadanya, hingga ia terusir dari Tunis
dan berhijrah ke Mesir. Bahkan al-Suku>ni> pun disebut-sebut telah menghasut
ulama di Mesir, bahwa ia adalah seorang mulh}id, yang akhirnya membuat para
ulama Mesir membenci Ibn Sab‘i>n. Al-Suku>ni> mengklaim nahwa Ibn Sab‘i>n
dengan doktrin al-Wah{dah al-Mut}laqah-nya adalah seorang zindiq, karena telah
menyamakan Sang Pencipta dengan makhluk-Nya.99
Selain al-Suku>ni>, Qut}b al-Di>n al-Qast}ala>ni> (614-686 H.),100 seorang
ulama ahli fiqh kenamaan asal Mesir, juga keras menentang pemikiran Ibn
Sab‘i>n. Al-Qast}ala>ni> bahkan menulis sebuah karya yang khusus “menyerang”
akidah Ibn Sab‘i>n dan tokoh Sufi-falsafi lainnya.101 Dengan tekanan ini, Ibn
Sab‘i>n tidak lagi mempunyai tempat berlindung, dan akhirnya hijrah ke
Makkah.102 Selain itu, pertentangan juga datang dari para tokoh Muslim
modern, antara lain Muh{ammad ibn ‘Ali> al-Shawka>ni> (w. 1250 H.) yang
mengkritik Ibn Sab‘i>n dalam karyanya al-S{awa>rim al-H{ida>d al-Qa>t}i‘ah,103 juga
al-H{ikami> (w. 1377 H.) dalam karyanya Ma‘a>rij al-Qabu>l.104
Tetapi di antara tokoh-tokoh di atas, Ibn Taymi>yah (661–728 H./1263–
1328 H.) adalah orang yang paling gencar memerangi pemikiran Ibn Sab‘i>n.
Serangan Ibn Taymi>yah terhadap pemikiran Ibn Sab‘i>n tercatat dalam banyak
karyanya, sebut saja, dalam Risa>lat al-Furqa>n bayna al-H{aqq wa-al-Ba>t}il,105
Majmu>‘at al-Rasa>’il wa-al-Masa’il, 106 Bughyat al-Murta>d ‘ala> al-Mutafalsifah
wa-al-Qara>mit}ah wa-al-Ba>t}inah yang hampir keseluruhannya menyerang akidah
Ibn Sab‘i>n,107 Minha<j al-Sunnah al-Nabawi>yah yang banyak menolak akidah Ibn

99
Ibn Khaldu>n yang dikutip dari al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 47
dan 150. Lihat juga Sharaf, Falsafat al-Tas}awwuf al-Sab‘i>ni>, 40.
100
Tentang Qut}b al-Di>n al-Qast}ala>ni>, lihat Ibn Sha>kir, Fawa>t al-Wa>fiya>t jilid 3,
310-312.
101
Lihat Ibn Taymi>yah, Majmu>‘at al-Rasa>’il, 84.
102
Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 151.
103
Muh{ammad ibn ‘Ali> al-Shawka>ni>, al-S{awa>rim al-H{adda>d al-Qa>t}i‘ah li-
‘Ala>’iq Arba>b al-Ittih}a>d, tah}qi>q Muh}ammad S{ubh}i> H{asan al-H{alla>q (San‘a: Da>r al-
Hijrah, 1990), 55-6.
104
H{a>fiz} ibn Ah}mad al-H{ikami>, Ma‘a>rij al-Qabu>l bi-Sharh} Sulam al-Wus}u>l ila>
‘Ilm al-Us}u>l jilid 1, tah}qi>q ‘Umar ibn Mah}mu>d Abu> ‘Umar (Makkah: Da>r Ibn al-
Qayyim, 1995), 370-371.
105
Ibn Taymi>yah, al-Furqa>n bayna al-H{aqq wa-al-Ba>t}il tah}qi>q H{usayn Yu>suf
Ghaza>l (Beirut: Da>r Ih}ya>’al-‘Ulu>m, 1987), 96.
106
Ibn Taymi>yah, Majmu>‘at al-Rasa>’il jilid 1, 91-92. Bagian dalam karya ini
disebut Risa>lat al-‘Ubu>di>yah. Juga pada juz 4 bagian madzhab Ittiha<di>yah.
107
Ibn Taymi>yah, Bughyat al-Murta>d ‘ala> al-Mutafalsifah wa-al-Qara>mit}ah wa-
al-Ba>t}inah tah}qi>q Mu>sa> ibn Sulayma>n al-Duways (Madinah: Maktabat al-‘Ulu>m wa-al-
H{ikam, 2001).
73

Sab ‘i>n dalam banyak bagiannya,108 dan lainnya. Hal ini dapat dikatakan wajar,
pasalnya, dalam kancah pemikiran Islam, Ibn Taymi>yah disebut-sebut sebagai
perintis neo-hanbalism, yaitu sebuah gerakan pemikiran yang menentang segala
bentuk pembaruan yang menurutnya bid‘ah, dan menginginkan Islam murni.
Karena itu, Ibn Sab‘i>n sebenarnya hanya satu dari sekian banyak cendikiawan
yang pemikirannya ditentang Ibn Taymi>yah. Salah satu komunitas yang gencar
ia kritik ialah kalangan filosof Peripatetik, bahkan, logika yang menjadi senjata
para filosof juga dikritik dan mencoba menawarkan konstruk logika baru.109
Di sini tidak akan dijelaskan bagaimana kritik dari tokoh-tokoh tersebut
secara rinci, namun yang pasti, semuanya menentang dan menyerang Ibn Sab‘i>n
lantaran doktrin al-Wah}dah al-Mut}laqah yang mereka tafsirkan sebagai
penyatuan antara Tuhan sebagai pencipta dan alam semesta sebagai ciptaan.
Bahkan Ibn Sab‘i>n dituduh telah mengatakan bahwa derajat kenabian dapat
diusahakan (muktasabah), yang dengan ini, mereka menganggap bahwa Ibn
Sab‘i>n telah keluar dari Islam. Bahkan tak tanggung, Ibn Taymi>yah mengatakan
bahwa Ibn Sab‘i>n adalah Musyrik.110
Selain dari kalangan Fuqaha>’, kritikan dan pertentangan juga datang
melalui karya-karya sebagian para sejarawan penulis biografi, antara lain Shams
al-Di>n al-Dhahabi> (w. 748 H.) dalam karyanya Ta>ri>kh al-Isla>m,111 Sejarawan
besar Ibn Kathi>r (w. 774 H.) dalam karya monumentalnya al-Bida>yah wa-al-
Niha>yah,112 juga Ibn Khaldu>n (732-808 H./1332-1406 M.) dalam Muqaddimah-
nya,113 Ibn Tighri> Birdi> (w. 874 H.) dalam karyanya al-Nuju>m al-Za>hirah,114 dan
lainnya.
Selama hidupnya dan bahkan setelah ia wafat, Ibn Sab‘i>n memang
seringkali dikritik, dihujat dan diserang oleh kalangan yang tidak menerima
pemikiran filsafatnya. Serangan tersebut sebagian besar berupa klaim-klaim
negatif yang disandarkan kepadanya, seperti kafir, musyrik, fasik, mulh}id dan
lain-lain. Selain berbentuk klaim negatif, serangan tersebut banyak pula
berbentuk pernyataan-pernyataan kontroversial yang disandarkan kepada Ibn
Sab‘i>n sebagai orang yang mengatakannya.
Di samping banyak yang menyerangnya, banyak pula kalangan yang
justru mengagumi dan memuji pemikiran serta karya Ibn Sab‘i>n. Di antara
kalangan ini tentu saja adalah murid-muridnya di T{ari>qat al-Sab‘i>ni>yah (tarekat

108
Ibn Taymi>yah, Minha<j al-Sunnah al-Nabawi>yah, tah}qi>q Muh{ammad Rasha>d
Sa>lim (Madinah: Mu’assasat Qurt}u>bah, 1986), khususnya juz 1 hal. 366-367, juz 5 hal.
334-335 dan juz 8 hal. 25-26,
109
Lihat lengkapnya dalam Zainun Kamal, Ibn Taimiyah versus Para Filosof:
Polemik Logika (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), khususnya bagian ke-2.
110
Ibn Taymi>yah, Majmu>‘at al-Rasa>’il jilid 1, 91.
111
al-Dhahabi>, Ta>ri>kh al-Isla>m, 49.
112
Ibn Kathi>r, al-Bida>yah wa-al-Niha>yah, 497.
113
‘Abd al-Rah{ma>n ibn Muh}ammad ibn Khaldu>n, Muqaddimat Ibn Khaldu>n juz
2, tah}qi>q ‘Abdullah Muh}ammad al-Darwi>sh (Damaskus: Da>r Ya’rib, 2004), 238.
114
Ibn Tighri> Birdi>, al-Nuju>m al-Za>hirah, 202.
74

yang didirikan olehnya)115 seperti al-Shustari> (w. 668 H.),116 seorang Sufi
kenamaan Andalus, juga Yah}ya> ibn Ah}mad ibn Sulayma>n al-Balnasi>, yang
menulis karya yang khusus menceritakan tentang keagungan (mana>qib) Ibn
Sab‘i>n berjudul al-Wara>thah al-Muh}ammadi>yah wa al-Fus}u>l al-Dha>ti>yah,117 dan
Ibn Wa>t}i>l, yang dikenal sebagai komentator Khul‘ al-Na‘layn karya Ibn Qasi> (w.
546 H./1151 M.).118
Selain murid-muridnya, banyak pula kalangan yang memuji dan
mengagumi karya-karya Ibn Sab‘i>n, baik dari kalangan Sufi, seperti Sufi
terkemuka Ibn Hu>d (630-697 H.),119 dan Sufi asal Mesir Nas}r al-Munbaji> (awal
abad ke-8 H.),120 maupun dari kalangan sejarawan yang memuji Ibn Sab‘i>n
dalam karya-karya biografisnya seperti al-Ghabri>ni> (w. 714 H.) dalam karyanya
‘Unwa>n al-Dira>yah,121 Ibn Sha>kir (w. 764 H.) dalam Fawa>t al-Wa>fiya>t-nya,122
Ibn ‘Abd al-Ma>lik (w. 741 H.),123 Ibn al-Khat}i>b (w. 776 H.) penulis karya
monumental al-Ih}a>t}ah fi> Akhba>r Gharna>t}ah, 124 al-Maqqari> (w. 1041 H.) dalam
karyanya Nafh} al-T{i>b,125 dan sejarawan al-Sha’ra>ni> (w. 923 H.) yang menggelari
Ibn Sab‘i>n sebagai salah satu Guru Besar.126
Kendati banyak kalangan yang pro dan kontra terhadap pemikirannya,
ada pula kalangan yang menangguhkan (tawaqquf) dalam menghukumi
pemikiran Ibn Sab‘i>n. Mereka adalah sekelompok dari tarekat al-Sha>dhili>yah,
antara lain Ibn ‘Iba>d al-Nafazi> al-Randi> (w. 733-792 H.), yang dikenal sebagai
komentator al-H{ikam karya Ibn ‘At}a>’illa>h al-Sukandari> (648-709 H./1250-1309
M.) dan Ah}mad Zaru>q (w. 846-899 H.).127 Netralitas mereka didasarkan pada
kenyataan bahwa mereka tidak mengingkari doktrin al-Wah}dah al-Mut}laqah-
nya Ibn Sab‘i>n, namun mereka melakukan kritik terhadap alur bahasa yang
digunakan Ibn Sab‘i>n dalam karyanya, yang menurut mereka sangat
menyulitkan orang yang mengkajinya.
Di Barat, tentu saja pengaruh Ibn Sab‘i>n tidak diragukan lagi pada
masanya. Setidaknya, dengan dilayangkannya pertanyaan filosofis mengenai
Aristoteliansme dari raja Sicilia, Frederick II (1194-1250) dan dengan jawaban
Ibn Sab‘i>n terhadap pertanyaan tersebut yang diabadikan dalam Jawa>b S{a>h}ib al-

115
Ibn Sha>kir, Fawa>t al-Wa>fiya>t, 253. Lihat juga al-Ghabri>ni>, ‘Unwa>n al-
Dira>yah, 237.
116
Lihat al-Ghabri>ni>, ‘Unwa>n al-Dira>yah, 239.
117
Lihat al-Maqqari>, Nafh} al-T{i>b, 196-197.
118
Ibn Khaldu>n, Muqaddimah juz 1, 535.
119
Ibn Taymi>yah, Bughyat al-Murta>d, 520.
120
al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 160-161.
121
al-Ghabri>ni>, ‘Unwa>n al-Dira>yah, 237.
122
Ibn Sha>kir, Fawa>t al-Wa>fiya>t, 255.
123
Lihat Ibn al-Khat}i>b, al-Ih}a>t}ah, 31-32.
124
Ibn al-Khat}i>b, al-Ih}a>t}ah, 34.
125
Lihat al-Maqqari>, Nafh} al-T{i>b, 196.
126
al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 162.
127
al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 162-165.
75

S{iqili>yah, menunjukkan sebuah kontribusi nyata Ibn Sab‘i>n terhadap sosio-


intelektual di Barat kala itu.128
Sebagaimana diketahui bahwa pada abad ke-13 Masehi, Eropa,
khususnya Sicilia masih berada di bawah naungan kekuasaan politik Islam,129
meskipun Frederick II sendiri seorang Katolik.130 Sehingga, persoalan-persoalan
keilmuan yang berkembang di Eropa kala itu selalu dikembalikan kepada
otoritas politik dan keilmuan dunia Islam.131 Ahmed menyatakan, Sicilia
merupakan salah satu jalur yang menjembatani transmisi keilmuan Yunani Kuno
ke dunia Islam setelah Andalus.132 Dalam konteks filsafat, abad ke-13 masehi
juga merupakan masa di mana persoalan-persoalan metafisika masih menjadi
tema utama dalam diskusi-diskusi keilmuan masyarakat Eropa. Karenanya,

128
Anna Ayşe Akasoy, “Ibn Sab‘i>n’s Sicilian Questions: The Text, Its Sources
and Their Historical Context,” Journal Al-Qant}ara XXIX, issue 1 (Januari-Juni 2008),
115-146. http://www.al-qantara.revistas.csic.es/index.php/al-qantara/article/viewFile/51/
45 (diakses pada 26 Februari 2013). Juga Francesco Gabrieli, “FREDERICK II AND
MOSLEM CULTURE,” East and West Vol. 9, No. 1/2 (MARCH-JUNE, 1958), 53-61.
http://www.jstor.org/stable/29753972 (diakses pada 8 Mei 2014). Lihat juga Tim
Penulis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Tasawuf, 541. Lihat juga Alberto
Varvaro, “Federico II e la cultura del suo tempo,” Studi Storici, Anno 37, No. 2, Il
tempo di Federico II (Apr. - Jun., 1996), 391-404. http://www.jstor.org/stable/20566766
(diakses pada 22 Agustus 2014).
129
Marshall G. S. Hodgson, Rethinking World History: Essays on Europe,
Islam and World History (Cambridge: Cambridge University Press., 2002), 130.
Bandingkan dengan Saunders, A History of Medieval, 178. Lihat juga Yahaya, “Sejarah
dan tamadun Islam di Sicily”, 297-315. Bandingkan dengan Sunanto, Sejarah Islam
Klasik, 157-168.
130
James M. Powell, “Church and Crusade: Frederick II and Louis IX,” The
Catholic Historical Review Vol. 93, No. 2 (April, 2007), vi, 251-264. http://www.jstor.
org/stable/25166835 (diakses pada 8 Mei 2014).
131
Charles Dalli, “From Islam to Christianity: the Case of Sicily,” Religion and
Mythology (2006), 151-168. https://www.academia.edu/243357/From_Islam_to_
Christianity_The_Case_of_Sicily (diakses pada 16 Mei 2014). Bandingkan dengan
Daniela Boccassini, “Falconry as a Transmutative Art: Dante, Frederick II, and Islam,”
Dante Studies with the Annual Report of the Dante Society, No. 125, Dante and Islam
(2007), 157-182. http://www.jstor.org/stable/40350663 (diakses pada 8 mei 2014). Lihat
juga Salah Zaimeche, “Sicily,” Foundation for Science Technology and Civilization
Publication ID: 4071 (November 2004). http://www.muslimheritage.com/uploads/
Sicily1.pdf (diakses pada 16 Mei 2014). Dalam hal ini, López-Baralt menyatakan bahwa
literatur-literatur Spanyol sangat kuat terpengaruh oleh literatur Islam. Luce López-
Baralt, “Islamic Influence on Spanish Literature: Benengeli’s Pen in "Don Quixote”,”
Islamic Studies Vol. 45, No. 4 (Winter 2006), 579-593. http://www.jstor.org/stable/
20839041 (diakses pada 15 Oktober 2014).
132
Akbar S. Ahmed, Discovering Islam: Making Sense of Muslim History and
Society (New York: Routledge, 2002), 44. Lihat juga Susan Douglass, Legacies and
Transfers: The Story of the Transfer of Knowledge from Islamic Spain to Europe.
http://www.islamicspain.tv/For-Teachers/11_Legacies%20and%20Transfers%20Story
%20of%20Transfer%20of%20Knowledge.pdf (diakses pada 11 November 2014).
76

jawaban Ibn Sab‘i>n yang membuat Frederick II terpuaskan merupakan


kontribusi nyata dunia Islam umumnya, dan Ibn Sab‘i>n pada khususnya terhadap
Barat.133
Kendati demikian, kemasyhuran Ibn Sab‘i>n di masanya ternyata tidak
serta merta membawanya kepada pupularitasnya di masa kini seperti filosof atau
Sufi lainnya. Hal ini pada dasarnya dilatari oleh kenyataan bahwa, pertama,
karya-karyanya yang terkesan sulit “ditembus” karena ia banyak menggunakan
ungkapan-ungkapan simbolis dalam meneguhkan pemikirannya. Kedua, klaim
kafir, mulh}id, zindiq, dan klaim negatif lainnya yang dilayangkan oleh kalangan
yang menentangnya, terutama kalangan Fuqaha>’, teolog dan sejarawan.134 Tak
pelak lagi, dua hal tersebut membuatnya semakin tenggelam dalam kancah
pemikiran di dunia Islam.

B. Al-Wah{dah al-Mut}laqah: Sebuah Doktrin “Penentu Arah”


“Alla>h Faqat” (Allah saja), itulah ungkapan yang berulang kali
diungkapkan Ibn Sab‘i>n dalam setiap lembaran salah satu karyanya, Risa>lat al-
Alwa>h.} 135 Ungkapan ini merupakan premis mayor (qad}i>yat al-kubrá) dalam
pandangannya mengenai al-Wah}dah al-Mut}laqah. Landasan awal berpikirnya
cukup sederhana, yaitu bahwa, wujud adalah satu, hanya wujud Allah saja.
Sementara wujud segala mawju>d adalah entitas wujud yang satu itu, tak ada
tambahan apa pun, dan wujud ini merupakan premis yang satu dan tetap.136
Bagi Ibn Sab‘i>n, hanya ada satu wujud yang benar-benar ada, yaitu
Wujud Mutlak, sedangkan yang selainnya adalah wahm (ilusi). Tetapi, bukankah
aneka wujud dapat disaksikan secara empiris? Lalu, apa hakikat wujud-wujud
itu? Di sini, menurut Ibn Sab‘i>n, wujud yang banyak, yang dipersepsikan oleh
pikiran dan terdeteksi oleh indra, bukanlah wujud hakiki. Wujud hakiki hanya
satu. Yang satu itu pun senantiasa ada dan tidak pernah tidak ada.137 Baginya,
sesuatu yang pernah tidak ada atau memiliki akhir keberadaannya, sebenarnya
bukanlah suatu yang dapat disebut Wujud, karena keberadaannya bersandar
kepada wujud lain.138 Artinya, sesuatu yang keberadaannya tergantung kepada

133
H{asan H{anafi>, Humu>m al-Fikr, 147-148. Lihat juga Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n
wa Falsafatuhu, 177-187.
134
Spallino, “Ibn Sab‘i>n, ‘Abd al-H{aqq” dalam Henrik Lagerlund (ed.),
Encyclopedia of Medieval Philosophy, 507-513. Bandingkan dengan Sayyed Hossein
Nasr dan William C. Chittick, World Sprituality: Manifestations, diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia, Islam Intelektual: Teologi, Filsafat dan Ma’rifat, terj. Tim
Perenial (Depok: Perenial Press, 2001), 78-81. Juga Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa
Falsafatuhu, 90.
135
Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Alwa>h{“ dalam al-Mazi>di>, 248-262. Juga dalam
salinan Badawi> 190-200.
136
Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Alwa>h{“ dalam al-Mazi>di>, 252 dan 257.
137
Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Alwa>h{“ dalam al-Mazi>di>, 252. Lihat juga Sharaf, Al-
Wah}dah al-Mut}laqah, 112.
138
Dalam filsafat Ibn Si>na>, sesuatu keberadaannya tergantung kepada wujud
lain atau wujud potensi disebut mumkin al-wuju>d. Lihat Mulyadhi Kartanegara,
Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2006), 82-83.
77

wujud lain tidak dapat disebut Wujud. Begitu pula sesuatu yang wujudnya
berakhir, tidak dapat disebut Wujud. Semua itu hanyalah awha>m (ilusi-ilusi)
belaka yang pada suatu waktu muncul, lalu kemudian menghilang.
Bagi Ibn Sab‘i>n, segala sesuatu yang terpikirkan dan terasa adalah ilusi,
atau, di tempat lain ia sebut sebagai mara>tib (kategori-kategori/gradasi-gradasi
konseptual) yang menjelma dalam pikiran dan perasaan. Ilusi sama sekali tidak
memiliki esensi.139 Karenanya, segala yang muncul dalam pikiran dan perasaan
bukanlah sesuatu yang memiliki esensi.140 Konsep tentang sesuatu tidak lain
adalah persepsi pikiran dan perasaan tentang sesuatu itu, dan tidak memiliki
esensi, karena hanya sebuah ilusi. Bahkan, akal dan perasaan itu sendiri pun
adalah ilusi. Berarti, segala sesuatu yang muncul dari ilusi adalah ilusi pula.
Tetapi, Wujud bukanlah ilusi, ia adalah Kebenaran Mutlak, dan ia hanya satu,
Wujud Allah.
Dengan mendasarkan pada ayat al-Qur’an “Segala sesuatu akan binasa
kecuali (wajah) Allah.” (Q.S. Al-Qas}as} [28] : 88), Ibn Sab‘i>n mengatakan
bahwa, gradasi wujud yang tampak dan berbeda-beda adalah materi-materi yang
tidak kekal. Al-H{aqq adalah Wujud, sementara ilusi adalah peringkat kepalsuan.
“Kullu shay’ ha>lik” adalah gradasi ilusi, dan “Illa> wajhahu” adalah wujud
hakiki.141 Begitu juga ia menyandarkan pandangan filosofisnya ini pada ayat
“Dialah yang Awal dan yang Akhir, yang Lahir yang Batin.” (Q.S Al-H{adi>d [57]
: 3), Allah adalah entitas setiap yang tampak (‘ayn kulli z}a>hir), karenanya, Allah
al-Z}a>hir, dan Allah adalah makna setiap makna (ma’ná kulli ma’ná), karenanya,
Allah al-Ba>t}in.142 Jadi, bagi Ibn Sab‘i>n, segala bentuk dikotomisasi dalam
realitas yang serba ganda seperti awal dan akhir, lahir dan bathin, azali dan
abadi, tidak ada perbedaan dalam sudut pandang wujud hakiki.
Ini berarti, dengan al-Wah}dah al-Mut}laqah-nya, Ibn Sab‘i>n
menempatkan ketuhanan pada wilayah yang absolut. Artinya, ia ingin
menempatkan Tuhan sebagai Kemahaesaan Mutlak yang tidak dapat ditandingi
oleh apa pun dan siapa pun. Sebab, Wujud Allah, menurutnya adalah sumber
bagi entitas yang ada dan entitas yang akan ada. Allah adalah sumber bagi
semua entitas yang ada pada masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
Wujud materi yang tampak, harus dikembalikan kepada Wujud Mutlak yang
bersifat ru>h}i> (imateri/spiritual). Dengan demikian, dalam menafsirkan wujud,
paham ini bercorak spiritual, bukan material.

Dari titik ini, agaknya Ibn Sab‘i>n menerima konsep Ibn Si>na> tentang tingkatan wujud
yang terbagi kepada wa>jib al-wuju>d (wujud niscaya), mumkin al-wuju>d (wujud potensi)
dan mumtani‘ al-wuju>d (yang tidak mungkin berwujud).
139
Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Alwa>h{“, 252.
140
Ibn Sab‘i>n menandaskan “Anna-al-h}aqq an yunsab kullu ma> udrika min-al-
ah}ka>m hissan aw ‘aqlan ilá al-tha>bit la ilá al-za>’il, li’anna nisbatahu ilá al-tha>bit haqq,
wa-nisbatuhu ilá al-murattabah al-za>’ilah wahm, fa-thabata anna-al-h}aqq huwa al-
wuju>d, wa-al-wahm hiya al-mara>tib al-za’ilah wa-al-ba>t}ilah”. Lihat Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat
al-Alwa>h{“, 252.
141
Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Alwa>h{“, 252 dan “Risa>lat al-Tawajjuh”, 340.
142
Lihat Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Alwa>h{“, 248.
78

Di sisi lain, dalam tradisi filsafat Islam, secara ontologis, mawju>da>t


dibagi menjadi dua kategori besar, mawju>da>t ru>h}a>ni>yah (wujud-wujud
immateril) dan mawju>da>t jisma>ni>yah (wujud-wujud fisik).143 Mawju>da>t
ru>h}a>ni>yah merupakan substansi rohani sederhana (jawhar al-ru>h}i>yah al-basi>t}ah)
yang meliputi: akal universal, jiwa universal dan materi pertama. Keseluruhan
wujud immateril tersebut sepenuhnya dapat ditangkap oleh intelek, bukan
melalui penginderaan. Sementara mawju>da>t jisma>ni>yah adalah benda-benda
yang komposisi pembentuknya merupakan perpaduan antara materi dan
bentuk.144 Keseluruhan wujud fisik ini tentu saja dapat ditangkap oleh
penginderaan.
Selanjutnya, Ibn Sab‘i>n pun memperluas kajian al-Wah}dah al-Mut}laqah-
nya ke berbagai kajian filosofis. Baginya, jiwa (al-nafs) dan intelek (al-‘aql)
manusia tidak mungkin mempunyai eksistensi yang riil sebagai fenomena
independen. Keduanya muncul karena lebih dahulu memiliki sumber
kemunculan (as}a>lah).145 Jadi, keduanya tidak dapat berdiri sendiri tanpa relasi
dengan sumbernya itu. Keduanya diyakini dari wujud yang satu, dan yang satu
tersebut justru tidak berbilang. Baginya, ke-wujud-an mawju>da>t hanyalah
sebagai ‘arad} (aksidensi) dalam hubungannya dengan jawhar (substansi). ‘Arad}
senantiasa berubah dan tidak bisa bertahan lama, karenanya, ‘arad} bukanlah
sesuatu yang abadi, dan dia bukan wujud.146
Bahkan, oleh Ibn Sab‘i>n, moral pun ditandai oleh corak Kesatuan
Mutlak. Kebajikan, kejahatan, kebahagiaan, dan kesedihan, terletak pada
realisasi dari kesatuan ini.147 Artinya, baik dan jahat sama dari sudut eksistensi.
Karena eksistensi itu satu dan mutlak Baik, bagaimana mungkin sebuah
kejahatan muncul? Al-Tafta>za>ni> dan Leaman mengatakan, bagi Ibn Sab‘i>n,
ma‘rifah (gnostik) sejati tidak mungkin digambarkan dengan bahagia, baik atau
sempurna, karena ia adalah kebahagian, kebaikan dan kesempurnaan itu
sendiri.148
Menurutnya, meskipun alam ini hanya wahm, ia tidak dapat dipisahkan
dari Wujud Mutlak. Hubungan antara keduanya adalah hubungan antara yang
kulli> (universal), yang Ibn Sab‘i>n sebut juga sebagai huwi>yah, wa>jib al-wuju>d
(wujud niscaya) atau al-rubu>bi>yah (ke-Tuhan-an), dengan yang juz’i> (partikular)
yang ia sebut juga dengan ma>hiyah, mumkin al-wuju>d (wujud potensial) atau al-

143
Wajiyah Ah}mad ‘Abdulla>h, Wuju>d ‘inda Ikhwa>n al-S{afa>’ (Iskandariyah: Da>r
al-Ma‘rifah al-Jam‘i>yah, 1989), 172.
144
Ah}mad ‘Abdulla>h, Wuju>d ‘inda Ikhwa>n al-S{afa>’, 172-3.
145
Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Alwa>h{“, 249.
146
Dalam epistemologinya, Ibn Sab‘i>n menyebut sembilan kategori wahm
yaitu: akal/intelek (al-‘uqu>l), pengetahuan (al-‘ilm), analaogi (al-qiya>s), definisi (al-
h}add), jiwa (al-nafs), kebiasaan (al-‘a>dah), relasi (al-id}a>fah), waktu (al-zama>n) dan
tempat (al-maka>n). Lihat Sharaf, al-Wah}dah al-Mut}laqah, 124.
147
Ibn Sab‘i>n, “al-Risa>lah al-Faqi>ri>yah”, 72. Juga “Risa>lat al-Ih}at> }ah,” 198.
148
Abu al-Wafa al-Taftazani and Oliver Leaman, “Ibn Sab‘i>n,” dalam History
of Islamic Philosophy part. I, ed. Sayyed Hossein Nasr and Oliver Leaman (London and
New York: Routledge, 1996), 351.
79

‘ubu>di>yah (ke-Hamba-an).149 Itu artinya, Wujud Mutlak dikatakan sebagai kulli>


dan alam semesta sebagai juz’i>. Seseorang tidak dapat mengidentikasi yang kulli>
tanpa adanya juz’i>, sebaliknya, yang juz’i> tidak akan ada tanpa yang kulli>. Oleh
sebab itu, segala yang terindrai, terpikirkan dan terasa adalah juz’i>ya>t, yang
melaluinya seseorang dapat mengenal yang kulli>.
Dengan kata lain, tidak akan ada universalitas tanpa partikularitas,
begitu pun sebaliknya, dan tidak akan ada wujud niscaya tanpa wujud potensial,
begitu juga sebaliknya, dan begitu seterusnya. Menyatunya universalitas dan
partikularitas, serta “berkaitkelindan” keduanya dengan entitas asal, itulah
Wujud. Meski segala sesuatu selain Wujud Mutlak hanya sebatas ilusi, ia tetap
memiliki makna, karena melaluinyalah seseorang dapat mengenal Wujud Mutlak
itu. Lagi-lagi, bagi Ibn Sab‘i>n, secara substansi, antara yang kulli> dan juz’i>
bukanlah sesuatu yang berbeda, tetapi merupakan satu kesatuan yang mutlak
(al-Wah}dah al-Mut}laqah).
Untuk mengabstraksikan konsep al-Wah}dah al-Mut}laqah-nya, Ibn
Sab‘i>n menganalogikan wujud dengan sebuah lingkaran. Keseluruhannya adalah
Wujud Mutlak, sementara wujud yang ada dalam lingkaran adalah wujud yang
nisbi atau ilusi.150 Antara kedua wujud tersebut pada dasarnya satu dan tidak ada
perbedaan. Karena itu, yang mutlak bisa dilihat dari yang nisbi dan kesatuan
antara keduanya adalah mutlak. Penulis melihat, hal ini Ibn Sab‘i>n tegaskan
dengan menggunakan logika intuitifnya.

Gambar 8: Da>’irat al-Wuju>d (Lingkaran Wujud)151


Jika demikian, apakah alam yang serba ganda dan dikotomik ini identik
dengan Tuhan seperti pada Panteisme152? Secara ontologis, Ibn Sab‘i>n tidak

149
Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Alwa>h{“, 253. Lihat juga Yunasril Ali, “Ibn Sab‘i>n”
dalam Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Tasawuf, 543.
150
Ibn Sab‘i>n, “al-Risa>lah al-Faqi>ri>yah”, 64-65.
151
Dikutip dari al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 215.
80

membedakan segalanya. Semuanya memiliki satu hakikat, yakni Wujud Mutlak.


Dengan demikian, Tuhan benar-benar imanen dalam alam, karena Dialah yang
menjadi realitas alam ini. Dari pandangan ini, Ibn Sab‘i>n memang kelihatan
dekat dengan panteisme.
Kendati demikian, dia tidak menyebut bahwa alam ini Tuhan. Baginya,
alam adalah ilusi, dan ia mengidentifikasi alam sebagai wuju>d muqayyad
(eksistensi terbatas), sementara wujud-wujud yang akan muncul hari esok
seperti kiamat, surga, neraka, ia sebut sebagai wuju>d muqaddar (eksistensi yang
ditakdirkan kemunculannya), dan itu semua bukan Wujud Mutlak, meskipun
hakikatnya tidak lain adalah Wujud Mutlak itu sendiri.153 Ibn Sab‘i>n
mengatakan “Allah adalah pemberi petunjuk, tiada Tuhan selain-Nya”, “Tuhan
(al-H{aqq) adalah sesuatu yang selainnya akan binasa kecuali dzat-Nya, hanya
kepada-Nya kita meminta pertolongan”.154 Dari ungkapan ini, Ibn sab‘i>n
mengakui transendensi Tuhan sebagaimana Ibn ‘Arabi> (560-638 H./1164-1240
M.). Karena itu, dia tidak dapat dikatakan sebagai panteis.155

152
Panteis atau panteisme adalah paham dan teori yang memandang segala
sesuatu yang terbatas sebagai aspek, modifikasi atau bagian dari satu wujud yang kekal
dan ada dengan sendirinya, yang memandang semua benda material dan semua pikiran
sebagai yang mesti berasal dari suatu substansi yang tak terhingga dan tunggal.
Substansi yang tunggal itu disebut Tuhan. Lihat Edward Craig (ed.), The Shorter
Routledge Encyclopedia of Philosophy (New York and London: Routledge, 2005), 769-
770. Juga Robert Flint, Anti-Theistic Theories (Edinburg dan London: William
Lackwood & Sons, 1899), 336. Juga Michael Proudfoot and A. R. Lacey, The Routledge
Dictionary of Philosophy Fourth Edition (London and New York: Routledge, 2010),
289. Bandingkan dengan Michael P. Levine, “Pantheism, Substance and Unity,”
International Journal for Philosophy of Religion Vol. 32, No. 1 (Agustus 1992) 1-23.
http://www.jstor.org/stable/40036697 (diakses pada 26 Juni 2014). Adapun kata
“panteis” itu sendiri pertama kali digunakan oleh John Toland, seorang deis Irlandia
dalam karyana Socinianism Truly Stated, yang diterbitkan pada 1705. Sedangkan istilah
“panteisme” pertama kali dipakai oleh salah seorang lawan dari Toland, Fay, pada tahun
1709. Sejak itulah kata-kata ini lazim digunakan untuk menunjuk sebuah paham yang
memandang bahwa “alam adalah Tuhan itu sendiri”. Lihat William L. Reese,
“Pantheisme and Panentheisme,” dalam The New Encyclopedia Britannica: Macropedia
vol. 26 (Chicago: Encyclopedia Britannica Inc., 1986), 589.
153
Ibn Sab‘i>n membagi wujud kepada tiga bagian, wuju>d mut}laq, muqayyad
dan muqaddar. Lihat Ibn Sab‘i>n, “al-Risa>lah al-Faqi>ri>yah”, 61. Juga “al-Risa>lah al-
Rid}wa>ni>yah”, 412. Lihat juga al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 211-215.
Bandingkan dengan Yunasril Ali, “Ibn Sab‘i>n” dalam Ensiklopedi Tasawuf, 543.
154
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 29 dan 42.
155
Tentang argumen ontologis panteisme, lihat Eric Steinhart, “Pantheism and
Current Ontology,” Religious Studies Vol. 40, No. 1 (Maret 2004), 63-80. http://www.
jstor.org/stable/20008510 (diakses pada 26 Juni 2014). Pada titik ini, Ibn Sab‘i>n
mengakui bahwa sekali pun transendensi Tuhan atas alam dan segala sesuatu adalah
mutlak, namun tidak berarti imanensi-Nya berkurang, apalagi dihilangkan. Transendensi
dan imanensi pada saat yang sama selalu berdampingan dan serentak sejalan. Banyak
ayat al-Qur’an yang menyatakan akan transendensi dan imanensi Tuhan. Tentang
transendensi-Nya misalnya firman Allah “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-
81

Lalu, bagaimana bisa entitas-entitas yang sangat banyak ini (mawju>da>t)


muncul dari wujud yang satu? Dalam masalah ini, sebagaimana filosof Muslim
lain seperti al-Fa>ra>bi> (257-339 H./870-950 M.) dan Ibn Si>na> (370-428 H./980-
1037 M.), Ibn Sab‘i>n pun mengangkat teori emanasi (al-fayd}).156 Akan tetapi,
pemikiran emanasinya juga merupakan rangkaian pemikiran dari keseluruhan
konsep al-Wah}dah al-Mut}laqah-nya. Karenanya, penulis menemukan beberapa
perbedaan –yang fundamental- antara teori emanasinya dan teori emanasi filosof
Muslim lain.
Bagi Ibn Sab‘i>n, Allah adalah pencipta segala sesuatu (mubdi‘ al-
ashya>’) dan pencurah segala kebaikan (mufi>d al-khayra>t) dengan sempurna.
Allah adalah sebab pertama (al-‘illah al-u>lá) yang mendahului segala sebab
penciptaan.157 Dalam teori emanasinya, ia menggunakan istilah al-qas}d al-awwal
(maksud [penciptaan] pertama) dan al-qas}d al-tha>ni> (maksud kedua). Dengan al-
qas}d al-awwal, maka muncullah al-mubda‘ al-awwal (yang pertama
diciptakan),158 yang dalam hierarki wujud, yang pertama diciptakan adalah al-
‘aql al-kulli> (akal universal).159 Jadi, yang dimaksud al-mubda‘ al-awwal adalah
Akal Universal. Sementara, dengan al-qas}d al-tha>ni>, yang disandarkan kepada
al-mubda‘ al-awwal, muncullah segala makhluk.160 Jika disederhanakan, Allah
dengan al-qas}d al-awwal-Nya menciptakan al-mubda‘ al-awwal atau akal
universal. Selanjutnya, al-mubda‘ al-awwal tersebut, dengan al-qas}d al-tha>ni>-
nya melahirkan segala makhluk. Pancaran penciptaan (emanasi) ini menurut Ibn
Sab‘i>n berjalan secara terus menerus (continue) dan tidak akan terputus.161

Nya” (Q.S. 42:11), “Tidak ada seorang pun yang sebanding dengan-Nya” (Q.S. 112:4).
Tentang imanensi-Nya seperti firman Allah “Dan Kami (Allah) lebih dekat kepadanya
(manusia) dari pada urat lehernya sendiri” (Q.S. 50:16), “Maka kemana pun kamu
menghadap, disitulah wajah Allah” (Q.S. 2:115).
156
Tentang emanasi al-Fa>ra>bi> dan Ibn Si>na> lihat karya al-Fa>ra<bi>, Ara>’ Ahl al-
Madi>nah, 61-2. Lihat juga misalnya Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam
Islam, cet. 12 (Jakarta: Bulan Bintang, 2010), 16-17. Juga Ian Richard Netton, Allah
Transcendent: Studies in the Structure and Semiotics of Islamic Philosophy, Theology
and Cosmology (London and New York: Routledge, 1989), 114-125 dan 163. Lihat juga
Kartanegara, Gerbang Kearifan, 33-42.
157
Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 201.
158
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 28.
159
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 113.
160
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 28.
161
Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Ih}a>t}ah”, 195 dan 212. Inilah yang menjadi alasan Ibn
Sab‘i>n menolak teori penciptaan dari tiada (creatio ex nihilo) seperti halnya al-Fa>ra>bi>.
Pada titik ini, Pendapatnya sama dengan pandangan Ibn ‘Arabi> yang juga menolak teori
itu. Bagi Ibn Sab‘i>n, entitas pertama sebelum terjadinya emanasi adalah apa yang ia
sebut al-qas}d al-qadi>m, sedangkan eksistensi pertama yang ditemukan sejak azali sesuai
dengan aturan-aturan azali dinamakan al-niz}a>m al-qadi>m, seperti adanya maksud
pertama (alqas}d al-awwal). Lihat Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 28 dan 148, juga al-
Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 204-205. Mengenai pandangan al-Fa>ra>bi> tentang
penciptaan dari tiada, lihat misalnya Damien Janos, “Al-Fa>ra>bi>, Creation ex nihilo, and
the Cosmological Doctrine of K. al-Jam‘ and Jawa>ba>t,” Journal of the American
82

Sedangkan dalam hal pancaran emanatifnya, perbedaan antara al-qas}d


al-awwal dan al-qas}d al-tha>ni> hanya pada tataran keterkaitannya (al-‘illi>yah)
saja. Keterkaitan al-qas}d al-awwal adalah antara pencipta dengan yang
diciptakan atau antara sebab dan akibat (al-‘illah wa-al-ma‘lu>l). Keterkaitan ini,
pada hakikatnya adalah satu, oleh karenanya, Ibn Sab‘i>n menamainya dengan al-
qas}d al-awwal (maksud penciptaan pertama). Sedangkan keterkaitan al-qas}d al-
tha>ni> adalah antara entitas-entitas yang mungkin ada (al-dhawa>t al-mumkina>t),
karena itu, ia dinamakan al-qas}d al-tha>ni>.162
Salah satu perbedaan teori emanasi Ibn Sab‘i>n dengan teori emanasi
filsuf Muslim lainnya ialah ia melihat ada dua versi emanasi. Namun satu
dengan yang lainnya tidak berbeda secara ontologis, hanya saja kedua versi itu
muncul dari sudut epistemologis. Pertama, emanasi kulli>ya>t, yaitu munculnya
alam secara global dari Yang Esa. Kedua, juz’i>ya>t, yakni munculnya alam secara
parsial dari Yang Mutlak. Di sini, Ibn Sab‘i>n melihat Yang Esa adalah sebagai
penyebab (‘illah) bagi kemunculan segala mawju>da>t.163
Dalam emanasi kulli>ya>t, tata urutannya dimulai dari realitas paling
sempurna dan paling tinggi status ontologisnya, diikuti realitas-realitas lain
yang derajat kemulian dan status ontologisnya lebih rendah, bahkan hingga
paling rendah sekalipun. Realitas segala wujud yang ada dalam emanasi kulli>ya>t
adalah wujud yang selalu kekal, tetap dan tidak mengalami perubahan. Karena
itu, yang pertama muncul dari Yang Esa (Allah) adalah akal universal (al-‘aql al-
kulli>) sebagai yang pertama diciptakan (al-mubda‘ al-awwal), kemudian secara
berentetan muncul jiwa universal (al-nafs),164 watak alamiah/nature (al-t}abi>‘ah),
materi (al-hayu>la>), tubuh absolut (al-jism al-mut}laq), bintang atau benda-benda
langit (al-falak), unsur-unsur (al-arka>n),165 dan generasi-generasi yang dilahirkan
(al-muwallada>t). Emanasi dari Yang Awal dan seterusnya dalam kapasitas
menurun dan semakin mengurangi kesempurnaan emanasi itu sendiri.166
Berbeda dengan di atas, emanasi juz’i>ya>t ialah semacam evolusi alam
tingkat terendah menuju pada Yang Mahasempurna. Karenanya, realitas wujud
partikular merupakan wujud yang senantiasa berada dalam proses kemenjadian
dan kerusakan (da>’imah fi> al-kawn wa-al-fasa>d). Evolusi tersebut berawal dari
realitas yang tingkatan dan status ontologisnya paling bawah (tidak sempurna),
kemudian secara evolutif mengalami perubahan menuju derajat lebih sempurna,
bahkan mencapai pada puncak kesempurnaannya. Ibn Sab‘i>n mencontohkan
Emanasi ini dimulai dari benda-benda inorganik (al-ma‘dan), kemudian

Oriental Society Vol. 129, No. 1 (January-March 2009), 1-17. http://www.jstor.org/


stable/40593865 (diakses pada 15 Oktober 2014).
162
Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 201.
163
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 112. Lihat juga al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa
Falsafatuhu, 205-7. Juga Yunasril Ali, “Ibn Sab‘i>n” dalam Ensiklopedi Tasawuf, 533-4.
164
Ibn Sab‘i>n memaknai jiwa sebagai esensi spritual non-material (jawhar
ru>h}a>ni>). Lihat Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 156.
165
Yang dimaksud unsur-unsur di sini adalah al-‘ana>s}ir al-arba‘ah (empat
unsur) yakni api, tanah, air dan udara. Lihat Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 114.
166
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 112.
83

berlanjut secara berurutan kepada tumbuhan/flora (al-naba>t), fauna (al-


h}ayawa>na>t), jiwa yang berakal (al-nafs al-na>t}iqah), akal aktif (al-‘aql al-fa‘a>l),
akal-akal murni (al-‘uqu>l al-mujarradah), hingga sampai kepada Allah, Sang
Mahamutlak.167
Dua klasifikasi sistem emanasi tersebut jelas mengasumsikan sebuah
sistem penciptaan (keberadaan) alam melalui emanasi di satu sisi, dan evolusi di
sisi lain. Wujud-wujud kulli>ya>t (universal) lebih mengambil bentuk penciptaan
secara emanatif, dari tingkatan yang sempurna menuju ke tingkatan yang lebih
rendah di bawah, dalam arti adanya peran sentral dirinya atas segenap wujud di
bawahnya. Sementara segenap wujud juz’i>ya>t (partikular) mengambil bentuk
penciptaan secara evolutif, berproses dari yang rendah hingga ke derajat
kesempurnaan, suatu proses menaik untuk menggapai kembali realitas wujudnya
yang semula ada di alam atas.

Gambar 9: Pemikiran Emanasi Ibn Sab‘i>n

167
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 112.
84

Dalam kaitannya dengan al-Wah}dah al-Mut}laqah, lagi-lagi Ibn Sab‘i>n


menyatakan bahwa penciptaan ini, atau lebih tepatnya teori emanasi ini,
sejatinya tidak akan ada penciptaan, tidak ada emanasi, universalitas, hakikat,
entitas dan kekuatan bagi pencipta-pencipta (mubtadi‘a>t) atau antara sebab-
sebab dan akibat-akibat, kecuali dengan al-qas}d al-awwal yang satu.168 Tentu
saja, teori emanasi ini juga semakin memperkuat doktrinnya tentang kesatuan
mutlak.
Hemat penulis, paham Ibn Sab‘i>n ini, secara radikal memang dianggap
berbeda dengan paham-paham ke-manunggal-an lainnya. Karena dengan al-
Wah}dah al-Mut}laqah-nya Ibn Sab‘i>n terkesan menegasikan kemungkinan-
kemungkinan (potensialitas) yang ada pada ruang lingkup wujud itu sendiri,
seperti pada umumnya paham tasawuf-falsafi lain yang mengakomodasi sesuatu
yang mungkin bagi wujud selain Tuhan. Karena hampir tidak mungkin untuk
bisa mendeskripsikan kesatuan tersebut, maka pada gagasan-gagasan ini
konsepsi tentang manusia pun tidak digunakan. Meski terkesan paradoks,
doktrin ini cukup membuktikan keluasan pemikiran filsafat Ibn Sab‘i>n,
khususnya dalam konteks tasawuf-falsafi, karenanya, al-Wah}dah al-Mut}laqah
ini harus dibaca dengan “menyelami” konteks filsafat Ibn Sab‘i>n secara
komprehensif.

C. Al-Muh{aqqiq: Konsepsi Manusia Ideal


Ibn Sab‘i>n dalam beberapa karyanya secara implisit mengatakan bahwa
konsep al-Wah}dah al-Mut}laqah adalah konsep yang elit. Tidak semua orang
dapat mencapainya, tidak dapat dicerna begitu saja oleh siapa pun.169 Baginya,
al-Wah}dah al-Mut}laqah adalah objek formal dari sebuah ilmu yang ia sebut
sebagai ‘Ilm al-Tah}qi>q, dan orang yang menapaki jalan untuk mencapai ilmu
tersebut disebut al-Muh}aqqiq (pencapai kebenaran) atau al-Muqarrab (orang
yang didekatkan [kepada Tuhan]), atau al-Wa>rith (pewaris).170 Artinya, predikat
al-Muh}aqqiq atau al-Muqarrab ini hanya diberikan kepada orang yang benar-
benar mampu mencapai pemahaman, penghayatan dan pengamalan yang
sempurna tentang al-Wah}dah al-Mut}laqah. Karenanya, menurut penulis, konsep
Ilm al-Tah}qi>q dan al-Muh}aqqiq ini juga merupakan rangkaian dari sebuah
gagasan besar (grand design) al-Wah}dah al-Mut}laqah-nya Ibn Sab‘i>n.
Predikat al-Muh}aqqiq atau untuk mencapai ‘Ilm al-Tah}qi>q, menurutnya
memerlukan proses panjang yang tidak hanya melibatkan intelektual belaka,

168
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 28 dan 148.
169
Lihat misalnya Budd al-‘A<rif, 170 dan 172.
170
Istilah-istilah tersebut banyak Ibn Sab‘i>n ungkapkan dalam karya
monumentalnya Budd al-‘A<rif. Dapat dikatakan bahwa karya ini adalah potret paling
lengkap mengenai pemikirannya tentang madzhab al-Muh}aqqiq dan Mant}iq al-Tah}qi>q
yang merupakan rangkaian dari gagasan besarnya tentang al-Wah}dah al-Mut}laqah.
Bahkan filolog yang menyalin karya tersebut, George Katturah, menambahkan judul
pada karya tersebut dengan nama Budd al-‘A<rif wa-‘Aqi>dah al-Muh}aqqiq al-Muqarrab
al-Ka>shif wa-T{ari>q al-Sa>lik al-Mutabattil al-‘A<kif.
85

tetapi juga, melalui penyucian ruhani. Penyucian spritual pun tidak dapat
dicapai tanpa melaksanakan syari’at secara ketat dan konsisten dibarengi
dengan penghayatan kalbu. Proses ini olehnya disebut safar (perjalanan ruhani),
dan orang yang menapakinya disebut musa>fir (penempuh jalan [ruhani]).171
Dalam madzhab al-Muh}aqqiq-ny\a, Ibn Sab‘i>n sangat mengapresiasi
kedudukan syari’at, khususnya Fiqh dalam pencapaian ‘Ilm al-Tah}qi>q.172 Ketika
musa>fir telah mampu menjalani syari’at secara ketat dan konsisten dan
menghayatinya dengan sepenuh hati, niscaya ia akan mencapai keyakinan
tentang adanya Kebenaran dan Kebaikan Mutlak. Segenap alam raya ini
sebenarnya mengacu kepada satu Titik Poros (Allah) dan semuanya berusaha
untuk mendekati-Nya, tetapi karena kegelapan jiwa, menyebabkan tidak semua
orang mampu mendekati-Nya. Keinginan untuk mendekati-Nya seringkali
terhalang oleh tabir-tabir kegelapan itu. Ketika cahaya syari’at didapatkan,
maka seseorang akan terterangi dan memperoleh cahaya untuk dapat berada si
sisi-Nya.
Meskipun demikian, sejatinya, bagi Ibn Sab‘i>n syari’at mungkin hanya
dapat mengantarkan para musa>fir kepada kedekatan dengan Kebenaran Mutlak,
ia tidak bisa mengantarkannya mencapai Kebenaran Mutlak itu. Kebenaran
Mutlak hanya bisa dicapai dengan sebuah pengetahuan yang disebut Ilm al-
Tah}qi>q yang berakar pada pemahaman sempurna tentang al-Wah}dah al-
Mut}laqah.173 Suatu pengetahuan yang bersifat ilahiyah, yang diperoleh melalui
perantaraan ‘irfa>n al-dhawqi> (pengetahuan intuitif), bukan melalui intelek
diskursif. Bahkan dari segi epistemologis, Ibn Sab‘i>n dalam Risa>lat al-Ih}at}ah-
nya menyatakan “ilmu al-Wah}dah al-Mut}laqah (‘ilm al-tah}qi>q) adalah ilmu yang
muncul sebelum tas}awwur dan tas}di>q (yang keduanya adalah perangkat logika),
bukan sesudahnya”.174 Itu artinya, bagi Ibn Sab‘i>n, ‘Ilm al-Tah}qi>q adalah ilmu
suci yang menjadi fitrah seluruh manusia, pencapaian kepadanya bukan dengan
intelek belaka, tetapi dengan intuisi (dhawq). Karena itu, al-Tafta>za>ni>
menyatakan bahwa Ilm al-Tah}qi>q adalah sebuah pengetahuan gnostik-intuitif
yang khas.175
Upaya untuk mencapai Ilm al-Tah}qi>q ini adalah dengan kesungguhan
dalam membersihkan kalbu, sehingga musa>fir dapat menemukan hembusan dan
pancaran ilahiyah sebagai karunia dari Tuhan. Dengan begitu, ia mampu melihat

171
Ibn Sab‘i>n, “al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah”, 41.
172
Pada konteks ini Ibn Sab‘i>n menggunakan istilah bida>yah untuk menunjuk
kepada pelaksanaan syari’ah secara konsisten. Lihat Ibn Sab ‘i>n, Budd al-‘A<rif, 95.
173
Ibn Sab‘i>n, “al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah”, 26. Istilah ‘ilm al-tah}qi>q
di sini, tentu tidak dimaknai sebagai ‘ilm al-tah}qi>q dalam bidang filologi. Di mana
dalam bidang filologi lebih tepat disebut dengan istilah ‘ilm tah}qi>q al-nus}u>s}, ‘ilm tah}qi>q
al-tura>th atau studi naskah. Selanjutnya tentang ‘ilm tah}qi>q al-nus}u>s}, Lihat Ramad}an
‘Abd al-Tawwa>b, Mana>hij Tah}qi>q al-Tura>th bayna al-Qada>má wa-al-Muh}addithi>n
(Kairo: Maktabat al-Kha>naji>, 1985), 3 dan 5.
174
Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Ih}a>t}ah”, 198.
175
Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 252.
86

apa yang tidak terlihat, mengetahui apa yang tidak diketahui, dan segala sesuatu
akan menjadi nyata baginya.176
Ibn Sab‘i>n meyakini bahwa al-Muh}aqqiq adalah manusia paripurna dan
ideal, yang pada dirinya terhimpun kesempurnaan seorang faqi>h, teolog, filosof
dan Sufi. Empat kelompok intelektual tersebut adalah kelompok yang menjadi
objek komparasi dalam menyuarakan gagasan al-Muh}aqqiq-nya dalam berbagai
wacana. Karena dia (al-Muh}aqqiq) menghimpun segala kesempurnaan, maka ia
lebih sempurna dari kelompok itu. Hal ini dinyatakan oleh Ibn Sab‘i>n dalam
Budd al-‘A<rif177 dan oleh salah seorang murid Ibn Sab‘i>n -yang tidak diketahui
namanya- yang mengomentari (sharh}) karya Ibn Sab‘i>n, Risa>lat al-‘Ahd.178 Dari
sisi jasmani, al-Muh}aqqiq adalah makhluk baru dan terbatas, tetapi dari sisi
ruhani, ia melampaui batas-batas ruang dan waktu.
Dalam menegaskan madzhab al-Muh}aqqiq-nya, Ibn Sab‘i>n dalam
beberapa karyanya -terutama Budd al-‘A<rif- selalu mengkomparasikan berbagai
wacana keilmuan filosofis dengan empat kalangan, yaitu Fuqaha>’ (ahli Fiqh),
teolog (ash‘ari>yah),179 filosof (faylasu>f) dan Sufi.180 Keempat kalangan tersebut,
menurutnya, dalam beberapa wacana berada dalam kebenaran, namun dalam
wacana lain, ia seringkali mengkritik mereka. Meski demikian, perlu ditegaskan,
pertama, Ibn Sab‘i>n mengakui bahwa dia adalah seorang al-Muh}aqqiq, kedua,
bahwa madzhab al-Muh}aqqiq yang digagasnya dibangun di atas asas-asas empat
kelompok intelektual ini.181
Salah satu wacana yang diangkat Ibn Sab‘i>n dengan
mengkomparasikannya dengan empat kelompok keilmuan tersebut adalah
tentang aksiologi ilmu (al-kama>la>t). Di awal, ia menjelaskan bahwa
kesempurnaan bagi seorang ahli Fiqh hanya dapat dicapai dengan memahami
bahasa Arab dan menguasai ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadits, karena bagi
seorang ahli Fiqh, ilmu adalah memahami hukum-hukum syari’at yang bersifat
ijtihadiyah.182 Ia melanjutkan bahwa kesempurnaan menurut para teolog
(ash‘ari>yah) hanya bisa dicapai dengan akal sehat, fitrah suci manusia, ijtihad
universal dan memahami sifat-sifat Tuhan yang dengan itu seseorang akan
mampu menyusun argumen demi meneguhkan akidahnya.183
Sementara, kesempurnaan menurut kalangan filsuf adalah dengan
menguasai logika dan tujuan berbagai ilmu, demi mencapai akal aktif (al-‘aql al-

176
Yunasril Ali, “Ibn Sab‘i>n” dalam Ensiklopedi Tasawuf, 545.
177
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 95.
178
“Sharh} Risa>lat al-‘Ahd”, dalam al-Mazi>di>, 109-110.
179
Secara khusus Ibn Sab‘i>n mengangkat kelompok ash‘ari>yah sebagai wakil
dari teolog karena pada masa ia hidup, kelompok ini adalah kelompok mayoritas di
dunia Islam, bahkan ia pun sempat memperdalam teologi ash‘ari>yah ini. Lihat misalnya
al-Fa>si>, al-‘Iqd al-Thami>n, 327.
180
“Sharh} Risa>lat al-‘Ahd”, 109-110.
181
“Sharh} Risa>lat al-‘Ahd”, 110.
182
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 98. Lihat juga “Sharh} Risa>lat al-‘Ahd”, 110 dan
117.
183
“Sharh} Risa>lat al-‘Ahd”, 117. Juga Budd al-‘A<rif, 99.
87

fa‘a>l).184 Sedangkan menurut Sufi, kesempurnaan hanya bisa dicapai dengan


mengambil prinsip-prinsip syari’ah-nya Fuqaha.’, dan akidah-nya para teolog,
setelah itu, harus membersihkan diri dari selain Allah dan menghiasi diri dengan
sifat-sifat terpuji seperti ikhlas, sabar, jujur, dan lainnya.185
Lalu bagaimana kesempurnaan menurut madzhab al-Muh}aqqiq,
madzhab yang digagasnya? Menurutnya, kesempurnaan adalah melihat segala
sesuatu sebagai sebuah kesatuan, tidak ada dikotomi. Bagi al-Muh}aqqiq,
kesempurnaan harus menolak logika bipolar (kekurangan dan kelebihan) dalam
segala sesuatu, karena semuanya berada dalam Kesatuan Mutlak.186 Dalam
konteks Kesatuan Mutlak, Ibn Sab‘i>n dengan al-Muh}aqqiq-nya memposisikan
dirinya di antara kalangan Fuqaha>’, teolog, filsuf dan Sufi sebagai orang yang
dapat mencapai kebenaran sempurna. Sementara mereka (empat kalangan)
meskipun mempunyai kebenaran masing-masing, tetapi tidak mampu mencapai
kebenaran yang sempurna, karena baginya, kebenaran adalah Kesatuan
Mutlak.187 Lagi-lagi, al-Muh}aqqiq adalah sebuah rangkaian dari gagasan besar
al-Wah}dah al-Mut}laqah.
Dari kritik dan komparasi Ibn Sab‘i>n terhadap empat kalangan
intelektual tersebut, menurut penulis, secara epistemologis ia meyakini bahwa
metodologi keilmuan dan teori kebenaran yang dimiliki oleh masing-masing
kalangan tersebut berbeda. Ia berusaha mendudukkan persoalan filsafat secara
proporsional dan mengakui ada pluralisme kebenaran, mengakui ada kebenaran
di kalangan lain selain madzhab yang digagasnya, meskipun pada akhirnya ia
mengatakan bahwa madzhabnya yang paling benar dalam konteks Kesatuan
Mutlak.
Yang menarik adalah bagaimana Ibn Sab‘i>n memposisikan al-Muh}aqqiq
atau al-Muqarrab ini dalam bingkai kosmologi. Menurutnya, seorang al-
Muh}aqqiq adalah individu yang sempurna, yang terlaksana dengan Wujud
Mutlak. Ia adalah mediator atau perantara (al-wa>sit}ah) antara Allah dan alam
semesta setelah Nabi.188 Komentator Risa>lat al-‘A<hd menyatakan “Allah adalah
Kebaikan yang dicari oleh alam semesta, dan Allah tidak mungkin dicapai dan
diketahui kecuali dengan perantara Nabi, maka Nabi pun dicari oleh alam
semesta. Namun Nabi pun tidak mungkin diketahui hakikat dan esensinya tanpa
pewaris (al-wa>rith), ia adalah al-Muhaqqiq, seseorang yang sempurna. Ia adalah
perantara untuk sampai kepada Nabi sekaligus ia perantara untuk sampai kepada
Allah, Sang Kebaikan Mutlak”.189 Inilah yang melatari perkataan Ibn Sab‘i>n
bahwa al-Muqarrab adalah entitas seluruh kebaikan dan seluruh alam kosmik.190

184
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 108. Juga “Sharh} Risa>lat al-‘Ahd”, 117
185
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 127-128. Lihat juga al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa
Falsafatuhu, 258. Juga “Sharh} Risa>lat al-‘Ahd”, 118.
186
“Sharh} Risa>lat al-‘Ahd”, 118.
187
Ibn Sab‘i>n, “al-Risa>lah al-Faqi>ri>yah”, 68. Lihat juga al-Tafta>za>ni>, 267-8.
188
“Sharh} Risa>lat al-‘Ahd”, 186-7.
189
“Sharh} Risa>lat al-‘Ahd”, 186.
190
Ibn Sab‘i>n “Risa>lat al-Fath} al-Mushtarak”, 333-4.
88

Al-Tafta>za>ni> menggambarkan posisi al-Muhaqqiq dalam alam kosmik


ibarat lingkaran yang berlapis empat (da’irat al-wuju>d). Lapis pertama adalah
pewaris-nya pewaris (wa>rith al-wa>rith), lalu al-Muh}aqqiq di lapis kedua, di lapis
ketiga ada Nabi, dan di lapis terakhir adalah Allah sebagai Sistem Mutlak (al-
Niz}a>m al-Mut}laq).191 Semuanya merupakan kesatuan yang integral dalam
bingkai Kebaikan Mutlak. Bagi Ibn Sab‘i>n, secara spiritual (ru>h}a>ni>) al-
Muh}aqqiq adalah penghimpun seluruh alam, penghimpun seluruh kesempurnaan
dan kebijaksanaan, yang darinya keluar gnostik yang sempurna (al-‘irfa>n).192

Gambar 10: Posisi al-Muh}aqqiq dalam Kosmik193

Beberapa literatur menyebutkan, pada dasarnya, konsep tentang al-


Muh}aqqiq, al-Muqarrab atau al-Wa>rith ini identik dengan konsep tentang
manusia idealnya para sufi dan teosof lain seperti al-Insa>n al-Ka>mil dalam
tasawuf Ibn ‘Arabi> (560-638 H./1164-1240 M.) dan al-Ji>li> (w. 826 H./1422 M.),
al-Wali> al-Ka>mil-nya Abu> Yazi>d al-Bust}a>mi> (w. 262 H./875 M.), al-Qut}b
menurut Ibn al-Fa>rid{ (w. 632 H./1234 M.), atau al-H{aki>m al-Muta‘a>li>-nya al-
Suhrawardi> (549-587 H./1154-1191 M.).194 Namun sejatinya, al-Muh}aqqiq-nya
Ibn Sab‘i>n merupakan sebuah konsepsi manusia paripurna yang pada dirinya
terhimpun seluruh kesempurnaan seorang faqi>h, teolog, filsuf dan Sufi. Inilah
yang membedakan konsep manusia ideal Ibn Sab‘i>n dengan konsep dari Sufi
atau teosof lainnya.
Dibanding al-Insa>n al-Ka>mil dalam tasawuf Ibn ‘Arabi> misalnya, bagi
Ibn ‘Arabi>, al-Insa>n al-Ka>mil adalah cerminan alam semesta. Dalam dirinya
terhimpun unsur alam semesta, dalam arti, al-Insa>n al-Ka>mil adalah
mikrokosmos yang mengandung segala unsur alam semesta sebagai

191
Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu, 272.
192
Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu, 275.
193
Dikutip dari Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu, 272.
194
Lihat misalnya al-Tafta>za>ni>, Madkhal ila> al-Tas}awwuf al-Isla>mi> (Kairo: Da>r
al-Thaqa>fah li-al-Nashr wa-al-Tawzi>‘, 1979), khususnya bagian keenam.
89

makrokosmos.195 Sedangkan bagi Ibn Sab‘i>n, al-Muh}aqqiq adalah entitas segala


kebaikan dan dia adalah penjelamaan alam kosmik dalam perspektif Kesatuan
Mutlak.196 Itu artinya, konsepsi manusia ideal yang digagas Ibn Sab‘i>n, secara
ontologis bersifat absolut-spritual dalam lingkup yang lebih luas dan merupakan
rangkaian dari gagasan besarnya tentang al-Wah}dah al-Mut}laqah.
Meski terkesan sangat abstrak, sebenarnya Ibn Sab‘i>n tetap
menyandarkan gagasan al-Muh}aqqiq atau al-Muqarrab-nya ini kepada nas}s} al-
Qur’an, meskipun menurut penulis penyandaran tersebut hanya bersifat literal.
Di antara nas}s} al-Qur’an tersebut antara lain Q.S. al-Wa>qi‘ah [56] : 10-12 dan
88-89,197 al-Mut}affifi>n [83] : 20-21 dan 27-28,198 A>li ‘Imra>n [3] : 45,199 al-Nisa>’
[4] : 172200 serta al-Nu>r [24] : 35 dan 40.201 Dari sini dapat dipahami bahwa
untuk menegaskan madzhab al-Muh}aqqiq-nya, ia pun menggunakan otoritas al-
Qur’an dalam penggunaan istilah al-Muh}aqqiq dan al-Muqarrab. Hanya saja, ia
tidak menggunakan interpretasi dari para mufassir di masanya untuk

195
Muh}yi> al-Di>n Ibn ‘Arabi>, Fus}u>s} al-H{ikam, ed. Abu> al-‘Ala> al-‘Afi>fi> (Beirut:
Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, t.t), 48.
196
Ibn Sab‘i>n “Risa>lat al-Fath} al-Mushtarak”, 333-4.
197
“Mereka itulah yang didekatkan kepada Allah (al-Muqarrabu>n), berada
dalam surga kenikmatan” (11-12). “Adapun jika dia (orang yang mati) termasuk orang-
orang yang didekatkan (kepada Allah), maka dia memperoleh ketenteraman dan rezki
serta jannah kenikmatan” (88-89).
198
“(Yaitu) kitab yang bertulis, yang disaksikan oleh malaikat-malaikat yang
didekatkan (al-Muqarrabu>n) [kepada Allah].” (20-21). “Dan campuran khamar murni itu
adalah dari Tasnim, (yaitu) mata air yang minum daripadanya orang-orang yang
didekatkan kepada Allah.” (27-28).
199
“(Ingatlah), ketika Malaikat berkata: "Hai Maryam, sesungguhnya Allah
menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan
kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al Masih Isa putera Maryam, seorang
terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (al-
Muqarrabu>n) [kepada Allah]”.
200
“Al-Masi>h} sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah, dan tidak
(pula enggan) malaikat-malaikat yang terdekat (al-Muqarrabu>n) [kepada Allah].
Barangsiapa yang enggan dari menyembah-Nya, dan menyombongkan diri, nanti Allah
akan mengumpulkan mereka semua kepada-Nya”.
201
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya
Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar.
Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti
mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon
zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah
barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh
api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa
yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia,
dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (35). “Atau seperti gelap gulita di lautan
yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi)
awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah
dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah
tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun.” (40).
90

menafsirkan ayat-ayat tersebut, melainkan ia melakukan ta’wi>l demi


menegaskan madzhab al-Muh}aqqiq, madzhab yang diusungnya.

D. Mant}iq al-Muh}aqqi>q: Kritik Logika Formal


Pada umumnya, kalangan Sufi dalam menegaskan pemikirannya, tidak
menggunakan logika formal Aristotelian sebagaimana yang dilakukan oleh para
teolog (mutakallimu>n) dan para filsuf Islam (fala>sifah), yang menggunakan
pendekatan filsafat. Sementara itu, para teosof tidak hanya menggunakan
metode teoritis dan pendekatan filosofis an sich, melainkan juga dengan
menggunakan pendekatan intuisi dan kashf (penyingkapan), yang dalam kajian
epistemologi Islam disebut ‘ilm h}ud}u>ri> atau knowledge by presence.202
Sebagian teosof mengkritik pedas logika Aristotelian, seperti yang telah
dilakukan oleh al-Suhrawardi> al-Maqtu>l (549-587 H./1154-1191 M.),203 sang
teosof iluminasi, dan juga Ibn Sab‘i>n. Meski demikian, hal itu tidak hanya
berhenti pada sikap kritis yang membabi buta dan serampangan. Tetapi justru
dengan kritik konstruktif dan produktif, teosof mampu menawarkan logika
tandingan sebagai ganti atas logika Aristotelian yang telah “dihancurkannya”.
Al-Suhrawadi> misalnya, mengkonstruksi logika illmuninasi (al-mant}iq al-
ishra>qi>) dan Ibn Sab‘i>n membangun logika Kesatuan Mutlak, atau disebut
Mant}iq al-Muh}aqqiq sebagai logika tandingan atas logika formal Aristotelian,
yang -bagi mereka- paling layak untuk digunakan dalam meraih kebenaran yang
hakiki.
Dalam karya monumentalnya, Budd al-‘A<rif, Ibn Sab‘i>n secara panjang
lebar membahas, menelaah dan melakukan kritik terhadap logika Aristotelian.
Lebih dari dua pertiga karyanya itu, ia secara khusus melakukan dekonstruksi
terhadap isu-isu logika formal (form logic) Aristotelianisme. Sistematika
penulisannya cukup sederhana dalam melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi
terhadap logika yang dianut kalangan filsuf Peripatetik itu, yaitu dengan
menganalisa persoalan-persoalan logika, mengkritiknya, kemudian ia
menawarkan rangka bangun logika baru yang ia sebut sebagai Mant}iq al-
Muh}aqqiq. Inilah yang menurut al-Tafta>za>ni>,204 menjadi ciri khas dari filsafat

202
Tentang konstruk epistemologi ilmu Hud}u>ri> ini, lihat lengkapnya Mehdi
Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by
Presence (New York: SUNY Press, 1992). Mengenai perkembangan logika dalam tradisi
intelektual Islam hingga abad ke-13, lihat John Walbridge “Logic in the Islamic
Intellectual Tradition: The Recent Centuries,” Islamic Studies Vol. 39, No. 1 (Spring
2000), 55-75. http://www.jstor.org/stable/23076091 (diakses pada 22 Mei 2014).
203
Mengenai logika iluminasi Suhrawardi, lihat Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi
and the School of Illumination (Richmonde: Curzon, 1997). Lihat juga Mah}mu>d
Muh}ammad ‘Ali> Muh}ammad, Al-Mant}iq al-Ishra>qi> ‘inda Shiha>b al-Di>n al-Suhrawardi>
(Kairo: Mis}r al-‘Arabi>yah li-al-Nashr wa-al-Tawzi>‘, 1999), khususnya bagian keempat
tentang kritiknya terhadap logika Aristotelian. Bandingkan dengan Hossein Ziai,
Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta:
Scholars Press, 1990).
204
Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu, 296.
91

tasawuf-nya Ibn Sab‘i>n, yang karena itu ia dikategorikan sebagai seorang teosof,
Ah}mad Zaru>q yang menyatakan bahwa tasawuf Ibn Sab‘i>n didirikan di atas
pondasi logika.205 Juga Cornell yang mengistilahkan sistem pikir Ibn Sab‘i>n
seperti ini dengan Axial Intellect.206
Ibn Sab‘i>n “menghancurkan” logika Aristotelian dengan berusaha
sungguh-sungguh meletakkan dasar-dasar logika yang baru, Mant}iq al-
Muh}aqqiq, yakni logika yang bersifat gnostik-intuitif.207 Logika yang tidak
berpijak pada penalaran rasio, seperti induksi dan deduksi, akan tetapi berpijak
pada nilai-nilai ketuhanan, yang dengan logika ini manusia bisa melihat sesuatu
yang tidak terlihat dan bisa mengetahui sesuatu yang tidak bisa diketahui.208
Karena itu, ini adalah logika intuitif. Ini pulalah yang menjadi alasan mengapa
Nasr mengatakan bahwa Ibn Sab‘i>nlah yang telah menyusun salah satu sintesis
besar antara doktrin Sufi dan filsafat dalam sejarah pemikiran Islam. Pada diri
Ibn Sab‘i>n pula dapat terlihat gambaran hubungan erat antara tasawuf dan
filsafat yang paling jelas.209
Dalam melakukan dekonstruksi terhadap logika Aristotelian, Ibn Sab‘i>n
mengangkat persoalan-persoalan yang umum dikaji dalam logika Aristotelian.
Persoalan pertama yang diangkatnya adalah tentang definisi (al-h}add).210 Di
awal, dengan keluasan pengetahuannya, ia mengakomodir berbagai hal yang
berkaitan dengan definisi (al-h}add) dalam tradisi Aristotelian. Tetapi kemudian,
di akhir ia menegaskan bahwa “Seorang cendikia, tidak membutuhkan definisi
dalam rangka menemukan hakikat sesuatu, karena hakikat-hakikat itu tertanam
dalam jiwa (secara primordial)”.211 Jadi baginya, manusia secara fitrah, memiliki
kemampuan untuk menemukan dan mengetahui hakikat-hakikat sesuatu, tanpa
memerlukan definisi yang sangat bergantung kepada bahasa. Sejatinya,
gambaran definisi-definisi dan dalil-dalil demonstratif, dalam entitas keadaan

205
Abu> al-‘Abba>s Ah}mad ibn Zaru>q al-Fa>si>, Qawa>‘id al-Tas}awwuf, ed. ‘Abd al-
Maji>d Khaya>li> (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2005), 61.
206
Vincent J. Cornell, “The Way of the Axial Intellect: The Islamic Hermetism
of Ibn Sab‘i>n” Journal of the Muhyiddin Ibn ‘Arabi Society Vol XXII (1997), 41-79.
https://www.academia.edu/7630212/The_Way_of_the_Axial_Intellect_The_Islamic_He
rmetism_of_Ibn_Sabin (diakses pada 22 Agustus 2014)
207
Lihat Yousef Alexander Casewit, “The Objective of Metaphysics in Ibn
Sab‘i>n’s Answers to the Sicilian Questions”, http://www.allamaiqbal.com/publications/
journals/review/apr08/7.htm (diakses pada 29 April 2014).
208
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 42. Dalam konteks epistemologi Islam,
pengetahuan seperti ini dinamakan ‘ilm h}ud}u>ri>, yaitu di mana subjek ilmu yang
mengetahui dapat langsung menembus ke dalam objek ilmu yang diketahui tanpa
terhalang oleh bahasa yang sangat spasial. Lihat Yazdi, The Principles, 27-8.
209
Nasr, “Tradisi Mistik: Sebuah Pengantar,” dalam Ensiklopedi Tematis
Filsafat Islam, 462.
210
Tentang pemikiran Ibn Sab‘i>n mengenai al-h}add, lihat lengkapnya dalam
Budd al-‘A<rif, 31-9. Mengenai konsep definisi yang menjadi perbincangan dalam tradisi
filsafat Islam, lihat Kiki Kennedy-Day, Books of Definition in Islamic Philosophy: The
Limits of Words (New York: RoutledgeCurzon, 2003).
211
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 36.
92

dan kondisinya, adalah kekal dan tidak berubah, meskipun berubah dalam
penampakannya.
Kemudian Ibn Sab‘i>n melanjutkan pada persoalan I<sa>ghu>ji> (Isagoge),
yaitu tentang enam makna atau istilah tunggal universal yang digunakan dalam
tradisi logika Aristotelian untuk menemukan dan mengidentifikasi hakikat
sesuatu.212 Keenam kalimat tersebut ialah genus (al-jins), spesies (al-naw‘),
distingsi (al-fas}l), karakteristik (al-kha>s}ah), aksidensi (al-‘arad}) dan individu (al-
shakhs}).213 Setelah menganalisa berbagai hal terkait I<sa>ghu>ji> ini dan melakukan
kritik terhadapnya, dengan pemikirannya yang berpijak pada doktrin Kesatuan
Mutlak, Ibn Sab‘i>n menyatakan bahwa dalam logikanya, tidak ada pemisahan,
tidak ada dikotomi dalam hakikat seperti terlihat dalam I<sa>ghu>ji>-nya logika
Aristotelian. Dalam Mant}iq al-Muh}aqqiq-nya, istilah-istilah universal I<sa>ghu>ji>
tersebut adalah satu. Tak ada tambahan apapun.214
Termasuk juga persoalan logika yang diangkat oleh Ibn Sab‘i>n adalah
mengenai sepuluh kategori (al-maqu>la>t al-‘ashrah). Yaitu pembahasan mengenai
kategori-kategori universal yang terdapat pada setiap mawju>da>t (entitas-entitas
yang ada).215 Kategori-kategori tersebut dalam tradisi logika terbagi kepada dua
bagian besar, yaitu esensi (al-jawhar) dan aksidensi (al-‘arad}). Esensi menjadi
satu bagian tersendiri, sementara aksidensi terbagi kepada sembilan bagian:
kuantitas (al-kam), kualitas (al-kayf), relasi (al-id}a>fah), waktu (matá), tempat
(ayn), posisi (al-wad}‘), milik (al-milk), aksi (al-fi‘l), dan reaksi (al-infi‘a>l). Lagi-
lagi, bagi Ibn Sab‘i>n, dengan Mant}iq al-Muh}aqqiq-nya yang berakar pada
gagasan al-Wah}dah al-Mut}laqah, di antara kategori-kategori tersebut, hanya
esensilah yang benar-benar ada, karena esensi adalah wujud sejati. Sementara
selain itu, tak lebih hanya ada dalam ilusi belaka. Baginya, kategori-kategori
tersebut tidaklah berbeda secara literal (asma>’ mutara>difah).216 Ibn Sab‘i>n
meyakini bahwa sepuluh landasan normatif itu adalah alam, manusia berada di
dalam alam, dan semua alam adalah penyerupaan. Sementara, entitas yang

212
Lihat Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 54-5. Tentang deskripsi dan sumber Isagoge
al-Fa>ra>bi>, lihat James T. Robinson, “Samuel Ibn Tibbon's "Peruš ha-Millot ha-Zarot"
and al-Fa>ra>bi>’s "Eisagoge" and "Categories",” Aleph No. 9.1 (2009), 41-76. http://www.
jstor.org/stable/40385922 (diakses pada 15 Oktober 2014). Lihat juga perkembangan
literatur tentang Isagoge di kalangan cendikiawan Muslim klasik dalam Koes
Adiwidjajanto, “Studi Filologis Sharh} Isagoge: Menelusuri Logika Aristotelian di
Kalangan Muslim Klasik,” Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam vol. 2 no. 1
(Juni, 2012), 108-130. http://teosofi.uinsby.ac.id/index.php/teosofi/article/download/
139/127 (diakses pada 06 November 2014).
213
Lihat lengkapnya kritik Ibn Sab‘i>n terhadap persoalan ini dalam Budd al-
‘A<rif, 55-63.
214
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 63.
215
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 64. Lihat juga al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-
S{iqili>yah, 49.
216
Ibn Sab‘i>n, al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah 49-51. Juga Budd al-‘A<rif,
37.
93

menyerupai dengan sesamanya adalah satu, Maka alam dan manusia adalah
satu.217
Dalam menegaskan Mant}iq al-Muh}aqqiq-nya, ia juga mengangkat
persoalan epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara apik ia analisa dalam
pembahasan ilmu. Menurut penulis, yang menarik adalah bahwa di awal
pembahasannya tentang ilmu, dengan keluasan pemikirannya, Ibn Sab‘i>n
mengutip begitu banyak pengertian ilmu dari berbagai spektrum pemikiran
Islam seperti filsuf, teolog, Fuqaha>’ dan Sufi. Namun baginya, berbagai definisi
ilmu yang dinyatakan oleh para cendikiawan tersebut sangat rumit, bertele-tele
dan menyulitkan orang yang mempelajarinya.218 Dalam madzhab al-Muh}aqqiq-
nya, justru Ibn Sab‘i>n meyakini bahwa ilmu bukanlah sesuatu yang harus dan
bisa dicari (muktasabah), melainkan ilmu adalah pengetahuan intuitif tentang
Wujud Mutlak yang satu, dan pengetahuan tentang bagaimana memisahkan
Wujud Mutlak tersebut dengan ilusi selainnya.219
Dari sini, apalagi melihat karya monumentalnya Budd al-‘A<rif, Ibn
Sab‘i>n terlihat menggunakan logika sebagai alat untuk mencapai tingkatan
spritual setinggi-tingginya. Namun yang menarik adalah, meski ia lebih banyak
menggunakan logika dibanding para mistikus lainnya, ia tidak lekas menjadi
seorang rasionalis dalam pengertian modern. Baginya, logika sejatinya adalah
daya intuitif demi mencapai transendensi.220 Dari kritik-kritiknya terhadap
logika Aristotelian, secara implisit ia mengatakan bahwa para filsuf Peripatetik
telah gagal memahami akal.
Poin penting yang dicapai Ibn Sab‘i>n dalam Mant}iq al-Muh}aqqiq-nya
adalah bahwa hakikat-hakikat logika -dalam tradisi Aristotelian- itu bersifat
primordial (fitrah) yang bersemayam dalam setiap entitas jiwa manusia.
Sementara definisi, makna-makna tunggal universal, dan kategori-kategori yang
mengandaikan pluralitas wujud adalah semata-mata hanya ilusi. Yang
ditekankan dalam logika formal Aristotelian, yang juga merupakan satu
kelemahan fatal adalah adanya pluralitas wujud, yang pada hakikatnya bersifat
ilusi, di mana sejatinya, hakikat wujud adalah satu, yaitu Kesatuan Mutlak. Dari
sini, penulis mengasumsikan bahwa gagasan Mant}iq al-Muh}aqqiq-nya Ibn sab‘i>n
merupakan “tongkat estafet” pemikiran selanjutnya demi meneguhkan doktrin
al-Wah}dah al-Mut}laqah.

E. Etika
Gagasan filosofis al-Wah}dah al-Mut}laqah yang bisa dikatakan sebagai
“penentu arah” pemikiran filosofis Ibn Sab‘i>n, ternyata tidak hanya berhenti
pada tataran ontologis saja. Ia memperluas gagasan tersebut ke dalam berbagai
kajian filosofis lainnya, yaitu persoalan etika (al-akhla>q). Karena berpijak pada
al-Wah}dah al-Mut}laqah yang bersifat metafisis, tentu saja etika dalam
217
Ibn Sab‘i>n, al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah, 50-1.
218
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 92.
219
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 93.
220
Cornell, “The Way of the Axial Intellect: The Islamic Hermetism of Ibn
Sab‘i>n”.
94

pandangan Ibn Sab‘i>n, dalam beberapa karyanya, sangat berbeda dengan kajian
etika dari para filsuf atau Sufi lain, apalagi jika dibandingkan dengan para Sufi
yang lebih menekankan etika praksis berupa ritual-ritual tertentu ketimbang
memposisikan etika sebagai filsafat moral. Inilah yang menurut penulis menjadi
alasan bagi al-Tafta>za>ni>221 dan Sharaf222 menyebutkan bahwa pembahasan etika
yang dilakukan Ibn Sab‘i>n lebih tepat disebut etika metafisik (mi>ta>fi>zi>qa> al-
akhla>q).
Kendati demikian, tidak berarti bahwa Ibn Sab‘i>n menganggap ritual-
ritual praksis tidak bernilai. Justru dalam salah satu karyanya, Risa>lat al-
Nas}i>h}ah aw-al-Nu>ri>yah, Ibn Sab‘i>n dengan panjang lebar membahas ritual-ritual
yang umumnya berlaku dalam tradisi tasawuf. Selain itu, dalam karyanya al-
Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah,223 ia juga memandang bahwa ritual-ritual
praksis tersebut harus dilalui oleh seorang musa>fir (orang yang menapaki jalan
spritual) demi mencapai ‘Ilm al-Tah}qi>q, dengan memahami al-Wah}dah al-
Mut}laqah, yang dengannya seorang musa>fir tersebut menjadi seorang manusia
paripurna (al-Muh}aqqiq). Hal ini dianggap lebih rasional jika dipandang bahwa
Ibn Sab‘i>n sebagai seorang pendiri dan pemimpin sebuah tarekat -yaitu tarekat
Sab‘i>ni>yah- yang selalu dikonotasikan dengan ritual-ritual sufistik.
Oleh karena itu, pada bagian ini, pembahasan etika dalam pandangan
Ibn Sab‘i>n dapat dibagi menjadi dua bahasan, pertama, etika teoritis atau etika
metafisik (al-akhla>q al-naz}ari>yah) dan kedua, etika praksis (al-akhla>q al-
‘amali>yah) yang berisi pandangan Ibn Sab‘i>n terhadap ritual-ritual sufistik
layaknya pandangan Sufi pada umumnya.

1. Etika Metafisik
Etika, bagi Ibn Sab‘i>n merupakan rangkaian selanjutnya dari gagasan
besar tentang Kesatuan Mutlak (al-Wah}dah al-Mut}laqah). Baginya, yang urgen
bukanlah pertanyaan “Apa yang harus dilakukan?” akan tetapi “Siapa yang
secara hakiki menggerakan perbuatan-perbuatan manusia?”.224 Beberapa
pertanyaan besar sering kali menjadi kajian utamanya dalam pembahasan etika,
seperti “Apakah dalam Wujud Mutlak terdapat keburukan ataukah semua hal
yang ada dalam Wujud Mutlak itu Baik?”, “Dari mana muncul kebaikan dan
keburukan?”, “Lalu, apa itu kebahagiaan?”, dan masih banyak lagi pertanyaan
metafisik terkait dengan pembahasan etika. Karenanya, pada titik ini,
pendekatan yang digunakan Ibn Sab‘i>n adalah pendekatan metafisika, berbeda
dengan para Sufi yang pada umumnya menggunakan psikologi sebagai
pendekatan dalam memahami etika.225
Proposisi awal yang digunakan Ibn Sab‘i>n dalam memahami etika tentu
saja adalah doktrin Kesatuan Mutlak. Menurutnya, perbedaan antara baik dan

221
Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu, 387.
222
Sharaf, al-Wah}dah al-Mut}laqah ‘inda Ibn Sab‘i>n, 177.
223
Ibn Sab‘i>n, “al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah”, 41.
224
Lihat Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu, 386.
225
Lihat misalnya karya Shiha>b al-Di>n al-Suhrawardi>, ‘Awa>rif al-Ma‘a>rif
dalam Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n karya al-Ghaza>li>, juz 1 (Semarang: T{a>ha> Pu>tra>, t.t), 270.
95

buruk merupakan salah satu ilusi. Bagi seorang muh}aqqiq, tidak ada perbedaan
eksistensial antara baik dan buruk dan perbedaan tersebut hanya pada tataran
kebahasaan saja.226 Ma‘rifah (gnostik) sejati tidak mungkin digambarkan dengan
baik atau sempurna, karena ia adalah kebaikan itu sendiri. Inilah yang
selanjutnya oleh Ibn Sab ‘i>n disebut dengan al-khayr al-mut}laq (Kebaikan
Mutlak).227
Meski demikian, dalam dunia lahiriyah, ia pun meyakini adanya hal-hal
yang dapat mendorong kepada kebaikan dan keburukan. Menurutnya, perbuatan-
perbuatan terpuji (al-af‘a>l al-h}ami>dah) merupakan penyebab yang mendorong
kepada nilai kebaikan, dan kelalaian atau sengaja berbuat kelalaian (al-ghaflah
wa-al-tagha>ful) adalah pendorong kepada nilai buruk.228 Namun yang perlu
dicatat adalah, pandangan ini hanya ada dalam perspektif lahiriyah.
Dalam mendeskripsikan nilai kebaikan, Ibn Sab‘i>n mengklasifikasikan
kebaikan kepada tiga bagian,229 pertama adalah Kebaikan Mutlak (al-khayr al-
mut}laq) yang secara metafisik dimaknai sebagai sebuah kebaikan yang pada
dirinya baik, dan kebaikan itu sama sekali tidak bertujuan untuk selainnya.
Artinya, kebaikan ini dicapai karena “kebaikan” itu sendiri, bukan karena yang
lain. Inilah yang dalam pemikirannya adalah Wujud Mutlak atau Allah. Kedua,
adalah kebaikan yang pada diri dan tujuannya dipandang baik. Ibn Sab‘i>n
mencontohkan kebaikan bentuk ini dengan mencari ilmu, di mana, perbuatan
tersebut baik pada dirinya karena demi mencapai sesuatu selainnya yang baik
pula. Ketiga, ialah kebaikan yang dianggap tidak menyenangkan bagi diri
manusia, namun justru menjadi kebaikan karena tujuannya. Ibn Sab‘i>n
mengilustrasikan nilai kebaikan terakhir ini dengan meminum obat demi
menyembuhkan penyakit.
Di tempat lain, ia juga menggambarkan kebaikan dengan
mengklasifikasikannya kepada dua bentuk,230 pertama, kebaikan esensial (al-
khayr al-dha>ti>), atau sesuatu yang secara esensi bernilai baik seperti ilmu
pengetahuan, petunjuk Tuhan, ridha Tuhan dan ketaatan kepada-Nya. Kedua,
kebaikan aksidensial (al-khayr al-‘arid}i)> , yaitu sesuatu yang dapat bernilai baik
jika tujuannya baik pula. Ibn Sab‘i>n mencontohkan kebaikan bentuk ini dengan

226
Ibn Sab‘i>n, al-Risa>lah al-Rid}wa>ni>yah, 437. Lihat juga karyanya yang lain,
Al-Risa>lah al-Nu>ri>yah, 228.
227
Untuk mencapai Kebaikan Mutlak ini seorang manusia harus melewati tiga
fase, fase pertama adalah di mana ia menjadi seorang pemula (mubtadi’). Pada fase ini,
manusia tersebut berkomitmen untuk berhenti dari segala macam keburukan perilaku
menuju apa yang Ibn Sab‘i>n sebut sebagai al-khayr al-mushtarak (kebaikan yang
tercampuri). Kedua, sebagai sa>lik (penempuh jalan). Pada fase ini seorang manusia
meningkat kepada kebaikan yang lebih tinggi. Ketiga, sebagai wa>s}il (yang sampai
[kepada Kebaikan Mutlak]). Di posisi ini seorang manusia akan keluar dari ilusi-ilusi
realitas dan sepenuhnya menjadi Kebaikan Murni. Lihat Ibn Sab‘i>n, al-Risa>lah al-
Rid}wa>ni>yah, 415.
228
Ibn Sab‘i>n, al-Risa>lah al-Faqi>ri>yah, 71-2.
229
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 97-8. Juga dalam al-Risa>lah al-Faqi>ri>yah, 72.
230
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 97.
96

kebaikan berdimensi sosial. Namun tentu saja, pandangannya ini tidak dapat
dilepaskan dari asumsi ontologis tentang Kesatuan Mutlak dan Kebaikan
Mutlak, karenanya, klasifikasi di atas sejatinya hanya bersifat kesusateraan
(i‘tiba>ri>) saja.
Selain itu, salah satu wacana yang banyak diangkat Ibn Sab‘i>n dalam
etika metafisiknya adalah tentang nilai kebahagiaan (al-sa‘a>dah), yang dalam
literatur-literatur filsafat Islam dan tasawuf, wacana ini pun sering menjadi tema
utama. Secara substansial, pandangannya tentang kebahagiaan memang tidak
berbeda dengan filsuf atau Sufi lainnya.231 Menurutnya, kebahagiaan sama sekali
tidak dapat dipisahkan dengan nilai kebaikan, keduanya memiliki hubungan
ontologis yang khas. Hal ini dapat dilihat dalam pernyataannya bahwa “Hidup
adalah syarat bagi akal, akal syarat bagi adanya ilmu, ilmu pun menjadi syarat
dalam berbuat, berbuat baik juga sebagai syarat mendapatkan keutamaan,
keutamaan syarat bagi kebahagiaan, kebahagiaan syarat bagi kesempurnaan, dan
kesempurnaan merupakan syarat mencapai kebaikan”.232 Itu artinya, bagi Ibn
Sab‘i>n nilai kebaikan adalah syarat, sumber sekaligus tujuan bagi kebahagiaan
demi mencapai Kebaikan Mutlak.
Kebahagiaan oleh Ibn Sab‘i>n sering dihubungkan dengan kesenangan
(al-ladhah) yang tidak dapat dicapai tanpa kebahagiaan.233 Baginya, kesenangan
bisa berbentuk material (jisma>ni>yah) dan spritual (ru>h}a>ni>yah).234 Keduanya
dapat bernilai baik jika berhubungan dengan kebaikan, begitu pun sebaliknya,
bisa bernilai buruk jika berhubungan dengan hal-hal negatif secara moril. Meski
demikian, ia tetap meyakini bahwa kesenangan sejati bukanlah kesenangan
material dan duniawi, tetapi kesenangan yang justru muncul dari komitmen
untuk meninggalkan kesenangan material.235 Pada titik ini, pandangan Ibn
Sab‘i>n sama dengan al-Fa>ra>bi> (257-339 H./870-950 M.) yang menyatakan bahwa
kebahagian dan kesenangan hanya dapat dicapai jika disandarkan pada Tuhan.236
Dalam bagian lain, ia mendeskripsikan kebahagiaan jiwa secara
hierarkis kepada tiga bagian, sesuai dengan tingkatan jiwa (nous) yang
mengalami dan mencarinya. Di dasar hierarki ada nafs al-h}ayawa>ni>yah (jiwa ke-
binatang-an) yang selalu menilai bahwa kebahagiaan adalah dengan
mendapatkan tujuan-tujuan materil. Kemudian jiwa ke-bijaksana-an (nafs al-
h}ikmi>yah), yaitu kebahagiaan ketika intelek mampu mengenal, memahami dan
mencintai Tuhan. Sementara di puncak hierarki ada jiwa ke-Nabi-an (nafs al-
nabawi>yah), di mana kebahagian bagi jiwa ini melebihi kebahagiaan dari dua

231
Tentang kebahagiaan dalam konteks tasawuf lihat misalnya George F.
Hourani, Reason and Tradition in Islamic Ethics (Cambridge: Cambridge University
Press, 1985), khususnya bagian 2 sampai 5.
232
Ibn Sab‘i>n, al-Risa>lah al-Faqi>ri>yah, 72.
233
Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu, 398.
234
Ibn Sab‘i>n, Risa>lat al-Alwa>h} al-Muba>rakah, 363.
235
Ibn Sab‘i>n, Risa>lat al-Alwa>h} al-Muba>rakah, 361.
236
Abu> Nas}r al-Fa>ra>bi, Ara>’ Ahl al-Madi>nah al-Fa>d}ilah, ed. Albi>r Nas}ri> Na>dir
(Beirut: Da>r al-Mashriq, 1968), 53-4.
97

jiwa sebelumnya.237 Karena itu, kebahagiaan bagi seorang muh}aqqiq atau


muqarrab bukanlah kebahagiaan yang dicapai oleh para filsuf dan nafs al-
h}ikmi>yah, karena muh}aqqiq adalah kebaikan, kebahagiaan dan kesenangan itu
sendiri.
Jika demikian, apa arti perintah dan larangan Tuhan bagi manusia (al-
takli>f)? Dalam masalah ini, Ibn Sab‘i>n seolah mengingatkan kembali proposisi
utama madzhabnya bahwa Allah adalah Kebaikan Mutlak, Ia adalah satu-
satunya wujud yang hakiki. Jadi, dalam pandangan ini, tidak mungkin muncul
keburukan dari Sang Kebaikan Mutlak, meskipun pada tataran lahiriyah ia
mengakui adanya nilai baik dan buruk.238 Masalah perintah dan larangan Tuhan
ini pun tidak bisa dipisahkan dari persoalan teologis tentang al-thawa>b wa-al-
‘iqa>b (pahala bagi yang taat dan siksa bagi yang melanggar). Kemudian, konsep
al-thawa>b wa-al-‘iqa>b baginya sangat berkaitan dengan kasih sayang Tuhan (al-
rah}mah al-ila>hi>yah). Nah, oleh Ibn Sab‘i>n, kasih sayang Tuhan ini dimaknai
dengan dua sisi, metafisik dan etik. Pada sisi metafisik, kasih sayang Tuhan
adalah segala sesuatu yang Ada. Dalam arti, segala realitas, ada karena kasih
sayang Tuhan. Sementara pada sisi etis, dimaknai bahwa semua manusia
diberikan kasih sayang Tuhan.239
Konsep al-thawa>b wa-al-‘iqa>b yang selalu dihubungkan dengan kasih
sayang Tuhan ini, dalam pandangannya harus dibedakan tujuannya kepada dua
bentuk, pertama, tujuan syari’at (al-qas}d al-shar‘i>), yang pada titik ini, konsep
al-thawa>b wa-al-‘iqa>b selalu mengindikasikan adanya dikotomi antara baik-
buruk atau pahala-dosa. Kedua, tujuan rasional (al-qas}d al-‘aqli>). Pada sisi
inilah, dikotomi yang ada dalam tujuan syari’at melebur. Karena kasih sayang
Tuhan, seperti yang diyakini Ibn Sab‘i>n, secara metafisik merupakan pencurah
segala realitas yang ada.240 Itu artinya, jika dikatakan bahwa seseorang masuk
surga karena amal baiknya dan masuk neraka karena amal buruknya, dalam
perspektif shar‘i> bisa dikatakan benar, namun tidak dalam perspektif ‘aqli>.
Karenanya, dalam ilmu Tah}qi>q, tidak mungkin Tuhan memberikan keburukan,
karena Ia sendiri adalah Kebaikan Mutlak. Perincian inilah yang menarik dalam
pemikiran etika Ibn Sab‘i>n.
Nah, dari pandangan ini pula, apa yang dikatakan oleh para
cendikiawan, khususnya kalangan fuqaha>’ yang mengkritik Ibn Sab‘i>n bahwa ia
telah “mematikan” takli>f syari’at,241 itu keliru. Pasalnya, meski dengan proposisi
awal Kesatuan Mutlak ia cenderung menolak dikotomi etis, namun ia sangat
menekankan untuk melaksanakan syari’at secara konsisten dan ketat, karena

237
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 321-2. Lihat juga Sharaf, Al-Wah}dah al-
Mut}laqah, 188.
238
Ibn Sab‘i>n, al-Risa>lah al-Rid}wa>ni>yah, 399.
239
Ibn Sab‘i>n, al-Risa>lah al-Rid}wa>ni>yah, 388-9. Lihat juga al-Tafta>za>ni>, Ibn
Sab‘i>n wa-Falsafatuhu, 402. Untuk meneguhkan pandangannya ini, Ibn Sab‘i>n
mendasarkan pada ayat al-Qur’an, Q.S. al-Zumar : 53, dan al-Isra>’ : 84.
240
Ibn Sab‘i>n, al-Risa>lah al-Rid}wa>ni>yah, 404.
241
Lihat misalnya Ibn Taymi>yah, Majmu>‘at al-Rasa>’il jilid 1, 91-92.
98

baginya, syari’at adalah syarat mendapatkan kebahagiaan sejati.242 Selain itu,


dalam beberapa karyanya yang khusus, Ibn Sab‘i>n pun sangat menekankan
dalam melaksanakan ritual-ritual syari’at. Tak kurang dari 18 karyanya yang
menegaskan hal itu. Karenanya, demi menegaskan pemikiran Ibn Sab‘i>n tentang
pentingnya syari’at dan ritual aplikatif, poin selanjutnya akan mengulas
pandangannya tentang etika praksis.

2. Etika Praksis
Dari pembahasan etika teoritis atau etika metafisik di atas, tergambar
jelas bahwa pemikiran Ibn Sab‘i>n tentang kebaikan, keburukan, kesenangan dan
kebahagiaan berpijak pada pandangan ontologisnya tentang Kesatuan Mutlak
(al-Wah}dah al-Mut}laqah). Poin penting yang didapat adalah, dengan etika
metafisiknya, Ibn Sab‘i>n meneguhkan apa yang ia sebut sebagai al-khayr al-
mut}laq (Kebaikan Mutlak) dan menolak adanya keburukan secara ontologis.
Artinya, pada titik ini, manusia merupakan manifestasi wujud yang mutlak.
Dalam madzhab al-Muh}aqqiq, untuk mencapai Kebaikan Mutlak
tersebut, diperlukan sebuah perjalanan spritual khusus yang disebut dengan
safar, dan orang yang menempuhnya disebut musa>fir. Bagi Ibn Sab‘i>n, safar
tidak hanya menjadi perantara bagi tercapainya stasiun-stasiun spritual dan
kondisi-kondisi jiwa (al-maqa>ma>t wa-al-ah}wa>l) seperti yang berlaku dalam
tradisi para Sufi. Lebih dari itu, safar merupakan “penentu” ketercapaian
seorang musa>fir kepada Kesatuan Mutlak. Al-maqa>ma>t wa-al-ah}wa>l yang
berupa stasiun-stasiun dalam perjalanan spritual seperti taubat, takwa, wara‘,
zuhd dan tawakal, sejatinya tidak akan keluar dari keyakinan, konteks dan
pandangan ontologis al-Wah}dah al-Mut}laqah.243
Layaknya sufi-sufi lain, ia pun meyakini bahwa safar atau perjalanan
spritual ini harus ada dalam bimbingan seorang guru spritual (shaykh murshid).
Murshid ini, menurutnya, haruslah seorang muh}aqqiq, seorang yang terhimpun
dalam dirinya segala kesempurnaan eksistensial-gnostik. Karena itu, ada
beberapa wacana mistisisme aplikatif yang banyak diangkat Ibn Sab‘i>n dalam
beberapa karyanya antara lain; perjalanan spritual (safar), memerangi hawa
nafsu (muja>hadat al-nafs), guru spritual (murshid), dzikir, stasiun-stasiun
perjalanan spritual (al-maqa>ma>t), mengasingkan diri (al-khalwah wa-al-‘uzlah),
puasa, do’a, dan lain-lain.
Salah satu wacana yang menarik perhatian Ibn Sab‘i>n adalah memerangi
hawa nafsu (muja>hadat al-nafs). Konsep ini olehnya seringkali dikaitkan dengan
konsepnya tentang proses perjalanan spritual (safar). Sebenarnya, pijakan awal
yang digunakannya untuk menekankan pentingnya muja>hadat al-nafs dalam
safar adalah bahwa, jiwa manusia tidak murni baik atau murni jahat. Baginya,
jiwa -atau nafsu- justru tersusun dari nilai baik dan buruk sekaligus, yang

242
Lihat penjelasan lengkapnya Ibn Sab‘i>n, al-Risa>lah al-Rid}wa>ni>yah, 434-7.
Lihat juga al-Muna>wi>, al-Kawa>kib al-Durri>yah, 441.
243
Lihat al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu, 409.
99

keduanya silih berganti dalam menguasai jiwa manusia.244 Karenanya,


kecendrungan jiwa kepada keburukan dan kejahatan harus sebisa mungkin
ditekan.
Namun yang menarik adalah justru ketika Ibn Sab‘i>n memaknai
muja>hadat al-nafs ini dengan perspektif Kesatuan Mutlak. Memerangi nafsu
sejatinya adalah berupaya memastikan hadirnya keyakinan bahwa tidak ada
yang memiliki eksistensi hakiki selain Allah.245 Dari pandangan inilah upaya
tersebut dinamai safar, yaitu sebuah usaha untuk memerangi hawa nafsu, yang
berpijak pada keyakinan bahwa tidak ada wujud selain Allah. Hal ini pula yang
menjadi alasan dari pernyataannya dalam al-Risa>lah al-Faqi>ri>yah,246 bahwa safar
adalah upaya sekuat tenaga untuk mencapai ‘ilm al-tah}qi>q.
Di samping itu, dalam perspektif al-muh}aqqiq-nya, seorang musa>fir,
juga harus berani membersihkan diri dari ilusi-ilusi rasio seperti konsep-konsep
yang berlaku dalam logika formal jika tidak ingin terjebak dalam ilusi yang
menipu.247 Dengan kata lain, Ibn Sab‘i>n ingin mengatakan bahwa puncak
spritual secara psikologis, hanya bisa diraih dengan mengosongkan alam pikir
dan membiarkan asumsi Kesatuan Mutlak “mensugesti” diri musa>fir.
Di sisi lain, sebenarnya konsep safar sendiri memiliki banyak pengertian
dan ketentuan. Salah satunya adalah yang dikemukakan oleh al-Jurja>ni> bahwa,
safar dalam tradisi mistisisme ialah sebuah istilah yang menunjukkan suatu
proses perjalanan spritual untuk menghadap kepada Tuhan, Sang Kebenaran
sejati.248 Proses safar tersebut menurut al-Jurja>ni> memiliki empat tingkatan
gradual, pertama, usaha musa>fir untuk menghilangkan sekat dan penghalang
berbentuk paradigma “kemajemukan” (al-kathrah) dari ketunggalan (al-
ah}adi>yah). Tingkat ini merupakan langkah “beranjak” dari alam lahiriyah
menuju Sang Kebenaran. Kedua, menghilangkan paradigma “ketunggalan”
sebagai penghalang, menuju keyakinan kemajemukan. Tingkat ini diartikan
sebagai sebuah proses lanjutan dari tingkat pertama, yakni dengan usaha spritual
untuk menghiasi diri dengan sifat-sifat Allah. Ketiga, setelah melewati dua
tingkatan di atas, dengan sendirinya, dikotomi-dikotomi dalam realitas yang
serba ganda ini akan hilang, semuanya menyatu dalam wujud yang satu.
Terakhir, keempat, ialah kembalinya musa>fir dari Sang Kebenaran (Tuhan), dan
membawanya menuju dunia makhluk. Ini adalah tingkatan teringgi dalam
hierarki safar, karena, tingkat ini mengindikasikan seorang musa>fir memandang
Sang Kebenaran telah memanifestasikan diri-Nya dalam seluruh ciptaan-Nya.
Yang menarik diamati ialah, sementara dalam pandangan Sufi lainnya
“kemanunggalan” (ah}adi>yah) adalah puncak hierarki perjalanan spritual, dalam

244
Ibn Sab‘i>n, al-Risa>lah al-Rid}wa>ni>yah, 437.
245
Ibn Sab‘i>n, Risa>lat al-Fath} al-Mushtarak, 337.
246
Al-Risa>lah al-Faqi>ri>yah, 58.
247
Ibn Sab‘i>n, Risa>lat al-Ih}a>t}ah, 208.
248
‘Ali> ibn Muh}ammad al-Jurja>ni>, Kita>b al-Ta‘ri>fa>t (Jakarta: Da>r al-H{ikmah,
t.t), 119. Menurut al-Tafta>za>ni>, pernyataan al-Jurja>ni> ini adalah pandangan Ibn ‘Arabi>
tentang safar. Lihat al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu, 414.
100

konsep safar Ibn Sab‘i>n, “kemanunggalan” justru menjadi dasar hierarki.249


Menurut penulis, hal ini cukup membuktikan bahwa untuk memulai dan
mendapatkan safar yang sempurna, seorang musa>fir harus mampu melewati fase
melaksanakan syari’at secara ketat dan konsisten, seperti halnya pandangan
Sufi-sufi lain seperti al-Qushayri> (w. 465 H.)250 dan al-Junayd (w. 297 H.).251
Tentu saja, seperti yang telah dikemukakan di atas, untuk mencapai
predikat safar yang sempurna, seorang musa>fir membutuhkan guru spritual (al-
shaykh al-murshid). Ibn Sab‘i>n menyebutnya H{abi>b (sang kekasih), yaitu orang
yang menuntun jiwa musa>fir demi mencapai Kebaikan Mutlak.252 Pada titik ini,
Ibn Sab‘i>n kelihatannya ingin menggambarkan hubungan antara murid (musa>fir)
dan guru (murshid) dengan hubungan kekuatan cinta yang dipancarkan secara
spritual satu sama lain. Dengan kekuatan ini pula, musa>fir dan murshid dapat
mencapai kesatuan spritual dan emosional.
Hubungan dalam bentuk tersebut sebenarnya dikemukakan pula oleh
Shiha>b al-Di>n al-Suhrawardi> (1144-1234 M./539-632 H.)253 yang mengatakan
bahwa hubungan muri>d dan murshid ibarat anak dan orang tuanya, jiwa
keduanya menyatu. Bedanya, dalam pemikiran Ibn Sab‘i>n, hubungan kekuatan
cinta antara musa>fir dan murshid didasarkan pada keyakinan dan pandangan
ontologis Kesatuan Mutlak. Karena itu, seorang murshid harus benar-benar
orang yang terhimpun kesempurnaan seorang muh}aqqiq. Menurut muridnya
yang mengomentari karya Risa>lat al-‘Ahd,254 Ibn Sab‘i>n mengklaim bahwa
dialah yang dimaksud muh}aqqiq itu, sekaligus, jalan yang harus ditempuh dalam
safar adalah jalan muh}aqqiq-nya.
Untuk mencapai Kesatuan Mutlak, seorang musa>fir juga harus secara
konsisten melaksanakan salah satu latihan spritual yang penting, yaitu dzikir.
Seperti halnya kalangan Sufi, posisi dzikir dalam madzhab al-muh}aqqiq sangat
penting. Dalam hal ini Ibn Sab‘i>n mengatakan: “Tidak ada sesuatu yang lebih
besar (bahayanya bagi muh}aqqiq) selain menyia-nyiakan dzikir”.255 Tak hanya
itu, ia pun menyandarkan ritual dzikir ini kepada al-Qur’an dan Sunnah. Tidak
seperti ibadah yang lain, dzikir adalah ibadah yang “tak kenal” waktu dan
tempat, harus dilaksanakan di mana pun dan kapan pun. 256

249
Ibn Sab‘i>n, al-Risa>lah al-Faqi>ri>yah, 57.
250
Abu> al-Qa>sim al-Qushayri>, al-Risa>lah al-Qushayri>yah, tah}qi>q ‘Abd al-H{ali>
Mah}mu>d (Kairo: Da>r al-Shu‘b, 1989), 168.
251
Al-Qushayri>, al-Risa>lah al-Qushayri>yah, 80.
252
Lihat Ibn Sab‘i>n, Risa>lat al-‘Ahd, 188. Juga Sharh} Risa>lat al-‘Ahd, 188.
253
Lihat al-Suhrawardi>, ‘Awa>rif al-Ma‘a>rif dalam Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, juz 2,
17-8.
254
Sharh} Risa>lat al-‘Ahd, 185-6.
255
Ibn Sab‘i>n, Al-Risa>lah al-Nu>ri>yah, 218. Dalam perspektif syari’ah, Ibn
Sab‘i>n mengatakan bahwa “Tidak diterima ke-Islam-an seseorang kecuali dengan
dzikir”. al-Risa>lah al-Nu>ri>yah, 217.
256
Ibn Sab‘i>n, al-Risa>lah al-Nu>ri>yah, 217. Ayat al-Qur’an yang dikutipnya
antara lain Q.S. al-Baqarah : 152 dan Q.S. al-Ah}za>b : 41.
101

Dengan pandangan ontologis, ia meyakini bahwa segala sesuatu


berdzikir kepada-Nya. Setiap perkataan yang ditujukan dan untuk mengingat-
Nya adalah dzikir. Dzikir pun olehnya ditafsirkan secara filosofis bahwa, ketika
seseorang konsentrasi penuh mengingat Allah dengan kalimat La> Ila>ha Illalla>h
dan memalingkan hati dari gemerlap dunia, maka jiwa orang tersebut akan
tenteram dan nyaman, terlepas dari berbagai kungkungan ilusi-ilusi. Seseorang
tersebut selanjutnya akan meyakini bahwa tidak ada yang “Ada” sebagai Subjek
kecuali Allah, hingga akhirnya ia menemukan puncaknya bahwa tidak ada
Wujud selain Allah dan meyakini tidak ada dikotomi dan kemajemukan di dunia
yang serba ganda ini, hanya Allah semata, Sang Wujud Mutlak.257 Di ranah ini,
sama seperti pandangan Ibn ‘Arabi> (560-638 H./1164-1240 M.),258 dalam
pandangan Ibn Sab‘i>n, setelah orang yang mengingat-Nya tersebut mencapai
puncak ekstase, ia meyakini bahwa tidak ada perbedaan antara yang mengingat
(dha>kir) dan yang diingat (madhku>r). Inilah peran dzikir dalam mengantarkan
musa>fir meraih Kesatuan Mutlak. Dalam hal ini, Ibn Sab‘i>n selalu
menghubungkan ritual dzikir dengan berbagai stasiun (al-maqa>ma>t) dalam
perjalanan spritual, yang menurutnya, stasiun-stasiun spritual tersebut tidak
dapat dicapai tanpa dzikir.259
Dalam karyanya, al-Risa>lah al-Nu>ri>yah, Ibn Sab‘i>n dengan cukup
panjang membahas tiga stasiun yang harus dilalui seorang musa>fir dalam safar-
nya, yaitu Taubat (repentance), Wara‘ (godly) dan Zuhud (asceticism).260 Pada
umumnya, ia memaknai ketiga stasiun spritual tersebut sama seperti kalangan
Sufi. Bedanya, ia selalu menghadirkan interpretasi filosofis terhadap ketiga
konsep tersebut, yang karena itu, pandangannya bisa dibilang lebih “ekstrem”
dibanding kalangan Sufi. Taubat misalnya, berbeda dengan misalnya al-Ghaza>li>
(1058-1111 M./450-505 H.)261 dan Dhu> al-Nu>n al-Mis}ri> (157-245 H.)262, dalam
pandangan filosofis Ibn Sab‘i>n, Taubat sejatinya adalah kembali dari keyakinan
adanya kemajemukan dalam Kesatuan Mutlak.263
Kemudian, menarik untuk dicermati bagaimana pandangannya tentang
Wara‘ yang sangat simbolis. Baginya, seorang yang Wara‘ adalah “orang
menjadikan syari’at di sebelah kanannya, dan akal di sebelah kirinya”.264
Pandangannya ini semakin memperkuat bahwa Ibn Sab‘i>n sangat mengagungkan
syari’at sebagai jalan menuju puncak madzhabnya. Tak hanya itu, dengan
perspektif al-tah}qi>q, zuhud sebagai stasiun selanjutnya ia klasifikasikan menjadi
dua tingkatan, al-zuhd al-‘urfi> (zuhud konvensional), yaitu meninggalkan segala
hal yang dilarang dan diragukan kebolehnnya. Zuhud bentuk ini adalah zuhud

257
Ibn Sab‘i>n, al-Risa>lah al-Nu>ri>yah, 217-8 dan 242.
258
Ibn ‘Arabi>, Fus}u>s} al-H{ikam, 168.
259
Ibn Sab‘i>n, al-Risa>lah al-Nu>ri>yah, 215.
260
Lihat lengkapnya Ibn Sab‘i>n, Al-Risa>lah al-Nu>ri>yah, 232-9.
261
Al-Ghaza>li, Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, juz 4 (Semarang: T{a>ha> Pu>tra>, t.t), 2-3.
262
Al-Qushayri>, al-Risa>lah al-Qushayri>yah, 183.
263
Ibn Sab‘i>n, al-Risa>lah al-Rid}wa>ni>yah, 412-3.
264
Ibn Sab‘i>n, al-Risa>lah al-Nu>ri>yah, 235.
102

kalangan umum, seperti pada konsep zuhd al-Qushayri> (w. 465 H.)265.
Sedangkan zuhud sejati adalah apa yang disebut al-zuhd al-jali>l (zuhud agung),
yaitu meninggalkan segala sesuatu selain Allah secara mutlak, zuhudnya
seorang muh}aqqiq.266
Selain itu, masih banyak pula ritual-ritual aplikatif dalam safar yang Ibn
Sab‘i>n tekankan kepada murid-muridnya dalam beberapa karyanya. Ritual-ritual
tersebut di antaranya adalah mengasingkan diri dari hiruk pikuk duniawi (al-
khalwah wa-al-‘uzlah), yang ia maknai secara metafisik bertujuan untuk
memalingkan diri dari adanya kemajemukan realitas, serta memusatkan jiwa dan
hati hanya kepada Wujud Mutlak.267 Kemudian puasa, yang lagi-lagi olehnya
dimaknai dengan perspektif al-muh}aqqiq sebagai ritual yang jika dilaksanakan
dengan baik, seorang muh}aqqiq akan melihat jelas bagaimana menyatunya alam
material dan alam intelek/logika yang majemuk. Inilah puncak tujuan dari ritual
puasa menurut Ibn Sab‘i>n. Di samping itu, ia juga sangat menekankan kepada
murid-muridnya dalam safar, seorang musa>fir harus secara konsisten
memenjatkan do’a kepada Allah, Sang Wujud Mutlak. Baginya, do’a tidak
hanya diposisikan sebagai ibadah yang diperintahkan Allah, lebih dari itu, do’a
merupakan kemanfatan murni, dan dengan do’a pula ridha-Nya menjadi nyata.
Dalam Risa>lat al-‘Ahd ia menyatakan, “Do’a dengan ikhlas adalah senjata”.268
Tidak berlebihan jika penulis mengatakan bahwa memerlukan waktu
yang banyak untuk dapat “mendudukkan” cakrawala pemikiran filosofis Ibn
Sab‘i>n yang begitu luas secara utuh. Di balik kata-kata dan kalimat-kalimat
simbolis dalam karya-karyanya, ternyata tersimpan begitu banyak buah
pemikirannya yang relevan layak untuk terus didiskusikan, khususnya pemikiran
etika. Meski terkesan tumpang tindih antara satu konsep dengan konsep lainnya
-bahkan seringkali ia menggunakan kalimat yang berbeda untuk menyebut
sesuatu yang bermakna sama-, pemikirannya tetap menggambarkan sebuah
khazanah keilmuan yang dalam dan integratif. Berbagai tradisi pemikiran
filosofis ia ramu sedemikian rupa, Yunani Kuno, Persia, Kristen, dan tentu saja
filsafat Islam, menjadi sebuah sintesis pemikiran yang cemerlang di masanya.
Poin penting dari pembahasan tentang peta intelektualisme Ibn Sab‘i>n adalah
bahwa, seluruh pemikiran filosofis-sufistik yang digagasnya, selalu ditujukan
demi tercapainya al-Wah}dah al-Mut}laqah (Kesatuan Mutlak), gagasan
monumentalnya.
Konsep-konsep besar Ibn Sab‘i>n di atas yang terangkum dalam gagasan
Kesatuan Mutlak-nya, tentu akan sangat menentukan arah paradigmatik
pemikiran klasifikasi ilmunya. Oleh karena itu, bab selanjutnya merupakan

265
Lihat misalnya Moh. Fudholi, “Konsep Zuhud al-Qushayri> dalam Risa>lat al-
Qushayri>yah,” Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam vol. 1 no. 1 (Juni, 2011),
38-54. http://teosofi.uinsby.ac.id/index.php/teosofi/article/download/156/144 (diakses
pada 06 November 2011).
266
Ibn Sab‘i>n, al-Risa>lah al-Nu>ri>yah, 236-7.
267
Ibn Sab‘i>n, al-Risa>lah al-Nu>ri>yah, 234.
268
Ibn Sab‘i>n, Risa>lat al-‘Ahd, 98. Lihat juga komentar salah seorang muridnya
terhadap pernyataan tersebut dalam Sharh} Risa>lat al-‘Ahd, 163.
103

upaya teorisasi terhadap konstruk pemikiran klasifikasi ilmu Ibn Sab‘i>n sebagai
objek studi, dengan segenap basis filosofis yang mendasarinya. Di akhir, sebagai
implikasi teoritis dan langkah kontekstualisasi dari upaya ini, refleksi atas
konstruk pemikiran klasifikasi ilmu Ibn Sab‘i>n tentu menjadi sangat penting.
104
105

BAB IV
PSEUDO-HIERARKI: GAGASAN IBN SAB‘I<N TENTANG KLASIFIKASI
ILMU

Kajian atas klasifikasi ilmu dalam pandangan Ibn Sab‘i>n, merupakan


upaya teorisasi atas pandangannya terhadap ilmu pengetahuan. Analisis pada
bab ini menekankan pada pandangan dunia (world view) Ibn Sab‘i>n tentang
status ontologis objek ilmu yang secara konseptual akan menjadi basis ontologis
klasifikasi ilmu yang digagasnya. Penulis akan mengeksplorasi paradigma
pemikiran klasifikasi ilmunya dengan mengkaji pemikiran epistemologi dan
basis ontologis pemikiran klasifikasi ilmu Ibn Sab‘i>n sebagai lokus pemikiran.
Selain itu, pada bab ini pula, deskripsi klasifikasi ilmunya yang ia kelompokkan
menjadi tiga bagian besar, al-‘Ulu>m al-Shar’i>yah, al-‘Ulu>m al-Adabi>yah dan al-
‘Ulu>m al-Falsafi>yah.

A. Pemikiran Epistemologi
Salah satu keunikan cara berpikir Ibn Sab‘i>n dalam meneguhkan
madzhab al-Muh}aqqiq-nya ialah, dalam setiap analisis, ia selalu mengangkat
pemikiran dan pandangan metodologis empat komunitas intelektual yang
dominan di masanya, fuqaha>’, teolog (ash‘ari>yah), filosof dan Sufi. Klasifikasi
ini sejalan dengan pandangan Nuseibeh yang mengklasifikasikan madzhab-
madzhab epistemologi Islam kepada empat kelompok1 yaitu, pertama kalangan
konservatif yang menggunakan pendekatan tekstual dari al-Qur’an dan Sunnah,
kalangan ini diwakili oleh fuqaha>’, Mufassir dan ahli bahasa, kedua, kalangan
teolog defensif yang menggunakan pendekatan dialektis, kelompok ini diwakili
oleh mutakallimu>n, ketiga kalangan rasionalis yang menggunakan pendekatan
filsafat, diwakili oleh para filosof, dan keempat kalangan sufistik yang
menggunakan pendekatan intuitif dan mistisime, kelompok ini diwakili oleh
para Sufi.
Satu persatu pandangan keempat komunitas intelektual itu oleh Ibn
Sab‘i>n analisis kemudian mengkritiknya. Dengan cara berpikir seperti demikian,
ia tidak lantas hanya melakukan kritik secara “membabi buta”, tetapi melakukan
akomodasi terhadap berbagai pemikiran keempat komunitas intelektual
tersebut, menyatukan pemikirannya, sehingga menghasilkan sintesis konseptual
yang khas, yaitu apa yang disebut ‘Ilm al-Tah}qi>q. Sistem pikir Ibn Sab‘i>n
seperti inilah yang oleh Cornell disebut sebagai Axial Intellect (intelek
berporos).2 Ia menggambarkan sikap akomodatifnya dengan mengatakan bahwa

1
Sari Nuseibeh, “Epistemologi,” dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam
Buku Kedua, ed. Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, terj. Tim Penerjemah Mizan
(Bandung: Mizan, 2003), 1139-1149.
2
Vincent J. Cornell, “The Way of the Axial Intellect: The Islamic Hermetism
of Ibn Sab‘i>n” Journal of the Muhyiddin Ibn ‘Arabi Society Vol XXII (1997), 41-79.
106

seorang muh}aqqiq harus menyandarkan seluruh amal perbuatannya kepada


Fuqaha>’, cinta terhadap syari’at kepada teolog, tradisi keilmuan dan kebudayaan
kepada filosof, dan muka>shafah kepada kalangan Sufi.3
Istilah ‘ilm al-tah}qi>q di sini, tentu tidak dimaknai sebagai ‘ilm al-tah}qi>q
dalam bidang filologi. Di mana dalam bidang filologi lebih tepat disebut dengan
istilah ‘ilm tah}qi>q al-nus}u>s}, ‘ilm tah}qi>q al-tura>th atau studi naskah.4 Artinya,
‘ilm tah}qi>q al-nus}u>s} secara umum merupakan padanan kata bagi bidang filologi,
yaitu suatu kajian yang bertugas untuk menelaah dan menyunting naskah agar
dapat diketahui “hakikat” isinya.5
Kendati Ibn Sab‘i>n bersikap akomodatif terhadap pandangan keempat
komunitas intelektual di atas, dalam masalah pencapaian kebenaran hakiki (al-
h}aqi>qah), ia justru melakukan kritik terhadap keempat komunitas itu dengan
menyatakan bahwa Fuqaha>’, teolog, Sufi dan filosof seringkali “ceroboh” dalam
mencapai hakikat. Menurutnya, hal ini disebabkan karena mereka terjebak
dalam ilusi-ilusi (awha>m) metodologis yang selalu mereka gunakan. Oleh karena
itu, dalam sistem epistemologi ‘ilm al-tah}qi>q-nya, Ibn Sab‘i>n menyebut
sembilan kategori ilusi (wahm) yaitu:6 akal/intelek (al-‘uqu>l), pengetahuan (al-
‘ilm), analogi (al-qiya>s), definisi (al-h}add), jiwa (al-nafs), kebiasaan (al-‘a>dah),
relasi (al-id}a>fah), waktu (al-zaman), dan tempat (al-maka>n).
Yang menarik untuk dikaji ialah bagaimana konstruk epistemologis Ibn
Sab‘i>n yang dibangun dari konsepnya ‘ilm al-tah}qi>q dan mant}iq al-tah}qi>q,
melalui kajian intensif terhadap hakikat pengetahuan (al-‘ilm). Langkah pertama
yang dilakukan untuk meneguhkan bangunan epistemologinya ini adalah dengan
melakukan analisa metodologis terhadap berbagai konsepsi pengetahuan yang
diusung oleh keempat komunitas intelektual tadi, fuqaha>’, teolog, filosof dan
Sufi.
Konsepsi tentang definisi pengetahuan (‘ilm) pertama yang ia kritik
ialah pandangan kalangan fuqaha>’. Ibn Sab‘i>n mendefinisikan pengetahuan
menurut fuqaha>’ sebagai “Apa yang dipahami dari pesan Allah dan Rasul-Nya”,
atau “Mengetahui hukum-hukum syari’at yang dihasilkan melalui Ijtihad”.7

https://www.academia.edu/7630212/The_Way_of_the_Axial_Intellect_The_Islamic_He
rmetism_of_Ibn_Sabin (diakses pada 22 Agustus 2014).
3
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, tah}qi>q George Kitturah (Beirut: Da>r al-Andalus dan
Da>r al-Kindi>, 1978), 340. Lihat juga Muh}ammad Ya>sir Sharaf, Falsafat al-Tas}awwuf al-
Sab‘i>ni> (Damaskus: Wiza>rat al-Thaqa>fah, 1990), 141-2.
4
Lihat Ramad}an ‘Abd al-Tawwa>b, Mana>hij Tah}qi>q al-Tura>th bayna al-Qada>má
wa-al-Muh}addithi>n (Kairo: Maktabat al-Kha>naji>, 1985), 3.
5
‘Abd al-Tawwa>b, Mana>hij Tah}qi>q, 5-6. Lihat juga misalnya Nabilah Lubis,
Naskah Teks dan Metode Penelitian Filologi (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2007), 18
6
Ibn Sab‘i>n, Risa>lat al-Alwa>h} dalam Ah}mad Fari>d al-Mazi>di> (ed./muh}aqqiq),
Rasa>’il Ibn Sab‘i>n (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007), 252. Juga Muh}ammad Ya>sir
Sharaf, al-Wah}dah al-Mut}laqah ‘inda Ibn Sab‘i>n (Beirut: Al-Markaz al-‘Arabi> li-al-
T{aba>‘ah wa-al-Nashr, 1981), 124.
7
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 98.
107

Menurutnya, definisi pengetahuan dari kalangan fuqaha>’ ini benar asalnya


namun keliru dalam cabangnya (s}a>lih} al-as}l fa>sid al-far‘, s}a>diq al-jins ka>dhib al-
naw‘) karena definisi ini tereduksi dalam sudut pandang fuqaha>’ dan keliru
dalam menganalogikan sesuatu. Dalam istilahnya, fuqaha>’ seringkali
menganalogikan “hari ini” dengan “hari kemarin”.8 Artinya, secara metodologis,
fuqaha>’ telah keluar dari kebenaran ‘ilm al-tah}qi>q.
Sedangkan kalangan teolog -khususnya kelompok Ash‘ari>yah-
memandang bahwa untuk mengetahui sesuatu bisa dengan empat jalan
metodologis, yaitu dengan panca indera (al-h}awa>s), dengan pengetahuan yang
sudah jelas atau self-evident (bi-al-badi>hi>), informasi (al-khabar) dan dengan
bukti (al-dali>l).9 Dilihat dari segi ilmu sebagai ilmu (qua-ilmu), bagi Ibn Sab‘i>n
pengertian ini pun tidak tepat karena ketidak jelasan pandangan teolog tersebut.
Karenanya, ia menyebut bahwa pandangan teolog mengenai ilmu “keliru asalnya
dan buruk cabangnya” (fa>sid al-as}l qabi>h} al-far‘) serta jauh dari kebenaran
sejati.10
Kemudian ia juga melakukan kritik terhadap pandangan dan metodologi
kalangan Sufi. Menurut muridnya yang mengomentari karya Risa>lat al-‘Ahd,
terdapat tiga metodologi berpikir utama kalangan Sufi, pertama, proposisi awal
ialah mengikuti fuqaha>’ dalam berbuat dan teolog dalam berkeyakinan. Kedua,
kesempurnaan hanya bisa dicapai dengan kejujuran, keikhlasan dan menjauhkan
dari hal-hal duniawi, dan ketiga pandangan bahwa kesempurnaan ada dalam
sikap berpaling dari selain Allah dan menghiasi diri dengan sifat-sifat Allah.11
Bagi Ibn Sab‘i>n, pandangan ini pun dalam perspektif ‘ilm al-tah}qi>q tidak akan
mencapai kebenaran sejati karena masih terjebak dalam ilusi kemajemukan.12
Tentu saja, di antara empat kalangan tersebut, kalangan filosoflah yang
pandangan-pandangan metodologisnya paling banyak dikritik, hingga ia
mengatakan bahwa kalangan filosof ialah orang yang “banyak senjatanya namun
sedikit tanduknya (kekuatan diri)”.13 Ungkapan ini ia katakan setelah melakukan
analisis-kritis terhadap wacana-wacana yang berlaku dalam tradisi logika formal
Aristotelian seperti pembahasan tentang definisi, analogi, premis-premis,
Isagoge (I<sa>ghu>ji>) dan sepuluh kategori (al-maqu>la>t al-‘ashrah).14 Lebih dari itu,
ia pun menyatakan bahwa kekurangan-kekurangan dalam tradisi logika formal
Aristotelian yang muncul dari “kecerobohan” kalangan filosof harus
ditinggalkan karena justru akan semakin menjauhkan seseorang dari kebenaran
sejati dan Kesatuan Mutlak.

8
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 111.
9
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 103.
10
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 111.
11
Sharh} Risa>lat al-‘Ahd dalam Ibn Sab‘i>n, Rasa>’il Ibn Sab‘i>n, ed. Ah}mad Fari>d
al-Mazi>di> (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007), 118.
12
Lihat kritiknya terhadap metodologi berpikir kalangan Sufi dalam Budd al-
‘A<rif, 127-135. Juga Sharaf, Al-Wah}dah al-Mut}laqah ‘inda Ibn Sab‘i>n, 127.
13
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 96.
14
Lihat Sharh} Risa>lat al-‘Ahd, 117. Tentang kritik Ibn Sab‘i>n terhadap wacana-
wacana logika formal Aristotelian, lihat lengkapnya Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 31-95.
108

Dalam konteks filsafat, pada umumnya, kalangan Sufi dalam


menegaskan pemikirannya memang tidak menggunakan logika formal
Aristotelian sebagaimana yang dilakukan oleh para teolog (mutakallimu>n), para
filsuf Islam (fala>sifah), termasuk juga fuqaha>’ yang menggunakan pendekatan
filsafat dan dilektika bahasa. Sementara itu, para teosof justru tidak hanya
menggunakan metode teoritis dan pendekatan filosofis an sich, melainkan juga
menggunakan pendekatan intuisi dan kashf (penyingkapan), yang dalam kajian
epistemologi Islam disebut ‘ilm h}ud}u>ri> atau knowledge by presence.15 Sebagian
teosof mengkritik pedas logika Aristotelian, seperti yang telah dilakukan oleh
al-Suhrawardi> al-Maqtu>l (549-587 H./1154-1191 M.),16 sang teosof iluminasi
dan tentu saja, Ibn Sab‘i>n.
Meski demikian, hal itu tidak hanya berhenti pada sikap kritis yang
“membabi buta” dan serampangan. Tetapi justru dengan kritik konstruktif dan
produktif, para teosof mampu menawarkan sistem epistemologi dan logika
tandingan sebagai ganti atas logika Aristotelian yang telah dihancurkannya. Al-
Suhrawadi> misalnya, mengkonstruksi logika iluminasi (al-mant}iq al-ishra>qi>),
dan Ibn Sab‘i>n membangun ‘Ilm al-Tah}qi>q. Konstruksi logika baru tersebut -
bagi mereka- paling layak untuk digunakan dalam meraih kebenaran hakiki.
Dalam karya monumentalnya, Budd al-‘A<rif, ia secara panjang lebar
membahas, menelaah dan melakukan kritik terhadap logika Aristotelian. Lebih
dari dua pertiga karya itu, ia secara khusus melakukan dekonstruksi terhadap
isu-isu logika formal (form logic). Sistematika penulisannya cukup sederhana
dalam melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap logika yang dianut
kalangan filsuf Peripatetik itu, yaitu dengan menganalisa persoalan-persoalan
logika, mengkritiknya, kemudian ia menawarkan rangka bangun sistem
epistemologi baru yang ia sebut sebagai ‘ilm al-tah}qi>q. Inilah yang menurut al-
Tafta>za>ni>17 dan Ah}mad Zaru>q18 menjadi ciri khas dari filsafat tasawuf-nya Ibn
Sab‘i>n, yang karena itu ia dikategorikan sebagai seorang teosof.
Dalam menegaskan sistem epistemologinya yang disebut ‘ilm al-tah}qi>q,
Ibn Sab‘i>n mengangkat persoalan epistemologi (filsafat pengetahuan) yang
secara apik ia analisa dalam pembahasan ilmu seperti yang telah dijelaskan di
atas. Dengan keluasan pemikirannya, selain analisa dan kritiknya terhadap

15
Mengenai konstruk epistemologi ilmu Hud}u>ri> ini, lihat lengkapnya Mehdi
Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by
Presence (New York: SUNY Press, 1992).
16
Mengenai logika iluminasi Suhrawardi, lihat Mehdi Aminrazavi, Suhrawardi
and the School of Illumination (Richmonde: Curzon, 1997). Lihat juga Mah}mu>d
Muh}ammad ‘Ali> Muh}ammad, al-Mant}iq al-Ishra>qi> ‘inda Shiha>b al-Di>n al-Suhrawardi>
(Kairo: Mis}r al-‘Arabi>yah li-al-Nashr wa-al-Tawzi>‘, 1999), khususnya bagian keempat
tentang kritiknya terhadap logika Aristotelian. Bandingkan dengan Hossein Ziai,
Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta:
Scholars Press, 1990).
17
Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu, 296.
18
Abu> al-‘Abba>s Ah}mad ibn Zaru>q al-Fa>si>, Qawa>‘id al-Tas}awwuf, ed. ‘Abd al-
Maji>d Khaya>li> (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2005), 61.
109

pandangan epistemologis empat komunitas intelektual di atas, di tempat lain


dalam Budd al-A<rif-nya, ia pun mengutip begitu banyak pengertian ilmu dari
berbagai sumber yang populer kala itu. Kurang lebih ada 15 definisi ilmu yang
dikutip. Namun baginya, berbagai definisi ilmu yang dinyatakan oleh para
cendikiawan tersebut sangat rumit, bertele-tele dan menyulitkan orang yang
mempelajarinya.19 Baginya, hakikat ilmu hanya bisa diketahui ketika seseorang
mampu memahami esensi akal, jiwa dan Kesatuan Mutlak dengan sempurna. Ia
mengungkapkan:20

‫ـﻔﺲ ﻭﻣﺎﻫـﻴﺘﻬﺎ ﻭﺍﻟﻮﺟـﻮﺩ ﺍﳌﻄﻠـﻖ‬‫ﻦ ﻋﻨـﺪ ﻣﻌـﺮﻓﺔ ﺍﻟﻌـﻘﻞ ﻭﺍﻟﻨ‬‫" ﻭﺣﻘﻴـﻘﺔ ﺍﻟﻌـﻠﻢ ﺗﺘﺒـﻴ‬
‫ﺟـﻮﻉ ﻭﺍﻹﻧﺴـﻼﺥ ﻋﻦ ﺍﻷﻧـﻴﺎﺕ ﺍﳌﻀـﺎﻓﺔ‬‫ـﻈﺎﻡ ﺍﻟﻘﺪﻳـﻢ ﻭﺍﻟﺮ‬‫ﺭ ﻭﺍﳌـﺤﻮ ﻭﺍﻟﻨ‬‫ﺪ ﻭﺍﳌﻘـﺪ‬‫ﻭﺍﳌﻘـﻴ‬
" . ‫ﻻ ﻭﻓﺴـﺎﺩ ﻧﻈـﻤﻬﺎ ﰱ ﺍﻟﺬﹼﻫـﻦ‬‫ﻭﺍﻟﺬﹼﻭﺍﺕ ﺍﳌﻔـﺎﺭﻗﺔ ﻭﺗﻘﺪﻳﺮ ﺍﻟﻌـﻠﻞ ﺍﳌﻮﺿـﻮﻋﺔ ﺃﻭ‬
“Dan hakikat ilmu akan tampak jelas ketika mampu memahami Akal, Jiwa
beserta substansinya, Wujud Mutlak, wujud terbatas, wujud yang ditakdirkan –
keberadaannya-, kemusnahan –wujud-, aturan azali, kembali dan lepas dari
bejana –wujud- yang disandarkan –keberadaannya-, esensi paradoks, dan
kepastian sebab-sebab yang telah ditentukan sejak awal serta kehancuran
aturannya yang menjelma dalam pikiran.”

Ini berarti, dalam madzhab al-Muh}aqqiq-nya, Ibn Sab‘i>n justru meyakini bahwa
ilmu bukanlah sesuatu yang harus dan bisa dicari (muktasabah), melainkan
sebuah pengetahuan intuitif tentang Wujud Mutlak yang satu, dan pengetahuan
tentang bagaimana memisahkan Wujud Mutlak tersebut dengan ilusi
selainnya.21
Dari sini, apalagi melihat Budd al-‘A<rif, Ibn Sab‘i>n terlihat
menggunakan logika sebagai alat untuk mencapai tingkatan spritual setinggi-
tingginya. Namun, meski ia lebih banyak menggunakan logika dibanding para
mistikus lainnya, ia tidak lekas menjadi seorang rasionalis dalam pengertian
modern. Logika sejatinya adalah daya intuitif demi mencapai transendensi. Dari
kritik-kritiknya terhadap logika Aristotelian, secara implisit ia mengatakan
bahwa para filsuf Peripatetik telah gagal memahami akal.
Dari gambaran singkat pemikiran epistemologi Ibn Sab‘i>n ini kiranya
jelas terlihat, bahwa wacana-wacana yang diangkat adalah wacana umum yang
juga dibicarakan oleh kalangan filosof, teolog dan fuqaha>’. Perbedaan paling
menonjol justru terletak pada cara bagaimana mereka menemukan dan
memahaminya. Jika filosof hanya dapat memahami yang tampak dan fenomenal
dengan penalaran akal, teolog menemukan pengetahuan melalui berpikir
dialektis, dan fuqaha>’ menemukannya dengan pendekatan teks-teks keagamaan,
maka Ibn Sab‘i>n dengan perspektif Kesatuan Mutlak-nya berusaha memahami
realitas melalui kontak langsung dengan objek pengetahuan.

19
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 92.
20
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 93.
21
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 93.
110

Pada titik ini, poin penting yang dicapai Ibn Sab‘i>n dalam ‘Ilm al-
Tah}qi>q-nya adalah bahwa hakikat-hakikat logika -dalam tradisi Aristotelian-
sebenarnya bersifat primordial (fitrah) yang bersemayam dalam setiap entitas
jiwa manusia. Sementara definisi, makna-makna tunggal universal, dan
kategori-kategori yang mengandaikan pluralitas wujud, semata-mata hanya
ilusi. Yang ditekankan dalam logika formal Aristotelian -yang juga baginya
merupakan satu kelemahan fatal- adalah adanya pluralitas wujud yang pada
hakikatnya bersifat illusi, di mana sejatinya, hakikat wujud adalah satu, yaitu
Kesatuan Mutlak. Dari sini, penulis mengasumsikan bahwa gagasan
epistemologis, atau ‘Ilm al-Tah}qi>q-nya Ibn sab‘i>n merupakan “tongkat estafet”
peneguhan doktrin al-Wah}dah al-Mut}laqah.

B. Basis Ontologis Klasifikasi Ilmu: Menelusuri Status Wujud Objek


Pengetahuan
Jika ditelusuri hingga titik yang terdalam, rasanya tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa tugas utama sebuah epistemologi, atau filsafat pengetahuan,
adalah menunjukkan bagaimana suatu ilmu itu mungkin secara filosofis. Jika
ilmu itu sendiri dimaknai sebagai “pengetahuan tentang sesuatu sebagai mana
adanya”,22 berarti tugas utama epistemologi ialah menunjukkan bagaimana
“pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya” itu mungkin secara
filosofis. Namun pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya itu tentu
saja hanya mungkin diperoleh jika sesuatu yang dijadikan objek pengetahuan
benar-benar diyakini keberadaannya. Tidak mungkin “sesuatu” itu dapat
diketahui sebagaimana adanya, jika eksistensinya tidak diyakini.23 Inilah yang
kemudian dimaksud dengan status ontologis objek ilmu.
Dengan pandangan tersebut, kajian mengenai status ontologis dari objek
apa pun yang akan diteliti dan diketahui menjadi penting, bahkan sebelum
membahas klasifikasi dan metode ilmu pengetahuan. Asumsi ini mengemuka
karena, pembahasan tentang status ontologis objek ilmu akan menjadi basis bagi
sebuah bangunan epistemologi mana pun. Tentu saja, pembahasan status
ontologis objek ilmu juga akan menjadi “setir” bagi rangka bangun ontologis
sebuah klasifikasi ilmu.
Diskusi tentang status ontologis ini sebenarnya tidak akan begitu urgen
jika saja tidak terjadi semacam deviasi yang dilakukan oleh filsafat Barat
terhadap konstruk epistemologi, khususnya klasifikasi ilmu. Akibat deviasi
tersebut, pada saat ini mengemuka dua sistem epistemologi yang secara
fundamental berbeda satu sama lain, epistemologi Barat modern sekuler dan
epistemologi Aristotelian, termasuk di dalamnya epistemologi Islam.24 Pangkal
perbedaan ini tentu adalah perbedaan yang radikal dari cara memandang status

22
Lihat misalnya Abu> Ish}a>q al-Shi>ra>zi>, al-Luma‘ (Beirut: Da>r al-Kutub al-
‘Ilmi>yah, 1985), 1. Lihat juga Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 92. Juga Ibn H{azm, al-Ih}ka>m fi>
Us}u>l al-Fiqh vol. 1 (Kairo: Da>r al-Hadi>th, 1984), 40.
23
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi
Islam (Bandung: Mizan, 2003), 30.
24
Lihat Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, 30-1.
111

ontologis objek-objek ilmu di antara keduanya. Diferensiasi itu semakin terlihat


jelas ketika dua epistemologi ini “berhadap-hadapan” secara paradoks dan
kontradiktif.
Setelah melalui proses panjang, khususnya setelah masa Renaissans,
epistemologi Barat akhirnya cenderung menolak status ontologis objek-objek
metafisik, dan lebih memusatkan perhatiannya pada objek-objek fisik, atau apa
yang disebut oleh Comte (1798-1857), seorang filsuf Perancis, dengan
“positivistik”.25 Kecendrungan ini pada akhirnya membuat epistemologi Barat
hanya bercirikan rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme mengindikasikan
penekanan yang kuat terhadap rasio, sekaligus menolak berbagai hal yang
irasional. Sehingga pada gilirannya, unsur-unsur yang irasional seperti yang
banyak ditemukan dalam agama dan mistisme, cenderung ditolak dan hanya
dipandang tidak lebih dari sebuah ilusi dan halusinasi.26 Sementara materialisme
-dengan berbagai perkembangan konsepnya-, mengindikasikan bahwa yang
dianggap riil adalah fakta, bukan makna. Fakta empirik menjadi ukuran
kebenaran, sementara hal-hal yang non empirik, metafisik dan abstrak hanyalah
sebuah ilusi.27
Di lain pihak, secara holistik, epistemologi Islam justru mengakui dan
mempertahankan status ontologis tidak hanya objek fisik, tetapi juga objek-
objek matematik dan metafisik. Epistemologi Islam datang dengan menekankan
totalitas pengalaman dan kenyataan serta menganjurkan banyak cara untuk
mempelajari alam, sehingga ilmu bisa diperoleh dari wahyu maupun akal, dari
observasi maupun intuisi, tradisi maupun spekulasi teoritis. Maka dengan hal
ini, epistemologi Islam menekankan pencarian semua bentuk ilmu pengetahuan
dalam kerangka nilai abadi yang menjadi landasan utama peradaban Muslim.28.

25
Auguste Comte dikenal sebagai pendiri “madzhab” positivisme setelah pada
tahun 1930 ia merampungkan magnum opus-nya berjudul Cours de Philosophie Positive.
Lihat H. James Birx (ed.), Encyclopedia of Time: Science, Philosophy, Theology and
Culture vol. 1 (California: Sage Publications Inc., 2009), 206-7. Bandingkan dengan
Edward Craig (ed.), The Shorter Routledge Encyclopedia of Philosophy (New York and
London: Routledge, 2005), 134.
26
Brain Hines menyatakan, bagi kaum materialis, kebenaran spritual
sebagaimana yang dialami dalam pengalaman mistik tidak lebih dari sekedar halusinasi.
Brain Hines, Gods Whisper, Creation’s Thunder (Bratleboro, Vermont: Threshold
Books, 1996), 135. Lebih lanjut bahkan, kebenaran wahyu yang pada dasarnya diterima
oleh intuisi atau hati ditolak otoritasnya oleh masyarakat Barat modern karena dianggap
menggunakan metode non-rasional. Lihat Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu Dalam
Perspektif Filsafat Islam (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003) xvii.
27
Sigmund Freud (1856-1939), dalam karyanya, The Future of an Illusion, trans.
and ed. James Strachey (New York: W.W. Norton & Company, 1961), 65-67,
menyatakan, bahwa cepat atau lambat, ajaran-ajaran agama akan segera ditinggalkan
oleh masyarakat modern karena ketidakrasionalannya.
28
Ziauddin Sardar, How Do You Know? Reading Ziauddin Sardar on Islam,
Science and Cultural Relations, ed. Ehsan Masood (London: Pluto Press, 2006), 137-
138. Lihat juga Lihat Patricia Horvatich, “Ways of Knowing Islam,” American
Ethnologist Vol. 21, No. 4 (November, 1994), 811-826. http://www.jstor.org/stable/
112

Perbedaan cara pandang dan keyakinan terhadap status ontologis ini tentu saja
telah menimbulkan perbedaan yang signifikan antara kedua sistem epistemologi
tersebut dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan wacana klasifikasi
ilmu dan metode ilmiah.
Dalam hal ini, meskipun menganut pandangan ontologis Kesatuan
Mutlak, Ibn Sab‘i>n, sama halnya dengan kalangan filosof Muslim (fala>sifah),
mengakui dan meyakini keberadaan (status ontologis) tidak hanya objek-objek
fisik, tetapi juga objek-objek metafisik. Lebih dari itu, dalam magnum opus-nya,
Budd al-‘A<rif, ia secara serius juga menyusun sebuah hierarki dan atau gradasi
wujud (tarti>b al-mawju>da>t) sebagai bukti konseptual pengakuannya terhadap
berbagai eksistensi secara ontologis. Dalam pembahasan selanjutnya, akan
dieksplorasi bagaimana Ibn Sab‘i>n dengan al-Wah}dah al-Mut}laqah-nya
memandang status ontologis dari realitas-realitas dan berbagai fenomena. Tentu
saja, pandangannya ini akan sangat menentukan bagi konstruk dan paradigma
gagasan klasifikasi ilmunya.

1. Tuhan di Puncak Hierarki


Dalam karya monumentalnya, Budd al-‘A<rif, Ibn Sab‘i>n secara khusus
menempatkan kajian tentang gradasi atau hierarki wujud ini dalam satu
pembahasan. Sebenarnya, pemikirannya tentang gradasi wujud ini dapat
ditelusuri dari teori emanasinya sebagaimana yang telah disinggung pada bab
sebelumnya. Jika dalam teori emanasinya terdapat dua bentuk emanasi, yaitu,
emanasi kulli>ya>t dan juz’i>ya>t, maka begitu juga dalam gradasi wujud. Pertama,
emanasi kulli>ya>t, yaitu munculnya alam secara global dari Yang Esa. Kedua,
juz’i>ya>t, yakni munculnya alam secara parsial dari Yang Mutlak. Di sini, Ibn
Sab‘i>n melihat Yang Esa adalah sebagai penyebab (‘illah) bagi kemunculan
segala mawju>da>t.29
Dalam emanasi kulli>ya>t, yang pertama muncul dari Yang Esa (Allah)
adalah akal universal (al-‘aql al-kulli>) sebagai “yang pertama diciptakan” (al-
mubda‘ al-awwal), kemudian secara beruntut muncul jiwa universal (al-nafs),30
watak fisik (al-t}abi>‘ah), materi (al-hayu>la>), tubuh absolut (al-jism al-mut}laq),
bintang (al-falak), unsur-unsur pembentuk (al-arka>n),31 dan generasi-generasi
yang dilahirkan (al-muwallada>t). Emanasi dari Yang Awal dan seterusnya dalam

646841 (diakses pada 08 Mei 2014). Dalam perspektif filsafat Islam, epistemologi
merupakan perkembangan dari konsep ‘Ilm, Ma’rifah dan H{ikmah -dengan berbagai
derivasinya- yang terdapat dalam al-Qur’an. Lihat Peter S. Groff, Islamic Philosophy A-
Z (Edinburg: Edinburg University Press, 2007), 33.
29
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 112. Lihat juga al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa
Falsafatuhu, 205-7. Juga Yunasril Ali, “Ibn Sab‘i>n” dalam Tim Penulis UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Tasawuf jilid II (Bandung: Angkasa, 2008), 533-4.
30
Ibn Sab‘i>n memaknai jiwa sebagai esensi spritual non-material (jawhar
ru>h}a>ni>). Lihat Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 156.
31
Yang dimaksud unsur-unsur di sini adalah al-‘ana>s}ir al-arba‘ah (empat unsur)
yakni api, tanah, air dan udara. Lihat Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 114.
113

kapasitas menurun dan semakin mengurangi kesempurnaan pancaran itu


sendiri.32
Berbeda dengan emanasi kulli>ya>t, emanasi juz’i>ya>t ialah semacam
evolusi alam tingkat terendah menuju pada Yang Mahasempurna. Ia
mencontohkan emanasi ini dimulai dari benda-benda inorganik (al-ma‘dan),
kemudian berlanjut secara berurutan kepada tumbuhan/flora (al-naba>t), fauna
(al-h}ayawa>na>t), jiwa yang berakal (al-nafs al-na>t}iqah), akal aktif (al-‘aql al-
fa‘a>l), akal-akal murni (al-‘uqu>l al-mujarradah), hingga sampai kepada Allah,
Sang Mahamutlak. Contoh lain yang ia kemukakan untuk menjelaskan emanasi
juz’i>ya>t ini ialah emanasi yang dimulai dari benda mati/inanimate body (al-
jama>d), kemudian berlanjut secara evolutif kepada benda yang dapat tumbuh
(al-na>mi>), benda peka/sensitive body (al-h}asa>s), makhluk berakal/reasonable
body (al-‘a>qil), makhluk arif bijaksana (al-h}aki>m), Nabi (al-nabi>), Malaikat (al-
malak), hingga sampai ke Allah.33
Dari paparan teori emanasinya di atas, dapat ditarik sebuah benang
merah bahwa bagi Ibn Sab‘i>n, terdapat tiga realitas yang ada dalam hierarki
wujud. Wujud Tuhan berada di puncak hierarki, kemudian disusul dengan
wujud-wujud imateriil, seperti akal/intellect dan jiwa/nous, yang
menghubungkan wujud di atasnya (wujud Tuhan) dengan wujud di bawahnya,
yaitu wujud-wujud fisik yang berada di dasar hierarki.
Hal ini sedikit berbeda dengan skema hierarki wujud yang dinyatakan
oleh al-Fa>ra>bi> (257-339 H./870-950 M.), di mana ia menyusun wujud kepada
empat tingkatan secara hierarkis yaitu, Tuhan sebagai sebab awal di puncak
hierarki, kemudian malaikat sebagai wujud yang murni imateriil, benda-benda
langit (calestial), dan terakhir benda-benda bumi (terrestial).34 Meski demikian,
menurut penulis, dalam hierarki wujud Ibn Sab‘i>n, wujud malaikat dalam
hierarki al-Fa>ra>bi> masuk dalam kategori benda-benda imateriil yang berada di
bawah wujud Tuhan. Sementara benda-benda langit dan benda-benda bumi,
dikategorikan ke dalam benda-benda fisik di dasar hierarkis. Hal ini
diungkapkan oleh Ibn Sab‘i>n bahwa bintang-bintang, yang termasuk benda-
benda langit merupakan jasad/benda yang mengelilingi alam (al-falak jism yuh}i>t}
bi-al-‘a>lam).35
Dimulai dengan Tuhan di puncak hierarki, dengan perspektif Kesatuan
Mutlak, Tuhan merupakan agen/subjek dan pencipta segala sesuatu.

32
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 112.
33
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 112. Gradasi wujud yang hampir serupa juga
ditemukan dalam pemikiran Ibn ‘Arabi>. Namun perbedaannya, dalam gradasi wujud Ibn
‘Arabi>, setiap tingkatan wujud selalu disandingkan dengan nama-nana Allah yang
terangkum dalam al-Asma>’ al-H{usna>. Lihat lengkapnya Nas}r H{a>mid Abu> Zayd, Ha>kadha>
Takallama Ibn ‘Arabi> (Kairo: al-Hay’ah al-Mis}ri>yah al-‘A<mah li-al-Kita>b, 2002), 185-6.
34
Lihat lengkapnya Abu> Nas}r al-Fa>ra>bi, Ara>’ Ahl al-Madi>nah al-Fa>d}ilah, ed.
Albi>r Nas}ri> Na>dir (Beirut: Da>r al-Mashriq, 1968), 37-80
35
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 198.
114

Sebagaimana para filosof seperti al-Kindi> dan al-Fa>ra>bi>,36 Ibn Sab‘i>n juga
meyakini bahwa Tuhan juga merupakan sebab pertama bagi wujud yang lain,
termasuk wujud alam materiil dan imateriil ini tidak lain adalah akibat-akibat-
Nya.37 Dari sudut ontologis, Tuhan, sebagai subjek dan pencipta segala sesuatu,
serta sebagai sebab pertama, tentu jauh lebuh utama dari status ontologis alam
fisik dan alam imateriil, karena alam fisik dan imateriil ini justru merupakan
akibat atau derivat dari Tuhan. Tentu saja, status pencipta dan sebab akan lebih
tinggi dibandingkan yang diciptakan dan akibatnya, karena tidak bisa
dibayangkan adanya yang diciptakan dan akibat jika tidak ada pencipta atau
sebab. Oleh karenanya, dapat dipahami jika Ibn Sab‘i>n memandang bahwa
meskipun wujud Tuhan bersifat ruh}i,> Dia lebih riil dan fundamental dari pada
wujud fisik materiil.
Terlepas dari terpengaruh atau tidaknya Ibn Sab‘i>n oleh pandangan para
pendahulunya dari kalangan filosof, pandangannya ini tentu sama secara
substantif dengan misalnya pandangan Ibn Si>na> (370-428 H./980-1037 M.) dan
al-Kindi> (185-252 H./796-866 M.). Ibn Si>na>, menyatakan bahwa Tuhan
merupakan Wa>jib al-Wuju>d (Wujud Niscaya) yang dipersandingkan dengan
status ontologis alam sebagai Mumkin al-Wuju>d (Wujud Potensial).38 Sebagai
wujud yang mungkin dalam arti potensial, keberadaan alam sangat bergantung
pada Wujud Niscaya yang selalu aktual. Tanpa adanya Wujud Aktual ini, alam
sebagai wujud potensial akan tetap berada dalam keadaan potensial. Alam
memang tidak mustahil untuk mengada, tetapi ia hanya bisa ada apabila ada
wujud lain yang telah aktual, yang dapat mengubah potensi “ada” alam itu
menjadi aktualitas. Dari pandangan Ibn Si>na> ini, tentu status ontologis Tuhan
sebagai Wa>jib al-Wuju>d Yang Selalu Aktual, lebih tinggi, rill dan bahkan lebih
fundamental dibanding alam semesta yang hanya memiliki potensi untuk
mengada.
Juga al-Kindi> yang mendeskripsikan Tuhan sebagai Sang Penggerak
Yang Tanpa Digerakkan (The Unmoved Mover). Jika Ibn Si>na> menjelaskan
tentang asal-usul keberadaan alam semesta, al-Kindi> dengan gagasannya itu
menunjukkan asal-usul gerak alam semesta yang tanpa-Nya tidak dapat
terbayangkan oleh akal, bagaimana alam bisa bergerak.39 Lagi-lagi, pandangan
al-Kindi> ini pun mengindikasikan bahwa status ontologis Tuhan lebih riil dan
lebih fundamental dibanding alam selain-Nya. Karena, sementara Tuhan adalah
agen (al-fa>‘il), pelaku atau subjek, alam semesta justru adalah objek (al-maf‘u>l)
yang hanya menerima akibat dari action Tuhan. Pada titik ini, pandangan Ibn

36
Lihat al-Fa>ra>bi, Ara>’ Ahl al-Madi>nah, 37. Lihat juga Mulyadhi Kartanegara,
Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2005), 32-7.
37
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 112. Juga Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu,
201.
38
Lihat Kartanegara, Menembus Batas Waktu, 34-5.
39
Ian Richard Netton, Allah Transcendent: Studies in the Structure and
Semiotics of Islamic Philosophy, Theology and Cosmology (London and New York:
Routledge, 1989), 51-4. Ide bahwa Tuhan adalah Penggerak memang berasal dari
Aristoteles yang kemudian memengaruhi banyak filosof sesudahnya, termasuk al-Kindi>.
115

Sab‘i>n pun sama dengan al-Kindi>, ia menyatakan bahwa Tuhan adalah agen
segala sesuatu (fa>‘il al-kull).40
Selain predikat-predikat di atas, dalam emanasinya, Ibn Sab‘i>n juga
mendeskripsikan Tuhan sebagai Pencipta segala sesuatu (mubdi‘ al-ashya>’) dan
Pencurah segala kebaikan (mufi>d al-khayra>t) dengan sempurna. Ia juga adalah
sebab pertama (al-‘illah al-u>lá) yang mendahului segala sebab penciptaan.41
Dalam hal ini ia menyatakan:

‫ﺎﺕ ﻣﻨﻬﺎ ﺗﺴـﻌﺔ ﻣﺮﺍﺗﺐ ﻛﺘﺴـﻌﺔ ﺃﺣﺎﺩ‬‫ﺎﺕ ؛ ﻓﺎﻟﻜﻠﹼـﻴ‬‫ﺎﺕ ﻭﺟﺰﺋـﻴ‬‫" ﺍﳌﻮﺟـﻮﺩﺍﺕ ﻧﻮﻋـﺎﻥ ﻛـﻠﹼـﻴ‬
٤٢
" ..... ‫ ﻭﺟﻞﹼ ﻓـﺎﻋﻞ ﺍﻟﻜـﻞﹼ ﻭﺧـﺎﻟﻖ ﻛﻞﹼ ﺷـﻴﺊ‬‫ﻟـﻬﺎ ﺍﷲ ﻋﺰ‬‫؛ ﺃﻭ‬
‫ﺎﻡ ؛ ﻭﻫﻮ ﻣﺒـﺪﻉ ﺍﻷﺷـﻴﺎﺀ‬‫ ﻟـﻴﺲ ﺑﻨـﺎﻗﺺ ﻭﻻ ﺗـﺎﻡ ﻓﻘﻂ ﺑﻞ ﻫﻮ ﻓـﻮﻕ ﺍﻟـﺘ‬‫" ﺃﻥﹼ ﺍﻟـﺤﻖ‬
٤٣
" ..... ‫ـﻪ ﺗﺎﻡ ﻭﺧـﲑﻩ ﻻ ﻧـﻬﺎﻳﺔ ﻟﻪ‬‫ﻭﻣﻔـﻴﺾ ﺍﻟـﺨﲑﺍﺕ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻓـﻴﻀﺎ ﺗـﺎﻣﺎ ﻷﻧ‬
“Mawju>da>t (yang berada) itu ada dua macam: universal dan partikular. Yang
universal ada sembilan tingkatan (secara hierarkis) sebagai sebuah satu
kesatuan. Tingkatan pertama adalah Allah ‘Azza wa-Jalla, Agen segala –
penciptaan- dan pencipta segala sesuatu .....”
“Sesungguhnya Yang Haqq (Allah) bukanlah kekurangan dan bukan pula
kesempurnaan, tetapi Dia di atas kesempurnaan itu. Dia adalah Pencipta segala
sesuatu dan Pencurah segala kebaikan –dalam segala sesuatu itu- dengan
curahan yang sempurna, karena Dia adalah kesempurnaan itu sendiri, dan
kebaikannya tidak terbatas .....”

Dengan pandangan ini, tentu saja ia memposisikan status ontologis


Tuhan di puncak hierarki wujud. Bahkan, jika dilihat dalam perspektif Kesatuan
Mutlak-nya, status ontologis selain-Nya hanya sebuah ilusi. Dengan al-Wah}dah
al-Mut}laqah-nya, Ibn Sab‘i>n menempatkan ketuhanan pada wilayah yang
absolut. Artinya, ia ingin menempatkan Tuhan sebagai Kemahaesaan Mutlak
yang tidak dapat ditandingi oleh apa pun dan siapa pun. Sebab, Wujud Tuhan
menurutnya adalah sumber bagi entitas yang ada dan entitas yang akan ada.
Allah adalah sumber bagi semua entitas yang ada pada masa lalu, masa kini dan
masa yang akan datang. Wujud materi yang tampak, harus dikembalikan kepada
Wujud Mutlak yang bersifat ru>h}i> (spiritual).

2. Wujud Imateriil
a. Akal Universal (al-‘Aql al-Kulli>)
Urutan selajutnya dalam pandangan hierarki wujudnya setelah Tuhan
ialah wujud-wujud imateriil. Dengan melihat gagasan hierarki wujud dalam
emanasi Ibn Sab‘i>n, wujud-wujud imateriil ini berupa akal universal (al-‘aql al-
kull) sebagai yang pertama diciptakan (al-mubda‘ al-awwal), dan jiwa/nous -

40
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 112.
41
Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu, 201.
42
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 112.
43
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 133.
116

universal- (al-nafs). Keduanya, oleh Ibn Sab‘i>n dalam Budd al-‘A<rif-nya


mendapatkan tempat yang khusus karena ia membahasnya lebih elaboratif
dibanding wacana lainnya.
Sebelumnya, dalam tradisi filsafat Islam, ada sebuah kesepakatan umum
bahwa eksistensi dunia (alam) terbagi menjadi dua: pertama, dunia material,
yaitu alam yang tunduk pada hukum penciptaan/generation dan
kehancuran/corruption (al-kawn wa-al-fasa>d),44 dan kedua, dunia imateriil, yaitu
alam yang berlaku baginya ketentuan berupa pemberi eksistensi dan
kehidupan.45 Klasifikasi tersebut pada gilirannya dikembangkan lebih lanjut
dalam tradisi sufisme yang diwakili Ibn ‘Arabi> (560-638 H./1164-1240 M.) serta
para murid dan pengikutnya seperti al-Kirma>ni> (w. 697 H.) dan al-Na>bulusi> (w
1143 H.), bahwa alam dibedakan menjadi tiga dunia: dunia rohani (alam makna),
alam imajinasi (‘a>lam al-mitha>l), dan dunia fisik (alam materi).46 Para filosof,
seperti halnya juga Ibn Sab‘i>n, meyakini bahwa sebelum alam fisik diciptakan,
keberadaan alam telah ada semenjak azali berdasaran kebijaksanaan Tuhan.47
Meski demikian, keazaliannya tidak dimaknai ketiadaan penciptaan, tetapi
justru hendak meneguhkan bahwa hanya Allah-lah yang menjadi Agen Aktif (al-
fa>‘il) bagi keberadaan semesta.48 Dengan demikian, alam imateriil (ru>h}a>ni>) ini
pada dasarnya, selain pemberi eksistentensi, ia juga Sang Agen Aktif yang
senantiasa memberi pengaruh kepada semua wujud yang tergabung dalam alam
fisik.
Lalu pertanyaannya, apa yang dimaksud wujud-wujud imateriil atau
alam ru>h}a>ni> itu? jika melihat pemikiran gradasi wujud dan emanasi Ibn Sab‘i>n,
tentu wujud imateriil adalah wujud-wujud yang mendapat limpahan langsung
dari Tuhan, yaitu Akal Universal (al-‘aql al-kull) dan Jiwa Universal (al-nafs).
Dalam emanasinya, kedua wujud ini dipandang imateriil dan merupakan
pemberi wujud bagi realitas wujud di bawahnya, sebagaimana Tuhan merupakan
Pemberi wujud kepada segala sesuatu selain-Nya.
Wujud pertama dalam gradasi wujud dan emanasi Ibn Sab‘i>n yang
mendapatkan limpahan langsung dari Allah adalah Akal Universal (al-‘aql al-

44
Tentang hukum penciptaan/generation dan kehancuran/corruption (al-kawn
wa-al-fasa>d) lihat karya Ibn Rushd yang merupakan ringkasan dari karya Aristoteles,
Jawa>mi‘ al-Kawn wa-al-Fasa>d, tah}qi>q Abu> al-Wafa>’ al-Tafta>za>ni> dan Sa‘i>d Za>yid
(Kairo: al-Hay’ah al-Mis}ri>yah al-‘A<mah li-al-Kita>b, 1994).
45
Charles Genequand, “Metafisika,” dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam
Buku Kedua, ed. Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, terj. Tim Penerjemah Mizan
(Bandung: Mizan, 2003), 1095.
46
Lihat William C. Chittick, “Ibn ‘Arabi” dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat
Islam Buku Pertama, 630-2.
47
Lihat Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 181.
48
Terkait dengan argumen Ibn Rushd tentang ke-kadim-an alam semesta, lihat
Abu> al-Wali>d Muh}ammad Ibn Rushd, Fas}l al-Maqa>l fi>-ma> bayna al-H{ikmah wa-al-
Shari>’ah min al-Ittis}a>l, tah}qi>q Muh}ammad ‘Ima>rah (Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif, 1983), 40-3.
117

kull).49 Secara umum, dalam berbagai teori emanasi yang digagas para filosof
Muslim seperti al-Fa>ra>bi> (257-339 H./870-950 M.) dan Ibn Si>na> (370-428
H./980-1037 M.), intelek (‘aql) merupakan wujud pertama yang diciptakan
Tuhan. Keseluruhan akal dalam sistem tersebut merupakan perwujudan dari
proses aktualisasi akal dan pelimpahan wujud dari proses berpikirnya akal
tentang dirinya dan Tuhan.50 Dalam konteks ini, tentu Akal merupakan
substansi sederhana yang bersifat rohani, meliputi segala sesuatu secara rohani
pula. Selain dimaknai sebagai wujud pertama yang diciptakan Tuhan, Akal juga
mengacu kepada salah satu kekuatan atau daya rasional manusia, seperti daya
tafakkur (berpikir), ra>wi>yah (kontemplasi), nut}q (berbicara/berpikir logis),
tamyi>z (pembeda), s}ana>‘, (merancang/mencipta), dan daya lainnya.51
Dalam ranah epistemik, akal merupakan daya jiwa rasional sebagai alat
sekaligus sumber pengetahuan. Ia hanya dimiliki manusia saja dan menjadi
pembeda dengan makhluk lainnya. Melalui akal, manusia mampu menempati
derajat kamuliannya tang tertinggi,52 dan lantaran akal pula, manusia disebut
“manusia”. Aristoteles (384-322 SM.) menyebutnya h}ayawa>n na>t}iq (hewan
berpikir). Penyebutan ini selanjutnya dianut pula oleh tradisi filsafat Islam.53
Berdasarkan makna di atas, akal merupakan fakultas-fakultas rohani,
baik yang dimiliki oleh jiwa manusia (quwa> al-nafs al-insa>ni>yah) maupun Jiwa
Universal (quwa> al-nafs al-kulli>yah). Nah, akal bagi alam yang luas inilah dalam
tradisi filsafat Islam disebut Akal Universal (al-‘aql al-kulli>). Ia merupakan
sumber bagi keseluruhan akal. Sedangkan akal yang dimiliki manusia sebagai
sebuah daya rasional disebut Akal Partikular (al-‘aql al-juz’i>), akal yang
konektivitasnya dapat terhubung langsung dengan akal yang lebih agung di
atasnya.54

49
Mengenai pemikirannya gradasi wujud (tarti>b al-mawju>da>t) lihat Budd al-
‘A<rif, 112.
50
Keterangan tentang akal sejalan dengan teori emanasi para filosof, dapat
dilihat lebih lanjut misalnya, al-Fa>ra<bi>, Ara>’ Ahl al-Madi>nah, 61-2. Juga Harun
Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, cet. 12 (Jakarta: Bulan Bintang, 2010),
16-17. Juga Netton, Allah Transcendent, 58-65, 114-125 dan 163-172. Lihat juga
Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam (Jakarta:
Lentera Hati, 2006), 33-42.
51
Lihat Ikhwa>n al-S{afa>’, Rasa>’il Ikhwa>n al-S{afa>’ wa-Khula>n al-Wafa>’ vol. 3 ed.
Nu>r al-Di>n Ji>wa>kha>n (Mab’á: Nakhbat al-Akhba>r, 1306 H.), 37.
52
Q.S. al-T{i>n [65]: 4-6. Al-Isra>’ [17]: 70.
53
Ah}mad Abu> Zayd, al-Insa>n fi> al-Falsafah al-Isla>mi>yah: Dira>sah Muqa>ranah fi>
Fikr al-‘A<miri> (Beirut: Mu’assasat al-Jami>‘i>yah li-al-Dira>sa>t, 1994), 18.
54
Al-Kindi> berpendapat bahwa akal merujuk kepada empat makna: [1] akal
yang senantiasa aktif, merupakan akal pertama dari pancaran emanatif Tuhan (al-‘aql
alladhi> bi-al-fi‘l); [2] akal yang secara potensial berada dalam jiwa manusia (al-‘aql
alladhi> bi-al-quwwah); [3] akal yang telah berubah di dalam jiwa, dari potensial menjadi
aktual (al-‘aql alladhi> kharaja fi> al-nafs min al-quwwah ila> al-fi‘l); dan [4] akal yang
disebut sebagai akal kedua (al-aql al-z}a>hir). ‘Abdurrah}ma>n Badawi> (ed.), Rasa>’il al-
Falsafi>yah li-al-Kindi> wa-al-Fa>ra>bi> wa-Ibn Ba>jah wa-Ibn ‘Adi> (Beirut: Da>r al-Andalus,
t.t), 1-2.
118

Selain sebagai wujud pertama yang diciptakan tanpa perantara (awwal


mawju>d awjadahu al-Ba>ri> min ghayr wa>sit}ah),55 Akal juga sering disebut Akal
Aktif (al-‘aql al-fa‘a>l) yang merupakan sebutan al-Fa>ra>bi> dan Ibn Si>na> bagi Akal
X (al-‘aql al-‘a>shir) dalam teori emanasinya. Kadang juga disebut sebagai al-‘aql
al-awwal (Akal Pertama),56 yang oleh al-Suhrawardi> (549-587 H./1154-1191 M.)
ditujukan kepada Nu>r Awwal (Cahaya Pertama), sebutan lain bagi Nu>r al-
Mut}laq (Cahaya Mutlak).57 Istilah lain yang populer dalam tradisi filsafat Islam
adalah al-‘Aql al-Kulli> (Akal Universal), istilah yang terakhir inilah yang juga
digunakan Ibn Sab‘i>n dalam pemikirannya. Sebutan yang beragam tersebut
tentu selaras dengan status ontologis dan perannya sebagai wujud imateriil yang
mendapat limpahan langsung dari Tuhan.
Sejalan dengan peristilahan di atas, dalam tradisi Tasawuf, Akal sebagai
ciptaan pertama ini menunjuk pada beberapa konsep penting seperti Nu>r
Muh}ammad, Ru>h} Muh}ammad, dan Qalam (pena/tempat kalimah Tuhan).58
Penyebutan tersebut jelas bukan tanpa alasan, argumentasinya sesuai dengan
teks-teks suci Islam yang dirujuk, salah satunya Hadits Qudsi yang cukup
populer: “Law la>ka law la>ka lamma> khalaqtu al-afla>k” (Kalau bukan karenamu
Muhammad, niscaya tidak Kuciptkakan alam semesta). Juga Hadits Ja>bir yang
sampai ke Nabi (Marfu>‘an), yang diriwayatkan oleh ‘Abd al-Razza>q, bahwa
Ja>bir bertanya kepada Nabi Muhammad SAW. tentang apa yang pertama
diciptakan Allah SWT. Nabi menjawab “Hai Ja>bir, sesungguhnya Allah telah
menciptakan Cahaya Nabimu dari cahaya-Nya sebelum menciptakan segala
sesuatu”.59 Nama Muhammad dalam konteks ini, disebut Nu>r Muh}ammadi>yah,
wujud pertama yang diciptakan, yang dengannya pula segala makhluk mengada.

55
Wajiyah Ah}mad ‘Abdulla>h, Wuju>d ‘inda Ikhwa>n al-S{afa>’ (Iskandariyah: Da>r
al-Ma‘rifah al-Jam‘i>yah, 1989), 215.
56
Ikhwa>n al-S{afa>’, Rasa>’il Ikhwa>n al-S{afa>’, 37.
57
Amroeni Drajat, Suhrawardi: Kritik Falsafah Peripatetik (Yogyakarta: LKiS,
2005), 221-229. Lihat lengkapnya Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study
of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990).
58
Lihat Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf (Jakarta: Erlangga,
2006), 71.
59
Muh}ammad al-Zarqa>ni> ibn ‘Abd al-Ba>qi> al-Mis}ri> (al-Zarqa>ni>), Sharh} al-
Mawa>hib al-Laduni>yah bi-al-Manh} al-Muh}ammadi>yah li-al-‘Alla>mah al-Qast}ala>ni>, juz 1
(Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1996), 54. Berikut redaksi lengkap Hadits tersebut:
‫ ﺑﺄﰊ ﻭﺃﻣﻲ ﺃﺧﱪﱐ ﻋﻦ‬:‫ ﻗﻠﺖ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ‬:‫ﺯﺍﻕ ﺑﺴﻨﺪﻩ ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺍﻷﻧﺼﺎﺭﻱ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ‬‫"ﻭﺭﻭﻯ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮ‬
‫ ﻓﺠﻌﻞ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻨﻮﺭ‬،‫ﻚ ﻣﻦ ﻧﻮﺭﻩ‬‫ ﺇﻥﹼ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﺧﻠﻖ ﻗﺒﻞ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ ﻧﻮﺭ ﻧﺒﻴ‬:‫ﻝ ﺷﻲﺀ ﺧﻠﻘﻪ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﻗﺒﻞ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ؟ ﻗﺎﻝ ﻳﺎ ﺟﺎﺑﺮ‬‫ﺃﻭ‬
‫ ﻭﱂ ﻳﻜﻦ ﰲ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻮﻗﺖ ﻟﻮﺡ ﻭﻻ ﻗﻠﻢ ﻭﻻ ﺟﻨﺔ ﻭﻻ ﻧﺎﺭ ﻭﻻ ﻣﻠﻚ ﻭﻻ ﲰﺎﺀ ﻭﻻ ﺃﺭﺽ ﻭﻻ‬،‫ﻳﺪﻭﺭ ﺑﺎﻟﻘﺪﺭﺓ ﺣﻴﺚ ﺷﺎﺀ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ‬
،‫ﻝ ﺍﻟﻘﻠﻢ‬‫ ﻓﺨﻠﻖ ﻣﻦ ﺍﳉﺰﺀ ﺍﻷﻭ‬:‫ ﻓﻠﻤﺎ ﺃﺭﺍﺩ ﺍﷲ ﺃﻥ ﳜﻠﻖ ﺍﳋﻠﻖ ﻗﺴﻢ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻨﻮﺭ ﺃﺭﺑﻌﺔ ﺃﺟﺰﺍﺀ‬،‫ﴰﺲ ﻭﻻ ﻗﻤﺮ ﻭﻻ ﺟﻦ ﻭﻻ ﺇﻧﺲ‬
‫ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺜﹼﺎﱐ‬،‫ﻝ ﲪﻠﺔ ﺍﻟﻌﺮﺵ‬‫ ﻓﺨﻠﻖ ﻣﻦ ﺍﳉﺰﺀ ﺍﻷﻭ‬:‫ ﰒ ﻗﺴﻢ ﺍﳉﺰﺀ ﺍﻟﺮﺍﺑﻊ ﺃﺭﺑﻌﺔ ﺃﺟﺰﺍﺀ‬،‫ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺜﹼﺎﻟﺚ ﺍﻟﻌﺮﺵ‬،‫ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺜﹼﺎﱐ ﺍﻟﻠﹼﻮﺡ‬
،‫ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺜﹼﺎﱐ ﺍﻷﺭﺿﲔ‬،‫ﻤﺎﻭﺍﺕ‬‫ﻝ ﺍﻟﺴ‬‫ ﻓﺨﻠﻖ ﻣﻦ ﺍﻷﻭ‬:‫ ﰒ ﻗﺴﻢ ﺍﳉﺰﺀ ﺍﻟﺮﺍﺑﻊ ﺃﺭﺑﻌﺔ ﺃﺟﺰﺍﺀ‬،‫ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺜﹼﺎﻟﺚ ﺑﺎﻗﻲ ﺍﳌﻼﺋﻜﺔ‬،‫ﺍﻟﻜﺮﺳﻲ‬
‫ﻢ ﻭﻫﻲ‬‫ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺜﹼﺎﱐ ﻧﻮﺭ ﻗﻠﻮ‬،‫ ﻓﺨﻠﻖ ﻣﻦ ﺍﻷﻭﻝ ﻧﻮﺭ ﺃﺑﺼﺎﺭ ﺍﳌﺆﻣﻨﲔ‬:‫ﺍﺑﻊ ﺃﺭﺑﻌﺔ ﺃﺟﺰﺍﺀ‬‫ ﰒ ﻗﺴﻢ ﺍﻟﺮ‬،‫ﺎﺭ‬‫ﺔ ﻭﺍﻟﻨ‬‫ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺜﹼﺎﻟﺚ ﺍﳉﻨ‬
".‫ﺪ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺇﱃ ﺁﺧﺮ‬‫ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﷲ ﳏﻤ‬:‫ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺜﹼﺎﻟﺚ ﻧﻮﺭ ﺃﻧﺴﻬﻢ ﻭﻫﻮ ﺍﻟﺘﻮﺣﻴﺪ‬،‫ﺍﳌﻌﺮﻓﺔ ﺑﺎﷲ‬
119

Dalam menjelaskan posisi akal, seperti pada pembahasan lain, Ibn


Sab‘i>n juga sangat mengapresiasi dan mengakomodasi pandangan dari empat
kalangan intelektual yang sering ia komparasikan, yaitu Fuqaha>’, teolog, Sufi
dan filosof. Pada konteks ini, dalam mengelaborasi konsep al-‘aql, ia cenderung
mengikuti pandangan para filosof. Dalam karyanya yang khusus menjawab
pertanyaan Frederick II, al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah, ia mengatakan
bahwa Jiwa Rasional (al-Nafs al-Na>t}iqah) yang dimiliki manusia, mempunyai
dua daya yang sangat penting yaitu, pertama akal teoritis (al-‘aql al-
‘ilmi>/rational intellect) yang membantu manusia dalam menemukan hakikat
segala sesuatu, juga bertugas sebagai penyempurna bagi esensi Jiwa Rasional
manusia sehingga dengannya menjadi aktual (‘aqli> bi-al-fi‘l), dan kedua akal
praksis (al-‘aql al-‘amali>/practical intellect) yang mempunyai peran bagi
manusia sebagai “penimbang” dalam melakukan segala perbuatan
kemanusiaan.60 Klasifikasi ini tentu sejalan dengan pandangan Aristoteles yang
membagi akal kepada dua bagian di atas. Eksistensi kedua akal tersebut
menurutnya ialah substansi sederhana dan tidak berbentuk fisik (jawhar basi>t}
laysa bi-jism).61
Untuk memperkuat pandangannya di atas, ia mengutip pandangan
filosof, bahwa akal dalam tradisi filsafat dimaknai sebagai metode, jalan atau
perspektif (anh}a>’).62 Hal ini karena manusia dengan akalnya mampu melakukan
berbagai eksperimen terhadap hukum-hukum universal, dan dengan akal pula
manusia dapat mempertimbangkan apa yang baik dan buruk baginya.
Tidak cukup sampai di situ, Ibn Sab‘i>n mencoba memodifikasi
pengertian akal menurut Aristoteles dalam karyanya Posterior Analytics/al-
Burha>n, bahwa akal adalah konsepsi-konsepsi dan konfirmasi-konfirmasi dalam
jiwa yang berjalan secara primordial (al-tas}awwura>t wa-al-tas}di>qa>t al-h}a>s}ilah li-
al-nafsi bi-al-fit}rah).63 Pengertian ini menurut al-Tafta>za>ni> dinyatakan Ibn
Sab‘i>n untuk membedakan akal dari ilmu yang menurutnya bersifat muktasab
(acquired/dapat diusahakan [dalam mendapatkannya]).64 Pada titik ini terlihat
jelas bahwa status ontologis Akal dalam pemikirannya merupakan substansi
imateriil pancaran Tuhan, yang hadir selaras dengan fitrah manusia.
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pandangan Ibn Sab‘i>n ini
merupakan sintesis besar dari pemikiran-pemikiran filosof tentang Akal. Ikhwa>n
al-S{afa>’ (Abad ke 4-5 H./10-11 M.) misalnya, mengemukakan bahwa setidaknya
ada empat kualitas yang diterima Akal dari Tuhan tanpa melalui perantara apa
pun yaitu: keberadaan (wuju>d), kekekalan (baqa>’), kelengkapan (tama>m) dan

60
Ibn Sab‘i>n, Al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah tah{qi>q Muh}ammad Sharaf
al-Di>n Ya>ltaqa>ya> (Beirut: Al-Mat}ba’ah al-Ka>thu>li>ki>yah, 1941), 71-2.
61
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 113. Pada titik ini, Ibn Sab‘i>n mengakomodasi
pendapat para pendahulunya dari kalangan filosof seperti al-Fa>ra>bi> dan Ibn Si>na> yang
meyakini bahwa akal bersifat gradual. Lihat Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu,
358.
62
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 139.
63
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 139-140.
64
Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu, 358.
120

kesempurnaan (kama>l).65 Pelimpahan langsung tersebut, baik bagi Ibn Sab‘i>n


maupun Ikhwa>n al-S{afa>’, terjadi tanpa gerak maupun waktu, terus menerus, dan
sekaligus.66 Hal ini terjadi karena saking dekatnya Akal Universal dengan Sang
Pencipta. Karenanya, secara ontologis, Akal disebut sebagai substansi yang
abadi, lengkap dan sempurna, bahkan paling sempurna dibanding segenap wujud
lainnya yang ada.
Karena itu, Ibn Sab‘i>n pun mengakomodasi pemikiran platonic ideas
tentang Akal X bernama Akal Aktif (al-‘aql al-fa‘a>l), yang secara hakiki
semuanya merupakan satu kesatuan.67 Bentuk-bentuk segala sesuatu terhimpun
pada Akal, sebagaimana Tuhan melingkupi segala sesuatunya. Orang yang
berilmu (‘a>lim) misalnya, dalam pikirannya telah tercetak semua gambaran
tentang segala sesuatu yang telah diketahuinya. Dalam konteks ini, secara aktif,
selain mampu mengetahui secara aktual hakikat segala sesuatu, Akal juga akan
memberikan pancaran kepada entitas wujud di bawahnya. Itulah sebabnya,
penyebutan Akal dalam tradisi filsafat Islam selalu diikuti kualitas aktif (fa‘a>l)
sehingga menjadi Akal Aktif (al-‘aql al-fa‘a>l).
Dalam tradisi filsafat Islam, seperti pendapat al-Fa>ra>bi>, dari sudut
filsafat, Akal Aktif ini juga merupakan sebutan lain bagi malaikat Jibril yang
mengadakan kontak (ittis}a>l) dengan para nabi atau filosof. Al-Fa>ra>bi>
menggambarkan malaikat sebagai “wujud yang benar-benar imateriil”.68
Malaikat juga terkadang disebut nu>r al-aqrab (cahaya paling dekat) dalam
filsafat Suhrawardi> (549-587 H./1154-1191 M.), ia muncul dengan intensitas
cahaya yang -karena saking dekatnya- hampir sama dengan Tuhan.69 Bahkan,
platonic ideas (ide-ide plato) yang tentunya bersifat abstrak, oleh Suhrawardi>

65
Ikhwa>n al-S{afa>’, Rasa>’il Ikhwa>n al-S{afa>’, 42.
66
Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Ih}a>t}ah” dalam Ah{mad Fari>d al-Mazi>di> (ed./muh}aqqiq),
Rasa>’il Ibn Sab‘i>n (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007), 195 dan 212. Juga dalam
Salinan ‘Abd al-Rah}man Badawi> (ed./muh}aqqiq), Rasa>’il Ibn Sab‘i>n,> (Kairo: Da>r al-
Mis}ri>yah li-al-Ta’li>f wa-al-Tara>jim, t.t), 193-211. Inilah yang menjadi alasan Ibn Sab‘i>n
menolak teori penciptaan dari tiada (creatio ex nihilo). Pada titik ini, pandanganya sama
dengan pandangan Ibn ‘Arabi> yang juga menolak teori itu. Bagi Ibn Sab‘i>n, entitas
pertama sebelum terjadinya emanasi Tuhan terhadap wujud di bawahnya adalah apa
yang ia sebut al-qas}d al-qadi>m, sedangkan eksistensi pertama yang ditemukan sejak
azali sesuai dengan aturan-aturan azali dinamakan al-niz}a>m al-qadi>m, seperti adanya
maksud pertama (alqas}d al-awwal). Lihat Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 28 dan 148, juga al-
Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 204-205.
67
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 140. Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu,
360-1.
68
Al-Fa>ra>bi, Ara>’ Ahl al-Madi>nah, 46-7.
69
Sajjad Rizvi, “An Islamic Subversion of the Existence-Essence Distinction?
Suhrawardi>’s Visionary Hierarchy of Light” dalam Asian Philosophy Vol. 9, No. 3
(1999), 219-227. http://www.academia.edu/1385723/An_Islamic_Subversion_of_the_
existence-essence_distinction (diakses pada 07 Januari 2014). Bandingkan dengan Paul
E. Walker, “Platonism in Islamic Philosophy,” Studia Islamica No. 79 (1994), 5-25.
http://www.jstor.org/stable/1595834 (diakses pada 22 Juli 2013).
121

juga disebut malaikat.70 Tentu saja dengan pandangan ini, status ontologis Akal
Aktif atau malaikat ini dipandang oleh para filosof Muslim lebih tinggi dan riil
dibanding wujud-wujud fisik materiil karena memiliki pengaruh langsung
terhadap pembentukan alam materi seperti pada pemikiran emanasi Ibn Si>na>.71
Sayyed Hossein Nasr mengemukakan pandangan Ibn Si>na> bahwa proses
penciptaan terkait erat dengan fungsi dan signifikansi para malaikat. Malaikat
merupakan instrumen penting bagi terwujudnya aktivitas penciptaan. Dalam hal
ini, malaikat memiliki beragam fungsi, fungsi penyelamatan, realisasi dimensi
spritual dan pencapaian pengetahuan. Bagi Ibn Si>na>, fungsi pemerian eksistensi
dan pencapaian pengetahuan adalah sama, sebab melalui kontemplasi tatanan
realitas yang lebih tinggi, terciptalah semua tatanan wujud yang lebih rendah.72
Akal pertama ini, yang mendapat limpahan langsung dari Tuhan, disejajarkan
atau bahkan disamakan dengan malaikat. Itulah sebabnya, mengapa segenap
akal pada proses hierarki emanatif dalam tradisi filsafat Islam tersebut disebut
Malaikat, wujud yang mewakili penciptaan dari Tuhan.
Pada konteks lain, dalam dunia materi, Akal Kesepuluh (X) membentuk
fungsi-fungsi dasar. Ia tidak hanya memberikan eksistensi pada dunia fisik,
tetapi juga secara terus menerus memberikan semua yang telah tergabung
dengan materi dalam segenap makhluk fisik. Ketika sebuah makhluk lahir,
secara emanatif Akal X memberinya bentuk demi eksistensinya, dan ketika
makhluk tersebut binasa, Akal itu mengambilnya kembali dari makhluk tadi.
Inilah yang dalam tradisi filsafat Islam disebut bahwa Akal Kesepuluh sebagai
s}a>h{ib al-s}uwar (pemberi bentuk [bagi alam fisik]).73
Selain itu, Akal X juga berperan sebagai pemberi cahaya kepada pikiran
manusia, sebagaimana ia memberi bentuk kepada segenap wujud. Manusia
mengabstraksikan bentuk-bentuk materi yang didapatkannya dari aktivitas
“mengindra” ke dalam pikirannya, dan dapat mengangkatnya ke tingkat
universal melalui pancaran cahaya yang diterimanya dari Akal X.74 Karena itu,
Akal X dalam konsepsi Ibn Si>na> khususnya, dan tradisi filsafat Islam pada
umumnya, tidak hanya dipandang sebagai alat mencipta, tetapi juga alat
iluminasi intelek. Berbeda dengan konsepsi perenial di atas, dalam konteks
astronomi dan kosmologi modern, adanya peran dan signifikansi malaikat dalam

70
Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, 34.
71
Mengenai status ontologis malaikat, lihat Kartanegara, Menyibak Tirai
Kejahilan, 33-5.
72
Sayyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn
‘Arabi> (New York: Caravan Books, 1997), cet. III, 29-30. Bandingkan dengan karyanya
yang lain, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (London: Thames and
Hudson, 1976), 279-281.
73
Lihat Netton, Allah Transcendent, 169. Lihat juga Oliver Leaman, An
Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press.,
2004), 113-4.
74
Nasr, Three Muslim Sages, 30-1. Dari pandangan ini, lahirlah dalam tradisi
filsafat Peripatetik, apa yang disebut sebagai filsafat kenabian. tentang ini lihat
misalnya Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, 102-10.
122

segenap wujud, telah dibuang bagai sampah tak bernilai.75 Bagi segenap sarjana
Muslim, konsepsi alam kosmos sangat berkaitan erat dengan ekspresi
pewahyuan dan hierarki pengetahuan dalam skema filsafat Islam.76
Diasumsikan bahwa pandangan Ibn Sab‘i>n di atas tentang Akal Aktif ini
juga mengindikasikan bahwa, ia pun mengakui bahwa status ontologis malaikat
lebih tinggi dibanding status ontologis wujud-wujud materiil di bawahnya. Ia
secara eksplisit memasukkan malaikat dalam kategori wujud imateriil, yang
mendapat pancaran emanatif langsung dari Tuhan. Hal ini diperjelas lagi dengan
salah satu pernyataan Ibn Sab‘i>n ketika menjelaskan hierarki wujud dalam Budd
al-‘A<rif-nya,77 bahwa malaikat secara emanatif berada persis di bawah Tuhan
(lihat gambar 9). Sementara penamaan malaikat dengan istilah-istilah yang
berbeda dari Suhrawardi>, al-Fa>ra>bi>, atau Ibn Si>na>, secara substansial sama.
Dengan demikian, Akal Universal merupakan sebuah kekuatan ilahiah
yang karena saking dekatnya dengan Sang Pencipta (al-Mubdi‘), ia menjadi
subjek (al-fa>‘il) terhadap semua wujud di bawahnya. Jadi, tentu saja status
ontologis Akal Universal yang merupakan salah satu wujud imateriil legitimate,
bahkan lebih tinggi dan riil dibanding wujud-wujud materiil di bawahnya.
Dalam hal ini, setelah mengangkat pandangan para intelektual tentang Akal, Ibn
Sab‘i>n dengan madzhab al-muhaqqiq-nya menyatakan:78

‫ ﻭﺫﻟﻚ ﺃﻥﹼ ﺧﺎﺻﻴﺔ ﺍﻟﻌﻘـﻞ‬‫ﻪ ﺇﳍـﻲ‬‫ـﺮﻫﺎ ﻓﻸﻧ‬‫ﻪ ﻋﻘـﻞ ﻭﻳﺪﺑ‬‫ ﻳﻌـﻠﻢ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ ﻷﻧ‬‫" ﻛﻞﹼ ﻋﻘـﻞ ﺇﳍـﻲ‬
‫ﻪ‬‫ ﻭﺟﻞﹼ ﻭﺗﻌـﺎﱃ ﻷﻧ‬‫ـﺮ ﻫﻮ ﺍﷲ ﻋﺰ‬‫ ﻓﺎﳌﺪﺑ‬. ‫ـﺮﺍ ﻋﺎﻟـﻤﺎ‬‫ﻤﺎ ﺗـﻤﺎﻣﻪ ﻭﻛﻤـﺎﻟﻪ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﺪﺑ‬‫ﺍﻟﻌـﻠﻢ ﻭﺇﻧ‬
‫ﻬﺎ ﺑﺎﻹﻟـﻪ ﺗﻌـﺎﱃ ؛‬‫ﻝ ﻣﺒـﺪﻉ ؛ ﻭﻫﻮ ﺃﻛـﺜﺮ ﺗﺸـﺒ‬‫ ﻭﺍﻟﻌﻘـﻞ ﻫﻮ ﺃﻭ‬. ‫ﺃﻋﻠﻰ ﺍﻷﺷـﻴﺎﺀ ﻣﻦ ﺍﳋـﲑﺍﺕ‬
‫ﻡ ﺍﻟﻌﻘـﻞ‬‫ ﻭﺟﻞﹼ ﻭﻋﻈﻢ ﻳﺘﻘـﺪ‬‫ ﻓﺈﻥ ﺍﷲ ﻋﺰ‬. ‫ـﺮ ﺍﻷﺷـﻴﺎﺀ ﺍﻟﹼـﱴ ﲢـﺘﻪ‬‫ﻓﻤﻦ ﺃﺟـﻞ ﺫﻟﻚ ﻳﺪﺑ‬
" . ‫ﺮ ﺍﻷﺷـﻴﺎﺀ ﺗﺪﺑـﲑﺍ ﺃﺭﻓـﻊ ﻭﺃﻋﻠﻰ‬‫ﺪﺑـﲑ ﻭﻳﺪﺑ‬‫ﺑﺎﻟﺘ‬
“Seluruh Akal itu bersifat ke-Tuhan-an (spritual) –karena berasal dari pancaran
Tuhan secara langsung-. Karena ia Akal, maka ia mengetahui segala sesuatu,
dan karena ia bersifat ke-Tuhan-an, maka ia mengatur segala sesuatu tersebut.
Hal itu karena sesungguhnya keistimewaan –yang dimiliki- Akal adalah Ilmu,
dan sesungguhnya kesempurnaan serta kelengkapan Akal ialah sebagai pengatur
–segala sesuatu di bawahnya- dan yang mengetahui. Maka sejatinya, pengatur –
sesungguhnya- adalah Allah ‘Azza wa-Jalla karena Dia paling tinggi dari segala
kebaikan. Sedangkan Akal adalah yang pertama diciptakan (dari pancaran
Tuhan secara langsung), karenanya, Akal merupakan entitas yang paling

75
Husain Heryanto. Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam (Bandung:
Mizan, 2011), 278-281.
76
Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, 238. Lihat juga
mengenai kosmologi dalam tradisi filsafat Islam, Fuad Mahbub Siraj, “Kosmologi dalam
Tinjauan Failasuf Islam,” Jurnal Ilmu Ushuluddin vol. 2 no. 2 (Juli, 2014), 109-124.
http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/ilmu-ushuluddin/article/download/1007/897
(diakses pada 25 November 2014).
77
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 112.
78
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 147-8.
123

banyak penyerupaannya dengan Tuhan. Oleh sebab itu, Akal mengatur (dengan
pancaran emanatifnya) segala sesuatu di bawahnya. Sesungguhnya Allah
mendahulukan dalam mengatur Akal, dan mengatur segala sesuatu dengan
aturan yang lebih tinggi dan mulia –dibanding Akal-.”

Senada dengan pendangannya di atas, ia tegaskan bahwa sejatinya Akal adalah


al-wa>s}il, perantara ontologis antara Tuhan di puncak hierarki, dan wujud-wujud
materiil di bawahnya,79 juga sebagai “orang tua” Jiwa (wa>lid al-nafs).
Terlepas dari asumsi bahwa ia terpengaruh atau tidak, dalam masalah
ini, Ibn Sab‘i>n terlihat sangat mengapresiasi, bahkan cenderung mengikuti
pandangan-pandangan para pendahulunya dari kalangan filosof Muslim. Ia
seolah menjadi generasi penerus kalangan filosof Peripatetik dengan pandangan-
pandangannya yang syarat dengan Aristotelianisme. Namun perlu ditegaskan di
sini, dengan perspektif Kesatuan Mutlak yang sangat ia yakini, baginya Akal
hanyalah salah satu dari sekian banyak bentuk gradasi (martabah), sedangkan
gradasi-gradasi itu musnah (za>’ilah), dan wujud itu tetap (tha>bit). Jadi, setiap
yang tetap adalah h}aqq, dan yang musnah adalah ilusi (wahm).80
Dengan proposisi tersebut, ia menyimpulkan bahwa Akal/intellect
hanyalah aksidensi (‘arad}) bagi wujud, sedangkan aksidensi senantiasa berubah
dan tidak bisa bertahan lama, karenanya, ‘arad} bukanlah sesuatu yang abadi dan
dia bukan wujud. Itu artinya, ia ingin menyatakan bahwa, Akal sama sekali
tidak memiliki wujud yang mandiri lepas dari wujud yang tetap. Penyandaran
akal kepada wujud yang tetap itu h}aqq, sementara penyandarannya kepada
gradasi-gradasi hanyalah ilusi. Inilah yang menjadi perbedaan fundamental
antara pandangan Ibn Sab‘i>n dengan para pendahulunya dari kalangan filosof
tentang Akal yang sekaligus menjadi kekhasan bagi paradigma ontologis Ibn
Sab‘i>n.

b. Jiwa (al-Nafs)
b.1. Eksistensi Jiwa
Dalam tradisi filsafat Islam, pembahasan tentang jiwa tampaknya
menjadi salah satu agenda penting. Ada kesepakatan bahwa Jiwa dalam tradisi
pemikiran Islam termasuk unsur utama dalam manusia dan segenap ciptaan-
Nya, bahkan banyak pula pendapat yang memandang Jiwa justru merupakan
intisari manusia.81 Kenyataan ini juga turut diperkuat oleh kenyataan bahwa
hampir semua filsuf besar Muslim mempunyai pandangan khusus tentang al-nafs
ini. Sebut saja al-Kindi> (185-252 H./796-866 M.),82 al-Fa>ra>bi> (257-339 H./870-

79
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 149.
80
Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Alwa>h}” dalam salinan al-Mazi>di>, 252. Dalam salinan
Badawi> 199-200. Lihat juga karyanya “Risa>lat al-Tawajjuh” dalam al-Mazi>di, 340.
81
Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, 8. Mengenai karya-karya tulis
monumental para filosof Muslim yang kesemuanya menjadikan kajian tentang Jiwa
sebagai salah satu pembahasannya, lihat misalnya Muhammad Ali Khalidi, Medieval
Islamic Philosophical Writings (New York: Cambridge University Press., 2005).
82
Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, 8.
124

950 M.)83 Ibn Si>na> (370-428 H./980-1037 M.),84 Ibn Miskawayh (320–421
H./932–1030 M.),85 Ikhwa>n al-S{afa>’ (Abad ke 4-5 H./10-11 M.),86 Ibn ‘Arabi
(560-638 H./1164-1240 M.),87 dan cendikiawan lainnya termasuk juga Ibn
Sab‘i>n.
Kajian beberapa filsuf tentang masalah Jiwa merupakan pemahaman
filsafat Islam sebagai produk. Gibb dan Kramer misalnya, memaknai al-Nafs
dalam pemikiran Islam sebagai istilah yang dalam syair Arab klasik digunakan
untuk merujuk diri sendiri atau seseorang, sedangkan ru>h} berarti nafas. Al-
Qur’an memaknai nafs dengan jiwa dan ru>h} diartikan sebagai malaikat dan
karunia Allah. Pada perkembangan selanjutnya, ru>h} dan nafs digunakan
bergantian dan keduanya dipakai pada jiwa manusia, malaikat dan jin.88
Ada beberapa nama penting untuk menunjuk hierarki wujud imateriil
setelah Akal Universal ini, antara lain Jiwa Universal (al-nafs al-kulli>yah), Jiwa
Universal seluruh Falak (al-nafs al-kulli>yah al-falaki>yah), Jiwa Alam (nafs al-
‘a>lam), dan Akal Fasif (al-‘aql al-munfa‘il). Penyebutan demikian tentu saja
selaras dengan fungsi, peran dan statusnya emanatifnya di bawah Akal
Universal. Penyebutan Akal Fasif misalnya, karena kefasifannya dalam
menerima limpahan dari Akal. Meski demikian, dalam hubungannya dengan
realitas lain yang status ontologisnya lebih rendah seperti wujud-wujud materiil,
ia sangat aktif dan selalu melimpahkan keutamaannya sebagaimana entitas
wujud di atasnya.
Pandangan Ibn Sab‘i>n tentang eksistensi Jiwa mengasumsikan,
sebagaimana juga pandangan sebagian besar filsuf Muslim seperti al-Kindi> (185-
252 H./796-866 M.),89 al-Fa>ra>bi> (257-339 H./870-950 M.)90 dan Ibn Miskawayh
(320–421 H./932–1030 M.),91 bahwa kendati merupakan substansi rohani
sederhana layaknya Intelek, dalam hal tertentu ia sangat berbeda dengan
Intelek.92 Dari empat kualitas yang dimiliki Intelek dalam pemikiran Ikhwa>n al-
S{afa>’misalnya,93 hanya tiga kualitas saja yang dimiliki oleh Jiwa, yaitu

83
Al-Fa>ra>bi, Ara>’ Ahl al-Madi>nah, 87-91. Lihat juga Nasution, Falsafah dan
Mistisme dalam Islam, 18.
84
Nasr, Three Muslim Sages, 29-30.
85
Lihat misalnya Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya cet. IV
(Jakarta: Rajawali Press, 2010), 133.
86
Ikhwa>n al-S{afa>’, Rasa>’il Ikhwa>n al-S{afa>’, 42.
87
Lihat William C. Chittick, “The View from Nowhere: Ibn ‘Arabi> on the
Soul’s Temporal Unfolding,” dalam Timing and Temporality in Islamic Philosophy and
Phenomenology of Life Vol. 3, ed. Anna-Teresa Tymieniecka (Dordrecht: Springer,
2007), 3-9.
88
H.A.R. Gibb and J.H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam (Leiden: E.J.
Brill, 1961), 28.
89
Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, 8.
90
Al-Fa>ra>bi, Ara>’ Ahl al-Madi>nah, 87-91. Lihat juga Nasution, Falsafah dan
Mistisme dalam Islam, 18.
91
Lihat Zar, Filsafat Islam, 133.
92
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 216.
93
Ikhwa>n al-S{afa>’, Rasa>’il Ikhwa>n al-S{afa>’, 42.
125

keberadaan, keabadian dan kelengkapan. Karena itu, ia dinyatakan sebagai


substansi abadi dan lengkap, tetapi tidak sesempurna Intelek (Akal Universal),
lantaran secara hierarkis, ia berada di bawah Intelek. Selain itu, sebagai
kelanjutan emanasi wujud di atasnya, Jiwa menerima pancaran bentuk-bentuk
alam, keutamaan dan kebaikan dari Akal Universal agar eksistensinya menjadi
sempurna. Sedangkan sebagai pemancar kepada wujud di bawahnya, ia juga
memberikan bentuk dan rupa kepada wujud materiil demi kelengkapan materi
itu sendiri. Aktivitas Jiwa dalam menerima dan memberikan pancaran emanatif
tersebut tidak terputus dan continue.94
Dalam konteks tertentu, tradisi filsafat Islam tampaknya juga
menyepakati bahwa Jiwa Universal disebut pula sebagai Jiwa Alam, karena
alam adalah sosok manusia besar/makrokosmos (insa>nan kabi>ran). Ketika
disebut Jiwa universal, yang dimaksud adalah Jiwa Alam dengan segenap
fakultasnya. Jiwa inilah yang menggerakkan secara langsung keseluruhan alam
semesta, sebagaimana jiwa manusia merupakan penggerak langsung dan sumber
kehidupan bagi tubuh fisiknya. Jiwa ini pula merupakan sumber dan asal bagi
seluruh jiwa-jiwa partikular di dunia. Artinya, seluruh makhluk hidup dilengkapi
dengan kualitas jiwa partikular tadi dan keseluruhan jiwa partikular di dunia ini
adalah entitas rohani yang bersumber langsung dari Jiwa Universal.95 Dengan
pandangan ini, cukup beralasan jika Nasr96 dan Chittick97 menyatakan bahwa
alam semesta tidak hanya dipandang hidup, tetapi juga memiliki jiwa
sebagaimana manusia. Alam semesta tidak hanya memiliki kehidupan fisik,
tetapi juga kehidupan rohaninya yang terdalam.
Sama halnya dengan kajian tentang Akal, dalam mengelaborasi status
ontologis Jiwa Universal (al-nafs), Ibn Sab‘i>n selalu mengangkat pandangan-
pandangan para filosof, baik filosof Yunani kuno, terlebih filosof Muslim. Meski
demikian, ia pun tetap mengapresiasi pandangan dari kalangan intelektual lain
yang selalu dijadikan perbandingan bagi pandangan-pandangannya yaitu,
Fuqaha>’, teolog dan Sufi.
Kendati secara metodik pembahasan Ibn Sab‘i>n tentang Jiwa ini sama
dengan pembahasan Akal, namun dilihat dari segi kontennya, terlihat jelas
bahwa ia mencurahkan energi lebih banyak untuk menyusun pandangan-
pandangannya mengenai Jiwa. Dalam karyanya Budd al-‘A<rif, ia secara apik
mengangkat wacana-wacana yang terkait dengan Jiwa, mulai dari eksistensi
Jiwa, hakikat Jiwa menurut para cendikiawan, sifat, klasifikasi, keberadaan

94
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 217.
95
Lihat misalnya Ikhwa>n al-S{afa>’, Rasa>’il Ikhwa>n al-S{afa>’ vol. 3, 43-4. Juga
Sayyed Mohsen Miri, Sang Manusia Sempurna: Antara Filsafat Islam dan Hindu
(Jakarta: TERAJU, 2004), 38.
96
Sayyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spritual Crisis in Modern Man
(London: George Allen & Unwin, 1968), khususnya bagian III.
97
William C. Chittick, Science of the Cosmos, Science of the Soul: The
Pertinence of Islamic Cosmology in the Modern World (Oxford: Oneworld Publications,
2007), 103-6.
126

sebelum menyatu dengan jasad dan setelah berpisah dari jasad, keabadian,
hingga aksiologi Jiwa.98
Tidak hanya itu, dalam karya lainnya yang khusus untuk menjawab
pertanyaan filosofis Frederick II, al-Kala>m alá al-Masa>’il al-S{iqi>li>yah, ia pun
secara elaboratif mengkaji konsep Jiwa ini. Sebagaimana kesepakatan para
peneliti, bahwa konsep Jiwa ini merupakan salah satu dari empat pertanyaan -
tepatnya pertanyaan keempat- yang dilontarkan oleh Frederick II kepada Ibn
Sab‘i>n.99 Raja Sicilia tersebut menanyakan tentang hakikat, tabi’at dan argumen
keabadian Jiwa (ma> al-dali>l ‘alá baqa>’ al-nafs wa-ma> t}abi>‘atuha>?).
Keseriusannya dalam mengkaji konsep Jiwa ini tentu tidak lepas dari
keyakinannya bahwa tidak mungkin seseorang mengetahui selainnya jika ia
tidak memahami jiwanya sendiri.100
Secara umum, pandangan Ibn Sab‘i>n tentang eksistensi dan status
ontologis Jiwa sejalan dengan pandangan para filosof Muslim sebagaimana
diuraikan di atas. Argumennya tentang keberadaan Jiwa terekam secara eksplisit
pada bagian khusus (al-bara>hi>n ‘alá wuju>d al-nafs) dalam karyanya Budd al-
‘A<rif. Baginya, Jiwa bukan sebuah aksidensi (‘arad}), melainkan sebuah esensi
(jawhar) yang berdiri sendiri sebagai sebuah wujud pancaran dari Tuhan. Jiwa
pun sama sekali tidak akan dimasuki sepuluh kategori aksidensi seperti halnya
wujud materiil.101
Dengan status ontologisnya yang imateriil ini, Jiwa bersifat abadi
karena menerima pancaran wujud langsung dari Akal Universal yang imateriil
pula. Sementara dalam hubungannya dengan realitas lain yang status
ontologisnya lebih rendah seperti wujud-wujud materiil, ia sangat aktif dan
selalu melimpahkan keutamaannya sebagaimana entitas wujud di atasnya.
Secara simbolik ia menggambarkan tentang eksistensi jiwa dengan
ungkapannya: ‫ـﺬﻟﹼﻞ ﻭﻏﺒـﻄﺔ‬‫ـﺪﻟﹼﻞ ﻭﺟـﻬﺪ ﺍﻟﺘ‬‫ـﻔﺲ ﺻﺮﺍﻁ ﺍﳋـﻮﺍﺹ ﻭﻛﻮﻛﺐ ﺍﻟﻘﺼﺎﺹ ﻭﻧﻮﺭ ﺍﻟﺘ‬‫ﺍﻟﻨ‬
‫( ﺍﻟﻘـﺮﺍﺋﻦ ﻭﺳﺮﺍﺝ ﺍﻟﻜـﻮﻥ‬Jiwa adalah jalannya orang-orang istimewa, bintangnya
orang-orang yang bercerita –tentang hakikat alam semesta-, cahaya dari
ketertarikan [cinta] –kepada Sang Wujud Mutlak-, upaya keras dari kerendahan
diri, kebahagiaan para kekasih –Tuhan-, dan penerang kosmik).102 Dengan

98
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 149-233 dan 278-akhir.
99
Anna Ayşe Akasoy, “Ibn Sab‘i>n’s Sicilian Questions: The Text, Its Sources
and Their Historical Context,” Journal Al-Qant}ara XXIX, issue 1 (Januari-Juni 2008),
115-146. http://www.al-qantara.revistas.csic.es/index.php/al-qantara/article/viewFile/51/
45 (diakses pada 26 Februari 2013). Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 108-111.
Lihat juga al-Mazi>di>, “al-Muqaddimah” dalam Rasa>’il Ibn Sab‘i>n, 4-5. Bandingkan
dengan misalnya Luisa Maria Arvide Cambra, “Ibn Sab‘i>n and The Sicilian Questions,”
International Review of Social Sciences and Humanities Vol. 5, No. 2 (2013), 225-228.
http://irssh.com/yahoo_site_admin/assets/docs/25_IRSSH-602-V5N2.243105504.pdf
(diakses pada 29 April 2014).
100
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 92.
101
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 206-7, 209.
102
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 218.
127

ungkapannya tersebut, tampak sekali bagaimana peran dan fungsi Jiwa dalam
tataran kosmik yang amat penting. Itu artinya, bagi Ibn Sab‘i>n status ontologis
Jiwa lebih tinggi dan lebih riil dibanding wujud-wujud materiil di bawahnya.

b.2. Hierarki Jiwa


Dari sekian panjangnya pandangan Ibn Sab‘i>n tentang Jiwa, ada satu
pembahasan penting yang menarik untuk dikaji dan tentu saja secara filosofis
terkait dengan gagasannya tentang klasifikasi ilmu, yaitu mengenai hierarki
Jiwa. Diasumsikan bahwa pandangannya mengenai hierarki Jiwa ini identik –
jika tidak dikatakan mirip- dengan pandangan Ibn Si>na> (370-428 H./980-1037
M.) dan Ikhwa>n al-S{afa>’ (Abad ke 4-5 H./10-11 M.) dari kalangan filosof
Muslim. Terlepas dari asumsi bahwa ia terpengaruh atau tidak, hal ini tentu
semakin memperkuat bahwa Ibn Sab‘i>n sangat mengapresiasi dan bahkan
menguasai pandangan para filosof, khususnya dalam konsep Jiwa. Meski
demikian, ada perbedaan yang cukup fundamental antara pandangannya dan
pandangan para filosof Muslim tersebut. Tentu saja perbedaan ini hadir ketika
Ibn Sab‘i>n menegaskan perspektif Kesatuan Mutlak (al-Wah{dah al-Mut}laqah)
dan madzhab al-Muh}aqqiq-nya.
Sebagaimana Plato (429-347 SM.) dan filosof Muslim seperti Ibn Si>na>
dan Ikhwa>n al-S{afa>’,103 Jiwa -manusia- bagi Ibn Sab‘i>n merupakan varian
tertentu dari Jiwa Universal Alam Semesta. Peran, fungsi dan aktivitas jiwa
partikular tersebut pada tubuh, merupakan pertanda dan eksistensi manusia
seutuhnya.104 Dalam ranah konseptual (i‘tiba>ri>), ia mengklasifikasikan Jiwa
menjadi lima bagian sesuai peran dan fungsinya yaitu: jiwa tumbuh-tumbuhan
(nafs naba>ti>yah), jiwa hewan (nafs h}ayawa>ni>yah), dan jiwa rasional/manusia
(nafs na>t}iqah). Sementara dua jiwa lagi merupakan perkembangan ontologis dari
jiwa rasional dengan asumsi bahwa, kesempurnaan jiwa rasional tersebut dalam
satu keadaan dapat menjadikannya jiwa filosof/kebijaksanaan (nafs h}ikmi>yah),
dan dalam kondisi lain menjadikannya jiwa kenabian (nafs nabawi>yah).105
Sebagaimana pandangan al-Fa>ra>bi>,106 runtutan klasifikasi Jiwa tersebut bagi Ibn
Sab‘i>n juga merupakan klasifikasi hierarkis dari yang terendah hingga tertinggi

103
Tentang padangan Plato, lihat misalnya Muh{amad ‘Abdurrah}ma>n Marh}aba>,
Min Falsafat al-Yu>na>ni>yah ila> Falsafat al-Isla>mi>yah (Beirut: ‘Uwaydah li-al-Nashr wa-
al-T{aba>‘ah, 2000), 134-5. Pandangan Ibn Si>na> lihat Ibn Si>na>, Kita>b al-Hida>yah (Kairo:
Maktabat al-Qa>hirah al-H{adi>thah, 1974), 204-230. Juga Ibn Si>na>, Ah{wa>l al-Nafs:
Risa>lah fi> al-Nafs wa-Baqa>’iha> wa-Ma‘a>diha> [terj.] M.S. Nasrullah, Psikologi Ibn Sina
(Bandung: Pustaka Hidayah, 2009), 63. Sementara mengenai pandangan Ikhwa>n al-S{afa>’
lihat karyanya, Rasa>’il Ikhwa>n al-S{afa>’ vol. 1, 48. Juga Satera Sudaryoso, Etika
Keseimbangan Kosmik: Hubungan Alam dan Manusia (Jakarta: Impressa, 2013), 78-9.
104
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 92.
105
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 161 dan 280. Juga dalam karyanya, al-Kala>m ‘alá
al-Masa>’il al-S{iqili>yah, 64-5.
106
Al-Fa>ra>bi, Ara>’ Ahl al-Madi>nah, 87-8.
128

dan saling terkait satu sama lain. Jiwa yang drajatnya lebih rendah merupakan
“bahan” bagi Jiwa yang lebih tinggi.107
Dibanding dengan pandangan Ibn Si>na> yang mengklasifikasikan jiwa
kepada tiga bagian pertama saja,108 pandangan Ibn Sab‘i>n tentu berbeda secara
konseptual, meski secara filosofis hal ini tidak menjadi perbedaan signifikan.
Namun jika dibandingkan dengan pandangan Ikhwa>n al-S{afa>’ yang juga
mengklasifikasikan jiwa kepada lima bagian,109 pandangannya ini tentu banyak
kesamaan. Kendati demikian, menurut penulis, umumnya pandangan-pandangan
ini secara substantif sama, sebab realitas, hierarki dan jenis jiwa ini lahir dari
sebuah pandangan tentang jiwa partikular sebagai satu kesatuan dalam konsepsi
Jiwa Universal.
Bagaimana hal ihwal jiwa dan segenap daya dan fakultasnya? Dalam
mengelaborasi hal ini, tampak sekali bahwa sebagian besar pandangan Ibn
Sab‘i>n sama dengan pandangan kalangan filosof Peripatetik, terutama al-Fa>ra>bi>
dan Ibn Si>na>.110 Pertama, Jiwa tumbuh-tumbuhan (nafs naba>ti>yah), merupakan
bentuk kesempurnaan utama bagi fisik alami dilihat dari aspek reproduksi dan
pertumbuhan. Jiwa ini memiliki tiga daya: 1] daya untuk makan/nutritive
faculty (al-quwwah al-gha>dhiyah), yaitu daya yang berfungsi mengganti bagian-
bagian yang rusak dari badan sepanjang hidupnya; 2] daya tumbuh/growth (al-
quwwah al-munammi>yah), yakni daya yang berfungsi menambahkan fisik yang
ditempatinya dengan fisik yang serupa dengan penambahan yang sempurna; 3]
daya reproduksi (al-quwwah al-muwallidah), berfungsi mengambil bagian yang
serupa dari fisik yang ditempatinya secara potensial, lalu melakukan proses
pencampuran dan penciptaan dengan fisik lain yang serupa pula, sehingga
menjadi sesuatu yang serupa dengannya secara aktual.111
Kedua, jiwa hewan (nafs h}ayawa>ni>yah). Dari kalangan filosof, Ibn Si>na>
misalnya, merinci daya jiwa ini kepada dua daya, daya penggerak (quwwat al-
muh}arrikah) dan persepsi (quwwat al-mudrikah).112 Selain memiliki daya-daya
jiwa tumbuhan, dua daya ini merupakan daya khas yang dimiliki jiwa hewan.
Terkait daya persepsi, Ibn Si>na> membaginya kepada dua bagian, persepsi

107
Ibn Sab‘i>n, Al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah, 65 dan 68.
108
Ibn Si>na>, Kita>b al-Hida>yah, 204-230.
109
Ikhwa>n al-S{afa>’, Rasa>’il Ikhwa>n al-S{afa>’ vol. 1, 48.
110
Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu, 345. Tentang pandangan al-Fa>ra>bi>
mengenai fakultas-fakultas Jiwa, lihat karyanya Ara>’ Ahl al-Madi>nah, 87-91. Pandangan
Ibn Si>na> lihat salah satu karyanya, Kita>b al-Naja>h fi> H{ikmat al-Mant}i>qi>yah wa-al-
T{abi>‘i>yah wa-al-Ila>hi>yah (Beirut: Da>r al-Afa>q al-Jadi>dah, 1985), 196, lihat juga
misalnya Syamsuddin Arif, “Causality in Islamic Philosophy: The Arguments of Ibn
Si>na>,” Islam & Science Vol. 7 No. 1 (Summer 2009), 51-68. http://www.academia.edu/
6791994/Ibn_Sina_on_Causality (diakses pada 21 Desember 2013). Mengenai praktik
spiritual kalangan filosof Peripatetik, lihat misalnya Mohammad Azadpur, Reason
Unbound: On Spritual Practice in Islamic Peripatetic Philosophy (New York: SUNY
Press., 2011), khususnya bagian 3-5.
111
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 162.
112
Marh}aba>, Min Falsafat al-Yu>na>ni>yah, 523.
129

eksternal dan internal. Daya persepsi dari luar (eksternal) dilakukan dengan
bantuan lima pancaindra berupa: penglihatan, pendengaran, penciuman,
penciuman, pengecapan dan perabaan.
Sementara persepsi dari dalam (internal) dilakukan dengan bantuan lima
indra dalam pula: 1] indra bersama (al-h}iss al-mushtarak, common sense) yang
berfungsi menerima segala apa yang ditangkap pancaindra; 2] representasi
(quwwat al-khayya>l, representation) untuk menyimpan segala apa yang diterima
oleh indra bersama; 3] imajinasi (quwwat al-mutakhayyilah, imagination) yang
berperan menyusun apa yang disimpan dalam representasi; 4] estimasi (quwwat
al-wahmi>yah) untuk menangkap hal-hal abstrak terlepas dari materinya; dan 5]
rekoleksi (quwwat al-h}a>fiz}ah) untuk menyimpan hal-hal abstrak yang diterima
oleh estimasi.113
Sama halnya dengan pandangan Ikhwa>n al-S{afa>’,114 bagi Ibn Sab‘i>n,
jiwa hewan yang ia sebuat juga sebagai al-ghad}bi>yah (unsur emosional)
memiliki sifat, fakultas dan karakternya sendiri sebagai tambahan atas fakultas
jiwa tumbuhan di atas. Di antara karakter dan fakultas khas jiwa hewan adalah
syahwat seksual (shahwat al-nika>h)} untuk melahirkan keturunan, syahwat
dendam (shahwat al-intiqa>m) demi mempertahankan diri dari bahaya dan
kehancuran, syahwat kepemimpinan (shahwat al-riya>sah aw-al-ghalabah) demi
memperoleh kekuasaan, bentuk fisik berupa daging (al-haya>kal al-lah}mi>yah)
dengan bagiannya yang beragam dilengkapi dengan persendian lentur untuk
bergerak dan berpindah posisi dari arah satu ke arah lainnya demi kemaslahatan,
memiliki sensitivitas indrawi (al-h}awa>s al-z}a>hirah) tertentu terhadap objek
eksternal, kemampuan wahm dan fantasi (takhayyul) untuk mendapatkan tujuan,
hafalan (h}ifz}) dan ingatan (dhikr) untuk mengenali sesama jenis dan lawan, serta
kemampuan melindungi diri dari bahaya dan menyelamatkan diri musuh.115
Selain itu, sementara jiwa tumbuhan bergerak secara mekanis, otomatis
dan tanpa pilihan, jiwa hewan justru bergerak atas dasar pilihan (ikhtiya>r),
hasrat (shahwah) dan keinginan (ira>dah). Seperti halnya pandangan dalam
tradisi filsafat Islam, menurut Ibn Sab‘i>n, di antara karakter jiwa hewan ialah ia
dapat melemah dan bahkan hancur dengan melemah dan hancurnya susunan fisik
(tunh}ill bi-inh}ila>l al-murakkab wa tafsid bi-fasa>dihi wa la> h}aya>h laha>).116
Hierarki jiwa ketiga adalah jiwa rasional (nafs na>t}iqah). Meminjam
penjelasan Ibn Si>na>,117 yang juga disinggung oleh Ibn Sab‘i>n,118 jiwa ini
memiliki dua daya: daya praktis (quwwat al-‘a>milah) yang berhubungan dengan
badan, dan daya teoritis (quwwat al-‘a>limah/naz}ari>yah) yang berhubungan
dengan hal-hal bersifat abstrak. Daya teoritis kemudian dirinci menjadi: 1] akal

113
Lihat Ibn Si>na>, Ah{wa>l al-Nafs, Psikologi Ibn Sina, 64-7.
114
Ikhwa>n al-S{afa>’, Rasa>’il Ikhwa>n al-S{afa>’ vol. 1, 50.
115
Ibn Sab‘i>n, al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah, 66. Juga Budd al-‘A<rif,
162.
116
Ibn Sab‘i>n, al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah, 68.
117
Marh}aba>, Min Falsafat al-Yu>na>ni>yah, 526-7. Juga Ibn Si>na>, Ah{wa>l al-Nafs,
Psikologi Ibn Sina, 67-71.
118
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 161.
130

material (‘aql hayu>la>ni>), akal yang baru memiliki potensi untuk berpikir, namun
kemampuan berpikirnya sama sekali belum dilatih; 2] ‘aql bi-al-malakah, akal
yang sudah mulai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal yang abstrak; 3] akal
aktual (‘aql bi-al-fi‘l), yakni akal yang secara aktual telah mampu berpikir
tentang hal-hal abstrak; 4] ‘aql mustafad, yaitu akal yang telah sanggup berpikir
tentang hal-hal abstrak tanpa memerlukan daya lainnya. Akal terakhir ini telah
mampu menerima limpahan pengetahuan dari Akal Aktif.
Bagi Ibn Sab‘i>n, jiwa rasional ini memiliki karakter, sifat dan
fakultasnya yang khas, yang menempatkan jiwa ini lebih tinggi drajatnya
dibanding dua jiwa sebelumnya. Asumsinya bahwa, sementara dua jiwa
sebelumnya dapat melemah dan binasa dengan semakin lemah dan binasanya
susunan fisik, jiwa ini justru kekal karena setelah fisik yang ditempatinya mati,
ia akan kembali ke pangkuan ila>hi>yah.119
Jawaban Ibn Sab‘i>n terhadap pertanyaan Frederick II (al-kala>m ‘alá al-
masa>’il al-s}iqi>li>yah) tentang jiwa jelas menggambarkan betapa tingginya posisi
jiwa ini. Fakultas atau daya penting yang dimiliki jiwa ini adalah daya pikirnya.
Dalam jiwa inilah proses berpikir, membuat opini, membedakan yang baik dan
buruk, mendalami ilmu pengetahuan, mencintai dan mengembangkan ilmu
pengetahuaan serta proses ma‘rifah terdapat. Selain itu, jiwa ini juga memiliki
hasrat untuk menghasilkan karya-karya, kreativitas dan keterampilan.120 Karena
jiwa ini pula manusia disebut hewan yang berpikir sebagai pondasi filosofis bagi
pengetahuan (al-baya>n) yang dianugerahkan Allah.121
Berdasarkan klasifikasi jiwa dan fakultasnya di atas, Ibn Sab‘i>n
menegaskan bahwa ketiga jiwa tersebut dengan segenap daya yang dimilikinya
sangat berpengaruh dalam diri manusia. Artinya, jika yang mendominasi dalam
diri manusia hanya daya jiwa tumbuhan seperti makan, tumbuh dan berkembang
biak, tanpa memiliki kemauan untuk berpikir dan bekerja, maka tabiat manusia
tersebut tak ubahnya seperti tumbuhan. Begitu juga jika yang mendominasi
hanya daya dari jiwa hewan, maka manusia tersebut tidak lebih seperti hewan
dari segi kualitas jiwanya. Tetapi jika daya jiwa rasional yang mendominasi,
maka manusia tersebut menjadi manusia sebenarnya, lebih dari itu, jika semakin
dekat dengan kesempurnaan daya jiwa rasional ia menyerupai malaikat.122
Aktualisasi dari jiwa mana yang lebih dominan tentu tergantung manusia itu
sendiri.

119
Ibn Sab‘i>n, Al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah, 71. Ibn Sab‘i>n
menambahkan bahwa, tidak seperti wacana keabadian jiwa tumbuhan dan hewan, dalam
wacana keabadian jiwa rasional tidak ada perbedaan pendapat di kalangan cendikiawan.
120
Ibn Sab‘i>n, al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah, 71. Juga Budd al-‘A<rif,
162-3. Dan 262.
121
Q.S. al-Rah}ma>n [55] : 4. Ibn Sab‘i>n, al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah,
72.
122
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 162.
131

Tampak sekali bahwa pandangan Ibn Sab‘i>n di atas seolah mempertegas


pandangan dalam tradisi Peripatetik seperti Ibn Si>na>, al-Fa>ra>bi> dan lainnya.123
Namun demikian, Ibn Sab‘i>n memberikan catatan bahwa jiwa rasional umumnya
menjadi penentu kualitas kemanusiaan seseorang. Jika daya jiwa rasional
tersebut dapat diaktualisasikan dengan baik, maka jiwa tersebut secara kualitas
akan melampaui asalnya menjadi jiwa bijaksana/filosof (nafs h}ikmi>yah), bahkan
jika jiwa itu beserta segenap daya fakultasnya dilatih secara intensif dengan
penyucian diri, bukan tidak mungkin jiwa ini akan jauh melampaui asalnya
menjadi jiwa kenabian (nafs nabawi>yah). Karenanya, dua jiwa terakhir
(h}ikmi>yah dan nabawi>yah) ini merupakan perkembangan ontologis dari
kesempurnaan jiwa rasional. Itulah sebabnya mengapa dalam pemikiran Islam
eksistensi manusia sangat bergantung pada aktualisasi daya-daya jiwa
rasionalnya, yang karena itu pula manusia dijadikan pengganti Tuhan di muka
bumi.
Keempat, jiwa filosof/kebijaksanaan (nafs falsafi>yah/h}ikmi>yah) yang
merupakan hierarki jiwa selanjutnya dan sebagai perkembangan dari
kesempurnaan jiwa rasional. Jika jiwa rasional hanya melaksanakan proses
berpikir dalam arti yang umum, maka jiwa kebijaksanaan justru melampaui itu.
Dengan pengetahuannya ia mampu menembus hakikat segala sesuatu, dengan
intuisi (al-h}ads) dan analogi ia dapat menemukan makna-makna terdalam segala
realitas, mampu memahami dengan sempurna hierarki wujud dan kemunculan
alam semesta dari yang satu serta mampu memahami realitas kosmik.124 Itu
artinya, sebagaimana yang dinyatakan al-Tafta>za>ni>,125 peran Jiwa Kebijaksanaan
bagi Ibn Sab‘i>n ialah memikirkan hal-hal universal dalam segala realitas.
Pandangan tentang karakteristik nafs h}ikmi>yah di atas tampaknya
sejalan dengan pandangan Ikhwa>n al-S{afa> misalnya, yang menyebutkan banyak
karakteristik dan yang dimiliki oleh jiwa ini yaitu hasrat memperoleh ilmu
pengetahuan dan kebijaksanaan (shahwat al-‘ulu>m wa-al-ma‘a>rif) yang hanya
dapat diperoleh dengan cara berpegang teguh pada keutamaan yang dicapai
melalui: pikiran yang bersih (al-dhihn al-s}a>fi>), pemahaman yang brilian (al-fahm
al-jayyid), kecerdasan spiritual (dhaka>’ al-nafs), kebeningan hati dan ketajaman
nurani (safa>’ al-qalb wa-h}iddat al-fu’a>d), kecepatan daya tangkap (sur‘at al-
kha>t}ir), kekuatan fantasi dan akurasi konseptual (quwwat al-takhayyul wa-
jawdat al-tas}awwur), pemikiran (al-fikr), penjelasan (al-rawi>yah), pendalaman
(al-ta’ammul), mengambil pelajaran (al-i‘tiba>r), penglihatan spritual (al-istibs}a>r)
dan masih banyak lagi.126 Dalam pemikiran Ikhwa>n al-S{afa>’, keseluruhan cara di
atas merupakan media utama bagi jiwa rasional dalam rangka mencapai
peringkat nafs h}ikmi>yah.127 Itu artinya, kualitas jiwa kebijaksanaan ini berkaitan

123
Lihat misalnya Muhammad ‘Uthman Najati, Jiwa dalam Pandangan Filosof
Muslim (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002).
124
Ibn Sab‘i>n, al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah, 71. Juga Budd al-‘A<rif,
265.
125
Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu, 353.
126
Ikhwa>n al-S{afa>’, Rasa>’il Ikhwa>n al-S{afa>’ vol. 1, 52-3.
127
Sudaryoso, Etika Keseimbangan Kosmik, 86.
132

dengan upaya-upaya penyucian diri, baik secara internal berupa penyucian diri,
maupun dengan upaya lainnya seperti latihan penalaran diskursif, renungan,
kontemplasi, dan pemikiran.
Bagi Ibn Sab‘i>n, selain mengimani pandangan Ikhwa>n al-S{afa>’ di atas,
ia menegaskan bahwa untuk mencapai jiwa kebijaksanaan (nafs h}ikmi>yah), jiwa
rasional harus secara sempurna memahami Kesatuan Mutlak (al-wah}dah al-
mut}laqah), madzhab yang digagasnya.128 Pandangannya ini tentu
mengindikasikan adanya ketersambungan konseptual dalam setiap pemikiran
filosofisnya -termasuk tentang jiwa ini- dengan gagasan besarnya, Kesatuan
Mutlak.
Kelima, yang merupakan jiwa terakhir dalam hierarki dan sekaligus
merupakan puncak perkembangan kesempurnaan jiwa rasional ialah jiwa
kenabian (nafs nabawi>yah). Jiwa yang tanpa perantara berhubungan langsung
dengan Tuhan berupa wahyu dan ilham, dan merupakan jiwa yang secara
langsung menerima pancaran ketuhanan (ila>hi>yah).129 Karenanya, jiwa ini
merupakan jiwa paling mulia dibanding jiwa-jiwa sebelumnya.130 Menurut Ibn
Sab‘i>n, ada sembilan karakteristik jiwa ini yang tidak dimiliki jiwa lain, antara
lain ia disifati oleh mu’jizat diluar kebiasaan (kha>riq li-al-‘a>dah), sama sekali
terjaga dari berkata dan berpendapat bohong, dijaga dari segala macam dosa,
orang lain yang menentangnya tidak akan mampu mengalahkannya, dan lain-
lain.131
Yang menarik, kendati ia meyakini bahwa jiwa kenabian ini merupakan
perkembangan dari kesempurnaan jiwa rasional manusia, ia tidak lantas
menyatakan bahwa kenabian itu dapat dicapai oleh siapa pun (muktasab) yang
dapat memaksimalkan daya jiwa rasionalnya seperti yang dituduhkan
cendikiawan lain kepada Ibn Sab‘i>n.132 Tuduhan bahwa bagi Ibn Sab‘i>n kenabian
itu dapat dicapai oleh siapa pun (muktasab) dan menafikan pilihan Tuhan yang
hanya kepada orang-orang tertentu saja, seolah menjadi “pelengkap” bagi para
penentangnya untuk mengklaim kesesatan atau bahkan kekufuran Ibn Sab‘i>n.
Bahkan, hal ini juga semakin diperkuat oleh pernyataan Ibn Daqi>q al-‘I<d (1228-
1302 M./625-702 H.) yang banyak dikutip dalam karya-karya biografis, bahwa
Ibn Sab‘i>n menyatakan sebuah statement kontroversial “laqad tah}ajjara ibn
a>minah wa>si‘an bi-qawlihi: la> nabiya ba‘di>”.133

128
Lihat Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 163
129
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 163-4. Lihat juga al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-
Falsafatuhu, 355.
130
Ibn Sab‘i>n, al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah, 72.
131
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 163.
132
Lihat Isma>‘i>l ibn ‘Umar ibn Kathi>r, Al-Bida>yah wa-al-Niha>yah juz 17,
tah}qi>q ‘Abdulla>h ibn ‘Abd al-Muh}sin al-Turki> (Ji>zah: Da>r Hijr, 1998), 497. Bandingkan
dengan Mah{mu>d al-Mura>kibi>, ‘Aqa>‘id al-S{u>fi>yah fi> D{aw’ al-Kita>b wa-al-Sunnah (Kairo:
Da>r al-T{aba>‘ah wa-al-Nashr, 1996), 97. Juga Shams al-Di>n al-Dhahabi>, Ta>ri>kh al-Isla>m
wa-Wafaya>t al-Masha>hir wa-al-A‘la>m jilid 49, tah{qi>q ‘Umar ‘Abd al-Sala>m Tadmuri>
(Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, 1999), 285.
133
Lihat misalnya al-Dhahabi>, Ta>ri>kh al-Isla>m, 285.
133

Baginya, terlebih jika melihat pandangan tentang jiwa kenabian, alih-


alih mengingkarinya, justru ia sangat memuliakan jiwa tertinggi ini. Ia
menyatakan bahwa lima jiwa yang ada dalam hierarki dapat dialami oleh
manusia kecuali jiwa kenabian (nafs nabawi>yah), jiwa ini merupakan tingkatan
“terlarang” bagi manusia, karena jiwa ini merupakan permulaan bagi segala
prinsip dan yang universal dari segala universalitas, hanya Tuhan yang langsung
menunjuknya dan jangan berharap untuk mencapai tingkatan jiwa ini.134 Dari
pernyataannya terakhir ini, tampak sekali bahwa apa yang dituduhkan
cendikiawan lain di atas tidak sepenuhnya benar, atau bahkan keliru. Selain itu,
tuduhan tersebut juga dapat dengan mudah disanggah dengan fakta bahwa Ibn
Sab‘i>n menulis sebuah karya berjudul Risa>lah fi> Anwa>r al-Nabi> yang khusus
menjelaskan tentang “cahaya-cahaya kenabian” Muh}ammad SAW. Dalam karya
itu, ia menguraikan 33 jenis cahaya kenabian Muh}ammad SAW.135
Di samping itu, konsep jiwa kenabian Ibn Sab‘i>n ini juga sedikit berbeda
dengan filsafat kenabiannya al-Fa>ra>bi> yang memiliki asumsi penting bahwa
filosof dan Nabi sama-sama mendapatkan curahan langsung dari Akal Aktif (al-
‘aql al-fa‘a>l).136 Dengan gagasan ini, “Sang Guru Kedua” tersebut berhasil
membuktikan bahwa kenabian itu mungkin secara filosofis. Untuk membedakan
pandangannya filsafat kenabiannya al-Fa>ra>bi>, konsep jiwa kenabian ini
dikaitkan dengan nilai etik bahwa bagi Ibn Sab‘i>n, kebaikan pada diri Nabi
merupakan kebaikan alami (al-khayr bi-al-dha>t), sementara filosof tidak diberi
kebaikan alami tersebut. Itu artinya, Nabi dan filosof merupakan dua hal yang
berlawanan (fa-ka>na al-nabi> wa-al-faylasu>f d}idda>ni).137
Poin penting yang didapat adalah, kajian terhadap pandangan Ibn Sab‘i>n
tentang hierarki jiwa ini tentu saja semakin memperkuat bagaimana status
ontologis jiwa yang legitimate bahkan lebih riil dibanding wujud materiil di
bawahnya. Meski demikian, dalam perspektif Kesatuan Mutlak-nya, gagasan
hierarki jiwa ini hanya bersifat konseptual/kesusastraan saja (i‘tiba>ri>). Artinya,
eksistensi jiwa-jiwa dalam hierarki tersebut pada dasarnya merupakan
manifestasi dari wujud yang satu.

3. Wujud Materiil
Mengenai status ontologis benda-benda alami yang bersifat materiil,
tampak sekali bahwa filsafat Islam umumnya, dan Ibn Sab‘i>n khususnya,

134
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 164.
135
Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Anwa>r“ dalam al-Mazi>di>, 263-293. Dalam salinan
Badawi>, karya ini berjudul Risa>lah fi> Anwa>r al-Nabi>, 201-211. Dalam versi lain, al-
Mazi>di> juga memuat karya Ibn Sab‘i>n ini secara khusus dengan judul Anwa>r al-Nabi>:
Asra>ruha> wa-Anwa>‘uha>, tah}qi>q Ah}mad Fari>d al-Mazi>di> (Kairo: Da>r al-Afa>q al-
‘Arabi>yah, 2007).
136
al-Fa>ra>bi, Ara>’ Ahl al-Madi>nah, 114-6. Lihat juga Kartanegara, Menyibak
Tirai Kejahilan, 105. Lihat juga R. Walzer, “Al-Fa>ra>bi>’s Theory of Prophecy and
Divination,” The Journal of Hellenic Studies Vol. 77, Part 1 (1957), 142-148. http://
www.jstor.org/stable/628647 (diakses pada 15 Oktober 2014).
137
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 98.
134

mempunyai pandangan yang berseberangan dengan pandangan ilmiah modern.138


Karena sementara dalam filsafat Islam, status ontologis benda-benda alami yang
disebut sebagai elementary particles menduduki peringkat terendah, dalam
pandangan ilmiah modern justru status ontologis benda-benda ini menempati
posisi sangat tinggi -jika tidak dikatakan palig tinggi-, bahkan prinsipil.139
Pandangan filsafat Islam yang menempatkan benda-benda alami di peringkat
terendah ini terlihat jelas misalnya dalam teori-teori tentang hierarki wujud dan
emanasi yang banyak digagas oleh para filosof, termasuk Ibn Sab‘i>n. Artinya,
bagi sains modern, status ontologis benda-benda fisik inilah yang justru
diangkat ke tempat yang paling tinggi, sedangkan status ontologis wujud-wujud
imateriil (metafisika) menjadi sangat rendah, atau bahkan hanya dipandang
sebagai ilusi dan halusinasi.
Dalam menjelaskan wujud benda-benda materiil atau fisik ini, Ibn
Sab‘i>n pun tetap menggunakan perspektif filsafat dan logika Aristotelian
sebagai basis awalnya. Dalam Budd al-‘A<rif, sebagai karya refresentatif dari
keutuhan epistemologinya, ia terlihat menggunakan logika Aristotelian yang
merupakan tradisi para pendahulunya dari kalangan filosof Muslim, sebagai alat
untuk mencapai spritual setinggi-tingginya. Tentu, elaborasinya terhadap wujud
benda-benda fisik, sedikit banyaknya terpengaruh arus besar tradisi Peripatetik
ini. Meski lebih banyak menggunakan logika dibanding para mistikus lainnya, ia
tidak lekas menjadi seorang rasionalis dalam pengertian modern. Dalam
berbagai pemikiran yang syarat dengan logika, ia selalu mengakhirinya dengan
perspektif Kesatuan Mutlak, madzhab yang digagasnya.
Sejalan dengan pandangannya tentang wujud Tuhan dan imateriil,
pandangannya tentang wujud-wujud materiil ini sebenarnya juga dapat
ditelusuri dari pemikiran emanasinya (lihat gambar 9). Diasumsikan bahwa,
rangkaian wujud di bawah Jiwa, yakni watak fisik (al-t}abi>‘ah), materi (al-
hayu>la>), tubuh absolut (al-jism al-mut}laq), benda-benda langit (al-falak), unsur-
unsur pembentuk (al-arka>n), dan yang dilahirkan (al-muwallada>t) merupakan
wujud-wujud materiil, atau setidaknya, berhubungan langsung dengan wujud
imaterill.
Entitas pertama dalam rangkaian emanasi Ibn Sab‘i>n ialah watak
alamiah/nature (al-t}abi>‘ah). Dalam tradisi filsafat Islam, ada berbagai istilah
teknis untuk menyebut realitas satu ini, umumnya para filosof menyebutnya
quwa> al-t}abi>‘ah (daya-daya alami) atau nafs juz’i>yah (jiwa partikular).140
Keragaman istilah tentu sebatas pengungkapan saja. Secara substantif, ragam
istilah tersebut menunjuk pada sebuah pengertian yang sama, yaitu daya-daya
rohani dari fakultas Jiwa Universal yang mengalir pada seluruh fisik.

138
Lihat misalnya Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, 37.
139
Dalam hal ini, Rueger dan McGivern misalnya, membuat sebuah hierarki
realitas seperti halnya dalam tradisi filsafat Islam. Namun lagi-lagi, hierarki itu pun
hanya dalam wujud-wujud fisik. Lihat Alexander Rueger and Patrick McGivern,
“Hierarchies and levels of reality,” Synthese Vol. 176, No. 3 (October, 2010), 379-397.
http://www.jstor.org/stable/40801386 (diakses pada 30 Juni 2014).
140
Lihat Ikhwa>n al-S{afa>’, Rasa>’il Ikhwa>n al-S{afa>’ vol. II, 88.
135

Senada dengan pengertian di atas, mengenai hal ini, Ibn Sab‘i>n


menyatakan bahwa pengertian al-t}abi>‘ah sendiri banyak perbedaan yang secara
substansial sama. Karenanya, dalam Budd al-‘A<rif ia memuat banyak pengertian
untuk menggambarkan entitas ini. Al-t}abi>‘ah merupakan daya-daya fisikal
dalam jasad, yang hadir dengan perantara jiwa. Dengan pandangan ini, jelas
bahwa al-t}abi>‘ah merupakan entitas yang mendapat limpahan dan berhubungan
langsung dengan Jiwa Universal, untuk selanjutnya dicurahkan ke wujud-wujud
materiil di bawahnya. Bahkan, ia menyebut bahwa entitas ini merupakan
jawhar h}aki>m bi-al-s}ifah al-ashya>’ al-mas}nu‘ah (substansi bijaksana dengan
sifat-sifat benda yang dirancang).141
Menurutnya, secara ontologis, al-t}abi>‘ah merupakan realisasi
berfungsinya Jiwa Universal pada benda-benda (al-ajsa>m) yang tentu sangat
beragam bentuknya. Artinya, wilayah operasional entitas ini adalah alam fisik.
Keberadaan entitas ini di alam fisik merupakan kenyataan yang sulit untuk
dinafikan. Hal tersebut telah didukung oleh fakta-fakta empirik-ilmiah bahwa
dalam segenap wujud fisik terdapat kekuatan yang menjadikannya eksis (ada).
Sebab, karakter dasar setiap benda fisik mesti tidak hidup, tidak aktif dan tidak
pula bergerak. Tetapi dalam pandangan tak kasat mata justru sebaliknya, benda-
benda itu dapat hidup, aktif dan bergerak, disebabkan adanya kekuatan rohani
atau “jiwa partikular” yang aktif dalam dirinya.142 Daya penggerak itulah
dinamakan al-t}abi>‘ah. Jika demikian, sangat beralasan jika para filosof
menyebutnya sebagai kekuatan alami (quwa> al-t}abi>‘ah) yang inheren pada
semua benda, atau yang oleh Nasr disebut sebagai the performer of all actions
(pelaku seluruh tindakan segenap ciptaan).143
Melalui entitas ini pula, penegasan bahwa Tuhan adalah Pencipta yang
tidak pernah berhenti mencipta sejenak pun tentu tidak terbantahkan dan
semakin logis. Segenap urusan yang menyangkut benda fisik di alam ini, telah
diatur sedemikan rupa oleh hukum ilahi yang agung, di mana segala
ketetapannya berjalan sesuai al-t}abi>‘ah/tabiatnya. Setelah alam tercipta dengan
pancaran emanasi rohani dan ketetapan azali-Nya, segenap urusan makhluk
selanjutnya menjadi ketetapan hukum alam yang konstan.144
Eksistensi berikutnya yang dapat dikategorikan ke dalam wujud materiil
adalah al-hayu>la> (materi), atau yang ditempat lain disebut al-hayu>la> al-u>la>
(materi pertama). Sama halnya dengan pandangan para filosof Muslim, Ibn

141
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 115.
142
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 115.
143
Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, 61.
144
Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, 143. Bandingkan
dengan Richard Foltz, “Islam,” dalam Encyclopedia of Environmental Ethics and
Philosophy vol. 1, ed. J. Baird Callicot and Robert Frodeman (New York: Gale Cengage
Learning, 2009), 534-5. Tentang perdebatan wacana ini di kalangan cendikiawan
Muslim klasik, lihat Taneli Kukkonen, “Plenitude, Possibility, and the Limits of Reason:
A Medieval Arabic Debate on the Metaphysics of Nature,” Journal of the History of
Ideas Vol. 61, No. 4 (Oct., 2000), 539-560. http://www.jstor.org/stable/3654068 (diakses
pada 15 Oktober 2014).
136

Sab’i>n pun memaknai entitas ini sebagai substansi sederhana penerima bentuk
(jawhar qa>bil li-al-s}uwar), bersifat fasif-potensial, mewujud ketika telah
menerima bentuk. Bentuk di sini adalah t}u>l (panjang), ‘ard{ (lebar), dan ‘umq
(dalam).145 Dari sifatnya yang pasif-potensial itu, pada saat Materi menerima
bentuk (form), potensi yang pasif tadi menjadi aktual.146 Pada saat itu pula
status ontologisnya bukan lagi merupakan sebagai Materi Pertama, tetapi telah
berubah menjadi realitas baru disebut jism al-mut}laq (tubuh absolut). Dari sini,
tentu materi bukanlah substansi yang hidup (h}ayyah), mengetahui (‘alla>mah),
dan aktif (fa‘a>lah) sebagaimana Akal dan Jiwa. bahkan menurut Ikhwa>n al-
S{afa>’, dalam koteks tertentu, entitas ini agak sulit menerima limpahan.147
Secara teknis, hierarki wujud keempat ini memiliki empat jenis yaitu, 1)
al-hayu>la> al-u>la> (materi pertama) yang merupakan substansi sederhana bersifat
intelejibel (ma‘qu>l) dan tidak diketahui melalui penginderaan. 2) al-hayu>la> al-
kull (materi universal), merupakan nama lain dari tubuh absolut (jism al-mut}laq)
yang darinya keseluruhan alam ini mengada. 3) al-hayu>la> al-s}ana>‘i>yah (materi
rancangan), yaitu materi yang darinya seorang perancang karya (s}a>ni‘) membuat
karyanya, seperti kayu bagi seorang tukang kayu, pasir bagi tukang bangunan,
dan lainnya. 4) al-hayu>la> al-t}abi>‘i>yah (materi alamiah), merupakan empat pilar
pembentuk, atau nama lain al-arka>n al-arba‘ah, di mana segenap ciptaan,
mineral, tumbuhan, hewan maupun manusia mengandung unsur-unsur ini.
Keempat unsur tersebut ialah api, udara, air dan tanah.148
Selain t}abi>‘ah dan al-hayu<la>, realitas berikutnya dalam skema hierarki
wujud materiil ialah bentuk aktualisasi penerimaan materi atas bentuk berkat
limpahan dari wujud-wujud di atasnya, yang disebut jism al-mut}laq (tubuh
absolut). Sebagaimana Materi Pertama (al-hayu>la al-u>la>), Tubuh Absolut ini
merupakan Materi yang telah menerima tiga form kuantitatif (kammi>yah): t}u>l
(panjang), ‘ard{ (lebar), dan ‘umq (dalam). Perbedaannya, sementara pada Materi
Pertama penerimaan bentuk dan form ini bersifat potensialitas-pasif, pada
Tubuh Absolut justru sebaliknya, padanya telah dimulai tatanan yang
terstruktur (‘a>lam al-murakkaba>t) yang merupakan gabungan antara materi dan
bentuk, serta kondisinya sudah mulai mengaktual. Jika tatanan wujud di atasnya
berbentuk substansi sederhana (jawhar basi>t)} , maka bagi Tubuh Absolut ini
sejatinya berbeda.149 Pada titik ini, proses emanasi wujud ruhani berakhir, dan
konsep penciptaan berikutnya terjadi dalam bentuk lain, berupa penciptaan
wujud-wujud materiil-fisik.
Dari pandangan Ibn Sab‘i>n tentang realitas wujud-wujud materiil di
atas, tentu dengan mudah dapat disarikan bahwa, wujud-wujud tersebut (al-
t}abi>‘ah, al-hayu>la> dan jism al-mut}laq) merupakan entitas-entitas ruhani-materiil
yang berkaitan dan berhubungan langsung dengan alam fisik, meski dalam

145
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 113.
146
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 117 dan 233.
147
Ikhwa>n al-S{afa>’, Rasa>’il Ikhwa>n al-S{afa>’ vol. III, 6.
148
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 113. Ibn Sab‘i>n dengan cukup panjang,
menguraikan makna dan karakteristik keempat unsur ini, lihat Budd al-‘A<rif, 114.
149
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 117.
137

wujudnya sendiri bukan fisik. Wujud-wujud tersebut mendapat limpahan dari


Allah Sang Maha Mutlak, melalui wujud-wujud di atasnya yaitu Akal Universal
dan Jiwa. segenap wujud-wujud di atas merupakan makhluk ilahiah yang
menjadi penggerak, pemberi kehidupan dan eksistensi bagi segenap tatanan
kosmos yang fisik ini. Sebelum wujud fisik semesta mengada, tatanan rohani di
atasnyalah yang menjadi “motor” penggerak segenap kehidupan alam fisik.150
Tanpa perannya, secara pasti alam fisik mestilah tiada. Satu lagi, melalui
perantara merekalah, Tuhan mendelegasikan segenap cinta-Nya kepada semua
wujud fisik di penjuru bumi.
Lalu bagaimana Ibn Sab‘i>n memandang status ontologis wujud-wujud
materiil-fisik? Secara kasat mata, tentu wujud-wujud fisik ini dapat dengan
sangat mudah diakui keberadaannya. Dalam skema pemikiran emanasinya, ada
tiga realitas yang dapat dikategorikan sebagai wujud yang pure fisik, yaitu al-
falak (bintang-bintang/the spheres atau galaksi), al-arka>n (unsur-unsur), dan al-
muwallada>t (alam fisik partikular yang dilahirkan).151 Meski demikian, ia pun
secara apik memaknai banyak benda-benda fisik sebagi perwujudan dari ketiga
tingkatan wujud fisik tadi.
Tingkatan wujud fisik pertama adalah al-falak, ia memaknai realitas ini
sebagai wujud yang meliputi alam semesta (ma> yuh}i>t}u al-‘a>lam).152 Dengan
pengertian ini, Ibn Sab‘i>n sebagaimana filosof Muslim lain ingin mengatakan
bahwa alam semesta (fisik) itu mengambil bentuk lingkaran dan terbatas.
Kaitannya dengan ini, segenap wujud adalah tubuh-tubuh padat, yaitu zat-zat
yang memenuhi ruangan, itulah alam semesta.153 Karenanya, galaksi dalam
pengertian modern dengan segenap materi dan geraknnya lebih tepat untuk
menunjuk istilah al-falak ini.
Setelah al-falak, hierarki wujud fisik selanjutnya yang menempati alam
fisik ini adalah al-arka>n (unsur-unsur), atau di tempat lain Ibn Sab‘i>n
menyebutnya al-arka>n al-arba‘ah dan al-‘ana>s}ir al-arba‘ah (empat unsur
pembentuk) berupa: api, tanah, air, dan udara.154 Terkadang bagian ini juga
disebut al-hayu>la> al-t}abi>‘ah (materi alamiah), disebut demikian karena substansi
ini memiliki sifat alamiah berupa panas dalam api, kering dalam tanah, basah
dalam air, dan dingin dalam udara. Juga sesekali disebut ummaha>t (ibu-ibu
kosmik) sebagai bandingan dari istilah al-muwallada>t (anak-anak kosmik).
Disebut demikian tentu dengan asumsi bahwa semua benda yang berada di
bawah falak bulan (terrestial) mesti berasal dari empat unsur pembentuk ini.
Ketika mengalami kematian (al-fasa>d), segenap ciptaan fisik tadi akan kembali
pada sumbernya yang pertama.
Pandangan tentang keempat unsur di atas hendak menegaskan bahwa,
semua benda di alam fisik mesti terdiri dari empat unsur pembentuk tadi.
Melalui percampuran ragam unsur tersebut, segala benda di bawah Bulan
150
Lihat misalnya Sudaryoso, Etika Keseimbangan Kosmik, 127.
151
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 112.
152
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 113.
153
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 114.
154
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 114.
138

tercipta, tentu saja dengan bantuan wujud-wujud di atasnya, sesuai dengan


ketentuan Tuhan Sang Maha Mutlak. Keberadaan semua makhluk tersebut
dalam tradisi filsafat Islam disebut sebagai alam bawah (‘a>lam al-sufli>), alam di
bumi, atau ‘a>lam al-kawn wa-al-fasa>d. Sedangkan keberadaan benda-benda di
atas Bulan dikenal alam atas/callestial (‘a>lam al-‘ulwi>), alam langit, atau al-
falak.155
Sebagaimana mawju>da>t sebelumnya, empat unsur pembentuk ini pun
memiliki tingkatan keutamaan dan selalu mengalami perubahan dari statusnya
yang satu ke status yang lain.156 Api misalnya, jika nyalanya padam maka
berubah menjadi udara (hawa>’), udara yang mengeras kemudian menjadi air, air
pun jika dibekukan hingga mengeras dapat berubah menjadi tanah. meski
demikian, api, sebagai unsur yang paling halus, tidak akan pernah mengalami
peningkatan derajat kehalusannya. Begitu juga tanah, sebagai unsur yang paling
keras, pengerasannya tidak akan mengalami peningkatan, kecuali berubah ke
wujud lain di luar kelasnya.
Menarik pandangan yang dikemukakan Ikhwa>n al-S{afa>’, komunitas
persaudaraan suci itu mengklasifikasikan segala sesuatu yang ada di bawah
Bulan kepada dua bagian: sederhana (basi>t}ah) dan majemuk/terstruktur
(murakkabah).157 Entitas yang masuk dalam kriteria basi>t}ah ialah al-arka>n al-
arba‘ah tadi; api, tanah, air, dan udara. Sedang yang masuk dalam kriteria
murakkabah adalah segenap ciptaan yang terlahir (al-muwallada>t al-ka>’ina>t al-
fa>sida>t), yaitu, mineral, tumbuhan, dan hewan -termasuk manusia-.
Diasumsikan bahwa, esensi wujud fisik yang berada di dasar hierarki,
yaitu al-muwallada>t, tersusun dari keempat unsur di atas. Karenanya, keempat
unsur tadi di tempat lain sering kali disebut ummaha>t, sedangkan entitas
terakhir disebut al-muwallada>t. Dalam konteks ini, Ibn Sab‘i>n pun
mengistilahkan demikian.158 Dari “Ibu-ibu kosmik” itulah terlahir segenap
wujud (al-muwallada>t) secara berkesinambungan, mati satu, lahir generasi
selanjutnya, begitu seterusnya. Segenap ciptaan wujud fisik tersebut menjelma
kepada tiga bentuk entitas yaitu: mineral, tumbuhan dan hewan. Seluruh wujud
fisik yang terlihat ini, mesti tidak keluar dari tiga entitas tadi, termasuk manusia
yang secara fisik tergolong kepada bangsa hewan. Dengan demikian, sangat
beralasan jika segenap ciptaan tersebut dikenal pula dengan istilah al-
muwallada>t al-thala>th (tiga kerajaan dunia).
Pandangan Ibn Sab‘i>n tentang wujud materiil tentu mengindikasikan
sebuah pandangan filosofis bahwa status wujud-wujud tersebut secara ontologis

155
Lihat misalnya al-Fa>ra>bi, Ara>’ Ahl al-Madi>nah, 37-80. Juga Ikhwa>n al-S{afa>’,
Rasa>’il Ikhwa>n al-S{afa>’ vol. I, 74-5.
156
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 114.
157
Ikhwa>n al-S{afa>’, Rasa>’il Ikhwa>n al-S{afa>’ vol. II, 35. Mengenai pemikiran
kosmologi komunitas ini, lihat misalnya Yasien Mohamed, “The Cosmology of Ikhwa>n
al-S{afa>, Miskawayh and al-Is}faha>ni>,” Islamic Studies Vol. 39, No. 4, Special Issue:
Islam and Science (Winter 2000), 657-679. http://www.jstor.org/stable/23076118
(diakses pada 15 Oktober 2014).
158
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 117.
139

benar-benar legitimate, meski secara hierarkis tingkatan wujudnya jauh di


bawah wujud-wujud imateriil, terlebih dibanding dengan Tuhan di puncak
hierarki. Pandangan ini tentu akan sangat menentukan pemikirannya tentang
ilmu-ilmu fisika, yang baginya, sesuai dengan hierarki dan tingkatan wujud
objek ilmunya, rumpun ilmu-ilmu fisika berada di bawah rumpun ilmu-ilmu
metafisika.
Penjabarannya tentang wujud-wujud materiil di atas cenderung
mengikuti tradisi Peripatetik atau Aristotelian, bahkan kecenderungan itu
terlihat sangat kental. Namun poin penting yang perlu di garis bawahi adalah,
meski tampak “mengekor” kepada tradisi Peripatetik, di akhir, Ibn Sab‘i>n
senantiasa menegaskan elaborasinya terhadap masalah ini dalam perspektif
Kesatuan Mutlak-nya. Ketika menjelaskan tentang panca indera yang dapat
menangkap objek-objek fisik, ia menyatakan bahwa bagi seorang muqarrab
(sebutan bagi orang yang memahami secara sempurna doktrin Kesatuan
Mutlak), penjelasan para filosof tentang wujud fisik, jika dilihat dari segi ke-
fisik-annya/qua fisik (min haythu huwa), boleh jadi penjelasan mereka benar dan
dapat diterima. Namun jika dilihat dalam perspektif al-qas}d al-qadi>m (maksud
penciptaan azali), penjelasan para filosof tersebut sama sekali keliru.159 Dengan
pengertian itu ia hendak mengatakan, bahwa pemahaman para filosof tentang
wujud-wujud fisik telah terjebak dalam ilusi-ilusi kemajemukan wujud.
Pasalnya, bagi Ibn Sab‘i>n, adanya benda-benda fisik yang tertangkap oleh panca
indera, merupakan manifestasi kesatuan wujud yang mutlak.

C. Deskripsi Klasifikasi Ilmu


Secara konseptual, penelusuran terhadap pandangan Ibn Sab‘i>n tentang
status ontologis objek ilmu, akan menjadi “penentu arah” bagi rangka bangun
ontologis klasifikasi ilmu yang digagasnya. Basis ontologis klasifikasi ilmu ini,
tentu saja akan terlihat jelas ketika klasifikasi ilmu itu secara deskriptif
dijabarkan. karenanya, deskripsi klasifikasi ilmu sejatinya merupakan implikasi
filosofis-konseptual dari sebuah rangka bangun ontologi. Dengan melihat
deskripsi itu pula, berbagai kecenderungan ilmiah penyusunnya dapat dengan
mudah diidentifikasi.
Pada sub bab ini, penulis akan coba mendiskusikan deskripsi klasifikasi
ilmu (aqsa>m al-‘ulu>m) yang disusun oleh Ibn Sab‘i>n sebagai lokus pemikiran.
Seperti halnya kebanyakan filosof lain seperti Ibn Khaldu>n (732-808 H./1332-
1406 M.),160 al-Ghaza>li> (450-505 H./1058-1111 M.),161 dan al-‘A<miri> (w. 381

159
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 242.
160
Tentang penjabaran ilmu-ilmu pengetahuan dalam klasifikasi Ibn Khaldu>n,
lihat lengkapnya dalam ‘Abd al-Rah{ma>n ibn Muh}ammad ibn Khaldu>n, Muqaddimat Ibn
Khaldu>n, tah}qi>q ‘Abdullah Muh}ammad al-Darwi>sh (Damaskus: Da>r Ya’rib, 2004), 171-
271.
161
Seperti yang telah dikaji pada bab sebelumnya, bahwa sekurang-kurangnya
ada dua belas jenis klasifikasi ilmu yang terdapat dalam enam karya al-Ghaza>li> yang
memuat gagasan klasifikasi ilmu, dilihat dari berbagai sudut pandang. Lihat misalnya al-
Ghaza>li>, Al-Ghaza>li, Mi>za>n al-‘Amal, tah{qi>q Sulayma>n Dunya> (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif,
140

H./992 M.)162 yang menjadikan kajian klasifikasi ilmu sebagai salah satu
pembahasan dalam karyanya, demikian juga Ibn Sab‘i>n mengangkat wacana ini
dalam karyanya Budd al-‘A<rif ketika mengelaborasi konsep ilmu. Meski
demikian, dalam bagian lain, seperti ketika menjelaskan pandangan muqarrab
tentang Jiwa, ia pun sempat memberikan klasifikasi ilmu-ilmu agama (‘ulu>m al-
di>n).163
Secara eksplisit, Ibn Sab‘i>n membagi ilmu ke dalam tiga kategori besar
yaitu: rumpun ilmu-ilmu syari’at/agama (al-‘ulu>m al-shar‘i>yah); ilmu-ilmu adab
(al-‘ulu>m al-adabi>yah); dan ilmu-ilmu filosofis (al-‘ulu>m al-falsafi>yah). Hal ini
tentu berbeda dengan deskripsi klasifikasi pada umumnya yang kebanyakan
mengklasifikasikan ilmu kepada dua bagian besar. Ibn Khaldu>n misalnya yang
memklasifikasikan ilmu kepada naqli>yah dan ‘aqli>yah,164 al-‘A<miri> kepada
milli>yah dan h}ikmi>yah,165 atau Qut}b al-Di>n al-Shi>ra>zi> yang membagi ilmu
kepada dua kategori besar, al-h}ikmi> dan ghayr al-h}ikmi>.166 Jika rumpun ilmu-
ilmu syari’at dan filsafat pada umumnya memang digunakan oleh cendikiawan
lain, maka rumpun ilmu-ilmu adab merupakan bagian yang “khas” dalam
klasifikasi Ibn Sab‘i>n, meskipun secara substansial, ilmu-ilmu dalam rumpun al-
‘ulu>m al-adabi>yah juga ada dalam klasifikasi cendikiawan lainnya.
Terlepas dari kekhasan deskripsi klasifikasi ini, sejauh penulusuran
penulis, dalam hal klasifikasi ilmu, Ibn Sab‘i>n tampak tidak membahasnya
secara rinci, ia hanya mencatat poin-poin besarnya saja. Hal ini tentu tidak
berarti ia tidak serius mengkaji wacana ini, justru pandangannya tentang
klasifikasi ilmu secara deskriptif merupakan konsekuensi logis dari keutuhan
pandangan epistemologinya. Karena itu, pandangannya terkait dengan
klasifikasi ilmu harus dikaji lebih lanjut, terlebih dalam konteks jika dikaitkan
dengan gagasan ontologis Kesatuan Mutlak-nya.
Pertama, ilmu-ilmu syari’at/agama (al-‘ulu>m al-shar‘i>yah), memiliki
enam bagian bidang ilmu, yaitu 1) ilmu yang berkaitan dengan tekstualitas al-
Qur’an (‘ilm al-kita>b al-munazzalah) seperti ilmu qira>’ah al-Qur’an, tajwid, dan
lainnya; 2) ilmu yang berkaitan dengan makna al-Qur’an (‘ilm madlu>l al-kita>b
al-munazzalah), yang masuk dalam bagian ini antara lain ilmu tafsir, ilmu asba>b
al-nuzu>l, naskh mansu>kh, dan lainnya; 3) ilmu-ilmu Hadits (‘ilm al-riwa>ya>t wa-
al-akhba>r); 4) yurisprudensi (‘ilm al-fiqh wa-al-sunan wa-al-ah}ka>m); 5) ilmu
tentang nasihat yang berhubungan dengan perilaku manusia (‘ilm al-wa‘z} wa-al-

1964), 230. Juga karyanya, Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n juz I, tah}qi>q Badawi> T{aba>nah
(Semarang: T{a>ha> Pu>tra>, tt.), 14-9.
162
Lihat pemikirannya tentang klasifikasi ilmu dalam Abu> al-H{asan al-‘A<miri>,
al-I‘la>m bi-Mana>qib al-Isla>m, ed. Ah}mad ‘Abd al-H{ami>d Ghura>b (Riya>d{: Da>r al-As}a>lah
li-al-Thaqa>fah wa-al-Nashr wa-al-I‘la>m, 1988), 80-1.
163
Lihat Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 172.
164
Ibn Khaldu>n, Muqaddimah, 171.
165
Al-‘A<miri>, Al-I‘la>m bi-Mana>qib al-Isla>m, 80.
166
Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam: A Study in Islamic
Philosophies of Science (Cambridge: The Islamic Texts Society, 1998), 249.
141

takhalluq wa-maka>rim al-akhla>q); dan 6) ilmu yang berkaitan dengan kedudukan


spritual manusia (‘ilm al-maqa>ma>t) seperti dalam tradisi tasawuf.167
Selain klasifikasi di atas, di tempat lain, Ibn Sab‘i>n juga memuat
klasifikasi ilmu-ilmu religius (‘ulu>m al-di>n) dengan perspektif al-muqarrab-nya.
Menurutnya, jika dilihat dari segi intelligible-nya, kelompok ilmu ini setidaknya
memiliki lima bagian: 1) ilmu-ilmu jelas dan terang atau “sisi luar” (‘ilm z}a>hir
bayyin jali>/obvious science) yang dapat dipahami oleh kalangan umum seperti
‘ilm al-qira>’ah (tata cara membaca al-Qur’an), al-riwa>yah wa-al-akhba>r (ilmu
transmisi hadits), dan sebagainya. 2) Ilmu-ilmu “sisi dalam” yang samar dan tak
tampak (‘ilm ba>t}in maknu>n khafi>/secret science), yang hanya dapat dipahami
oleh para kekasih (wali>) Allah yang selalu memikirkan rahasia-rahasia agama
(asra>r al-di>n). 3) Ilmu pertengahan antara kedua ilmu sebelumnya (mutawassit}
bayna al-awwal wa-al-tha>ni>), yaitu ilmu yang dapat dipahami oleh semua
kalangan seperti, Fiqh, ilmu-ilmu tafsir, dan lainnya. 4) Ilmu yang dapat
dipahami jika telah menguasai ilmu “sisi dalam” (ma> yufham idha> fuhimat al-
tha>ni>), yang secara eksplisit dimaknai sebagai ilmu yang mengantarkan kepada
hakikat-hakikat dari konsepsi al-ism al-a‘z}am (nama keagungan [Tuhan]), dan
hanya dapat dicapai oleh orang yang telah sampai pada tingkatan gnostik murni
(al-‘a>rifi>n). Terakhir, 5) adalah ilmunya al-muh}aqqiq, yaitu ilmu yang mampu
meleburkan logika kemajemukan realitas, ilmu yang membawa pencarinya
kepada sebuah “penglihatan” hanya ke wajah Tuhan.168
Jika dibandingkan dengan klasifikasi dari cendikiawan lain, klasifikasi
Ibn Sab‘i>n atas ilmu-ilmu syari’ah ini boleh dikatakan terdapat banyak
kesamaan secara substansial. Dengan klasifikasi al-Ghaza>li> misalnya (lihat
gambar 7),169 hampir semua ilmu yang masuk dalam kelompok ilmu syari’ah
dalam klasifikasi Ibn Sab‘i>n masuk pula dalam klasifikasi al-Ghaza>li>. Bedanya
hanya pada tataran teknis saja, jika Ibn Sab‘i>n membagi ilmu syari’ah secara
langsung, maka al-Ghaza>li> terlebih dahulu mengelompokkan rumpun ilmu ini
kepada empat bagian: al-us}u>l (ilmu-ilmu prinsip), al-furu>’ (cabang), al-
muqaddima>t (pengantar) dan al-mutammima>t (pelengkap).
Pengakuan Ibn Sab‘i>n terhadap ilmu-ilmu syari’ah dengan memuatnya
ke dalam konstruk klasifikasi ilmu, tentu didasarkan pada pandangan bahwa,
rumpun ilmu ini merupakan manifestasi ilmiah dari salah satu sumber utama
ilmu, yaitu al-Qur’an dan Sunnah, baik tekstual dengan jalan transmisi
keilmuan, maupun kontekstual dengan jalan ijtihad. Artinya, pandangan tersebut
menjadi basis yang kuat bagi kelompok ilmu ini. Bahkan, secara aksiologis, ia
mengatakan bahwa ilmu-ilmu agama adalah “penyelamat” di hari akhir (al-
mukhlis}ah li-yawm al-di>n).170 Yang menarik adalah, apresiasinya terhadap ilmu-
ilmu syari’ah ini, tentu saja semakin memperkuat asumsi bahwa ia tidak seperti
apa yang dituduhkan para penentangnya seperti Ibn Taymi>yah (661–728

167
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 121.
168
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 172-3.
169
Lihat lengkapnya al-Ghaza>li>, Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n juz I, 17.
170
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 173.
142

H./1263–1328 H.)171 dan al-Suku>ni> (w. 716 H./1316 M.),172 yang mengklaim
bahwa Ibn Sab‘i>n menolak syari’at.
Kedua, ilmu-ilmu adab (al-‘ulu>m al-adabi>yah), rumpun ilmu dengan
penamaan yang “khas” dalam klasifikasi ilmu Ibn Sab‘i>n. Menurutnya, yang
termasuk ke dalam rumpun ilmu ini sangatlah banyak. Diasumsikan bahwa,
bidang-bidang ilmu yang masuk dalam rumpun ini adalah segala ilmu yang
berkaitan dengan seluruh perbuatan manusia dalam menciptakan “peradaban”.
Di sini, ia menyebutkan beberapa saja cabang ilmu yang masuk dalam bagian
ini, antara lain, ilmu administrasi (‘ilm al-kita>bah), linguistik (‘ilm al-lughah),
mekanika (al-h}iyal), sastra (‘ilm al-shi‘r wa-al-‘aru>d{ wa-al-rajaz), ilmu tentang
ramalan berdasarkan suatu peristiwa/fa’al (al-fa’l), sejarah (al-tawa>rikh), juga
klenik (al-sih}r).173
Dibanding dengan klasifikasi cendikiwan lain, dalam rumpun ilmu adab
ini, terdapat perbedaan yang cukup signifikan. Dengan klasifikasi al-Fa>ra>bi>174
dan Qut}b al-Di>n175 misalnya, ilmu-ilmu yang masuk dalam kelompok ilmu adab
pada klasifikasi Ibn Sab‘i>n justru umumnya masuk dalam kelompok ilmu
filosofis dan ilmu religius. Penulis mengasumsikan, pengelompokan ilmu-ilmu
tersebut ke dalam ilmu adab didasarkan atas pandangannya bahwa manusia
sebagai makhluk paling sempurna di antara makhluk lainnya, memiliki kehendak
serta potensi-potensi dan daya-daya kreatif (s}ana>‘i>yah) untuk mencipta.
Kehendak, potensi dan segenap daya tersebut tentu dapat diaktualisasikan baik
secara ontologis maupun sosiologis demi tercapainya sebuah peradaban, guna
meraih kemakmuran setinggi-tingginya dalam kehidupan. Hal ini ditambah pula
dengan kenyataan historis bahwa Ibn Sab‘i>n sangat serius mendalami ilmu
nama-nama dan huruf yang dapat dipastikan masuk ke dalam rumpun ilmu-ilmu
adab, bahkan tak sedikit karyanya yang khusus mengkaji ilmu tersebut.176
Kecenderungan ini tampaknya cukup menjadi alasan dan basis bagi
pengelompokan ilmu-ilmu di atas ke dalam ilmu adab.
Ketiga, ilmu-ilmu filsafat (al-‘ulu>m al-falsafi>yah). Dibanding dengan
penjabaran dua rumpun ilmu sebelumnya, pada rumpun ilmu ini, tampak sekali
Ibn Sab‘i>n memberikan penjabaran yang lebih terperinci. Pada bagian ini pula,
secara eksplisit, terdapat hierarki dalam bidang-bidang ilmu yang didasarkan

171
Lihat misalnya Ibn Taymi>yah, al-Furqa>n bayna al-H{aqq wa-al-Ba>t}il tah}qi>q
H{usayn Yu>suf Ghaza>l (Beirut: Da>r Ih}ya>’al-‘Ulu>m, 1987), 96. Juga dalam karyanya yang
khusus, Bughyat al-Murta>d ‘ala> al-Mutafalsifah wa-al-Qara>mit}ah wa-al-Ba>t}inah tah}qi>q
Mu>sa> ibn Sulayma>n al-Duways (Madinah: Maktabat al-‘Ulu>m wa-al-H{ikam, 2001).
172
Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 47 dan 150. Lihat juga Sharaf,
Falsafat al-Tas}awwuf al-Sab‘i>ni>, 40.
173
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 121-2.
174
Tentang klasifikasi ilmu al-Fa>ra>bi>, lihat karyanya Ih}s}a>’ al-‘Ulu>m, ed. ‘Ali>
Bu> Mulh}im (Beirut: Da>r wa-Maktabat al-Hila>l, 1996), 17-90.
175
Mengenai klasifikasi Qut}b al-Di>n, lihat Bakar, Classification, 249-257.
176
Lihat Taqy al-Di>n Muh}ammad ibn Ah}mad al-H{asani> al-Fa>si>, al-‘Iqd al-
Thami>n fi> Ta>ri>kh al-Balad al-Ami>n jilid 5, tah}qi>q Fu’a>d Sayyid (Beirut: Mu’assasat al-
Risa>lah, 1985), 327. Juga al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 142.
143

pada tingkatan ontologis objeknya, meski secara tekstual hierarki tersebut hanya
ada dalam kelompok ilmu filosofis-teoritis.177 Rumpun ilmu ini dibaginya
menjadi ke dalam dua kategori besar, yaitu teoritis (al-‘ilmi>) dan praktis (al-
‘amali>).
Bagian teoritis, ia klasifikasikan ke dalam tiga bagian, yaitu: 1) ilmu-
ilmu fisika (‘ilm al-t}abi>‘i> wa-‘ilm dhawa>t al-‘ans}ir). Secara hierarkis, bagian
ilmu ini disebut sebagai ‘ilm al-asfal, atau ilmu-ilmu yang berada di dasar
hierarki (lower science). Dikatakan demikian tentu merujuk pada pandangannya
tentang hierarki wujud dan status ontologis wujud-wujud fisik yang menjadi
objek dari kelompok ini sebagaimana telah diuraikan di atas. Bagian ini pun
terbagi lagi menjadi tiga kelompok ilmu, a) prinsip-prinsip fisika (al-‘ilm bi-al-
us}u>l) yang meliputi tiga disiplin ilmu: astronomi (‘ilm al-falak wa-al-kawa>kib),
ilmu tentang benda-benda langit/meteorologi (al-‘ilm bi-al-atha>r al-‘alawi>yah
al-ka>’inah fi> al-jaww), dan ilmu tentang benda-benda bumi/geofisika (al-‘ilm bi-
al-atha>r al-‘alawi>yah al-ka>’inah fi> al-ard}).178 b) ilmu tentang hewan -termasuk
manusia- (al-‘ilm bi-al-h}ayawa>n), yang meliputi dua bagian besar yaitu, ‘ilm bi
‘ilal al-h}ayawa>n wa-a‘d}a>’iha> wa-mana>fi‘iha (kedokteran dan anatomi), dan al-
’ilm bi-mana>fi‘ihi wa-t}aba>’i‘ihi (biologi dan zoologi). c) ilmu tentang
tumbuhan/botani (al-‘ilm bi-al-naba>t).179
Selanjutnya, 2) matematika (‘ilm al-riya>d}i>ya>t wa-‘ilm laysa bi-dhi> ‘ans}ir
mawju>d fi> ‘ans}ir). Secara hierarkis dengan melihat objeknya, kelompok ilmu ini
menempati urutan di atas ilmu fisika, Ibn Sab‘i>n menyebutnya sebagai ‘ilm al-
awsat} (ilmu pertengahan/intermediate science).180 Tentu saja seperti halnya ilmu
fisika, penyebutan ini juga didasarkan atas pandangannya terhadap kedudukan
objek matematika yang menengahi fisika dan metafisika, yang dalam hierarki
wujud menemukan tempatnya dalam konsepsi Jiwa dan Akal Universal.
Keduanya merupakan entitas yang sejatinya bersifat imateriil, namun
berhubungan langsung dengan wujud materiil di bawahnya. Ada empat bidang
ilmu yang termasuk ke dalam kelompok ilmu ini, yaitu a) ilmu hitung/aritmatika
(‘ilm al-‘adad), b) ilmu ukur/geometri (‘ilm al-hindasah), c) astrologi (‘ilm al-
tanji>m), dan d) musikologi (‘ilm ta’li>f al-luh}u>n).181
Terakhir, yang termasuk ke dalam rumpun ilmu-ilmu filosofis-teoritis
adalah 3) metafisika (‘ilm ma> ba‘d al-t}abi>‘ah), nama lainnya adalah teologi (‘ilm
al-ila>hi>). Dalam rangkaian hierarkis, ilmu ini tentu berada di puncak hierarki dan
merupakan ilmu tertinggi (‘ilm al-a‘la>/supreme science). Sebutan ini pun tentu
berdasarkan pandangannya terhadap kedudukan objek ilmu ini yaitu Tuhan

177
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 121.
178
Dalam tradisi ilmiah Islam, ilmu ini juga disebut ‘Anwa>‘, sebagai implikasi
ilmiah dari konsep mana>zil al-qamar, yaitu ilmu tentang alam bawah bulan (sublunar).
Lihat Daniel Martin Varisco, “The Origin of the Anwa>‘ in Arab Tradition,” Studia
Islamica No. 74 (1991), 5-28. http://www.jstor.org/stable/1595894 (diakses pada 15
Oktober 2014).
179
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 121-2.
180
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 121.
181
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 122.
144

sebagai realitas tertinggi, sekaligus sebagai wujud yang satu.182 Menurutnya,


ilmu tertinggi ini terbagi menjadi dua bagian: ilmu yang khusus membahas
tentang ke-Esa-an Allah (‘ilm bi-wahda>niyatilla>h) dan ilmu yang menjelaskan
tentang sifat-sifat Allah (‘ilm bi-al-ashya>’ allati> yu>s}afallah biha>).
Selanjutnya, bagian kedua dari ilmu filosofis adalah kelompok ilmu-
ilmu praksis (al-‘amali>). Pada bagian ini, secara garis besar Ibn Sab‘i>n
mengelompokannya kepada tiga bagian. Pertama, etika praksis, atau ilmu yang
membahas tentang rekayasa individual (siya>sat al-dha>t) yang ia bagi menjadi
tiga cabang, yaitu ilmu tentang: 1) bagaimana memperbaiki keinginan/nafsu
dengan mengubahnya menjadi potensi emosional (is}la>h} al-quwwah al-
shahwa>ti>yah wa-khud}u>‘uha> li-al-quwwah al-ghad}bi>yah), 2) bagaimana
memperbaiki potensi emosional tersebut dengan mengubahnya menjadi potensi
intelektual (is}la>h} al-quwwah al-ghad}bi>yah wa-khud}u>‘uha> li-al-quwwah al-
tamyi>zi>yah), dan 3) bagaimana menjaga potensi intelektual tersebut agar dapat
mendorong kepada perilaku-perilaku yang baik (h}ifz} al-quwwah al-tamyi>zi>yah
wa-tah}ri>kuha> bi-al-adab ‘alá al-tarti>b al-ladhi> yanbaghi>). Kedua, ekonomi
(siya>sat al-manzil), dan ketiga politik (siya>sat al-madi>nah).183

182
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 133.
183
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 122.
145

Gambar 11:
Klasifikasi Ibn Sab‘i>n
146

Pembagian ilmu filosofis-praksis kepada tiga bagian di atas memang


tampak sederhana. Meski demikian, pembagian itu tentu didasari asumsi bahwa
ketiga bidang tersebut merupakan pengejawantahan atas pandangan bahwa
manusia harus mengedepankan etika dan moralitas bagi dirinya sendiri secara
individual, maupun secara sosiologis sebagai anggota dari keluarga dan sebagai
warga negara. Tak heran jika etika, baik secara teoritis maupun metafisis
menjadi satu pembahasan serius dalam karya-karya Ibn Sab‘i>n. Ketiga bagian
ilmu filosofis-praksis ini, sejatinya merupakan representasi dari segenap etika
praksis. Artinya, inti dari etika praksis yang berkaitan dengan perilaku manusia,
secara etik, akan kembali kepada tiga bagian ilmu filosofis-praksis tersebut.
Melihat konstruk klasifikasi ilmu Ibn Sab‘i>n secara tekstual, tampak
sekali bagaimana ia lebih serius dalam mengelaborasi ilmu-ilmu filosofis. Fakta
ini tentu saja semakin memperkuat pandangan sebagian para peneliti biografis,
bahwa Ibn Sab‘i>n adalah seorang filosof, atau setidaknya seorang sufi yang
serius dalam mendalami tradisi filsafat.184 Selain itu, dalam rumpun ilmu
filosofis pula, hierarki ilmu yang berkesinambungan dapat ditemukan. Seperti
halnya klasifikasi ilmu secara hierarkis yang disusun al-Fa>ra>bi> dan al-Amuli> (w.
753 H./1352 M.),185 hierarki ilmu dalam pandangan Ibn Sab‘i>n juga didasarkan
atas derajat dan kedudukan hierarkis wujud-wujud yang menjadi objek ilmunya
seperti yang telah dibahas dalam sub bab sebelumnya. Ilmu tentang Tuhan
merupakan ilmu tertinggi karena mengkaji objek paling mulia, di bawahnya,
yang menempati posisi pertengahan, ada matematika yang mengkaji wujud-
wujud imateriil namun berhubungan dengan wujud fisik, sedangkan fisika
merupakan lower science dengan wujud-wujud fisik sebagai objeknya, yang
dalam skema hierarki wujud berada di dasar hierarki.

D. Hierarki Ilmu dalam Bingkai Kesatuan Mutlak: Sebuah Refleksi atas


Integrasi Keilmuan
Tampaknya sangat beralasan jika dikatakan bahwa, sudah menjadi fakta
ilmiah, setiap disiplin ilmu yang dihasilkan oleh sebuah sistem epistemologi,
tidak akan mencapai status ilmiah yang sah kecuali status ontologis objeknya
jelas, diakui dan legitimate.186 Ini berarti, pada konteks klasifikasi ilmu dalam
Islam, setiap konstruk klasifikasi yang disusun, akan sangat bergantung pada

184
Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa Falsafatuhu, 67.
185
Tentang klasifikasi al-Amuli>, lihat Sayyed Hossein Nasr, Islamic Science:
An Illustrated Study (London: World of Islam Festival Publishing Company ltd., 1976),
15.
186
Dagobert D. Runes, Dictionary of Philosophy (New Jersey: Little Field
Adams & CO. 1963), 49. Juga Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, 42. Lihat juga
D.W. Hamlyn, “History of Epistemology,” dalamThe Encyclopedia of Philosophy vol. 3,
ed. Paul Edwards (New York: Macmillan, 1967), 8-9. Lihat juga misalnya Gholamreza
Fadaie, “The Influence of Classification on Worldview and Epistemology,” Proceedings
of the Informing Science & IT Education Conference (2008), http://proceedings.
informingscience.org/InSITE2008/InSITE08p001-013Fadaie410.pdf (diakses pada 23
Agustus 2013).
147

gagasan-gagasan filosofis umum yang terdapat dalam setiap madzhab


intelektual Islam, dan pada gagasan filosofis khusus yang terdapat dalam
“pandangan dunia” intelektual-religius penciptanya.187 Seorang cendikiawan
Muslim tentu tidak mungkin menciptakan gagasan klasifikasi ilmu dengan
mengabaikan konstruk pemikiran filosofis dirinya dan kelompok intelektualnya.
Seorang filosof yang memiliki kecenderungan kuat terhadap rasio, dapat
dipastikan akan lebih serius mengelaborasi ilmu-ilmu filosofis, atau seorang
sejarawan misalnya, tentu akan lebih mencurahkan perhatiannya dalam
mendeskripsikan bidang ilmu apa saja yang pernah berkembang dalam
perspektif historis, dan begitu seterusnya.
Dalam ranah ini, Ibn Sab‘i>n juga turut mencurahkan pemikirannya
dengan menyusun klasifikasi terhadap ilmu-ilmu yang berkembang pada
masanya. Terlepas dari berbagai kecenderungan ilmiah, perbedaan dan
persamaan dengan pandangan cendikiawan lain, pemikirannya tentang hierarki
ilmu yang ia tuangkan dalam karyanya, tentu menjadi sebuah tanggung jawab
intelektual baginya untuk menjaga dan melestarikan sebuah tradisi ilmiah.
Sebagai seorang teosof (filosof-sufi) kenamaan188 seperti halnya
Suhrawardi al-Maqtu>l (549-587 H./1154-1191 M.),189 Ibn Sab‘i>n telah berhasil
menyusun salah satu sintesis besar antara doktrin Sufi dan filsafat dalam sejarah
pemikiran Islam. Inilah yang menjadi alasan Nasr mengatakan bahwa pada diri
Ibn Sab‘i>nlah tampak gambaran hubungan erat antara tasawuf dan filsafat yang
paling jelas.190 Jika para Sufi dalam menegaskan pemikirannya tidak
menggunakan logika formal Aristotelian, atau para teolog (mutakallimu>n), para
filsuf Islam (fala>sifah), termasuk juga fuqaha>’ yang menggunakan pendekatan
filsafat dan dilektika bahasa, para teosof justru tidak hanya menggunakan
metode teoritis dan pendekatan filosofis an sich, melainkan juga diakhiri dengan
menggunakan pendekatan intuisi dan kashf (penyingkapan).
Sistem pikir yang demikian, pada gilirannya mengantarkan Ibn Sab‘i>n
kepada sikap kritis-konstrukstif terhadap logika Aristotelian dengan
menawarkan sistem epistemologi yang ia sebut ‘ilm al-tah}qi>q dan logika al-
muh}aqqiq, yakni logika yang bersifat gnostik-intuitif.191 Logika yang tidak
berpijak pada penalaran rasio, seperti induksi dan deduksi, akan tetapi berpijak

187
Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 3.
188
Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu, 67 dan 296. Lihat juga Ibn Zaru>q,
Qawa>‘id al-Tas}awwuf, 61.
189
Tentang pemikiran teosofis Suhrawardi, lihat lengkapnya Aminrazavi,
Suhrawardi and the School of Illumination. Juga Ziai, Knowledge and Illumination.
190
Sayyed Hossein Nasr, “Tradisi Mistik: Sebuah Pengantar,” dalam
Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam Buku Pertama, ed. Sayyed Hossein Nasr dan Oliver
Leaman, terj. Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan, 2003), 462.
191
Tentang hal ini lihat misalnya Yousef Alexander Casewit, “The Objective of
Metaphysics in Ibn Sab‘i>n’s Answers to the Sicilian Questions”, http://www.
allamaiqbal.com/publications/journals/review/apr08/7.htm (diakses pada 29 April 2014).
148

pada nilai-nilai ketuhanan, yang dengan logika ini manusia bisa melihat sesuatu
yang tidak terlihat dan bisa mengetahui sesuatu yang tidak bisa diketahui.192
Dari sini, apalagi melihat karya monumentalnya Budd al-‘A<rif, Ibn
Sab‘i>n terlihat menggunakan logika sebagai alat untuk mencapai tingkatan
spritual setinggi-tingginya. Meski ia lebih banyak menggunakan logika
dibanding para mistikus lainnya, ia tidak lekas menjadi seorang rasionalis dalam
pengertian modern. Baginya, logika sejatinya adalah daya intuitif demi
mencapai transendensi. Tampaknya, hal inilah yang menurut al-Tafta>za>ni>
menjadi ciri khas dari filsafat tasawuf-nya Ibn Sab‘i>n, yang karena itu ia
dikategorikan sebagai seorang teosof,193 juga Ah}mad Zaru>q yang menyatakan
bahwa tasawuf Ibn Sab‘i>n didirikan di atas pondasi logika.194
Secara filosofis, konstruk epistemologi Ibn Sab‘i>n seperti demikian
tentu dibangun dari sebuah pandangan ontologis tertentu yang
mengantarkannya kepada sebuah sintesis keilmuan besar di zamannya. Ya, al-
Wah}dah al-Mut}laqah (Kesatuan Mutlak/absolute unity), pandangan ontologis
yang seolah menjadi grand design dan “penentu arah” bagi segenap pemikiran
filosofisnya. Doktrin ini tidak hanya merambah pada tataran epistemologis dan
kosmologis, bahkan etika sekali pun tak luput dari design doktrin ini. Tak pelak
lagi, pandangan ontologis ini pula yang menjadikan ia dikenal di dunia Islam,
bahkan Barat, meski pada kenyataannya, doktrin yang ia bangun ini banyak
menuai kritik dari para penentangnya.
Seperti yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya, landasan berpikir
Ibn Sab‘i>n dalam menegaskan konsep Kesatuan Mutlak ini sebenarnya cukup
sederhana. Bahwa, wujud adalah satu, hanya wujud Allah saja. Sementara wujud
segala mawju>d adalah entitas wujud yang satu itu, tidak ada tambahan apa pun,
dan wujud ini merupakan premis yang satu dan tetap.195 Baginya, hanya ada satu
wujud yang benar-benar ada, yaitu Wujud Mutlak, sedangkan yang selainnya
adalah wahm (ilusi). Wujud yang banyak, yang terdeteksi oleh indra, bukanlah
wujud hakiki. Wujud hakiki hanya satu. Yang satu itu pun senantiasa ada dan
tidak pernah tidak ada.196 Artinya, sesuatu yang pernah tidak ada atau memiliki
akhir keberadaannya, sebenarnya bukanlah suatu yang dapat disebut Wujud,
karena keberadaannya bersandar kepada wujud lain. Sesuatu yang
keberadaannya tergantung kepada wujud lain tidak dapat disebut Wujud. Begitu

192
Ibn Sab‘i>n, Budd al-‘A<rif, 42. Dalam konteks epistemologi Islam,
pengetahuan seperti ini dinamakan ‘ilm h}ud}u>ri>, yaitu di mana subjek ilmu yang
mengetahui dapat langsung menembus ke dalam objek ilmu yang diketahui tanpa
terhalang oleh bahasa yang sangat spasial. Lihat Yazdi, The Principles, 27-8.
193
Al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu, 296.
194
Ibn Zaru>q al-Fa>si>, Qawa>‘id al-Tas}awwuf, 61.
195
Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Alwa>h{“, dalam Ah{mad Fari>d al-Mazi>di>
(ed./muh}aqqiq), Rasa>’il Ibn Sab‘i>n (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007) 252 dan
257.
196
Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Alwa>h{“ dalam al-Mazi>di>, 252. Juga dalam karyanya,
Risa>lat al-Tawajjuh, dalam al-Mazi>di> (ed./muh}aqqiq), Rasa>’il Ibn Sab‘i>n (Beirut: Da>r al-
Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007), 340. Lihat juga Sharaf, Al-Wah}dah al-Mut}laqah, 112.
149

pula sesuatu yang wujudnya berakhir, tidak dapat disebut Wujud. Semua itu
hanyalah awha>m (ilusi-ilusi) belaka yang pada suatu waktu muncul, lalu
kemudian menghilang.
Lebih dari itu, dan ini yang menarik, baginya, segala sesuatu yang
terpikirkan dan terasa adalah ilusi, atau, di tempat lain ia sebut sebagai mara>tib
(kategori-kategori atau gradasi-gradasi konseptual) yang menjelma dalam
pikiran dan perasaan. Ilusi sama sekali tidak memiliki esensi.197 Karenanya,
segala yang muncul dalam pikiran dan perasaan bukanlah sesuatu yang memiliki
esensi.198 Itu artinya, konsep tentang sesuatu tidak lain adalah persepsi pikiran
dan perasaan tentang sesuatu itu, dan tidak memiliki esensi, karena hanya
sebuah ilusi. Bahkan, akal dan perasaan itu sendiri pun adalah ilusi. Berarti,
segala sesuatu yang muncul dari ilusi adalah ilusi pula. Tetapi, Wujud bukanlah
ilusi, ia adalah Kebenaran Mutlak, dan ia hanya satu, Wujud Allah. Dengan kata
lain, entitas wujud selain-Nya merupakan wujud metaforis (i’tiba>ri>), wujud
selain-Nya hanya ada dalam ranah terminologi/kesusasteraan saja.199
Dari pandangan ini tampak sekali bahwa dengan al-Wah}dah al-
Mut}laqah-nya, Ibn Sab‘i>n menempatkan ketuhanan pada wilayah yang absolut.
Dalam arti, ia ingin menempatkan Tuhan sebagai Kemahaesaan Mutlak yang
tidak dapat ditandingi oleh apa pun dan siapa pun. Sebab, Wujud Allah,
menurutnya adalah sumber bagi entitas yang ada dan entitas yang akan ada.
Allah adalah sumber bagi semua entitas yang ada pada masa lalu, masa kini dan
masa yang akan datang. Wujud materi yang tampak, harus dikembalikan kepada
Wujud Mutlak yang bersifat ru>h}i> (spiritual). Dengan demikian, dalam
menafsirkan wujud, paham ini bercorak spiritual, bukan material.
Dalam konteks ini, klasifikasi hierarkis yang ia susun terhadap wujud
dan ilmu, tentu dimaknai sebagai sebuah konsep besar. Sebagai sebuah konsep
yang muncul dan dipersepsi oleh nalar, hierarki ilmu yang disusunnya ini mesti
didasarkan pada pandangan Kesatuan Mutlak-nya. Dari pandangan ini,
gagasannya tentang hierarki ilmu, jika dihubungkan dengan pandangan
ontologis Kesatuan Mutlak-nya, mengindikasikan sebuah hierarki ilmu yang
berakar pada status ontologis objek ilmu yang integral dan holistik dalam
bingkai wujud yang satu, yakni wujud Tuhan. Artinya, tidak ada perbedaan dan
pemisahan antara objek-objek ilmu, apalagi pertentangan. Dengan kata lain,
tidak berlebihan jika dikatakan bahwa konsep Kesatuan Mutlak yang menjadi
basis ontologis klasifikasi ilmu, merupakan pijakan filosofis yang kuat bagi
gagasan integrasi keilmuan dan diharapkan dapat menjadi alternatif bagi pijakan

197
Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat al-Alwa>h{“, 252.
198
Ibn Sab‘i>n menandaskan “Anna-al-h}aqq an yunsab kullu ma> udrika min-al-
ah}ka>m hissan aw ‘aqlan ilá al-tha>bit la> ilá al-za>’il, li’anna nisbatahu ilá al-tha>bit haqq,
wa-nisbatuhu ilá al-murattabah al-za>’ilah wahm, fa-thabata anna-al-h}aqq huwa al-
wuju>d, wa-al-wahm hiya al-mara>tib al-za’ilah wa-al-ba>t}ilah”. Lihat Ibn Sab‘i>n, “Risa>lat
al-Alwa>h{“, 252.
199
Ibn Sab‘i>n, “al-Risa>lah al-Faqi>ri>yah”, dalam al-Mazi>di>, 61. Juga “al-Risa>lah
al-Rid}wa>ni>yah”, dalam al-Mazi>di>, 412. Lihat juga al-Tafta>za>ni>, Ibn Sab‘i>n wa
Falsafatuhu, 211-215.
150

dan perspektif baru dalam membangun kajian filsafat pengetahuan Islam, dan -
secara praksis- terutama dalam rangka membentengi epistemologi Islam yang
integral dari derasnya dominasi epistemologi Barat yang dikotomik,200 seperti
yang terlihat jelas dalam sistem pendidikan di Dunia Islam pada khususnya.
Secara konseptual, pandangan tersebut akan melahirkan klasifikasi atau
hierarki ilmu yang sejatinya bersifat “metaforis”, namun memiliki konstruk
yang holistik. Karenanya, hierarki ilmu dengan sifatnya yang metaforis tersebut,
penulis istilahkan sebagai “pseudo-hierarki ilmu”. Istilah ini -secara
konvensional- dimaknai sebagai istilah yang menunjukkan bahwa, hierarki ilmu
yang digagas Ibn Sab‘i>n dengan melihat pandangan ontologisnya hanyalah
hierarki “semu”, yang pada hakikatnya justru ilmu-ilmu yang ada dalam hierarki
tersebut berintegrasi secara eksistensial.

200
Nasr, Islamic Science, 13. Lihat juga Azyumardi Azra, Pendidikan Islam:
Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999),
44-45. Juga Bagheri and Zohreh Khosravi, “The Islamic Concept of Education
Reconsidered,” The American Journal of Islamic Social Sciences Vol. 23 No. 4 (2005)
88-103. http://academia.edu/609872/The_Islamic_Concept_of_Education_Reconsidered
(diakses pada 17 Januari 2014. Juga Hasanuddin, “Dominasi Peradaban Barat dalam
Pendidikan Islam,” Lentera Pendidikan vol. 11 nomor 2 (Desember, 2008), 258-269.
151

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah mengurai dan mengkaji gagasan filosofis dari klasifikasi ilmu
hierarkis yang disusun Ibn Sab‘i>n, dapat dikonstruksi beberapa kesimpulan
sebagai temuan dalam studi ini, dua kesimpulan awal merupakan temuan
proposisional sebagai konstruksi bagi kesimpulan ketiga yang merupakan
temuan afirmatif sesuai dengan rumusan masalah, yaitu:
Pertama, telah menjadi fakta ilmiah yang tidak bisa dinafikan bahwa,
secara historis, hampir semua spektrum pemikiran Islam klasik yang diwakili
oleh para sarjananya, mencurahkan perhatian besar terhadap wacana klasifikasi
atau hierarki ilmu (aqsa>m al-‘ulu>m). Sangat beralasan jika dikatakan bahwa
pemahaman tentang klasifikasi ilmu merupakan kunci utama untuk memahami
tradisi intelektual Islam. Selain merupakan manifestasi dari keutuhan pandangan
integral-holistik para sarjana Muslim, klasifikasi ilmu juga merupakan bentuk
tanggung jawab epistemologis-etis demi menjaga keharmonisan,
proporsionalitas, dan keseimbangan berbagai disiplin ilmu. Dalam konteks ini,
Ibn Sab‘i>n sebagai lokus pemikiran, juga turut menyumbangkan pemikirannya
dengan menyusun gagasan tentang klasifikasi ilmu hierarkis yang ia tuangkan
dalam Budd al-A<rif, karya monumentalnya. Secara deskriptif, ia membagi ilmu
ke dalam tiga kategori besar yaitu: rumpun ilmu-ilmu agama (al-‘ulu>m al-
shar‘i>yah); ilmu-ilmu adab (al-‘ulu>m al-adabi>yah); dan ilmu-ilmu filosofis (al-
‘ulu>m al-falsafi>yah).
Kedua, setiap konstruk klasifikasi ilmu yang disusun, akan sangat
bergantung pada gagasan-gagasan filosofis umum yang terdapat dalam setiap
madzhab intelektual, dan pada gagasan filosofis khusus dalam “pandangan
dunia” intelektual-religius penciptanya. Sebagai seorang teosof (filosof-sufi),
Ibn Sab‘i>n telah berhasil menyusun salah satu sintesis besar antara doktrin Sufi
dan filsafat dalam sejarah pemikiran Islam. Secara filosofis, konstruk
epistemologis tersebut dibangun dari sebuah pandangan ontologis tertentu, yaitu
pandangan Kesatuan Mutlak/absolute unity (al-Wah}dah al-Mut}laqah). Landasan
berpikir Kesatuan Mutlak ini ialah bahwa, wujud adalah satu, hanya wujud
Allah saja. Sementara wujud segala mawju>d adalah entitas wujud yang satu itu,
tidak ada tambahan apa pun, dan wujud ini merupakan premis yang satu dan
tetap. Bagi Ibn Sab‘i>n, hanya Wujud Mutlak yang benar-benar ada. Sedangkan
selain-Nya adalah wahm (ilusi). Wujud yang banyak, yang dipersepsikan oleh
pikiran dan terdeteksi oleh indra, bukanlah wujud hakiki. Wujud hakiki hanya
satu dan senantiasa “ada”. Pandangan inilah yang menjadi “penentu arah” bagi
segenap pemikiran filosofisnya, tak terkecuali pemikirannya tentang hierarki
ilmu.
Ketiga, sebagai sebuah konsep yang dipersepsikan nalar, klasifikasi ilmu
hierarkis yang ia susun tentu didasarkan atas pandangan Kesatuan Mutlak-nya.
152

secara epistemologis, pandangan ini mengindikasikan sebuah hierarki ilmu yang


berakar pada status ontologis objek ilmu yang integral dan holistik dalam
bingkai wujud yang satu, yakni wujud Tuhan. Tidak ada perbedaan, pemisahan
atau pertentangan di antara objek-objek ilmu, karena semuanya merupakan ayat-
Nya. Dapat dikatakan, pencarian dan pendalaman terhadap berbagai ilmu
pengetahuan merupakan proses menapaki jalan untuk mencapai wujud-Nya yang
satu. Penulis ingin mengatakan bahwa, konsep Kesatuan Mutlak yang menjadi
basis ontologis klasifikasi ilmu, merupakan pijakan filosofis yang legitimate
bagi gagasan integrasi keilmuan. Pandangan tersebut tentu akan melahirkan
klasifikasi atau hierarki ilmu yang sejatinya bersifat metaforis. Hierarki ilmu
seperti demikian, penulis istilahkan dengan “pseudo-hierarki ilmu”, yaitu istilah
yang -secara konvensional- menunjukkan sebuah hierarki “semu”, yang sejatinya
justru ilmu-ilmu dalam hierarki tersebut berintegrasi secara eksistensial.
Atas dasar beberapa temuan kajian sebagaimana kesimpulan di atas,
dapat dikonstruksi kesimpulan umum studi ini, bahwa “semakin inklusif
konsepsi wujud (ontologis), maka semakin integral berbagai ilmu pengetahuan
(epistemologis)”. Kesimpulan umum tersebut mengindikasikan sebuah
pandangan bahwa untuk mencapai konstruksi integrasi keilmuan yang valid,
tentu yang paling pertama harus direfleksikan adalah rangka bangun filosofis
dari sebuah tradisi keilmuan, baik tradisi keilmuan yang menjadi “nilai ideal”,
maupun sistem keilmuan yang di situ terdapat problem.

B. Saran dan Rekomendasi


Setelah melalui penelusuran atas gagasan klasifikasi ilmu hierarkis Ibn
Sab‘i>n dengan segenap rangka bangun paradigmatiknya, serta dengan
mencermati pokok-pokok kesimpulan di atas, penulis menemukan beberapa hal
penting sebagai implikasi teoritik yang dapat dijadikan rekomendasi:
Pertama, terkait dengan objek studi, kontribusi Ibn Sab‘i>n terhadap
cakrawala pemikiran Islam dan Barat di masanya, tak diragukan lagi.
Pengetahuannya tentang tasawuf, filsafat, teologi dan fiqh yang sangat luas,
didorong oleh sikap ilmiah-akomodatinya dengan berbagai aliran filsafat seperti
Yunani, Persia dan India, di samping juga mendalami pemikiran para filosof
Muslim. Kekhasan dan keutuhan pemikirannya “terurai halus” dalam lembaran
karya-karyanya. Hal ini mengantarkannya kepada popularitas yang tinggi di
masanya, tidak hanya di dunia Islam, bahkan Barat pun mengakuinya, baik
ketika ia masih hidup maupun ketika ia telah wafat. Tetapi, kemasyhuran Ibn
Sab‘i>n di masanya ternyata tidak serta merta membawanya kepada pupularitas
di masa kini seperti filosof atau Sufi lainnya. Sebagian besar peneliti berasumsi
bahwa hal ini dilatari oleh kenyataan bahwa, karya-karyanya yang terkesan sulit
“ditembus” karena ia banyak menggunakan ungkapan-ungkapan simbolis, juga
banyaknya klaim kafir, mulh}id, zindiq, dan klaim negatif lainnya yang
dilayangkan oleh kalangan yang menentangnya, terutama kalangan Fuqaha>’,
teolog dan sejarawan. Tak pelak lagi, dua hal tersebut membuatnya semakin
tenggelam dalam kancah pemikiran di dunia Islam.
153

Dengan asumsi tersebut, penelitian lanjutan terkait Ibn Sab‘i>n sebagai


lokus pemikiran tentu diperlukan. Tidak berlebihan rasanya jika penulis
mengatakan bahwa “mutiara-mutiara” pemikirannya yang kini “berserakan”,
jika terus dikaji secara kontekstual dan proporsional, akan menghasilkan banyak
khazanah pemikiran yang diharapkan dapat menjadi “penawar” bagi
problematika dalam segenap fenomena keberagamaan di Indonesia khususnya.
Sekurang-kurangnya, studi lanjutan tersebut berimplikasi pada pengenalan lebih
baik lagi terhadap rangka bangun pemikiran seorang Ibn Sab‘i>n, khususnya
paradigma pemikiran klasifikasi ilmunya sebagai sebuah sistem pengetahuannya
yang utuh.
Selain itu, dalam konteks kajian tentang klasifikasi ilmu sebagai salah
satu refresentasi dari sebuah sistem epistemologi, penulis merasa
“berkewajiban” untuk mengembangkan kajian dan atau studi atas konsep ini.
Bukan hanya dalam perspektif tradisi intelektual Islam seperti dalam penelitian
ini, tetapi juga secara lebih khusus melacak, menelusuri serta mengelaborasi
bagaimana konsep klasifikasi ilmu ini berkembang di Barat dengan segenap
paradigmanya. Kajian ini sekurang-kurangnya dapat mendeskripsikan,
mengomparasikan, dan mengeksplorasi bagaimana dua konstruk epistemologi,
Barat dan Islam saling “berhadap-hadapan”. Karenanya, tentu saja studi lanjutan
atas konsep klasifikasi ilmu secara umum sangat diperlukan.
Kedua, diakui atau pun tidak, pola pikir dikotomik -bahkan masih
banyak yang cenderung hitam-putih- dalam sistem pendidikan di Indonesia
khususnya, telah menjadi kenyataan yang tidak terbantahkan. Anehnya, pola
pikir ini tidak hanya merambah ke banyak para praktisi pendidikan, bahkan
hingga kalangan grass root yang seolah telah masuk dalam ranah kognitif
mereka. Jika dikatakan bahwa pola pikir dikotomik-paradoksal ini karena
meniru sistem pendidikan Barat, tentu asumsi tersebut tidak sepenuhnya keliru.
Dengan itikad baik, demi “melerai” problem paradigmatik ini, banyak kalangan
khususnya dari dunia akademik yang menyumbangkan pemikirannya demi
tercapainya sebuah paradigma pendidikan yang integratif-holistik. Untuk misi
ini, tentu yang paling pertama harus direfleksikan adalah rangka bangun
filosofis dari sebuah tradisi keilmuan, baik tradisi keilmuan yang ideal, maupun
sistem keilmuan yang di situ terdapat problem.
Dengan menyadari masih banyaknya aspek yang harus diverifikasi
dalam studi ini, dari refleksi atas proposisi-proposisi pokok dalam studi, penulis
hendak mengatakan pandangan rekomendatif kepada pemegang kebijakan,
lembaga-lembaga pendidikan, gerakan-gerakan keagamaan dan para pemuka
agama, bahwa sudah saatnya pandangan hitam-putih, dikotomik dan paradoksal
terhadap keilmuan/filsafat pengetahuan ini didekonstruksi. Artinya, dari
dekonstruksi tersebut, diharapkan akan muncul pola pikir integralistik-holistik
dalam keilmuan sebagai rekonstruksi. Secara khusus, dalam meningkatkan
wawasan ke-Tauhid-an, langkah ini setidaknya dapat mencegah masyarakat dari
keterjebakan dalam pemahaman parsial terhadap masalah-masalah yang
berkaitan dengan filsafat pengetahuan dalam Islam. Semoga...
154
155

DAFTAR PUSTAKA

‘Abd al-Tawwa>b, Ramad}an. Mana>hij Tah}qi>q al-Tura>th bayna al-Qada>má


wa-al-Muh}addithi>n. Kairo: Maktabat al-Kha>naji>, 1985.
Abu> Zayd, Nas}r H{a>mid. Ha>kadha> Takallama Ibn ‘Arabi>. Kairo: al-Hay’ah
al-Mis}ri>yah al-‘A<mah li-al-Kita>b, 2002.
al-A<lu>si>, Khayr al-Di>n. Jila>’ al-‘Aynayn fi> Muh{a>kamat al-Ah{madayn.
Madinah: Mat}ba‘ah al-Madani>, 1981.
Ahmed, Akbar S. Discovering Islam: Making Sense of Muslim History
and Society. New York: Routledge, 2002.
Ajram, K.The Miracle of Islamic Science. Lowa: Cedar Rapids, 1992.
Aminrazavi, Mehdi. Suhrawardi and the School of Illumination.
Richmonde: Curzon, 1997.
al-‘A<miri>, Abu> al-H{asan. Al-I‘la>m bi-Mana>qib al-Isla>m, ed. Ah}mad ‘Abd
al-H{ami>d Ghura>b. Riya>d{: Da>r al-As}a>lah li-al-Thaqa>fah wa-al-
Nashr wa-al-I‘la>m, 1988.
al-Azmeh, A. Ibn Khaldun: An Essay on Interpretation. New York:
Central European University Press, 2003.
Abdullah, Amin. et.al (eds.). Antologi Studi Islam: Teori dan Metodologi,
Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000.
‘Abdulla>h, Wajiyah Ah}mad. Wuju>d ‘inda Ikhwa>n al-S{afa>’. Iskandariyah:
Da>r al-Ma‘rifah al-Jam‘i>yah, 1989.
Alwasilah, A. Chaedar. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung:
Rosdakarya, 2010.
Anees, Munawar Ahmad. “Menghidupkan Kembali Ilmu.” dalam Al-
Hikmah Jurnal Studi-studi Islam no. 3. (1991).
Arifin, M. Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum). Jakarta: Bumi
Aksara, 1991.
Arsyad, Natsir. Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah. Bandung: Mizan,
1989.
Azadpur, Mohammad. Reason Unbound: On Spritual Practice in Islamic
Peripatetic Philosophy. New York: SUNY Press., 2011.
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Badawi>, ‘Abdurrah}ma>n (ed.). Rasa>’il al-Falsafi>yah li-al-Kindi> wa-al-
Fa>ra>bi> wa-Ibn Ba>jah wa-Ibn ‘Adi>. Beirut: Da>r al-Andalus, t.t.
156

Bakar, Osman. Classification of Knowledge in Islam: A Study in Islamic


Philosophies of Science. Cambridge: The Islamic Texts Society,
1998.
__________. “Sains” dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam Buku
Kedua, ed. Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, terj. Tim
Penerjemah Mizan. Bandung: Mizan, 2003.
Bakker, Anton dan Achmad Charris Zubair. Metodologi Penelitian
Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Birx, H. James (ed.). Encyclopedia of Time: Science, Philosophy,
Theology and Culture vol. 1. California: Sage Publications Inc.,
2009.
Blaauw, Martin and Duncant Pritchard. Epistemology A-Z. New York:
Palgrave Macmillan, 2005.
Butt, Nasim. Sains dan Masyarakat Islam. Bandung: Pustaka Hidayah,
1996.
__________. Science and Muslim Society. London: Grey Seal, 1991.
Campanini, Massimo. “Al-Ghaza>li>,” dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat
Islam Buku Pertama, ed. Sayyed Hossein Nasr dan Oliver
Leaman, terj. Tim Penerjemah Mizan. Bandung: Mizan, 2003.
Chittick, William C. “Ibn ‘Arabi” dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat
Islam Buku Pertama, ed. Sayyed Hossein Nasr dan Oliver
Leaman, terj. Tim Penerjemah Mizan. Bandung: Mizan, 2003.
__________. Science of the Cosmos, Science of the Soul: The Pertinence
of Islamic Cosmology in the Modern World. Oxford: Oneworld
Publications, 2007.
__________. “The View from Nowhere: Ibn ‘Arabi> on the Soul’s
Temporal Unfolding” dalam Timing and Temporality in Islamic
Philosophy and Phenomenology of Life Vol. 3, ed. Anna-Teresa
Tymieniecka. Dordrecht: Springer, 2007.
Connolly, Peter (ed.). Aneka Pendekatan studi Agama, Terj. Imam
Khoiri. Yogyakarta: LkiS, 2002.
Corbin, Henry. History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard.
London: Kegan Paul International, 1993.
Cottingham, John. “Descartes” dalam The Cambridge Dictionary of
Philosophy Second Edition, ed. Robert Audi. Cambridge:
Cambridge University Press, 1999.
Craig, Edward (ed.). The Shorter Routledge Encyclopedia of Philosophy.
New York and London: Routledge, 2005.
157

Curley, Edwin. “Descartes” dalam Encyclopedia of Philosophy 2nd


Edition vol. 2, ed. Donal M. Borchert. New York: Thomson Gale,
2006.
al-Dhahabi>, Shams al-Di>n. Ta>ri>kh al-Isla>m wa-Wafaya>t al-Masha>hir wa-
al-A‘la>m jilid 49, tah{qi>q ‘Umar ‘Abd al-Sala>m Tadmuri>. Beirut:
Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, 1999.
Descartes, René. Discourse on Method and Meditations, trans. Elizabeth
S. Haldane and G.R.T. Ross. New York: Dover Publication Inc.,
2003.
Dostal. Robert J. (ed.). Cambridge Companion to Gadamer. Cambridge:
Cambridge University Press, 2002.
Drajat, Amroeni. Suhrawardi: Kritik Falsafah Peripatetik. Yogyakarta:
LKiS, 2005.
Fakhry, Majid. A History of Islamic Philosophy Third Edition. New
York: Columbia University Press, 2004.
al-Fa>ra>bi, Abu> Nas}r. Ara>’ Ahl al-Madi>nah al-Fa>d}ilah, ed. Albi>r Nas}ri>
Na>dir. Beirut: Da>r al-Mashriq, 1968.
__________. Ih}s}a>’ al-‘Ulu>m, ed. ‘Ali> Bu> Mulh}im. Beirut: Da>r wa
Maktabat al-Hila>l, 1996.
al-Faruqi, Isma’il Raji. Al-Tauhid: Its Implication for Thought and Life.
Virginia: The International Institute of Islamic Thought, 1992.
__________ dan Lois L. al-Faruqi. Atlas Budaya Islam, terj. Mohd.
Ridzuan Othman et.al. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
Kementrian Pendidikan Malaysia, 1992.
al-Fa>si>, Taqy al-Di>n Muh}ammad ibn Ah}mad al-H{asani>. Al-‘Iqd al-
Thami>n fi> Ta>ri>kh al-Balad al-Ami>n jilid 5, tah}qi>q Fu’a>d Sayyid.
Beirut: Mu’assasat al-Risa>lah, 1985.
Flint, Robert. Anti-Theistic Theories. Edinburg dan London: William
Lackwood & Sons, 1899.
Foltz, Richard. “Islam” dalam Encyclopedia of Environmental Ethics and
Philosophy vol. 1, ed. J. Baird Callicot and Robert Frodeman.
New York: Gale Cengage Learning, 2009.
Freud, Sigmund. The Future of an Illusion. Trans. from the German and
ed. by James Strachey. New York: W.W. Norton & Company,
1961.
Gadamer, Hans-Georg. Philosophical Hermeneutics, trans. and edit. by
David E. Linge. California: University of California Press., 1976.
__________. Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald D.
Marshall. New York, Sheed and Ward and The Continuum
Publishing Group, 2004.
158

Genequand, Charles. “Metafisika,” dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat


Islam Buku Kedua, ed. Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman,
terj. Tim Penerjemah Mizan. Bandung: Mizan, 2003.
al-Ghabri>ni>, Abu> al-‘Abba>s. ‘Unwa>n al-Dira>yah: Fi>-man ‘Urifa min al-
‘Ulama>’ fi> al-Mi>’ah al-Sa>bi‘ah bi-Baja>yah, tah}qi>q ‘Adil
Nuwayhid{. Beirut: Da>r al-Afa>q al-Jadi>dah, 1979.
al-Ghaza>li>, Abu> H{a>mid. Al-Munqidh min al-D{ala>l, tah}qi>q Ka>mil ‘Iya>d
dan Jami>l S{ali>ban. Beirut: Da>r al-Andalus, 1967.
__________. Al-Mustas}fa> min ‘Ilm al-Us}u>l, tah}qi>q Hamzah ibn Zahi>r.
Madi>nah: al-Ja>mi‘ah al-Isla>mi>yah - Kulli>yat al-Shari>‘ah al-
Madi>nah al-Munawwarah, t.t.
__________. Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, tah}qi>q Badawi> T{aba>nah. Semarang:
T{a>ha> Pu>tra>, t.t.
__________. Jawa>hir al-Qur’a>n. Jimali>yah Mesir: Kurdista>n al-‘Ilmi>yah,
1329 H.
__________. Maqa>s}id al-Falasifah, tah}qi>q Mah}mu>d Bayju>. Damaskus:
Mat}ba‘at al-D{iba>h}, 2000.
__________. Mi>za>n al-‘Amal, tah{qi>q Sulayma>n Dunya>. Kairo: Da>r al-
Ma‘a>rif, 1964.
Gibb, H.A.R. and J.H. Kramers. Shorter Encyclopaedia of Islam. Leiden:
E.J. Brill, 1961.
Gilson, Etienne. Reason and Revelation in Middle Age. New York:
Charles Scribner’s Sons, 1939.
Groff, Peter S. Islamic Philosophy A-Z. Edinburg: Edinburg University
Press, 2007.
Hamlyn, D.W. “History of Epistemology,” dalamThe Encyclopedia of
Philosophy vol. 3, ed. Paul Edwards. New York: Macmillan, 1967.
H{anafi>, H{asan. Humu>m al-Fikr wa-al-Wat}an juz 1. Kairo: Da>r Quba>’,
1998.
Hassan, Usman. The Concept of ‘Ilm and Knowledge in Islam. New
Delhi: The Association of Muslim Scientists and Engineers, 2003.
Heryanto, Husain. Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam. Bandung:
Mizan, 2011.
al-H{ikami>, H{a>fiz} ibn Ah}mad. Ma‘a>rij al-Qabu>l bi-Sharh} Sulam al-Wus}u>l
ila> ‘Ilm al-Us}u>l jilid 1, tah}qi>q ‘Umar ibn Mah}mu>d Abu> ‘Umar.
Makkah: Da>r Ibn al-Qayyim, 1995.
Himmich, Bensalem. A Muslim Suicide, trans. Roger Allen. New York:
Syracuse University Press., 2011.
Hines, Brain. Gods Whisper, Creation’s Thunder. Bratleboro, Vermont:
Threshold Books, 1996.
159

Hodgson, Marshall G. S. Rethinking World History: Essays on Europe,


Islam and World History. Cambridge: Cambridge University
Press., 2002.
Hogendijk, P. and Abdelhamid I. Sabra (ed.). The Enterprise of Science in
Islam. Massachusetts: The MIT Press, 2003.
Hourani, George F. Reason and Tradition in Islamic Ethics. Cambridge:
Cambridge University Press, 1985.
Ibn ‘Arabi>, Muh}yi> al-Di>n. Fus}u>s} al-H{ikam, ed. Abu> al-‘Ala> al-‘Afi>fi>.
Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, t.t.
Ibn H{azm, Al-Ih}ka>m fi> Us}u>l al-Fiqh vol. 1. Kairo: Da>r al-Hadi>th, 1984.
Ibn al-‘Ima>d. Sadhara>t al-Dhahab fi> Akhba>r man Dhahab jilid 7, tah}qi>q
Mah}mu>d al-Arna>’u>t}. Beirut: Da>r Ibn Kathi>r, 1991.
Ibn al-Khat}i>b, Lisa>n al-Di>n. Al-Ih}a>t}ah fi> Akhba>r Gharna>t}ah jilid 4. Kairo:
Maktabat al-Kha>naji>, 1977.
Ibn Kathi>r, Isma>‘i>l ibn ‘Umar. Al-Bida>yah wa-al-Niha>yah jilid 17, tah}qi>q
‘Abdulla>h ibn ‘Abd al-Muh}sin al-Turki>. Ji>zah: Da>r Hijr, 1998.
Ibn Khaldu>n, ‘Abd al-Rah}ma>n ibn Muh}ammad. Muqaddimat Ibn
Khaldu>n, tah}qi>q ‘Abdullah Muh}ammad al-Darwi>sh. Damaskus:
Da>r Ya‘rib, 2004.
Ibn Khallika>n. Wafiya>t al-A‘ya>n, tah{qi>q Ih}sa>n ‘Abba>s. Beirut: Da>r S{a>dir,
1978.
Ibn Rushd. Fas}l al-Maqa>l fi>-ma> bayna al-H{ikmah wa-al-Shari>’ah min al-
Ittis}a>l, tah}qi>q Muh}ammad ‘Ima>rah. Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif, 1983.
__________. Jawa>mi‘ al-Kawn wa-al-Fasa>d, tah}qi>q Abu> al-Wafa>’ al-
Tafta>za>ni> dan Sa‘i>d Za>yid. Kairo: al-Hay’ah al-Mis}ri>yah al-‘A<mah
li-al-Kita>b, 1994.
Ibn Sab‘i>n. Al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S}iqili>yah. tah{qi>q Muh}ammad
Sharaf al-Di>n Ya>ltaqa>ya>. Beirut: Al-Mat}ba’ah al-Ka>thu>li>ki>yah,
1941.
__________. Anwa>r al-Nabi>: Asra>ruha> wa-Anwa>‘uha>. Tah}qi>q: Ah}mad
Fari>d al-Mazi>di>. Kairo: Da>r al-Afa>q al-‘Arabi>yah, 2007.
__________. Budd al-‘A<rif. tah{qi>q George Kitturah. Beirut: Dār al-
Andalus dan Dār al-Kindī, 1978.
__________. Rasa>’il Ibn Sab‘i>n. tah{qi>q Ah{mad Fari>d al-Mazi>di>. Beirut:
Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007.
__________. “Risa>lat al-‘Ahd“ dalam Rasa>’il Ibn Sab‘i>n, ed./muh}aqqiq
Ah{mad Fari>d al-Mazi>di>. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007.
__________. “Risa>lat al-Alwa>h{“ dalam Rasa>’il Ibn Sab‘i>n, ed./muh}aqqiq
Ah{mad Fari>d al-Mazi>di>. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007.
160

__________. “Risa>lat al-Alwa>h} al-Muba>rakah“ dalam Rasa>’il Ibn Sab‘i>n,


ed./muh}aqqiq Ah{mad Fari>d al-Mazi>di>. Beirut: Da>r al-Kutub al-
‘Ilmi>yah, 2007.
__________. “Risa>lat al-Anwa>r“ dalam Rasa>’il Ibn Sab‘i>n, ed./muh}aqqiq
Ah{mad Fari>d al-Mazi>di>. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007.
__________. “Risa>lah; awwaluha>: Alla>h! Alla>h! Alla>h! “ dalam Rasa>’il
Ibn Sab‘i>n, ed./muh}aqqiq Ah{mad Fari>d al-Mazi>di>. Beirut: Da>r al-
Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007.
__________. “Risa>lah; awwaluha>: i‘lam ‘allamakalla>h h}ikmatahu“ dalam
Rasa>’il Ibn Sab‘i>n, ed./muh}aqqiq Ah{mad Fari>d al-Mazi>di>. Beirut:
Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007.
__________. “Risa>lah; awwaluha>: i‘lam hada>kakalla>h wa-as‘adak,“
dalam Rasa>’il Ibn Sab‘i>n, ed./muh}aqqiq Ah{mad Fari>d al-Mazi>di>.
Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007.
__________. “Risa>lah; awwaluha>: istami‘ li-ma> yuh}á “ dalam Rasa>’il Ibn
Sab‘i>n, ed./muh}aqqiq Ah{mad Fari>d al-Mazi>di>. Beirut: Da>r al-
Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007.
__________. “al-Risa>lah al-Faqi>ri>yah” dalam Rasa>’il Ibn Sab‘i>n,
ed./muh}aqqiq Ah{mad Fari>d al-Mazi>di>. Beirut: Da>r al-Kutub al-
‘Ilmi>yah, 2007.
__________. “Risa>lat al-Fath{ al-Mushtarak” dalam Rasa>’il Ibn Sab‘i>n,
ed./muh}aqqiq Ah{mad Fari>d al-Mazi>di>. Beirut: Da>r al-Kutub al-
‘Ilmi>yah, 2007.
__________. “Risa>lah fi> ‘Arfah” dalam Rasa>’il Ibn Sab‘i>n, ed./muh}aqqiq
Ah{mad Fari>d al-Mazi>di>. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007.
__________. “Risa>lah fi> al-Ni‘mah al-Ilahi>yah” dalam Rasa>’il Ibn Sab‘i>n,
ed./muh}aqqiq Ah{mad Fari>d al-Mazi>di>. Beirut: Da>r al-Kutub al-
‘Ilmi>yah, 2007.
__________. “Risa>lah fi> Madlu>l Kalima>t“ atau “al-Risa>lah al-Qawsi>yah”
dalam Rasa>’il Ibn Sab‘i>n, ed./muh}aqqiq Ah{mad Fari>d al-Mazi>di>.
Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007.
__________. “Risa>lat al-Ih}a>t}ah” dalam Rasa>’il Ibn Sab‘i>n, ed./muh}aqqiq
Ah{mad Fari>d al-Mazi>di>. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007.
__________. “Risa>lat al-Nas}i>h}ah aw-al-Nu>ri>yah“ dalam Rasa>’il Ibn
Sab‘i>n, ed./muh}aqqiq Ah{mad Fari>d al-Mazi>di>. Beirut: Da>r al-
Kutub al-‘Ilmi>yah, 2007.
__________. “al-Risa>lah al-Rid}wa>ni>yah” dalam Rasa>’il Ibn Sab‘i>n,
ed./muh}aqqiq Ah{mad Fari>d al-Mazi>di>. Beirut: Da>r al-Kutub al-
‘Ilmi>yah, 2007.
161

__________. “Risa>lat al-Tawajjuh” dalam Rasa>’il Ibn Sab‘i>n,


ed./muh}aqqiq Ah{mad Fari>d al-Mazi>di>. Beirut: Da>r al-Kutub al-
‘Ilmi>yah, 2007.
__________. “Was}i>yat Ibn Sab‘i>n li-As}h}a>bihi,” dalam Rasa>’il Ibn Sab‘i>n,
ed./muh}aqqiq Ah{mad Fari>d al-Mazi>di>. Beirut: Da>r al-Kutub al-
‘Ilmi>yah, 2007.
Ibn Sha>kir, Muh}ammad. Fawa>t al-Wa>fiya>t jilid 2, tah{qi>q Ih}sa>n ‘Abba>s.
Beirut: Da>r S{a>dir, t.t.
Ibn Si>na>. Ah{wa>l al-Nafs: Risa>lah fi> al-Nafs wa-Baqa>’iha> wa-Ma‘a>diha>
[terj.] M.S. Nasrullah, Psikologi Ibn Sina. Bandung: Pustaka
Hidayah, 2009.
__________. Kita>b al-Hida>yah. Kairo: Maktabat al-Qa>hirah al-H{adi>thah,
1974.
__________. Kita>b al-Naja>h fi> H{ikmat al-Mant}i>qi>yah wa-al-T{abi>‘i>yah
wa-al-Ila>hi>yah. Beirut: Da>r al-Afa>q al-Jadi>dah, 1985.
Ibn Tighri> Birdi>, Abu> al-Mah}a>sin Yu>suf. Al-Nuju>m al-Za>hirah fi> Mulu>k
Mis}r wa-al-Qa>hirah jilid 7. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah,
1992.
Ibn Taymi>yah, Taqy al-Di>n. Bughyat al-Murta>d ‘ala> al-Mutafalsifah wa-
al-Qara>mit}ah wa-al-Ba>t}inah, tah}qi>q Mu>sa> ibn Sulayma>n al-
Duways. Madinah: Maktabat al-‘Ulu>m wa-al-H{ikam, 2001.
__________. Al-Furqa>n bayna al-H{aqq wa-al-Ba>t}il tah}qi>q H{usayn Yu>suf
Ghaza>l. Beirut: Da>r Ih}ya>’al-‘Ulu>m, 1987.
__________. Majmu>‘at al-Rasa>’il wa-al-Masa>’il ed. Rashi>d Rid{a>. Beirut:
Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1992.
__________, Minha<j al-Sunnah al-Nabawi>yah, tah}qi>q Muh{ammad
Rasha>d Sa>lim. Madinah: Mu’assasat Qurt}u>bah, 1986.
Ikhwa>n al-S{afa>’. Rasa>’il Ikhwa>n al-S{afa>’ wa-Khula>n al-Wafa>’ ed. Nu>r al-
Di>n Ji>wa>kha>n. Mab’á: Nakhbat al-Akhba>r, 1306 H.
Iqbal, Muhammad. The Recontruction of Religious Thought in Islam.
London: Oxford University Press, 1934.
al-Julaynad, Muh}ammad al-Sayyid. Al-Wah}y wa-al-Insa>n: Qira>’ah
Ma‘rafi>yah. Kairo: Da>r Quba>’, 2002.
al-Jurja>ni>, ‘Ali> ibn Muh}ammad. Kita>b al-Ta‘ri>fa>t. Jakarta: Da>r al-
H{ikmah, t.t.
Kamal, Zainun. Ibn Taimiyah versus Para Filosof: Polemik Logika.
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006.
Kartanegara, Mulyadhi. Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat
Islam. Jakarta: Lentera Hati, 2006.
162

__________. Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik. Jakarta: UIN


Jakarta Press, 2005.
__________. Integrasi Ilmu Dalam Perspektif Filsafat Islam. Jakarta:
UIN Jakarta Press, 2003.
__________. Menyelami Lubuk tasawuf. Jakarta: Erlangga, 2006.
__________. Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam.
Bandung: Mizan, 2003.
__________. Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam. Jakarta: Baitul Ihsan,
2006.
Kennedy-Day, Kiki. Books of Definition in Islamic Philosophy: The
Limits of Words. New York: RoutledgeCurzon, 2003.
Khalidi, Muhammad Ali. Medieval Islamic Philosophical Writings. New
York: Cambridge University Press., 2005.
Laing, R. D. The Divided Self. London: Penguin Books, 2010.
Lakhsassi, Abderrahmane. “Ibn Khaldun,” dalam Ensiklopedi Tematis
Filsafat Islam Buku Pertama, ed. Sayyed Hossein Nasr dan Oliver
Leaman, terj. Tim Penerjemah Mizan. Bandung: Mizan, 2003.
Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Ummat Islam Bagian kesatu & dua, terj.
Ghufron A. Mas’adi. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999.
Lawn, Chris and Niall Keane. The Gadamer Dictionary. New York:
Continuum, 2011.
Leaman, Oliver. An Introduction to Classical Islamic Philosophy.
Cambridge: Cambridge University Press., 2004.
Lubis, Ahyar Yusuf. Filsafat Ilmu dan Metodologi Posmodernis. Bogor:
Akademia, 2004.
Lubis, Nabilah. Naskah Teks dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta:
Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat
Departemen Agama RI, 2007.
Mahdi, Muhsin. Ibn Khaldun’s Philosophy of History: A Study in the
Philosophic Foundation of the Science of Culture. Chicago:
University of Chicago Press, 1964.
Mah{mu>d, ‘Abd al-Qa>dir. Al-Falsafah al-S{u>fi>yah fi> al-Isla>m. Kairo: Da>r
al-Fikr, 1967.
Makdisi, George. The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam
and The West. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981.
al-Maqqari>, Ah}mad ibn Muh}ammad. Nafh} al-T{i>b min Ghus}n al-Andalus
al-Rat}i>b jilid 2, tah}qi>q Ih}sa>n ‘Abbas. Beirut: Da>r S{a>dir, 1968.
Marcuse, Herbert. One Dimensional Man. London: Routledge, 2002.
163

Marh}aba>, Muh{amad ‘Abdurrah}ma>n. Min Falsafat al-Yu>na>ni>yah ila>


Falsafat al-Isla>mi>yah. Beirut: ‘Uwaydah li-al-Nashr wa-al-
T{aba>‘ah, 2000.
Miri, Sayyed Mohsen. Sang Manusia Sempurna: Antara Filsafat Islam
dan Hindu. Jakarta: TERAJU, 2004.
Moehadjir, Noeng. Metodologi Keilmuan: Paradigma Kualitatif,
Kuantitatif dan Mixed edisi V. Yogyakarta: Rake Sarasin, 2007.
__________. Metodologi Penelitian Kualitatif edisi VI. Yogyakarta:
Rake Sarasin, 2000.
Muh}ammad, Mah}mu>d Muh}ammad ‘Ali>. Al-Mant}iq al-Ishra>qi> ‘inda
Shiha>b al-Di>n al-Suhrawardi>. Kairo: Mis}r al-‘Arabi>yah li-al-Nashr
wa-al-Tawzi>‘, 1999.
al-Muna>wi>, Zayn al-Di>n. Al-Kawa>kib al-Durri>yah fi> Tara>jim al-Sa>dah al-
S}u>fi>yah juz 2, tah{qi>q Muh{ammad Adi>b al-Ja>dir. Beirut: Da>r al-
S{a>dir, t.t.
al-Mura>kibi>, Mah{mu>d.‘Aqa>‘id al-S{u>fi>yah fi> D{aw’ al-Kita>b wa-al-Sunnah.
Kairo: Da>r al-T{aba>‘ah wa-al-Nashr, 1996.
Muthahhari, Murtadha. Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah Pemataan
dan Kritik Epistemologi Islam atas Paradigma Pengetahuan
Ilmiah dan Relevansi Pandangan Dunia. Jakarta: Shadra Press,
2001.
Najati, Muhammad ‘Uthman. Jiwa dalam Pandangan Filosof Muslim.
Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.
Nasr, Sayyed Hossein. Introduction to Islamic Cosmological Doctrines.
London: Thames and Hudson, 1976.
__________. Islamic Life and Thought. New York: SUNY Press, 1981.
__________. Islamic Philosophy from Its Origin to the Present:
Philosophy in the Land of Prophecy. New York: SUNY Press,
2006.
__________. Islamic Science: An Illustrated Study. London: World of
Islam Festival Publishing Company ltd., 1976.
__________. Man and Nature: The Spritual Crisis in Modern Man.
London: George Allen & Unwin, 1968.
__________. Pengetahuan dan Kesucian terj. Suharsono (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997.
__________. Science and Civilizaton in Islam. Chicago: ABC
International Group Inc., 2001.
__________. Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn ‘Arabi> cet.
III. New York: Caravan Books, 1997.
164

__________. “Tradisi Mistik: Sebuah Pengantar” dalam Ensiklopedi


Tematis Filsafat Islam Buku Pertama, ed. Sayyed Hossein Nasr
dan Oliver Leaman, terj. Tim Penerjemah Mizan. Bandung:
Mizan, 2003.
Nasr, Sayyed Hossein dan William C. Chittick, World Sprituality:
Manifestations. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Islam
Intelektual: Teologi, Filsafat dan Ma’rifat, terj. Tim Perenial.
Depok: Perenial Press, 2001.
Nasution, Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI-Press, 2011.
__________. Falsafah dan Mistisme dalam Islam cet. 12. Jakarta: Bulan
Bintang, 2010.
__________. Islam Ditinjau dalam Berbagai Aspeknya Jilid I (Jakarta:
UI-Press, 2010.
Netton, Ian Richard. Allah Transcendent: Studies in the Structure and
Semiotics of Islamic Philosophy, Theology and Cosmology.
London and New York: Routledge, 1989.
Nuseibeh, Sari. “Epistemologi,” dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat
Islam Buku Kedua, ed. Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman,
terj. Tim Penerjemah Mizan. Bandung: Mizan, 2003.
Pedersen, Johannes. The Arabic Book, trans. Geoffrey French. Pricenton:
Pricenton University Press, 1986.
Pophin, Richard H. and Avrum Stroll. Philosophy Made Simple. New
York: American Book-Stratford, 1958.
Proudfoot, Michael and A. R. Lacey. The Routledge Dictionary of
Philosophy Fourth Edition. London and New York: Routledge,
2010.
Qomar, Mujamil. Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional
hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga, 2005.
al-Qushayri>, Abu> al-Qa>sim. Al-Risa>lah al-Qushayri>yah, tah}qi>q ‘Abd al-
H{ali> Mah}mu>d. Kairo: Da>r al-Shu‘b, 1989.
Rahman, Fazlur. Islam & Modernity: Transformation of an Intellectual
Tradition. Chicago: The University of Chicago Press, 1982.
Reese, William L. “Pantheisme and Panentheisme,” dalam The New
Encyclopedia Britannica: Macropedia vol. 26. Chicago:
Encyclopedia Britannica Inc., 1986.
Ridwan, M. Deden (ed.). Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan
Antar Disiplin Ilmu. Bandung: Nuansa, 2001.
Rosenthal, Franz. Knowledge Triumphant. Leiden: E.J. Brill, 2007.
165

Rowson, Everett K. “Al-‘A<miri>,” dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat


Islam Buku Pertama, ed. Sayyed Hossein Nasr dan Oliver
Leaman, terj. Tim Penerjemah Mizan. Bandung: Mizan, 2003.
Runes, Dagobert D. Dictionary of Philosophy. New Jersey: Little Field
Adams & CO., 1963.
Saepudin AM. et.al. Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi.
Bandung: Mizan, 1991.
al-S{afadi>, S{ala>h{ al-Di>n. Al-Wa>fi> bi-al-Wa>fiya>t juz 6, tah{qi>q Ah{mad al-
Arna>u>t} dan Turki> Mus}t}afa.> Beirut: Da>r Ih{ya>’ al-Tura>th al-‘Arabi>,
2000.
Saliba, George. Islamic Science and the Making of European
Renaissance. Massachusetts: The MIT Press, 2007.
Sardar, Ziauddin. How Do You Know? Reading Ziauddin Sardar on
Islam, Science and Cultural Relations. ed. Ehsan Masood.
London: Pluto Press, 2006.
__________. Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, terj. oleh
Rahmani Astuti. Bandung: Mizan, 1993.
Sarkar, Sahotra and Jessica Pfeifer (ed.). The Philosophy of the Science:
An Encyclopedia. New York and London: Routledge, 2006.
Sarton, George. Ancient Science and Modern Civilization. New York:
Harper Torchbook, 1959.
Saunders, J.J. A History of Medieval Islam. London and New York:
Routlege, 2002.
Sharaf, Muh{ammad Ya>sir. Al-Wah{dah al-Mut}laqah ‘inda Ibn Sab‘i>n.
Beirut: Al-Markaz al-‘Arabi> li-al-T{aba>‘ah wa-al-Nashr, 1981.
__________. Falsafat al-Tas}awwuf al-Sab‘i>ni>. Damaskus: Wiza>rah al-
Thaqa>fah, 1990.
al-Shawka>ni>, Muh{ammad ibn ‘Ali>. Al-S{awa>rim al-H{ida>d al-Qa>t}i‘ah li-
‘Ala>’iq Arba>b al-Ittih}a>d, tah}qi>q Muh}ammad S{ubh}i> H{asan al-
H{alla>q. San‘a: Da>r al-Hijrah, 1990.
Shehadi, Fadlou. Metaphysics in Islamic Philosophy. New York: Caravan
Books, 1982.
Shehu, Salisu. Islamization of Knowledge: Coceptual Background, Vision
and Tasks. Kano, Nigeria Office: International Institute of Islamic
Thought, 1998.
Sheikh, M. Saeed. Islamic Philosophy. London: The Octagon Press.,
1982.
Shimogaki, Kazuo. Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme:
Telaah Kritis Atas Pemikiran Hasan Hanafi, terj. M. Imam Aziz
dan M. Jadul Maula. Jogjakarta: LKiS, 2000.
166

al-Shi>ra>zi>, Abu> Ish}a>q. Al-Luma‘. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1985.


Siregar, Rivay. Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme. Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2002.
al-Subki>, Ta>j al-Di>n. T{abaqa>t al-Sha>fi‘i>yah al-Kubrá, tah{qi>q Mah{mu>d
Muh{ammad al-T{ana>h{i>. Beirut: Da>r al-Nashr, 1992.
Spallino, Patrizia. “Ibn Sab‘i>n, ‘Abd al-H{aqq” dalam Encyclopedia of
Medieval Philosophy: Philosophy Between 500 and 1500, ed.
Henrik Lagerlund. New York: Springer, 2011.
Sudarto. Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: RajaGrapindo
Persada,1997.
Sudaryoso, Satera. Etika Keseimbangan Kosmik: Hubungan Alam dan
Manusia. Jakarta: Impressa, 2013.
al-Suhrawardi>, Shiha>b al-Di>n. ‘Awa>rif al-Ma‘a>rif dalam Abu> H{a>mid al-
Ghaza>li>. Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n. Semarang: T{a>ha> Pu>tra>, t.t.
Sumaryono, E. Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta:
Kanisius, 2003.
Sunanto, Masyrifah. Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu
Pengetahuan. Jakarta: Kencana, 2007.
al-Tafta>za>ni>, Abu> al-Wafa>. Ibn Sab‘i>n wa-Falsafatuhu al-S{u>fi>yah. Beirut:
Da>r al-Kutub al-Libna>ni>, 1973.
__________. Madkhal ila> al-Tas}awwuf al-Isla>mi>. Kairo: Da>r al-Thaqa>fah
li-al-Nashr wa-al-Tawzi>‘, 1979.
Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ensiklopedi Tasawuf jilid
II. Bandung: Angkasa, 2008.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta:
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
Turner, Howard R. Science in Medieval Islam: An Illustrated
Introduction. Austin: University of Texas Press, 1995.
Walbridge, John. God and Logic in Islam: The Caliphate of Reason. New
York: Cambridge University Press, 2011.
Williams, Bernard. “Descartes” dalam The Concise Encyclopedia of
Western Philosophy 3rd Edition, ed. Jonathan Rée & J. O.
Urmson. New York: Routledge, 2005.
__________. “Rationalism” dalam Encyclopedia of Philosophy 2nd
Edition vol. 8, ed. Donal M. Borchert. New York: Thomson Gale,
2006.
Yahaya, Mahayudin Hj. Islam di Spanyol dan Sicily. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia,
1990.
167

Yazdi, Mehdi Ha’iri. The Principles of Epistemology in Islamic


Philosophy: Knowledge by Presence. New York: SUNY Press,
1992.
Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya cet. IV. Jakarta:
Rajawali Press, 2010.
al-Zarkali>, Khayr al-Di>n. Al-A‘la>m jilid 3. Beirut: Da>r al-‘Ilm li-al-
Mala>yi>n, 2002.
al-Zarqa>ni>, Muh}ammad ibn ‘Abd al-Ba>qi> al-Mis}ri>. Sharh} al-Mawa>hib al-
Laduni>yah bi-al-Manh} al-Muh}ammadi>yah li-al-‘Alla>mah al-
Qast}ala>ni>, juz 1. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1996.
Zaru>q, Abu> al-‘Abba>s Ah}mad ibn. Qawa>‘id al-Tas}awwuf, ed. ‘Abd al-
Maji>d Khaya>li>. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2005.
Zayd, Ah}mad Abu>. Al-Insa>n fi> al-Falsafah al-Isla>mi>yah: Dira>sah
Muqa>ranah fi> Fikr al-‘A<miri>. Beirut: Mu’assasat al-Jami>‘i>yah li-
al-Dira>sa>t, 1994.
al-Zayn, ‘A<t}if. Al-S{u>fi>yah fi> Naz}r al-Isla>m: Dira>sah wa-Tah{li>l. Beirut:
Da>r al-Kita>b al-Libna>ni>, 1985.
Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2008.
Ziai, Hossein. Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s
Hikmat al-Ishraq. Atlanta: Scholars Press, 1990.
__________. “Syiha>b al-Di>n al-Suhrawardi>: Pendiri Mazhab Iluminasi”
dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam Buku Pertama, ed.
Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, terj. Tim Penerjemah
Mizan. Bandung: Mizan, 2003.

Jurnal dan Artikel Ilmiah

Abidin, Azmil Zainal. “Dimensi Sains dan Kebersebaban al-Ghaza>li>:


Model Pengintegrasian Ilmu Menurut Perspektif Islam”
Proceeding of the International Conference on Social Science
Research (ICSSR) 2013 (4-5 Juni 2013). http://worldconferences.
net/proceedings/icssr2013/toc/116%20-%20Azmil%20-
%20DIMENSI%20SAINS%20DAN%20KEBERSEBABAN%20
AL-GHAZALI.pdf (diakses pada 31 Maret 2014).
Acikgenc, Alparsalan. “Holisitic Approach to Scientific Traditions,”
Jurnal Islam & Science Vol. 1, No. 1 (Juni 2003), 11-26. http://
168

www.academia.edu/5355293/HOLISTIC_APPROACH_TO_SCIE
NTIFIC_TRADITIONS (diakses pada 08 Januari 2014).
__________. “The Emergence of Scientific Tradition in Islam”
Foundation for Science Technology and Civilization Publication
ID: 627 (Desember 2006). http://www.utm.my/casis/wp-
content/uploads/2013/07/Emergence_Scientific_Tradition_in_Isla
m.pdf (diakses pada 17 Januari 2014).
Adiwidjajanto, Koes. “Studi Filologis Sharh} Isagoge: Menelusuri Logika
Aristotelian di Kalangan Muslim Klasik” Teosofi: Jurnal Tasawuf
dan Pemikiran Islam vol. 2 no. 1 (Juni, 2012), 108-130. http://
teosofi.uinsby.ac.id/index.php/teosofi/article/download/139/127
(diakses pada 06 November 2014).
Akasoy, Anna Ayşe. “Ibn Sab‘i>n’s Sicilian Questions: The Text, Its
Sources and Their Historical Context.” Journal Al-Qant}ara, XXIX
issue 1 (Januari-Juni 2008), 115-146, http://www.al-qantara.
revistas.csic.es/index.php/al-qantara/article/viewFile/51/45
(diakses pada 26 Februari 2013).
__________. “Andalusi Exceptionalism: The example of “Philosophical
Sufism” and the Significance of 1212” Journal of Medieval
Iberian Studies Vol. 4 No. 1 (Maret 2012), 113-117. http://e-
resources.pnri.go.id:2072/doi/pdf/10.1080/17546559.2012.677197
(diakses pada 15 Agustus 2014).
Akhavi, Shahrough. “Islam and the West in World History” Third World
Quarterly Vol. 24, No. 3 (Jun., 2003), 545-562. http://www.jstor.
org/stable/3993385 (diakses pada 30 Mei 2014).
Alam, Arshad. “Science in Madrasas” Economic and Political Weekly
Vol. 40, No. 18 (30 April - 06 Mei 2005), 1812-1815. http://www.
jstor.org/ stable/4416560 (diakses pada 08 Mei 2014).
Alatas, Syed Farid. “Ibn Khaldu>n and Contemporary Sociology.”
International Sociology vol. 21 : 6 (November 2006), 782-795,
http://www.arabphilosophers.com/English/discourse/east-west/
Knwoledge/Ibn_Khaldun_and_Contemporary_%20Sociology.pdf
(diakses pada 29 Maret 2014).
Allchin, Douglas. “Pseudohistory and Pseudoscience” Journal Science &
Education vol. 13 (Netherland: Kluwer Academic Publishers
2004), 179-195. http://depa.fquim.unam.mx/amyd/archivero/
AllchinsobrePseudo_20824.pdf (diakses pada 16 Juli 2014).
Amari, Michele. “Questions Philosophiques: Adressees Aux Savants
Musulmans par L’Empereur Frederic II” Journal Asiatique Serie 1
(April-Mei 1853), 240-274. http://gallica.bnf.fr/ark:/12148/
169

bpt6k931611/f240.pagination.r=Michele+Amari.langEN (diakses
pada 30 April 2014).
Ariew, Roger. “Descartes and the Tree of Knowledge” Synthese Vol. 92
No. 1, The Thought of Marjorie Grene (July, 1992), 101-116.
http://www.jstor.org/stable/20117041 (diakses pada 9 Mei 2014).
Arif, Syamsuddin. “Causality in Islamic Philosophy: The Arguments of
Ibn Si>na>” Islam & Science Vol. 7 No. 1 (Summer 2009), 51-68.
http://www.academia.edu/6791994/Ibn_Sina_on_Causality
(diakses pada 21 Desember 2013).
Atkins, Richard Kenneth. “Restructuring the Sciences: Peirce's
Categories and His Classifications of the Sciences” Transactions
of the Charles S. Peirce Society, vol. 42, No. 4 (Fall, 2006), 483-
500. http://www.jstor.org/stable/40321346 (diakses pada 14 Juli
2014).
Bagheri, Khosrow and Zohreh Khosravi. “The Islamic Concept of
Education Reconsidered” The American Journal of Islamic Social
Sciences Vol. 23 No. 4 (2005) 88-103. http://www.academia.edu/
609872/The_Islamic_Concept_of_Education_Reconsidered
(diakses pada 17 Januari 2014).
Boccassini, Daniela. “Falconry as a Transmutative Art: Dante, Frederick
II, and Islam,” Dante Studies with the Annual Report of the Dante
Society, No. 125, Dante and Islam (2007), 157-182. http://www.
jstor.org/stable/40350663 (diakses pada 8 mei 2014).
Cambra, Luisa Maria Arvide. “Ibn Sab‘i>n and The Sicilian Questions”
International Review of Social Sciences and Humanities Vol. 5,
No. 2 (2013), 225-228. http://irssh.com/yahoo_site_admin/assets/
docs/25_IRSSH-602-V5N2.243105504.pdf (diakses pada 29 April
2014).
Casewit, Alexander. “The Objective of Metaphysics in Ibn Sab‘i>n’s
Answers to the Sicilian Questions”. http://www.allamaiqbal.com/
publications/journals/review/apr08/7.htm (diakses pada 29 April
2014).
Classen, Albrecht (reviewer). “Frederick II: The Last Emperor.” Die
Unterrichtspraxis vol. 36, no. 1 (2003), 112-113. http://www.jstor.
org/stable/3531714?origin=JSTOR-pdf (diakses pada 08 Mei
2014).
Cogswell, G.A. “The Classification of the Sciences,” The Philosophical
Review, vol. 8, No. 5 (Sept., 1899), 494-512. http://www.jstor.
org/stable/2176887 (diakses pada 14 Juli 2014).
170

Cole, Stephen. “The Hierarchy of the Sciences?” American Journal of


Sociology Vol. 89, No. 1 (Juli 1983), 111-139. http://www.jstor.
org/stable/2779049 (diakses pada 08 Mei 2014).
Cornell, Vincent J. “The Way of the Axial Intellect: The Islamic
Hermetism of Ibn Sab‘i>n” Journal of the Muhyiddin Ibn ‘Arabi
Society Vol XXII (1997), 41-79. https://www.academia.edu/
7630212/The_Way_of_the_Axial_Intellect_The_Islamic_Hermeti
sm_of_Ibn_Sabin (diakses pada 22 Agustus 2014).
Dalli, Charles. “From Islam to Christianity: the Case of Sicily” Religion
and Mythology (2006), 151-168. https://www.academia.edu/
243357/From_Islam_to_Christianity_The_Case_of_Sicily
(diakses pada 16 Mei 2014).
De Callataÿ, Godefroid. “The Classification of the Sciences According to
Rasa>’il Ikhwa>n al-S}afa>’”. The Institute of Ismaili Studies (2003),
8-9, http://www.iis.ac.uk/SiteAssets/pdf/rasail_ikhwan.pdf
(diakses pada 23 Agustus 2013).
Daston, Lorraine. “The Academies and the Unity of Knowledge: The
Disciplining and of the Disciplines” Journal of Feminist Cultural
Studies Vol. 10 No. 2 (1998), 67-85. http://e-resources.pnri.go.id:
2122/search/document?cs=0&s.q=academies+unity+knowledge
(diakses pada 08 Februari 2014).
Dobrosavljev, Duška. “Gadamer’s Hermeneutics as Practical
Philosophy,” Facta Universitatis; Series: Philosophy, Sociology
and Psychology vol. 2 No. 9 (2002), 605-618. http://facta.junis.ni.
ac.rs/pas/pas200201/pas200201-02.pdf (diakses pada 27 Oktober
2014).
Douglass, Susan. Legacies and Transfers: The Story of the Transfer of
Knowledge from Islamic Spain to Europe. http://www.
islamicspain.tv/For-Teachers/11_Legacies%20and%20Transfers
%20Story%20of%20Transfer%20of%20Knowledge.pdf (diakses
pada 11 November 2014).
Dyer, Joseph. “The Place of Musica in Medieval Classifications of
Knowledge” The Journal of Musicology Vol. 24, No. 1 (2007), 3-
71. http://www.jstor.org/stable/10.1525/jm.2007.24.1.3 (diakses
pada 29 April 2014).
Elshakry, Marwa. “When Science Became Western: Historiographical
Reflections,” ISIS vol. 101, No. 1 (Maret 2010), 98-109. http://
www.jstor.org/stable/10.1086/652691 (diakses pada 14 Juli 2014).
Fadaie. Gholamreza. Philosopher’s Worldview and Classification of
Knowledge, http://psyedu.ut.ac.ir/acstaff/Fadaei/articale/
171

Cosmology%20and%20categorization.pdf (diakses pada 06


januari 2014).
__________. “The Influence of Classification on Worldview and
Epistemology.” Proceedings of the Informing Science & IT
Education Conference (2008), http://proceedings.
informingscience.org/InSITE2008/InSITE08p001-
013Fadaie410.pdf (diakses pada 23 Agustus 2013).
Fakhri, Majid. “The Ontological Argument in the Arabic Tradition: The
Case of al-Fa>ra>bi>” Studia Islamica No. 64 (1986), 5-17. http://
www.jstor.org/stable/1596043 (diakses pada 15 Oktober 2014).
Fleming, Samuel. “The Classification of Science. II. Principles
Classification” Science, vol. 2, No. 32 (Feb. 5, 1881), 51-53.
http://www.jstor.org/stable/2900371 (diakses pada 14 Juli 2014).
Fuadie, Muslih. “Wah}dat al-Wuju>d ‘Abd al-Kari>m al-Ji>li>” Teosofi: Jurnal
dan Pemikiran Islam vol. 3 no. 1 (Juni, 2013), 1-18. http://teosofi.
uinsby.ac.id/index.php/teosofi/article/download/112/102 (diakses
pada 06 November 2014
Fudholi, Moh. “Konsep Zuhud al-Qushayri> dalam Risa>lat al-
Qushayri>yah” Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam vol. 1
no. 1 (Juni, 2011), 38-54. http://teosofi.uinsby.ac.id/index.php/
teosofi/article/download/156/144 (diakses pada 06 November
2011).
Gabrieli, Francesco. “FREDERICK II AND MOSLEM CULTURE” East
and West Vol. 9, No. 1/2 (MARCH-JUNE, 1958), 53-61. http://
www.jstor.org/stable/29753972 (diakses pada 8 Mei 2014).
Gjesdal, Kristin. “Aesthetic and Political Humanism: Gadamer on
Herder, Schleiermacher, and the Origins of Modern
Hermeneutics” History of Philosophy Quarterly, Vol. 24 No. 3
(Jul., 2007), 275-296. http://www.jstor.org/stable/27745096
(diakses pada 27 Oktober 2014).
Graham, Roberts. “Western Epistemology: A Stranger in a Strange
Land?” PHD Journal Vol. 16 issue 2 (2011) : 112-118, http://
www.pacifichealtdialog.org.fj/volume16_no2/Western%20episte
mology.pdf (diakses pada 11 Juni 2013).
Halstead, J. Mark. “An Islamic Concept of Education” Comparative
Education Vol. 40 No. 4 Special Issues (29): Philosophy,
Education and Comparative Education (November, 2004), 517-
529. http://www.jstor.org/stable/4134624 (diakses pada 30 Mei
2014).
172

Hasanuddin. “Dominasi Peradaban Barat dalam Pendidikan Islam” Jurnal


Lentera Pendidikan vol. 11 nomor 2 (Desember, 2008), 258-269.
Hatina, Meir. “Restoring a Lost Identity: Models of Education in Modern
Islamic Thought” British Journal of Middle Eastern Studies Vol.
33, No. 2 (Nov., 2006), 179-197. http://www.jstor.org/stable/
20455454 (diakses pada 15 Oktober 2014).
Heck, Paul L. “The Crisis of Knowledge in Islam: The Case of al-‘A<miri>”
Philosophy East and West vol. 56, no. 1 (Januari 2006), 106-135.
http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/216882843/
fulltextPDF?accountid=25704 (diakses pada 16 Januari 2014).
__________. “The Hierarchy of Knowledge in Islamic Civilization.”
Journal Arabica XLIX Issue 1 (January 2002), 27-54, http://e-
resources.pnri.go.id/index.php?option=com_library&itemid=53&k
ey=7 (diakses pada 12 September 2013).
Hilgendorf, Eric. “Islamic Education: History and Tendency” Peabody
Journal of Education, Vol. 78, No. 2 (2003), 63-75. http://www.
jstor.org/stable/1492943 (diakses pada 30 Mei 2014).
Horvatich. Patricia. “Ways of Knowing Islam” American Ethnologist
Vol. 21 No. 4 (November, 1994), 811-826. http://www.jstor.org/
stable/646841 (diakses pada 08 Mei 2014).
http://www.brainyqoute.com/quotes/quotes/s/sigmundfre139170.html
(diakses pada 23 Juli 2013).
Iqbal, Muzaffar. “Islam and Modern Science: Formulating the Questions”
Islamic Studies Vol. 39, No. 4, Special Issue: Islam and Science
(Winter 2000), 517-570. http://www.jstor.org/stable/23076112
(diakses pada 30 Mei 2014).
Janos, Damien. “Al-Fa>ra>bi>, Creation ex nihilo, and the Cosmological
Doctrine of K. al-Jam‘ and Jawa>ba>t” Journal of the American
Oriental Society Vol. 129, No. 1 (January-March 2009), 1-17.
http://www.jstor.org/stable/40593865 (diakses pada 15 Oktober
2014).
Kazmi, Yedullah. “Islamic Education: Traditional Education or
Education of Tradition?” Islamic Studies Vol. 42, No. 2 (Summer
2003), 259-288. http://www.jstor.org/stable/20837271 (diakses
pada 30 Mei 2014).
Kogan Maurice. “Modes of Knowledge and Patterns of Power” Higher
Education Vol. 49, No. 1/2 Universities and the Production of
Knowledge (Januari-Maret 2005), 9-30. http://www.jstor.org/
stable/25068056 (diakses pada 08 Mei 2014).
173

Köhler, Walther. “Emperor Frederick II: The Hohenstaufe.” The


American Journal of Theology Vol. 7, no. 2 (April 1903), 225-
248. http://www.jstor.org/stable/3153729?origin=JSTOR-pdf
(diakses pada 08 Mei 2014).
Kukkonen, Taneli. “Plenitude, Possibility, and the Limits of Reason: A
Medieval Arabic Debate on the Metaphysics of Nature” Journal of
the History of Ideas Vol. 61, No. 4 (Oct., 2000), 539-560.
http://www.jstor.org/stable/3654068 (diakses pada 15 Oktober
2014).
Lawrence, Frederick G. “Ontology of and as Horizon: Gadamer's
Rehabilitation of the Metaphysics of Light” Revista Portuguesa
de Filosofia, T. 56, Fasc. 3/4, A Idade Hermenêutica da Filosofia
(The Age of Hermeneutics): Hans-Georg Gadamer (Jul.-Dec.,
2000), 389-420. http://www.jstor.org/stable/40337583 (diakses
pada 27 Oktober 2014).
Levine, Michael P. “Pantheism, Substance and Unity” International
Journal for Philosophy of Religion Vol. 32, No. 1 (Agustus 1992)
1-23. http://www.jstor.org/stable/40036697 (diakses pada 26 Juni
2014).
Long, J.M. “Classification of the Mathematical Sciences” The Journal of
Speculative Philosophy, vol. 20, No. 4 (Oktober, 1886), 417-425.
http://www.jstor.org/stable/25668119 (diakses pada 14 Juli 2014).
López-Baralt, Luce. “Islamic Influence on Spanish Literature:
Benengeli’s Pen in "Don Quixote”.” Islamic Studies Vol. 45, No.
4 (Winter 2006), 579-593. http://www.jstor.org/stable/20839041
(diakses pada 15 Oktober 2014).
Lumbard, Joseph E. B. “The Decline of Knowledge and the Rise of
Ideology in the Modern Islamic World” dalam Islam,
Fundamentalism and the Betrayal of Tradition: Essays by
Western Muslim Scholars ed. Joseph E. B. Lumbard, 39-77.
www.worldwisdom.com/uploads/pdfs/293.pdf (diakses pada 18
Januari 2014).
Mohamed, Yasien. “The Cosmology of Ikhwa>n al-S{afa>, Miskawayh and
al-Is}faha>ni>” Islamic Studies Vol. 39, No. 4, Special Issue: Islam
and Science (Winter 2000), 657-679. http://www.jstor.org/stable/
23076118 (diakses pada 15 Oktober 2014).
Moten, Abdul Rashid. “Islamization of Knowledge in Theory and
Practice: The Contribution of Sayyid Abul A’la al-Mawdu>di>”
Islamic Studies Vol. 43, No. 2 (Summer 2004), 247-272. http://
www.jstor.org/stable/20837343 (diakses pada 8 Mei 2014).
174

Musyafa’ah, Nur Lailatul. “Nalar Teosofis Sebagai Basis Epistemologi


Kajian Agama dan Pengetahuan” Teosofi: Jurnal Tasawuf dan
Pemikiran Islam vol. 3 No.1 (Juni, 2013). 20-38. http://teosofi.
uinsby.ac.id/index.php/teosofi/article/download/113/103 (diakses
06 November 2014.
Nubiola, Jaime. “The Classification of the Sciences and Cross-
Disciplinarity” Transactions of the Charles S. Peirce Society vol.
41, No. 2 (Spring, 2005), 271-282. http://www.jstor.org/stable/
40321071 (diakses pada 14 Juli 2014).
Nurisman. “Pemikiran Metafisika al-Fa>ra>bi>” Jurnal DINIKA vol. 3 no. 1
(Januari 2004), 83-100.
Powell, James M. “Church and Crusade: Frederick II and Louis IX” The
Catholic Historical Review Vol. 93, No. 2 (April, 2007), vi, 251-
264. http://www.jstor.org/stable/25166835 (diakses pada 8 Mei
2014).
Powell, J.W. “Classification of the Sciences” American Anthropologist
New Series, vol. 3, No. 4 (Oct. - Dec., 1901), 601-605. http://
www.jstor.org/stable/659084 (diakses pada 14 Juli 2014).
Rachman, Subhan MA. “Tradisi dan Inovasi Keilmuan Islam Masa
Klasik” Jurnal Innovatio vol. 5 no. 10 (Juli-Desember 2006), 249-
273.
Rahman, Fazlur. “Islamization of Knowledge: A Response” Islamic
Studies Vol. 50, No. 3/4 (Autumn-Winter 2011), 449-457. http://
www.jstor.org/stable/41932607 (diakses pada 8 Mei 2014).
Raj, Kapil. “Beyond Postcolonialism and Postpositivism: Circulation and
the Global History of Science” ISIS vol. 104, No. 2 (Juni 2013),
337-347. http://www.jstor.org/stable/10.1086/670951 (diakses
pada 14 Juli 2014).
Regan, Paul. “Hans-Georg Gadamer’s Hermeneutics: Concept of
Reading, Understanding and Interpretation” Research in
Hermeneutics Phenomenology, and Practical Philosophy Vol. 4
No. 2 (December, 2012), 286-303. http://www.metajournal.org/
articles_pdf/286-303-regan-meta8-tehno-r1.pdf (diakses pada 26
Oktober 2014).
Rizvi, Sajjad. “An Islamic Subversion of the Existence-Essence
Distinction? Suhrawardi>’s Visionary Hierarchy of Light” dalam
Asian Philosophy Vol. 9, No. 3 (1999), 219-227. http://www.
academia.edu/1385723/An_Islamic_Subversion_of_the_existence-
essence_distinction (diakses pada 07 Januari 2014).
175

Robinson, James T. “Samuel Ibn Tibbon's "Peruš ha-Millot ha-Zarot" and


al-Fa>ra>bi>’s "Eisagoge" and "Categories"” Aleph No. 9.1 (2009),
41-76. http://www.jstor.org/stable/40385922 (diakses pada 15
Oktober 2014).
Rueger, Alexander. and Patrick McGivern, “Hierarchies and levels of
reality” Synthese Vol. 176, No. 3 (October, 2010), 379-397.
http://www.jstor.org/stable/40801386 (diakses pada 30 Juni
2014).
Ryan, Kathleen J. and Elizabeth J. Natalle, “Fusing Horizons: Standpoint
Hermeneutics and Invitational Rhetoric” Rhetoric Society
Quarterly, Vol. 31, No. 2 (Spring, 2001), 69-90. http://www.jstor.
org/stable/3886076 (diakses pada 26 Oktober 2014).
Safi, Louay M. “Toward an Islamic Theory of Knowledge” Islamic
Studies Vol. 36 No. 1 (Spring 1997), 39-56. http://www.jstor.org/
stable/23076081 (diakses pada 30 Juni 2014).
Shah, Saeeda. “Educational Leadership: An Islamic Perspective” British
Educational Research Journal Vol. 32 No. 3 (Juni, 2006), 363-385.
http://www.jstor.org/stable/30032674 (diakses pada 30 Mei 2014).
Shahzad, Qaiser. “Ibn ‘Arabi>’s Metaphysics of the Human Body” Islamic
Studies Vol. 46, No. 4 (Winter 2007), 499-525. http://www.jstor.
org/stable/20839092 (diakses pada 15 Oktober 2014).
Shalin, Dmitri N. “Hermeneutics and Prejudice: Heidegger and Gadamer
in their Historical Setting” Russian Journal of Communication,
vol. 3 No. 1/2 (Winter/Spring, 2010), 7-24. http://cdclv.unlv.edu/
pragmatism/shalin_heidegger_gadamer.pdf (diakses pada 27
Oktober 2014).
al-Sharqawi, Muhammad Abdallah. “The Methodology of Religious
Studies in Islamic Thought (Mana>hij Dira>sat al-Adya>n fi> al-Fikr
al-Isla>mi>)” Journal of Qur'anic Studies Vol. 2, No. 2 (2000), 128-
145. http://www.jstor.org/stable/25728010 (diakses pada 15
Oktober 2014.
Shephenson, J. “The Classification of the Sciences According to
Nasiruddin Tusi” ISIS Vol. 5, No. 2 (1923), 329-338.
http://www.jstor.org/stable/223732 (diakses pada 14 Juli 2014).
Siraj, Fuad Mahbub. “Kosmologi dalam Tinjauan Failasuf Islam” Jurnal
Ilmu Ushuluddin vol. 2 no. 2 (Juli, 2014), 109-124.
http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/ilmu-ushuluddin/article/
download/1007/897 (diakses pada 25 November 2014).
Starks, Brian and Robert V. Robinson, “Moral Cosmology, Religion, and
Adult Values for Children” Journal for the Scientific Study of
176

Religion Vol. 46, No. 1 (Mar., 2007), 17-35. http://www.jstor.org/


stable/4621950 (diakses pada 15 Oktober 2014).
Steinhart, Eric. “Pantheism and Current Ontology” Religious Studies
Vol. 40, No. 1 (Maret 2004), 63-80. http://www.jstor.org/stable/
20008510 (diakses pada 26 Juni 2014).
Toumi, Ilkka. “Data Is More than Knowledge: Implications of the
Reversed Knowledge Hierarchy for Knowledge Management and
Organizational Memory” Journal of Management Information
Systems, Vol. 16 No. 3 (Winter, 1999/2000), 103-17. http://www.
jstor.org/stable/40398446 (diakses pada 8 Mei 2014).
Treiger, Alexander. “Al-Ghaza>li>’s Classification of the Sciences and
Descriptions of the Highest Theoritical Science.” Dîvân
DİSİPLİNLERARASI ÇALIŞMALAR DERGİSİ vol. 1 (2011),
cilt 16 sayi 30. http://www.academia.edu/2344293/Al-Ghazalis_
Classifications_of_the_Sciences_and_Descriptions_of_the_Highe
st_Theoretical_Science (diakses pada 03 April 2014).
Varisco, Daniel Martin. “The Origin of the Anwa>‘ in Arab Tradition”
Studia Islamica No. 74 (1991), 5-28. http://www.jstor.org/stable/
1595894 (diakses pada 15 Oktober 2014).
Varvaro, Alberto. “Federico II e la cultura del suo tempo” Studi Storici,
Anno 37, No. 2, Il tempo di Federico II (Apr. - Jun., 1996), 391-
404. http://www.jstor.org/stable/20566766 (diakses pada 22
Agustus 2014).
Walbridge, John. “Logic in the Islamic Intellectual Tradition: The Recent
Centuries” Islamic Studies Vol. 39, No. 1 (Spring 2000), 55-75.
http://www.jstor.org/stable/23076091 (diakses pada 22 Mei 2014).
Walker, Paul E. “Platonism in Islamic Philosophy” Studia Islamica No.
79 (1994), 5-25. http://www.jstor.org/stable/1595834 (diakses
pada 22 Juli 2013).
Weberman, David. “A New Defense of Gadamer's Hermeneutics”
Philosophy and Phenomenological Research Vol. 60, No. 1 (Jan.,
2000), 45-65. http://www.jstor.org/stable/2653427 (diakses pada
27 Oktober 2014).
Wolfson, Harry Austryn. “Note on Maimonides' Classification of the
Sciences” The Jewish Quarterly Review New Series, vol. 26, No.
4 (Apr., 1936) 369-377. http://www.jstor.org/stable/1452096
(diakses pada 14 Juli 2014).
__________. “ADDITIONAL NOTES: To the Article on the
Classification of Sciences in Medieval Jewish Philosophy
Published in the Hebrew Union College Jubilee Volume, Pp. 263-
177

315” Hebrew Union College Annual vol. 3 (1926), 371-375.


http://www.jstor.org/stable/23502532 (diakses pada 14 Juli 2014).
Yahaya, Mahayudin Hj. “Sejarah dan tamadun Islam di Sicily.” JEBAT
no. 18 (1990), 297-315. http://journalarticle.ukm.my/477/1/1.pdf
(diakses pada 16 Mei 2014).
Zaimeche, Salah. “Sicily” Foundation for Science Technology and
Civilization Publication ID: 4071 (November 2004). http://www.
muslimheritage.com/uploads/Sicily1.pdf (diakses pada 16 Mei
2014).
Zainuddin, M. “Paradigma Pendidikan Islam Holistik” Jurnal Ulumuna
vol. XV no. 1 (Juni, 2011), 73-94.
178
179

GLOSARIUM

al-‘Aql al-Kulli> : Akal Universal, sumber bagi keseluruhan Akal


(partikular), merupakan wujud pertama yang
mendapat limpahan langsung dari Tuhan.

al-‘Ulu>m al-‘Aqli>yah : Kelompok ilmu pengetahuan yang sumber, alat dan


cara memperolehnya adalah dengan rasio (Rational
Science). Nama lain kelompok ilmu ini antara lain:
al-‘Ulu>m al-Falsafi>yah, al-‘Ulu>m al-H{ikmi>yah, dan
‘Ulu>m Ghayr al-Shar‘i>yah.

al-‘Ulu>m al-Adabi>yah : Segenap bidang ilmu yang berkaitan dengan seluruh


perbuatan manusia dalam menciptakan “peradaban”.

al-‘Ulu>m al-Naqli>yah : Kelompok ilmu pengetahuan yang cara


perolehannya melalui transmisi dari satu generasi ke
generasi selanjutnya seperti yang ada dalam tradisi
ilmu keagamaan (Transmitted science). Nama lain
dari kelompok ilmu ini di antaranya: al-‘Ulu>m al-
Shar‘i>yah, al-‘Ulu>m al-Di>ni>yah, dan al-‘Ulu>m al-
Milli>yah.

al-Arka>n al-‘Arba‘ah : Empat unsur pembentuk berupa tanah, api, air dan
udara. Dari unsur-unsur itu semua benda di dunia;
mineral, tumbuhan, dan hewan terbentuk.

Basis Ontologis : Konsep dasar tentang hakikat sesuatu (Being) yang


Klasifikasi Ilmu menjadi dasar bagi sebuah klasifikasi bidang-bidang
ilmu. Misalnya, jika kelompok ilmu terdiri dari ilmu
tentang manusia, alam semesta dan Tuhan, maka
eksistensi ketiga hal itu menjadi basis ontologis
klasifikasi ilmu tersebut.

Emanasi Juz’i>ya>t : Munculnya alam secara parsial dari Yang Mutlak,


semacam evolusi alam tingkat terendah menuju pada
Yang Maha Sempurna.

Emanasi Kulli>ya>t : Teori penciptaan segenap ciptaan dengan munculnya


alam secara global dari Yang Esa, dimulai dari
realitas yang status ontologisnya paling tinggi,
diikuti realitas lain yang derajat kemuliaan dan
status ontologisnya lebih rendah.
180

Etika Metafisik : Kaidah dan Filsafat moral yang ditafsirkan


menggunakan pendekatan metafisika (Mi>ta>fi>zi>qa> al-
Akhla>q).

Hierarki Ilmu : Urutan dalam ilmu-ilmu secara bertingkat.


Mengasumsikan satu kelompok ilmu lebih tinggi
tingkatannya dibanding kelompok ilmu lainnya.

al-Kawn wa-al-Fasa>d : Sebuah ketentuan azali yang diperuntukkan bagi


segenap wujud fisik berupa “kemenjadian” dan
“kerusakan” secara berkesinambungan (generation
and corruption).

Makrokosmos Alam semesta yang besar dengan segenap daya dan


potensi rohaninya.

al-Mant}iq al-Muh}aqqiq : Logika yang berakar pada intuisi, bersifat gnostis


(al-‘irfa>n al-dhawqi>) dan menolak paradigma
kemajemukan. Logika yang memandang bahwa
wacana-wacana dalam tradisi logika Aristotelian
sejatinya telah bersemayam dalam diri setiap
manusia dan hanya digunakan untuk mencapai
spritualitas setinggi-tingginya.

Materi (al-Hayu>la>) : Apa yang darinya suatu benda dijadikan.


Keberadaan entitas ini bersifat potensial, prinsip
bagi segala sesuatu dan mewujud setelah mendapat
bentuk (s}u>rah).

Mikrokosmos : Miniatur kecil terkompleks dari alam semesta yang


besar. Oleh para filosof disematkan kepada manusia
karena mempunyai seluruh unsur yang dimiliki alam
semesta.

al-Muh}aqqiq : Sebuah konsepsi manusia ideal dan paripurna, yang


dalam dirinya terhimpun berbagai kesempurnaan
kemanusiaan dan sifat Tuhan, manusia yang mampu
memahami Kesatuan Mutlak dengan sempurna.
Pencapaian kepada predikat ini memerlukan proses
panjang (safar) yang tidak hanya melibatkan
intelektual belaka, tetapi juga melalui penyucian
ruhani, spritual serta melaksanakan syari’at secara
ketat dan konsisten.
181

al-Muwallada>t : Anak-anak kosmik yang terlahir dari Ibu Kosmik


(ummaha>t), yang menempati alam fisik berupa
mineral, tumbuhan dan hewan.

al-Nafs al-Kulli> Jiwa Universal, merupakan sumber semua jiwa yang


ada dalam segenap ciptaan. Misalnya, dalam
manusia disebut jiwa partikular manusia atau nafs
juz’i>yah al-insa>ni>yah, begitu juga pada hewan.

Pseudo-Hierarki Ilmu : Istilah yang menunjukkan sebuah hierarki “semu”.


Adanya hanya dalam wilayah kebahasaan saja
(i‘tiba>ri>), yang sejatinya justru ilmu-ilmu yang ada
dalam hierarki tersebut berintegrasi secara
eksistensial.

Status Ontologis Objek : Keabsahan dan kedudukan hakikat sesuatu sebagai


Ilmu objek pengetahuan. Misalnya, jika kalangan
empirisme menolak hal-hal mistik, berarti mereka
tidak mengakui status ontologis objek ilmu-ilmu
mistik.

al-T{abi>‘ah : Daya-daya alami penggerak yang ada dalam segenap


alam fisik, sebagai realisasi berfungsinya Jiwa
Universal

al-Wah}dah al-Mut}laqah : Pandangan ontologis yang menyatakan bahwa


wujud adalah satu, yaitu Wujud Mutlak (Tuhan).
Sedangkan yang selainnya adalah wahm (ilusi).
Dalam arti, wujud segala adalah entitas wujud yang
satu itu, tidak ada tambahan apa pun (Kesatuan
Mutlak).

Wujud Imateriil : Istilah yang menunjukkan suatu realitas non-fisik


dan bersifat spritual (ru>h}i)> .

Wujud Materiil : Istilah yang menunjukkan suatu realitas fisik atau


entitas yang berhubungan langsung dengan benda-
benda fisik.
182
183

INDEKS

A C
‘A<miri>, Abu> al-H{asan 36, 40, 41, 115, 137, Callataÿ, Godefroid De 14, 37
138, 161 Ceuta, 8, 65, 66
‘A<t}if al-Zayn, 17 Chittick, William C. 76, 114, 123
al-‘aql al-fa‘a>l, 83, 86, 111, 116, 118, 131 Cogswell, G. A. 27
‘arad}, 78, 92, 121, 124 Comte, Auguste 10, 109
Abu> Muh{ammad ‘Abd al-Wa>h{id al-Rashi>d, 66 Cornell, Vincent J. 16, 91, 93, 103, 166
Abu> Nami> Muh{ammad al-Awwal, 67
Ah}mad Zaru>q, 74, 90, 146
Akal Aktif, 116, 118, 120, 127, 131
D
Akal Fasif, 122 Descartes, René 1, 10
Akal Partikular, 115 al-Dhahabi>, Shams al-Di>n 67, 73, 130
Akal Universal, 81, 113, 114, 115, 116, 118, al-dhawq, 17, 54, 85
120, 122, 124, 134, 141 Dhu> al-Nu>n al-Mis}ri>, 101
Akasoy, Anna Ayşe 8, 15, 16, 63, 66, 75, 124
al-akhla>q al-‘amali>, 26, 61
al-Amuli>, Shams al-Di>n 7, 36, 49, 50, 51, 144 E
Andalusia, 8, 61, 63, 64, 71 early science, 50
Aristoteles, 16, 17, 38, 47, 112, 114, 115, 117 elementary particles, 131
Aristotelianisme, 8, 61, 66, 90, 121 Elshakry, Marwa 14
al-arka>n, 82, 110, 132, 134, 135, 136 emanasi, 81, 82, 83, 110, 111, 113, 114, 115,
Ash‘ari>yah, 52, 63, 105 118, 119, 122, 132, 133, 134
awha>m, 77, 104, 147 emanasi juz’i>ya>t, 111
Axial Intellect, 16, 91, 93, 103, 166 emanasi kulli>ya>t, 82, 110
ayat kawni>yah, 30 epistemologi Barat, 1, 2, 10, 19, 108, 109, 148
Ayat qawli>yah, 30 epistemologi Islam, 1, 2, 3, 4, 5, 10, 11, 12,
Azra, Azyumardi 4, 5, 6, 33, 34, 148 32, 90, 91, 103, 106, 108, 109, 146, 148

B F
Bakar, Osman 5, 9, 15, 29, 35, 36, 37, 38, 42, al-Fa>ra>bi>, Abu> Nas}r 7, 13, 15, 35, 36, 37, 38,
43, 52, 53, 54, 57, 138, 140, 145 39, 40, 45, 59, 81, 96, 111, 112, 115, 116,
Balkhi>, Abu> Zayd 40 117, 118, 120, 121, 122, 125, 126, 128,
al-Balnasi>, Yah}ya> ibn Ah}mad ibn Sulayma>n 131, 140, 144
74 Fadaie, Gholamreza 6, 33, 144
basis ontologis klasifikasi ilmu, 10, 103, 150 Fakhr al-Mulk, 53
al-Bu>ni>, 64 al-falak, 82, 110, 111, 132, 135, 141
Budd al-‘A<rif, 8, 11, 21, 65, 68, 80, 81, 82, 83, al-Farmadhi>, 51, 52
84, 85, 86, 87, 90, 91, 92, 93, 95, 96, 104, al-Faruqi, Ismail Raji 4, 30
105, 106, 107, 108, 110, 111, 112, 113, Fazlur Rahman, 13, 59
114, 115, 117, 118, 120, 121, 122, 123, filsafat pengetahuan, 10, 19, 92, 106, 108,
124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 148, 151
132, 133, 134, 135, 136, 137, 138, 139, al-Firdawsi>, 51
140, 141, 142, 146 fisika, 15, 34, 38, 42, 50, 57, 58, 63, 136, 140,
Bust}a>mi>, Abu> Yazi>d 53, 88 141, 144
Fleming, Samuel 27
fragmented knowledge, 34
fragmented personality, 34
184

Frederick II, 8, 16, 61, 62, 66, 74, 76, 117, Ibn Khala>s}, 65, 66
123, 128 Ibn Khaldu>n, 7, 36, 45, 46, 47, 48, 49, 51, 52,
fusi horizon, 23 66, 72, 73, 74, 137, 138
Ibn Miskawayh, 40, 121, 122
Ibn Nadi>m, 13
G Ibn Qasi>, 74
Gadamer, Hans-Georg 22, 23, 24, 27 Ibn Rushd, 17, 114
al-Ghabri>ni>, Abu> al-'Abba>s 63, 66, 67, 74 Ibn Sab‘i>n, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 15, 16, 17, 18,
ghayr shar‘i>yah, 55, 59 19, 20, 21, 25, 26, 61, 62, 63, 64, 65, 66,
al-Ghaza>li>, Abu> H{a>mid 7, 12, 13, 15, 36, 45, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77,
51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 65, 94, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88,
101, 137, 139, 153 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99,
Gibb, H.A.R 122 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107,
108, 110, 111, 112, 113, 114, 116, 117,
118, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126,
H 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134,
al-H{alla>j, 17 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142,
al-H{ikami>, Abu> al-'Abba>s 72 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150,
al-Hara>ni>, Abu> al-H{asan ibn 'Ali> ibn 64 151, 162
al-hayu>la>, 82, 110, 132, 133, 134, 135 Ibn Sara>qah al-Sha>t}ibi>, 67
Heck, Paul L. 12, 13, 41 Ibn Sha>kir, 61, 62, 63, 64, 65, 67, 68, 69, 72,
Hermes, 17 74
hierarki Jiwa, 125 Ibn Si>na>, 15, 17, 31, 40, 49, 76, 81, 112, 115,
hierarki wujud, 37, 81, 110, 111, 113, 120, 116, 117, 119, 120, 121, 125, 126, 127,
122, 129, 131, 134, 135, 140, 141, 144 128
huwi>yah, 78 Ibn T{ufayl, 71
Ibn Taymi>yah, 45, 67, 72, 73, 74, 97, 139
Ibn Tighri> Birdi>, 73
I Ibn Wa>t}i>l, 74
Ih}s}a>’ al-‘Ulu>m, 7, 37, 38, 40, 140
‘ilm al-lisa>n, 37
Ikhwa>n al-S{afa>’, 14, 37, 78, 115, 116, 117,
‘ilm al-t}abi>‘i>, 38, 47, 140
118, 122, 123, 125, 126, 127, 129, 132,
‘ilm al-ta‘a>lim, 38
134, 135, 136
‘Ilm al-Tah}qi>q, 84, 85, 94, 103, 106, 108
ilmu nama-nama dan huruf, 64, 70, 140
‘ilm h}ud}u>ri>, 90, 91, 106, 146
Insa>n al-Ka>mil, 9, 88
al-‘irfa>n al-dhawqi>, 85
integrasi keilmuan, 4, 10, 150
i‘tiba>ri>, 9, 95, 125, 131
intermediate science, 141
al-I<ji>, 'Ad}ud al-Di>n 49
Iqbal, Muhammad 30
I<la>qi>, 49
Ishra>qi>, 15, 36, 42, 90, 106
I<sa>ghu>ji>, 91, 105
Iskandar Yang Agung, 17
Ibn ‘Abd al-Ma>lik, 74
Ibn ‘Arabi>, 9, 67, 80, 81, 88, 99, 101, 111,
114, 118, 119 J
Ibn ‘At}a>’illa>h al-Sukandari>, 74
ibn Abi> H{amrah al-Mursi>, 67 Ja>bir ibn H{ayya>n, 31
ibn al-‘A<rif, Abu> al-'Abba>s Ah}mad 64 Jawa>b S{a>h}ib al-S{iqili>yah, 69, 75
Ibn al-Fa>rid{, 88 jawhar, 78, 82, 92, 110, 117, 124, 132, 133,
Ibn al-Khat}i>b, Lisa>n al-Di>n 61, 62, 63, 64, 65, 134
66, 67, 69, 70, 74 al-Ji>li>, 9, 88
Ibn But}la>n, 7, 29 jism al-mut}laq, 82, 110, 132, 133, 134
Ibn Daha>q, Ibra>hi>m ibn Yu>suf ibn Muh}ammad Jiwa Universal, 114, 115, 122, 123, 125, 126,
64 132, 133, 177
Ibn Daqi>q al-‘I<d, 130 al-Junayd, al-Baghda>di> 53, 99
Ibn Hu>d, 74 al-Jurja>ni>, 'Ali> Ibn Muh}ammad 99
ibn Isra>’i>l, Najm al-Di>n 67 al-Juwayni> (Ima>m al-H{ara>mayn), Abu> al-
Ibn Kathi>r, 62, 63, 64, 65, 73 Ma'a>li> 52, 64
185

K manusia paripurna, 86, 88, 94


al-maqa>ma>t wa-al-ah}wa>l, 98
al-Kala>m ‘alá al-Masa>’il al-S{iqili>yah, 8, 16, al-Maqqari>, Ah}mad Ibn Muh}ammad 61, 62,
69, 70, 85, 92, 94, 117, 125, 127, 128, 129, 63, 64, 65, 66, 67, 69, 70, 74
130 maqu>la>t al-‘ashrah, 92, 105
Kartanegara, Mulyadhi 1, 2, 4, 5, 7, 9, 14, 15, mara>tib, 77, 147
28, 30, 32, 36, 46, 49, 76, 81, 108, 109, Maroko, 8, 45, 65
112, 115, 116, 118, 119, 131, 144 matematika, 15, 38, 42, 50, 57, 63, 141, 144
al-kashf, 53, 54, 90, 106, 145 materialisme, 1, 109
kategori ilusi, 104 mawju>da>t, 78, 81, 82, 92, 110, 115, 135
al-kawn wa-al-fasa>d, 82, 114, 135 metafisika, 3, 10, 15, 17, 18, 21, 30, 38, 41,
kebaikan aksidensial, 95 42, 47, 50, 54, 55, 57, 75, 132, 136, 141
kebaikan esensial, 95 mi>ta>fi>zi>qa> al-akhla>q, 26, 61, 94
Kebaikan Mutlak, 85, 87, 88, 95, 96, 97, 98, mikrokosmos, 88
100 al-Mu‘a>firi> al-Sha>t{ibi>, Abu> 'Abdilla>h 67
Kebenaran Mutlak, 77, 85, 147 al-mubda‘ al-awwal, 81, 82, 110, 113
Kesatuan Mutlak, 10, 18, 26, 61, 78, 87, 89, mubdi‘ al-ashya>’, 81, 113
90, 92, 93, 94, 95, 97, 98, 99, 100, 101, al-Muh{a>sibi>, 53
102, 105, 107, 108, 110, 111, 113, 121, Muh}aqqiq, 17, 26, 61, 84, 85, 86, 87, 88, 89,
125, 129, 131, 132, 137, 144, 146, 147, 93, 94, 98, 103, 107, 125
149 mumkin al-wuju>d, 76, 78
kesatuan pengetahuan, 15 al-Munbaji>, Nas}r 74
kha>nqa>h, 53 al-Muqarrab, 84, 87, 88, 89
al-Kindi>, Ibn Ish}a>q 7, 35, 36, 40, 104, 112, al-Mura>kibi>, Mah}mu>d 17, 130
115, 121, 122 Murcia, 63, 64, 65
al-Kirma>ni>, 114 murshid, 98, 100
klasifikasi ilmu, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, musa>fir, 85, 94, 98, 99, 100, 101, 102
14, 15, 17, 18, 19, 20, 21, 25, 26, 27, 28, mutafannin, 42
29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 40, Muwahhidun, dinasti 16, 63, 65, 66
41, 42, 43, 46, 49, 50, 51, 52, 54, 57, 58, muwallada>t, 82, 110, 132, 135, 136
59, 61, 103, 108, 110, 125, 137, 138, 139, al-Muz}affar Shams al-Di>n Yu>nus al-Awwal,
140, 144, 147, 149, 150 67
Kramer, J.H. 122
N
L
al-Na>bulusi>, 114
late science, 50 nafs al-na>t}iqah, 83, 111
Lator, Esteban 63, 67 Nas}i>r al-Di>n al-T{u>si>, 36, 42
Leaman, Oliver 8, 9, 40, 51, 71, 78, 103, 114, Nasr, Sayyed Hossein 5, 6, 7, 8, 9, 28, 29, 30,
145, 153, 154, 159, 160, 161, 164 31, 33, 34, 35, 36, 37, 40, 42, 49, 50, 51,
logika Aristotelian, 26, 90, 91, 92, 93, 106, 53, 71, 76, 78, 91, 103, 114, 119, 120, 121,
107, 132, 145 123, 133, 144, 145, 148
lower science, 140, 144 neo-hanbalism, 45
Nisyapur, 51, 52
Niz}a>m al-Mulk, 51, 53
M Nubiola, Jaime 27
ma‘rifah, 59, 78, 128 Nuseibeh, Sari 103, 161
ma>hiyah, 78
madrasah niz}a>mi>yah, 53 P
Madrasah Sult}a>ni>yah, 49
al-Makdisi, George 7, 29 Panteisme, 79
makrokosmos, 88, 123 Pedersen, Johannes 32
mant}iq al-ishra>qi>, 90, 106 Peripatetik, 17, 36, 37, 40, 52, 90, 93, 106,
Mant}iq al-Muh}aqqiq, 17, 26, 61, 90, 91, 92, 107, 116, 119, 121, 126, 128, 132, 136,
93 154
186

Persia, 36, 42, 71, 102, 150 T


Plato, 17, 125
platonic ideas, 118 T{ari>qat al-Sab‘i>ni>yah, 17, 73
Powell, J.W. 27 al-t}abi>‘ah, 47, 82, 110, 132, 133, 134, 135,
pseudo-hierarki ilmu, 10, 148, 150 141
al-Tafta>za>ni>, Abu> al-Wafa> 9, 16, 61, 62, 63,
64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 74, 76,
Q 78, 79, 80, 81, 82, 85, 87, 88, 90, 93, 94,
al-Qanu>n fi al-T{ibb, 49 96, 97, 98, 99, 106, 110, 112, 113, 114,
al-qas}d al-awwal, 81, 82, 84 117, 118, 124, 126, 129, 130, 139, 140,
al-qas}d al-qadi>m, 81, 118, 137 144, 145, 146, 147
al-qas}d al-tha>ni>, 81, 82 tajribat al-ru>h}i>yah, 67
Qudama>’ ibn Ja‘far, 13 tas}awwur, 85, 129
Qut}b al-Di>n al-Qast}ala>ni>, 67, 72 tas}di>q, 85
Tauhid, 4, 15, 18, 19, 29, 30, 31, 151
teosof, 8, 9, 11, 17, 19, 61, 68, 88, 90, 106,
R 145, 146, 149
al-Randi>, Ibn 'Iba>d al-Nafazi> 74 al-thawa>b wa-al-‘iqa>b, 97
rasionalisme, 1, 30, 109 Tondl, Ladislav 27
Rational Science, 8, 46 Toynbee, Arnold J. 46
Renaissans, 109 tradisi intelektual Islam, 11, 13, 14, 25, 27,
Risa>lat al-Alwa>h,} 9, 69, 76, 96, 104, 121 28, 29, 30, 31, 32, 42, 59, 149
Risa>lat al-Ih}a>t}ah, 9, 69, 78, 81, 85, 99, 118 Transmitted Science, 46
Rosenthal, Franz 32, 161 Tunis, 45, 66, 72
Turner, Howard R. 32

S
U
S{afi> al-Di>n ‘Abd al-Mu’min, 71
safar, 85, 98, 99, 100, 101, 102 al-‘ulu>m al-‘aqli>yah, 63
Sardar, Ziauddin 1, 2, 3, 109 al-‘Ulu>m al-Adabi>yah, 26, 103
sebab pertama, 81, 112, 113 al-‘Ulu>m al-Falsafi>yah, 26, 103
al-Sha’ra>ni>, 74 al-‘ulu>m al-h}ikmi>yah, 41
al-Sha>dhili>, Abu> al-H{asan 67 al-‘ulu>m al-milli>yah, 41
al-Sha>dhili>yah, Tarekat 74 al-‘ulu>m al-naqli>yah, 30, 63
Shah} Waliyulla>h, 35 al-‘Ulu>m al-Shar‘i>yah, 26
Sharaf, Muh}ammad Ya>sir 8, 9, 17, 63, 65, 66, ‘umra>n, 46
67, 68, 69, 70, 71, 72, 76, 78, 93, 94, 96, Uljaytu, 49
104, 105, 117, 139, 146
al-Shawka>ni>, Muh}ammad ibn 'Ali> 72 V
Shehu, Salisu 14
al-Shibli>, 53 Valle de Ricote, 63
al-Shi>ra>zi>, Qut}b al-Di>n 7, 15, 36, 37, 42, 44,
108, 138 W
al-Shustari>, 74
Sicilia, 8, 61, 66, 74, 75, 124 wa>jib al-wuju>d, 77, 78
Socrates, 17 al-Wa>rith, 84, 88
Spallino, Patrizia 16, 62, 68, 76, 162 al-Wah}dah al-Mut}laqah, 9, 11, 12, 16, 17, 18,
status ontologis objek ilmu, 9, 10, 11, 26, 103, 26, 61, 73, 74, 76, 77, 78, 79, 81, 83, 84,
108, 137, 147, 150 85, 87, 89, 92, 93, 94, 96, 98, 102, 104,
al-Suhrawardi>, 42, 88, 90, 94, 100, 106, 116, 105, 108, 110, 113, 138, 146, 147, 149
118, 120 Wah}dat al-Wuju>d, 9, 17
al-Suku>ni>, Abu> Bakr ubn Khali>l 66, 72, 139 wahm, 76, 77, 78, 104, 121, 127, 146, 147,
supreme science, 141 149, 177
wuju>d muqaddar, 80
wuju>d muqayyad, 80
187

wujud hakiki, 76, 77, 146, 149 Z


wujud imateriil, 37, 111, 113, 114, 116, 120,
132, 133, 136, 144 Zakari>yya> ibn ‘Abd al-Wa>h{id ibn Abi> H{afs},
Wujud Mutlak, 76, 77, 78, 79, 80, 93, 94, 95, 67
101, 102, 107, 113, 146, 147, 149 al-Zarkali>, Khayr al-Di>n 49, 62, 64, 70
wujud-wujud materiil, 120, 121, 122, 124, al-zuhd al-‘urfi>, 101
132, 134, 135, 136 al-zuhd al-jali>l, 101
188
BIODATA PENULIS

Puad Hasan, lahir di Bogor, Jawa Barat, 29 Februari 1988, anak ke-4 dari ayah
KH. Abdullah Mubarok dan ibu Hj. Nurhayati. Ia bertempat tinggal di Jl. Pemuda
Dramaga, Petir Rt. 02/03 Purwasari Dramaga Bogor.
Memulai karier pendidikannya di MI Al-Manaf Dramaga Kab. Bogor (1994-
2000), selanjutnya di MTs Darussalam Dramaga dan lulus tahun 2003. Selama
menjalani karier pendidikan formalnya MI dan MTs, ia juga “nyantri” di Pesantren Al-
Mujahidun Dramaga Bogor, di bawah asuhan ayahnya sendiri. Kemudian penulis
melanjutkan ke jenjang SLTA di Madrasah Aliyah (MA) Perguruan Al-Masthuriyah
Cisaat Sukabumi, di bawah pimpinan al-Maghfur Lah KH. Fakhruddin Masthuro, dan
lulus tahun 2006. Pada waktu yang sama, mulai tahun 2003, penulis kembali
melanjutkan “nyantri”nya di Pesantren Salafiyah Babakan Tipar (2003-2013),
Pesantren Riyadhussyamsiyah (2008) dan Pesantren Nurul Iman (2009), Sukabumi.
Selama menjalankan karier “nyantri”nya ini pula, penulis menyelesaikan Sarjana S1-
nya (2007-2011) di Sekolah Tinggi Agama Islam Kharisma Sukabumi. Minat
mengembangkan kajian keislaman dirasa semakin urgen, kemudian pada awal 2012 ia
melanjutkan ke Program Magister Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, dengan konsentrasi studi Pemikiran Islam. Di tahun 2012 pula, penulis lulus
sebagai mahasiswa terbaik pada program Pendidikan Kader Ulama (PKU) VI MUI
Kab. Bogor.
Pengalaman organisasinya diawali dari menjadi ketua OSIS MTs Darussalam
Bogor (2002), pengurus OSIS MA Al-Masthuriyah (2005), Ketua Bid. Intelektual
Senat Mahasiswa STAI Kharisma Sukabumi (2009-2010), Ketua Komisariat PMII
STAI Kharisma (2009-2011), Ra’is ‘Am Pesantren Salafiyah Sukabumi (2010-2012),
Sekretaris I Bid. Kaderisasi PC. PMII Kab. Sukabumi (2011-2012). Kini, pengasuh
Pesantren Al-Mujahidun Bogor ini juga aktif di lembaga penelitian LPKPU (Lembaga
Pengkajian Keagamaan dan Pemberdayaan Umat), Lakpesdam PCNU Bogor,
Koordinator diskusi filsafat Gubuk Wisdom Sukabumi, staf redaksi dan kontributor
tulisan majalah Kalam Ulama MUI Kab. Bogor. Pada tahun 2015 mendatang, ia juga
didelegasikan oleh MUI Pusat yang bekerja sama dengan Liga Dunia Islam (World
Islamic League) dalam Program Pemberdayaan Masyarakat Islam, untuk
melaksanakan studi di Timur Tengah.
Dunia tulis menulis dimulai sejak masih di Pesantren. Beberapa tulisannya
antara lain: “Kesejukan” Tasawuf: Sebuah Upaya Meretas Radikalisme Agama (Kalam
Ulama ed. 7 no. 3, September 2014), Epistemologi Pendidikan Islam dalam Pandangan
NU (Skripsi, 2011), “Kalimah Thayyibah”: Ikhtiar Menggapai Cita-cita Kesejahteraan
Rakyat (LPTQ Jawa Barat, 2014), al-Maqu>la>t al-‘Ashrah (Sepuluh Kategori dalam
Tradisi Logika Aristotelian): Tah}qi>q atas karya Ah}mad al-Shuja>‘i> dalam bidang
Mant}iq berjudul “al-Jawahir al-Muntaz}ama>t fi> ‘Uqu>d al-Maqu>la>t” (Pesantren
Salafiyah Sukabumi, 2009),Wajah PMII dalam “Frame” Keislaman dan Keindonesiaan
(As-Shahwa PMII Sukabumi, 2014), Solusi Islam bagi Korban Penyalahgunaan
Narkoba: Wawancara dengan Dr. Syarifah Gustiawati tentang Disertasinya (Kalam
Ulama ed. 7 no. 3, September 2014), Nuansa Dialektika Teks dalam Tafsir: Resensi
Tafsi>r al-Muni>r karya Wahbah al-Zuhayli> (Kalam Ulama ed. 5 no. 3 Desember 2013).

Anda mungkin juga menyukai