Anda di halaman 1dari 15

PRINSIP

SETIA, ADIL DAN


KASIH

TUJUAN PEMBELAJARAN

1. Mengakui bahwa Allah adalah setia, adil dan kasih


2. Memahami makna setia, adil dan kasih
3. Menemukan penerapan prinsip setia, adil dan kasih

KATA KUNCI

Setia, Adil, Kasih

APERSEPSI

Menurut kalian, apa itu kesetiaan?


Bagaimana kesetiaan itu diwujudkan?

Ada sebuah kisah tentang seekor anjing


bernama Haciko. Hachiko adalah seekor
anjing jenis Akita yang pemiliknya
bernama Hidesaburo Ueno, seorang
profesor yang bekerja di Departemen
Pertanian, Universitas Tokyo.

1
Ueno menggunakan kereta api dari rumahnya untuk menuju ke kantornya. Sejak
pertama diambil, Hachiko menemani Ueno ke Stasiun Shibuya, dan pada saat
kereta yang membawa Ueso tiba kembali, Hachiko sudah siap menunggu di
stasiun itu juga. Ini berlangsung sampai dengan Mei 1925. Suatu ketika saat
Uneo sedang dikantornya, dia mengalami perdarahan di otak dan kemudian
meninggal tanpa pernah kembali ke rumahnya. Namun setiap hari, pada saat
biasanya kereta yang membawa Ueno tiba kembali di Stasiun Shibuya, Hachiko
terlihat menunggu tuannya di tempat yang sama. Ini berlangsung terus selama
sembilan tahun.

Pada awalnya, orang-orang merasa terganggu dengan kehadiran Hachiko


sampai kemudian ada seorang mahasiswa Profesor Ueno yang melihat Hachiko
di stasiun dan mengikutinya saat Hachiko meninggalkan stasiun. Ternyata,
Hachiko menuju ke rumah mantan tukang kebun Ueno yang kemudian
menjelaskan riwayat Hachiko.

Sang mahasiswa mulai menerbitkan artikel tentang anjing Akita yang memang
tergolong jenis langka, namun terkenal untuk kesetiaannya. Pada tanggal 4
Oktober 1932, muncul artikel di koran terkemuka, Asahi Shimbun, tentang
Hachiko. Artikel ini membuka mata orang-orang sekitar yang menyadari betapa
setianya Hachiko menunggu kehadiran tuannya. Mereka mulai membawakan
makanan untuk Hachiko. Bahkan, guru-guru dan orang tua mengisahkan
tentang Hachiko kepada anak-anak agar mereka menyadari makna kesetiaan.

Karena begitu terkenalnya, pada tahun 1934 didirikanlah patung perunggu yang
menyerupai profil Hachiko, tepat di tempat biasanya Hachiko menunggu
tuannya. Uniknya, Hachiko hadir pada saat peresmian patung ini. Sayangnya,
pada Perang Dunia II, patung ini hancur. Namun, pada tahun 1948 patung ini
dibangun kembali, dan sampai sekarang masih dapat kita lihat di stasiun
Shibuya.

2
DASAR TEOLOGIS UNTUK SETIA

Mari kita belajar dari Alkitab


tentang makna kesetiaan. Firman
Tuhan sendiri yang menyatakan
bahwa Allah adalah setia :

Sebab itu haruslah kauketahui,


bahwa Tuhan, Allahmu, Dialah
Allah, Allah yang setia, yang
memegang perjanjian dan kasih
setia-Nya terhadap orang yang
kasih kepada-Nya dan berpegang
pada perintah-Nya, sampai kepada
beribu-ribu keturunan. (Ulangan
7:9).

Sebagai umat-Nya, tentu kita juga dituntut untuk setia. Kali ini kita akan belajar
dari Nabi Yeremia yang mungkin tidak terlalu sering dibahas di dalam khotbah
atau pelajaran Sekolah Minggu. Dalam Bab V sudah disinggung tentang
kehidupan bangsa Yehuda, yaitu kepada siapa Nabi Yeremia diutus. Bila kalian
ingin memahami lebih baik pergumulan Nabi Yeremia, bacalah seluruh kitab
Yeremia, yang terdiri dari 52 pasal. Untuk keperluan pembahasan kesetiaan, kita
akan coba mengkajinya dalam beberapa hal.

Nabi Yeremia adalah anak seorang imam bernama Hilkia. Dalam kajian Marx
(1971), Yeremia adalah satu-satunya nabi yang dipilih Tuhan sejak dalam
kandungan.

Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal
engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan

3
engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa.
(Yeremia 1:5).

Ada lagi sejumlah keunikan Nabi Yeremia. Ia juga tidak dibolehkan untuk
menikah.

Firman Tuhan datang kepadaku, bunyinya, “Janganlah mengambil isteri dan


janganlah mempunyai anak-anak lelaki dan anak-anak perempuan di tempat
ini.” (Yeremia 16:1-2).

Selama hidupnya, Nabi Yeremia mengalami bagaimana bangsa Yahudi


berperang melawan Mesir dan Babel. Bahkan, ia juga merasakan bagaimana
hidup dalam masa pembuangan ke Babel. Ia hidup dalam pemerintahan
beberapa raja, yaitu Yosia, Yoyakim, Yoyakhin, dan Zedekia.

Usia Yosia saat menjadi raja Yehuda masih sangat muda, yaitu 8 tahun. Pada
pemerintahan Yosialah terjadi pembaharuan hidup keagamaan. Yosia ingin
hidup sesuai dengan petunjuk yang ditemukannya dalam kitab Taurat. Kitab
Taurat ini ditemukan oleh Imam Hilkia, ayah Yeremia, di Bait Allah. Pembaharuan
yang dilakukan Raja Yosia adalah dengan mengajak rakyatnya mengikrarkan
kesetiaan mengikuti Tuhan (2 Raja-raja 23).

Sejumlah hal lain yang dilakukan adalah menghancurkan berbagai perkakas


yang dipakai untuk menyembah para ilah, termasuk bukit-bukit pengorbanan,
serta membunuh para imam yang mengajak rakyat menyembah dewa Baal.
Sayangnya, Raja Yosia dibunuh oleh Raja Mesir. Penggantinya, Yoyakim dan
Yoyakhin, tidaklah hidup seperti Raja Yosia dalam hal kesetiaan kepada Tuhan.
Raja Babel malah menaklukkan kerajaan Yehuda dan mengangkut perkakas Bait
Allah serta penduduk Yerusalem ke Babel.

Nabi Yeremia mulai menyuarakan perintah dan pesan Tuhan sejak zaman Raja
Yosia hingga Raja Zedekia. Memang Tuhan sudah memilih Yeremia sebagai nabi
sejak Yeremia masih di dalam kandungan. Namun Nabi Yeremia pertama kali
4
mendengarkan firman Tuhan yang meneguhkan dia sebagai nabi pada tahun
ketiga belas pemerintahan Raja Yosia. Pada masa pemerintahan Raja Yosia,
Yoyakim, Yoyakhin, dan Zedekia, Yeremia menyampaikan firman Tuhan yang
didengarnya agar raja dan rakyat mau sungguh-sungguh setia kepada Tuhan.
Ini salah satu pernyataan Yeremia pada zaman Raja Yosia :

Pergilah menyerukan perkataan-perkataan ini ke utara, katakanlah: ‘Kembalilah,


hai Israel, perempuan murtad, demikianlah
firman Tuhan. Muka-Ku tidak akan muram terhadap kamu, sebab Aku ini murah
hati, demikianlah firman Tuhan, tidak akan murka untuk selamalamanya. Hanya
akuilah kesa-lahanmu, bahwa engkau telah mendurhaka terhadap Tuhan,
Allahmu, telah melampiaskan cinta berahimu kepada orangorang asing di bawah
setiap pohon yang rimbun, dan tidak mendengarkan suara-Ku, demikianlah
firman Tuhan.” (Yeremia 3:12-13).

Pada zaman Raja Yoyakim, ini salah satu pesan Tuhan yang disampaikan oleh
Yeremia.

Demi Aku yang hidup, demikianlah firman Tuhan, bahkan sekalipun Konya bin
Yoyakim, raja Yehuda, adalah sebagai cincin meterai pada tangan kanan-Ku,
namun Aku akan mencabut engkau! Aku akan menyerahkan engkau ke dalam
tangan orang-orang yang berusaha mencabut nyawamu, ke dalam tangan
orang-orang yang engkau takuti, ke dalam tangan Nebukadnezar, raja Babel,
dan ke dalam tangan orang-orang Kasdim. Aku akan melemparkan engkau serta
ibumu yang melahirkan engkau ke negeri lain, yang bukan tempat kelahiranmu;
di sanalah kamu akan mati. Tetapi ke negeri yang mereka rindukan untuk
kembali ke situ, mereka tidak akan kembali!” (Yeremia 22:24-27).

Pada zaman Raja Zedekia, ini salah satu firman Tuhan yang disampaikan Nabi
Yeremia :

Beginilah firman Tuhan, Allah Israel, Sesungguhnya, Aku akan membalikkan


senjata perang yang kamu pegang, yang kamu pakai berperang melawan raja
5
Babel dan melawan orang-orang Kasdim yang mengepung kamu dari luar
tembok; Aku akan mengumpulkannya ke dalam kota ini. Aku sendiri akan
berperang melawan kamu dengan tangan yang teracung, dengan lengan yang
kuat, dengan murka, dengan kehangatan amarah dan dengan kegusaran yang
besar. Aku akan memukul penduduk kota ini, baik manusia maupun binatang;
mereka akan mati oleh penyakit sampar yang hebat.” (Yeremia 21:4-6).

Mengenai para nabi palsu yang banyak pada masa itu, inilah firman Tuhan yang
disampaikan Yeremia,

Sesungguhnya, Aku akan menjadi lawan mereka yang menubuatkan mimpi-


mimpi dusta, demikianlah firman Tuhan, dan yang menceritakannya serta
menyesatkan umat-Ku dengan dustanya dan dengan bualnya. Aku ini tidak
pernah mengutus mereka dan tidak pernah memerintahkan mereka. Mereka
sama sekali tiada berguna untuk bangsa ini, demikianlah firman Tuhan.” (Yeremia
23:32).

Bagaimana reaksi mereka yang mendengarkan perkataan Tuhan yang


disampaikan oleh Yeremia ini? Sangatlah wajar bila tidak ada yang mau men-
dengarkan Yeremia. Ia bahkan dibenci dan banyak yang berusaha
membiarkannya mati. Akan tetapi, semua ancaman dan perlakuan kejam kepada
Yeremia tidak membuatnya gentar. Ia lebih takut apabila ia tidak menyuarakan
kebenaran firman Tuhan daripada tunduk pada ancaman yang dilontarkan
orang-orang kepadanya. Jika kita juga hadir pada masa itu, suara kenabian
manakah yang lebih kita pilih, yang menyampaikan damai sejahtera bahwa
semuanya akan berlangsung baik-baik saja atau suara yang bernada ancaman
dan kehancuran? Tentu suara yang pertama, bukan? Padahal itulah yang
disuarakan oleh para nabi palsu. Perlu kita perhatikan di sini bahwa
menyampaikan firman Tuhan adalah suatu perbuatan yang penuh dengan risiko,
karena pada dasarnya manusia bersifat membangkang kepada Tuhan sang
Pencipta.

6
Namun, Yeremia menunjukkan kesetiaannya kepada Tuhan. Di balik semua
ancaman yang Yeremia sampaikan, ia juga gencar menyampaikan janji Tuhan.
Salah satunya tertera sebagai berikut :

Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku


mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera
dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan
yang penuh harapan. Dan apabila kamu berseru dan datang untuk berdoa
kepada-Ku, maka Aku akan mendengarkan kamu.” (Yeremia 29:1-12).

Yeremia sangat mengasihi bangsa Israel dan ia sungguh-sungguh ingin agar


bangsa Israel memiliki damai sejahtera Tuhan meskipun mereka berada dalam
pembuangan. Itu sebabnya Yeremia tidak jemu-jemunya menyampaikan
berkali-kali pesan Tuhan kepada umat-Nya. Sikap Nabi Yeremia ini sangatlah
berbeda dengan Nabi Yunus (Yunus pasal 1-4). Setelah menolak perintah Tuhan
untuk pergi ke Niniwe, Yunus kemudian mau menyampaikan seruan Tuhan agar
bangsa Niniwe bertobat. Namun, Yunus memilih untuk menunggu kapan
penghukuman Tuhan berlaku kepada bangsa Niniwe. Artinya, Nabi Yunus lebih
memilih melihat bangsa Niniwe hancur dalam kebinasaan daripada hidup
selamat karena sudah bertobat kepada Tuhan.

Di sini dapat kita pelajari makna kesetiaan kepada Tuhan:

1. Percaya pada apa yang Tuhan firmankan karena itu akan digenapiNya.
2. Tidak perlu takut saat menyampaikan kebenaran firman Tuhan.
3. Memberitakan kebenaran firman Tuhan dilandasi oleh kasih yang tulus
kepada mereka yang menerima pemberitaan ini.

7
DASAR TEOLOGIS UNTUK KEADILAN

Untuk menghayati makna keadilan, mari kita merasakan bagaimana rasanya


diperlakukan tidak adil. Pada saat ini, cukup banyak siswa di SD, SMP, sampai
SMA yang mengalami ketidakadilan dalam bentuk perundungan (bullying)
karena mereka dianggap berbeda oleh yang menindas mereka secara sengaja.
Akibatnya, mereka merasa sebagai orang yang sial, rendah diri, bahkan cukup
banyak yang melakukan tindakan bunuh diri. Kasus terakhir yang bunuh diri
karena menjadi korban perundungan terjadi pada tanggal 14 Januari 2020 pada
N, siswa suatu SMP Negeri di Jakarta.

Analisis yang cukup menarik dari berbagai penelitian menemukan minimal dua
kesamaan antara pelaku dan korban perundungan (Kawabata et.al, 2011;
Pinquart, 2017). Pertama, pelaku perundungan juga tertekan karena mengalami
tindakan tidak adil dan mereka melampiaskannya kepada orang lain yang
tampak lemah, tidak berdaya, dan berbeda. Kedua, korban perundungan adalah
mereka yang terbiasa diam saja, pasif, dan jarang menyuarakan pendapat

8
pribadinya. Di rumah, hubungan korban dengan orang tua biasanya tidak akrab
sehingga jarang ada percakapan dari hati ke hati dengan orang tua. Apalagi,
pelaku perundungan biasanya mengancam korbannya agar tidak menceritakan
perlakuan itu kepada orang lain. Dengan demikian, untuk beberapa waktu
lamanya, pelaku cukup bebas melakukan tindakan perundungan berulang-
ulang kepada korban yang sama. Sebagai akibatnya, korban tidak tahan dan bisa
sampai pada keputusan untuk mengakhiri hidupnya.

Dalam skala yang paling kecil, mungkin saja ada di antara kalian yang
merasakan ketidakadilan di dalam lingkungan keluarga. Perbedaan perlakuan
orang tua terhadap anak yang dianggap anak kesayangan dibandingkan dengan
anak yang bukan kesayangan, atau membandingkan anak dengan anak lain
yang dianggap lebih berhasil merupakan tindakan tidak adil kepada anak. Tidak
ada satu pun individu yang suka jika ia dianggap jelek, bodoh, rendah, hina, dan
berbagai label negatif lainnya. Tentu saja, setiap manusia adalah ciptaan Tuhan
yang serupa dengan-Nya. Melakukan penghinaan apalagi sampai membunuh
manusia lain sama dengan melanggar perintah Tuhan (Keluaran 20:13).
Pemazmur menyatakan bahwa Allah adalah adil :

Sebab Tuhan adalah adil dan Ia mengasihi keadilan; orang yang tulus akan
memandang wajah-Nya.(Mazmur 11:7).

Menurut Sproul (2013), pemahaman bahwa Tuhan adalah hakim yang adil perlu
dimiliki oleh setiap manusia. Pesan Alkitab tentang keadilan cukup banyak.
Dapat dikatakan bahwa Alkitab menyajikan pemahaman yang utuh tentang
keadilan. Semua perbuatan yang dilakukan manusia diperhitungkan oleh Tuhan
karena Tuhan memiliki patokan yang jelas tentang mana yang benar dan mana
yang salah. Hal ini ditegaskan oleh Rasul Paulus dalam Roma 2:6-11.

Bisa kalian duga berapa banyak jumlah kata “adil” dan berbagai turunannya
(keadilan) di dalam Alkitab berbahasa Indonesia? Sedikitnya ada 575 di
Perjanjian Lama dan 217 di Perjanjian Baru. Hanya 5 kitab di Perjanjian Lama
(Rut, Kidung Agung, Yunus, Nahum, dan Hagai) serta 4 kitab di Perjanjian Baru
9
(Galatia, Filemon, 2 Yohanes, dan 3 Yohanes) yang tidak memiliki kata “adil” di
dalamnya. Silakan kalian mencari di dalam kitab-kitab tersebut tentang apa yang
dituliskan tentang “adil”.

Di sini dicantumkan beberapa ayat yang menegaskan pesan Tuhan tentang


“adil”.

1. Yesaya 30:18b. “Sebab Tuhan adalah Allah yang adil; berbahagialah semua
orang yang menanti-nantikan Dia!”
2. Mikha 6:8. “Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan
apakah yang dituntut Tuhan dari padamu: selain berlaku adil, mencintai
kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?”

Yesaya 30 ayat 18b menegaskan bahwa Allah adalah adil. Kita manusia
diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, jadi adil seharusnya juga sifat dan
sikap yang kita sudah miliki. Apa artinya adil? Mari bayangkan situasi berikut.

Seorang ibu yang memiliki 13 anak, diwawancara oleh seorang wartawan yang
ingin tahu, bagaimana cara ibu itu menerapkan kasih sayangnya. “Tentunya Ibu
melakukan segalanya dengan adil, ya? Sama rasa, sama rata, dan membagi
makanan sama banyak?” tanya wartawan. “Bukan sama rasa, sama rata, dan
sama banyak,” jawab sang ibu. “Saya menerapkan adil dengan prinsip semua
anak memiliki hak dan tanggung jawab sesuai dengan kebutuhan masing-
masing. Makanan tersedia dan masing-masing mengambil sesuai dengan
kebutuhannya. Mereka boleh saja mengambil sesuai dengan “jatah” masing-
masing, tetapi apa gunanya saya memberikan kepada anak terkecil berusia 3
tahun makanan yang sama banyaknya dengan kakaknya yang berusia 15 tahun?
Bila ada anak yang sakit, maka ia berhak untuk saya urus sampai ia sembuh
kembali. Sementara itu, anak-anak lainnya akan mengatur pembagian tugas
supaya semua pekerjaan yang ada tetap dapat diselesaikan dengan baik.”

Perhatikan bahwa adil juga mencakup apa yang diterima oleh masing-masing
pihak sesuai dengan kebutuhannya.
10
Gardner (1995) menyatakan bahwa keadilan yang Tuhan perlihatkan tidaklah
sekadar untuk membedakan mana yang salah dari yang benar. Keadilan Tuhan
terkait erat dengan sifat Tuhan sebagai Pengasih. Betul bahwa manusia sudah
berdosa karena melanggar perintah Tuhan dan karena itu layak untuk
mendapatkan hukuman. Namun, kasih Tuhan menyelamatkan manusia yang
seharusnya menanggung akibat dosa yang diperbuatnya.

Sayangnya, belum tentu sifat asli untuk adil ini dipupuk oleh keluarga dan
pendidikan. Di atas sudah dituliskan bahwa ada saja orang tua yang berlaku tidak
adil terhadap anaknya sendiri dan ini tentu membekas dalam hati anak, bahkan
sampai ia dewasa. Itu sebabnya, para nabi, Tuhan Yesus dan murid-murid Yesus
termasuk Rasul Paulus, tidak bosan-bosannya berpesan tentang bersikap adil
yang harus kita usahakan. Karena tidak akan tumbuh dengan sendirinya. Ketika
kita dapat melihat orang lain dalam kedudukan yang sederajat dengan kita atau
ketika kita melihat orang lain yang tidak lebih berharga atau tidak lebih hina dari
diri kita, kita dapat menerapkan prinsip keadilan ini.

Sejumlah penelitian terhadap pelaku kriminal yang menjalani hukuman karena


membunuh (lihat Kristinawati, 2020) menemukan bahwa keluarga yang tidak
berfungsi dengan baik, terutama dalam hal menghargai anak dan
menumbuhkan rasa percaya diri pada anak akan menghasilkan individu yang
bersikap pendendam dan agresif, atau sebaliknya, memiliki sikap rendah diri dan
tidak berdaya. Penghargaan kepada pendapat anak akan memupuk rasa
percaya diri anak yang berakibat pada munculnya rasa menghargai orang lain
juga. Individu dapat merasakan bahwa ia sama berhar-ganya dan sama
istimewanya dengan orang-orang lain sehingga tidak sulit baginya untuk
mengakui bahwa setiap orang sama berharganya di hadapan Allah.

Bukan hanya keluarga, terrnyata lingkungan pergaulan juga memupuk


ketidakberdayaan anak sejak dini. Bechtold, Cavanagh, Shulman, Cauffman
(2014), misalnya menemukan bahwa perilaku kriminal para remaja yang
dimasukkan dalam penjara sudah dapat diramalkan sejak mereka masih berusia
11
lebih muda. Orang tua, khususnya ibu, sudah memiliki kepekaan bahwa anaknya
akan bertingkah laku kriminal kelak di kemudian hari. Kepekaan ibu ini muncul
karena mendengarkan keluhan-keluhan yang dilontarkan anaknya bahwa ia
merasa diperlakukan tidak adil oleh lingkungannya, termasuk di sini perlakuan
teman-teman sebaya, perlakuan guru, dan sebagainya. Mengalami
ketidakadilan akan memupuk rasa dendam yang kemudian dilampiaskan melalui
perilaku kriminal ketika situasi memungkinkan. Sungguh luar biasa pengaruh
dari pengalaman ketidakadilan, ya?

Sampai di sini, tentu kita semakin yakin bahwa bersikap adil harus dipupuk sejak
dini. Seseorang tidak bisa dituntut untuk memiliki sikap adil jika ia sendiri tidak
pernah merasakan bagaimana rasanya diperlakukan adil. Karena pengalaman
diperlakukan tidak adil hanya memupuk rasa tidak berdaya dan ingin membalas
dendam. Sebaliknya, pengalaman diperlakukan dengan adil akan memupuk
sikap adil terhadap orang lain. Dengan demikian, bisa kita sepakati bahwa untuk
menegakkan keadilan di muka bumi ini, semua pihak harus sungguh-sungguh
mengusahakan terjadinya keadilan, mulai dari unit yang paling kecil, yaitu
keluarga, sampai ke unit yang paling besar, yaitu dunia.

Setia dan adil ternyata dilandasi


oleh sifat yang lebih dikenal
sebagai ciri orang Kristen, yaitu
kasih. Dalam masa pelayanan
Tuhan Yesus di dunia yang
terhitung singkat sungguh sangat
banyak pesan, teguran,
perumpamaan, dan tindakan
nyata yang menunjukkan bahwa
Tuhan Yesus mengajarkan tenang
pentingnya mengasihi sesama
seperti diri sendiri.

12
Tuhan yang kita kenal adalah Tuhan yang sifat dasarnya adalah kasih, benar,
kudus, pengampun dan penuh kasih karunia, serta adil (Geisler & Snuffer,
2007). Para filsuf, misalnya saja Moser (2017) dan C. S. Lewis (2001)
menyebutkan bahwa kasih Tuhan berlaku tanpa putus-putusnya dan tidak
akan berhenti, kekal sepanjang masa. Bukti kasih Tuhan kepada manusia
ciptaan-Nya dapat ditemukan di hukum Taurat (Geisler & Snuffer, 2007).

Bagaimana Mempraktikkan Kasih dalam Hidup Sehari-hari ?

Untuk mendapatkan petunjuk bagaimana kita mempraktikkan kasih dalam


kehidupan kita sehari-hari, mari kita belajar lagi dari Alkitab. LUKAS 15:11-
32 Perumpamaan Tentang Anak Yang Hilang.

Silakan dibaca ayat-ayat tesebut. Setelah membaca, jawablah pertanyaan


berikut.

a. Apa yang dilakukan si anak bungsu? Apakah melukai hati sang ayah?
b. Menurut kalian, mengapa ayah tetap memenuhi permintaan “gila” dari si
anak?
c. Pada saat anak bungsu sudah menghabiskan semua uangnya dengan hidup
berfoya-foya, mengapa ia masih berani untuk pulang ke rumah ayahnya
walaupun ia memilih untuk dianggap sebagai pelayan, bukan anak?
d. Dari perumpamaan ini, apa saja yang kalian pelajari tentang sifat Allah?

Kesempatan untuk mempraktikkan kasih muncul setiap saat. Bagaimana


caranya?

Kita mengingat pesan Tuhan Yesus di dalam MATIUS 22:37-39 yang sering
juga disebut sebagai hukum kasih. Memang tidak berlebihan bila dikatakan
bahwa ajaran Kristen adalah ajaran kasih. Seluruh pikiran kita, rencana yang
akan dilakukan dan keputusan yang kita buat harus diperhitungkan baik-baik.
Apakah betul itu akan memuliakan Tuhan sebagai tanda bahwa kita mengasihi
13
Tuhan yang sudah lebih dulu mengasihi kita sekaligus sebagai wujud bahwa
kita mengasihi orang lain seperti diri kita sendiri?

Satu patokan yang dapat kita gunakan untuk menerapkan kasih ini adalah
menerapkannya tanpa syarat (unconditional love). Sama seperti Tuhan sudah
mengasihi kita terlebih dulu, terlepas dari apa yang kita sudah lakukan untuk-
Nya, inilah yang menjadi modal kita saat berinteraksi dengan orang lain, yaitu
menerima dia apa adanya, bukan karena dia sudah lebih dulu melakukan
kebaikan untuk kita atau sebaliknya, membenci seseorang karena ia lebih dulu
membenci dia. Sejujurnya, mengasihi Tuhan dan sesama adalah dua sisi dari
satu mata uang yang memang tidak bisa dipisahkan. Ketika kita mengasihi
Tuhan, kita terdorong untuk mengasihi sesama, dan saat kita mengasihi
sesama, kita sedang mempraktikkan kasih kita kepada-Nya.

Belajar dari Volf (2009), seorang teolog berkebangsaan Kroasia yang tumbuh
dalam masyarakat dengan berbagai keragaman, kita diingatkan untuk hal-hal
yang dapat kita praktikkan sebagai wujud kasih kita kepada Tuhan dan sesama
sebagai berikut.

1. Kita tidak bisa memaksakan kehendak kita, menganggap diri kita paling
benar. Apabila kita melakukan hal ini, mereka yang berbeda dengan kita
pun akan memaksakan kehendak mereka kepada kita.
2. Kita perlu melakukan pembekalan agar mereka yang masih muda dan
belum paham, dapat disiapkan untuk melakukan yang benar dan
menghindarkan yang salah serta merugikan orang lain.
3. Mereka yang menjadi korban dan terluka karena perlakuan orang lain
yang melanggar prinsip “mengasihi sesama” ini perlu didampingi,
dilindungi, dan kemudian diberdayakan agar tetap siap menjalani masa
depan mereka tanpa terganggu oleh pengalaman pahit yang mereka
terima sebelumnya.

Apabila ketiga hal ini dilakukan oleh setiap bagian masyarakat, kehidupan yang
menghadirkan damai akan sungguh terasa. Dengan kata lain, kita tidak perlu
14
menunggu Tuhan melakukan sesuatu untuk membawa pemulihan dan
pembebasan, kitalah yang menjadi alat-Nya untuk menghadirkan kehidupan
seperti yang Ia inginkan.

RANGKUMAN

Dari sekian banyak sifat yang Tuhan miliki,


pada bab ini kita fokus pada setia, adil,
dan kasih. Allah adalah Allah yang setia,
adil, dan penuh kasih. Allah yang setia
adalah Allah yang tidak pernah
membiarkan ciptaan-Nya mengalami
kebinasaan.

Allah yang adil adalah Allah yang menghukum mereka yang melakukan
kesalahan terhadap Allah dan sesama. Allah yang penuh kasih adalah
yang selalu menginginkan yang terbaik untuk umat-Nya, sesuai dengan
rancangan indah-Nya yang membawa kebaikan bagi semua.

Ketiga sifat Allah ini saling terkait dan mengingatkan kita bahwa seluruh
hidup manusia ada dalam pemeliharaan Tuhan, mulai dari kandung-an
sampai pada bagaimana kita menjalani hari-hari kita saat ini, bahkan
sampai akhir nanti. Untuk membalas kebaikan Tuhan, kita pun perlu
bersikap setia, adil, dan penuh kasih, baik terhadap Allah maupun
kepada sesama kita. Oleh karena itu, jangan menyimpan ini semua untuk
diri sendiri, tetapi bagikan kepada orang lain agar mereka juga dapat
merasakan dan mengakui pemeliharaan Tuhan untuk kehidupan mereka.

15

Anda mungkin juga menyukai