Anda di halaman 1dari 1

IBUKU GURUKU

Sunan sumur
(pentigraf- cerpen tiga paragraf)
Terlihat sepasang suami - istri duduk berhadapan di lingkar meja makan yang terletak di ruang tengah rumahnya yang tidak begitu luas. Mereka saling kontak
mata. Tak jarang tampak senyum menawan dari sang istri. Ada tatapan tulus dan ikhlas saat memperhatikan sang suami yang terlihat serius membaca catatan di
ponselnya. “Ibu, ajari aku menjadi ibu. Aku masih ingin banyak belajar tentangmu. Aku tahu ayah adalah seorang guru. Katanya, guru itu kaya ilmu. Tapi aku tak
mau belajar dari ayah.Terutama gaya laku yang pura-pura. Ilmu yang tak berdaya. Ayah selalu pura-puta tidak tahu, ketika melihat dan mendengar kecurangan
yang seolah tidak curang. Ayah hanya diam ketika menatap kejahatan yang seolah tidak jahat. Ibu, kukatakan padamu, beberapa waktu yang lalu, tiba-tiba
banyak teman-temanku di sekolah, wajahnya seperti ayah semua. begitu pula irama kalimat yang disusunya terdengar begitu indah. Pula banyak juga yang pintar
memoles wajahnya berparas cantik dan tampan. Maafkan aku ibu. Inilah diskusi pemikiran kita yang ingin kubahas melalui bahasa tulis kita. Serta maafkan aku,
anakmu yang telah menyampaikan padamu, bagaimana sikap ayah selama ini yang telah berhasil membohongi kerja indrawinya.”
Seketika lelaki itu menghempaskan punggungnya disandaran kursi makan. Tangannya gemetaran saat membaca WhatsApp dari anaknya di ponsel istrinya.
Perempuan itu menatap perubahan sikap pada suaminya. Ia bisa mendengar dengan baik kala suaminya mengatakan, kalau anaknya telah mampu mengendus isi
pikiran dan batin suaminya. Semacam ada rasa was-was dan rasa kalah diri dari suaminya. Pula sang suami mengakui, kalau dirinya hanyalah pencipta
pembenaran yang tidak benar. Bukan pelebur pada pengalaman batiniah.
“Menurutmu Pengecutkah aku, Bu?” Perempuan itu sabar mendengar dengan segala makna kesetiaannya.Sejenak ia berdiri, menggeser tempat duduk agar bisa
lebih dekat suaminya. Ia kecup kening suaminya.Tanpa bicara.Tanpa air mata. Ia tatap mata suaminya dengan sorot mata yang tabah. Tak berapa lama. Terdengar
kembali dering WhatsApp dari ponsel milik perempuan itu. Terlihat ada pesan WhatsApp dari nomor anaknya. Kembali, suaminya yang membaca. Tertera huruf
balok. IBU AKU AKAN TERUS BELAJAR DARI CARAMU MELAWAN DENGAN BAHASA DIAM ITU. CACAT WICARAMU ADALAH
PENGALAMAN HIDUP YANG TELAH MENJADI GURU BAGIKU. MULUTMU MEMANG TAK MAMPU BERSUARA. TAPI TULISAN-TULISANMU
TELAH MEMENUHI ISI PIKIRAN ANAKMU INI.
Lelaki itu, kembali tak berdaya. Sesegera bersimpuh di kaki istrinya. Tiba-tiba melakukan pengakuan dosa. ”Maafkan aku istriku. Ada dosa besar dariku.
Kunikahi dirimu dulu, sebenarnya bukan sebab aku mencintaimu. Sesungguhnya, alasan utamanya yaitu aku hanya ingin mendapatkan perhatian dari Ayahmu.
Harapan itu memang tercapai. Sebab semua itu, kini aku bisa mengambil posisi aman sampai saat ini. Menjadi seorang guru yang selalu mudah dipuja-puji
sebagai sosok yang baik hati. Tetapi benar kata anak kita. Aku semacam manusia pura-pura. Anakmu tahu, kalau aku tak pernah memiliki cinta selain mencintai
diriku sendiri. Power sindrome. Sedang engkau, justru telah mampu mendidik cara belajar hidup yang sesungguhnya pada anak kita .” Perempuan itu tersenyum.
Lalu mencium tangan suaminya. Seperti semula, tanpa bicara. Lalu ia tunjukkan selembar kertas yang ada catatan esainya. Sang suami kian terbelalak tak
menduga, kala membaca judul dari esai itu. HIDUPLAH DENGAN MERDEKA YANG SESUNGGUHNYA.

Anda mungkin juga menyukai