I. PENDAHULUAN
Upaya pemacuan pembangunan hutan tanaman, khususnya untuk kayu pertukangan
akan dihadapkan pada pemilihan jenis yang potensial sesuai dengan daerah
pengembangnnya. Meranti merupakan jenis pohon komersial yang menjadi andalan
bahan baku kayu pertukangan dan telah diperdagangkan sejak dimulainya
pengusahaan hutan alam pada era tahun 1970 dan sampai saat ini produksi kayunya
masih mengandalkan sumber daya hutan alam. Dari sekitar 100 jenis meranti yang
ada di Indonesia, hanya beberapa jenis saja yang mempunyai potensi ekonomi dan
ekologi yang cukup baik yang dapat dikembangkan untuk pembangunan hutan
tanaman. Salah satu meranti lokal yang potensal untuk dikembangkan di Sumatera
adalah jenis Shorea ovalis (Korth.) Blume.
Dalam menunjang upaya pengembangan hutan tanaman meranti (S. ovalis) dibutuhkan
ketersediaan bahan tanaman dalam jumlah yang cukup dan kualitas yang seragam,
tetapi seperti halnya jenis-jenis Dipterocarpaceae lainnya, terdapat keterbatasan
sumber benih. Tegakan S. ovalis sebagai sumber pengambilan bahan perbanyakan
dengan kondisi tegakan yang masih baik di Sumatera hanya ada di Belitung Timur dan
statusnya adalah sebagai sumber benih dengan kelas tegakan Benih Teridentifikasi
berdasarkan sertifikat No. 05/V/BPTH-SUM.3/SSB/2003 tanggal 1 Februari 2003
seluas 20,22 ha, sedangkan di lokasi lainnya hanya dijumpai satu atau dua batang
pohon saja, seperti di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Bengkulu – Lampung dan
Kebun Raya Bukitsari Jambi. Jenis meranti secara umum mempunyai musim buah
yang tidah teratur, bisa setiap 2, 3 bahkan 5 tahun sekali. Kondisi tersebut akan
berimplikasi terhadap kegiatan produksi bibit. Salah satu upaya yang dapat dilakukan
adalah dengan memanfaatkan anakan alam sebagai bahan perbanyakan.
Kegiatan pengadaan anakan alam tentunya membutuhkan penanganan tertentu. Hal
tersebut terkait dengan karakteristik anakan alam, terutama terkait daya tahan anakan
transportasi dari tempat pengambilan menuju lokasi penanaman di persemaian.
Informasi yang dituangkan dalam paparan ini merupakan rangkuman hasil penelitian
yang telah dilakukan dan pengalaman masyarakat penangkar bibit meranti.
Pengadaan Bibit Shorea ovalis (Korth.) Blume Asal Anakan Alam untuk Mendukung Upaya Rehabilitasi dalam Rangka Revitalisasi
2
Kehutanan
Kayu S. ovalis memiliki berat jenis sebesar 320 – 860 kg/m 3 (Martawijaya, et.al., 1981),
yang dapat digunakan sebagai kayu gergajian, kontruksi ringan, kayu sambungan
(joinery), panel dinding dan lantai, kontainer, pallet, peti kayu, tangkai pegangan,
mainan, alat musik, korek api, ukiran, mebel, kayu lapis, papan laminasi, papan
partikel, medium density fiber dan pulp.
C. Pengambilan Anakan
Anakan meranti pada umumnya peka terhadap pencabutan, terutama jika ukuran
anakan telah besar. Hal tersebut disebabkan perakarannya telah berkembang lebih
Pengadaan Bibit Shorea ovalis (Korth.) Blume Asal Anakan Alam untuk Mendukung Upaya Rehabilitasi dalam Rangka Revitalisasi
3
Kehutanan
sempurna, sehingga pada saat dicabut akan banyak akar yang rusak. Anakan S. ovalis
yang baik untuk digunakan adalah yang masih muda, memiliki 1 - 2 pasang daun, tinggi
sekitar 5 cm – 10 cm dan diameter sekitar 1 mm. Ukuran tersebut biasanya diperoleh
pada anakan berumur sekitar 3 - 4 bulan.
Anakan yang dikumpulkan sebaiknya yang tumbuh di bawah tajuk pohon induk yang
telah dipilih, karena 90 % buah jatuh di bawah tajuk dan sebaiknya anakan yang
tumbuh pada posisi lebih dari 10 m dari proyeksi tajuk pohon induk tidak diambil
(Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, 2002).
Waktu pengumpulan anakan yang baik adalah setelah hujan lebat atau tanah di lantai
hutan tempat pengambilan anakan basah. Beberapa keuntungan yang diperoleh dari
kondisi tersebut antara lain:
Memudahkan pencabutan anakan tanpa merusak perakaran.
Ektomikoriza yang telah berasosiasi dengan akar anakan akan dapat terbawa dan
mampu bertahan hidup.
Kondisi iklim mikro yang lembab akan membantu anakan tidak cepat layu setelah
dicabut atau mati kekeringan.
Pencabutan anakan dapat dilakukan secara langsung dengan tangan atau dengan
menggunakan parang (puteran), tetapi persen hidupnya akan meningkat dengan
menggunakan alat inplant T-I-BJA (Widarto, 1998). Untuk mengurangi potensi
kerusakan akar akibat pencabutan, posisi tangan pencabut harus sedekat mungkin
dengan tanah dan dicabut hati-hati dengan arah pencabutan harus tegak lurus
terhadap bidang tumbuh anakan (lantai hutan).
Pengadaan Bibit Shorea ovalis (Korth.) Blume Asal Anakan Alam untuk Mendukung Upaya Rehabilitasi dalam Rangka Revitalisasi
4
Kehutanan
menyebabkan anakan menjadi cepat layu dan bahkan bisa kering, sebagian daun
anakan dapat dihilangkan dan cukup disisakan 2 – 3 helai di bagian puncak.
Pengemasan anakan untuk tujuan transportasi dari tempat pencabutan di lantai hutan
menuju tempat penanaman/penyapihan di persemaian yang membutuhkan waktu yang
cukup lama harus menggunakan wadah. Wadah yang digunakan pada umumnya
adalah kardus berukuran 30 cm x 40 cm x 50 cm yang bagian dalamnya telah dilapisi
plastik agar jika terkena air dari anakan atau bahan pengisi tidak akan basah dan
mudah robek.
Semua anakan disusun dan diatur dengan arah akar dan daun yang sama, hal
tersebut bertujuan untuk mengurangi kerusakan dan memudahkan pada saat bongkar
serta mengefisienkan kapasitas penyimpanan pada wadah. Anakan disusun secara
berlapis dan setiap lapisan dialasi dengan kertas koran lembab. Pada bagian
perakaran anakan diberi bahan pengisi lembab berupa kertas koran, serbuk gergaji
atau serbuk sabut kelapa (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, 2002 ; Herdiana et
al., 2005).
Penggunaan bahan pengisi bertujuan untuk mengurangi kerusakan anakan akibat
benturan selama perjalanan serta menjaga agar kelembaban dan suhu tetap stabil,
sehingga anakan tidak cepat layu. Hasil penelitian Herdiana et al. (2005) menunjukkan
bahwa penggunaan bahan pengisi cocofit (serbuk sabut kelapa) lembab lebih baik
dibandingkan dengan serbuk gergaji. Persentase hidup anakan setelah disimpan
selama 5 hari masing-masing sebesar 96,13 % dan 93,20 %.
Kardus selanjutnya ditutup dan diikat kuat serta pada bagian sisi kardus diberi lubang
agar sirkulasi udara masih dapat berlangsung, sehingga anakan masih bisa bernapas.
Hal penting yang harus diperhatikan dalam transportasi anakan meranti adalah kardus
yang berisi anakan tidak boleh terkena sinar matahari langsung dan suhu yang rendah
(di bawah 15 ºC), karena bisa menyebabkan kematian anakan. Dengan perlakuan
seperti ini, setelah 3 hari perjalanan, persentase hidup tanaman masih dapat
dipertahankan di atas 90 % dan setelah satu minggu persentase hidupnya masih di
atas 75 % (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, 2002). Sementara hasil pengujian
Herdiana et al. (2005) menunjukkan bahwa anakan S. ovalis mampu disimpan selama
20 hari dengan persentase hidup anakan sekitar 82,22 % dan setelah ditanam/disapih
di persemaian persentase hidup tanaman sekitar 50 % – 60 %.
Pengadaan Bibit Shorea ovalis (Korth.) Blume Asal Anakan Alam untuk Mendukung Upaya Rehabilitasi dalam Rangka Revitalisasi
5
Kehutanan
IV. PENUTUP
Shorea ovalis Korth (Blume.) merupakan salah satu jenis meranti lokal potensial, selain
jenis hopea, merawan dan lainnya yang dapat dikembangkan dalam kegiatan
rehabilitasi di Sumatera Bagian Selatan, baik untuk tujuan konservasi maupun tujuan
produksi kayu pertukangan.
Penggunaan anakan alam dalam pembibitan S. ovalis merupakan salah satu upaya
yang dapat dilakukan dalam rangka menyiasati keterbatasan areal produksi benih dan
ketidakteraturan musim berbuah yang terjadi pada jenis ini. Kegiatan penanganan
anakan bertujuan untuk mendapatkan anakan yang mempunyai kualitas fisik dan
fisiologi yang baik dan seragam serta diharapkan agar vigour anakan tersebut dapat
tetap dipertahankan sampai ke lokasi penanaman/ penyapihan di persemaian. Hal
yang harus diperhatikan dalam penanganan anakan adalah : orientasi lokasi
pengambilan anakan, pemilihan pohon induk yang akan diambil cabutannya,
pengambilan dan pengemasan anakan.
PUSTAKA
Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan. 2002. Pedoman Pengunduhan Buah dan
Pengumpulan Anakan Meranti. Dirjen RLPS Dephut. Jakarta.
Herdiana, N., Junaidah, K. Trisaputra dan Nasrun. 2005. Penelitian Teknik Budidaya,
Persyaratan Tumbuh dan Sebaran Shorea ovalis. Laporan Kegiatan Penelitian
Tahun 2005. BP2HT Palembang. Palembang.
Lukman, A. H., N. Herdiana, H. Siahaan, Nasrun, K. Mulyadi. 2006. Penelitian Teknik
Budidaya, Persyaratan Tumbuh dan Sebaran Meranti (Shorea spp.). Laporan
Kegiatan Penelitian Tahun 2006. BPK Palembang. Palembang
Martawijaya, A., I. Kartasujaya., K. Kadir dan S. A. Prawira. 1981. Atlas Kayu Jilid I
Balitbang Hasil Hutan. Balitbang Pertanian. Bogor.
Newman, M.F., P. F. Burges dan T. C. Whitmore. 1999. Pedoman Identifikasi Pohon-
Pohon Dipterocarpaceae Pulau Kalimantan. Prosea Indonesia. Bogor.
Kementrian Negara Lingkungan Hidup (KNLH). 2007. Status Lingkungan Hidup
Indonesia 2006. Kementrian Negara Lingkungan Hidup. Jakarta.
Saffari, A., D. Leppe dan M. Fauzi. 1984. Masa Berbunga dan Berbuah Tiga Jenis
Shorea Selama Enam Tahun di Hutan Wanariset Samboja. Kalimantan Timur.
Widarto. 1998. Uji Coba Pengambilan Anakan Shorea leprosula Miq., Shorea selanica
dengan Menggunakan Alat Inplant-I-BJA di Hutan Alam. Skripsi Fakultas
Kehutanan IPB. Bogor.
Pengadaan Bibit Shorea ovalis (Korth.) Blume Asal Anakan Alam untuk Mendukung Upaya Rehabilitasi dalam Rangka Revitalisasi
6
Kehutanan
Wulijarni, N dan Soetjipto. 1999. Pedoman Identifikasi Pohon-Pohon Dipterocarpaceae
Sumatera. Prosea Indonesia. Bogor.
Pengadaan Bibit Shorea ovalis (Korth.) Blume Asal Anakan Alam untuk Mendukung Upaya Rehabilitasi dalam Rangka Revitalisasi
7
Kehutanan