Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH MATERNITAS

ASKEP PADA IBU DENGAN MASALAH MASTITIS DAN INFEKSI


PEUPURALIS

DIBUAT OLEH :

NAMA : Rheza

NPM. : F0H021027

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS BENGKULU

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Mastitis adalah infeksi peradangan pada mammae, terutama pada primiparu yang biasanya
disebabkan oleh staphylococcus aureus. Infeksi ini terjadi melalui luka pada puting susu, tetapi mungkin
juga melalui peredaran darah (Prawirohadjo, 2001). Mastitis adalah peradangan payudara, yang dapat
disertai atau tidak disertai dengan infeksi Penyakit ini biasanya menyertai laktasi, sehingga disebut juga
mastitis laktasional atau mastitis puerperalis. Kadang-kadang keadaan ini dapat menjadi fatal apabila
tidak diberi tindakan yang adekuat Mastitisjuga seringkali disebut sebagai abses payudara, dimana terjadi
pengumpulan nanah lokal di dalam payudara. Keadaan ini menyebabkan beban penyakit yang berat dan
memerlukan biaya yang sangat besar untuk pengobatannya. Penelitian terbaru juga ada yang menyatakan
bahwa mastitis dapat meningkatkan risiko penularan HIV melalui menyusui.
Pengeluaran ASI yang tidak efisien akibat teknik menyusui yang kurang benar merupakan
penyebab yang penting, tetapi pada kenyataannya saat ini masih banyak petugas kesehatan yang
menganggap bahwa mastitis masih sama dengan infeksi payudara. Mereka sering tidak mampu membantu
pasien mastitis untuk terus menyusui, dan mereka bahkan mungkin menyarankan pasien tersebut untuk
berhenti menyusui, yang sebenarnya hal tersebut tidak perlu.
Makalah ini disusun untuk menyajikan informasi tentang konsep dasardan asuhan keperawatan
mastitis laktasional, untuk menuntun penatalaksanaan pembelajaran yang tepat sehingga pasien mastitis
masih dapat mempertahankan agar tetap dapat memberikan ASI
kepada bayinya secara eksklusif.

B. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini antara lain:
a. Mengetahui definisi mastitis,
b. Mengetahui etiologi mastitis
c. Mengetahui tanda dan gejala mastitis.
d. Mengetahui patofisiologi mastitis;
e. Mengetahui komplikasi dan prognosis mastitis;
f. Mengetahui pengobatan mastitis;
g. Mengetahui pencegahan mastitis.
h. Mengetahui pemeriksaan penunjang mastitis,
i. mengetahui asuhan keperawatan pada pasoen dengan mastitis.
C. Manfaat
Manfaat makalah ini dapat diuraikan sebagai berikut

a. Bagi mahasiswa, hasil makalah diharapkan dapat memberikan pemahaman dan pengertian
terhadap pentingnya kesehatan dan mampu memberikan asuhan keperawatan dengan benar,
b. Bagi penulis, makalah ini diharapkan dapat menambah dan meningkatkan wawasan,
pengetahuan dan pengalaman belajar yang terkait dengan masalah pada sistem reproduksi
wanita, yaitu penyakit mastitis inisehingga dalam mempraktikkan ilmu yang terkait akan
lebih mudah.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Mastitis
1. Definisi Mastitis
Mastitis adalah peradangan payudara pada satu segmen atau lebih yang dapat disertai
infeksi ataupun tidak. Mastitis biasanya terjadi pada primipara (ibu pertama kali melahirkan),
hal ini terjadi karena ibu belum memiliki kekebalan tubuh terhadap infeksi bakteri
Staphilococcus Aureus. Kasus mastitis diperkirakan terjadi dalam 12 minggu pertama, namun
dapat pula terjadi pula sampai tahun kedua menyusui (Maretta Nur Indahsari & Chusnul
Chotimah, 2017). Mastitis perlu diperhatikan karena dapat menimbulkan luka sehingga
terjadi mastitis infeksi. Mastitis adalah masalah umum yang signifikan pada ibu menyusui
yang dapat berkontribusi pada penyapihan menjadi masalah yang paling banyak
dilaporkan(Rsud, Margono, & Purwokerto, n.d.). Pada mastitis terdapat dua hal yang perlu
diperhatikan yaitu, mastitis biasanya dapat menurunkan produksi ASI sehingga ibu akan
berhenti menyusui. Kemudian, mastitis juga berpotensi menyebabkan beberapa penyakit
(Nurhafni, 2018). Ada dua jenis mastitis yaitu, mastitis non infeksi dan mastitis infeksi.
Mastitis non infeksi yang biasanya disebabkan oleh stasis susu (susu diproduksi, tetapi tetap
di payudara). Ibu yang mengalami mastitis non infeksi biasanya merasakan payudara terasa
nyeri, bengkak dan ketidaknyaman (Chiu et al., 2010) . Stasis susu mungkin memiliki sebab-
sebab antara lain : Bayi tidak menempelkan payudara secara efektif saat menyusui. Bayi
mengalami kesulitan mengisap ASI dari payudara. Bayi jarang mendapat ASI. Saluran susu
dapat tersumbat karena tekanan pada payudara sepert pakaian ketat. Apapun yang
menghentikan ASI tidak diekspresikan dengan benar biasanya akan menghasilkan stasis susu,
yang sering menyebabkan penyumbatan saluran susu jika dibiarkan akan timbul luka
sehingga mangakibatkan infeksi, sedangkan mastitis infeksi disebabkan oleh bakteri yang
umumnya tidak berkembang dalam saluran susu. tetapi, jika saluran susu berhenti
kemungkinan infeksi akan tumbuh tumbuh. Para ahli percaya bahwa bakteri yang ada di
permukaan kulit payudara masuk ke payudara melalui retakan kecil atau pecah di kulit.
Mereka juga menyarankan bahwa bakteri di mulut bayi bisa masuk ke payudara ibu saat
menyusui (Walker, 2009). Diagnosis mastitis biasanya klinis, dengan pasien yang mengalami
nyeri tekan dalam satu payudara (Jeanne & Spencer, 2008).
2. Etiologi
Ada beberapa penyebab terjadinya mastitis antara lain sebagai berikut: Stasis ASI dan
infeksi yang berasal dari bakteri. Faktor predisposisi yang menyebabkan mastitis diantaranya
adalah umur, stress dan kelelahan, pekerjaan di luar rumah (Inch dan Xylander, 2012). Stasis
ASI terjadi jika ASI tidak dikeluarkan efisen dari payudara. Hal ini dapat terjadi apabila ASI
terbendung pada payudara yang disebabkan oleh kenyutan bayi tidak efektif atau teknik
menyusui yang tidak benar. Stasis ASI merupakan penyebab primer dan jika dibiarkan akan
berkembang timbul infeksi. Menyusui yang efesien akan mencegah terjadi stasis ASI (Rsud
et al., n.d.). Infeksi disebabkan oleh bakteri yang bernama Staphylococcus Aureus. Bakteri ini
berasal dari mulut bayi memalui saluran puting, sehingga teknik menyusui yang salah akan
menyebabkan puting menjadi lecet. Hal ini akan memudahkan bakteri masuk pada payudara
dan mengakibatkan penyumbatan ASI payudara menjadi besar, terasa nyeri tekan dan terasa
panas. Penyumbatan yang diakibatkan oleh infeksi dapat mengakibatkan terjadi mastitis,
karena menyusui yang tidak adekuat(Anasari & Sumarni, 2014). Umur juga dapat
menyebabkan terjadi mastitis. Umur merupakan individu yang dihitung mulai dia lahir
sampai berulang tahun, semakin berumur semakin cukup tingkat kematangan dan seseorang
akan lebih matang befikir(Herry Rosyati, 2016). Wanita yang berumur 21-35 lebih rentang
menderita mastitis dari pada wanita dibawah 21 tahun dan diatas 35 tahun. Umur sangat
menentukan kesehatan maternal dan kondisi ibu saat hamil, persalinan dan menyusui.
Diperkirakan alat reproduksi yang belum matang, sedangkan jika umur lebih dari 35 akan
rentang sekali terjadi pendarahan. Hal tersebut memicu terjadinya mastitis (Herry Rosyati,
2016). Stres merupakan faktor psikologis dengan menciptakan suasa pikiran tenang dan
nyaman. Stress dan kelelahan maternal sering dikaitkan dengan mastitis, biasanya dialami
pada ibu primipara (Nurhafni, 2018). Kondisi ibu yang stres dan cemas akan mempengaruhi
kelancaran ASI (Amalia, 2018). Semakin tinggi ibu mengalami gangguan emosi maka
semakin sedikit rangsangan hormon prolaktin yang diberikan sebagai produksi ASI.
Pekerjaan merupakan kegiatan formal yang dilakukan setiap hari (Nurhafni, 2018). Pekerjaan
juga berhubungan dengan penurunan frekuensi menyusui untuk mengosongkan payudara.
Pengosongan payudara yang tidak adekuat akan mengakibatkan pembengkakan payudara dan
saluran susu tersumbat sehingga akan mengakibatkan mastitis(Hasanah, 2017).
3. Patofisiologi
Pada umumnya porte de entry menyebabkan puting menjadi luka dan lecet, kemudian
bakteri menjalar pada duktus-duktus yang berkembang biak sehingga terjadi pus. Terjadinya
mastitis diawali dengan peningkatan tekanan di dalam duktus (saluran ASI) akibat stasis ASI.
Bila ASI tidak segera dikeluarkan maka terjadi tegangan alveoli yang berlebihan dan
mengakibatkan sel epitel yang memproduksi ASI menjadi datar dan tertekan, sehingga
permeabilitas jaringan ikat meningkat. Beberapa komponen (terutama protein kekebalan
tubuh dan natrium) dari plasma masuk ke dalam ASI dan selanjutnya ke jaringan sekitar sel
sehingga memicu respons imun. Stasis ASI, adanya respons inflamasi, dan kerusakan
jaringan memudahkan terjadinya infeksi (Novyaningtias, 2016). Terdapat beberapa cara
masuknya kuman yaitu melalui Duktus Laktiferus ke lobus sekresi, melalui puting yang retak
ke kelenjar limfe sekitar duktus (periduktal) atau melalui penyebaran hematogen (pembuluh
darah). Organisme yang paling sering adalah Staphylococcus Aureus, Escherecia Coli dan
Streptococcus. Kadang-kadang ditemukan pula mastitis tuberkulosis yang menyebabkan bayi
dapat menderita tuberkulosa tonsil. Pada daerah endemis tuberkulosa kejadian mastitis
tuberkulosis mencapai 1% (IDAI, 2011).
4. Manifestasi Klinis dari Mastitis
Manisfestasi klinis mastitis yang umum adalah area payudara yang terasasakit dan keras.
Ibu menyusui yang mengalami mastitis mengalami nyeri, bengkak sehingga ibu merasa tidak
nyaman akibat tersumbatnya saluran ASI pada payudara. Berdasarkan jenisnya mastitis
dibedakan menjadi dua, mastitis infeksi dan mastitis non-infeksi. Gejala yang timbul dari
mastiti infeksi biasanya ditandai adanya respon inflamasi dan rusaknya jaringan puting puting
menjadi pecah-pecah sehingga dengan mudah bakteri untuk masuk, sedangkan tanda dan
gejala mastitis non-infeksi payudara mengalami pembengkakan yang upnormal payudara
yang mengeras, terasa sakit apabila disentuh dan terasa tegang dikarenakan kurangnya waktu
menyusui untuk bayi (Walker,2009).
5. Epidemiologi
Insiden mastitis puerperalis sangat bervariasi. menurut penelitian, mastitis tampaknya
mempengaruhi sekitar sepuluh persen dari semua ibu yang menyusui. Namun, hasil studi
telah bervariasi secara signifikan, beberapa menunjukkan hanya tiga persen sementara yang
lain mengatakan tiga puluh tiga persen wanita terpengaruh. Hal ini paling sering terjadi pada
minggu kedua dan ketiga postpartum dengan sebagian besar laporan yang menunjukkan
bahwa tujuh puluh empat persen hingga sembilan puluh lima persen kasus terjadi pada 12
minggu pertama. Namun, dapat terjadi pada setiap tahap laktasi.
6. Penatalaksanaan
Dilakukan penatalaksanaan mastitis dengan tujuan mencegah terjadinya komplikasi
lanjut. Penatalaksanaan bisa berupa medis dan non-medis, dimana medis melibatkan obat
antibiotik dan analgesik sedangkan non-medis berupa tindakan suportif.
a. Penatalaksanaan Medis
Antibiotik diberikan jika dalam 12-24 jam tidak ada perubahan atautidak ada
perubahan, antibiotik yamg diberikan berupa penicillin resistan-penisilinase . Jika ibu
alegi terhadap penisilinase dapat diberikan Eritromisin. Terapi yang paling umum
adalah adalah Dikloksasilin. Berikut antibiotik yang efektif terhadap infeksi
Staphylococcus
1. Eritromisisn 250-500 mg setiap 6 jam
2. Flukloksasilin 250mg setiap 6 jam
3. Amoksasilin (Sic) 250-500 mg setiap 8 jam
4. Sepeleksin 250-500 mg setiap 6 jam
5. Dikloksasilin 125-250 mg setiap 6 jam per oral
Pemberian antibiotik dikonsulkan oleh dokter supaya mendapat antibiotik yang
tepat dan aman untuk ibu menyusui. Selain itu, bila badan terasa panas sebaiknya
diberikan obat penurun panas. Namun jika infeksi tidak hilang maka dilakukan kultur
asi (Prasetyo, 2010).
Selanjutnya pemberian Analgesik untuk mengurangi rasa nyeri. Rasa nyeri
menjadi penghambat hormon oksitosin yang berperan dalam proses pengeluaran ASI.
Analgesik yang diberikan berupa ibuprofen dengan dosis 1,6gram per hari karena
lebih efektif dalam menurunkan peradangan dibandingkan dengan paracetamol dan
asetaminofen. Sehingga direkomendasikan pada ibu menyusui yang mengalami
mastitis (Novyaningtias, 2016). Selain analgesik, untuk mengatasi nyeri dan
payudara terasa keras bisa diberikan kompres kentang.
b. Penatalaksanaan non-medis
Penatalaksanaan non-medis dapat dilakukan berupa tindakan suportif untuk
mencegah mastitis semakin buruk. Tindakan suportif yang diberikan yaitu guna
untuk menjaga kebersihan dan kenyamanan (Novyaningtias, 2016) meliputi :
Sebelum menyusui sebaiknya ASI dikeluarkan sedikit lalu oleskan pada daerah
payudara dan puting. Cara ini bertujuan untuk menjada kelembapan puting susu
(Soetjiningsih, 2013). Kemudian bayi diletakkan menghadap payudara ibu. Posisi ibu
bisa dudukatau berbaring dengan santai, bila bu memilih posisi duduk sebaiknya
menggunakan kursi yang lebih rendah supaya kaki ibu tidak menggantung dan
punggung ibu bisa bersandar. Selanjutnya bayi dipegang pada belakang bahu dengan
menggunakan satu lengan, dengan posisi kepala bayi terletak di lengkung siku ibu
(kepala bayi tidak boleh menengadah dan bokong bayi disangga dengan telapak
tangan). Tangan bayi diletakan dibelakan badan ibu dan tangan satu didepan, perut
bayu ditempelkan pada badan ibu dengan kepala bayi menghadap payudara (tidak
hanya menengokkan kepala bayi). Payudara dipegang dengan jari jempol diatas dan
jari lainnya menopang payudara, seperti huruf C (Reinata, 2016).
Bayi diberi rangsangan supaya bayi ingin membuka mulut atau disebut dengan
rooting reflex yaitu menyentuhkan pipi bayi pada puting susu atau menyuntuhkan sisi
mulut bayi. Setelah bayi membuka mulut, kepala bayi didekatkan pada payudara dan
puting dimasukan pada mulut bayi. Usahakan areola payudara masuk ke mulut bayi
sehingga lidah bayi akan menekan ASI. Posisi yang salah apabila bayi hanya
menghisap bagian puting ibu saja. Hal ini akan mengakibatkan ASI tidak keluar
secara adekuat (Monika, 2015).
Selain pengosongan payudara penatalaksanaan lainya berupa pemberian kompre
hangat dengan menggunakan shower hangat atau lap yang sudah dibasahi air hangat.
Penilitian Eman Mohammed Abd Elhakam and Somaya Ouda Abd Elmoniem dalam
jurnalnya untuk mengatasi mastitis dapat diberikan kompres kentang dengan
menggunakan irisan kentang yang suda direndam pada air kemudian menempelkan
atau mengkompreskan pada payudara (Crepinsek et al, 2012).
Mengubah posisi menyusui (posisi tidur, duduk atau posisi memegang bola (foot
ball position). Memakai baju atau bra yang longgar dapat mengurangi penekanan
berlebihan pada payudara. Bra yang ketat dapat menyebabkan segmental
enggorgement jika tidak disusui dengan adekut (Murniati, 2018). Selanjutnya
mengedukasi ibu atau memberi pengetahuan tentang dan pencegahan dan
penanganan mastitis. Sehingga ibu bisa mewaspadai sebelum terjadi mastitis.Dengan
cara tersebut biasanya mastitis akan menghilang setelah 48 jam. Tetapi jika dengan
cara-cara tersebut tidak ada perubahan, maka akan diberikan antibiotika 5-10 hari dan
analgesik(Soetjiningsih, 2013).
7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang berupa laboratorium dan kultur ASI. Pemeriksaan laboratorium
dilakukan untuk menjunjang diagnosis. WHO menganjurkaan untuk melakukan uji
sensitivitas dan kultur. Bahan kultur diambil dari ASI yang diperah menggunakan tangan dan
ditampung menggunakan penampung urin steril. Sebelum dilakukan pemeriksaan dipastikan
puting dibersihkan terlebih dahulu dan bibir tempat menampung tidak bersentuhan dengan
puting supaya tidak terkontiminasi dengan kuman-kuman pada kulit sehingga mendapatkan
hasil yang positif (Novyaningtias, 2016).
8. Komplikasi
Komplikasi pada mastitis disebabkan karena meluasnya peradangan payudara (Nurhafni,
2018). Beberapa komplikasi jika mastitis tidak segera ditangani dapat terjadi penghentian
menyusui dini, abses payudara, mastitis berulang atau kronis, dan juga infeksi jamur
(Chotimah, 2017). Penghentian menyusui dini merupakan gejala yang dapat membuat ibu
untuk memutuskan tidak menyusui. Penghentian secara mendadak dapat menyebabkan resiko
abses payudara. selain itu ibu juga meragukan obat yang dikonsumsi tidak aman bagi
bayinya. Sehingga informasi dari tenaga kesehatan sangat diperlukan untuk hal ini
(Chotimah, 2017 (Amin, I, & W, 2014)).
Abses payudara merupakan meluasnya peradangan dalam payudara tersebut. Gejala dari
abses payudara adalah ibu tampak lebih parah merasakan sakit, payudara terlihat lebih merah
dan mengkilap, benjolan terasa lunak karena berisi nanah. Sehingga perlu dilakukan insisi
payudara untuk menguarkan nanah tersebut. Pada abses payudara perlu diberikan antibiotik
dan analgesik dengan dosis tertentu. Sementara untuk bayi harus menyusu hanya pada
payudara yang sehat, sedangkan ASI dari payudara yang sakit ketika diperas sementara tidak
disusukan.
Mastitis berulang atau kronis disebabkan karena pengobatan yang terlambat. Dalam
mastitis kronis ibu dianjurkan lebih banyak untuk beristirahat, banyak minum air putih dan
makan dengan gizi seimbang. Untuk infeksinya diberikan antibiotik dosis rendah yaitu
eritromisin 500mg sekali sehari selama masa menyusui.
Infeksi jamur merupakan komplikasi sekunder yang disebabkan oleh jamur Candida
Albicans. keadaan infeksi jamur terasa terbakar yang menjalar sampai saluran ASI.
Sementara waktu menyusui permukaan payudara terasa gatal, namun puting tidak terlihat
adanya kelainan. Pada komplikasi ini bayi mendapatkan pengobatan berupa nistatin krim
yang mengandung kortison dengan dioleskan pada puting setelah menyusui dan bayi
mendapatkan nistatin oral pada waktu yang sama (Novyaningtias, 2016).
B. Infeksi Post partum
1. Pengertian Infeksi Post partum
Infeksi Post partum merupakan morbiditas dan mortalitas bagi ibu pasca bersalin. (Saifuddin,
2006). Infeksi post partum atau puerperalis adalah semua peradangan yang disebabkan oleh
masuknya kuman-kuman ke dalam alat-alat genitalia pada waktu persalinan dan perawatan
masa post partum. Infeksi puerperalis adalah keadaan yang mencakup semua peradangan
alat-alat genitalia dalam masa post partum (Prawirohardjo, 2007). Jadi yang dimaksud dengan
infeksi puerperalis adalah infeksi bakteri pada traktus genitalia yang terjadi setelah
melahirkan, ditandai dengan kenaikan suhu 38oC. Infeksi post partum/puerperalis ialah
infeksi klinis pada saluran genital yang terjadi dalam 28 hari setelah persalinan (Bobak,
2004).
2. Etiologi
Penyebab infeksi puerperalis ini melibatkan mikroorganisme anaerob dan aerob patogen yang
merupakan flora normal serviks dan jalan lahir atau mungkin juga dari luar. Penyebab yang
terbanyak dan lebih dari 50% adalah Streptococcus anaerob yang sebenarnya tidak patogen
sebagai penghuni normal jalan lahir. Kuman-kuman yang sering menyebabkan infeksi
puerperalis antara lain :
a. Streptococcus haematilicus aerobic Masuknya secara eksogen dan menyebabkan infeksi
berat yang ditularkan dari penderita lain, alatalat yang tidak steril, tangan penolong dan
sebagainya.
b. Staphylococcus aurelis Masuk secara eksogen, infeksinya sedang, banyak ditemukan
sebagai penyebab infeksi di rumah sakit.
c. Escherichia coli Sering berasal dari kandung kemih dan rektum menyebabkan infeksi
terbatas.
d. Clostridium welchii Kuman anaerobik yang sangat berbahaya, sering ditemukan pada
abortus kriminalis dan partus yang ditolong dukun dari luar rumah sakit.
3. Manifestasi
Klinis Tanda dan gejala yang timbul pada infeksi post partum antara lain demam, nyeri di
daerah infeksi, terdapat tanda kemerahan pada daerah yang terinfeksi, fungsi organ
terganggu. Gambaran klinis infeksi post partum adalah sebagai berikut:
a. Infeksi lokal Warna kulit berubah, timbul nanah, bengkak pada luka, lokea bercampur
nanah, mobilitas terbatas, suhu tubuh meningkat.
b. Infeksi umum Sakit dan lemah, suhu badan meningkat, tekanan darah menurun, nadi
meningkat, pernafasan meningkat dan sesak, penurunan kesadaran hingga koma,
gangguan involusi uteri, lokea berbau, bernanah dan kotor.
4. Patofisiologi
Setelah kala III, daerah bekas insersio plasenta merupakan sebuah luka dengan diameter
kira-kira 4 cm. Permukaannya tidak rata, terdapat benjolan-benjolan karena banyak vena
yang ditutupi trombus. Daerah ini merupakan tempat yang baik untuk tumbuhnya
kumankuman dan masuknya jenis-jenis yang patogen dalam tubuh wanita. Serviks sering
mengalami perlukaan pada persalinan, demikian juga vulva, vagina dan perineum yang
semuanya merupakan tempat masuknya kumankuman patogen. Proses radang dapat terbatas
pada lukaluka tersebut atau menyebar di luar luka asalnya. Adapun infeksi dapat terjadi
sebagai berikut :
a. Tangan pemeriksa atau penolong yang tertutup sarung tangan pada pemeriksaan dalam
atau operasi membawa bakteri yang sudah ada dalam vagina ke dalam uterus.
Kemungkinan lain ialah bahwa sarung tangan atau alat-alat yang dimasukkan ke
dalam jalan lahir tidak sepenuhnya bebas dari kuman-kuman.
b. Droplet infeksi. Sarung tangan atau alat-alat terkena kontaminasi bakteri yang berasal
dari hidung atau tenggorokan dokter atau petugas kesehatan lainnya yang berada di
ruang tersebut. Oleh karena itu, hidung dan mulut petugas yang bekerja di kamar
bersalin harus ditutup dengan masker dan penderita infeksi saluran pernapasan
dilarang memasuki kamar bersalin.
c. Dalam rumah sakit terlalu banyak kuman-kuman patogen, berasal dari penderita-
penderita dengan berbagai jenis infeksi. Kuman-kuman ini bisa dibawa oleh aliran
udara kemana-mana, antara lain ke handuk, kain-kain yang tidak steril, dan alat-alat
yang digunakan untuk merawat wanita dalam persalinan atau pada waktu post partum.
d. Koitus pada akhir kehamilan tidak merupakan sebab infeksi penting, apabila
mengakibatkan pecahnya ketuban.
e. Infeksi intrapartum sudah dapat memperlihatkan gejala-gejala pada waktu
berlangsungnya persalinan. Infeksi intra partum biasanya berlangsung pada waktu
partus lama, apalagi jika ketuban sudah lama pecah dan beberapa kali dilakukan
pemeriksaan dalam. Gejala-gejalanya antara lain, kenaikan suhu tubuh biasanya
disertai dengan leukositosis dan takikardi, denyut jantung janin dapat meningkat pula.
Air ketuban biasanya menjadi keruh dan berbau. Pada infeksi intra partum kuman-
kuman memasuki dinding uterus pada waktu persalinan, dan dengan melewati amnion
dapat menimbulkan infeksi pula pada janin.
5. Jenis-Jenis Infeksi Post partum.
a. Infeksi uterus
 Endometritis
Endometritis adalah infeksi pada endometrium (lapisan dalam dari
rahim). Infeksi ini dapat terjadi sebagai kelanjutan infeksi pada serviks atau
infeksi tersendiri dan terdapat benda asing dalam rahim Endometritis adalah
infeksi yang berhubungan dengan kelahiran anak, jarang terjadi pada wanita
yang mendapatkan perawatan medis yang baik dan telah mengalami persalinan
melalui vagina yang tidak berkomplikasi.

Infeksi paska persalinan yang paling sering terjadi adalah endometritis


yaitu infeksi pada endometrium atau pelapis rahim yang menjadi peka setelah
lepasnya plasenta, lebih sering terjadi pada proses kelahiran caesar, setelah
proses persalinan yang terlalu lama atau pecahnya membran yang terlalu dini.
Infeksi ini juga sering terjadi bila ada plasenta yang tertinggal di dalam rahim,
mungkin pula terjadi infeksi dari luka pada leher rahim, vagina atau vulva
(Anonym, 2008).

Tanda dan gejalanya akan berbeda bergantung dari asal infeksi, yaitu
sedikit demam, nyeri yang samar-samar pada perut bagian bawah dan
kadangkadang keluar nanah dari vagina dengan berbau khas yang tidak enak,
menunjukkan adanya infeksi pada endometrium. Infeksi karena luka biasanya
terdapat nyeri tekan pada daerah luka, kadang berbau busuk, pengeluaran kental,
nyeri pada perut, susah buang air kecil. Kadang-kadang tidak terdapat tanda yang
jelas kecuali peningkatan suhu tubuh. Maka dari itu setiap perubahan suhu tubuh
paska persalinan harus segera dilakukan pemeriksaan (Anonym, 2008).

Infeksi endometrium dalam bentuk akut dengan gejala klinis yaitu nyeri abdomen
bagian bawah, mengeluarkan keputihan, kadang-kadang terdapat perdarahan,
dapat terjadi penyebaran seperti meometritis (infeksi otot rahim), parametritis
(infeksi sekitar rahim), salpingitis (infeksi saluran tuba), ooforitis (infeksi indung
telur), dapat terjadi sepsis (infeksi menyebar), pembentukan pernanahan sehingga
terjadi abses pada tuba atau indung telur (Anonym, 2008).

Terjadinya infeksi endometrium pada saat persalinan, dimana bekas


implantasi plasenta masih terbuka, terutama pada persalinan terlantar dan
persalinan dengan tindakan terjadinya keguguran, saat pemasangan alat rahim
yang kurang legeartis. Kadang-kadang lokea tertahan oleh darah, sisa-sisa
plasenta dan selaput ketuban. Keadaan ini dinamakan lokeametra dan dapat
menyebabkan kenaikan suhu tubuh. Uterus pada endometritis akan terlihat
membesar, serta nyeri pada perabaan dan teraba lembek (Anonym, 2008).

Pada endometritis yang tidak meluas, penderita merasa kurang sehat dan
nyeri perut pada hari-hari pertama. Mulai hari ke-3 suhu tubuh meningkat, nadi
menjadi cepat, akan tetapi dalam beberapa hari suhu dan nadi menurun dan
kurang lebih dalam satu minggu keadaan sudah kembali normal. Lokea pada
endometritis biasanya bertambah dan kadang-kadang berbau. Hal ini tidak boleh
dianggap infeksinya berat. Malahan infeksi berat kadang-kadang disertai oleh
lokea yang sedikit dan tidak berbau. Untuk mengatasinya biasanya dilakukan
pemberian antibiotik dengan sesegera mungkin agar hasilnya efektif. Dapat pula
dilakukan biakkan untuk menentukan jenis bakteri, sehingga dapat diberikan
antibiotik yang tepat (Anonym, 2008).

 Miometritis (infeksi otot rahim)


Miometritis adalah radang miometrium. Miometrium adalah tunika
muskularis uterus. Gejalanya berupa demam, nyeri tekan pada uterus, perdarahan
pada vagina dan nyeri perut bagian bawah, lokea berbau.
 Parametritis (infeksi daerah di sekitar rahim).
Parametritis atau disebut juga sellulitis pelvika adalah radang yang
terjadi pada parametrium yang disebabkan oleh invasi kuman. Penjalaran kuman
sampai ke parametrium terjadi pada infeksi yang lebih berat. Infeksi menyebar ke
parametrium lewat pembuluh limfe atau melalui jaringan di antara kedua lembar
ligamentum latum. Parametrium dapat juga terjadi melalui salfingo-ooforitis.
Parametritis umumnya merupakan komplikasi yang berbahaya dan merupakan
sepertiga dari sebab kematian karena kasus infeksi (Sarwono, 2007).
Penyebab parametritis yaitu kuman–kuman memasuki endometrium
(biasanya pada luka insersio plasenta) dalam waktu singkat dan menyebar ke
seluruh endometrium. Pada infeksi setempat, radang terbatas pada endometrium.
Jaringan desidua bersama bekuan darah menjadi nekrosis dan mengeluarkan
getah berbau yang terdiri atas keping-keping nekrotis dan cairan. Pada infeksi
yang lebih berat batas endometrium dapat dilampaui dan terjadilah penjalaran
(Anonym, 2008).
b. Syok bakteremia
Infeksi kritis, terutama yang disebabkan oleh bakteri yang melepaskan
endotoksin, bisa mempresipitasi syok bakteremia (septik). Ibu hamil, terutama
mereka yang menderita diabetes mellitus atau ibu yang memakai obat
imunosupresan, berada pada tingkat resiko tinggi, demikian juga mereka yang
menderita endometritis selama periode post partum.
Temuan laboratorium menunjukkan bukti-bukti infeksi. Biakan darah
menunjukkan bakteremia, biasanya konsisten dengan hasil enterik gram negatif.
Pemeriksaan tambahan dapat menunjukkan hemokonsentrasi, asidosis, dan
koagulopati. Perubahan EKG menunjukkan adanya perubahan yang mengindikasikan
insufisiensi miokard, bukti-bukti hipoksia jantung, paru-paru, ginjal dan neurologis
bisa ditemukan.
Demam yang tinggi dan menggigil adalah bukti patofisiologi sepsis yang serius.
Ibu yang cemas dapat bersikap apatis. Suhu tubuh sering kali sedikit menurun
menjadi subnormal, kulit teraba dingin dan lembab, warna kulit menjadi pucat dan
denyut nadi menjadi cepat, hipotensi berat dan sianosis peripheral bisa terjadi, begitu
juga oliguria.
Penatalaksanaan terpusat pada antimikrobial, demikian juga dukungan oksigen
untuk menghilangkan hipoksia jaringan dan dukungan sirkulasi untuk mencegah
kolaps vaskular. Fungsi jantung, usaha pernafasan, dan fungsi ginjal dipantau dengan
ketat. Pengobatan yang cepat terhadap syok bakteremia membuat prognosis menjadi
baik.

Morbiditas dan mortalitas maternal diturunkan dengan mengendalikan


distrees pernafasan, hipotensi (Bobak, Lowdermilk & Jensen, 2004).

c. Peritonitis
Peritonitis post partum bisa terjadi karena meluasnya endometritis, tetapi dapat
juga ditemukan bersama-sama dengan salpingo-ooforitis dan sellulitis pelviks.
Kemungkinan bahwa abses pada sellulitis pelviks mengeluarkan nanah ke rongga
peritoneum dan menyebabkan peritonitis. Peritonitis yang bukan peritonitis umum,
terbatas pada daerah pelvis. Gejalagejalanya antara lain penderita mengalami demam,
nyeri pada perut bagian bawah, tetapi keadaan umum tetap baik, namun gejala-
gejalanya tidak seberapa berat seperti pada peritonitis umum.
Peritonitis umum disebabkan oleh kuman yang sangat patogen dan merupakan
penyakit berat. Tanda dan gejalanya antara lain, suhu tubuh meningkat menjadi
tinggi, nadi cepat dan terlihat kecil, perut kembung dan nyeri. Muka penderita yang
mula-mula kemerah-merahan menjadi pucat, mata cekung, kulit di daerah wajah
teraba dingin. Mortalitas peritonitis umum tinggi
6. Komplikasi
1) Peritonitis (peradangan selaput rongga perut)
2) Tromboflebitis pelvika (bekuan darah di dalam vena panggul), dengan resiko terjadinya
emboli pulmoner.
3) Syok toksik akibat tingginya kadar racun yang dihasilkan oleh bakteri di dalam darah.
Syok toksik bisa menyebabkan kerusakan ginjal yang berat dan bahkan menyebabkan
kematian.
7. Pencegahan dan Pengobatan Infeksi Post partum
a. Pencegahan infeksi selama post partum antara lain:
1) Perawatan luka post partum dengan teknik aseptik.
2) Semua alat dan kain yang berhubungan dengan daerah genital harus steril.
3) Penderita dengan infeksi post partum sebaiknya diisolasi dalam ruangan khusus,
tidak bercampur dengan ibu post-partum yang sehat.
4) Membatasi tamu yang berkunjung.
5) Mobilisasi dini
b. Pengobatan infeksi pada masa post partum antara lain :
1) Segera dilakukan kultur dari sekret vagina dan servik, luka operasi dan darah, serta
uji kepekaan untuk mendapatkan antibiotika yang tepat.
2) Memberikan dosis yang cukup dan adekuat.
3) Memberikan antibiotika spektrum luas sambil menunggu hasil laboratorium.
4) Pengobatan mempertinggi daya tahan tubuh seperti infus, transfusi darah, makanan
yang mengandung zat-zat yang diperlukan tubuh serta perawatan lainnya sesuai
komplikasi yang ada.
8. Pengobatan Kemoterapi dan Antibiotika Infeksi Post partum

Infeksi post partum dapat diobati dengan cara sebagai berikut :

1) Pemberian Sulfonamide – Trisulfa merupakan kombinasi dari Sulfadizin 185 gr,


Sulfamerazin 130 gr, dan Sulfatiozol 185 gr. Dosis 2 gr diikuti 1 gr 4-6 jam
kemudian peroral.
2) Pemberian Penisilin – Penisilin-prokain 1,2 sampai 2,4 juta satuan IM, penisilin
G 500.000 satuan setiap 6 jam atau metsilin 1 gr setiap 6 jam IM ditambah ampisilin
kapsul 4X250 gr peroral.
3) Tetrasiklin, eritrimisin dan kloramfenikol
4) Hindari pemberian politerapi antibiotika berlebihan 5) Lakukan evaluasi penyakit
dan pemeriksaan laboratorium.
 Kompres Panas (Tatobi)
Kompres panas (tatobi) merupakan tradisi dari suku timor bagi ibu post partum.
Awal munculnya tatobi dikarenakan kuranngnya akses terhadap layanan kesehatan
dan sumber daya ekonomi sehingga masyarakat lebih cenderung memilih
menggunakan kompres panas (tatobi) sebagai pengobatan ibu post partum yang
merupakan pengobatan tradisional yang sudah menjadi system kepercayaan
masyarakat Suku Timor sejak turun temurun.
Kegunaan kompres panas (tatobi) pada ibu post partum antara lain untuk
mengurangi pembengkakan dan rasa sakit pada daerah vagina, mengeluarkan sisa
darah kotor dari dalam tubuh, menutup kembali jalan lahir dan menjaga agar tubuh
tetap kuat dan kembali sehat.
Prosedur Pelaksanaan alat dan bahan yang digunakan ibu saat tatobi adalah kain
tenun Timor (kain selimut, sarung, selendang), handuk, kain biasa berbahan kaos, dan
air panas. Kompres panas (tatobi) dilakukan selama 40 hari 40 malam yaitu pada pagi
dan sore hari setelah ibu melahirkan. Kompres panas (tatobi) dilakukaan di salah satu
rumah tradisional di Suku Timor yang disebut sebagai rumah bulat/ume kbubu. Untuk
ibu post partum di desa Binaus di lakukan dengan cara memandikan ibu menggunakan
air mendidih dengan suhu ±1000C yang kemudian dikompreskan ke tubuh ibu yang
sudah dilumuri minyak kelapa murni terlebih dahulu.

Anda mungkin juga menyukai