Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN PRAKTIKUM MANAJEMEN USAHATANI

ANALISIS USAHATANI BAWANG PUTIH DI KAWASAN


CIWIDEY- CIANJUR JAWA BARAT

Disusun oleh Kelompok 5


1. Nisrina Asmawati (225040100111005)
2. Intan Zhafia Ghufronia (225040100111055)
3. Herawati Fadillah (225040100111056)
4. Alkautsar Satria Perkasa (225040100111057)
5. Muhammad Dzakwan Estungkara (225040100111087)

Kelas Agribisnis B
Asisten Praktikum : 1. Dinda Febry
2. Nur Aini Ibah R.

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2023
ISI
Bawang putih (Allium sativum L) merupakan salah satu dari jenis komoditas
hortikultura yaitu sayuran, yang mempunyai nilai gizi tinggi karena mengandung
mineral sulfur, besi, kalsium dan fosfat. Bawang putih juga mempunyai nilai
ekonomi yang tinggi karena sangat luas penggunaannya (Mullisa et al, 2014).
Dalam kehidupan sehari-hari, bawang putih memegang peranan penting dalam
bumbu penyedap masakan di Indonesia, hampir seluruh masakan Indonesia
menggunakan bawang putih sebagai salah satu bumbu penyedap. Selain sebagai
bumbu penyedap masakan, bawang putih digunakan sebagai penangkal berbagai
macam penyakit.
Pada usahatani jenis hortikultura merupakan sumber pendapatan bagi petani
dan sebagai sumber pendapatan keluarga, karena ditunjang oleh potensi lahan dan
iklim, potensi sumber daya manusia serta peluang pasar domestik dan internasional
yang sangat besar. Selain sebagai komoditas unggulan, komoditas hortikultura juga
berperan sebagai sumber gizi masyarakat, penghasil devisa negara, penunjang
kegiatan agrowisata dan agroindustri. Berdasarkan hasil analisis konsep usahatani
bawang putih di dua daerah Jawa barat yaitu Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet,
Kabupaten Cianjur dengan Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung
menghasilkan poin pola tanam, output usahatani, input usaha tani.
1. Pola Tanam
Analisis usahatani dalam penggunaan pola tanam bawang putih di
Ciwidey menurut literatur “Strategi Pengembangan Usahatani Bawang
Putih di Kecamatam Ciwidey Kabupaten Bandung” menerapkan pola tanam
monokultur karena input hanya terfokus pada satu komoditas. Sedangkan
pola penanaman di Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur
menurut literatur “Penerapan Fungsi Manajemendan Analisis Finansial
Budidaya Bawang Putih (Studi Kasus Petani Bawang Putih Di Desa
Cipendawa, Pacet, CianjurJawa Barat)” menggunakan pola tanam tumpang
sari dan monokultur. Hal tersebut dijabarkan di dalam bagian hasil
penelitian dan pembahasan dimana penanaman bawang putih dapat
dilakukan satu atau dua kali setahun dengan pola rotasi yaitu bawang putih
- sayuran - bawang putih atau bawang putih - sayuran tumpang sari palawija
- bawang putih.

2. Input Usahatani
Biaya usahatani adalah semua biaya yang dikeluarkan selama
berusahatani. Biaya tersebut meliputi biaya variabel dan biaya tetap. Biaya
variabel adalah biaya yang jumlahnya senantiasa berubah seiring dengan
perkembangan usaha yaitu pengadaan bibit, pupuk, obat/pestisida, dan
tenaga kerja. Biaya tetap adalah biaya yang relatif jumlahnya walaupun
produksi yang diperoleh banyak atau sedikit, dengan kata lain besarnya
biaya tetap ini tidak tergantung pada besar kecilnya produksi yang didapat.
Dalam penelitian ini, biaya tetap yang dikeluarkan oleh petani terdiri dari
biaya pajak, penyusutan alat, dan sewa alat (Nurrohmah, 2016).

Pola Tanam
Keterangan Monokultur Tumpangsari
(Rp/ha) (Rp/ha)
Biaya Tetap (FC) 8.792.089 8.250.199

Biaya Variabel (VC) 7.978.004 17.213.045


Total Biaya Produksi (TC) 16.770.093 25.463.245
Tabel 1. Biaya Input Usahatani Bawang Putih di Desa Cipendawa, Kecamatan
Pacet, Kabupaten Cianjur

Dari hasil analisis budidaya bawang putih di Desa Cipendawa,


dengan menggunakan pola tanam monokultur dan tumpangsari (bawang
putih dan cabai). Biaya tetap (FC) yang diperlukan untuk budidaya bawang
putih dengan pola tanam monokultur adalah Rp 8.792.089 sedangkan jika
menggunakan pola tanam tumpangsari adalah Rp 8.250.199. Kemudian
untuk biaya variable (VC) yang diperlukan untuk pola tanam monokultur
adalah Rp 7.978.004, sedangkan jika menggunakan pola tanam tumpangsari
adalah Rp 17.213.045. sehingga total biaya produksi (TC) adalah Rp
16.770.093 untuk pola tanam monokultur dan Rp 25.463.245 untuk pola
tanam tumpangsari per hektarnya.

Pola Tanam
Keterangan Monokultur Monokultur
(Rp/ 0,5ha) (Rp/ha)
Biaya Tetap (FC) - -

Biaya Variabel (VC) - -


Total Biaya Produksi (TC) 33.788.250 67.576.500
Tabel 2. Biaya Input Usahatani Bawang Putih di Kecamatan Ciwidey, Kabupaten
Bandung

Sedangkan hasil analisis budidaya bawang putih di Kecamatan


Ciwidey membutuhkan biaya produksi (input) sebesar Rp 33.788.250 untuk
0,5 ha. Sehingga untuk biaya produksi bawang putih 1 ha adalah Rp
67.576.500. Jadi kesimpulannya adalah biaya produksi yang diperlukan
untuk budidaya bawang putih di Desa Cipendewa lebih kecil daripada
budidaya bawang putih di Kecamatan Ciwidey.

3. Output Usahatani
Analisis pendapatan dalam penelitian ini digunakan untuk
mengetahui besarnya pendapatan yang diperoleh petani responden
usahatani bawang putih di Gapoktan dengan cara menghitung selisih antara
total penerimaan dengan total biaya yang dikeluarkan maka perlu diketahui
terlebih dahulu besarnya tingkat penerimaan yang diperoleh serta biaya-
biaya yang dikeluarkan dahulu besarnya tingkat penerimaan yang diperoleh
serta biaya - biaya yang dikeluarkan dalam melakukan suatu usahatani
tersebut (Pratama P, 2013).
Pola Tanam
Keterangan Monokultur Tumpangsari
(Rp/ha) (Rp/ha)
Total Penerimaan (TR) 29.277.917 45.729.274

Total Biaya Produksi (TC) 16.770.093 25.463.245

Pendapatan (I) 12.507.824 20.266.029


Tabel 3. Biaya Input Usahatani Bawang Putih di Desa Cipendawa, Kecamatan
Pacet, Kabupaten Cianjur

Di Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, bawang


putih merupakan salah satu komoditas yang mudah untuk ditemui. Hal ini
dapat mempengaruhi output pada penjualan usahatani dari komoditas ini.
Terlihat dari input (biaya produksi) Bawang putih memiliki modal (input)
yang cukup besar dari segi monokultur sebesar Rp. 16.770.093, untuk
Tumpangsari sebesar Rp. 25.463.245. Dari segi keuntungan manakah yang
paling menguntungkan?, Dari sumber rujukan yang digunakan jenis
penanaman dapat mempengaruhi penerimaan serta pendapatan usahatani
tersebut. Tumpangsari mendapatkan hasil yang lebih baik daripada
monokultur. Penerimaan bawang putih secara monokultur mendapat Rp.
29.277.917 dan untuk Tumpangsari mendapatkan sebesar Rp. 45.729.274.
Dari masing masing jenis penanaman bawang putih tersebut juga dapat
dilihat pendapatan yang paling banyak diperoleh ialah Tumpangsari yaitu
sebesar Rp 20.266.029 sedangkan monokultur hanya mendapatkan
12.507.824.

Pola Tanam
Keterangan Monokultur Monokultur
(Rp/0,5 ha) (Rp/ ha)
Total Penerimaan (TR) 42.000.000 84.000.000

Total Biaya Produksi (TC) 16.770.093 25.463.245

Total Pendapatan (I) 7.978.004 17.213.045


Tabel 4. Biaya Output Usahatani Bawang Putih di Kecamatan Ciwidey,
Kabupaten Bandung
Di daerah penelitian kecamatan ciwidey mempunyai lahan seluas
0,5 ha. Dalam penelitian di kecamatan tersebut, total produksi awal bawang
putih ialah 3.500 kg / luas lahan. Berdasarkan hasil penerimaan pula,
penjualan bawang putih di kecamatan ciwidey mencapai Rp. 42.000.000.
Total penerimaan ini didapat melalui perhitungan harga bawang putih saat
itu sebesar Rp. 12.000 / kg, yang dikalikan dengan hasil produksi yaitu
3.500 kg / luas lahan. Pendapatan usahatani sendiri diperoleh dari selisih
antara penerimaan dengan biaya biaya yang dikeluarkan untuk produksi
bawang putih. Jika dijabarkan perhitungan biayanya, penerimaan produksi
sebesar Rp. 42.000.000 dan Total produksi sebesar Rp. 33.788.250. Hal ini
dapat didefinisikan, maka total pendapatan yang diperoleh oleh usahatani
bawang putih di kecamatan ciwidey ini sebesar Rp. 8.211.750. Jika patokan
perbandingan luas lahan dijadikan seluas 1 ha, maka pendapatan produksi
diperoleh bertambah dua kali lipa yaitu sebesar Rp. 16.423.500 untuk sekali
produksi dengan lahan seluas 1 ha.

4. Faktor Pemengaruh
Kecamatan Ciwidey dan Cipendawa memiliki beberapa faktor yang
membedakan total penerimaan dan R/C ratio. Kecamatan Cipendawa
menerapakan dua sistem pola tanama yaitu pola tanam monokultur dan pola
tanam tumpangsari. Pola tanam monokultur menghasilkan penerimaan
sebesar Rp29.277.917. Sedangkan pada pola tanam tumpangsari yang
meliputi bawang putih dan cabai menghasilkan penerimaan sebesar
Rp45.729.029 dengan total pendapatan pada sistem monokultur
Rp12.146.715 dan tumpangsari Rp20.226.274. Di Kecamatan Ciwidey,
penerimaan yang diperoleh sebesar Rp84.000.000 dengan total pendapatan
sebesar Rp8.000.000. Perbandingan R/C rasio pada usahatani bawang putih
di Kecamatan Cipendawa dengan pola tanam monokultur bernilai 1,74 dan
dengan pola tanam tumpangsari sebesar 1,80. Sedangkan di wilayah
Cipendawa didapatkan R/C ratio senilai 1,24.
Dari analisis mengenai total pendapatan, penerimaan, dan R/C rasio,
dapat diketahui bahwa wilayah cipendawa dengan pola tanam tumpangsari
memiliki hasil yang paling tinggi karena dipengaruhi oleh total penerimaan,
total produksi, dan harga jual. Produksi yang semakin tinggi diikuti harga
jual dapat meningkatkan penerimaan. Pendapatan usahatani bergantung
pada banyaknya jumlah produksi, harga produk, dan biaya produksi
(Mardika dkk, 2017). Pola tanam tumpangsari lebih menguntungkan petani
karena didukung dengan kondisi cuaca dan strategi yang menguntungkan
bagi petani.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, S. S. (2020). STRATEGI PENGEMBANGAN USAHATANI BAWANG


PUTIH . Jurnal Pemikiran Masyarakat Ilmiah Berwawasan Agribisnis. ,
794-802.
Waluyo, T. (2020). Penerapan Fungsi Manajemendan Analisis Finansial Budidaya
Bawang Putih (Studi Kasus Petani Bawang Putih Di Desa Cipendawa,
Pacet, CianjurJawa Barat). Jurnal Ilmu dan Budaya, 8577-8599.

Anda mungkin juga menyukai