Anda di halaman 1dari 3

Budaya Jakarta di Balik Hiruk Pikuk Kota

Oleh Mariel Noelni Christine Sinurat – Adik SANI 2022 – Kelompok 5

DKI Jakarta, kota yang diidam-idamkan banyak manusia untuk ditinggali. Kota yang dipenuhi oleh gedung-gedung
pencakar langit, yang diterangi oleh gemerlap lampu kendaraan pribadi yang berlalu lalang setiap detiknya, yang diramaikan oleh
suara jutaan penduduknya. Kota ini digadang-gadangkan oleh titel 'modern' yang tersemat dalam setiap cerita akan dirinya.
Penduduknya beragam, mulai dari penduduk asli, penduduk yang pindah dari kota asalnya untuk mencari pekerjaan, para pejabat
pemerintahan, hingga warga negara asing pun mudah ditemukan di setiap sudutnya. Segalanya sudah tercampur seakan-akan tak
ada satupun hal yang orisinil tercipta di sini—mulai dari bangunan yang mulai modern, pakaian glamor dan terbuka terciprat
westernisasi, maraknya pengguna bahasa asing, hingga kultur pun rasanya sudah luntur dari makanan yang dikonsumsi. Tapi satu
yang harus kalian tahu, mereka, masyarakat keturunan Betawi, sedang berusaha mati-matian menjunjung tinggi tradisi.

Mari kita mulai kisah akan budaya Jakarta dengan mengenal benda budaya paling ikonik, sebuah boneka raksasa yang
penuh warna, yang sering kita sebut sebagai "Ondel-ondel". Ondel-ondel adalah boneka berukuran 2.5 meter yang dibuat dari
anyaman bambu dan bentuknya menyerupai manusia. Boneka ondel-ondel diciptakan 2 jenis, ada yang merepresentasikan kaum
laki-laki dan ada pula yang merepresentasikan kaum perempuan. Kedua jenis boneka tersebut tampak dibuat memakai pakaian
adat Betawi. Satu hal yang paling menarik bagi saya dari tampilan boneka ikonik ini adalah bagian kepalanya yang dihiasi oleh
kembang kelape berbagai bentuk yang amat mencolok. Boneka ini diciptakan berongga, gunanya supaya pemain ondel-ondel bisa
masuk ke dalam boneka dan membawa ondel-ondel untuk diarak. Eksistensi ikon Jakarta ini dapat kita lihat di berbagai sudut
Ibukota—di pintu depan gedung-gedung tingi, di acara HUT Jakarta, bahkan kita bisa melihat pertunjukan ondel-ondel di pinggir
jalan sebab masyarakat sering menggunakan boneka tersebut sebagai media untuk mengamen.

Namun jangan terkecoh. Meski sering dipakai untuk mengamen, sebetulnya boneka ini adalah boneka yang memiliki
status 'sakral' dalam kebudayaan Betawi. Dahulu, banyak orang mengenalnya sebagai barongan, karena dahulu ondel-ondel
dibuat seperti barong (tiruan hewan buas), bermuka seram, dan memiliki taring. Boneka ini memiliki fungsi untuk mengusir
bala/roh roh halus jahat dalam "Upacara Tolak Bala". Pembuat ondel-ondel harus menyiapkan sesaji dan meramalkan mantra
sebelum pembuatan boneka dimulai. Setelah jadi, boneka akan dirasuki dewa dan diarak oleh masyarakat. Konon ada pula yang
mengatakan bahwa pemberian sesaji dan ramal dilakukan agar boneka hanya ditinggali oleh roh-roh baik.

Ondel-Ondel, Boneka Ikonik Budaya Betawi

Pementasan Ondel-Ondel juga terkadang turut meramaikan acara pernikahan adat Betawi. Namun selain Ondel-Ondel,
ada pula budaya yang tak kalah menarik dalam acara pernikahan Betawi. Seperti yang kita ketahui, pernikahan adalah sebuah
jenjang di mana pria dan wanita dipersatukan secara agama, negara, hingga adat. Bagi mereka yang merupakan keturunan
Betawi, pastilah mereka harus menikah dan sah secara adat pula. Meski kebanyakan budaya Betawi terakulturasi dengan budaya
Arab dan China, adat Betawi tetap memiliki proses adat pernikahan yang sangat unik dan berbeda dengan adat dari suku lainnya.

Pernikahan Betawi melalui 7 proses adat, yang prosesnya diawali oleh ngelamar. Ngelamar adalah proses pernyataan
resmi kepada keluarga mempelai wanita bahwa keluarga mempelai pria akan menikahkan anaknya dengan putri keluarga wanita,
biasanya keluarga pria membawa beberapa seserahan wajib untuk diberikan pada keluarga mempelai wanita. Proses yang kedua
adalah pemberian tande putus. Sebenarnya tande putus bisa berupa apa saja, namun biasanya masyarakat Betawi membawa
cincin belah rotan, uang pesalin, serta kue sebagai tanda bahwa sang mempelai wanita tidak bisa mendekati dan berhubungan
dengan pria lain. Saat itu pula keluarga kedua belah mempelai membahas mengenai hari pernikahan ataupun mahar. Proses yang
ketiga tak kalah menarik, yaitu masa dipiara. Calon pengantin wanita akan dijaga oleh tukang piare untuk mengontrol kesehatan
dan penampilan si pengantin—mulai dari kegiatan yang dilakukan pengantin, pemeliharaan kecantikan pengantin, hingga
mengontrol diet pengantin. Proses ini dilakukan 1 bulan, waktu yang dapat terbilang cukup lama. Proses yang keempat adalah
proses siraman atau proses memandikan wanita sehari sebelum akad. Tujuannya adalah untuk membersihkan dan mengharumkan
kulit calon none mantu agar dia tampak cantik keesokan harinya. Proses kelima, adalah ngerik—proses yang dilakukan untuk
membersihkan bulu-bulu kalong (bulu di kening, pelipis, tengkuk, dan leher) si calon none mantu. Proses keenam adalah proses
pemberian pacar yang diberikan oleh ibu, kerabat, serta tukang piare kepada calon none mantu. Proses yang ketujuh adalah
proses ngerudat yakni mengiringi calon tuan mantu ke rumah calon none mantu pada waktu menjelang akad pernikahan.

Puncak dari segala proses yang telah berlalu adalah proses yang selama ini kita tunggu, yakni akad nikah. Acara resepsi
tidak hanya semata-mata mengucapkan akad saja, tapi ada pula ritual adat yang mengiringinya. Salah satu ritualnya adalah
Palang Pintu. Ini adalah ritual yang sangat menarik untuk kita ketahui. Pada ritual Palang Pintu rombongan mempelai pria akan
dihadang oleh wakil mempelai wanita (atau biasa disebut jago wanita). Pertama-tama mereka, si mempelai pria serta si jago
wanita, saling melempar pantun terlebih dahulu dan kemudian dilanjut dengan berlawanan silat. Calon tuan mantu harus bisa
mengalahkan jago wanita. Ritual ini mungkin akan sangat menegangkan bagi sang mempelai pria, sebab ritual ini
mempertaruhkan hati dan harga diri.

Potret Calon Tuan Mantu dan Calon None Mantu

Pernikahan akan mengarahkan pasangan Betawi pada pembentukan keluarga. Biasanya keluarga akan semakin manis
kala Tuhan menaruh buah hati dalam kandungan sang istri. Di tengah-tengah kehamilan, akan terlaksana pula upacara nujuh
bulanin, upacara yang dirayakan pada kehamilan yang sudah menanjak usia tujuh bulan. Tujuannya memberitahu sesama bahwa
sang ibu akan memiliki keturunan.

Sama seperti kala pernikahan maupun nujuh bulan, budaya Betawi turut menyertai pasangan tersebut hingga hadirnya
sang bayi di tengah tengah mereka. Salah satu budaya Betawi yang menyertai sang anak adalah Upacara Nginjek Tanah/Napak
Tanah. Upacara dilaksanakan saat bayi sudah menginjak usia 8 bulan atau ketika umur bayi sudah mulai belajar berjalan.
Pertama-tama, si bayi akan diajak untuk menapaki atau menaiki tujuh anak tangga yang terbuat dari tebu menuju ke dalam
sebuah 'kurungan'. Kurungan itu telah diisi oleh sang orang tua berupa 'hadiah', tetapi hadiahnya bukan hadiah biasa. Hadiah
tersebut berupakan mainan yang dianggap menyimbolkan masa depan sang anak. Nantinya anak yang sudah masuk kurungan
akan diminta untuk memilih hadiah, dan hadiah yang dipilih tersebutlah yang akan mensimbolkan masa depan sang anak. Lantas,
bagaimana bisa hadiah menyimbolkan masa depan? Hadiah yang ditaruh dalam kurungan berupa mainan yang menyimbolkan
pekerjaan-pekerjaan di dunia. Mainan yang diambil oleh bayi lah yang dianggap menyimbolkan pekerjaan si bayi di masa depan.

Tidak hanya acaranya saja yang penting, namun makanan-makanan yang disiapkan juga memiliki arti tersendiri.
Misalnya adalah makanan “Jadah Tujuh Warna” yang dibuat dari beras ketan yang dicampur dengan parutan kelapa dan diberi
pewarna dari hitam ke putih, Hal itu melambangkan bahwa segala masalah yang dilalui sang anak akan selalu menemui jalan
terangnya. Ada juga makanan lain yang disediakan, seperti tumpeng atau kue-kue lainnya.

Upacara Nginjek Tanah

Inilah dia, sepercik budaya Betawi yang bisa saya kenalkan kepada kita semua. Mari, kita sama sama menjunjung
tinggi setiap budaya daerah, meski sudah terakulturasi dengan budaya budaya lainnya. Ayo kita sama sama terus mengingat,
melestarikan, hingga menurunkan budaya-budaya asli ini kepada anak dan cucu kita, khususnya budaya Jakarta yang semakin
lama semakin tergerus modernisasi. Kita tunjukan negara Indonesia yang berbudaya ke kancah dunia.

Anda mungkin juga menyukai