Anda di halaman 1dari 17

Laporan Kasus

Mastitis
Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Program Internsip Dokter Indonesia

Oleh:
dr. Yuni Asri Widyastuti

Pembimbing :
dr. Ratna Siagian

Program Internsip Dokter Indonesia


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
2020
BAB I
PENDAHULUAN

Menyusui telah terbukti mampu melindungi bayi dari serangan penyakit dan juga
mampu membantu meningkatkan kondisi kesehatan ibu. Lembaga kesehatan dunia
(WHO) merekomendasikan pemberian Air susu ibu (ASI ) secara eksklusif kepada bayi
selama enam bulan pertama kehidupan bayi. Air susu ibu merupakan makanan terbaik
bagi bayi dan mendukung pertumbuhan serta perkembangan bayi. Tetapi ternyata
penelitian di Australia pada tahun 2010 melaporkan bahwa ibu yang menyusui bayinya
secara eksklusif hanya kurang dari 15% , tentunya hal ini menjadi kondisi yang sangat
memprihatinkan bagi dunia.
Survei Kesehatan Nasional Spanyol (2011-2012) menunjukkan bahwa perkiraan
prevalensi pemberian ASI eksklusif adalah 66,2 (72,4)%, 53,6 (66,6)% dan 28,5 (46,9)%
pada 6 minggu, 3 bulan dan 6 bulan, masing-masing, setelah lahir.
Kondisi tersebut menjadi faktor pemicu munculnya banyak penelitian baru yang
bertujuan untuk mengetahui dan mencegah serta mengatasi faktor penyebab rendahnya
pemberian ASI secara eksklusif. Salah satu penyebab kurangnya cakupan ASI eksklusif
adalah terjadinya mastitis pada ibu menyusui. Mastitis merupakan kejadian yang ditandai
dengan adanya rasa sakit pada payudara yang disebabkan adanya peradangan payudara
yang bisa disertai infeksi maupun non infeksi. Kejadian mastitis di Australia kurang lebih
sekitar 15–21% ibu menyusui yang terjadi pada 6-8 minggu pertama masa menyusui.
Mastitis adalah peradangan jaringan payudara yang terkait dengan infeksi bakteri. Pada
mastitis infektif, Staphylococcus aureus adalah patogen yang paling umum. Lebih jarang,
patogen itu mungkin Streptococcus beta-hemolitik (seperti Grup A atau streptokokus
Grup B) atau Escherichia coli. S. aureus yang resisten methicillin yang didapat
masyarakat semakin diidentifikasi sebagai patogen.
Kurang lebih 3% kejadian mastitis berlanjut menjadi kasus abses payudara. Faktor
risiko penyebab mastitis antara lain stasis ASI, putting susu lecet dan faktor kelelahan
pada ibu. Jika ibu mengalami putting susu lecet maka hal itu akan menjadi jalan masuk
bagi mikroorganisme untuk menginfeksi payudara. Kebiasaan proses pengosongan
payudara yang tidak tuntas juga menyebabkan stasis atau bendungan payudara yang
nantinya menjadi media berkembangnya mikroorganisme. Kelelahan ibu menyebabkan
terjadinya penurunan daya tahan tubuh ibu sehingga memudahkan terjadinya infeksi oleh
mikroorganisme.
Pengetahuan ibu tentang proses menyusui yang kurang dapat menyebabkan
terjadinya kesalahan dalam posisi menyusui yang berakibat terjadinya lecet pada putting
susu ibu. Selain itu juga menyebabkan proses pelepasan dan pengeluaran ASI yang
kurang maksimal sehingga menyebabkan bendungan payudara. Mastitis merupakan salah
satu penyebab penyapihan dini pada bayi karena alasan rasa sakit dan ketidaknyamanan
yang dirasakan oleh ibu menyusui. Kurangnya pemberian informasi tentang proses
menyusui dianggap sebagai salah satu penyebab rendahnya pengetahuan ibu tentang
menyusui sehingga menyebabkan mastitis.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mastitis

2.1.1 Definisi Mastitis

Mastitis adalah peradangan payudara pada satu segmen atau lebih yang

dapat disertai infeksi ataupun tidak. Mastitis biasanya terjadi pada primipara (ibu

pertama kali melahirkan), hal ini terjadi karena ibu belum memiliki kekebalan

tubuh terhadap infeksi bakteri Staphilococcus Aureus. Kasus mastitis diperkirakan

terjadi dalam 12 minggu pertama, namun dapat pula terjadi pula sampai tahun

kedua menyusui (Maretta Nur Indahsari & Chusnul Chotimah, 2017). Mastitis

perlu diperhatikan karena dapat menimbulkan luka sehingga terjadi mastitis

infeksi.

Mastitis adalah masalah umum yang signifikan pada ibu menyusui yang

dapat berkontribusi pada penyapihan menjadi masalah yang paling banyak

dilaporkan(Rsud, Margono, & Purwokerto, n.d.). Pada mastitis terdapat dua hal

yang perlu diperhatikan yaitu, mastitis biasanya dapat menurunkan produksi ASI

sehingga ibu akan berhenti menyusui. Kemudian, mastitis juga berpotensi

menyebabkan beberapa penyakit (Nurhafni, 2018).

Ada dua jenis mastitis yaitu, mastitis non infeksi dan mastitis infeksi. Mastitis non

infeksi yang biasanya disebabkan oleh stasis susu (susu diproduksi, tetapi tetap di

payudara). Ibu yang mengalami mastitis non infeksi biasanya merasakan payudara

terasa nyeri, bengkak dan ketidaknyaman (Chiu et al., 2010) . Stasis susu mungkin

memiliki sebab-sebab antara lain : Bayi tidak menempelkan payudara secara

efektif saat menyusui. Bayi mengalami kesulitan mengisap ASI dari payudara.

Bayi jarang mendapat ASI. Saluran susu dapat tersumbat karena tekanan pada
payudara seperti pakaian ketat. Apapun yang menghentikan ASI tidak

diekspresikan dengan benar biasanya akan menghasilkan stasis susu, yang sering

menyebabkan penyumbatan saluran susu jika dibiarkan akan timbul luka sehingga

mangakibatkan infeksi, sedangkan mastitis infeksi disebabkan oleh bakteri yang

umumnya tidak berkembang dalam saluran susu. tetapi, jika saluran susu berhenti

kemungkinan infeksi akan tumbuh tumbuh. Para ahli percaya bahwa bakteri yang

ada di permukaan kulit payudara masuk ke payudara melalui retakan kecil atau

pecah di kulit. Mereka juga menyarankan bahwa bakteri di mulut bayi bisa masuk

ke payudara ibu saat menyusui (Walker, 2009). Diagnosis mastitis biasanya klinis,

dengan pasien yang mengalami nyeri tekan dalam satu payudara (Jeanne &

Spencer, 2008).

2.1.2 Etiologi

Ada beberapa penyebab terjadinya mastitis antara lain sebagai berikut:

Stasis ASI dan infeksi yang berasal dari bakteri. Faktor predisposisi yang
menyebabkan mastitis diantaranya adalah umur, stress dan kelelahan, pekerjaan di
luar rumah (Inch dan Xylander, 2012). Stasis ASI terjadi jika ASI tidak
dikeluarkan efisen dari payudara. Hal ini dapat terjadi apabila ASI terbendung pada
payudara yang disebabkan oleh kenyutan bayi tidak efektif atau teknik menyusui
yang tidak benar. Stasis ASI merupakan penyebab primer dan jika dibiarkan akan
berkembang timbul infeksi. Menyusui yang efesien akan mencegah terjadi stasis
ASI (Rsud et al., n.d.). Infeksi disebabkan oleh bakteri yang bernama
Staphylococcus Aureus. Bakteri ini berasal dari mulut bayi memalui saluran puting,
sehingga teknik menyusui yang salah akan menyebabkan puting menjadi lecet. Hal
ini akan memudahkan bakteri masuk pada payudara dan mengakibatkan
penyumbatan ASI payudara menjadi besar, terasa nyeri tekan dan terasa panas.
Penyumbatan yang diakibatkan oleh infeksi dapat mengakibatkan terjadi mastitis,
karena menyusui yang tidak adekuat(Anasari & Sumarni, 2014).
Umur juga dapat menyebabkan terjadi mastitis. Umur merupakan individu

yang dihitung mulai dia lahir sampai berulang tahun, semakin berumur semakin

cukup tingkat kematangan dan seseorang akan lebih matang befikir(Herry

Rosyati, 2016). Wanita yang berumur 21-35 lebih rentang menderita mastitis dari
pada wanita dibawah 21 tahun dan diatas 35 tahun. Umur sangat menentukan

kesehatan maternal dan kondisi ibu saat hamil, persalinan dan menyusui.

Diperkirakan alat reproduksi yang belum matang, sedangkan jika umur lebih dari

35 akan rentang sekali terjadi pendarahan. Hal tersebut memicu terjadinya mastitis

(Herry Rosyati, 2016).

Stres merupakan faktor psikologis dengan menciptakan suasa pikiran

tenang dan nyaman. Stress dan kelelahan maternal sering dikaitkan dengan

mastitis, biasanya dialami pada ibu primipara (Nurhafni, 2018). Kondisi ibu yang

stres dan cemas akan mempengaruhi kelancaran ASI (Amalia, 2018). Semakin

tinggi ibu mengalami gangguan emosi maka semakin sedikit rangsangan hormon

prolaktin yang diberikan sebagai produksi ASI.

Pekerjaan merupakan kegiatan formal yang dilakukan setiap hari

(Nurhafni, 2018). Pekerjaan juga berhubungan dengan penurunan frekuensi

menyusui untuk mengosongkan payudara. Pengosongan payudara yang tidak

adekuat akan mengakibatkan pembengkakan payudara dan saluran susu tersumbat

sehingga akan mengakibatkan mastitis(Hasanah, 2017).

2.1.3 Patofisiologi

Pada umumnya porte de entry menyebabkan puting menjadi luka dan

lecet, kemudian bakteri menjalar pada duktus-duktus yang berkembang biak

sehingga
1
3

terjadi pus. Terjadinya mastitis diawali dengan peningkatan tekanan di dalam duktus

(saluran ASI) akibat stasis ASI. Bila ASI tidak segera dikeluarkan maka terjadi

tegangan alveoli yang berlebihan dan mengakibatkan sel epitel yang memproduksi

ASI menjadi datar dan tertekan, sehingga permeabilitas jaringan ikat meningkat.

Beberapa komponen (terutama protein kekebalan tubuh dan natrium) dari plasma

masuk ke dalam ASI dan selanjutnya ke jaringan sekitar sel sehingga memicu respons

imun. Stasis ASI, adanya respons inflamasi, dan kerusakan jaringan memudahkan

terjadinya infeksi (Novyaningtias, 2016).

Terdapat beberapa cara masuknya kuman yaitu melalui Duktus Laktiferus ke

lobus sekresi, melalui puting yang retak ke kelenjar limfe sekitar duktus (periduktal)

atau melalui penyebaran hematogen (pembuluh darah). Organisme yang paling sering

adalah Staphylococcus Aureus, Escherecia Coli dan Streptococcus. Kadang-kadang

ditemukan pula mastitis tuberkulosis yang menyebabkan bayi dapat menderita

tuberkulosa tonsil. Pada daerah endemis tuberkulosa kejadian mastitis tuberkulosis

mencapai 1% (IDAI, 2011).

2.1.4 Manifestasi Klinis dari Mastitis

Manisfestasi klinis mastitis yang umum adalah area payudara yang terasasakit

dan keras. Ibu menyusui yang mengalami mastitis mengalami nyeri, bengkak

sehingga ibu merasa tidak nyaman akibat tersumbatnya saluran ASI pada payudara.

Berdasarkan jenisnya mastitis dibedakan menjadi dua, mastitis infeksi dan mastitis

non-infeksi. Gejala yang timbul dari mastiti infeksi biasanya ditandai adanya respon
inflamasi dan rusaknya jaringan puting puting menjadi pecah-pecah sehingga dengan

mudah bakteri untuk masuk, sedangkan tanda dan gejala mastitis non-infeksi

payudara mengalami pembengkakan yang upnormal payudara yang mengeras, terasa

sakit apabila disentuh dan terasa tegang dikarenakan kurangnya waktu menyusui

untuk bayi (Walker,2009

2.1.5 Epidemiologi

Insiden mastitis puerperalis sangat bervariasi. menurut penelitian, mastitis

tampaknya mempengaruhi sekitar sepuluh persen dari semua ibu yang menyusui.

Namun, hasil studi telah bervariasi secara signifikan, beberapa menunjukkan hanya

tiga persen sementara yang lain mengatakan tiga puluh tiga persen wanita

terpengaruh. Hal ini paling sering terjadi pada minggu kedua dan ketiga postpartum

dengan sebagian besar laporan yang menunjukkan bahwa tujuh puluh empat persen

hingga sembilan puluh lima persen kasus terjadi pada 12 minggu pertama. Namun,

dapat terjadi pada setiap tahap laktasi.

2.1.6 Penatalaksanaan

Dilakukan penatalaksanaan mastitis dengan tujuan mencegah terjadinya

komplikasi lanjut. Penatalaksanaan bisa berupa medis dan non-medis, dimana medis

melibatkan obat antibiotik dan analgesik sedangkan non-medis berupa tindakan

suportif.

1. Penatalaksanaan Medis

Antibiotik diberikan jika dalam 12-24 jam tidak ada perubahan atautidak

ada perubahan, antibiotik yamg diberikan berupa penicillin resistan-

penisilinase . Jika ibu alegi terhadap penisilinase dapat diberikan Eritromisin.


Terapi yang paling umum adalah adalah Dikloksasilin. Berikut antibiotik yang

efektif terhadap infeksi Staphylococcus aureus.

Tabel 2.1 Dosis Antibiotik

Antibiotik Dosis

Eritromisin 250-500 mg setiap 6 jam


Flukloksasilin 250 mg setiap 6 jam
Dikloksasilin 125-250 mg setiap 6 jam per oral
Amoksasilin (sic) 250-500 mg setiap 8 jam
Sefaleksin 250-500 setiap 6 jam

Sumber: (IDAI, 2011)

Pemberian antibiotik dikonsulkan oleh dokter supaya mendapat

antibiotik yang tepat dan aman untuk ibu menyusui. Selain itu, bila badan

terasa panas sebaiknya diberikan obat penurun panas. Namun jika infeksi

tidak hilang maka dilakukan kultur asi (Prasetyo, 2010).

Selanjutnya pemberian Analgesik untuk mengurangi rasa nyeri. Rasa

nyeri menjadi penghambat hormon oksitosin yang berperan dalam proses

pengeluaran ASI. Analgesik yang diberikan berupa ibuprofen dengan dosis

1,6gram per hari karena lebih efektif dalam menurunkan peradangan

dibandingkan dengan paracetamol dan asetaminofen. Sehingga

direkomendasikan pada ibu menyusui yang mengalami mastitis

(Novyaningtias, 2016). Selain analgesik, untuk mengatasi nyeri dan payudara

terasa keras bisa diberikan kompres kentang.

2. Penatalaksanaan non-medis
Penatalaksanaan non-medis dapat dilakukan berupa tindakan suportif untuk mencegah

mastitis semakin buruk. Tindakan suportif yang diberikan yaitu guna untuk menjaga

kebersihan dan kenyamanan (Novyaningtias, 2016) meliputi : Sebelum menyusui sebaiknya

ASI dikeluarkan sedikit lalu oleskan pada daerah payudara dan puting. Cara ini bertujuan

untuk menjada kelembapan puting susu (Soetjiningsih, 2013). Kemudian bayi diletakkan

menghadap payudara ibu. Posisi ibu bisa dudukatau berbaring dengan santai, bila bu memilih

posisi duduk sebaiknya menggunakan kursi yang lebih rendah supaya kaki ibu tidak

menggantung dan punggung ibu bisa bersandar. Selanjutnya bayi dipegang pada belakang

bahu dengan menggunakan satu lengan, dengan posisi kepala bayi terletak di lengkung siku

ibu (kepala bayi tidak boleh menengadah dan bokong bayi disangga dengan telapak tangan).

Tangan bayi diletakan dibelakan badan ibu dan tangan satu didepan, perut bayu ditempelkan

pada badan ibu dengan kepala bayi menghadap payudara (tidak hanya menengokkan kepala

bayi). Payudara dipegang dengan jari jempol diatas dan jari lainnya menopang payudara,

seperti huruf C (Reinata, 2016). Bayi diberi rangsangan supaya bayi ingin membuka mulut

atau disebut dengan rooting reflex yaitu menyentuhkan pipi bayi pada puting susu atau

menyuntuhkan sisi mulut bayi. Setelah bayi membuka mulut, kepala bayi didekatkan pada

payudara dan puting dimasukan pada mulut bayi. Usahakan areola payudara masuk ke mulut

bayi sehingga lidah bayi akan menekan ASI. Posisi yang salah apabila bayi hanya menghisap

bagian puting ibu saja. Hal ini akan mengakibatkan ASI tidak keluar secara adekuat (Monika,

2015).

Bayi diberi rangsangan supaya bayi ingin membuka mulut atau disebut

dengan rooting reflex yaitu menyentuhkan pipi bayi pada puting susu atau

menyuntuhkan sisi mulut bayi. Setelah bayi membuka mulut, kepala bayi didekatkan
pada payudara dan puting dimasukan pada mulut bayi. Usahakan areola payudara

masuk ke mulut bayi sehingga lidah bayi akan menekan ASI. Posisi yang salah

apabila bayi hanya menghisap bagian puting ibu saja. Hal ini akan mengakibatkan

ASI tidak keluar secara adekuat (Monika, 2015).

Selain pengosongan payudara penatalaksanaan lainya berupa pemberian

kompre hangat dengan menggunakan shower hangat atau lap yang sudah dibasahi air

hangat. Penilitian Eman Mohammed Abd Elhakam and Somaya Ouda Abd Elmoniem

dalam jurnalnya untuk mengatasi mastitis dapat diberikan kompres kentang dengan

menggunakan irisan kentang yang suda direndam pada air kemudian menempelkan

atau mengkompreskan pada payudara (Crepinsek et al, 2012)

Mengubah posisi menyusui (posisi tidur, duduk atau posisi memegang bola

(foot ball position). Memakai baju atau bra yang longgar dapat mengurangi

penekanan berlebihan pada payudara. Bra yang ketat dapat menyebabkan segmental

enggorgement jika tidak disusui dengan adekut (Murniati, 2018).

Selanjutnya mengedukasi ibu atau memberi pengetahuan tentang dan

pencegahan dan penanganan mastitis. Sehingga ibu bisa mewaspadai sebelum terjadi

mastitis.Dengan cara tersebut biasanya mastitis akan menghilang setelah 48 jam.

Tetapi jika dengan cara-cara tersebut tidak ada perubahan, maka akan diberikan

antibiotika 5-10 hari dan analgesik(Soetjiningsih, 2013).

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang berupa laboratorium dan kultur ASI. Pemeriksaan

laboratorium dilakukan untuk menjunjang diagnosis. WHO menganjurkaan untuk

melakukan uji sensitivitas dan kultur. Bahan kultur diambil dari ASI yang diperah

menggunakan tangan dan ditampung menggunakan penampung urin steril. Sebelum


dilakukan pemeriksaan dipastikan puting dibersihkan terlebih dahulu dan bibir tempat

menampung tidak bersentuhan dengan puting supaya tidak terkontiminasi dengan

kuman-kuman pada kulit sehingga mendapatkan hasil yang positif (Novyaningtias,

2016).

2.1.8 Komplikasi

Komplikasi pada mastitis disebabkan karena meluasnya peradangan payudara

(Nurhafni, 2018). Beberapa komplikasi jika mastitis tidak segera ditangani dapat

terjadi penghentian menyusui dini, abses payudara, mastitis berulang atau kronis, dan

juga infeksi jamur (Chotimah, 2017). Penghentian menyusui dini merupakan gejala

yang dapat membuat ibu untuk memutuskan tidak menyusui. Penghentian secara

mendadak dapat menyebabkan resiko abses payudara. selain itu ibu juga meragukan

obat yang dikonsumsi tidak aman bagi bayinya. Sehingga informasi dari tenaga

kesehatan sangat diperlukan untuk hal ini (Chotimah, 2017 (Amin, I, & W, 2014)).

Abses payudara merupakan meluasnya peradangan dalam payudara tersebut.

Gejala dari abses payudara adalah ibu tampak lebih parah merasakan sakit, payudara

terlihat lebih merah dan mengkilap, benjolan terasa lunak karena berisi nanah.

Sehingga perlu dilakukan insisi payudara untuk menguarkan nanah tersebut. Pada

abses payudara perlu diberikan antibiotik dan analgesik dengan dosis tertentu.

Sementara untuk bayi harus menyusu hanya pada payudara yang sehat, sedangkan

ASI dari payudara yang sakit ketika diperas sementara tidak disusukan.

Mastitis berulang atau kronis disebabkan karena pengobatan yang terlambat.

Dalam mastitis kronis ibu dianjurkan lebih banyak untuk beristirahat, banyak minum

air putih dan makan dengan gizi seimbang. Untuk infeksinya diberikan antibiotik

dosis rendah yaitu eritromisin 500mg sekali sehari selama masa menyusui.
Infeksi jamur merupakan komplikasi sekunder yang disebabkan oleh jamur

Candida Albicans. keadaan infeksi jamur terasa terbakar yang menjalar sampai

saluran ASI. Sementara waktu menyusui permukaan payudara terasa gatal, namun

puting tidak terlihat adanya kelainan. Pada komplikasi ini bayi mendapatkan

pengobatan berupa nistatin krim yang mengandung kortison dengan dioleskan pada

puting setelah menyusui dan bayi mendapatkan nistatin oral pada waktu yang sama

(Novyaningtias, 2016).

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
- Nama : Ny. O
- Umur : 18 Tahun
- Agama : Islam
- Tanggal Masuk : 16 Mei 2020
- No. RM : 10.45.07

3.2 Anamnesa
a. Keluhan Utama : Bengkak pada payudara kiri sejak 1 minggu sebelum masuk
rumah sakit
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Bengkak pada payudara kiri sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Bengkak sudah
dirasakan sejak 10 hari yang lalu dan makin lama makin membesar. Pasien mengeluhkan
nyeri, payudara tampak berwarna kemerahan dan keluar cairan putih susu disekitar
putting susu. Pasien juga mengeluhkan demam. Pasien riwayat melahirkan anak pertama
14 hari yang lalu dan sekarang sudah tidak menyusui anaknya lagi.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat dengan keluhan yang sama sebelumnya disangkal
d. Riwayat Pengobatan
- Sebelumnya pasien sudah berobat ke puskesmas 1 minggu yang lalu, diberi 3 macam
obat tetapi pasien lupa nama obatnya, keluhan tidak berkurang
e. Riwayat Penyakit Keluarga
- Tidak ada keluarga pasien yang menderita keluhan yang sama
f. Riwayat Alergi
- Alergi obat dan makanan disangkal

3.3 Pemeriksaan Fisik


yPrimar

Airway Breathing Circulation Disability


 Bebas Spontan Nadi Respon
 Gargling  Tachipneu  Kuat  Alert
 Stridor  Dispneu  Lemah  Pain
 Wheezing  Apneu CRT  Verbal
 Ronchi  Ventilator  < 2  Unresponse
 Intubasi  >2 Pupil
Warna kulit  Isokor
Normal  Anisokor
3. Pucat  Pinpoint
4. Kuning  Midriasis
Perdarahan GCS: E4 M6
survey

 Tid V5
ak ada
 Terkontrol
 Tidak terkontrol
Turgor kulit
 Bai
k
 Buruk

Tekanan darah 120/83 mmhg Pernapasan 20 kali/menit


Nadi 98 kali/menit Suhu 36,2 C
Berat badan 60 kg Tinggi badan 155 cm
Normal Tidak normal
Kepala Normal
konjungtiva tidak pucat,
Mata
sklera tidak ikterik
Mulut Mukosa basah
Leher Pembengkakan KGB (-)
Frekuensi 20 kpm, gerak
Paru simetris, vesikuler (+/+),
ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
BJ 1>BJ 2, reguler,
Jantung
murmur (-)
Supel, NTE (-), timpani,
Abdomen
BU (+)
Sianosis (-), CRT <2 detik,
Ekstremitas
edema (-)
Anus dan Tidak diperiksa
genitalia

Regio Mammae Sinistra


Inspeksi : tampak bengkak, pus (+0, luka (+), warna kemerahan
Palpasi : nyeri tekan (+), massa (-), teraba keras dan panas, ASI (-)
Regio Mammae Dextra
Inspeksi : bengkak (-), pus (-), warna kemerahan
Palpasi : teraba keras, ASI (+)

3.4 Diagnosa
Mastitis Sinistra

3.5 Penatalaksnaan
- Cefixime tab 200mg 2x1 (po)
- Metronidazole tab 500mg 3x1 (po)
- Paracetamol tab 500mg 3x1 (po)
- Kompres dengan larutan NaCl 0,9% + 2 amp gentamycin 2x1 sehari
- Edukasi pasien
o Tentang penyakit pasien, keraturan minum obat, dan pencegahan lebih lanjut
o Ibu tetap menyusui pada payudara yang sehat dan ASI pada payudara yang
sakit dipompaa

BAB IV
ANALISIS KASUS
Perempuan 18 tahun datang ke IGD datang sadar dengan keluhan Bengkak pada
payudara kiri sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Bengkak sudah dirasakan
sejak 10 hari yang lalu dan makin lama makin membesar. Pasien mengeluhkan nyeri,
payudara tampak berwarna kemerahan dan keluar cairan putih susu disekitar putting susu.
Pasien juga mengeluhkan demam. Pasien riwayat melahirkan anak pertama 14 hari yang
lalu dan sekarang sudah tidak menyusui anaknya lagi.

Dari pemeriksaan fisik, didapatkan primary survey dan status generalis dalam
batas normal. Dari status lokalis region mammae sinistra didapatkan pada inspeksi
tampak bengkak, pus (+0, luka (+), warna kemerahan, palpasi nyeri tekan (+), massa (-),
teraba keras dan panas, ASI (-) dan region mammae dextra pada inspeksi bengkak (-), pus
(-), warna kemerahan, palpasiteraba keras, ASI (+).

Tatalaksana dapat diberikan antibiotic dan antinyeri serta edukasi tentang


perawatan luka. Perawatan luka dapat dilakukan dengan kompres NaCl ditambahkan
antibiotik yang dilakukan secara teratur 2 kali sehari, serta pasien tetap memberikan ASI
pada payudara yang sehat, sementara pada payudara yang sakit dapat dilakukan pompa
ASI.

Anda mungkin juga menyukai