Oleh:
ENGGAR APRIYANI
NIM. 205221256
TAHUN 2023
PENGANGGARAN SEKTOR PUBLIK
Dalam penyusunan anggaran sektor publik, terdapat beberapa prinsip yang menjadi
pedoman bagi organisasi publik dan pemerintah. Prinsip-prinsip tersebut antara lain harus
mendapatkan otorisasi oleh legislatif, bersifat komprehensif/menyeluruh, keutuhan
anggaran, nondiscretionary appropriation, periodik, akurat, jelas, dan transparan. Prinsip-
prinsip ini penting untuk memastikan anggaran sektor publik digunakan secara efektif dan
efisien, serta dapat dipahami dan dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
1. Pendekatan tradisional
New Public Management (NPM) adalah sebuah model manajemen sektor publik yang
mulai dikenal pada tahun 1980-an dan kembali populer pada tahun 1990-an. Fokus NPM
adalah pada manajemen kinerja organisasi sektor publik dengan pengukuran hasil
(outcome), bukan hanya input atau output. NPM digunakan untuk mengatasi kelemahan
anggaran tradisional dengan karakteristik umum seperti:
a) Komprehensif
b) Terintegrasi dan lintas departemen
c) Proses pengambilan keputusan yang rasional
d) Jangka panjang
e) Spesifikasi tujuan dan pemeringkatan prioritas
f) Analisis total cost dan benefit termasuk opportunity cost, dan
g) Berorientasi pada input, output, dan outcome
h) Pengawasan kinerja juga menjadi bagian dari pendekatan NPM dalam sistem
anggaran publik.
Teknik penganggaran dalam sektor publik yang dikembangkan dari paradigma new
public management antara lain:
a. Anggaran kinerja
Anggaran kinerja menekankan pada value for money dan pengawasan kinerja output,
serta memprioritaskan tujuan dengan pendekatan sistematis dan rasional dalam
pengambilan keputusan. Namun, penggunaan anggaran kinerja memiliki kelemahan,
seperti minimnya kemampuan staf anggaran atau akuntansi dalam mengidentifikasi unit
pengukuran dan melaksanakan analisis biaya serta kesulitan mengukur aktivitas
pemerintah yang tidak dapat langsung terukur dalam satuan unit output atau biaya per
unit yang dapat dimengerti dengan mudah.
b. Program Budgeting
Gibran dan Sekwat (2009) menjelaskan bahwa sejarah teori penganggaran publik
mengalami perubahan dalam pandangan dan nilai-nilai sosial politik yang melingkupinya.
Mereka berpendapat bahwa teori penganggaran publik saat ini belum lengkap karena
belum menjawab pertanyaan mengapa pemerintah menyusun anggaran dengan cara yang
mereka lakukan. Para pemikir pada masa periode tertentu berhasil menunjukkan masalah-
masalah ketidakefisienan dan efektivitas operasional pemerintahan dengan menggunakan
instrumen-instrumen yang dibangun berdasarkan rasional teknikal. Gibran dan Sekwat
menawarkan pengembangan teori penganggaran yang lebih heuristik dengan
menggabungkan aspek rasional dan non-rasional dengan mengambil dari teori sistem
terbuka (open system theory).
Line item budget adalah pendekatan penganggaran eksekutif atau top-down yang
mengutamakan pengendalian biaya dan meningkatkan efisiensi. Namun, pendekatan ini
tidak memperhatikan tujuan program atau pencapaiannya dan tidak memadai untuk
menghubungkan pengeluaran pemerintah dengan kinerja publik atau membuat pilihan
antara alokasi sumber daya alternatif. Pada tahun 1949, Hoover Commission
menyarankan pengadopsian penganggaran kinerja (performance budgeting) yang lebih
fokus pada fungsi dan aktivitas pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan,
namun juga mengabaikan pertanyaan mengapa dan konteks yang lebih luas dari
penganggaran.
Pada tahun 1960-an, pemerintah federal Amerika Serikat menggantikan penganggaran
kinerja dengan penganggaran program yang menekankan pada output dari aktivitas
pemerintahan. Kemudian, pada tahun 1970-an, muncul zero-based budgeting yang
bertujuan untuk membandingkan lebih dari satu tingkat rekomendasi pengeluaran untuk
setiap aktivitas program. Namun, reformasi ini sulit diimplementasikan dan tidak
bertahan lama. Selanjutnya, pendekatan alternatif baru ditawarkan oleh Gibran dan
Sekwat dengan menggunakan pendekatan teori sistem terbuka yang membantu dalam
menjelaskan secara sistematis bagaimana menempatkan perubahan dan reformasi dalam
pemerintahan dan penganggaran. Teori sistem terbuka berpendapat bahwa sebuah sistem
harus mendapatkan dan menyimpan lebih banyak energi dari lingkungan daripada
menghabiskannya dalam fungsinya dan mencegah penurunan secara sistematis.
Teori sistem terbuka memandang organisasi sebagai suatu kesatuan yang saling
terkait dengan lingkungannya, termasuk dalam konteks penganggaran publik. Gibran dan
Sekwat menyarankan agar teori penganggaran selalu mempertimbangkan bagaimana
individu bereaksi, lokasi, fungsi, dan interaksi pada sistem yang lebih besar. Kajian
tentang penganggaran seharusnya dimulai dengan makro dan kemudian ke konteks mikro.
Teori penganggaran juga harus menjelaskan bagaimana interaksi antara tingkat makro
pemerintah memengaruhi perilaku partisipan pada subsistem penganggaran dan
membantu menentukan kekuatan apa yang memengaruhi tujuan kebijakan serta hasil
yang dihasilkan dari interaksi ini. Dengan memisahkan subsistem penganggaran dengan
menerapkan tingkat rasionalitas yang berbeda, model ini dapat membantu mengatasi
beberapa masalah metodologi pada teori penganggaran tradisional.
a. Tidak ada pemisahan antara lembaga eksekutif dan legislatif, dimana pemerintah
daerah terdiri atas kepala daerah dan DPRD.
b. Perhitungan APBD berdiri sendiri dan terpisah dari pertanggungjawaban kepala
daerah.
c. Laporan Perhitungan APBD terdiri dari Perhitungan APBD, Nota perhitungan,
Perhitungan kas, dan pencocokan antara sisa kas dan sisa perhitungan dilengkapi
dengan lampiran ringkasan perhitungan pendapatan dan belanja.
d. Pinjaman pemerintah daerah maupun BUMD diperhitungkan sebagai pendapatan
pemerintah daerah dan dimasukkan dalam pos Penerimaan Pembangunan.
e. Penyusunan APBD melibatkan pemerintah daerah yang terdiri atas kepala daerah dan
DPRD, tetapi belum melibatkan masyarakat.
f. APBD mengalami dua kali perubahan, pertama pada awalnya, susunan APBD terdiri
atas anggaran rutin dan anggaran pembangunan. Kemudian, pada kurun waktu tahun
1984-1988, terjadi perubahan susunan dan bentuk APBD yang terbaik dalam
pendapatan dan belanja. Perubahan kedua terjadi pada tahun 1998 pada pos
Pendapatan Daerah.
g. Indikator kinerja pemerintah daerah mencakup perbandingan antara anggaran dan
realisasinya, perbandingan antara standar biaya dengan realisasinya, dan target dan
persentase fisik proyek.
h. Laporan Keternagan Pertanggungjawaban Kepala Daerah dan Laporan Perhitungan
APBD, tidak mengandung konsekuensi terhadap masa jabatan kepala daerah.
i. Anggaran disusun dengan pendekatan tradisional berdasarkan jenis penerimaan dan
pengeluaran.
j. Sistem pencatatan masih sederhana, yaitu menggunakan sistem tata buku tunggal
berbasis kas, yang lebih berbentuk kegiatan pembukuan bukan kegiatan akuntansi.
k. Dalam tahap pengawasan dan pemeriksaan serta penyusunan dan penetapan
perhitungan APBD, pengendalian dan pemeriksaan/audit terhadap APBD bersifat
keuangan dan belum memperhitungkan pertanggungjawaban aspek lain seperti
kinerja.
Periode ini merupakan masa reformasi di Indonesia, yang ditandai dengan jatuhnya
rezim orde baru setelah 32 tahun berkuasa. Gerakan reformasi tidak hanya menghasilkan
pergantian kekuasaan, tetapi juga diikuti oleh gerakan reformasi di berbagai bidang,
termasuk pemerintahan dan pengelolaan keuangan negara. Reformasi pemerintahan
terjadi dengan adanya perubahan dari pemerintahan yang sentralistik ke desentralisasi,
yang melahirkan otonomi daerah. Otonomi daerah memberikan wewenang pada daerah
otonom untuk mengatur masyarakatnya berdasarkan aspirasi sendiri.
Pelaksanaan otonomi daerah diatur oleh dua undang - undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 25 Tahu 1999 tentang Perimbangan
Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai berikut: