usaha besar,
bukan tiket utama berharap tinggi.
selain tidak bisa berkisah,
kucabut izin atas diriku untuk bertutur.
mempercayakan sesuatu kepada selain aku,
itu terlalu mengerikan.
larimu terlalu kencang.
kakimu berdarah, tapi bukan untukmu;
percuma.
kamu cinta dia?
bohong.
mencintai dirimu sendiri saja kamu masih bingung caranya.
kuatmu keren,
jadi sandaran banyak air mata, memang jagoan.
dengar prosa hidup orang, tak ada tandingan.
uraikan jalinan merah bukan milikmu, betapa mulia.
tapi, hey,
sudah berlatih menangis hari ini?
alat penglihatanmu yang dapat berfungsi normal hanya dua.
tidak perlu merasa bisa menilai seseorang,
dapat kepercayaan diri darimana?
menjadi pemenang hampir tak pernah berarti menang,
kalau kalah pun, seribu besok masih berbaris rapi.
tapi mencoba untuk jadi biasa saja,
belum pernah menjadi hal yang biasa.
karena kita butuh kecewa untuk tau:
mimpi hadir untuk diperjuangkan,
tapi kita tidak pernah ditugaskan untuk tentukan akhir perjalanan.
setinggi tempat guru harus dimuliakan
yang ajarkan tentang banyak tujuan
meski tak semua miliki cara yang menyenangkan
sama halnya dengan pengalaman,
jarang sesuai harapan
karena kedewasaan hampir selalu tentang penerimaan
kemarin, ayahku pulang.
bilangnya, telah jumpai tepi samudera.
apa kabar sabarmu?
masih bersikeras tak punya ujung?
hey, titip salam,
teruntuk rasa rendah dirimu.
tolong tanyakan padanya,
kenapa tak bunuh diri saja?
validasimu bukan tentang pendapat orang lain,
ayo bodo amat.
selamat tinggal;
titik tidak pernah berarti akhir,
titik justru tentang perjuangan baru.
semalam, pelukan ibuku lebih erat.
selain untuk salurkan hangat,
ibuku masih belum mau aku tahu
sudut matanya sembunyikan banyak hal,
lalu tetesnya sentuh pundakku,
untuk gariskan janji di sepanjang hidupku;
bangga ibuku kini bernilai harga mati.
wah, karangmu kokoh sekali.
jadi, kapan rencanamu perlihatkan rapuhnya?
kenapa sibuk berbahasa asing,
ketika dengan bahasa sendiri belum bisa pahami satu sama lain.
jangan serakah.
tempatmu sudah makan banyak hal.
coba lihat lagi.
malaikat bahkan belum berani,
masukkan tidurmu dalam catatan dosa.
banyak yang ragu.
tapi sederhana menang tak pernah berusaha yakinkan siapapun kalau ia telah sentuh tahta tertinggi.
belum ada jaminan,
yang dekat tak bawa pisau.
bersikerasmu setengah mati;
memang pertahankan prinsipmu,
atau gengsi yang dibawa terlalu tinggi?
cita-citamu yang kamu cita-citakan itu memang cita-citamu, atau cita-citanya yang dicita-citakan untuk
jadi cita-citamu?
sepanjang yang aku tahu,
musim kemarau terburuk pun miliki muara.
kenapa khawatir pesawatmu tidak miliki bandara?
nanti kamu paham,
meski setumpuk wajib sudah padam,
bukan berarti semua hak harus diperjuangkan.
karena kemarin sudah ada kata sepakat,
tidak siapapun yang berhak jadi poros dunia.
bukan harapku punya hidup.
jadi kuharap, tidak ada harap yang sengaja ditinggal untuk hidupku.
jangan ambil terlalu banyak tawa.
meski tumpahnya terasa bisa tutupi luka,
tetap saja,
lusa goresnya akan lebih menganga.
masih dipertanyakan,
alasanku dilahirkan,
ketika hadirku hanya jadi hambatan,
untuk dua bahagiaku yang saling ingin melepaskan.
kulihat kemarin tawamu keras,
sekeras usahamu gelapkan luka?
tidak apa,
meski masih terlalu berkabut
meski anak tangga kehilangan ibunya
meski gagal hampir sentuh punggung
meski setir harus terbanting
meski sudah tidak bersisa hingga setetes
meski pengorbanan terlanjur membeku
tidak apa, lanjutkan saja dengan tetap percaya
nanti sisanya tidak akan seburuk yang diperhitungkan
halusinasi berjalan berarah
temani prasangka, bawa kabur nyata
orang bisu, dipanggil membenci
senyum ramah, terbahasakan hina
uluran tangan pasti ada maksud
batu pinggir jalan dikatai punya udang.
diam dulu.
bukan naif yang berusaha kauhapus,
tapi trauma bernama luka yang disembah setara langit.
sampai kapan defensifmu terawat gengsi?
kalau mampu dan mimpi masih terlalu jauh, utarakan saja pada roda belakang.
ia pasti mengerti,
rasanya bekerja untuk sesuatu yang tidak akan tergapai.
besok, jangan jawab iya.
perintah mati belum pernah berarti harus.
hitam, putih.
diteriakkan serapah menyalahkan,
terkadang bergelung ditemani sesal
hitam, putih; omong kosong.
harusnya, bukan berjudul penuduhan,
tapi beralur cerita perbaikan.
satu orang,
dua pundak,
seribu harapan.
belajar dimana?
perlu berapa tahun?
siapa gurunya?
tolong hancurkan mereka semua
yang tempa kamu hingga jadi ahli
sangat berilmu dalam membandingkan diri dengan yang terasa lebih baik.
bahagia wajibku,
bahagia tanggungjawabku.
dirusak, diganti, dihilangkan,
bahagia masih selalu pada titahku.
kalau semua yang belum hebat menunggu hebat untuk cukup hebat menjadi hebat,
kapan hebatnya?
sedih terlalu lebih,
bahagia terlalu lega.
titik berdusta tentang usai,
esok berlanjut mulai.
orang bilang aku kalah,
orang bilang menang berucap telah .
tenang, napas pelan lumrah.
senang, sedih, menang, kalah,
detik masih belum mau patah
degup detak enggan terima pasrah;
jangan menyerah.
tahan, jangan silau dulu.
kamu tak pernah tau,
mungkin tadi malam ia nyaris terbujur kaku.
Salahku,
Salahku,
Salahku,
Salahku,
Salahku,
Sesalku,
Habis sudah.
Aku mau pulang, aku mau pulang, aku mau pulang,
neraka.