Anda di halaman 1dari 12

ESSAY

BLOK REPRODUKSI 2

“Kelainan Kelenjar Payudara”

Disusun Oleh:

Nama : Isnatiya Noviana

NIM : 020.06.0037

Kelas :A

Tutor : dr. Kadek Pramartha, Sp.OG

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR

MATARAM

2022
“Mastitis”

Latar Belakang

Mastitis adalah infeksi peradangan pada jaringan payudara, terutama pada primipara
yang biasanya disebabkan oleh staphylococcus aureus. Infeksi ini terjadi melalui luka pada
puting susu, tetapi mungkin juga melalui peredaran darah. Mastitis adalah peradangan
payudara, yang dapat disertai atau tidak disertai dengan infeksi. Penyakit ini biasanya
menyertai laktasi, sehingga disebut juga mastitis laktasional atau mastitis puerperalis.
Kadang-kadang keadaan ini dapat menjadi fatal apabila tidak diberi tindakan yang adekuat.
Mastitis juga sering disebut sebagai abses payudara, dimana terjadi pengumpulan nanah lokal
di dalam payudara. Keadaan ini menyebabkan beban penyakit yang berat dan memerlukan
biaya yang sangat besar untuk pengobatannya. Penelitian terbaru juga ada yang menyatakan
bahwa mastitis dapat meningkatkan risiko penularan HIV melalui menyusui. (Prawirohardjo,
2016)

Definisi

Infeksi Payudara (Mastitis) adalah suatu infeksi atau peradagan pada jaringan payudara.
Biasanya terjadi karena adanya bakteri jenis staphylococcus aureus. Bakteri biasanya masuk
melalui puting susu yang pecah-pecah atau terluka. Pada infeksi yang berat atau yang tidak
diobati, dapat terbentuk abses payudara (penimbunan nanah di dalam payudara). Mastitis
adalah reaksi sistematik seperti demam, terjadi 1-3 minggu setelah melahirkan sebagai
komplikasi sumbatan saluran air susu. (Cusack, 2011)

Mastitis adalah peradangan payudara yang dapat disertai atau tidak disertai infeksi.
Penyakit ini biasanya menyertai laktasi, sehingga disebut juga mastitis laktasional atau
mastitis puerperalis. Kadang-kadang keadaan ini dapat menjadi fatal bila tidak diberikan
tindakan yang adekuat. Abses payudara, pengumpulan nanah lokal di dalam payudara,
merupakan komplikasi berat dari mastitis. Keadaan inilah yang menyebabkan beban penyakit
bertambah berat. (GAIN, 2009)

Klasifikasi Mastitis

Mastitis diklasifikasikan menjadi 4 jenis, yaitu: mastitis puerparalis epidemic, mastitis


aninfeksosa, mastitis subklinis dan mastitis infeksiosa. Dimana keempat jenis tersebut
muncul dalam kondisi yang berbeda-beda. Diantaranya adalah sebagai berikut (Cusack,
2011):
1. Mastitis Puerparalis Epidemik
Mastitis puerparalis epidemic ini biasanya timbul apabila pertama kali bayi dan
ibunya terpajan pada organisme yang tidak dikenal atau verulen. Masalah ini paling sering
terjadi di rumah sakit, yaitu dari infeksi silang atau bekesinambungan strain resisten.
2. Mastitis Noninfesiosa
Mastitis moninfeksiosa terjadi apabila ASI tidak keluar dari sebagian atau seluruh
payudara, produksi ASI melambat dan aliran terhenti. Namun proses ini membutuhkan
waktu beberapa hari dan tidak akan selesai dalam 2-3 minggu. Untuk sementara waktu,
akumulasi ASI dapat menyebabkan respons peradangan.
3. Mastitis Subklinis
Mastitis subklinis telah diuraikan sebagai sebuah kondisi yang dapat disertai dengan
pengeluaran ASI yang tidak adekuat, sehingga produksi ASI sangat berkurang yaitu kira-
kira hanya sampai di bawah 400 ml/hari (<400 ml/hari).
4. Mastitis Infeksiosa
Mastitis infeksiosa terjadi apabila siasis ASI tidak sembuh dan proteksi oleh faktor
imun dalam ASI dan oleh respon–respon inflamasi. Secara normal, ASI segar bukan
merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri. (Cusack, 2011)

Etiologi

Infeksi payudara biasanya disebabkan oleh bakteri yang banyak ditemukan pada kulit
yang normal yaitu Staphylococcus aureus. Bakteri ini seringkali berasal dari mulut bayi yang
masuk ke dalam saluran air susu melalui sobekan atau retakan di kulit pada puting susu.
Mastitis biasanya terjadi pada wanita yang menyusui dan paling sering terjadi dalam waktu 1-
3 bulan setelah melahirkan. Sekitar 1-3% wanita menyusui mengalami mastitis pada beberapa
minggu pertama setelah melahirkan. (Cusack, 2011)

Soetjiningsih (1997) menyebut bahwa peradangan pada payudara (Mastitis) di


sebabkan yaitu oleh hal-hal sebagai berikut:

a. Payudara bengkak yang tidak disusu secara adekuat, akhirnya tejadi mastitis.
b. Puting lecet akan memudahkan masuknya kuman dan terjadi payudara bengkak.
c. Penyangga payudara yang terlalu ketat, mengakibatkan segmental engorgement sehingga
jika tidak disusu secara adekuat bisa erjadi mastitis.
d. Ibu yang memiliki diet jelek, kurang istirahat, anemia akan mempermudah terkena infeksi.
Pada wanita pasca menopause, infeksi payudara berhubungan dengan peradangan
menahun dari saluran air susu yang terletak di bawah puting susu. Perubahan hormonal di
dalam tubuh wanita menyebabkan penyumbatan saluran air susu oleh sel-sel kulit yang mati.
Saluran yang tersumbat ini menyebabkan payudara lebih mudah mengalami infeksi. Dua
penyebab utama mastitis yaitu stasis ASI dan infeksi. Stasis ASI biasanya merupakan
penyebab primer yang dapat disertai atau berkembang menuju infeksi. Guther pada tahun
1958 menyimpulkan dari pengamatan klinis bahwa mastitis diakibatkan oleh stagnasi ASI di
dalam payudara, dan bahwa pengeluaran ASI yang efisien dapat mencegah keadaan tersebut.
Ia menyatakan bahwa bila terjadi infeksi, bukan primer, tetapi diakibatkan oleh stagnasi
sebagai media pertumbuhan bakteri. (Cusack, 2011)
Thomsen, dkk pada tahun 1984 menghasilkan bukti tambahan tentang pentingnya
stasis ASI. Mereka menghitung leukosit dan bakteri dalam ASI dari payudara dengan tanda
klinis mastitis dan mengajukan klasifikasi berikut, yaitu (Cusack, 2011):
a. Stasis ASI
Statis ASI terjadi jika ASI tidak dikeluarkan dengan efisien dari payudara. Hal ini
terjadi jika payudara terbendung segera setelah melahirkan, atau setiap saat jika bayi tidak
mengisap ASI, kenyutan bayi yang buruk pada payudara, pengisapan yang tidak efektif,
pembatasan frekuensi/durasi menyusui, sumbatan pada saluran ASI, suplai ASI yang
sangat berlebihan dan menyusui untuk kembar dua/lebih. Statis ASI dapat membaik hanya
dengan terus menyusui, tentunya dengan teknik yang benar. (Cusack, 2011)
b. Inflamasi non infeksiosa (atau mastitis noninfeksiosa)
Mastitis jenis ini biasanya ditandai dengan gejala sebagai berikut: Adanya bercak
panas/nyeri tekan yang akut, bercak kecil keras yang nyeri tekan, dan tidak terjadi demam
dan ibu masih merasa baik-baik saja. Mastitis non infeksiosa membutuhkan tindakan
pemerasan ASI setelah menyusui. (Cusack, 2011)
c. Mastitis infeksiosa
Mastitis jenis ini biasanya ditandai dengan gejala sebagai berikut: lemah, nyeri kepala
seperti gejala flu, demam suhu > 38,5 derajat celcius, ada luka pada putting payudara, kulit
payudara tampak menjadi kemerahan atau mengkilat, terasa keras dan tegang, payudara
membengkak, mengeras, dan teraba hangat, dan terjadi peningkatan kadar natrium
sehingga bayi tidak mau menyusu karena ASI yang terasa asin. Mastitis infeksiosa hanya
dapat diobati dengan pemerasan ASI dan antibiotik sistemik. Tanpa pengeluaran ASI yang
efektif, mastitis non infeksiosa sering berkembang menjadi mastitis infeksiosa, dan
mastitis infeksiosa menjadi pembentukan abses. (Cusack, 2011)
Epidemiologi

Data epidemiologi mastitis masih cukup bervariasi. WHO menyatakan bahwa insidensi
mastitis berkisar 10-33%. Sebuah penelitian yang dilakukan pada 9.000 wanita di Spanyol
selama periode 5 tahun mendapatkan diagnosa mastitis berdasarkan gejala klinis sebanyak
3% - 5%, dimana semuanya melibatkan Staphylococcus aureus. Data di Australia
menyebutkan bahwa mastitis mempengaruhi 20% ibu menyusui pada 6 bulan pertama setelah
melahirkan. Menurut penelitian pada tahun 2018 mastitis laktasional diperkirakan terjadi
pada 2-10 persen wanita menyusui. Insiden mastitis yang membutuhkan rawat inap memiliki
angka yang rendah. Dalam studi kohort dari 136.459 ibu baru, 127 wanita dirawat di rumah
sakit untuk mastitis. (Contretas, 2011)
Faktor Resiko

Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko mastitis yaitu (Prasetyo, 2013):

1) Umur
Wanita berumur 21-35 tahun lebih sering menderita mastitis dari pada wanita di
bawah usia 21 tahun atau di atas 35 tahun. (Prasetyo, 2013)
2) Serangan sebelumnya
Serangan mastitis pertama cenderung berulang, hal ini merupakan akibat teknik
menyusui yang buruk yang tidak diperbaiki. (Prasetyo, 2013)
3) Melahirkan
Komplikasi melahirkan dapat meningkatkan risiko mastitis, walupun penggunaan
oksitosin tidak meningkatkan resiko. (Prasetyo, 2013)
4) Gizi
Asupan garam dan lemak tinggi serta anemia menjadi faktor predisposisi terjadinya
mastitis. Wanita yang mengalami anemia akan beresiko mengalami mastitis karena
kurangnya zat besi dalam tubuh, sehingga hal itu akan memudahkan tubuh mengalami
infeksi (mastitis). Antioksidan dari vitamin E, vitamin A dan selenium dapat mengurangi
resiko mastitis. (Prasetyo, 2013)
5) Faktor kekebalan dalam ASI
Faktor kekebalan dalam ASI dapat memberikan mekanisme pertahanan dalam
payudara. (Prasetyo, 2013)
6) Pekerjaan di luar rumah
Interval antar menyusui yang panjang dan kekurangan waktu dalam pengeluaran
ASI yang adekuat sehingga akan memicu terjadinya statis ASI. (Prasetyo, 2013)
7) Trauma
Trauma pada payudara yang disebabkan oleh apapun dapat merusak jaringan
kelenjar dan saluran susu dan haltersebut dapat menyebabkan mastitis. (Prasetyo, 2013)

Manifestasi Klinis

Tanda dan Gejala dari mastitis ini biasanya berupa (Marín, 2014):

a. Payudara yang terbendung membesar, membengkak, keras dan kadang terasa nyeri.
b. Payudara dapat terlihat merah, mengkilat dan puting teregang menjadi rata.
c. ASI tidak mengalir dengan mudah, dan bayi sulit mengenyut untuk menghisap ASI sampai
pembengkakan berkurang.
d. Ibu akan tampak seperti sedang mengalami flu, dengan gejala demam, rasa dingin dan
tubuh terasa pegal dan sakit.
e. Terjadi pembesaran kelenjar getah bening ketiak pada sisi yang sama dengan payudara
yang terkena. (Marín, 2014)

Gejala yang muncul juga hampir sama dengan payudara yang membengkak karena
sumbatan saluran ASI antara lain (Marín, 2014):

a. Payudara terasa nyeri


b. Teraba keras
c. Tampak kemerahan
d. Permukaan kulit dari payudara yang terkena infeksi juga tampak seperti pecah–pecah, dan
badan terasa demam seperti hendak flu, bila terkena sumbatan tanpa infeksi, biasanya di
badan tidak terasa nyeri dan tidak demam. Pada payudara juga tidak teraba bagian keras
dan nyeri serta merah. (Marín, 2014)

Namun terkadang dua hal tersebut sulit untuk dibedakan, gampangnya bila didapat
sumbatan pada saluran ASI, namun tidak terasa nyeri pada payudara, dan permukaan kulit
tidak pecah – pecah maka hal itu bukan mastitis. Bila terasa sakit pada payudara namun tidak
disertai adanya bagian payudara yang mengeras, maka hal tersebut bukan mastitis. (Marín,
2014)
Patofisiologi

Secara garis besar, mastitis atau peradangan pada payudara dapat terjadi karena proses
infeksi ataupun noninfeksi. Namun semuanya bermuara pada proses infeksi. Mastitis akibat
proses noninfeksi berawal dari proses laktasi yang normal. Namun karena sebab-sebab
tertentu maka dapat menyebabkan terjadinya gangguan pengeluaran ASI atau yang biasa
disebut sebagai stasis ASI. (Cusack, 2011)
Hal ini membuat ASI terperangkap di dalam ductus dan tidak dapat keluar dengan
lancar. Akibatnya mammae menjadi tegang. Sehingga sel epitel yang memproduksi ASI
menjadi datar dan tertekan. Permeabilitas jaringan ikat meningkat, beberapa komponen
(terutama protein dan kekebalan tubuh dan natrium) dari plasma masuk ke dalam ASI dan
jaringan sekitar sel memicu respon imun. Terjadi inflmasi hingga sehingga mempermudah
terjadinya infeksi. Kondisi ini membuat lubang duktus laktiferus menjadi port de entry
bakteri, terutama bakteri Staphylococcus aureus dan Strepcococcus sp. (WHO, 2000)
Hampir sama dengan kejadian pada mastitis noninfeksi, mastitis yang terjadi akibat
proses infeksi terjadi secara langsung, yaitu saat timbul fisura/robekan/perlukaan pada puting
yang terbentuk saat awal laktasi akan menjadikanport de entry/tempat masuknya bakteri.
Proses selanjutnya adalah infeksi pada jaringan mammae. (Cusack, 2011)
Diagnosis

Mastitis adalah peradangan parenkim kelenjar susu yang ditandai dengan perubahan
fisik, kimia, dan biasanya bakteriologis dalam susu dan perubahan patologis pada jaringan
kelenjar. Diagnosis mastitis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yaitu
apabila ditemukan gejala demam, menggigil, nyeri seluruh tubuh serta payudara menjadi
kemerahan, tegang, panas dan bengkak. (Spencer, 2018)

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada mastitis terkait dengan pemeriksaan pada payudara.


Pemeriksaan difokuskan untuk mencari tanda inflamasi seperti eritema, nyeri tekan lokal,
perabaan terasa panas, pembengkakan (engorgement), benjolan yang keras atau fluktuatif,
dan kelainan pada puting. (Ngowe, 2016)
Pemeriksaan Penunjang

Data yang mendukung pemeriksaan yang tidak dapat diketahui dengan pemeriksaan
fisik meliputi pemeriksaan laboratorium dan rontgen. Pada ibu nifas dengan mastitis tidak
dilakukan pemeriksaan laboratorium/rontgen. Namuan World Health Organization (WHO)
menganjurkan pemeriksaan kultur dan uji sensitivitas pada beberapa keadaan yaitu bila
(Wiknjosastro, 2005):
a. pengobatan dengan antibiotik tidak memperlihatkan respons yang baik dalam 2 hari
b. terjadi mastitis berulang
c. mastitis terjadi di rumah sakit, dan
d. penderita alergi terhadap antibiotik atau pada kasus yang berat.
Bahan kultur diambil dari ASI pancar tengah hasil dari perahan tangan yang langsung
ditampung menggunakan penampung urin steril. Puting harus dibersihkan terlebih dulu dan
bibir penampung diusahakan tidak menyentuh puting untuk mengurangi kontaminasi dari
kuman yang terdapat di kulit yang dapat memberikan hasil positif palsu dari kultur.
(Wiknjosastro, 2005)
Tatalaksana

Setelah diagnosa mastitis dipastikan, hal yang harus segera dilakukan adalah pemberian
susu kepada bayi dari mamae yang sakit dihentikan dan diberi antibiotik. Dengan tindakan ini
terjadinya abses seringkali dapat dicegah, karena biasanya infeksi disebabkan oleh
Staphylococcus aureus. Penicilin dalam dosis cukup tinggi dapat diberikan sebagai terapi
antibiotik. Sebelum pemberian penicilin dapat diadakan pembiakan/kultur air susu, supaya
penyebab mastitis benar-benar diketahui. Apabila ada abses maka nanah dikeluarkan,
kemudian dipasang pipa ke tengah abses agar nanah dapat keluar terus. Untuk mencegah
kerusakan pada duktus laktiferus, sayatan dibuat sejajar dengan jalannya duktus-duktus
tersebut. (Amir, 2014)

Prinsip-prinsip utama penanganan mastitis adalah (Amir, 2014):

1. Konseling suportif
Mastitis merupakan pengalaman yang paling banyakwanita merasa sakit dan
membuat frustasi. Selain dalam penanganan yang efektif dan pengendalian nyeri, wanita
membutuhkan dukungan emosional. Ibu harus diyakinkan kembali tentang nilai menyusui,
yang aman untuk diteruskan, bahwa ASI dari payudara yang terkena tidak akan
membahayakan bayinya dan bahwa payudaranya akan pulih, baik bentuk maupun
fungsinya. Klien membutuhkan bimbingan yang jelas tentang semua tindakan yang
dibutuhkan untuk penanganan, dan bagaimana meneruskan menyusui/memeras ASI dari
payudara yang sakit. Klien akan membutuhkan tindak lanjut untuk mendapat dukungan
terus menerus dan bimbingan sampai kondisinya benar-benar pulih. (Amir, 2014)
2. Pengeluaran ASI dengan efektif
Hal ini merupakan bagian terapi terpenting, antara lain (Amir, 2014):
a. Bantu ibu memperbaiki kenyutan bayi pada payudaranya
b. Dorong untuk sering menyusui, sesering dan selama bayi menghendaki, tanpa
pembatasan
c. Bila perlu peras ASI dengan tangan/pompa/botol panas, sampai menyusui dapat
dimulai lagi.
3. Terapi antibiotik
Terapi antibiotik diindikasikan pada (Amir, 2014):
a. Hitung sel dan koloni bakteri dan biakan yang ada serta menunjukkan infeksi
b. Gejala berat sejak awal
c. Terlihat puting pecah-pecah
d. Gejala tidak membaik setelah 12-24 jam setelah pengeluaran ASI diperbaiki maka
Laktamase harus ditambahkan agar efektif terhadap Staphylococcus aureus. Untuk
organisme gram negatif, sefaleksin/amoksisillin mungkin paling tepat. Jika mungkin,
ASI dari payudara yang sakit sebaiknya dikultur dan sensivitas bakteri antibiotik
ditentukan. (Amir, 2014)
Antibiotik Dosis
Eritromisin 250-500 mg setiap 6 jam
Flukloksasilin 250 mg setiap 6 jam
Dikloksasilin 125-250 mg setiap 6 jam per oral
Amoksasilin 250-500 mg setiap 8 jam
Sefaleksin 250-500 setiap 6 jam
Tabel 1. Terapi Antibiotik Mastitis. (Amir, 2014)
e. Pada kasus infeksi mastitis, penanganannya antara lain:
1. Berikan antibiotik Kloksasilin 500 mg per oral 4 kali sehari setiap 6 jam selama 10
hari atau eritromisin 250 mg per oral 3 kali sehari selama 10 hari.
2. Bantulah ibu agar tetap menyusui
3. Bebat/sangga payudara
4. Kompres hangat sebelum menyusui untuk mengurangi bengkak dan nyeriyaitu
dengan memberikan parasetamol 500 mg per oral setiap 4 jam dan lakukan evaluasi
secara rutin. (Amir, 2014)
Pengobatan yang tepat dengan pemberian antibiotik, mintalah pada dokter antibiotik
yang baik dan aman untuk ibu yang menyusui, selain itu bila badan terasa panas, ibu dapat
minum obat turun panas, kemudian untuk bagian payudara yang terasa keras dan nyeri,
dapat dikompres dengan menggunakan air hangat untuk mengurangi rasa nyeri. (Amir,
2014)
Bila tidak tahan nyeri, dapat meminum obat penghilang rasa sakit, istirahat yang
cukup amat perlu untuk mengembalikan kondisi tubuh menjadi sehat kembali. Disamping
itu, makan dan minum yang bergizi, minum banyak air putih juga akan membantu
menurunkan demam, biasanya rasa demam dan nyeri itu akan hilang dalam dua atau tiga
hari dan ibu akan mampu beraktivitas seperti semula. (Amir, 2014)
4. Terapi simtomatik
Nyeri sebaiknya diterapi dengan analgesik. Ibuprofen dipertimbangkan sebagai obat
yang paling efektif dan dapat membantu mengurangi inflamasi dan nyeri. Parasetamol
merupakan alternatif yang paling tepat. Istirahat sangat penting, karena tirah baring
dengan bayinya dapat meningkatkan frekuensi menyusui, sehingga dapat memperbaiki
pengeluaran susu. Tindakan lain yang dianjurkan adalah penggunaan kompres hangat pada
payudara yang akan menghilangkan nyeri dan membantu aliran ASI, dan yakinkan bahwa
ibu cukup minum cairan. Dilakukan pengompresan hangat pada payudara selama 15-20
menit, 4 kali/hari. Diberikan antibiotik dan untuk mencegah pembengkakan, sebaiknya
dilakukan pemijatan dan pemompaan air susu pada payudara yang terkena. (Amir, 2014)
a. Mastitis (Payudara tegang / indurasi dan kemerahan)
 Berikan klosasilin 500 mg setiap 6 jam selama 10 hari. Jika diberikan sebelum
terbentuk abses biasanya keluhannya akan berkurang.
 Sangga payudara.
 Kompres dingin.
 Bila diperlukan berikan Parasetamol 500 mg per oral setiap 4 jam.
 Ibu harus didorong menyusui bayinya walau ada PUS.
 Ikuti perkembangan 3 hari setelah pemberian pengobatan. (Amir, 2014)
b. Abses Payudara (Terdapat masa padat, mengeras di bawah kulit yang kemerahan)
 Diperlukan anestesi umum.
 Insisi radial dari tengah dekat pinggir aerola, ke pinggir supaya tidak mendorong
saluran ASI.
 Pecahkan kantung PUS dengan klem jaringan (pean) atau jari tangan.
 Pasang tampon dan drain, diangkat setelah 24 jam.
 Berikan Kloksasilin 500 mg setiap 6 jam selama 10 hari.
 Sangga payudara.
 Kompres dingin.
 Berikan parasetamol 500 mg setiap 4 jam sekali bila diperlukan.
 Ibu dianjurkan tetap memberikan ASI walau ada pus.
 Lakukan follow up setelah peberian pengobatan selama 3 hari. (Amir, 2014)
Jika terjadi abses, biasanya dilakukan penyayatan dan pembuangan nanah, serta
dianjurkan untuk berhenti menyusui. Untuk mengurangi nyeri dapat diberikan obat pereda
nyeri (misalnya acetaminophen atau ibuprofen). Kedua obat tersebut aman untuk ibu
menyusui dan bayinya. (Amir, 2014)
Kesimpulan

Mastitis merupakan proses peradangan payudara yang mungkin disertai infeksi atau
tanpa infeksi. Sebagian besar mastitis terjadi dalam 6 minggu pertama setelah bayi lahir.
Diagnosis mastitis ditegakkan apabila ditemukan gejala demam, menggigil, nyeri seluruh
tubuh serta payudara menjadi kemerahan, tegang, panas dan bengkak. Beberapa faktor risiko
utama timbulnya mastitis adalah puting lecet, frekuensi menyusui yang jarang dan pelekatan
bayi yang kurang baik. Melancarkan aliran ASI merupakan hal penting dalam tata laksana
mastitis.
Selain itu, ibu perlu banyak beristirahat, banyak minum, mengonsumsi nutrisi yang
seimbang dan apabila perlu mendapatkan terapi medikasi analgesik dan antibiotik. Infeksi
payudara atau mastitis perlu diperhatikan oleh ibu-ibu yang baru melahirkan. Infeksi ini
biasanya terjadi disebabkan adanya bakteri yang hidup di permukaan payudara. Berbagai
macam faktor seperti kelelahan, stres, dan pakaian ketat dapat menyebabkan penyumbatan
saluran air susu dari payudara yang nyeri dan jika tidak dilakukan pengobatan, maka akan
menjadi abses.
DAFTAR PUSTAKA

Amir, LH. 2014. ABM Clinical Protocol #4: Mastitis. The Academy of Breastfeeding
Medicine Protocol Committee. 9(5): 239-243.

Contretas, GA1., Rodriguez, JM2. 2011. Mastitis: Comparative Etiology and Epidemiology.
Springer Science.

Cusack, L1., Brennan, M2. 2011. Lactational Mastitis and Breast Abscess. Aust Fam Phys.
40(12): 976-979.

Guidelines & Audit Implementation Network (GAIN). 2009. Guidelines on the treatment,
management & prevention of mastitis. 1-48.

Marín, M., Dkk. 2014. Case–control study of risk factors for infectious mastitis in Spanish
breastfeeding women. BMC Pregnancy and Childbirth. Doi:10.1186/1471-2393-14-
195.

Ngowe, MN., Dkk. 2016. Prevalence and Risk Factors of Lactation Mastitis in Three
Hospitals in Cameroon: A Cross-Sectional Study. British Journal of Medicine &
Medical Research.

Prasetyo, B.W., Dkk. 2013. Hubungan antara diameter lubang puting terhadap tingkat
kejadian mastitis. J. Ternak Tropika. 14(1): 15-20.

Prawirohardjo, S. 2016. Ilmu Kebidanan. Edisi 4 Cetakan 5. Jakarta: PT Bina Pustaka


Sarwono Parawirohardjo.

Soetjiningsih. 1997. ASI Petunjuk Untuk Tenaga Kesehatan. EGC. Jakarta.

Spencer, JP. 2018. Management of Mastitis in Breastfeeding Women. American Academy of


Family Physicians. 78(6): 727-732.

WHO. 2000. Mastitis Causes and Management.


http://whqlibdoc.who.int/hq/2000/WHO_FCH_CAH_00.13.pdf?ua=1.

Wiknjosastro, H. 2008. Ilmu Bedah Kebidanan. Edisi Pertama. Jakarta: Yayasan Bina
Sarwono Prawirohardjo; h. 665.

Anda mungkin juga menyukai