Anda di halaman 1dari 142

kuhargai usahamu menghiburku,

tapi coba sekarang kutanya padamu,


kamu mau berada di posisiku?
kita ini pecundang,
cuma mau terima jatah menang,
tanpa tau arti perang.
terlalu berbeda,
antara dia datang karena butuh kamu,
atau dia datang karena itu kamu.
meski begitu, jangan matikan baikmu.
sebab, kita tak pernah tau,
dari sudut pandang mana semesta alam sayangi kita.
kenapa repot-repot jadi orang lain?
kamu rela mati bahkan sebelum dicabut nyawanya?
mataku mengerjap; belum percaya langit menangis
ia mengaduh padaku; ada yang berani mencakarnya
kali ini bukan para gedung sialan itu yang jadi pelaku
tapi gengsi orang-orang yang pertahankan omong kosong tentang harga dirinya.
aku;
benci diriku,
menyalahkan diriku,
tidak bisa terima diriku,
bagian terburuk diriku,
ingin bunuh diriku,
pendusta ulung di jagad raya.
Aku; kita semua.
membenci bukan pekerjaan sederhana,
hanya hati pilihan yang bisa menjaganya,
tumbuh sejak lahir salah sangka,
dibesarkan oleh wajah bertopeng empat puluh tiga,
kekuatannya dari lisan bermata ganda,
entah kenapa mereka masih disebut manusia.
banyak yang terjadi di luar dugaan.
bukan karena Tuhan tak sayang,
tapi Dia ingin kita pulang.
meski menjengkelkan,
gagal ternyata baik,
tujuannya mempertahankan hidup air mata.
agar manusia kenali nestapa, katanya.
kalau beruntung, gagal bisa tundukkan congkak di atas kepala.
kalau sudah begitu, gagal memang harus dirayakan dengan jumawa.
malam ini hendak pergi kemana?
jangan jauh-jauh,
karena ujungnya nanti akan tetap sama;
luka yang membuatmu ingin pergi malam ini.
cepat tanpa lambat,
dengan tanpamu,
aku bisa tanpa kurang.
soal mimpiku, jangan lagi ditanyakan.
sudah sejak lama ia meledak di pusara.
yang kamu kejar mati-matian,
dia memetiknya terlalu mudah.
jangan menyangka apapun.
selama penampilan terbaik selalu jadi penutup acara,
kamu harus tetap percaya,
kebaikan yang akan memelukmu di titik akhirnya.
sudah pupus, tapi belum hangus.
ayo jalan terus?
yang menyakitkan bukan ketika lukanya tidak bisa disembuhkan.
tapi ketika sadar sepenuhnya berdiri,
hadirku hanya memenuhi lukanya yang sudah sesak.
kakiku sudah patah dua kali,
sering dia bilang mau berhenti,
padahal, aku masih mau berlari.
setidaknya, jika aku juara tiga nanti,
istimewanya juara pertama akan mati,
aku harus hidup meski di bawah simpati.
kalau memang matiku percuma,
setidaknya, ketidakhadiranku berguna.
tawamu sentuh ujung gunung tertinggi.
tak terbayangkan,
berapa dalam tangismu di malam hari?
teruntuk langit,
bisa hilangkan aku hari ini?
bukan dia yang bodoh.
siapapun, jika diberi dua gunung emas, pasti mengira akan ada ya g ketiga.
pasien sakit, bukan karena lemah.
orang mati, bukan karena kalah.
tapi mereka sudah diberi bocoran dari dirgantara.
batas tak pernah absen,
tapi datangnya bukan untuk dilampaui.
benar itu yang ingin kamu lakukan?
bukannya kemarin cuma jadi pelampiasan?
kalau saranku, segera diselesaikan.
sebelum semuanya berjalan di luar dugaan,
dan persediaan terakhir hanya bernilai penyesalan.
setebal apapun, pasti bisa ditembus.
sekokoh apapun, pasti bisa bertemu hancur.
mungkin nanti, mungkin besok.
kalau memang terjadi, tak perlu merasa berdosa dengan tunjukkan ompongmu.
kurasa, kamu hanya perlu malu,
ternyata air mata tidak pernah seburuk yang diperhitungkan.
entah menyesal atau tidak.
belajar selusin waktu,
cuma untuk diberitahu;
mampuku masih di ujung kuku.
hidup memang selalu mengecewakan,
untuk mereka yang punya setumpuk harapan.
kamu tau artinya?
jangan berharap.
kita terlalu lama muda,
sampai lupa punya dewasa,
terlalu kecil untuk bisa lompat tinggi,
sudah terbilang besar untuk tau dalamnya jurang.
rasanya terlampau jauh berlari,
nyatanya sempurna tak pernah bilang cukup.
sampai nanti tipis benang samakan keberanianku,
kulempar pasrah yang terbungkus dari awal;
sampai jumpa.
kompetisi memunguti sampah,
pemenangnya yang paling serakah,
terlanjur lupa kita semua calon tanah.
jangan dengar aku;
mutiaraku banyak,
tapi hampir semua tidak bisa kugunakan.
kalau mimpimu tak masuk akal,
bentuk usahamu harus irasional.
kalau sedang ingin ledakkan gunung berapi,
atau putuskan air mata jadi ekspresi terbaik,
tidak perlu dibagikan kepada siapapun.
selain hanya mau diberi senang,
jarang yang mau memberikan yang kamu harap akan diberikan.
simpan, tapi jangan dipendam.
tunggu gunung berapinya hancur,
nanti ekspresi favoritmu sudah bukan air mata lagi.
mual,
muak,
tidak mati;
kamu hebat.
setengah sembilan
angin turun ke jalanan
bulan bintang bermain peran
matahari pergi mungkin karena sungkan
bukan masalah besar, selama masih bisa ditahan
aku akan tidur sebagai pahlawan.
meski hilang taring,
aku tetap raja hutan.
posisi di bawah bukan untuk terus-terusan mendongak.
tapi untuk sadar,
pelajaran banyak tertimbun bebatuan terjal.
kalau besok senja sudah bercumbu,
harus sudah waktunya semua sedih dipulangkan.
bukan karena matimu berharga,
tapi bahagia bilang, ia mau dijemput.
kapan berangkatmu?
jangan dicengkeram,
air tak butuh digenggam untuk tetap tinggal.
banyak yang belum paham
kalau cara pahami seseorang,
tidak dengan berusaha memahaminya.
hidup tentang kefanaan tanpa titik,
tapi binatang banyak yang masih berkeliaran.
gonggongan mereka tentang haus dan postingan instagram.
yang paling serakah wajib diberi sujud.
demikian drama orang-orang bodoh tahun ini.
lagi-lagi, aku diuji tentang ini.
ternyata, Tuhan juga punya remedi.
cita-citaku berkawan baik dengan pengalaman.
kalau dia bisa jadi guru terbaik,
harusnya juga punya lulusan sukses sepanjang masa.
semua akan indah pada waktunya.
masalahnya, aku tak punya waktu.
coba payungmu dilempar ke jok belakang,
ia sudah keterlaluan dengan berusaha permanenkan tulimu tentang cantiknya petrikor.
jangan turuti maunya,
tubuhmu harus bisa rasakan pahitnya menggigil
agar bisa kirimkan cerita dari langit untuk tanah.
namaku, Yang Selalu Dikalahkan.
kesukaanku, membuka pintu baru untuk luka yang sama.
kalau sudah ingin hilang dari bumi,
jangan paksakan apapun.
istirahat saja, tidak perlu berbalik arah.
mungkin besok sutradara paham kamu pemeran terbaik.
tidak perlu mengandaikan,
meski diberi secara cuma-cuma pun,
tidak akan semudah yang selama ini diidamkan.
butuh berapa,
sampai percayamu bisa buat diri sendiri
sampai darahmu bukan hasil ciptaanmu sendiri
sampai orang lain tidak terlihat lebih baik,
sampai waktu bahagiamu terbutakan batas,
sampai matimu bukan sebuah cita-cita,
sampai batu nisanmu tidak tertanam sebagai pecundang,
butuh berapa?
ditampar berkali-kali,
dipukul bertubi-tubi,
diinjak setengah mati,
dihina tanpa henti;
peduli setan,
kamu harus coba satu kali lagi.
malam ini, aku pakai lengan panjang.
karena biasanya, tempat asing miliki dingin yang lebih sumbang.
adil tidak diajarkan tentang persamaan,
adil hampir tak mau dianggap seimbang,
adil warnanya buat penuhi kebutuhan.
tapi, diamnya adil sering disalahpahami.
padahal, adil pernah buat maklumat,
ia ada bukan untuk ijabahi keinginan siapapun.
malu;
satu-satunya yang bisa tandingi tinggi kedudukannya,
cuma gengsimu.
seribu tahun tidak bisa dikatakan selamanya,
dua detik kurang pantas dikatakan sebentar.
jangan lancar mengukur waktu,
kamu harus tau, kita ini babu.
jangan mengeluh jika banyak harapan yang menekan,
cuma kamu yang bisa anggap setumpuk harapan itu hadir.
mati masih takut,
hidup jadi pengecut.
kalau hari sudah larut,
baduk mendadak bangkrut.
senyum dilempar ke sudut.
sisanya cuma kalut.
karut dan marut.
biar kuberitahu,
realita jarang bisa bersahabat dengan harapanmu.
pada batu, air berjanji
akan hancurkannya dengan tetes.
batu cuma tergelak.
meski berakhir hancur pun,
belum ada yang berani katakan ia lemah.
bukannya tidak berani melawan,
tapi energi yang tersisa terlalu berharga,
hanya untuk mendebat dia yang jarang bawa kantong untuk akalnya.
apapun di dunia ini bisa jadi standar bahagia,
kecuali yang ada di lenganmu,
itu jelas garis bohong.
mungkin kamu perlu bertanya lagi,
kepada adikmu yang berumur lima tahun itu.
ia jelas paham,
permen selalu lebih baik dari darah.
ragumu harus pecah.
sekarang.
rahasianya apa,
bisa sembunyikan busukmu serapi itu.
memang kenapa?
ketika kamu masih di titik jatuh yang sama
ketika semua orang sudah berjalan terlalu jauh
ketika air matamu terlanjur kering tangisi kegagalan
ketika peraihanmu hanya tentang omong kosong,
memang kenapa?
risleting mulutmu kapan bisa ditutup, sih?
kalau memang sudah selesai,
jangan dibuka kembali.
walaupun dalihmu untuk mempelajari,
tetap saja, ujungnya kamu lagi yang tersakiti.
kalau memang merasa harus membenci seseorang,
cukup berhenti di kamu; tak perlu disebarkan,
nanti bodohmu makin terlihat.
awal, tapi bukan pembuka.
akhir, tapi tidak menutup.
pisahmu jangan disesali terlalu.
nanti temu jemput baru,
pernah menangis, kamu sendiri yang malu.
minta maaf terus,
hubungan kalian memang bertema lebaran, ya?
sudah menunggu lama,
ternyata diundur lagi.
berarti tabungan yang ingin Tuhan berikan,
sedang diperbanyak lagi.
banggamu hanya sebatas punya banyak teman?
anjing juga bisa.
anak pertamanya bernama serakah,
yang tengah bertempatkan amarah,
si bungsu hanya tahu tentang keluh kesah.
rencananya, mereka akan ubah isi pancasila.
entah keberanian darimana,
yang jelas, mereka sudah ubah sila pertama.
bunyinya,
"Keegoisan Yang Maha Esa".
belum bisa tidur?
mungkin memang pikiranmu perlu ditaruh di atas nakas.
meskipun besok tetap ada, setidaknya kamu bisa tetap atur mereka,
untuk tidak terlalu jauh dan buruk.
kenapa menyerah?
padahal matahari tetap pergi ke timur,
meski ia tahu barat tempat peristirahatan yang terlampau nyaman.
aku merdeka, kata seorang budak.
bahkan lebih merdeka dari siapapun, lanjutnya.
karena pikiranku tak pernah tentang omongan orang lain, pungkasnya.
bagi orang-orang yang memedulikan terlalu banyak hal,
dipertemukan dengan titik lelah hingga tak miliki tenaga untuk peduli lagi,
bisa disebut sebagai anugerah.
tiap hari, bulan titipkan salam untuk bintang.
sadarnya belum mau kembali,
matahari yang jadi penyebab sinarnya tiap hari.
kalau kata orang, kegagalan adalav kesuksesan yang tertunda.
memang benar, tapi jangan lupa juga,
kesuksesan berarti kegagalan yang belum terjadi.
hampir dekat,
hampir selalu berat,
hampir semua orang berhenti jadi hebat.
dari tingginya angka natalitas di dunia,
masih belum ada yang lahirnya untuk pedulikan kamu.
tenang, bukan masalah besar,
selama matimu bukan untuk siapapun.
tidak ada yang ingin di tempat aman,
itulah mengapa orang sukses jarang ditemukan.
hari ini ditolak, besok menolak.
tadi menangis, sekarang terbahak.
pagi rapuh, sore berlagak.
mungkin memang benar, kita semua tokoh Opera van Java.
bahasanya sangat tinggi.
entah karena memang terlahir menjadi pujangga,
atau berusaha tutupi bodohnya yang terlalu nyata.
kalau hari ini lukamu baru saja disembuhkan,
lalu besok yang kamu dapati
penyembuhmu ternyata pencipta lukamu,
jangan tersinggung, itu sikap merepotkan.
tertawakan saja.
mulai besok, kita tidak perlu saling bicara lagi.
selama omonganmu bukan hasil pemikiranmu sendiri;
kamu membosankan.
ada dua obat yang bisa sembuhkan berbagai penyakit.
versi kapletnya bernama maaf,
yang jenis sirup disebut terima kasih.
meski banyak yang sudah menderita hingga stadium empat,
jarang ada yang mau beli dua obat ini.
bukan karena kurang ampuh,
namun nominal yang mereka miliki hanya sejumlah gengsi,
lalu digenapkan dengan penghambaan tentang tingginya harga diri.
tinggal tunggu sebentar lagi,
mungkin besok mereka mati.
pada akhirnya,
hal yang paling kamu perjuangkan,
adalah titik terbesar pengorbananmu.
bahagia dulu,
baru cantik.
tentang tebal dan tipis;
peduli setan.
mereka hanya mau cerita memuaskan.
bahkan meskipun tiap kejadian miliki alasan adalah ketetapan,
bukan berarti harus kita untuk pahami alasannya.
sebelum mengira mampu pahami seseorang,
coba temukan cermin.
nah, sekarang kamu dapati orang yang paling tidak bisa dipahami.
bukan tidak tahu harus berbuat apa,
tapi juga perlu belajar
untuk tahu harus titik mana yang dimulai.
bagikan cintamu secukupnya.
jangan dihabiskan,
memang kamu sudah ambil jatah untuk dirimu sendiri?
belum waktunya menangis,
harapan masih sepenuh bintang di langit.
justru wajibmu lakukan banyak kesalahan.
nantinya kau tahu setelah dilempari saran,
tanpa cacat justru tidak bisa mengantarkanmu menuju stasiun perubahan.
antrean penuh;
bukan karena tidak ada antrean lain.
tapi,
berani yang tersedia jarang cukup untuk bisa bentuk antrean baru.
kalau kamu tunggu sempurnaku,
hanya untuk bisa dengarkan kata-kataku,
kenapa tidak tunggu saja malaikat yang naik podium?
kita terlalu sering mencari,
temui belum sentuh sedikit.
hampir habis, sudah selesai.
mana tau.
nyatanya genggaman tangan masih kosong sama sekali.
aku mau pulang, aku mau pulang, aku mau pulang;
bukan rumah itu, bukan rumah itu, bukan rumah itu;
semua neraka, semua neraka, semua—
neraka.
nestapa bernilai cela
gempita seret tren baru
tatapan awas saling menelanjangi,
kenapa tidak dibicarakan saja baik-baik?
ahaha,
dipecundangi lagi, ya?
kalau semua orang jadi pemenang,
siapa yang nanti bertepuk tangan?
masih jagung sudah terlanjur jumawa
lupa detik antarkan tua
dalam, gelap, takut, jurang, luka
orang berceloteh tentang lusa
tapi seringnya, kita diserobot nyata
ia terbahak tunjukkan taringnya.
sombongnya bersahabat dengan langit.
ia lupa,
cantik tidak pernah bisa lebihi kulit.
tolong, bawa aku pergi.
ke tempat jauh untuk bersembunyi,
dari mimpi yang sudah lama menatapku tak sudi.
karena hari ini, aku kalah lagi.
aku (sudah berusaha tapi tetap saja) sampah.

usaha besar,
bukan tiket utama berharap tinggi.
selain tidak bisa berkisah,
kucabut izin atas diriku untuk bertutur.
mempercayakan sesuatu kepada selain aku,
itu terlalu mengerikan.
larimu terlalu kencang.
kakimu berdarah, tapi bukan untukmu;
percuma.
kamu cinta dia?
bohong.
mencintai dirimu sendiri saja kamu masih bingung caranya.
kuatmu keren,
jadi sandaran banyak air mata, memang jagoan.
dengar prosa hidup orang, tak ada tandingan.
uraikan jalinan merah bukan milikmu, betapa mulia.
tapi, hey,
sudah berlatih menangis hari ini?
alat penglihatanmu yang dapat berfungsi normal hanya dua.
tidak perlu merasa bisa menilai seseorang,
dapat kepercayaan diri darimana?
menjadi pemenang hampir tak pernah berarti menang,
kalau kalah pun, seribu besok masih berbaris rapi.
tapi mencoba untuk jadi biasa saja,
belum pernah menjadi hal yang biasa.
karena kita butuh kecewa untuk tau:
mimpi hadir untuk diperjuangkan,
tapi kita tidak pernah ditugaskan untuk tentukan akhir perjalanan.
setinggi tempat guru harus dimuliakan
yang ajarkan tentang banyak tujuan
meski tak semua miliki cara yang menyenangkan
sama halnya dengan pengalaman,
jarang sesuai harapan
karena kedewasaan hampir selalu tentang penerimaan
kemarin, ayahku pulang.
bilangnya, telah jumpai tepi samudera.
apa kabar sabarmu?
masih bersikeras tak punya ujung?
hey, titip salam,
teruntuk rasa rendah dirimu.
tolong tanyakan padanya,
kenapa tak bunuh diri saja?
validasimu bukan tentang pendapat orang lain,
ayo bodo amat.
selamat tinggal;
titik tidak pernah berarti akhir,
titik justru tentang perjuangan baru.
semalam, pelukan ibuku lebih erat.
selain untuk salurkan hangat,
ibuku masih belum mau aku tahu
sudut matanya sembunyikan banyak hal,
lalu tetesnya sentuh pundakku,
untuk gariskan janji di sepanjang hidupku;
bangga ibuku kini bernilai harga mati.
wah, karangmu kokoh sekali.
jadi, kapan rencanamu perlihatkan rapuhnya?
kenapa sibuk berbahasa asing,
ketika dengan bahasa sendiri belum bisa pahami satu sama lain.
jangan serakah.
tempatmu sudah makan banyak hal.
coba lihat lagi.
malaikat bahkan belum berani,
masukkan tidurmu dalam catatan dosa.
banyak yang ragu.
tapi sederhana menang tak pernah berusaha yakinkan siapapun kalau ia telah sentuh tahta tertinggi.
belum ada jaminan,
yang dekat tak bawa pisau.
bersikerasmu setengah mati;
memang pertahankan prinsipmu,
atau gengsi yang dibawa terlalu tinggi?
cita-citamu yang kamu cita-citakan itu memang cita-citamu, atau cita-citanya yang dicita-citakan untuk
jadi cita-citamu?
sepanjang yang aku tahu,
musim kemarau terburuk pun miliki muara.
kenapa khawatir pesawatmu tidak miliki bandara?
nanti kamu paham,
meski setumpuk wajib sudah padam,
bukan berarti semua hak harus diperjuangkan.
karena kemarin sudah ada kata sepakat,
tidak siapapun yang berhak jadi poros dunia.
bukan harapku punya hidup.
jadi kuharap, tidak ada harap yang sengaja ditinggal untuk hidupku.
jangan ambil terlalu banyak tawa.
meski tumpahnya terasa bisa tutupi luka,
tetap saja,
lusa goresnya akan lebih menganga.
masih dipertanyakan,
alasanku dilahirkan,
ketika hadirku hanya jadi hambatan,
untuk dua bahagiaku yang saling ingin melepaskan.
kulihat kemarin tawamu keras,
sekeras usahamu gelapkan luka?
tidak apa,
meski masih terlalu berkabut
meski anak tangga kehilangan ibunya
meski gagal hampir sentuh punggung
meski setir harus terbanting
meski sudah tidak bersisa hingga setetes
meski pengorbanan terlanjur membeku
tidak apa, lanjutkan saja dengan tetap percaya
nanti sisanya tidak akan seburuk yang diperhitungkan
halusinasi berjalan berarah
temani prasangka, bawa kabur nyata
orang bisu, dipanggil membenci
senyum ramah, terbahasakan hina
uluran tangan pasti ada maksud
batu pinggir jalan dikatai punya udang.
diam dulu.
bukan naif yang berusaha kauhapus,
tapi trauma bernama luka yang disembah setara langit.
sampai kapan defensifmu terawat gengsi?
kalau mampu dan mimpi masih terlalu jauh, utarakan saja pada roda belakang.
ia pasti mengerti,
rasanya bekerja untuk sesuatu yang tidak akan tergapai.
besok, jangan jawab iya.
perintah mati belum pernah berarti harus.
hitam, putih.
diteriakkan serapah menyalahkan,
terkadang bergelung ditemani sesal
hitam, putih; omong kosong.
harusnya, bukan berjudul penuduhan,
tapi beralur cerita perbaikan.
satu orang,
dua pundak,
seribu harapan.
belajar dimana?
perlu berapa tahun?
siapa gurunya?
tolong hancurkan mereka semua
yang tempa kamu hingga jadi ahli
sangat berilmu dalam membandingkan diri dengan yang terasa lebih baik.
bahagia wajibku,
bahagia tanggungjawabku.
dirusak, diganti, dihilangkan,
bahagia masih selalu pada titahku.
kalau semua yang belum hebat menunggu hebat untuk cukup hebat menjadi hebat,
kapan hebatnya?
sedih terlalu lebih,
bahagia terlalu lega.
titik berdusta tentang usai,
esok berlanjut mulai.
orang bilang aku kalah,
orang bilang menang berucap telah .
tenang, napas pelan lumrah.
senang, sedih, menang, kalah,
detik masih belum mau patah
degup detak enggan terima pasrah;
jangan menyerah.
tahan, jangan silau dulu.
kamu tak pernah tau,
mungkin tadi malam ia nyaris terbujur kaku.
Salahku,

Salahku,

Salahku,

Salahku,

Salahku,

Sesalku,

Habis sudah.
Aku mau pulang, aku mau pulang, aku mau pulang,

Bukan rumah itu, bukan rumah itu, bukan rumah itu,

Semua neraka, semua neraka, semua—

neraka.

Anda mungkin juga menyukai