Anda di halaman 1dari 9

Mengenal Tanaman KepuhPOTENSI BUDIDAYA KEPUH (Sterculia foetida Linn.

Oleh:
Nanang Herdiana

I. PENDAHULUAN

Kegiatan eksploitasi sumber daya hutan yang telah berlangsung secara terus
menerus, telah menyebabkan semakin menurunnya potensi sumber daya hutan dan
tingginya laju degradasi hutan dan lahan. Beberapa catatan menyatakan bahwa laju
kerusakan hutan pada periode 1985–1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada
periode 1997–2000 meningkat cepat menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Laju kerusakan
tersebut diperkirakan akan semakin tidak terkendali pada periode berikutnya.
Sejalan dengan hal tersebut, kebutuhan bahan baku kayu nasional dari tahun ke tahun selalu
meningkat, sementara di lain pihak produksi bahan baku kayu mengalami penurunan.
Perkiraan kebutuhan bahan baku kayu untuk tahun 2003 sebesar 63 juta m 3, sementara
dalam rangka pelaksanaan kebijakan pembatasan jatah tebangan dari hutan alam,
Departemen Kehutanan pada tahun yang sama hanya memberikan jatah tebangan sebesar
6,8 juta m3 dan 5,7 juta m3 untuk tahun 2004. Data tersebut menunjukkan adanya
ketidakseimbangan yang sangat besar antara produksi (supply) dengan kebutuhan (demand)
bahan baku kayu.
Pembangunan hutan tanaman yang dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan di
atas saat ini masih terbatas untuk pemenuhan kebutuhan industri pulp, tetapi diharapkan
pada masa yang akan datang dapat juga memenuhi kebutuhan kayu pertukangan, karena
dari 63,48 juta m3/tahun kebutuhan kayu di Indonesia, sebagian besar (70 %) merupakan
kebutuhan kayu pertukangan.
Untuk itu perlu dikembangkan jenis tanaman setempat yang mempunyai potensi
yang tinggi dan salah satunya adalah Kepuh (Sterculia foetida Linn.), karena jenis ini
mempunyai kisaran tempat tumbuh yang cukup luas walaupun lebih cocok untuk daerah
pesisir.
Jenis ini merupakan tanaman umum di Indonesia dan Malaysia dan termasuk jenis
cepat tumbuh (fast growing species). Di hutan alam jenis ini dapat mencapai tinggi 30 –
35 m dan diameternya dapat mencapai 100 – 120 cm. Kepuh merupakan salah satu jenis
substitusi yang paling baik bagi jenis ramin (Gonystylus bancanus) yang pada saat ini ini
sudah semakin sukar didapatkan karena sudah langka dan telah masuk jenis yang
dilindungi. Kayu jenis ini juga kemungkinan dapat digunakan untuk bahan baku pulp dan
kertas. Beberapa bagian dari tanaman ini baik kulit batang, daun, biji maupun yang
lainnya mempunyai potensi sebagai bahan baku obat dan masyarakat lokal sudah sejak dulu
menggunakannya untuk pembuatan obat tradisional atau jamu. Untuk mendukung program
pengembangan kepuh ini, pengadaan benih atau bibit serta informasi mengenai teknik
budidayanya sangatlah penting.

2
II. TINJAUAN UMUM KEPUH (Sterculia foetida Linn.)

A. Penyebaran dan Tempat Tumbuh


Jenis ini tersebar di seluruh Nusantara (meliputi Sumatera, Jawa, Bali Lombok,
Sumbawa, Flores, Timor, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya), Malaysia,
Philipina, Afrika Timur, India, Srilanka, Thailand, Australia Utara dan Kepulauan Hawaii.
Di tiap daerah dikenal dengan nama yang berbeda-beda, di antaranya: Kelumpang
(Malaysia), Kabu-kabu (Batak), Kepuh (Medan), Kepoh, Kepuh, Kepok (Jawa),
Kalumpang (Madura), Galumpang, Kalumpang (Sumbawa), Kajumbang (Waingapu),
Wuhak Keppo (Solor), Kalumea (Tolalaki, Kendari), Wuhak (Sulawesi Tenggara), Kailupa
Furu (Ternate) Kailipa Buru (Tidore) dan Plani (Wetar).
Secara umum penyebaran kepuh adalah pada hutan primer dan sekunder, hutan
musim dan ditemukan juga pada daerah berkarang dengan pasir berbatu di sepanjang
pantai, karena secara umum jenis ini dipengaruhi oleh hutan hujan tropika yang
mempunyai kondisi basah dan kelembaban yang tinggi, tetapi untuk jenis kepuh lebih
menyenangi daerah pesisir dengan keadaan musiman dan dapat bertahan pada musim
kering (Datta, 1966; Tantra 1976 dan Heyne, 1987).
Penyebaran kepuh di seluruh dunia terbatas pada daerah tropis dan sub tropis (pada
30 LU - 35 LS), kecuali itu juga dapat ditemui di padang pasir dan pulau-pulau di Lautan
Pasifik. Di Australia dan kepulauan Pasifik Barat jenis ini hanya sedikit, sedangkan daerah
yang paling banyak jenisnya (termasuk jenis yang endemik) adalah di Kalimantan dan Irian
Barat. Di Jawa kepuh dapat ditemui pada daerah yang mempunyai ketinggian di bawah
500 mdpl dan terletak di bagian timur pulau ini (Heyne, 1987). Sementara di Malaysia,
hampir semua spesies yang ada penyebarannya terbatas pada hutan hujan di tanah kering
dan rawa-rawa, yaitu pada ketinggian sekitar 0 – 1.400 mdpl, sementara S. foetida dapat
tumbuh pada ketinggian mulai dari 0 – 1000 mdpl.

B. Sifat Botanis dan Morfologis


Kepuh termasuk dalam famili Sterculiaceae yang mempunyai jenis sebanyak 
2000 Jenis yang tersebar di seluruh Indonesia maupun Malaysia. Kepuh mempunyai bentuk

3
pohon yang tinggi, lurus, bercabang banyak dan bentuk percabangannya simpodial seperti
halnya karakter dari genus-genus pohon tropis lainnya. Corner (1940 dalam Tantra, 1976)
menyatakan bahwa susunan percabangan kepuh mirip dengan percabangan terminalia yang
bertingkat. Kepuh mempunyai ranting yang banyak, berdaun majemuk yang berbentuk
spiral dan berkumpul pada pangkal ranting, sederhana dan menyeluruh ke pusat atau
berkumpul seperti palma.
Pada umumnya sterculia mempunyai bunga yang berkelamin dua atau satu, tetapi
pada kepuh bunganya berkelamin satu serta semua butir sarinya terdapat pada benang sari
yang rusak dan steril. (Tantra, 1976). Bunganya berwarna merah buram dan terdapat pada
tangkai dengan bentuk yang sederhana dan muncul diantara daun-daunnya. Dalam hal
pembungaan dibantu oleh serangga, seperti lalat atau kumbang, karena secara umum jenis
sterculia mengeluarkan bau yang harum, sedangkan kepuh mengeluarkan berbau yang
busuk.
Buah Kepuh mempunyai ukuran yang relatif besar, buah yang masih muda
berwarna hijau dan setelah matang berubah menjadi merah dan kadang-kadang menjadi
hitam dan membuka, ukuran buahnya dapat mencapai diameter 7 mm atau lebih,
mempunyai pericarp yang tebal (7 – 8 mm), berkayu dan folikelnya berbentuk orbicular.
Tingkat kematangan buah tergantung spesiesnya, tetapi biasanya memerlukan waktu 4 – 6
bulan. Bijinya berbentuk elipsoid atau elipsoid-oblong, dengan ukuran panjang  2 cm,
berwarna hitam, licin dan mengkilat dengan hilum yang berwarna putih serta karpelnya
berwarna merah atau merah tua.

C. Kegunaan Kepuh
Kayu kepuh merupakan jenis substitusi yang paling baik untuk mengantikan kayu
ramin, sehingga beberapa perusahaan di Purbalingga sudah berusaha untuk mencoba
membudidayakannya. Kayu kepuh mempunyai warna yang hampir sama dengan ramin,
berat jenisnya sekitar 0,64, kelas kuat antara II – III dan kelas awetnya III. Sedangkan
berat jenis ramin adalah sekitar 0,63, kelas kuat II – III dan kelas awet V.
Menurut Heyne (1987) dan Tantra (1976), kayu kepuh yang berwarna putih keruh,
kasar dan ringan, mempunyai kualitas yang kurang baik untuk penggunaan yang kontak

4
langsung dengan tanah atau yang ditempatkan di udara terbuka dan cepat termakan
serangga, sehingga penggunaannya sebagai bahan bangunan masih jarang. Walaupun
kayunya memiliki kekuatan dan keawetan yang termasuk rendah, tetapi banyak digunakan
sebagai bahan baku pembuatan biduk atau peti kemas dan kemungkinan juga dapat
dikembangkan untuk pulp dan kertas. Di Ambon tidak semua kepuh rapuh, pada beberapa
tempat tertentu dapat dijumpai pohon kepuh yang sudah tua dan besar serta memiliki kayu
teras yang bergaris-garis kuning sehingga dapat dibuat papan, sementara di Makasar
kayunya dibuat untuk peti jenazah dan perahu.
Karena bijinya mengandung lemak dan minyak, maka beberapa jenis sterculia dapat
dikonsumsi. Minyak yang dihasilkanya dapat digunakan untuk penerangan dan di
Kangean digunakan dalam pembuatan batik.
Kepuh mempunyai potensi sebagai bahan baku pembuatan obat, berdasarkan
literatur di dapat bahwa ekstrak kulitnya dapat digunakan untuk abortivum (penggugur).
Di Ambon, daunnya yang dihancurkan dapat dimanfaatkan untuk obat sakit demam.
Selain itu, seduhan biji kepuh dengan kemukus dipakai untuk obat batuk dan minyaknya
dipakai untuk obat borok atau kudis pada kepala. Sedangkan di Jawa biji kepuh ini
digunakan sebagai bahan baku sejumlah produk jamu (Heyne, 1987 dan Tantra, 1976).

III. TEKNIK BUDIDAYA

A. Pengadaan Benih
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB
(1975) di Cagar Alam Pulau Rambut dan Suwelo (1973), diperoleh informasi bahwa di
lokasi tersebut banyak dijumpai buah kepuh yang tersebar di bawah pohon induknya, tetapi
anakannya sangat sedikit. Hal ini disebabkan karena benih kepuh terletak dalam buah yang
berkulit tebal dan kadang-kadang kalau masak tidak terbuka kulit buahnya, sehingga
tingkat perkecambahannya menjadi rendah.
Benih kepuh diduga memiliki dormansi kulit yang menyebabkan benih tidak akan
segera berkecambah walaupun kondisi lingkungan sudah optium untuk berlangsungnya

5
proses perkecambahan, sehingga untuk mempercepat perkecambahannya memerlukan
perlakuan pendahuluan. Beberapa perlakuan pendahuluan yang dapat diterapkan untuk
pematahan dormansi benih kepuh ini antara lain dengan cara mengurangi ketebalan kulit
benih (skarifikasi), atau menggunakan zat kimia seperti asam sulfat, tetapi teknik
pematahan dormansi yang tepat untuk jenis ini belum ada yang menelitinya.

B. Persemaian dan Pembiakan vegetatif


Dalam melakukan pembibitan di persemaian ada dua hal yang memegang peranan
penting, meliputi penggunaan media semai dan penciptaan kondisi ruang semai yang
memenuhi persyaratan dilihat dari ketersediaan air, cahaya, temperatur dan kelembaban
udara.
Di lapangan, benih yang sudah mendapat perlakuan pendahuluan dapat langsung
dikecambahkan pada media tabur berupa campuran tanah : pasir (1 : 1) dengan cara
menanam ¾ bagian benih dalam media tabur tersebut. Penyapihan dilakukan pada saat
kecambah sudah mempunyai 2 daun atau tinggi kecambah mencapai 5 cm.
Jenis media tanam yang dapat digunakan berupa campuran pasir : tanah : kompos
(2 : 7 : 1), sedangkan wadah yang digunakan disesuaikan dengan pertumbuhan semainya.
Untuk kepuh dapat menggunakan kantung plastik (polybag) berukuran 10 x 15 cm.
Pemberian pupuk NPK (5 gram/1 liter air) dilakukan setelah bibit berumur 3 minggu, setiap
2 minggu sebanyak dua kali (sampai bibit berumur 7 minggu). Bibit kepuh siap ditanam di
lapangan pada umur 3 bulan atau tinggi bibit sudah mencapai 25 – 30 cm.
Salah satu alternatif perbanyakan kepuh adalah dengan pembiakan vegetatif,
pembiakan vegetatif merupakan perbanyakan tanaman tanpa melibatkan proses perkawinan
sehingga sifat-sifat tanaman yang dikehendaki dapat dipertahankan. Teknik pembiakan ini
dapat digunakan terutama untuk jenis tanaman yang tidak atau sulit menghasilkan benih,
benih yang bersifat rekalsitran/dorman dan untuk tujuan pemuliaan dan bank clone.
Keuntungan perbanyakan vegetatif secara umum adalah dapat memperoleh bibit dalam
jumlah dan waktu yang diinginkan, sifat genetik yang diturunkan sama dengan induknya,
kemampuan tumbuh relatif seragam, tidak tergantung musim dan bahan tanaman yang

6
berasal dari satu klon dapat dipergunakan untuk uji kesesuaian lahan bagi pertumbuhan
suatu jenis tanaman (Supriyanto, 1996).
Salah satu teknik pembiakan vegetatif kepuh yang sudah diteliti adalah dengan cara
stek (Prihatin, 2000). Jenis stek yang dapat dibuat adalah stek pucuk dan stek batang.
Dari hasil penelitian tersebut didapat bahwa bahan stek terbaik adalah bahan stek pucuk,
karena mempunyai kemampuan pertumbuhan yang lebih baik dibanding dari batang.
Media perakaran terbaik untuk pertumbuhan stek adalah media serabut kelapa (persentase
stek bertunas dan berakar masing-masing sebesar 69,123 % dan 48,506 %). Ppenggunaan
zat pengatur tumbuh (Rootone - F) sebanyak 150 mg/stek adalah yang paling efektif untuk
meningkatkan keberhasilan pertumbuhan stek, terutama untuk kualitas perakarannya
(jumlah akar primer dan total panjang akar primer masing-masing sebesar 5,017 buah dan
5,93 cm). Dari sisi keberhasilan dan kualitas perakaran stek pucuk, dapat diperoleh
dengan menggunakan Rootone – F sebanyak 150 mg/stek dan menggunakan media tumbuh
berupa media serabut kelapa.

D. Penanaman dan Pemeliharaan


Untuk menghindari penurunan kemampuan tumbuh tanaman di lapangan karena
perakaran yang telah berkembang jauh di persemaian, maka bibit yang telah siap tanam
harus segera ditanam di lapangan. Persiapan lahan yang perlu dilakukan meliputi
pengolahan lahan, pengajiran dan pembuatan lubang tanam. Segera setelah kegiatan
tersebut selesai bibit diangkut ke lapangan dan langsung ditanam. Penanaman ini
sebaiknya dilakukan pada awal musim hujan. Kondisi lahan yang mempunyai tingkat
kesuburan yang rendah dapat diantisipasi dengan pemberian pupuk dasar berupa pupuk
kandang (1 kg) dan kapur (0,25 kg) pada setiap lubang tanam yang berukuran 40 x 40 x 40
cm, kegiatan ini dilakukan 1 – 2 minggu sebelum dilakukan penanaman. Jarak tanam yang
dapat digunakan berukuran 3 x 3 m.
Untuk penanaman di hutan rakyat yang pada lokasi tersebut sebelumnya sudah ada
tanamannya atau untuk penanaman pada lokasi-lokasi yang rawan erosi, dapat dilakukan
dengan sistem cemplongan.

7
Pemeliharaan terutama pembersihan gulma dilakukan secara intensif pada waktu
pertumbuhan awal, karena setelah tanamannya besar sudah mampu berkompetisi dengan
tumbuhan bawah lainnya, sehingga pertumbuhannya tidak terhambat. Pembersihan gulma
ini dapat dilakukan setiap 6 bulan sekali sampai tanaman berumur 3 tahun. Kegiatan
pemeliharaan lainnya adalah pemangkasan cabang dan penjarangan, pemangkasan cabang
dapat dilakukan pada akhir tahun pertama dan kedua, sedangkan penjarangan dilakukan
pada tahun ke 4 dan tahun ke 6 dengan intensitas penjarangan disesuaikan dengan kondisi
pertumbuhan pohon dan komposisi tegakan.

IV. PENUTUP

Kepuh merupakan salah satu jenis asli Indonesia yang mempunyai potensi yang
besar untuk dikembangkan, terutama sebagai tanaman hutan rakyat. Kepuh termasuk jenis
yang cepat tumbuh, manfaat yang dapat dihasilkan tanaman ini tidak hanya kayunya saja,
tetapi beberapa bagian tanaman lainnya dapat digunakan sebagai bahan baku obat.
Sedangkan kayunya, walaupun mempunyai kualitas yang kurang bagus untuk penggunaan
yang kontak langsung dengan tanah atau yang ditempatkan di udara terbuka, tetapi banyak
digunakan sebagai bahan baku pembuatan biduk atau peti kemas dan kemungkinan juga
dapat dikembangkan untuk pulp dan kertas.
Mengingat potensinya yang cukup besar, maka diperlukan usaha-usaha dalam rangka
peningkatan produktivitasnya melalui penggunaan benih dan bibit yang bermutu serta
perbaikan teknik budidaya, asalah satu usaha dalam penyediaan bibit dilakukan dengan
pembuatan stek pucuk dan stek batang. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan
stek yang terbaik adalah bagian pucuk dan media tanam terbaik adalah media serabut
kelapa, sedangkan dosis zat pengatur tumbuh (Rootone – F) yang terbaik adalah sebanyak
150 mg/stek. Karena informasi yang berkaitan dengan hal tersebut di atas masih
terbatas/sedikit, maka diperlukan berbagai penelitian agar usaha pengembangan kepuh baik
sebagai tanaman hutan rakyat atau untuk pengembangan yang lainnya dapat berhasil.

8
DAFTAR PUSTAKA

Datta, M. K. 1966. Some Phytogeograrhical and Economic Aspects of Genus Sterculia.


The Indian Forester Vol. 92 No. 8.

Heyne. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, Jilid III. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan. Jakarta.

Prihatin, D. S. H. 2000. Pertumbuhan Stek Pucuk dan Stek Batang Kepuh (Sterculia
Foetida Linn.) pada Berbagai Media dan Dosis Zat Pengatur Tumbuh Rootone – F.
Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Skripsi.

Supriyanto. 1996. Pelatihan Pemantapan Manajemen Perbenihan dan Persemaian


Angkatan VI dan VII. Bandung.

Suwelo, I. S. 1973. Buku Cagar Alam Pulau Rambut. PPA DKI Jakarta. Jakarta.

Tantra, I. G. M. 1976. A Revision of The Genus Sterculia L. in Malaysia (Sterculiaceae).


Lembaga Penelitian Hutan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Departemen Pertanian. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai