Anda di halaman 1dari 12

ADAT ISTIADAT PERKAWINAN BELITUNG

Seiring dengan perkembangan zaman, meluasnya komunikasi, maka tata cara perkawinan beragam.
Menurut apa yang dituturkan oleh orang-orang yang berumur diatas 80-an tahun. Perkawinan terlaksana
karena adanya paham (kesepakatan). Karena itulah saat merencanakan perkawinan diawali dengan
mutuskan paham .

Pihak laki-laki akan mendatangi pihak calon perempuan dengan diwakilkan untuk menyampaikan hajat
baik ini. Maksud dari si empunya hajat untuk diwakilkan adalah untuk menjaga hal-hal buruk yang
menganggu tali silaturami kedua keluarga calon mempelai.
Tetapi jika diluar kebiasaan, dimana pihak perempuan melamar pihak laki-laki bisa menjadi pertanda
telah terjadi perkawinan yang dipaksakan atau masih ada hubungan keluarga sehingga tidak seperti
layaknya aturan adat dalam hal minang-meminang.

Saat itu pihak laki-laki membawa barang sebaga tanda ikatan pertunangan dan kedatangan pertama
tentulah diterima dengan baik. Pada pertemuan kedua dibicarakan kapan perkawinan bisa
dilangsungkan. Dan pertemuan ketiga dirundingkan tanggal dan hari pelaksanaan. Ini disebut mutuskan
paham. Selanjutnya akad nikah dilangsungkan di rumah mempelai perempuan.
Perayaan perkawinan ini dipimpin oleh pengulu gawai yang ditentukan ketika berlangsung pembentukan
panitia gawai. Pada hari itu, pengantin laki-laki dijemput utusan dari pihak mempelai perempuan yang
diarak dengan kesenian hadra. Dalam adat perkawainan urang Belitung, pengantin laki-laki harus
melewati tiga pintu (lawang).
DI lawang pertama, tukang tanak nasi menyambut wakil mempelai laki-laki dengan bersilat pantun.
Mempelai laki-laki harus melewati tantangan di lawang pertama tetapi rombongan pengiringnya
dipersilahkan masuk lebih dulu. Ini adalah simbol sebagai laki-laki harus melewati tantangan perkawinan
untuk menafkahkan keluarga.

Di lawang kedua mempelai laki-laki dihadang oleh pengulu gawai. Simbol ini dimaksud agar pengantin
laki-laki nantinya dapat melewati bahtera rumah dan memimpin biduk perkawinan. Dan di lawang ketiga,
mempelai laki-laki di hadang oleh mak inang (juru rias) . Hal ini merupakan simbol bahwa mempelai laki-
laki selain dapat menafkahkan dan memimpin keluarga juga harus mampu menghiasi rumah tangga
dengan nuansa kegembiraan dan keindahan.

Setiap melewati lawang-lawang selalu disemarakkan dengan budaya berbalas pantun, memberi simbol
tawar menawar, begitulah perkawinan hendaknya mampu mengatasi aral melintang mau menjawab
tantangan.

Sebelum rombongan laki-laki meninggalkan rumah mempelai perempuan orang tua kedua belah pihak
berseakat menentukan tanggal perayaan yang akan dilangsungkan di rumah pihak mempelai laki-laki
yang disebut dengan istilah mulangek runut atau penganten beranjuk. Sekaligus ingin menunjukkan
tanda suka cita, orang tua mempelai sedang berbahagia mendapatkan menantu. Oleh kedua orang tua
laki-laki diperkenalkan menantu barunya ke keluarga terdekat. Ini dimaksudkan agar jalinan
kekeluargaan anggota keluarga yang baru dapat lebih akrab. Menantupun tahu mana yang harus
dipanggil Pak Long (tertua), Pak Andak, Pak Cik, Pak Busu dan sebagainya. Begitulah setiap malam
selepas waktu sholat Isya acara kenal-mengenal dilakukan.

Anta Bubu, Warisan Budaya Tak


Benda dari Bangka Belitung 2017
Penulis
 wardibudaya
 -
Oktober 19, 2017
0
1183
 

Domain                     : Tradisi Lisan dan Ekspresi

Lokasi Persebaran      : Dusun Sekip, Desa Lalang, Kec. Mangar Kab. Belitung
Timur

Maestro                     : Geribi, Kab. Belitung Timur

Kondisi                      : Masih Bertahan

Berdasarkan cerita turun-temurun dikatakan Antu Bubu berasal dari seorang


laki-laki sakti yang namanya dirahasiakan sang pawang. Laki-laki tersebut
merupakan Pawang pertama. Orang sakti tersebut memasang bubu di sungai.
Pada minggu pertama bubu menghasilkan ikan yang banyak, begtu pula
kedelapan, kesembilan dan kesepuluh bubu berhasil mendapat ikan. Namun
pada hari kesebelas dan keduabelas bubu tersebut kosong, tidak berhasil
mendapatkan ikan seperti yang diharapkan, kemudian orang tersebut
menyelidiki apa yang terjadi dengan bubunya padahal kondisinya baik.

Ia pun menerawang siapa yang berani mengganggu bubu kepunyaannya.


Hasilnya ia mengetahui siapa yang dimaksud. Kemudian bubu pun dimantrai
dan dipasang kembali dengan tujuan untuk memberi pelajaran kepada orang
yang mengganggu.

Beberapa hari kemudian yaitu hari ketiga hingga ketujuh orang tersebut
memeriksan bubu, kondisinya pun baik-baik saja dan mendapat hasil
tangkapan. Namun hari kedelapan di dekat bubu, orang sakti tersebut
menemukan seorang pemuda tergeletak tak bernyawa. Selanjutnya ia pun
dimakamkan. Sayangnya ia tidak diterima oleh Bumi, arwahnya pun
bergentayangan, merasuki bahkan mengganggu bubu yang dipasang oleh
masyarakat, sehingga bubu yang dipasang tidak mendapatkan hasil.

Arwah orang tersebut keemudian dinamakan Antu (hantu) arwahnya selalu


gentayangan dan sulit untuk ditaklukan. Akhirnya oleh orang-orang sakti di
masa itu, diadakan ritual khusus, kemudian gangguan antu tersebut dapat
diatasi sehingga hanya merasuki bubu tertentu, yang dipanggil secara gaib.
Kemudian dari sinilah muncul kesenian Antu Bubu yang bermakna hantu yang
bersemayam di dalam bubu. Nama laki-laki yang menjadi Antu tersebut
dirahasiakan oleh pawang karena ketika menyebutnya berarti telah
memanggilnya untuk merasuki bubu. Dengan demikian ketika ia dipanggil
ketika bubu tidak ada maka ia akan merasuki orang yang memanggilnya. Oleh
sebab itu, hanya pawanglah yang boleh menyebut namanya dan hanya pada
waktu tertentu yaitu pada saat kesenian Antu Bubu digelar.

Permainana Antu Bubu hanya dikenal di Dusun Sekip, Desa Lalang, Kecamatan
Manggar. Kesenian ini hanya dilakukan oleh pawang yang diturunkan secara
turun-temurun, sedangkan pemainnya boleh siapa saja termasuk wisatawan
asing. Perlengkapan yang digunakan dalam permainan ini adalah bubu yang
terbuat dari jalinan bambu atau kayu, dengan kepala terbuat dari tempurung
kelapa dan dipakaikan kain kafan sisa orang yang meninggal.

Dalam permainan ini seorang pawang dibantu oleh empat orang pembantu
pawang. Pawang bertugas memimpin permainan termasuk ritual. Sedangkan
pembantu pawang membantu dalam mengatur jalanya permainan. Adapun
pakaian dalam permainan adalah pawang dan pembantu pawang menggunakan
pakaian hitam-hitam baik celana maupun baju, sedangkan pemain
menggunakan celana panjang hingga betis tanpa menggunakan baju alias
bertelanjang dada. Waktu permainan ini digelar bisa kapan saja, baikpagi,
siang, sore maupun malam hari. Sedangkan tempat biasanya dilakukan di
pantai atau lapangan, dengan kondisi tanah yang lembut sehingga tidak
mencederai pemain.

Tutup Saji Makan Bedulang Kental Akan Kearifan Lokal

 
 S
ONY DSC

Makan Bedulang Belitung menjadi tradisi budaya yang dipertahankan oleh


masyarakat belitung, provinsi kepulauan Bangka Belitung hingga sekarang.
Tradisi ini, menjadi tradisi yang dapat memperkokoh sikap saling menghormati
dan menghargai  di kabupaten yang dijuluki taman wisata dunia ini.

Makan Bedulang Belitung merupakan prosesi makan bersama masyarakat


Belitung untuk upacara adat, seperti pernikahan, sunatan, atau kelahiran. Tidak
hanya pada upacara adat, bedulang pun kerap dilaksanakan sebagai sarana
komunikasi anggota keluarga, yang secara tidak langsung juga para orang tua
mengajarkan anak-anak yang masih muda tentang etika, kebersamaan, dan
toleransi.

Ciri khas prosesi adalah salah satunya dengan menggunakan mentudong yakni
todung saji khas Belitung atau yang dikenal dengan tutup saji.

Tradisi Makan Bedulang Sebagai


Warisan Budaya Masyarakat
Belitung
Sabtu, 25 Maret 2017olehRedaksi BE-
Oleh : Tian Nirwana

Sejak novel “Laskar Pelangi” karya Andrea Hirata dan film Laskar Pelangi yang diadaptasi dari
novel yang sama terkenal, Pulau Belitung juga semakin terkenal oleh masyarakat Indonesia,
bahkan saat ini oleh dunia. Banyak tempat wisata yang digambarkan dalam cerita Laskar
Pelangi yang menjadi daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke Pulau Belitung. Misalnya,
sekolah Laskar Pelangi yang menjadi lokasi sentral dalam cerita Laskar Pelangi yang berada di
Belitung Timur atau pantai Tanjung Tinggi yang memiliki banyak batuan granit yang besar yang
juga merupakan lokasi syuting pembuatan film Laskar Pelangi yang ada di Belitung.

Selain keindahan pantai-pantainya, Pulau Belitung juga menyimpan kekayaan sejarah dan
kekayaan budaya dan tradisi. Beragam suku bangsa, bahasa, kesenian tradisional, upacara
adat dan tradisi hingga kuliner ada di Belitung. Salah satu tradisi masyarakat Belitung yang
sudah ada sejak zaman dahulu dan masih dipertahankan hingga saat ini adalah tradisi makan
bedulang.

Makan bedulang adalah prosesi makan bersama dalam satu dulang (talam/nampan besar
berbentuk bundar) yang terdiri dari empat orang duduk bersila dan saling berhadapan mengitari
dulang berisi makanan yang disajikan dan dinikmati dengan tata cara dan etika tertentu. Tradisi
makan bedulang diperkirakan mulai ada sejak berkembangnya budaya Islam melayu di
Belitung. Pada awalnya, dulang yang digunakan adalah dulang yang terbuat dari kayu. Dulang
tembaga atau dulang seng baru dikenal pada tahun 1950-an. Dudok besilak (duduk bersila)
dalam prosesi makan bedulang adalah duduknya seorang laki-laki dengan menyilangkan kaki
di bagian betis. Sedangkan perempuan, kaki kiri ditekuk ke dalam dan kaki kanan ditekuk ke
luar. Dudok bersilak menunjukkan nilai filosofis kesetaraan dan kebersamaan. Di samping itu,
dudok bersilak merupakan salah satu posisi duduk yang baik yang menyehatkan sebagaimana
dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Tradisi makan bedulang menekankan konsep hubungan
antar manusia (social system) dengan lingkungan alam sekitarnya (ecosystem), yaitu alam
telah menyediakan kebutuhan manusia. Tradisi makan bedulang di lingkungan keluarga
menunjukkan rasa syukur atas rejeki yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa, “Biar sakit di
tulang asal nyaman di dulang” (Segala letih dan susah dalam mencari penghidupan menjadi
lenyap seketika saat makan bedulang bersama keluarga). Sedangkan tradisi makan bedulang
di lingkungan sosial, seperti upacara adat (maras taun, syukuran kelahiran, sunatan,
pernikahan, berua, bilang-ari) atau upacara adat lainnya dilakukan sebagai sarana silaturahmi
dan meningkatkan rasa kebersamaan dan kesetaraan antar anggota masyarakat.

Sajian makan bedulang

di salah satu rumah makan kuliner khas melayu Belitung di Tanjungpandan

Perangkat makan bedulang meliputi : 1) Dulang yang dialasi serbet, ditutup mentudong (tudung
saji) dan ditutup lagi dengan tudong lamba’ (penutup mentudong). Di dalam dulang berisi satu
mangkuk untuk masakan berkuah (gangan) dan 4-5 buah piring kecil untuk lauk pauk/masakan
kering (ayam/cumi masak bumbu ketumbar, sate ikan, sambal, lalapan, masakan lainnya); 2)
Baskom sebagai tempat nasi dan 4 buah piring makan (biasanya 1 buah serbet yang dilipat
empat diletakkan di bawah baskom, di atas tumpukan piring; 3) Baki/nampan persegi yang
berisi 4 buah gelas berisi air minum, 1 buah kecibokan (kobokan) untuk mencuci tangan, 1
dan/atau 2 buah piring kecil untuk makanan kecil dan/atau buah ‘pencuci mulut’ dan serbet
yang dilipat empat.

Sedangkan petugas pelaksana makan bedulang terdiri dari : 1) Mak Panggong (koordinator
tata cara makan bedulang); 2) Penata Hidangan (memasukkan makanan (lauk-pauk/masakan
kering/berkuah, makanan kecil dan/atau buah ‘pencuci mulut’) ke dalam piring dan/atau
mangkuk, nasi ke dalam baskom, air minum ke dalam gelas, air kobokan ke dalam kecibokan,
menyiapkan serbet dan menyusun piring makan); 3) Tukang Berage (menata hidangan ke
dalam dulang, baki dan menyusun baskom berisi nasi dan piring makan); 4) Tukang Perikse
Dulang (memeriksa kelengkapan lauk-pauk/masakan di dalam dulang dan meletakkan tudong
lamba’ apabila dulang siap disajikan); 5) Tukang Ngisi Aik (mengisi air minum ke dalam gelas
dan menyusunnya di telasar/rak apabila makan bedulang dilakukan di luar rumah); dan 6)
Tukang Ngangkat Dulang (mengangkat dulang ke hadapan tamu).

Tata cara dan etika dalam makan bedulang terdiri dari :  1) Tata cara menyiapkan makan
bedulang (berage). Satu jenis lauk-pauk/makanan dikerjakan oleh satu orang Penata
Hidangan. Setelah lauk-pauk/makanan siap di dalam piring dan/atau mangkuk, Tukang Berage
kemudian menyusunnya ke dalam dulang. Masakan kering diletakkan lebih awal di sekeliling
dulang, masakan berkuah diletakkan paling akhir di tengah dulang. Tukang Berage juga
menyusun baki yang berisi air minum, kecibokan, makanan kecil dan/atau buah ‘pencuci mulut’
dan serbet yang dilipat empat dan baskom berisi nasi dan piring makan. Setelah semuanya
siap, perangkat makan bedulang kemudian diperiksa oleh Tukang Perikse Dulang, dan apabila
sudah lengkap maka dulang ditutup mentudong dan tudong lamba’; 2) Tata cara dan etika
membawa perangkat dulang ke hadapan para tamu. Setelah wakil tuan rumah (Pengulu
Gawai) memeriksa tempat dulang pertama diletakkan, Tukang Ngangkat Dulang membawa
dulang secara berantai/estafet ke hadapan tamu. Jumlah pengangkat dulang paling sedikit tiga
orang. Urutan meletakkan perangkat dulang dimulai dari dulang, baskom berisi nasi dan piring
dan baki. Dulang dipegang dengan kedua tangan, kaki kanan ditekuk ke atas (lutut membantu
menstabilkan posisi dulang) dan kaki kiri ditekuk ke lantai hingga ujung jari menyentuh lantai.
Posisi tubuh di depan atau di samping tamu (tidak boleh membelakangi tamu). Selesai
meletakkan dulang pertama di hadapan tamu, Tukang Ngangkat Dulang menggeser kaki yang
berdiri pada posisi lutut tetap ditekuk, mengambil nasi dan piring makan dari Tukang Ngangkat
Dulang yang berada di belakangnya dengan posisi kaki yang sama.

Setelah memberikan nasi dan piring makan, Tukang Ngangkat Dulang kedua kemudian
mengambil baki dari Tukang Ngangkat Dulang ketiga yang berada di belakangnya untuk
diberikan kepada Tukang Ngangkat Dulang pertama yang berada di depannya, dan seterusnya
hingga seluruh dulang diletakkan di hadapan seluruh tamu. Dulang diletakkan terlebih dahulu di
ruang depan (posisi paling pinggir/pojok) lalu ke bagian tengah ruang dan terakhir ke pinggir
bagian belakang ruang; 3) Tata cara dan etika saat makan bedulang. Pengulu Gawai
menyalami para tamu di dalam ruang dan mempersilakan para tamu untuk mengatur duduk
masing-masing menyesuaikan posisi dulang. Makan diawali dengan membuka mentudong
(orang yang paling muda membuka mentudong) dan menyerahkannya kepada Tukang
Ngangkat Dulang dan dilanjutkan dengan pembagian piring nasi (juga oleh orang yang paling
muda) berdasarkan urutan tingkatan yang lebih tua atau berdasarkan status sosial. Orang yang
paling tua kemudian mengambil nasi dalam baskom terlebih dahulu. Sebelum makan, tangan
dicuci dengan cara memasukkan tangan sebatas buku pertama jari-jari (para tamu yang hadir
sudah dalam keadaan bersih). Setelah itu, keempat orang tamu dalam satu dulang mengambil
lauk-pauk secukupnya dengan tertib dan sopan; dan 4) Tata cara dan etika sesudah makan
bedulang. Selesai makan, tangan dicuci ke dalam kecibokan (sebatas seruas jari-jari tangan
seperti saat mencuci tangan sebelum makan) lalu tangan dikeringkan dengan serbet yang
dilipat empat. Setiap orang hanya menggunakan seperempat bagian serbet. Setelah selesai,
serbet dikembalikan dalam keadaan berlipat empat, bagian yang sudah digunakan berada di
dalam lipatan dan bagian yang masih bersih berada di luar. Melipat serbet dengan cara seperti
itu memiliki makna keburukan yang dilakukan hendaknya bisa saling ditutupi. Makanan kecil
dan/atau buah ‘pencuci mulut’ dan air minum selanjutnya dapat dinikmati dan prosesi makan
bedulang selesai. Dulang dipindahkan dengan cara digeser perlahan secara bertahap/estafet.

Sebagian besar masyarakat Belitung sekarang ini melakukan tradisi makan bedulang hanya
sebatas makan bersama tanpa memperhatikan nilai filosofis yang terkandung di dalamnya. Hal
itu dikarenakan adanya pengaruh kebudayaan lain yang dianggap lebih praktis. Tidak sedikit
yang ditemukan adanya kesalahan tata cara dan etika dalam penyelenggaraan makan
bedulang. Meskipun prosesi makan bedulang saat ini sudah menjadi bagian dari objek wisata,
tetapi nilai-nilai luhur dan makna filosofisnya harus dipertahankan dan dilestarikan agar warisan
budaya tersebut tidak hilang ditelan zaman.

 Sumber : Bungai Rampai – Sarasehan Makan Bedulang, Tim Dinas


Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Belitung

Warisan Budaya Tak Benda di Belitung Timur

Dikirim: 28 Oct 2016, 11:10


Warisan budaya secara garis besar terbagi menjadi 2 bagian yaitu warisan Budaya Benda (tangible
culture heritage) dan Warisan Budaya Tak benda  (intangible culture heritage). Warisan budaya berupa
benda atau berwujud fisik sering kita lihat seperti bangunan dan situs sejarah. Warisan budaya tak
benda merupakan warisan budaya turun-temurun dari dulu dan hingga kini masih terus dilestarikan
seperti tradisi yang terus hidup dalam masyarakat, bagaimana suatu masyarakat berinterkasi dengan
alam dan sejarah contohnya seperti lagu, mitos, dan kepercayaan. Untuk menjadi sebuah warisan
budaya tak benda, sebuah budaya atau tradisi harus memiliki persyaratan minimal berusia 50 tahun
atau sudah berusia 3 generasi dan mengandung nilai-nilai nilai estetika serta memiliki ciri khas
tersendiri di dalamnya.

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Belitung Timur telah melakukan pendataan, pencatatan
dan mendiskusikan bersama-sama dengan tokoh, lembaga adat di Belitung Timur dan Balai Pelestarian
Nilai-Nilai Budaya Prov. Kepulauan Riau guna menghimpun seluruh jumlah serta uraian warisan budaya
tak benda yang ada di Kabupaten Belitung Timur. Hasil kegiatan yang berlangsung selama 5 hari di
Kantor Disbudpar Kab. Belitung Timur ini nantinya akan dikaji untuk memutuskan layak atau tidaknya
suatu budaya untuk ditetapkan menjadi warisan budaya tak benda. Sejauh ini sudah ditetapkan 2
warisan budaya tak benda yang ada di Belitung Timur yaitu tradisi adat Maras taun  dan Buang
Jong.  Pada tahun ini akan kembali diusulkan lagi beberapa warisan budaya tak benda yang ada di
Belitung Timur kepada Prov. Kep. Bangka Belitung seterusnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia.

Warisan Budaya Tak Benda di Belitung Timur


Dikirim: 28 Oct 2016, 11:10

Warisan budaya secara garis besar terbagi menjadi 2 bagian yaitu warisan Budaya
Benda (tangible culture heritage) dan Warisan Budaya Tak benda (intangible culture heritage).
Warisan budaya berupa benda atau berwujud fisik sering kita lihat seperti bangunan dan situs
sejarah. Warisan budaya tak benda merupakan warisan budaya turun-temurun dari dulu dan
hingga kini masih terus dilestarikan seperti tradisi yang terus hidup dalam masyarakat,
bagaimana suatu masyarakat berinterkasi dengan alam dan sejarah contohnya seperti lagu,
mitos, dan kepercayaan. Untuk menjadi sebuah warisan budaya tak benda, sebuah budaya atau
tradisi harus memiliki persyaratan minimal berusia 50 tahun atau sudah berusia 3 generasi dan
mengandung nilai-nilai nilai estetika serta memiliki ciri khas tersendiri di dalamnya.

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Belitung Timur telah melakukan pendataan,
pencatatan dan mendiskusikan bersama-sama dengan tokoh, lembaga adat di Belitung Timur dan
Balai Pelestarian Nilai-Nilai Budaya Prov. Kepulauan Riau guna menghimpun seluruh jumlah
serta uraian warisan budaya tak benda yang ada di Kabupaten Belitung Timur. Hasil kegiatan
yang berlangsung selama 5 hari di Kantor Disbudpar Kab. Belitung Timur ini nantinya akan
dikaji untuk memutuskan layak atau tidaknya suatu budaya untuk ditetapkan menjadi warisan
budaya tak benda. Sejauh ini sudah ditetapkan 2 warisan budaya tak benda yang ada di Belitung
Timur yaitu tradisi adat Maras taun  dan Buang Jong. Pada tahun ini akan kembali diusulkan
lagi beberapa warisan budaya tak benda yang ada di Belitung Timur kepada Prov. Kep. Bangka
Belitung seterusnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai